ولا تكونوا كالذين تفرقوا واختلفوا من بعد ما جاءهم البينات وأولئك لهم عذاب عظيم
“Dan janganlah kamu menyerupai orang-orang yang bercerai-berai dan
berselisih sesudah datang keterangan yang jelas kepada mereka. Mereka
itulah orang-orang yang mendapat siksa yang berat.” (QS. Ali-Imran ayat
105)
Agama Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW. datang tidak hanya membawa
aqidah keagamaan atau ketentuan moral dan etika yang menjadi dasar
masyarakat semata-mata. Akan tetapi Islam juga membawa syariat yang
jelas mengatur manusia, perilakunya dan hubungan antara satu dengan
yang lainnya dalam segala aspek; baik bersifat individu, keluarga,
hubungan individu dengan masyarakat dan hubungan-hubungan yang lebih
luas lagi.
Sejarah memperlihatkan bahwa Muhammad SAW sebagai Nabi dan Rasul
terakhir berhasil mendirikan suatu sistem pemerintahan, kemudian
pengaruhnya berkembang ke seluruh penjuru dunia tanpa bantuan kekuasaan
dan kekuatan banyak umat. Beliau berhasil menguasai pikiran, keyakinan
dan jiwa umatnya, bahkan mengadakan revolusi berpikir dalam jiwa
bangsa-bangsa, hanya berdasarkan Al-Qur’an yang setiap hurufnya telah
menjadi hukum.
Jadi, Islam memang bukan hanya merupakan sekadar sistem keagamaan. Islam
juga mengatur masalah sistem politik, termasuk demokrasi.
Kelakuan sistem pemerintahan yang meniadakan demokrasi, memang membuat
terjaminnya persatuan dan kesatuan bangsa, tetapi keadaan ini dinilai
sebagai absolut dan tirani yang buruk bagi peradaban. Elit pemerintahan
sulit diterobos kecuali hukum alam (sunatullah) yang memusnahkan.
Sebagaimana disampaikan oleh Ibn Khaldun dalam buku beliau yang
terkenalMuqaddimah, bahwa umur kekuasaan seperti umur manusia juga, ada
yang panjang dan ada pula yang pendek, tetapi sudah tentu pasti akan
berakhir, baik secara perlahan maupun secara tragis. Komunisme kita
lihat hanya bertahan 70 tahun setelah itu hampir di seluruh negeri
mengalami kemunduran.
Pendemokrasian bila ditujukan untuk kebebasan individu, juga berakibat
tidak baik; karena segala orang yang berjiwa propinsialisme kedaerahan
dan membanggakan firqah-firqahnya cenderung sulit diatur, kurang etis
dengan sentralnya.
Adapun petunjuk-petunjuk yang diberikan oleh ayat-ayat Al-Qur’an
terhadap baik desentralisasi maupun sentralisasi sangat jelas, yaitu
Allah memfirmankan bahwa sebenarnya pemisahan-pemisahan kedaerahan yang
berlebihan tidak disenangi Allah SWT Al-Malikul Mulk.
Begitu juga pemusatan kekuasaan yang berlebihan juga tidak disukai Allah
SWT, karena akan menimbulkan keangkuhan, kesombongan dan semena-mena,
kendati sebenarnya pertanggunngjawaban itulah yang dituntut.
Al-Qur’an datang sebagai petunjuk Allah SWT dan sudah dibuktikan bahwa
Al-Qur’an adalah benar-benar wahyu dari Allah, tidak dapat dipungkiri
lagi bahwa Allah itu Esa, Allah adalah Tuhan yang bergantung kepada-Nya
segala sesuatu, Dia tiada beranak dan tiada pula diperanakkan dan tiada
seorang pun yang setara dengan Dia (QS. Al-Ikhlas) dan Firman-Nya adalah
petunjuk.
Petunjuk dan peringatan dalam Firman Allah itu terkumpul dalam
Al-Qur’an, dan untuk seluruh umat manusia (bangsa-bangsa) sebagaimana
ayat-ayat berikut ini:
وما هو إلا ذكر للعالمين
Artinya : “Al-Qur’an itu tiada lain hanyalah peringatan bagi seluruh umat (bangsa-bangsa).” (QS. Al-Qalam ayat 52)
إن هو إلا ذكر للعالمين
Artinya : “Sesungguhnya Al-Qur’an itu adalah peringatan bagi seluruh umat (bangsa-bangsa).” (QS. Shaad ayat 87)
Apa kata Al-Qur’an tentang desentralisasi yang berlebih-lebihan, yang
akibatnya mempunyai resiko daerah-daerah menjadi terbagi-bagi?
يا أيها الذين آمنوا أطيعوا الله وأطيعوا الرسول وأولي الأمر منكم فإن
تنازعتم في شيء فردوه إلى الله والرسول إن كنتم تؤمنون بالله واليوم الآخر
ذلك خير وأحسن تأويلا
Artinya : “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah
Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan
pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Qur'an)
dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan
hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik
akibatnya.” (QS. An-Nisaa’ ayat 59)
Dalam menafsiri berbagai syari’at Islam, kebanyakan kaum muslim sendiri
lebih menekankan syari’at tersebut hanya terbatas pada sesuatu yang
bersifat spritual saja tanpa memperhatikan adanya bentuk syariat yang
mengedepankan bentuk hubungan sosial yang baik dalam masyarakat. Bahwa
kewajiban terwujudnya hubungan sosial yang baik tersebut tidak boleh
ditinggalkan dalam tatanan kehidupan bermasyarakat baik sesama muslim
maupun nonmuslim, salah satunya yaitu adanya konsep musyawarah.
Konsep musyawarah merupakan salah satu pesan syari’at yang sangat
ditekankan di dalam al-Qur’an keberadaannya dalam berbagai bentuk pola
kehidupan manusia, baik dalam suatu rumah kecil yakni rumah tangga yang
terdiri anggota kecil keluarga, dan dalam bentuk rumah besar yakni
sebuah negara yang terdiri dari pemimpin dan rakyat , konsep Musyawarah
merupakan suatu landasan tegaknya kesamaan hak dan kewajiban dalam
kehidupan manusia, di mana antara pemimpin dan rakyat memilki hak yang
sama membuat aturan yang mengikat dalam lingkup kehidupan bermasyarakat.
Kaidah-Kaidah Demokrasi
Kaidah-kaidah demokrasi ini berkaitan dengan kepemimpinan suatu negara.
Pemimpin suatu negara haruslah orang yang mampu mengayomi rakyatnya
dengan benar, serta memiliki sikap yang menjadi panutan rakyatnya.
Terdapat bebarapa hal yang menjadi kaidah-kaidah demokrasi, diantaranya
adalah persamaan atau kesetaraan dan musyawarah.
Kaidah ini mengacu pada hakikat persamaan manusia di depan Allah SWT,
yang mana semua manusia kedudukannya sama. Setiap manusia berhak
menyuarakan pendapatnya, aspirasinya, tanpa ada dominasi dari seseorang
maupun kelompok lain. Yang membedakan manusia yang satu dengan yang
lainnya adalah tingkat keimanannya.
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Hujurat ayat 13:
يا أيها الناس إنا خلقناكم من ذكر وأنثى وجعلناكم شعوبا وقبائل لتعارفوا إن أكرمكم عند الله أتقاكم إن الله عليم خبير
Artinya : “Wahai manusia! Sungguh, Kami elah menciptakan kamu dari
seorang laki-laki dan seorang perempuan, kemudian Kami jadikan kamu
berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kamu saling mengenal. Sungguh,
yang paling mulia di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa.
Sungguh, Allah Maha Mengetahui, Maha Teliti.” (QS. Al-Hujurat:13)
Ayat ini turun sebagai penegasan bahwa dalam Islam tidak ada diskriminasi, yang paling mulia adalah yang paling bertakwa.
Ada kalanya dalam suatu kepentingan, orang-orang banyak menemukan
perbedaan pendapat. Allah menjelaskan dalan surat Ali-Imran ayat 159
mengenai masalah perbedaan pendapat ini, yaitu dengan cara
bermusyawarah.
Musyawarah dilakukan sebagai cara untuk mengambil keputusan dengan cara
yang baik dan benar, dengan tidak memaksa pendapat masing-masing.
Musyawarah ini telah diterapkan oleh Rasulullah SAW pada masa
kepemimpinannya.Firman Allah dalam surat Asy-Syura ayat 38:
والذين استجابوا لربهم وأقاموا الصلاة وأمرهم شورى بينهم ومما رزقناهم ينفقون
Artinya: “dan (bagi) orang-orang yang menerima (mematuhi) seruan Tuhan
dan melaksanakan Shalat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan
msyawarah antara mereka; dan mereka menginfakkan sebagian dari rezeki
yang Kami berikan kepada mereka.” (QS. Asy-Syura:38)
Syura atau pengambilan pendapat hukumnya sunnah dan khusus bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِنَ اللَّهِ لِنْتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنْتَ فَظًّا غَلِيظَ
الْقَلْبِ لَانْفَضُّوا مِنْ حَوْلِكَ فَاعْفُ عَنْهُمْ وَاسْتَغْفِرْ
لَهُمْ وَشَاوِرْهُمْ فِي الْأَمْرِ فَإِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى
اللَّهِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِينَ
Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap
mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah
mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu. Karena itu maafkanlah mereka,
mohonkanlah ampun bagi mereka, dan bermusyawarahlah dengan mereka dalam
urusan itu. Kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, maka
bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang
bertawakal kepada-Nya (QS. Ali Imran [3]: 159)
Ayat ini memiliki hubungan yang erat terhadap peristiwa Perang Uhud.
Pada peristiwa tersebut kaum muslim mengalami kekalahan telak akibat
hilangnya disiplin sebagian tentara Islam terhadap perintah yang telah
di tetapkan nabi. bahkan dalam satu riwayat pada waktu itu Nabi terluka
sangat parah dan giginya rontok. Ayat ini serta beberapa ayat berikunya
merupakan penjelasan tentang sikap dan sifat nabi sebagai leader yang
mesti diambil ketika menghadapi fakta yang tidak sesuai dengan
instruksinya sekaligus sebagai sugesti dari Allah agar selalu optimis
dalam perjuangan.
jadi ayat ini merupakan ayat leadership dan musyawarah di tengah-tengah
keadaan yang sangat darurat dalam peperangan, nabi tetap mengedepankan
hasil keputusan musyawarah bersama para sahabat tentang bagaimana
mensiasati taktik perang di gunung Uhud. Dari hasil musyawarah tersebut
nabi mengikuti pendapat mayoritas sahabat, meskipun hasilnya sangat
mengecewakan karena berakhir dengan kekalahan kaum muslim, saat itulah
Rasulullah memutuskan untuk menghapuskan adanya konsep musyawarah. Namun
dengan turunnya ayat ini, Allah berpesan kepada nabi bahwa tradisi
musyawarah tetap harus dipertahankan dan dilanjutkan meskipun terbukti
terkadang hasil keputusan tersebut keliru.
Dalam ayat ini disebutkan sebagai fa’fu anhum(maafkan mereka). Maaf
secara harfiah, bearti “menghapus”. Memaafkan adalah menghapuskan bekas
luka dihati akibat perilaku pihak lain yang tidak wajar. Ini perlu,
karena tiada musyawarah tanpa pihak lain, sedangkan kecerahan pikiran
hanya hadir bersamaan dengan sinarnya kekeruhan hati.
Disisi lain, orang yang bermusyawarah harus menyiapkan mental untuk
selalu memberi maaf. Karena mungkin saja ketika bermusyawarah terjadi
perbedaan pendapat, atau keluar kalimat-kalimat yang menyinggung
perasaan orang lain. Dan bila hal-hal itu masuk kedalam hati, akan
mengeruh pikiran, bahkan boleh jadi akan mengubah musyawarah menjadi
pertengkaran. Itulah kandungan pesan fa’fu anhum.
Asbabun-Nuzul dari ayat ini adalah pada waktu kaum muslimin mendapatkan
kemenangan dalam perang Badar, banyak orang-orang musyrikin yang menjadi
tawanan perang. Untuk menyelesaikan masalah itu Rasulullah SAW
mengadakan musyawarah dengan Abu Bakar Shiddik dan Umar Bin Khattab.
Rasulullah meminta pendapat Abu Bakar tentang tawanan perang tersebut.
Abu Bakar memberikan pendapatnya, bahwa tawanan perang itu sebaiknya
dikembalikan keluarganya dengan membayar tebusan. Hal mana sebagai bukti
bahwa Islam itu lunak, apalagi kehadirannya baru saja. Kepada Umar Bin
Khattab juga dimintai pendapatnya. Dia mengemukakan, bahwa tawanan
perang itu dibunuh saja. Yang diperintahkan membunuh adalah keluarganya.
Hal ini dimaksudkan agar dibelakang hari mereka tidak berani lagi
menghina dan mencaci Islam. Sebab bagaimanapun Islam perlu
memperlihatkan kekuatannya di mata mereka. Dari dua pendapat yang
bertolak belakang ini Rasulullah SAW sangat kesulitan untuk mengambil
kesimpulan. Akhirnya Allah SWT menurunkan ayat ini yang menegaskan agar
Rasulullah SAW berbuat lemah lembut. Kalau berkeras hati mereka tidak
akan menarik simpati sehingga mereka akan lari dari ajaran Islam.Ayat
ini diturunkan sebagai dukungan atas pendapat Abu Bakar Shiddik. Di sisi
lain memberi peringatan kepada Umar Bin Khattab. Apabila dalam
permusyawahan pendapatnya tidak diterima hendaklah bertawakkallah kepada
Allah SWT. Sebab Allah sangat mencintai orang-orang yang bertawakkal.
Dengan turunnya ayat ini maka tawanan perang itupun dilepaskan
sebagaimana saran Abu Bakar.
Rasulullah juga bermusyawarah dengan para sahabatnya pada waktu
menghadapi perang Badar dengan menawarkan idenya untuk menghadang
kafilah Musyrikin Quraisy yang kembali dari Syam ide tersebut disepakati
oleh para sahabat dengan kata-kata yang meyakinkan. Mereka berkata “Ya
Rasulullah, sekiranya engkau mengajak kami berjalan menyebrangi lautan
ini, tentu kami akan kami lakukan dan sekali-kali tidaklah kami akan
bersikap seperti Kaum Musa yang berkata kepada Nabinya, pergilah engkau
bersama Tuhanmu berperang, sedang kami akan tetap tinggal disini. Dalam
masalah peperangan dan sebagainya yang tidak ada diturunkan nash tentang
hal itu untuk mengeluarkan pendapat, memperbaiki diri dan mengangkat
kekuasaan mereka.
عن الحسن رضي الله عنه: قد علم الله أنه ما به إليهم حاجة, ولكنه أرد أن
يستن به من بعده. وعن النبى صلى الله عليه وسلم (( ما تشا ور قوم قط
إلا هدوا لأرشد أمرهم ))
Hadtis yang diriwayatkan dari hasan semoga ridha Allah darinya: Allah
sungguh mengetahui apa yang mereka butuhkan dan tetapi yang ia inginkan
enam puluh orang. Dan dari Nabi saw: (suatu kaum memadai dalam
bernusyawarah tetang sesuatu kecuali mereka ditunjuki jalan yang lurus
untuk urusan mereka).
Kami akan berkata Ya Rasulullah, “Pergilah dan kami akan menyertaimu,
berada didepanmu, disisi kanan kirimu berjuang dan bertempur bersamamu.”
Hal itu mengingat, bahwa didalam musyawarah, silang pendapat selalu
terbuka, apalagi jika orang-orang yang terlibat terdiri dari banyak
orang. Oleh sebab itulah, Allah memerintah Nabi agar menetapkan
peraturan itu, dan mempraktekkannya dengan cara yang baik. Nabi saw. ,
manakala bermusyawarah dengan para sahabatnya senantiasa bersikap tenang
dan hati-hati. Beliau memperhatikan setiap pendapat, kemudian
mentarjihkan suatu pendapat dengan pendapat lain yang lebih banyak
maslahatnya dan faedahnya bagi kepentingan kamu Muslimin, dengan segala
kemampuan yang ada.
Sebab, jamaah itu jauh kemungkinan dari kesalahan dibandingkan pendapat
perseorangan dalam berbagai banyak kondisi. Bahaya yang timbul sebagai
akibat dari penyerahan masalah umat terhadap pendapat perorangan,
bagaimanapun kebenaran pendapat itu, akibatnya akan lebih berbahaya
dibandingkan menyerahkan urusan mereka kepada pendapat umum.
Memang Nabi saw. selalu berpegang pada musyawarah selama hidupnya dalam
menghadapi semua persoalan. Beliau selalu bermusyawarah dengan mayoritas
kaum Muslimin, yang dalam hal ini beliau khususkan dengan kalangan ahlu
‘r-ru’yi dan kedudukan dalam menghadapi perkara-perkara yang apabila
tersiar akan membahayakan umatnya.
Beliau juga melakukan musyawarah pada waktu pecah perang Badar, setelah
diketahui bahwa orang-orang Quraisy telah keluar dari Mekkah untuk
berperang. Nabi, pada waktu itu tidak menetapkan suatu keputusan sebelum
kaum Muhajirin dan Anshar menjelaskan isi persetujuan mereka. Juga
musyawarah yang pernah beliau lakukan sewaktu menghadapi perang Uhud.
Demikianlah, Nabi saw. selalu bermusyawarah dengan para sahabatnya dalam
menghadapi masalah-masalah penting, selagi tidak ada wahyu mengenai hal
itu. Sebab, jika ternyata jika Allah menurunkan wahyu, wajiblah
Rasulullah melaksanakan perintah Allah yang terkandung dalam wahyu itu.
Nabi saw. tidak mencanangkan kaidah-kaidah dalam bermusyawarah. Karena
bentuk musyawah itu berbeda-beda sesuai denga sikon masyarakat, serta
sesuai dengan perkembangan zaman dan tempat. Sebab, seandainya Nabi
mencanangkan kaidah-kaidah musyawarah, maka pasti hal itu akan diambil
sebagai Dien oleh kaum Muslimin, dan mereka berupaya untuk
mengamalkannya pada segala zaman dan tempat.
Oleh karena itulah, ketika Abu Bakar diangkat menjadi khalifah, para
sahabat mengatakan bahwa Rasulullah saw. sendiri rela sahabat Abu Bakar
menjadi pemimpin agama kami, yaitu tatkala beliau sakit beliau sakit dan
memerintahkan Abu Bakar mengimani shalat. Lalu mengapa kita tidak rela
padanya dalam urusan duniawi kita.
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman;
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ
أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ وَعلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ
وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ لاَ تُكَلَّفُ نَفْسٌ إِلاَّ وُسْعَهَا لاَ
تُضَآرَّ وَالِدَةٌ بِوَلَدِهَا وَلاَ مَوْلُودٌ لَّهُ بِوَلَدِهِ وَعَلَى
الْوَارِثِ مِثْلُ ذَلِكَ فَإِنْ أَرَادَا فِصَالاً عَن تَرَاضٍ
مِّنْهُمَا وَتَشَاوُرٍ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْهِمَا وَإِنْ أَرَدتُّمْ أَن
تَسْتَرْضِعُواْ أَوْلاَدَكُمْ فَلاَ جُنَاحَ عَلَيْكُمْ إِذَا سَلَّمْتُم
مَّا آتَيْتُم بِالْمَعْرُوفِ وَاتَّقُواْ اللّهَ وَاعْلَمُواْ أَنَّ
اللّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ ﴿٢٣٣﴾
Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu
bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan. Dan kewajiban ayah memberi
makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara ma’ruf. Seseorang tidak
dibebani melainkan menurut kadar kesanggupannya. Janganlah seorang ibu
menderita kesengsaraan karena anaknya dan seorang ayah karena anaknya,
dan warispun berkewajiban demikian. Apabila keduanya ingin menyapih
(sebelum dua tahun) dengan kerelaan keduanya dan permusyawarahan, maka
tidak ada dosa atas keduanya. Dan jika kamu ingin anakmu disusukan oleh
orang lain, maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan
pembayaran menurut yang patut. Bertakwalah kamu kepada Allah dan
ketahuilah bahwa Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.
QS.Al-Baqoroh Ayat 233.
Ayat ini mengandung dalil boleh berijtihad dalam hukum. Hal ini
berdasarkan kebolehan dari Allah SWT bagi orang tua untuk bermusyawarah
dalam hal-hal yang membawa kebaikan bagi anak, sekalipun berdasarkan
perkiraan mereka saja dan bukan berdasarkan hakikat atau
keyakinan.At-Tasyaawur (musyawarah) adalah mengeluarkan (mencari)
pendapat yang terbaik.
Lafadz ini sama dengan al-musyaawarah danal-masyuurah, seperti
al-ma’uunah. Contoh dalam bentuk: Syartu al ‘asl dan
istakhrajtuhuartinya mengeluarkan madu. Syurtu ad-daabbah dan
syawwartuhaa: ajraituhaa, artinya aku memacu binatang tunggangan itu.
Digunakan kata ini karena maksudnya adalah membuat lari binatang
tunggangan itu. Asy-syiwaar artinya perabot rumah.
Digunakan kata ini karena perabot rumah itu nampak bagi siapa saja yang
melihat. Asy-Syaarah artinya penampilan seseorang. Al-isyaarah artinya
mengeluarkan apa yang ada dalam diri anda dan menampakkannya. Di dalam
ayat ini bertemu dua kalimat yang mengandung suasana rela dan damai;
pertama kalimat Taradhin, artinya berkerelaan kedua pihak, kedua kalimat
tasyawurin, artinya bermusyawarah kedua pihak, bertukar fikiran. Dalam
kedua kalimat ini terdapatlah bahwa di dalam dasar hati rela sama rela,
harga menghargai, di antara suami isteri, demi kemaslahatan anak mereka,
memulai musyawarah bagaimana yang terbaik untuk anak mereka. Ayat ini
mempertegas lagi pelaksanaan ujung ayat 228, Yaitu bahwa si isteri
mempunyai hak yang sama dengan suami dan perlakuan yang sama. Di dalam
ayat ini ditunjukkan cara pelaksanaan hak dan kewajiban, yaitu dalam
suasana cinta dan musyawarah. Kalau hati sama-sama terbuka, tidak ada
kusut yang tidak dapat diselesaikan dan tidak ada keruh yang tidak dapat
dijernihkan. Hasil keputusan mereka berdua, hasil dari ridha-meridhai
dan musyawarah, diakui dan diridhai pula oleh Allah.
Allah berfirman dalam surat An-Nisa ayat 58
:
إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها وإذا حكمتم بين الناس أن تحكموا بالعدل إن الله نعما يعظكم به إن الله كان سميعا بصيرا
Artinya: “Sungguh, Allah menyuruhmu menyampaikan amanat kepada yang
berhak menerimanya, dan apabila kamu menetapkan hukum di antara manusia
hendaknya kamu menetapkannya dengan adil. Sungguh, Allah adalah
sebaik-baik yang memberi pengajaran kepadamu. Sungguh, Allah Maha
Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. An-Nisa:58)
Al-Hurriyah atau Kebebasan
Maksud kebebasan di sini sama dengan kesetaraan. Baik Rakyat maupum
pemimpin, masing-masing mempunyai hak dan kewajibannya. Tentunya dengan
porsi yang berbeda-beda.
Kebebasan ini tentulah harus ada batasan-batasannya. Pemimpin tidak
boleh semena-mena terhadap rakyatanya, begitu juga sebaliknya. Keduanya
harus berkerja sama untuk membangun sebuah demokrasi yang kuat, dimana
tidak ada ‘kesemena-semenaan’ suatu kelompok tertentu.
Hadits yang Berkaitan dengan Demokrasi
عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَ ةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَا لَ : قَا لّ رَسُوْ لُ
اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : اَلْمُسْتَشَا رُ مُؤْ تَمَنٌ.
(روا ه التر مذ ي و ابو داوود)
Artinya: “Dari Abu Hurairah RA berkata : Rasulullah SAW pernah bersabda :
“Musyawarah adalah dapat dipercaya.”” (HR. Tirmidzi dan Abu Daud)
إإذا استشا أحدكم أخاه فليسر عليه (ابن ماجه)
Artinya: “Apabila salah seorang dari kamu meminta bermusyawarah dengan saudaranya maka penuhilah.” (HR. Ibnu Majah)
ما راءيت أحدا أكثر مشورة لِاصحابه من رسول الله صلّ الله عليه و سلم
Artinya: “Saya tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak
bermusyawarah dengan sahabatnya kecuali Rasulullah SAW.” (HR. Tirmidzi)
Dalam Hadist dari Shahih Bukhari :
حَدَ ثَنَا الْاُوْسِيِ حَدَثَنَا إِبْرَا هِيْمَ بِنْ سَعِدْ عَنْ صَالِحِ
عَنْ اِبْنِ شِهَابُ حَدَّثَنِيْ عُرْوَةَ وَاِبْنِ الْمُسَيَّبِ
وَعَلْقَمَةَ اْبنِ وَقَاصُ وَعُبَيْدِاللِه عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ ا اللهُ
عَنْهَا حِيْنَ حَوْلَهَا أَهْلُ الْإِفْكِ قَالَتْ : وَدَعَا رَسُوْلُ
اللهِ ص.م. عَلِيُ ابْنُ اَبِي طَالِبِ وَاُسَامَة اْبنِ زَيْدِ رَضِيَ
اللهُ عَنْهُمَا حِيْنَ اسْتَلْبَثَ الْوَ حْيَ يَسْأَلَهُمَا وَهُوَ
يَسْتَشِيْرَهَا فِي فِرَاقِ أَهْلِهِ فَاَمَّا أُسَامَةَ فَأَشَارَ بِا
اَّلذِيْ يَعْلَمُ مِنْ بَرَاءَةِ اَهْلِهِ وَاَمَّا عَلِي فَقَاَل :لَمْ
يِضَيِّقِ اللهَ عَلَيْكَ وَالّنِسَاءَ سِوَاهَا كَثِيْرٌ وَسَلِ
الْجَارِيَةَ تَصْدُقْكَ فَقَالَ :هَلْ رَاَيْتِ مِنْ شَيْءٍ يَرِيْبُكِ
قَالَتْ : مَا ّرأَيْتُ أَمْرًا أَكْثَرُ مِنْ اَنَّهَا جَاِريَةُ
حَدِيْثَةُ السِّنِّ تَنَاُم عَنْ عَجِيْنُ أَهٌلِهَا فَتَأْتِيْ الدَاجِنُ
فَتَأْكُلُهُ فَقَامَ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ : يَا مَعْشَرَ
الْمُسْلِمْينَ مَنْ يُعْذِرَنِي مِنْ رَجُلٍ بَلَغَنِيْ أَذَاهُ فِي
أَهْلِي وَاللهُ مَا عَلِمْتُ اِلَى أَهْلِي إِلَّا خَيْرًا فَذَكَرَ
بَرَاءَةُ عَائِشَة َوَقَالَ أَبُوْ أُسَامَةَ عَنْ هِشَامِ.
“Telah menceritakan kepada kami Al Uwaisi, telah bercerita Ibrahim bin
Su’aid, dari sholeh, dari Ibnu Shihab telah bercerita kepadaku ‘Urwah
dan ibnu Musayyab dan Alqomah ibn Waqas, dan Ubaidillah dari Aisyah r.a.
ketika berkata kepadanya orang yang suka berbohong dan ia berkata :
dan Rasulullah mengajak Ali bin Abi Thalib dan Usamah bin Zaid r.a.
ketika memakai wahyu dan menannyakan kepada mereka, dan dia
bermusyawarah dengan mereka atas perbedaan di dalam keluarganya, maka
Usamah bermusyawarah dengan yang di pelajari dari kebebasan keluarganya.
Maka Ali berkata : Allah tidak mempersempit bagimu dan perempuan
melainkan wanita yang banyak, dan beramal jariyah maka Dia akan
mempercayaimu. Usamah berkata : Apakah kamu tidak melihat sesuatu yang
membuat kamu ragu? Aisyah menjawab : aku tidak pernah melihat suatu
perkara yang lebih dari pembantu yang berusia muda tidur di samping
adonan roti keluarganya maka datang seorang yang bersikap jinak dan
memakannya. Maka Rasul berdiri di atas mimbar seraya bersabda : Wahai
golongan orang muslim barang siapa yang memberi alasan yang
berlebih-lebihan kepadaku dari laki-laki maka datang celaan dalam
keluargaku dan Allah tidak mengetahui dari keluargaku melainkan hanya
kebaikannya. Maka Aisyah mengingat kebebasan itu, dan Abu Usamah berkata
dari Hisyam. [HR. Bukhori]
Dalam tuntunan Islam seperti Al-Qur’an dan Hadits, bab demokrasi
sesungguhnya memang tidak banyak dibahas dan yang menjelaskan secara
rinci. Belum ditemukan pula hukum islam yang berhubungan secara langsung
mengatakan tentang demokrasi sendiri itu bagaimana mestinya. Tapi,
bukan berarti Islam melupakan masalah ketata-negaraan ini. Banyak
ayat-ayat atau dalil-dalil yang isinya menuju masalah ini, terutama
perihal musyawarah.
Suatu demokrasi selalu berkaitan dengan musyawarah. Hal ini merujuk pada
keikut- sertaan rakyat dalam sistem pemerintahan. Musyawarah ini juga
merupakan kaidah demokrasi yang utama.
Musyawarah ini didasarkan pada surat Ali-Imran ayat 159 dan surat
Asy-Syura ayat 38. Kedua ayat ini membahas tentang sebuah tindakan yang
dilakukan oleh suatu kaum mengenai hal apa yang harus mereka lakukan
saat diantara mereka ada sebuah perbedaan pendapat. Saat tidak ditemukan
keputusan, mereka pun juga harus berpedoman pada Al-Qur’an dan Hadits.
Islam tidak menganut demokrasi karena demokrasi sangat berbeda dengan
islam, tidak ada hukum atau ketetapan islam yang berasal dari Al-Qur’an,
Hadist maupun hukum lain yang berpedoman atau diputuskan berdasarkan
Al-Qur’an dan Hadits tersebut yang menyatakan tentang demokrasi secara
langsung. Karena demokrasi itu dari rakyat, oleh rakyat dan untuk
rakyat, jika rakyat sepakat maka selesailah sudah. Sedangkan islam
menjalankan dan memutuskan sesuatu berdasarkan hukum dan ketetapan
Al-Qur’an, Hadist, serta hukum dan ketetapan lainnya yang diputuskan
manusia yang juga berdasarkan Al-Qur’an dan Hadist.
Dalam demokrasi barat, umat memegang kekuasaan tertinggi. Tetapi dalam
Islam, kekuasaan rakyat tidak bersifat mutlak, melainkan terikat dengan
ketentuan-ketentuan syari’at agama yang dipeluk oleh setiap individu
dari rakyat tersebut. Rakyat tidak dapat bertindak melebihi batas-batas
hukum tersebut.
Tujuan dan Manfaat Musyawarah
1) Tujuan Musyawarah
1. Menghasilkan pendapat-pendapat dan jalan keluar untuk dapat sampai kepada penyelesaian dalam bentuk yang paling utama.
2. Jaminan penjagaan atas kebaikan-kebaikan umum, dan tidak
tersia-sianya hak-hak manusia jika direalisasikan dengan bentuk yang
sempurna.
3. Merealisasikan keadilan di antara manusia.
4. Kemampuan musyawarah untuk menyerap perselisihan-perselisihan,
menjaga dari kegoncangan yang terkadang dihasilkan karena perbedaan
pendapat.
2) Manfaat Musyawarah
(۱) إنها تبين مقادير العقول والأفهام ، ومقدار الحب والإخلاص للمصالح العامة.
(۲) إن عقول الناس متفاوتة وأفكارهم مختلفة ، فربما ظهر لبعضهم من صالح الآراء ما لا يظهر لغيره وإن كان عظيما.
(۳) إن الآراء فيها تقلّب على وجوهها ، ويختار الرأى الصائب من بينها.
(٤) إنه يظهر فيها اجتماع القلوب على إنجاح المسعى الواحد ، واتفاق القلوب على ذلك مما يعين على حصول المطلوب
(تفسير المراغي : ٤ : ١١٤)
Musyawarah, mengandung banyak sekali manfaatnya. Diantaranya adalah sebagai berikut:
1) Melalui musyawarah, dapat diketahui kadar akal, pemahaman, kadar kecintaan, dan keikhlasan terhadap kemaslahatan umum.
2) Sesungguhnya akal manusia itu bertingkat-tingkat, dan jalan
nalarnyapun berbeda-beda. Oleh karena itu, di antara mereka pasti
mempunyai suatu kelebihan pandangan disbanding yang lain (dan
sebaliknya), sekalipun di kalangan para pembesar.
3) Sesungguhnya pendapat-pendapat dalam musyawarah diuji keakuratannya, .
Setelah itu, dipilihlah pendapat yang sesuai (baik dan benar).
4) Di dalam musyawarah, akan tampak bersatunya hati untuk mensukseskan
suatu upaya dan kesepakatan hati. Dalam hal itu, memang, sangat
diperlukan untuk suksesnya masalahnya masalah yang sedang dihadapi.
Takhtimah
Musyawarah merupakan sesuatu yang dianjurkan dalam agama. Banyak manfaat dari musyawarah.
Alquran dan Alhadist merupakan dua landasan pokok yang harus dijadikan
pedoman hidup. Dengan berpegang teguh pada Alquran dan Alhadist tidak
akan tersesat dalam menjalani kehidupan. Sebagaimana jaminan Rasulullah:
تركت فيكم امرين لن تضلّوا ما ان تمسكتم بهما كتاب الله و سنة نبيه (ر. ملك)
Telah aku tinggalkan bagimu dua perkara, yang tidak akan tersesat kamu
selama berpegang teguh kepadanya, kitabullah dan Sunnah Nabinya.
(HR.Malik)
Demokrasi merupakan suatu bentuk kedaulatan atau kekuasaan yang subjek
dan objeknya pada rakyat. Maksudnya, demokrasi berarti kedaulatan
(pemerintahan) dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Dalam mencapai suatu kesepakatan perlu dilakukan sebuah musyawarah.
Al-Qur’an membahas tentang musyawarah dalam surat Ali Imran ayat 159 dan
Asy-Syura ayat 38.
Kaidah-kaidah dalam demokrasi sejatinya berhubungan dengan masalah
kepemimpinan suatu kaum atau negara. Kaidah-kaidah ini merupakan sifat
dan sikap atau apa yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin tersebut.
Di antara kaidah-kaidah itu antara lain; kesetaraan, musyawarah, mampu
menjaga amanah dan adil, dll.
Kaidah dalam demokrasi yang utama adalah musyawarah. Musyawarah
berkaitan dengan pengambilan keputusan yang dilakukan secara
berkelompok, guna mencapai suatu mufakat bagi kemaslahatan umat. Dalam
musyawarah, setiap orang yang terlibat harus bersikap lembut serta mau
mendengarkan anggota lainnya, sperti yang dilakukan Rasulullah SAW.
Dalam hadits, sebenarnya tidak banyak yang membahas demokrasi. Tapi
banyak hadits yang menyebut tentang musyawarah, yang mana merupakan
bagian dari sebuah sistem demokrasi.
Sebagai contoh kita lihat bagaimana Nabi Sulaiman as. yang begitu besar kekuasaanya bersyukur.
قال الذي عنده علم من الكتاب أنا آتيك به قبل أن يرتد إليك طرفك فلما رآه
مستقرا عنده قال هذا من فضل ربي ليبلوني أأشكر أم أكفر ومن شكر فإنما يشكر
لنفسه ومن كفر فإن ربي غني كريم
“Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: "Aku akan
membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip". Maka tatkala
Sulaiman melihat singgasana itu terletak di hadapannya, iapun berkata:
"Ini termasuk kurnia Tuhanku untuk mencoba aku apakah aku bersyukur atau
mengingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyukur maka
sesungguhnya dia bersyukur untuk (kebaikan) dirinya sendiri dan barang
siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tuhanku Maha Kaya lagi Maha
Mulia".” (QS. An-Naml ayat 40)
Dengan cara mensyukuri nikmat memperoleh kekuasaan ini menjadi pelajaran
bagi kita bahwa kalau tidak demikian pembentukan-pembentukan elit
politik yang tidak tergoyahkan tersebut akan menimbulkan kesombongan dan
semena-mena.
من فرعون إنه كان عاليا من المسرفين
Artinya : “Sesungguhnya dia adalah orang sombong, salah seorang dari orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Ad-Dukhaan ayat 31)
Karena segala apa yang kita perbuat akan dituntut pertanggungjawabannya.
كل نفس بما كسبت رهينة
Artinya : “Tiap-tiap diri bertanggung jawab atas apa yang telah diperbuatnya.” (QS. Al-Muddatsir ayat 38)
Kita sebagai umat Islam seharusnya berpegang teguh terhadap Alquran dan
As-Sunnah. Termasuk didalamnya mengambil keputusan dengan cara
musyawarah. Sesuatu yang datangnya dari agama tidak perlu diragukan
lagi, didalamnya pasti akan membawa banyak manfaat.