Dalam hal ini, hukum dan aturan jual beli dalam Islam menjadi hal yang
sangat diprioritaskan. Hal tersebut dikarenakan jika akad jual belinya
tidak sesuai dengan tata aturan yang ditetapkan oleh syariat, maka dapat
dipastikan akad jual beli yang berlangsung tidak bisa dianggap sah.
Jika demikian keadaannya, maka akan terjadi kezaliman terhadap pihak
lain yang saling malakukan transaksi, padahal Islam senantiasa mengatur
umatnya agar hidup berdampingan, dan tidak saling merugikan. Oleh karena
itu, dalam pelaksanaan jual beli Islam telah menetapkan tata aturan
yang secaa detail disebutkan dalam ilmu fikih muamalah. Adapun dasar
hukum yang menjelaskan tentang jual beli dapat dilihat dalam penjelasan
ayat-ayat al-Qur’an sebagai berikut:
Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 275:
وَأَحَلَّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبَا
“Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba.”
Ayat di atas merupakan dalil naqlimengenai diperbolehkannya akad jual
beli. Atas dasar ayat inilah, maka manusia dihalalkan oleh Allah
melakukan praktik jual beli dan diharamkan melakukan praktik riba.
Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 282:
...وَأَشْهِدُوْا إِذَا تَبَايَعْتُمْ...
“... dan persaksikanlah apabila kamu berjual beli.”
Berbeda dengan ayat yang pertama, ayat ini yaitu menjelaskan secara
teknis dalam jual beli, bagaimana seharusnya praktik jual beli yang
benar yang benar tersebutdijalankan. Berkaitan dengan ayat di atas,
telah sama-sama kita ketahui bahwa akad jual beli merupakan suatu bentuk
transaksi yang dilakukan antara dua orang atau lebih untuk saling
memenuhi kebutuhan keseharian mereka. Akan tetapi terkadang terjadi
hal-hal yang tidak diinginkan, sehingga dalam proses jual beli tersebut
ada baiknya manakala didatangkan saksi atau alat bukti lain yang
menunjukkan transaksi tersebut. Hal tersebut dimaksudkan untuk
memberikan kesaksian atau bukti bahwa kedua belah pihak tersebut
betul-betul telah melakukan akad jual beli. Oleh karena itu, Al-qur’an
mengajarkan agar dalam praktik jual beli hendaknya ada saksi yang
menyatakan keabsahan transaksi jual beli antara kedua belah pihak.
Al-Qur’an Surah an-Nisa’ ayat 29:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُواْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلاَّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مِّنكُمْ
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang bathil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku suka-sama suka di antara kamu.”
Ayat ini melarang manusia untuk melakukan perbuatan tercela dalam
mendapatkan harta. Allah melarang manusia untuk tidak melakukan
penipuan, kebohongan, perampasan, pencurian atau perbuatan lain secara
batil untuk mendapatkan harta benda. Tetapi diperbolehkan mencari harta
dengan cara jual beli yang baik yaitu didasari atas suka sama suka.
Al-Qur’an Surah al-Baqarah ayat 198:
لَيْسَ عَلَيْكُمْ جُنَاحٌ أَن تَبْتَغُواْ فَضْلاً مِّن رَّبِّكُمْ
“Tidak ada bagimu untuk mencari karunia (rizki hasil perniagaan) dari Tuhamu.”
Penjelasan yang dapat dipetik dari ayat tersebut adalah bahwa,
perniagaan adalah jalan yang paling baik dalam mendapatkan harta, di
antara jalan yang lain. Asalkan jual beli dilakukan dengan syarat dan
ketentuan yang telah diatur oleh syariat.
Berkaitan dengan jual beli, rasulullah SAW pernah ditanya oleh salah
satu sahabatnya mengenai pekerjaan yang baik, maka jawaban beliau ketika
itu adalah jual beli. Peristiwa ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis:
عَنْ رِفَاعَةَ بْنِ رَافِعٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيُّ صَلَّى
اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ سُئِلَ الْكَسْبِ أَفْضَلُ ؟ قَالَ: عَمَلُ
الرَّجُلِ بِيَدِهِ وَكُلُّ بَيْعٍ مَبْرُوْرٍ
“Dari Rifa’ah bin Rafi’ ra. Ia berkata,bahwasannya Rasulullah SAW
pernah ditanya: Usaha apakah yang paling halal itu (ya Rasulullah ) ?
Maka beliau menjawab,“Yaitu pekerjaan seseorang dengan tangannya sendiri
dan setiap jual beli itu baik.” (HR. Imam Bazzar. Imam Hakim menyatakan
shahihnya hadits ini)
Di zaman yang serba canggih ini perkembangan sistem ekonomi sudah sangat
pesat. Beragam sistem ditawarkan oleh para niagawan untuk bersaing
menggaet hati para pelanggan. Seorang niagawan muslim yang tidak hanya
berorientasi pada keuntungan dunia sudah semestinya cerdik dan
senantiasa menganalisa fenomena yang ada agar mengetahui
bagaimanapandangan syariat terhadap transaksi ini. Dengan demikian tidak
mudah terjerumus ke dalam larangan-Nya.
Di antara sistem yang saat ini terus dikembangkan adalah sistem kredit,
yaitu cara menjual barang dengan pembayaran secara tidak tunai
(pembayaran ditangguhkan atau diangsur).
Di dalam ilmu fikih, akad jual beli ini lebih familiar dengan istilah
jual belitaqsith (التَقْسيـْط). Secara bahasa,taqsith itu sendiri
berarti membagi atau menjadikan sesuatu beberapa bagian.
Meskipun sistem ini adalah sistem klasik, namun terbukti hingga kini
masih menjadi trik yang sangat jitu untuk menjaring pasar, bahkan sistem
ini terus-menerus dikembangkan dengan berbagai modifikasi.
Hukum Jual-Beli dengan Sistem Kredit
Secara umum, jual beli dengan sistem kredit diperbolehkan oleh syariat.
Hal ini berdasarkan pada beberapa dalil, di antaranya adalah:
1. Firman Allah Ta’ala:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا تَدَايَنْتُمْ بِدَيْنٍ إِلَى أَجَلٍ مُسَمًّى فَاكْتُبُوهُ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bermuamalah tidak secara
tunai untuk waktu yang ditentukan, hendaklah kamu menuliskannya.” (QS.
Al Baqarah : 282)
Ayat di atas adalah dalil bolehnya akad hutang-piutang, sedangkan akad
kredit merupakan salah satu bentuk hutang, sehingga keumuman ayat di
atas bisa menjadi dasar bolehnya akad kredit.
2. Hadis ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha,
beliau mengatakan,
اشْتَرَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ يَهُودِيٍّ طَعَامًا بِنَسِيئَةٍ، وَرَهَنَهُ دِرْعَهُ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli sebagian bahan makanan
dari seorang yahudi dengan pembayaran dihutang dan beliau juga
menggadaikan perisai kepadanya.” (HR. Bukhari:2096 dan Muslim: 1603)
Dalam hadis ini Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam membeli bahan
makanan dengan sistem pembayaran dihutang, itulah hakikat kredit.
Berikut adalah sedikit ringkasan pembahasan mengenai jual beli secara
kredit atau yang dikenal dengan Al-Bai’ut-Taqsiith –(البيع التقسيط).
Definisi jual beli kredit secara terminologis adalah menjual sesuatu
dengan pembayaran tertunda, dengan cara memberikan cicilan dalam
jumlah-jumlah tertentu dalam beberapa waktu secara tertentu, lebih mahal
daripada harga kontan. Atau dengan definisi lain : Pembayaran secara
tertunda dan dalam bentuk cicilan dalam waktu-waktu yang ditentukan.
Jual beli apapun pada asalnya adalah boleh kecuali ada dalil yang mengharamkannya. Allah ta’ala telah berfirman :
يَا أَيّهَا الّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَأْكُلُوَاْ أَمْوَالَكُمْ بَيْنَكُمْ
بِالْبَاطِلِ إِلاّ أَن تَكُونَ تِجَارَةً عَن تَرَاضٍ مّنْكُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta
sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang
berlaku dengan suka sama-suka di antara kamu. [QS. An-Nisaa’ : 29].
ذَلِكَ بِأَنّهُمْ قَالُوَاْ إِنّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرّبَا وَأَحَلّ اللّهُ الْبَيْعَ وَحَرّمَ الرّبَا
Keadaan mereka yang demikian itu, adalah disebabkan mereka berkata
(berpendapat), sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba,padahal Allah
telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. [QS. Al-Baqarah :
275].
Dua ayat di atas berlaku umum untuk semua jenis jual beli, termasuk jual
beli secara kredit. Sampai ayat ini, para ulama mu’tabar tidak berbeda
pendapat mengenai jual beli kredit. Hal itu dikarenakan Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah melakukan jual beli dengan
menunda waktu pembayaran sebagaimana terdapat dalam hadits :
عن عائشة رضى الله تعالى عنها أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ
وَسَلَّمَ اشْتَرَى طَعَاماً مِنْ يَهُودِيٍّ إِلَى أَجَلٍ وَرَهَنَهُ
دِرْعاً مِنْ حَدِيدٍ
Dari ‘Aisyah radliyallaahu ‘anhaa : “Bahwasannya Nabi shallallaahu
‘alaihi wasallam pernah membeli makanan dari seorang Yahudi dengan
pembayaran tertunda dan menggadaikan baju besinya sebagai boroh atau
gadai” [HR. Bukhari no. 2068, 2096, 2200, 2251, 2252, 2386, 2509, 2513,
2916, 4467; Muslim no. 1603; An-Nasa’i no. 4609, 4650; Ibnu Majah no.
2436; dan Ahmad no. 23626, 24746, 25403, 25467].
Kemudian, para ulama berselisih pendapat mengenai hukum jual beli dengan
penundaan waktu pembayaran plus penambahan harga. Ringkasnya, hal itu
terbagi menjadi 2 (dua) kelompok besar pendapat :
1. Mengharamkannya
2. Membolehkannya
Pendapat pertama merupakan pendapat sebagian ulama, dan pendapat kedua merupakan pendapat jumhur ulama.
Makna Dua Jual Beli dalam Satu Jual Beli (بيعتان في بيعة)
عن أبي هريرة قَالَ : نَهَى رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ عَنْ بَيْعَتَيْنِ فِي بَيْعَةٍ
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ’anhu ia berkata : ”Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam melarang dua jual beli dalam satu jual
beli (baca : dua jual beli dalam satu akad/transaksi – Abul-Jauzaa’)
[HR. Tirmidzi no. 1231, Ahmad no. 9582, 10153; An-Nasa’i no. 4632;
Ad-Daarimi no. 1379; Ibnul-Jarud no. 600; Abu Ya’la no. 6124; Ibnu
Hibban no. 4973; Al-Baihaqi 5/343; dan Al-Baghawiy no. 21111 - shahih).
قال ابن مسعود : " صفقتان في
صفقة ربا "
Ibnu Mas’ud berkata : ”Transaksi dalam dua penjualan adalah riba” [HR.
Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Mushannaf 8/192/2; Ahmad no. 3783, dan Ibnu
Hibban no. 1053 – shahih. Lihat Irwaaul-Ghalil 5/148-149].
1. Pendapat yang mengharamkannya memaknai hal itu sebagaimana
perkataan : “Aku jual barang ini kepadamu, secara kontan 10 ribu rupiah
dan jika secara angsuran (kredit) 12 ribu rupiah”. Dan inilah kredit
pada umumnya sebagaimana yang lazim di jaman sekarang.
2. Pendapat yang membolehkannya memaknai hal itu dengan dua inti perkataan, yaitu :
a. “Aku jual kepadamu baju ini secara kontan seharga 50 ribu
rupiah, dan secara kredit 55 ribu rupiah”; namun ketika berpisah ia
tidak bersepakat dalam satu harga, apakah akan mengambil yang kontan
atau secara kredit. Jadi antara penjual dan pembeli bersepakat dalam
transaksi tanpa menentukan penjualan mana yang akan diambil (kontan atau
kredit).
b. “Aku jual sepeda ini padamu seharga 100 ribu dengan syarat kamu
menjual kambingmu”. Atau sebaliknya : “Aku jual sepeda ini padamu dengan
syarat kamu menjual kambingmu seharha 200 ribu”. Ketika pembeli
menyepakati, maka otomatis berlangsung dua akad jual beli dalam satu
jual beli. Transaksi ini sangat rentan terhadap kedhaliman pada harta.
Maka, di sini jumhur ulama mengatakan bahwa jual-beli secara kredit
sebagaimana lazimnya tidak termasuk dalam larangan di atas (kecuali jika
sampai berpisah penjual dan pembeli bersepakat namun tidak menentukan
jenis pembayaran yang akan dilakukan – sebagaimana telah dijelaskan).
Inti perkataan tersebut saya modifikasi dari contoh yang dikemukakan Al-Imam At-Tirmidzi dalam Sunan-nya (no. 1231).
Tepatnya penjelasan At-Tirmidzi tersebut adalah sebagai berikut :
وقد فسر بعض أهل العلم قالوا بيعتين في بيعة أن يقول أبيعك هذا الثوب بنقد
بعشرة وبنسيئة بعشرين ولا يفارقه على أحد البيعين فإذا فارقه على أحدهما
فلا بأس إذا كانت العقدة على أحد منهما قال الشافعي ومن معنى نهى النبي صلى
الله عليه وسلم عن بيعتين في بيعة أن يقول أبيعك داري هذه بكذا على أن
تبيعني غلامك بكذا فإذا وجب لي غلامك وجب لك داري وهذا يفارق عن بيع بغير
ثمن معلوم ولا يدري كل واحد منهما على ما وقعت عليه صفقته
Sebagian ahli ilmu menafsirkannya, mereka berkata : “Aku menjual baju
ini dengan kontan senilai sepuluh dan dengan berangsur senilai dua
puluh” dan ia tidak berpisah (yaitu tidak bersepakat) dengannya pada
salah satu harga. Kalau ia berpisah dengannya di atas salah satunya,
maka itu tidak apa-apa apabila akad berada di atas salah satu dari
keduanya. Berkata Imam Asy-Syafi’i : “Dan dari makna larangan Nabi
shallallaahu ‘alaihi wasallam dari dua penjualan dalam satu transaksi,
seseorang berkata : ‘Aku menjual rumahku kepadamu dengan syarat kamu
menjual budakmu kepadaku dengan harga sekian. Kalau budakmu telah wajib
untukku maka aku wajibkan rumahku untukmu’ dan ini berpisah (yaitu
bersepakat) dengan penjualan tanpa harga yang pasti dan setiap dari
keduanya tidak mengetahui bagaimana bentuk transaksinya”.
Penjelasan serupa juga disampaikan oleh Al-Khaththabi dalam Ma’aalimus-Sunan.
Mana Yang Lebih Kuat ?
InsyaAllah yang lebih kuat adalah Pendapat Kedua (yang membolehkannya).
Sebagaimana yang telah disinggung, jual beli kredit yang berlangsung
seperti sekarang bukanlah dua jual beli dalam satu transaksi. Sebab,
ketika berpisah, mereka umumnya telah menyepakati jenis pembayaran yang
akan dilakukan (yaitu bersepakat dengan akad kredit). Maka pada akhirnya
di sini hanya ada satu jual beli saja dalam satu transaksi. Adapun
contoh perkataan dari pendapat kedua (yang membolehkan kredit), maka
sangat jelas bahwa akhir transaksi terdapat dua jual beli dalam satu
transaksi dari pihak penjual maupun pembeli yang penuh
gharar(ketidakjelasan) dan manipulasi.
Bagaimana dengan Pernyataan : Tafsiran Perawi Lebih Didahulukan daripada Selainnya ?
Hujjah di atas adalah hujjah yang dipakai oleh para ulama yang
mengharamkan kredit dengan tambahan harga, sebab terdapat perkataan
perawi hadits larangan dua jual beli dalam satu transaksi. Simmak bin
Harb - perawi hadits – telah membawakan tafsiran tentang larangan dua
jual beli dalam satu transaksi dengan perkataan : [إن كان بنقد فبكذا و
كذا , و إن كان إلى أجل فبكذا و كذا] “Apabila dibayar secara kontan maka
sekian, dan apabila secara kredit sekian”.
Selain dari apa yang telah dijawab di atas, maka hal itu dapat dijawab sebagai berikut :
1- Tafsiran seorang perawi tidaklah mutlak didahulukan, sebab belum
tentu yang membawakan hadits itu lebih paham daripada yang disampaikan.
Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wasallam telah bersabda :
نَضَّرَ اللهُ امْرَأً سَمِعَ مَقَالَتِي فَوعَاهَا وَحَفِظَهَا وَبَلَّغَهَا، فَرُبَّ حَامِلِ فَقْهٍ إِلَى مَنْ هُوَ أفقَهُ مِنْهُ
“Semoga Allah memberikan cahaya kepada wajah orang yang mendengar
perkataanku, kemudian ia memahaminya, menghafalkannya, dan
menyampaikannya.Betapa banyak orang yang membawa fiqh kepada orang yang
lebih paham daripadanya” [HR. Tirmidzi no. 2658; shahih].
Hadits di atas menjelaskan bahwa kedudukan pembawa hadits (rawi) tidak
mutlak selalu lebih unggul dalam pemahaman dibandingkan orang yang
disampaikan.
2- Madzhab jumhur ulama ushul-fiqh adalah tidak bertaqlid kepada
pendapat shahabat. Kalau seorang shahabat memberi kekhususan pada sebuah
nash umum atau menafsirkan nash yang masih global pengertiannya dengan
salah satu kemungkinan penafsirannya tanpa penjelasan sebab adanya
pengkhususan dan penafsiran tersebut, maka pendapatnya tidak bisa
dijadikan hujjah dalam mengkhususkan nash umum tersebut atau dalam
penafsiran nash yang masih penuh kemungkinan tersebut. Apabila demikian
halnya yang berlaku pada shahabat dengan segala kemuliaan dan
keutamaannya, tentu bagi seorang tabi’in atau orang sesudah mereka lebih
jelas lagi. Dan sebagai catatan, Simmak bin Harb ini adalah seorang
tabi’i, bukan seorang shahabat.
Perkataan seorang perawi dapat didahulukan jika memang terdapat qarinah
yang jelas bahwa perkataannya tersebut merupakan penjelasan yang
bersumber pada ujung sanad (dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wasallam atau
shahabat untuk kasus hadits mauquf). Contohnya adalah tentang masalah
berdzikir dengan tangan kanan :
حدثنا عبيد الله بن عمر بن ميسرة ومحمد بن قدامة في آخرين قالوا ثنا عثام
عن الأعمش عن عطاء بن السائب عن أبيه عن عبد الله بن عمرو قال رأيت رسول
الله صلى الله عليه وسلم يعقد التسبيح قال بن قدامة بيمينه
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidillah bin ‘Umar bin Maisarah dan
Muhammad bin Qudamah dan yang lainnya mereka berkata : Telah
menceritakan kepada kami ‘Atsaam dari Al-‘Amasy dari ‘Atha’ bin Saib
dari ayahnya dari Abdillah bin ‘Amru ia berkata : “Aku melihat
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam menghitung bacaan tasbihnya”.
Berkata Muhammad bin Qudamah (perawi hadits) :“Yaitu dengan tangan
kanannya” [HR. Abu Dawud no. 1502].
Perkataan perawi (Muhammad bin Qudamah) :“Yaitu dengan tangan kanannya”
tidaklah mungkin hanyalah penafsirannya semata. Penjelasan itu
didapatkan dari penjelasan rawi di atasnya sampai di ujung sanad yang
merupakan penjelasan dari orang yang melihatfi’il Rasulullah
shallallaahu ‘alaihi wasallam(yaitu Abdullah bin ‘Amru radliyallaahu
‘anhuma). Hadits tersebut dibawakan oleh Abdullah bin ‘Amr dengan apa
yang dilihat, bukan sekedar interpretasi semata. Sehingga, dari apa yang
dilihat tersebut dikatakan/dijelaskan kepada perawi selanjutnya
(murid-muridnya).
Bagaimana Penjelasan Hadits Abu Hurairah ?
Dari Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wasallam :
من باع بيعتين في بيعة فله أوكسهما أو الربا
Barangsiapa yang menjual dengan dua penjualan dalam satu transaksi, maka
baginya harga yang terendah atau riba [HR. Abu Dawud no. 3461, Ibnu
Hibban no. 4974, Al-Haakim no. 2292, dan Al-Baihaqi 3/343;]
Adapun pengertiannya adalah bahwa hadits Abu Hurairah (yang terdapat
keharusan memilih harga terendah) merupakan jual-beli‘ienah yang memang
termasuk riba. Ibnul-Qayyim dalam Tahdzibus-Sunan (9/240) mengatakan :
“Makna kalimat dalam hadits terdahulu : ‘…barangsiapa yang melakukan dua
jual beli dalam satu jual beli, hendaknya ia mengambil yang termurah,
bila tidak ia memakan riba’ ; yaitu seperti jual beli ‘ienah. Demikian
yang dijelaskan oleh Syaikh Al-Khaththabi. Karena itu artinya dua jual
beli dalam satu jual beli. Yang termurah adalah harga kontan. Apabila
yang diambil adalah yang lebih mahal, yaitu pembayaran berjangka, maka
ia telah mengambil harta riba. Kemungkinan yang terjadi hanya salah satu
dari dua : mengambil harga termurah atau memakan riba. Itu hanya
terjadi pada jual beli ‘ienah”
Jual beli ‘ienah gambarannya adalah sebagai berikut :
Si (A) menjual mobil kepada si (B) dengan pembayaran tempo (5 tahun)
seharga 50 juta. Mobil diterima si (B). Kemudian si (A) mensyaratkan
untuk membeli kembali mobil tersebut seharga 40 juta secara kontan dari
si (B). Maka di sini terdapat unsur manipulasi dan riba. Si (A)
sebenarnya tidak berkeinginan untuk menjual mobil kepada si (B),
melainkan ia hanya ingin “menggandakan” uangnya yang 40 juta itu menjadi
50 juta (ada tambahan 10 juta) dalam tempo 5 tahun. Ini riba. Sedangkan
si (B) tujuannya tidaklah ingin membeli mobil si (A), melainkan hanya
menginginkan uang kontan 40 juta dengan konsekuensi ia harus
mengembalikan sebesar 50 juta di tahun kelima. Jadi sebenarnya ini hanya
manipulasi riba yang dibungkus atas label jual-beli.
Dalam jual beli ini terdapat dua jual beli dalam satu jual beli. Jika
penjual dan pembeli memilih harga terendah (yaitu 40 juta kontan), maka
jual beli itu adalah mubah dan terbebas dari riba. Namun jika yang
disepakati seperti di atas, maka itulah larangan dalam hadits Abu
Hurairah. Wallaahu a’lam.
Kesimpulan :
1- Jual beli kredit pada asalnya adalah boleh.
2- Walaupun boleh, namun sudah selayaknya kita menghindarinya untuk
menghindari perselisihan yang ada. Harus diakui bahwa hujjah ulama yang
mengharamkannya pun terbilang cukup “kuat”. Apalagi hal itu didukung
oleh para ulama-ulama Ahlus-Sunnah yang terkenal seperti Ibnu Sirin,
Simak bin Harb, Ats-Tsauri, Ibnu Qutaibah, An-Nasa’i, Ibnu Hibban, dan
yang lainnya.
3- Selayaknya bagi kita untuk menghindari kredit (jangan
menggampangkannya), karena pada hakekatnya kredit itu adalah hutang.
Jika kita mati dan tunggakan kredit itu masih ada, maka statusnya adalah
seperti hutang dimana kita tetap “tertahan” sampai kredit kita tersebut
terselesaikan.
4- Bersikap zuhud dan wara’ adalah utama.Beli kalau ada uang, dan tidak membeli kalau memang tidak ada uang.
Semoga ada manfaatnya.