Sabtu, 23 Oktober 2021

Kisah Para Ulama Salaf Bertabaruk Pada Makam Wali


Banyak sekali fakta adanya para ulama mutaqaddimin yang melakukan tabarruk di makam seorang ulama, baik melakukan dengan cara membaca al-Quran di samping makamnya, atau berdoa. Ini semua tercantum dalam kitab-kitab tarikh para ulama mu’tabar.‎

Namun entah kenapa fakta ini luput dari pandangan wahabi atau mereka enggan mengakui fakta ini meskipun mereka kadang membacanya dalam kitab-kitab tarikh. Dari sekian banyak puluhan bahkan ratusan yang menyebutkan jumhur ulama melakukan tabarruk dan berdoa di makam seorang shalih, salah satunya adalah kisah yang disebutkan Imam Adz-Dzahabiy rahimahullah:

وقال أبو علي الغساني: أخبرنا أبو الفتح نصر بن الحسن السكتي السمرقندي: قدم علينا بلنسية عام أربعة وستين وأربع مئة.
قال: قحط المطر عندنا بسمرقند في بعض الاعوام، فاستسقى الناس مرارا، فلم يسقوا.
فأتى رجل صالح معروف بالصلاح إلى قاضي سمرقند، فقال له: إني رأيت رأيا أعرضه عليك.
قال: وما هو ؟ قال: أرى أن تخرج ويخرج الناس معك إلى قبر الامام محمد بن إسماعيل البخاري، وقبره بخرتنك، ونستسقي عنده، فعسى الله أن يسقينا.
قال: فقال القاضي: نعم ما رأيت.
فخرج القاضي والناس معه، واستسقى القاضي بالناس، وبكى الناس عند القبر، وتشفعوا بصاحبه، فأرسل الله تعالى السماء بماء عظيم غزير، أقام الناس من أجله بخرتنك سبعة أيام أو نحوها، لا يستطيع أحد الوصول إلى سمرقند من كثرة المطر وغزارته، وبين خرتنك وسمرقند نحو ثلاثة أميال.

Dan telah berkata Abu ‘Aliy Al-Ghassaaniy : Telah mengkhabarkan kepada kami Abul-Fath Nashr bin Al-Hasan As-Sakatiy As-Samarqandiy : “Kami datang dari negeri Valencia (Spanyol) pada tahun 464 H. Selama beberapa tahun hujan tidak turun pada kami di negeri Samarqand. Orang-orang melakukan istisqaa’(shalat meminta hujan) beberapa kali, namun hujan tidak juga turun. Maka, seorang laki-laki shalih yang dikenal dengan keshalihannya mendatangi qaadly negeri Samarqand. Ia berkata : “Sesungguhnya aku mempunyai satu pendapat yang hendak aku sampaikan kepadamu”. Qaadliy berkata : “Apa itu ?”. Ia berkata : “Aku berpandangan agar engkau keluar bersama orang-orang menuju kubur Al-Imaam Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy. Makam beliau ada di Kharantak. Lalu kita melakukan istisqaa’ di sisi kuburnya, semoga Allah menurunkan hujan kepada kita”. Qaadliy berkata : “Ya, aku setuju”.
Maka, sang Qaadliy pun keluar dan diikuti oleh orang-orang bersamanya. Qaadliy tersebut melakukan istisqaa’ bersama orang-orang. Orang-orang menangis di sisi kubur dan meminta syafa’at kepada penghuni kubur (Al-Imaam Al-Bukhaariy). Setelah itu, Allah ta’ala mengutus awan yang membawa hujan sangat lebat. Orang-orang tinggal di Kharantak selama kurang lebih tujuh hari. Tidak seorang pun yang dapat pulang ke Samarqand karena derasnya hujan yang turun. Jarak antara Kharantak dan Samarqand sekitar tiga mil” [Siyaru A’laamin-Nubalaa’, 12/469].

As-Subkiy rahimahullah juga membawakan riwayat ini dalam Thabaqaat Asy-Syaafi’iyyah Al-Kubraa 2/173, dari Abu ‘Aliy Al-Ghassaaniy.

Kisah yang dibawakan oleh adz-Dzahabi dan as-Subuki sanad periwayatannya sahih, riwayat ini telah disebutkan sendiri oleh al-Hafidz Abu Ali al-Ghassani dalam kitabnya Taqyid al-Muhmal wa Tamyiz al-Musykal, beliau mengatakan :

أخبرني أبو الحسن طاهر بن مفوز ابن عبد الله بن مفوز المعافري صاحبنا رحمه الله، قال: أخبرني أبو الفتح وأبو الليث نصر بن الحسن التنكتي المقيم بسمرقند –قدم عليهم بلنسية عام أربعة وستين وأربعمة- قال: قحط المطر عندنا بسمرقند في بعض الأعوام، قال: فاستسقى الناس مرارا فلم يسقوا، قال: فأتى رجل من الصالحين معروف بالصلاح مشهور به إلى قاضي سمرقند، فقال له: إني قد رأيت رأيا أعرضه عليك، قال: وما هو؟ قال: أرى أن تخرج ويخرج الناس معك إلى قبر الإمام محمد بن إسماعيل البخاري رحمه الله- وقبره بخرتنك، ونستسقي عنده، فعسى الله أن يسقينا، قال: فقال القاضي: نعما رأيت. فخرج القاضي وخرج الناس معه، واستسقى القاضي بالناس، وبكى الناس عند القبر، وتشفعوا بصاحبه، فأرسل الله تبارك وتعالى السماء بماء عظيم غزير أقام الناس من أجله بخرتنك سبعة أيام أو نحوها، لا يستطيع أحد الوصول إلى سمرقند من كثرة المطر وغزارته، وبين خرتنك وسمرقند ثلاثة أميال أو نحوها.

“ Telah mengabarkan padaku Abul Hasan Thahir bin Mafuz Ibnu Abdillah bin Mafuz al-Mu’aafiri, sahihb kami –semoga Allah merahmatinya- ia berkata, “ Telah mengabarkan padaku Abul Fath dan Abu al-Laits Nashr bin al-Hasan at-Tankati yang bermukim di Samarqand, ia datang pada mereka di Valencia (Spanyol) tahun 464 H. Selama beberapa tahun hujan tidak turun pada kami di negeri Samarqand. Orang-orang melakukan istisqaa’ (shalat meminta hujan) beberapa kali, namun hujan tidak juga turun. Maka, seorang laki-laki shalih yang dikenal dengan keshalihannya mendatangi qaadly negeri Samarqand. Ia berkata : “Sesungguhnya aku mempunyai satu pendapat yang hendak aku sampaikan kepadamu”. Qaadliy berkata : “Apa itu ?”. Ia berkata : “Aku berpandangan agar engkau keluar bersama orang-orang menuju kubur Al-Imaam Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy. Makam beliau ada di Kharantak. Lalu kita melakukan istisqaa’ di sisi kuburnya, semoga Allah menurunkan hujan kepada kita”. Qaadliy berkata : “Ya, aku setuju”.

Maka, sang Qaadliy pun keluar dan diikuti oleh orang-orang bersamanya. Qaadliy tersebut melakukan istisqaa’ bersama orang-orang. Orang-orang menangis di sisi kubur dan meminta syafa’at kepada penghuni kubur (Al-Imaam Al-Bukhaariy). Setelah itu, Allah ta’ala mengutus awan yang membawa hujan sangat lebat. Orang-orang tinggal di Kharantak selama kurang lebih tujuh hari. Tidak seorang pun yang dapat pulang ke Samarqand karena derasnya hujan yang turun. Jarak antara Kharantak dan Samarqand sekitar tiga mil”‎

1. Abul Hasan Thahir bin Mafuz Ibnu Abdillah bin Mafuz al-Mu’aafiri. Beliau murid al-Hafidz Ibnu Abdil Barr, seorang imam yang terkenal dengan hafalan haditsnya dan kekuatan hafalannya yang kuat (mutqin). Lahir pada tahun 429 H dan wafat pada tahun 484 H.

2. Abul Fath Nashr as-Samarqand adalah seorang syaikh yang agung lagi alim, ahli hadits yang tsiqah, beliau lahir pada tahun 446 H dan wafat pada tahun 486 H.

Maka jelas sekali para perowi ini semuanya tsiqah dan saling bertemu, maka sanad ini tidak lah terputus bahkan bersambung dan saling mendengar dari gurunya.

Ada yang berargumen dan  mengatakan, isi riwayat diatas  bertentangan dengan nash dan atsar :

1.     Kubur Bukan Tempat untuk Shalat.

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ” الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْمَقْبَرَةَ وَالْحَمَّامَ “

Dari Abu Sa’iid, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Bumi ini semuanya merupakan masjid (tempat sujud untuk shalat) kecuali kuburan dan WC” [Diriwayatkan oleh Ahmad 3/83, Abu Daawud no. 495, Ibnu Maajah no. 745, dan yang lainnya].

عَن ابْنِ عُمَرَ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: ” اجْعَلُوا فِي بُيُوتِكُمْ مِنْ صَلَاتِكُمْ، وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا “

Dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Jadikanlah rumah-rumah kalian sebagai tempat untuk shalat, dan jangan menjadikannya sebagai kuburan” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 432 & 1187].

Ibnu Hajar rahimahullah berkata:

اِسْتَنْبَطَ مِنْ قَوْله فِي الْحَدِيث ” وَلَا تَتَّخِذُوهَا قُبُورًا ” أَنَّ الْقُبُور لَيْسَتْ بِمَحَلٍّ لِلْعِبَادَةِ فَتَكُون الصَّلَاة فِيهَا مَكْرُوهَة

“Dari sabda beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam hadits : ‘Dan jangan menjadikannya (rumah) sebagai kuburan’; dapat disimpulkan bahwa kuburan bukan tempat untuk beribadah, sehingga shalat di sana menjadi dibanci” [Fathul-Baariy, 1/529].

Jawaban dari argumen diatas;

Hadits pertama yang dijadikan hujjah kalangan Wahabi, maka al-Hafidz Ibnu Hajar mengomentarinya sebagai berikut :

اْلحَدِيْثُ سِيْقَ فيِ مَقَامِ اْلِامْتِنَانِ فَلاَ يَنْبَغِي تَخْصِيْصُهُ

“ Hadits tersebut (yaitu hadits “ Seluruh bumi dijadikan layak sebagai masjid dan suci bagiku “) adalah dalam maqam imtinan, maka tidak sebaiknya mentakhsis hadits tersebut “. 

Artinya hadits tersebut tidak bisa membatasi keumuman hadits berikut :
جُعِلَتْ لِي الْأَرْض مَسْجِدًا وَطَهُورًا

“ Dijadikan bumi untukku layak sebagai tempat sujud dan bersuci “ (HR. Bukhari)

Lebih jelas imam an-Nawawi mengatakan :

فَإِنْ تَحَقَّقَ أَنَّ اْلَمقْبَرَةَ مَنْبُوْشَةٌ لَمْ تَصِحَّ صَلاَتُهُ فِيْهَا بِلاَ خِلاَفٍ إِذَا لَمْ يُبْسَطْ تَحْتَهُ شَيْءٌ، وَإِنْ تَحَقَّقَ عَدَمُ نَبْشِهَا صَحَّتْ بِلاَ خِلاَفٍ، وَهِيَ مَكْرُوْهَةٌ كَرَاهَةَ تَنْـزِيْهٍ

” Jika yakin pekuburan itu tergali, maka tidak sah sholatnya tanpa khilaf, jika dibawahnya tidak membentangkan sesuatu, namun jika yakin tidak tergali, maka sah solatnya tanpa khilaf, namun makruh tanzih hukumnya “. 

Syaikh Saqar, ketua badan Fatwa al-Azhar mengatakan :

والأئمة الثلاثة قالوا بصحة الصلاة وعدم كراهتها ، اللهم إلا إذا كان القبر أمام المصلى فتكون مكروهة مع الصحة .‏ أما أحمد بن حنبل فهو الذى حرم الصلاة وحكم ببطلانها -‏ ومحل هذا الخلاف إذا كان القبر فى المسجد ، أما إذا كان مفصولاً عنه والناس يصلون فى المسجد لا فى الضريح أو الجزء الموجود فيه القبر فلا خلاف أبدًا فى الجواز وعدم الحرمة أو الكراهة

“Ketiga Imam Madzhab berbedapat tentang keabsahan shalat (di masjid yang ada kuburannya) dan ketidakmakruhannya, kecuali jika kuburannya ada di depan orang yang shalat, maka makruh dan tetap sah.Sedangkan Ahmad bin Hanbal merupakan orang yang mengharamkan dan menghukumi batal shalat tersebut. Keberlakuan khilaf ini bila kuburan ada di dalam masjid, sedangkan bila terpisah darinya, sementara orang-orang shalat di dalam masjid, tidak di dalam area pemakaman atau bagian area yang ada kuburannya, maka tidak khilaf sama sekali dalam kebolehan dan ketidakharaman atau ketidakmakruhan shalat di tempat tersebut.”

Madzhab Hanafiyyah mengatakan : makruh sholat di pemakaman sebab dikhawatirkan ada najis yang keluar dari kuburan, kecuali jika di pemakaman tersebut disediakan tempat sholat, maka hilanglah hokum makruh.

Madzhab Malikiyyah mengatakan : Boleh sholat dipemakaman secara muthlaq, baik pekuburan itu bersih atau terbongkar (manbusyah), pekuburan muslim atau non muslim.

Madzhab Hanabilah mengatakan : Tidak sah sholat di pekuburan yang baru atau pun yang  lama, berulang-ulang pembongkarannya atau pun tidak. Namun tidak mengapa sholat di area yang ada satu atau dua kuburan, karna yang disebut pekuburan adalah terdapat tiga kuburan atau lebih.

‎Tidak mengetahui dalil terhadap sesuatu, bukan berarti sesuatu itu tidak memiliki dalil.  Tidak adanya sesuatu bukan berarti wujud sesuatu itu tidak ada.

Sesuatu yang wujudnya tidak diketahui dengan dalil tertentu (khusus), terkadang diketahui dengan dalil lainnya. Misal, tidak adanya dalil secara akal tentang sesuatu, bukan berarti sesuatu itu tidak ada, karena bisa saja sesuatu itu ada dengan dalil secara nash.

Dalil itu bersifat Thard (الطرد) yakni wujudnya dalil melazimkan wujudnya madlul (sesuatu) dan tidak adanya dalil tidak melazimkan tidak adanya madlul (sesuatu). Misal tentang taqdir, malaikat, jin, alam barzakh dan semisalnya. Dalil ini secara akal tidak bisa ditemukan sebab tidak bisa disaksikan secara fisik. Tapi bukan berarti taqdir, malaikat, jin dan alam barzakh itu tidak ada, karena bisa saja dalil secara akal atas semua itu ada pada orang lainnya, atau dalil secara nash, atau dalil secara penyaksian pada yang lainnya.

Contoh lainnya, Peringatan Maulid. Bagi wahabi tidak menemukan dalillnya secara khusus (meskipun faktanya ada dalil khsusunya yaitu peringatan Nabi sendiri terhadap hari kelahirannya), bukan berarti peringatan Maulid ini terlarang, karena bisa saja ada dalilnya secara umum yaitu dalil bersholawat di waktu kapan pun, dalil membaca sejarah Nabi, dalil membaca al-Quran, dalil memberi nasehat kepada muslimin, dalil berdzikir, dalil silaturahmi, dalil bersedekah dan lainnya.

Demikian juga dalil sholat istisqa di pekuburan, tidak menemukannya si Abul Jauzat terhadap riwayatnya bukan berarti hal itu tidak ada dalilnya, bisa saja Abul Jauza tidak mengetahuinya atau bisa saja menggunakan dalil-dalil umumnya yaitu sholat di manapun tempat yang suci sebagaimana hadits Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam :

جُعِلَتْ لِي الْأَرْض مَسْجِدًا وَطَهُورًا

“ Dijadikan bumi untukku layak sebagai tempat sujud dan bersuci “ (HR. Bukhari)

Ibnul Jauzi mengisahkan sebuah riwayat :
 
قال الواقدي : توفي أبو أيوب عام غزا يزيد بن معاوية القسطنطنية في خلافة أبيه معاوية سنة اثنتين وخمسين، وصلى عليه يزيد وقبره بأصل حصن القسطنطنية بأرض الروم، فلقد بلغنا أن الروم يتعاهدون قبره ويزورونه ويستسقون به إذا قحطوا

“ Al-Waqidi mengatakan, “ Abu Ayyub al-Anshari wafat di tahun saat berperangnya Yazid bin Mu’awiyyah di Konstatinopel pada masa khilafah Ayahnya Mu’awiyyah tahun 52 H, kemudian Yazid menyolatinya. Kuburnya berada di pusat benteng Konstantinopel di bumi Romawi. Sungguh telah sampai pada kami bahwa kaum Muslim Romawi memperhatikan kuburannya dan berziarah padanya dan juga melakukan sholat istisqa (dengan bertawassul dengannya) jika terjadi musim paceklik “.

Umar bin Khaththab tidak bertawassul kepada Nabi bukan berarti itu sebuah larangan bertawassul kepada Nabi.

Al-Imam an-Nawawi mengatakan :

ثُمَّ يَرْجِعُ اِلىَ مَوْقِفِهِ اْلاَوَّلِ قُبَالَةَ وَجْهِ رَسُوْلِ للهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَيَتَوَسَّلُ بِهِ فيِ حَقِّ نَفْسِهِ وَيَتَشَفَّعُ بِهِ اِلىَ رَبِّهِ سُبْحَانَهُ وَتَعَالىَ

“ Dan kembali ke tempatnya semula menghadap wajah Rasullah shallahu ‘alaihi wa sallam dan bertawassul via Nabi untuk haq dirinya serta memohon syafa’at via Nabi kepada Allah Ta’aala “.

Imam Nawawi juga menyebutkan kisah al-Utbi yang datang curhat ke makam Nabi dan bertawassul kepadanya. Kisah ini sangatlah masyhur disebutkan dalam banyak oleh para ulama di antaranya oleh imam Ibnu Asakir dalam Tarikhnya, Ibnul Jauzi dalam Mustir al-Gharam, Ibnu Quddamah al-Hanbali dalamMughninya, al-Hafidz asy-Syakhawi dalam al-Qaul al-Badi’ fish shalah ‘alal Habib asy-Syafi’, al-Hafidz Ibnu Kastir dalam Tafsirnya di surat an-Nisa, al-Bahuti al-Hanbali dalam kitabKisyaaful Qina’, dan banyak lagi yang lainnya.

Al-Imam Abul Husain al-Imrani (w 558 H) berkata :

وَيُسْتَحَبُّ اَنْ يَسْتَسْقِىَ بِاَهْلِ الصَّلاَحِ مِنْ اَقْرِبَاءِ رَسُوْلِ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَمَّا رُوِيَ اَنَّ عُمَرَ اِسْتَسْقىَ بِالْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ اْلمُطَّلِبِ

“ Dan dianjurkan melakukan istisqa dengan bertawassul dengan orang shaleh dari kerabat Rasulullah shallahu ‘alaihi wa salam, karena ada riwayat bahwa Umar bertawassul kepada Abbas bin Abdul Muththlib “.

Imam Sufyan bin Uyainah juga pernah mengatakan berkata :

رَجُلاَنِ صَالِحَانِ يُسْتَسْقىَ بِهِمَا اِبنُ عُجْلاَن ، وَيَزِيدْ بنْ يَزِيْد بنْ جَابِرْ

“ Dua orang yang shalih yang akan turun hujan dengan sebab keduanya yaitu Ibnu Ujlaan dan Yazid bin Yazid bin Jabir “.

Ini adalah nyata-nyata tawassul dengan dzat kedua orang shalih tersebut.

Dan pada hakekatnya karomah al-Abbas, Ibnu ‘Ujlan, Yazid bin Yazid atau ulama shalih lainnya merupakan bagian dari mu’jizat Nabi shallhu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana penjelasan al –Imam al-Hafidz Ibnu Sholah berikut ini :

وَذَلِكَ أَنَّ كَرَامَاتِ اْلأَوْلِيَاءِ مِنْ أُمَّتِهِ وَإِجَابَاتِ اْلمُتَوَسِّلِيْنَ بِهِ فيِ حَوَائِجِهِمْ وَمَغُوْثَاتِهِمْ عَقِيْبَ تَوَسُّلِهِمْ بِهِ فيِ شَدَائِدِهِمْ بَرَاهِيْنُ لَهُ صَلىَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَوَاطِعُ وَمُعْجِزَاتٌ لَهُ سَوَاطِعُ وَلاَ يَعُدُّهَا عَدٌّ وَلاَ يَحْصُرُهَا حَدٌّ أَعَاذَنَا اللهُ مِنَ الزَّيْغِ عَنْ مِلَّتِهِ وَجَعَلَنَا مِنَ اْلمُهْتَدِيْنَ اْلهَادِيْنَ بِهَدْيِهِ وَسُنَّتِهِ

“ Demikian itu bahwa karamah para wali Allah dari umatnya, dan terkabulnya hajat-hajat orang-orang yang bertawassul dengan mereka ketika dalam keadaan susah, merupakan bukti yang kuat dan mu’jizat yang terang, yang tidak mampu dihitungnya, kita berlindung kepada Allah dari menyimpang dari ajarannya dan menjadikan kami termasuk orang yang mendapat hidayat dengan petunjuknya dan sunnahnya “

Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab Sahihnya Bab al-Libaas pernah bahwa Asma’ binti Abu Bakr  pernah menunjukkan pada Abdulah ,bekas budaknya, jubah Rasulullah yang terbuat dari kain Persia dengan kain leher dari kain brokat, dan lengannya juga dibordir dengan kain brokat seraya berkata “Ini adalah jubah Rasulullah yang disimpan ‘Aisyah  hingga wafatnya lalu aku menyimpannya. Nabi dulu biasa memakainya, dan kami mencucinya untuk orang yang sakit hingga mereka dapat sembuh karenanya.”

Imam Nawawi  mengomentari hadits ini dalam Syarah Sahih Muslim jilid 7 halaman 145:

وفي هذا الحديث دليل على استحباب التبرك بآثار الصالحين وثيابهم

“Hadits ini adalah bukti dianjurkannya mencari barokah lewat bekas dari orang-orang saleh dan pakaian mereka”

Dalam kitab yang sama, Imam Nawawi menulis setidaknya 11 kali anjuran untuk mencari berkah dari bekas orang-orang Saleh. Ini adalah dalil akurat bahwa tabarruk tidak terbatas pada masa hidup Rasulullah saw dan dianjurkannya bertabarruk dengan orang-orang saleh. Hal ini juga dilalakukan Imam Syafii  dengan bertabarruk pada gamis Imam Ahmad bin hanbal sebagaimana dalam kitab Tarikh Dimasyqi :

قال لي الربيع: إن الشافعي خرج إلى مصر وأنا معه فقال لي: يا ربيع خذ كتابي هذا ، فامض به وسلمه إلى أبي عبدالله أحمد بن حنبل، وائتني بالجواب. قال الربيع: فدخلت بغداد ومعي الكتاب، فلقيت أحمد بن حنبل صلاة الصبح، فصلّيت معه الفجر، فلما انفتل من المحراب سلّمت إليه الكتاب، وقلت له: هذا كتاب أخيك الشافعي من مصر، فقال أحمد: نظرت فيه قلت: لا، فكسر أبو عبدالله الختم وقرأ الكتاب، وتغرغرت عيناه بالدموع، فقلت: إيش فيه يا أبا عبدالله قال: يذكر أنه رأى النبي (صلى الله عليه وسلم) في النوم، فقال له: اكتب إلى أبي عبدالله أحمد بن حنبل، واقرأ عليه مني السلام، وقل: إنك ستُمتحن وتدعى إلى خلق القرآن فلا تجبهم، فسيرفع الله لك علماً إلى يوم القيامة. قال الربيع: فقلت: البشارة، فخلع أحد قميصيه الذي يلي جلده ودفعهُ إليّ، فأخذته وخرجت إلى مصر، وأخذت جواب الكتاب فسلّمته إلى الشافعي، فقال لي الشافعي: يا ربيع إيش الذي دفع إليك قلت: القميص الذي يلي جلده، قال الشافعي: ليس نفجعك به، ولكن بُلّه وادفع إليّ الماء لأتبرك به.  شرح النووي على مسلم – (7 / 145

Artinya: Berkata  Rabi’: “Sesungguhnya Imam Syafi’i pergi ke Mesir bersamaku, lalu berkata kepadaku: “Wahai Rabi’, ambil surat ini dan serahkan kepada Imam Ahmad bin Hanbal, selanjutnya datanglah kepadaku dengan membawa jawabannya!” Ketika memasuki kota Baghdad kutemui Imam Ahmad sedang shalat subuh, maka aku pun shalat di belakang beliau. Setelah beliau hendak beranjak dari mihrab, aku serahkan surat itu, “Ini surat dari saudaramu Imam Syafi’i di Mesir,” kataku. “Kau telah membukanya?” tanya Imam Ahmad. “Tidak, wahai Imam”. Abu Abdullah (imam Ahmad) membuka dan membaca isi surat itu, kemudian kulihat beliau berlinang air mata. “Apa isi surat itu wahai Aba Abdullah (Imam Ahmad) ?” tanyaku. Dia (imam Ahmad) berkata; “Isinya menceritakan bahwa Imam Syafi’i bermimpi Rasulullah saw, beliau (saw) berkata: “Tulislah surat kepada Ahmad bin Hanbal dan sampaikan salamku kepadanya. Kabarkan padanya bahwa dia akan mendapatkan cobaan, yaitu dipaksa mengakui bahwa al-Qur’an adalah mahluk, maka janganlah di-ikuti, Allah akan meninggikan ilmunya hingga hari kiamat,” ‘Ini  suatu kabar gembira’, kataku. Lalu beliau menuliskan surat balasan seraya memberikan padaku qamis yang melekat di kulitnya. Aku pun mengambil surat itu dan menyerahkannya kepada Imam Syafi’i. ‘Apa yang diberikan Imam Ahmad padamu?’ tanya Imam Syafi’i. “Gamis yang melekat dengan kulit beliau,” jawabku. “Kami tidak akan merisaukanmu, tapi basahi gamis ini dengan air, lalu berikan kepadaku air itu untuk bertabarrukdengannya,” kata beliau (Imam Syafii).

Dinukil dari Syeikh al-Allamah Ahmad bin Muhamad al-Maqri (al-Maliki) –wafat tahun 1041 H– dalam kitab Fathu al-Muta’al bi Shifat an-Ni’al, dinukil dari Waliyuddin al-Iraqi yang menyatakan: al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala menyatakan: “Aku melihat ungkapan Ahmad bin Hanbal pada cetakan/ bagian lama (juz’ qodim) dimana terdapat tulisan tanganKhath bin Nashir (Keterangan: beliau adalah al-Hafidh Muhammad bin Nashir Abul Fadhl al-Baghdadi wafat tahun 505 H dimana Ibnu Jauzi dalam kitab al-Muntadham jilid: 18 halaman: 103 Nomer: 4201 menjelaskan bahwa beliau adalah hafidh [penghapal/penjaga] yang kuat dan dapat dipercaya) dan dari beberapa al-Hafidh lainnya yang menyatakan bahwa; ‘Sesungguhnya Imam Ahmad (bin Hanbal) pernah ditanya tentang mencium kubur Nabi dan mencium mimbar nya. Lalu beliau berfatwa: Hal itu tidak mengapa’”.

Ia (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata: “Aku tunjukkan hal itu kepada at-Taqi Ibnu Taimiyah kemudian dia terkejut dengan hal itu dengan menyatakan:

‘Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya’. Kemudian (al-Hafidh Abu Sa’id bin al-‘Ala) berkata lagi: ‘Adakah keanehan dari hal itu sedang kita telah mengisahkan berkaitan dengan Ahmad bahwa ia telah mencuci baju as-Syafi’i (Ibn Idris) dan lalu meminum air bekas cucian tadi’ “.(Lihat: Manaqib Ahmad karya Ibnu Jauzi halaman: 609, atau Al-Bidayah waan-Nihayah karya Ibnu Katsir jilid: 1 halaman: 365 pada kejadian tahun 241 H).

LIhat riwayat ini, Ibnu Taimiyah dikala mendengar bahwa Imam Ahmad berfatwa membolehkan tabarruk terhadap kuburan Rasulallah saw.dan Imam Ahmad sendiri bertabarruk dari perasan cucian baju Imam Syafi’i, ia hanya mengatakan: “Aku heran dengan Ahmad yang sangat mulia disisiku, begini ungkapannya atau kandungan ungkapannya”? Kalau memang ini bid’ah dan syirik mengapa Ibnu Taimiyyah tidak mengatakan: “Imam Ahmad telah melakukan bid’ah atau syirik dan ia adalah ahli bid’ah dan musyrik yang ajarannya harus dijauhi bahkan diperangi dan darah serta hartanya halal !”.

Tabarruk dengan petilasan/bekas orang-orang wali dan shalih itu juga di perkenankan oleh syariat. Imam Al-Hafidz Al’Iraqi dalam kitabnya yang berjudul Fathul Muta’al meriwayatkan bahwa Ahmad bin Hanbal memperbolehkan orang mencium makam Rasulallah saw., makam para waliyullah dan orang shalih lainnya, sebagai tabarruk. Ketika Ibnu Taimiyah melihat orang berbuat seperti itu, ia keheran-heranan. Selanjutnya Imam Al’Iraqi berkata padanya : “Apa anehnya? Bukankah kami telah meriwayatkan bahwa Imam Ahmad bin Hanbal bertabarruk dengan minum air bekas cucian baju Imam Syafi’i ? Bahkan Ibnu Taimiyah sendiri juga meriwayatkan, bahwa Imam Ahmad bin Hanbal bertabarruk dengan petilasan Imam Syafi’i.

Dalam kitab Al-Hikayatul Mantsurah imam ahli hadits yang bernama Al-Hafidz Ad-Dhiya Al-Maqdisy mengatakan bahwa Imam Abdulghani Al-Hanbali ketika menderita penyakit bisul lama tak dapat sembuh, ia bertabarruk dengan mengusapkan bisulnya pada makam Imam Ahmad bin Hanbal, dan ternyata segera sembuh.

Oleh karena itu ketika Adz Dzahabi membawakan perkataan dari Ibrahim Al Harbi yang berbunyi:

قبر معروف الترياق المجرب

“Kuburan Ma’ruf Al Kharki adalah obat yang mujarab”

Adz Dzahabi rahimahullah mengomentari:

يريد إجابة دعاء المضطر عنده، لأن البقاع المباركة يستجاب عندها الدعاء، كما أن الدعاء في السحر مرجو، ودبر المكتوبات، وفي المساجد بل دعاء المضطر مجاب في أي مكان اتفق

“Yang dimaksud adalah terkabulnya doa di samping kuburnya. Karena sebidang tanah yang diberkahi membuat doa dikabulkan di sana. Sebagaimana doa di waktu sahur dikabulkan, juga doa di ujung shalat, doa di masjid bahkan doa dalam keadaan terdesak akan dikabulkan dimanapun tempat yang disepakati”

Imam Asy Syaukani rahimahullah dalam kitabnya, Tuhfatu Adz Dzakirin, ketika menjelaskan perkataan Ibnul Jauzi yang terdapat dalam kitab Hisnul Hushain, yaitu Ibnul Jauzi berkata:

وجرب استجابة الدعاء عند قبور الصالحين

“Terkabulnya doa di sisi kubur orang shalih”

Asy Syaukani menjelaskan:

وجه ذلك مزيد الشرف ونزول البركة، وقد قدمنا أنها تسري بركة المكان على الداعي، كما تسري بركة الصالحين الذاكرين الله سبحانه على من دخل فيهم ممن ليس هو منهم، كما يفيده قوله صلى الله عليه وسلم: هم القوم لا يشقى بهم جليسهم

“Hal tersebut dikarenakan adanya tambahan keutamaan dan turunnya berkah di sana. Telah kami jelaskan bahwa hal tersebut bisa mengalir pada orang-orang yang berdoa di sana. Sebagaimana berkah para ulama yang shalih juga mengalir pada orang-orang yang datang ke majelis mereka, meskipun yang datang bukan termasuk orang shalih. Sebagaimana salah satu makna dari hadits Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam: ‘Para ulama, merekalah orang-orang yang jika membuat majelis, maka orang-orang yang hadir di dalamnya tidak akan kehausan‘”

لكن ذلك بشرط أن لا تنشأ عن ذلك مفسدة، وهي أن يعتقد في ذلك الميت ما لا يجوز اعتقاده، كما يقع لكثير من المعتقدين في القبور، فإنهم قد يبلغون الغلو بأهلها إلى ما هو شرك بالله عز وجل، فينادونهم مع الله ويطلبون منهم ما لا يطلب إلا من الله عز وجل، وهذا معلوم من أحوال كثير من العاكفين على القبور، خصوصا العامة الذين لا يفطنون لدقائق الشرك، وقد جمعت في ذلك رسالة مطولة سميتها: الدر النضيد في إخلاص التوحيد

“Namun, hal tersebut disyaratkan tidak terjadi kerusakan di dalamnya. Kerusakan yang dimaksud adalah memiliki keyakinan yang tidak boleh diyakini berkaitan dengan si mayit, sebagaimana yang banyak terjadi pada orang-orang yang berdoa di sisi kubur. Mereka terkadang berlebihan terhadap si mayit yang ada di dalam kubur sampai tergolong sesuatu yang merupakan kesyirikan. Selain berdoa dengan memanggil nama Allah, mereka juga memanggil nama si mayit. Mereka juga meminta kepada si mayit, yang permintaan itu sejatinya hanya dapat dikabulkan oleh Allah semata. Ini fakta yang terjadi pada kebanyakan orang sering yang beri’tikaf di kuburan. Terutama orang-orang awam yang mereka tidak memahami tentang kesyirikan secara terperinci. Dan saya telah membahas fenomena ini dalam sebuah tulisan yang saya beri judul Ad Darr An Nadhid Fii Ikhlasi At Tauhid” [sampai di sini perkataan Asy Syaukani]

Kita sayangkan, golongan pengingkar berwatak keras kepala, dan merasa paling benar sendiri, paling suci dan paling memahami syari’at Islam. Sayang sekali masih ada kelompok muslimin yang terpengaruh dan mengikuti ajaran-ajaran golongan ini. Semoga kita semua diberi hidayah oleh Allah swt. sehingga bisa menjalani agama Islam yang benar. Amin.

Penjelasan Tentang Sifat Maha Melihat Alloh Bukanlah Mata Seperti Pendapat Mujasimah


Ada yang mengatakan bahwa ayat ini menunjukkan kalau Alloh Punya Mata. Padahal ayat ini bercerita tentang Bahtera Nabi Nuh As
Allah ta’ala berfirman :
وَاصْنَعِ الْفُلْكَ بِأَعْيُنِنَا وَوَحْيِنَا وَلا تُخَاطِبْنِي فِي الَّذِينَ ظَلَمُوا إِنَّهُمْ مُغْرَقُونَ
“Dan buatlah bahtera itu dengan (pengawasan) mata-mata dan petunjuk wahyu Kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang yang lalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan” [QS. Huud : 37].
Sebagian ulama Salaf mengatakan bahwa Allah memerintahkan Nabi Nuh agar menanam pohon-pohonan; setelah besar ditebang, lalu dike­ringkan; hal ini memakan waktu seratus tahun. Kemudian Nabi Nuh meng­gergaji, menyerutnya, dan menghaluskannya selama seratus tahun lagi; sedangkan menurut pendapat lain adalah empat puluh tahun.

Muhammad ibnu Ishaq telah menceritakan dari kitab Taurat, bahwa Allah Swt. memerintahkan Nuh untuk membuat bahtera itu dari kayu saj (jati) dengan panjang delapan puluh hasta dan lebar lima puluh hasta, dan hendaknya bahtera itu dicat dengan gar (ter) bagian luar dan dalamnya, hendaknya pula dibuatkan anjungan buat membelah air.

Qatadah mengatakan bahwa bahtera Nabi Nuh mempunyai panjang tiga ratus hasta dan lebarnya lima puluh hasta.

Dari Al-Hasan, disebutkan bahwa panjangnya enam ratus hasta dan lebarnya tiga ratus hasta. Juga dari Al-Hasan dan Ibnu Abbas, disebut­kan bahwa panjangnya seribu dua ratus hasta dan lebarnya enam ratus hasta. Sedangkan menurut pendapat lain, panjangnya dua ribu hasta, dan lebarnya seratus hasta.

Semuanya mengatakan bahwa tinggi bahtera Nabi Nuh adalah tiga puluh hasta, terdiri atas tiga tingkat, setiap tingkat mempunyai tinggi sepuluh hasta. Tingkatan yang paling bawah untuk hewan dan binatang liar, yang tengah untuk manusia, sedangkan yang atas untuk burung-burung. Disebutkan pula bahwa pintunya berada di bagian tengahnya, bagian atas bahtera itu beratap.

Imam Abu Ja'far ibnu Jarir telah menyebutkan sebuah asar yang garib melalui hadis Ali ibnu Zaid ibnu Jad'an, dari Yusuf ibnu Mahran, dari Abdullah ibnu Abbas. Disebutkan bahwa Ibnu Abbas telah mengatakan bahwa kaum Hawariyyin berkata kepada Isa ibnu Maryam, "Sebaiknya engkau mengirimkan seorang lelaki sebagai wakil dari kita semua untuk melihat bahtera itu, lalu dia akan menceritakannya kepada kita." Maka Isa ibnu Maryam membawa serta mereka pergi hingga sampai di sebuah bukit pasir, lalu Isa mengambil segenggam pasir dengan telapak tangannya dan berkata, "Tahukah kalian, apakah ini?" Mereka menjawab, "Allah dan utusan-Nya lebih mengetahui." Isa . menjawab, "Ini adalah mata kaki Ham ibnu Nuh."

Kemudian Nabi Isa memukul bukit pasir itu dengan tongkatnya seraya bersabda, "Berdirilah dengan seizin Allah." Tiba-tiba berdirilah Ham seraya menepiskan pasir yang ada di kepalanya yang telah beruban. Isa bertanya kepadanya, "Apakah dalam keadaan seperti ini ketika kamu mati?" Ham ibnu Nuh menjawab, "Tidak, aku meninggal dunia dalam usia yang masih muda. Tetapi aku menduga bahwa kematian itu merupakan hari kiamat, karena itulah maka aku beruban."

Isa bertanya, "Ceritakanlah kepada kami tentang bahtera Nabi Nuh." Ham ibnu Nuh menjawab, "Panjangnya adalah seribu dua ratus hasta dan lebarnya enam ratus hasta. Bahtera itu terdiri atas tiga tingkat, salah satunya untuk hewan dan binatang liar, yang lainnya untuk manusia, dan yang terakhir untuk burung-burung."

Ham melanjutkan kisahnya, "Setelah kotoran hewan terlalu banyak, maka Allah menurunkan wahyu kepada Nuh a.s., memerintahkan kepadanya agar menggelitiki ekor gajah. Maka Nuh a.s. menggelitikinya, lalu dari ekor gajah itu keluarlah seekor babi betina yang langsung melahap kotoran tersebut. Dan ketika tikus-tikus muncul di dalam bahtera itu, mereka menggerogoti kayu-kayu dan tali temalinya. Maka Allah menu­runkan wahyu kepada Nuh a.s., memerintahkannya agar memukul wajah singa di antara kedua matanya. Maka Nuh a.s. memukulnya, dan keluarlah burung elang jantan dan betina dari hidung singa itu, lalu keduanya me­nyambar tikus-tikus tersebut.

Isa berkata kepada Ham, "Bagaimanakah Nuh mengetahui bahwa daratan telah tenggelam?" Ham menjawab, "Nuh a.s. mengutus burung gagak yang menyampaikan berita kepadanya. Tetapi burung gagak itu menjumpai bangkai, lalu burung gagak itu hinggap padanya dan mema­kannya, maka Nuh a.s. berdoa kepada Allah, semoga burung gagak selalu dicekam rasa takut. Karena itulah burung gagak tidak biasa tinggal di rumah-rumah.

Kemudian Nuh a.s. mengirimkan burung merpati, lalu burung merpati itu datang dengan membawa daun pohon zaitun pada paruhnya dan daun pohon tin pada kakinya. Karena itulah Nuh a.s. mengetahui bahwa seluruh negeri telah tenggelam. Lalu Nabi Nuh a.s. mengalung­kan ikat pinggangnya pada leher burung merpati dan mendoakannya agar hidupnya selalu dalam aman dan jinak. Karena itulah maka burung-burung merpati biasa tinggal di rumah-rumah."

Kaum Hawariyyin berkata, "Wahai utusan Allah, bolehkah kami membawa Ham ini kepada keluarga kami dan duduk bersama kami seraya bercerita kepada kami?" Isa menjawab, "Mana mungkin orang yang tidak mempunyai rezeki dapat mengikuti kalian?" Maka Nabi Isa berkata kepada Ham, "Kembalilah kamu seperti semula dengan seizin Allah!" Maka kembalilah Ham dalam bentuk semulanya, yaitu berupa pasir.
 Dari penafsiran ayat Tersebut jelas Mata di situ adalah pengawasan Alloh.
حدثنا محمد بن عبد الأعلى قال ، حدثنا محمد بن ثور، عن معمر، عن قتادة في قوله:(بأعيننا ووحينا) ، قال: بعين الله ووحيه.
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin ‘Abdil-A’laa, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Tsaur, dari Ma’mar, dari Qataadah tentang firman-Nya : ‘dengan (pengawasan) dan petunjuk wahyu Kami’, ia berkata : “Dengan mata Allah dan wahyu-Nya” [Diriwayatkan oleh Ibnu Jariir dalam Tafsir-nya, 15/309 no. 18131; shahih].
وَاصْبِرْ لِحُكْمِ رَبِّكَ فَإِنَّكَ بِأَعْيُنِنَا وَسَبِّحْ بِحَمْدِ رَبِّكَ حِينَ تَقُومُ
“Dan bersabarlah dalam menunggu ketetapan Tuhanmu, maka sesungguhnya kamu berada dalam penglihatan (pengawasan) Kami, dan bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu ketika kamu bangun berdiri” [QS. Ath-Thuur : 48].
حدثنا موسى بن إسماعيل: حدثنا جويرية، عن نافع، عن عبد الله قال: ذكر الدجال عند النبي صلى الله عليه وسلم، فقال: (إن الله لا يخفى عليكم، إن الله ليس بأعور - وأشار بيده إلى عينه - وإن المسيح الدجال أعور العين اليمنى، كأن عينه عنبة طافية).
Telah menceritakan kepada kami Muusaa bin Ismaa’iil : Telah menceritakan kepada kami Juwairiyyah, dari Naafi’, dari ‘Abdullah (bin ‘Umar), ia berkata : Disebutkan Dajjaal di sisi Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak tersembunyi dari kalian. Sesungguhnya Allah itu tidak buta sebelah matanya – lalu beliau berisyarat dengan tangannya ke matanya - . Dan bahwasannya Al-Masiih Ad-Dajjaal itu buta sebelah matanya yang kanan seakan-akan matanya itu seperti buah anggur yang mengapung (menonjol keluar)” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 7407].

Hadits di atas sama sekali tidak menunjukkan dalil Allah memiliki mata secara makna zahir nash tersebut. Akan tetapi justru menunjukkan beberapa perkara berikut :

1. Bahwa Allah maha suci dari sifat kekurangan / aib, seperti buta sebelah (a’war). 

2. A’war (picek atau buta sebelah) adalah sifat kemanusiaan dajjal. Maka jika dajjal mengaku Tuhan, dapat diketaui kedustaannya dengan sifat ke-a’waran dajjal tersebut. Maka hadits ini menggambarkan tentang mata dajjal bukan mata Allah.

3. Hadits tersebut sama sekali bukan sedang menjelaskan sifat Allah akan tetapi sedang menjelaskan sifat dajjal. Isyarah kepada mata adalah bukan menjelaskan kepada sifat mata Allah, akan tetapi menjelaskan sifat mata dajjal yang mata sebelah kanannya cacat. Hadits ini membicarakan ciri mata dajjal, kenapa dijadikan hujjah bagi mata Allah ??

Yang menjadikan dalil hadits di atas sebagai dalil penetapan mata Allah yang berbentuk jarihah (organ) adalah hanyalah kaum Mujassimah. Perhatikan ucapan para imam besar ini :

وقال بن بطال احتجت المجسمة بهذا الحديث وقالوا في قوله [وأشار بيده إلى عينه] دلالة على ان عينه كسائر 
الأعين وتعقب باستحالة الجسمية عليه لأن الجسم حادث وهو قديم فدل على ان المراد نفي النقص عنه انتهى

“ Ibnu Bththal berkata : “ Kaum Mujassimah berhujjah dengan hadits tersebut dan mereka mengatakan tentang ucapan ini, “ Dan beliau mengisyaratkan tangan ke matanya “, adalah dalil seperti mata lainnya. Lalu (Ibnu Baththal) mengomentarinya dengan kemustahilan jisim bagi Allah, keraan jisim itu menunjukkan baharu sedangkan Allah Maha Dahulu, maka menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah menafikan sifat kekurangan dari Allah “. (selesai) “. 

Ibnu Baththal mengaskan bahwa yang menjadikan hujjah dengan hadits di atas untuk menetapakan makna zahir dari ‘ain hanyalah kaum mujassimah seperti kaum wahabi ini.

حدثنا علي بن نصر ومحمد بن يونس النسائي المعنى قالا ثنا عبد الله بن يزيد المقرئ ثنا حرملة يعني بن عمران حدثني أبو يونس سليم بن جبير مولى أبي هريرة قال سمعت أبا هريرة يقرأ هذه الآية إن الله يأمركم أن تؤدوا الأمانات إلى أهلها إلى قوله تعالى سميعا بصيرا قال : رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يضع إبهامه على أذنه والتي تليها على عينه قال أبو هريرة رأيت رسول الله صلى الله عليه وسلم يقرؤها ويضع إصبعيه قال بن يونس قال المقرئ يعني إن الله سميع بصير يعني أن لله سمعا وبصرا
قال أبو داود وهذا رد على الجهمية

Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Nashr dan Muhammad bin Yuunus An-Nasaa’iy secara makna, mereka berdua berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Yaziid Al-Muqri’ : Telah menceritakan kepada kami Harmalah, yaitu Ibnu ‘Imraan : Telah menceritakan kepadaku Abu Yuunus Sulaim bin Jubair maulaa Abu Hurairah, ia berkata : Aku mendengar Abu Hurairah membaca ayat ini : ‘Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya’ hingga firman-Nya ta’ala : ‘Maha Mendengar lagi Maha Melihat’ (QS. An-Nisaa’ : 58). Ia (Abu Hurairah) berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam meletakkan ibu jarinya pada telinganya, dan jari telunjuknya ke matanya”. Abu Hurairah berkata : “Aku melihat Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat itu seraya meletakkan kedua jarinya tersebut”. Ibnu Yuunus berkata : Berkata Al-Muqri’ : “Yaitu,sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan Maha Melihat, yaitu Allah mempunyai pendengaran dan penglihatan”.
Abu Daawud berkata : “Hadits ini merupakan bantahan terhadap sekte Jahmiyyah” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 4728].
Hadits di atas merupakan penunjukkan yang jelas dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam(dan juga para perawi hadits dari kalangan shahabat dan ulama setelahnya) bahwasannya Allah ta’ala benar-benar mempunyai mata secara hakiki, bukan dalam arti majaz seperti persangkaan sebagian orang. Adapun perkataan Abu Daawud bahwa hadits tersebut merupakan bantahan terhadap sekte Jahmiyyah, hal itu dikarenakan mereka menafikkan sifat dzaatiyyah ini dari Allah ‎ta’ala.
Di antara perkataan para imam Ahlus-Sunnah tentang penetapan sifat pengawasan bagi Allah ta’ala :
Ibnu Khuzaimah rahimahullah berkata :
فواجب على كل مؤمن أن يثبت الخالقه وبارئه ما ثبّت الخالق البارئ لنفسه، من العين، غير مؤمن : من ينفي عن الله تبارك وتعالى ما قد ثبته الله في محكم تنزيله، ببيان النبي صلى الله عليه وسلم الذي جعله الله مبينًا عنه، عز وجل، في قوله : (وأنزلنا إليك الذكر لتبين للناس ما نزل إليهم)، فبين النبي صلى الله عليه وسلم أن الله عينين، فكان بيانه موافقًا لبيان محكم التنزيل، الذي هو مسطور بين الدفتين، مقروء في المحاريب الكتاتيب.
“Maka, wajib bagi setiap mukmin untuk menetapkan bagi Al-Khaaliq Al-Baari (Allah) apa-apa yang telah ditetapkan oleh Al-Khaaliq Al-Baari bagi diri-Nya, yaitu sifat ‘ain (mata). Sebaliknya, bukan termasuk golongan mukmin orang yang menafikkan dari Allah tabaaraka wa ta’ala apa-apa yang telah ditetapkan oleh Allah di dalam Muhkam At-Tanzil-Nya (Al-Qur’an) dan ditambah penjelasan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang memang dijadikan Allah sebagai juru penerang untuk setiap khabar yang berasal dari-Nya, melalui firman-Nya : ‘Dan Kami turunkan kepadamu Al Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka’ (QS. An-Nahl : 44). Maka, Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam pun menjelaskan bahwa bagi Allah itu mempunyai dua mata, dan penjelasannya itu sejalan dengan penjelasan Muhkam At-Tanzil (Al-Qur’an) yang tertera di antara lembaran-lembaran yang dibaca di mihrab-mihrab ataupun di tempat-tempat pengajian” [Kitaabut-Tauhiid wa Itsbaati Shifaatir-Rabb ‘Azza wa Jalla, hal. 97].
Abul-Hasan Al-Asy’ariy rahimahullah berkata :
وأن له سبحانه عينين بلا كيف، كما قال سبحانه: (تجري بأعيننا).
“Bahwasannya Allah subhaanahu wa ta’ala mempunyai dua mata tanpa perlu ditanyakan bagaimananya (kaifiyah-nya), sebagaimana Allah subhaanahu wa ta’ala berfirman : ‘Yang berlayar dengan pemeliharaan (pengawasan mata) Kami” (QS. Al-Qamar : 14)” [Al-Ibaanah, hal. 9].‎

Walaupun begitu, sifat bashiroh yang dimiliki Allah ta’ala berbeda dengan makhluk-Nya, sebagaimana firman-Nya ta’ala :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” [QS. Asy-Syuuraa : 11].

Al-Hafidz imam Ibnu Hajar al-Atsqalani juga pernah ditanya tentang penyikapan hadits tersebut, kita tengok jawaban seoang imam besar hadits ini :‎

وقد سئلت هل يجوز لقارئ هذا الحديث ان يصنع كما صنع رسول الله صلى الله عليه و سلم ؟فأجبت وبالله التوفيق انه ان حضر عنده من يوافقه على معتقده وكان يعتقد تنزيه الله تعالى عن صفات الحدوث وأراد التأسي محضا جاز والأولى به الترك خشية ان يدخل على من يراه شبهة التشبيه تعالى الله عن ذلك ولم أر في كلام أحد من الشراح في حمل هذا الحديث على معنى خطر لي فيه اثبات التنزيه وحسم مادة التشبيه عنهوهو ان الإشارة إلى عينه صلى الله عليه و سلم انما هي بالنسبة الي عين الدجال فانها كانت صحيحة مثل هذه ثم طرأ عليها العور لزيادة كذبه في دعوى الإلهية وهو انه كان صحيح العين مثل هذه فطرأ عليها النقص ولم يستطع دفع ذلك عن نفسه
“ Aku (Ibnu Hajar) pernah ditanya : “ Apakah boleh bagi orang yang membaca hadits ini untuk berbuat / bertindak sebagaimana tindakan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam (dalam menyampaikan hadits itu dengan isyarah) ?? Maka aku jawab dengan mengharap taufiq Allah : “ Sesungguhnya jika di hadapannya adalah orang yang sesuai dengan akidahnya dan berkyakinan Allah Maha Suci dari sifat baharu, dan semata-mata hanya mengikuti Nabi saja, maka boleh melakukan hal itu akan tetapi yang lebih utama adalah meninggalkannya (tidak melakukan isyarah tersebut) karena khawatir orang yang melihatnya akan mengasumsi syubhat tasybih (penyerupaan kepada Allah), Maha Suci Allah dari hal itu. Aku tidak pernah melihat seorang pun dari ulama pensyarah hadits tersebut yang membawakan hadits tersebut atas makna yang terlintas atasku penetapan penyucian Allah dan memotong unsure penyerupaan yaitu bahwa isyarat kepada mata Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam adalah hanyalah dinisbatkan kepada mata dajjal, karena mata dajjal konon itu sehat / normal kemudian ditimpa cacat sebelah supaya menambah kedustaannya dalam mengaku Tuhan. Dajjal dahulu itu normal matanya seperti ini, lalu ditimpa kecacatan dan ia tidak mampu menolak hal itu dari dirinya “. 

Renungkan sikap dan kesimpulan Ibnu Hajar tersebut, beliau mengatakan tidak boleh membawkan hadits tersebut dengan isyarah sebagaimana isyarah Nabi di hadapan kaum awam yang tidak memiliki dasar tauhid tanzih.Dan beliau menyimpulkan bahwa hadits tersbut dalam konteks menjelaskan atau menggambarkan cirri-ciri dajjal bukan cirri-ciri Allah. 

Bahkan imam Malik lebih tegas lagi dari imam Ibnu Hajar. Imam Malik mengatakan bahwa jika ada orang yang membawakan hadits semacam ini dengan menggunakan isyarat anggota tubuhnya, maka anggota tubuhnya itu harus di potong. Perhatikan komentar imam Malik berikut ini :
روى حرملة بن يحيى قال سمعت عبدالله بن وهب يقول سمعت مالك بن أنس يقول: من وصف شيئا من ذات الله مثل قوله وقالت اليهود يد الله مغلولة وأشار بيده إلى عنقه ومثل قوله وهو السميع البصير فأشار إلى عينيه أو أذنه أو شيئا من بدنه قطع ذلك منه لأنه شبه الله بنفسه ثم قال مالك أما سمعت قول البراء حين حدث أن النبي صلى الله عليه وسلم قال لا يضحى بأربع من الضحايا وأشر البراء بيده كما أشار النبي صلى الله عليه و سلم بيده قال البراء: ويدي أقصر من يد رسول الله صلى الله عليه وسلم فكره البراء أن يصف رسول الله صلى الله عليه 
وسلم إجلالا له وهو مخلوق فكيف الخالق الذي ليس كمثله شيء
“ Harmalah bin Yahya meriayatkan, ia berkata, “ Aku mendengar Abdullah bin Wahb berkata, “ Aku mendengar Malik bin Anas berkata : “ BBarangsiapa yang mensifati Dzat Allah seperti firman-Nya : “ Berkata Yahudi, “ Tangan Allah dibelenggu “ dan ia mengisyaratkan tangannya ke pundaknya, dan semisal firman-Nya, “ Dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat “, lalu ia mengisyaratkan ke kedua mata atau telinganya atau sesuatu dari bagian tubuhnya, maka bagian tubuhnya itu kena dipotong, keran dia telah menyerupakan Allah dengan dirinya “. Kemudian imam Malik berkata : “ Tidakkah kamu mendengar ucapan al-Barra ketika membawakan hadits bahwa Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “ Tidak melakukan qurban dengan empat binatang qurban “, lalu al-Barra mengisyaratkan tangannya sebagaimana Rasul mengisyaratkan tangannya. Lalu al-Barra berkata : “ Dan tanganku lebih pendek dari tangan Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam. Al-Barra tidak suka mensifati Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam kerana sikap pengaggungannya pada Nabi padahal nabi adalah makhluk, lantas bagaimana dengan Allah sang Maha Pnecipta yang tidak ada sesuatu pun serupa dengan-Nya ? “.

Bagaimana dengan imam Ahmad bin Hanbal? Sikap imam Ahmad bin Hanbal pun sama sengan sikap imam Malik dalm hal ini. Maka kaum Mujassimah adalah yang memahami hadits-hadits semacam itu dengan makna zahirnya dan menjadikan hadits-hadits tersebut dalil penetapan sifat Allah secara zahirnya. 

Imam Sufyan bin Uyainah mengatakan :

ماوصفه الله تبارك وتعالى به نفسه في كتابه قراءته تفسيره وليس لاحد ان يفسره لا بالعربية ولا بالفارسية

“ Apa yang Allah sifatkan diri-Nya di dalam al-Quran, maka pembacaannya adalah tafsirnya, tidak seorang pun boleh menafsirkannya, tidak dengan bahasa Arab ataupun bahasa persi “.
Imam ahli Hadits al-Faqih Muhammad bin Hasan asy-Syaibani berkata :

“ Para ulama fiqih semuanya sepakat, dari barat ke timur, untuk mengimani al-Quran dan Hadits yang dibawa oleh para perowi terpercaya tentang sifat Allah Ta’ala tanpa tafsir, penyifatan dan tasybih. Barangsiapa yang mentafsirkannya sekarang sesuatu dari hal itu, maka dia telah keluar dari ajaran Nabi dan memisahkan diri dari barisan Ahlus sunnah wal Jama’ah. Karena sesungguhnya mereka (Ahlus sunnah) tidak mensifatinya dan juga tidak menafsirkannya, akan tetapi mereka berfatwa dengan apa yang ada dalam al-Quran dan sunnah kemudian mereka diam “. 

Sikap imam Ahmad bin Hanbal :
“ Berkata Abu Bakar al-Khallal, telah mengabarkan padaku Ali bin Isa bahwasanya Hanbal meceritakan pada mereka, ia berkata : “ Aku bertanya kepada Abu Abdillaj (imam Ahmad) tentang hadits-hadits yang diriwayatkan bahwa Allah Ta’ala turun ke langit dunia, dan Allah Ta’ala meletakkan telapak kaki-Nya dan semisalnya ?”, maka imam Ahmad menjawab : “ Kami mengimaninya dan kami membenarkannya, tanpa kaif dan tanpa makna, kami tidak menolaknya sedikit pun dari itu, dan kami mengetahui bahwa apa yang dibawa oleh Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam adalah haq jika sanadnya sahih, dan kami tidak menolak ucapan Nabi. Allah tidak boleh disifati dengan sifat yang banyak dari sifat yang Allah sifatkan sendiri, atau didisfati oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tanpa batasan dan puncak. “ sesugguhnya Allah tidak seperti sesuatu pun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat “. 
Dua ulama salaf di atas cukup mewakili madzhab ulama salaf lainnya yakni mengimani dan membenarkan teks mutasyabihat tanpa memberikan penafsiran maknanya dan menjahuhkan kaifiyyah darinya. Hal ini sangat jelas berbeda dengan anggapan dan keyakinan kaum wahabi selama ini yang mengatakan teks-teks sifat memiliki makna hakikatnya secara dhahir sesuai bahasa Arabnya.

Imam Badruddin bin Jama’ah juga mengatakan :

واتفق السلف وأهل التأويل على أن ما لا يليق من ذلك بجلال الرب تعالى غير مراد… واختلفوا في تعيين ما يليق بجلاله من المعاني المحتملة… فسكت السلف عنه، وأوله المتأولون

“ Ulama salaf dan ulama takwil sepakat  atas apa yang tidak layak bagi keagungan Allah, bukanlah yang dimaksud. Mereka berbeda pendapat di dalam menentukan kemungkinan makna-maknanya yang layak bagi keagungan Allah… Ulama salaf diam dari ini sedangkan ulama takwil mentakwilnya “.

Imam an-Nawawi mengatakan :‎

اعلم أن لأهل العلم في أحاديث الصفات وآيات الصفات قولين: أحدهما وهو مذهب معظم السلف أو كلهم أنه لا يتكلم في معناها بل يقولون: يجب علينا أن نؤمن بها ونعتقد لها معنى يليق بجلال الله تعالى وعظمته مع اعتقادنا الجازم أن الله تعالى ليس كمثله شيء، وأنه منزه عن التجسم والانتقال والتحيز في جهة وعن سائر صفات 
المخلوق، وهذا القول هو مذهب جماعة من المتكلمين واختاره جماعة من محققيهم وهو أسلم

“ Ketahuilah ulama dalam hadits-hadits sifat atau ayat-ayat shifat memiliki dua pendapat : Yang pertama adalah madzhab mayoritas ulama salaf atau keseluruhannya, yaitu tidak membicarakan maknanya bahkan mengatakan, “ Wajib atas kita mengimaninya dan meyakini hal itu punya makna yang layak bagi keagungan Allah disertai keyakinan kita yang kuat bahwa Allah Ta’ala tidak seperti sesuatu dan Allah disucikan dari jisim, berpindah, berbatas di suatu arah dan dari semua sifat makhluk. Ucapan ini adalah madzhab sekelompok dar- mutakallimin dan dipilih oleh sekelompok para pentahqiq mereka, dan ia lebih selamat “. ‎

Dari penjelasan ulama di atas, dipahami bahwasanya ulama salaf mayoritas atau bahkan keseleuhannya bermadzhab Tafwidh makna, yakni tiga hal berikut ini :
1. Tidak membicarakan maknanya bahkan mengimaninya. 
Dalam hal ini sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hanbal sebagaimana telah saya sebutkan di atas :
“ Tidak ada kaif dan tidak ada maknanya “

Dan juga sebagaimana ucapan imam Muhammad bin Hasan asy-Syaibani di atas :

“ Barangsiapa yang mentafsirkannya sekarang sesuatu dari hal itu, maka dia telah keluar dari ajaran Nabi dan memisahkan diri dari barisan Ahlus sunnah wal Jama’ah “.

2. Meyakini bahwa ayat atau hadits shifat memiliki makna yang layak bagi keagungan Allah. 
Yakni para ulama salaf menyerahkan kepada Allah makna yang mengarah pada tasybih (penyerupaan), adapun sifat yang sempurna dari segala sisi dan tidak mengarah pada penyerupaan, maka mereka menetapkannya makna kulli yang musytarak[11]itu. Sedangkan makna kulli yang musytarak yang mengarah pada tajsim dan tasybih atau kekurangan, maka para ulama salaf mentafwidh (menyerahkan) maknanya, contoh sifat ‘Tangan’, karena ketika kita menyandarkan tangan seperti tangan Zaid, tangan Umar, tangan semut atau tangan gajah, maka makna kullinya (keseluruhannya) yang musytarak (digunakan bersama) kepada semua itu adalah sesuatu yang sama dan serupa yakni anggota tubuh atau alat yang digunakan untuk mengambil dan memberi. Maka ketika kita sandarkan sifat Tangan pada Allah secara makna hakikatnya dari bahasa Arab, maka dia telah benar-benar menyerupakan dan menjisimkan Allah.  Maka setelah itu tidak akan bermanfaat ucapan : “ Sebagaimana yang layak bagi keagungan Allah “, sebab makna itu sudah tidak pantas dan tidak layak bagi Allah, bagaimana mungkin membawakan lafaz itu pada Allah. Insi seperti orang yang mengatakan “ Aku menisbatkan kepada Allah apa yang tidak pantas bagi-Nya sesuai apa yang pantas bagi-Nya “. Ucapan yang penuh kerancuan dan kesesatan.‎‎

3. Menafikan makna dhahir yang mengarah pada tasybih dan tajsim.
Seperti tangan, kaki atau mata. Semua ini mewahamkan pada tasybih, sebagaimana ucapan imam Ahmad bin Hanbal di atas : “ Allah tidak boleh disifati dengan sifat yang banyak dari sifat yang Allah sifatkan sendiri, atau didisfati oleh Rasulullah shallahu ‘alaihi wa sallam tanpa batasan dan puncak. “ sesugguhnya Allah tidak seperti sesuatu pun dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat “. 

Inilah makna Tafwidh yang benar yang sesuai dengan statmen dan hujjah para ulama baik salaf maupun kholaf, bukan sebagaimana dituduhkan kaum wahabi makna tafwidh yang salah kepada kaum Ahlus sunnah wal jama’ah khsusunya kaum Asy’ariyyah dan Maturudiyyah.
Ibnu Khuzaimah yang kalamnya dinukil oleh kaum wahabi di atas, menyatakan sebagai berikut :‎
“ Para imam kaum muslimin dan perintis madzhab serta para pemimpin agama seperti Malik, Sufyan, al-Awza’i, asy-Syafi’i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq, Yahya, Ibnul Mubarak, Abu Hanifah, Muhammad bin Hasan dan Abu Yusuf, tidak membicarakan hal itu (ayat shifat) dan mencegah para pengikutnya mendalaminya serta menunjukkan mereka atas al-Quran dan Sunnah “.

Dari penjelasan beliau dapat kita pahami bahwasanya para ulama salaf di atas, sama sekali tidak mau membicarakan makna dari ayat-ayat mutaysabihat khsusunya ayat atau hadits shifat. Mereka menyerahkan maknanya kepada Allah. Dan mereka hanya cukup pemahaman secara globalnya saja, Contoh :
بل يداه مبسوطتان
“ Akan tetapi kedua tangan-Nya terbentang luas “.

Secara global, ulama salaf memahami bahwa Allah sangat luas kedermawanan-Nya. Adapun secara terperinci baik makna hakikat atau majaz, maka para ulama salaf tidak ada satu pun yang menentukan makna-maknanya tersebut, mereka menyerahkan makna kepada Allah Ta’ala dengan terlebih dahulu mensucikan Allah dari segala sifat kekurangan dan sifat makhluk-Nya. Maka apa yang diklaim wahabi dan menuduh Asy’ariyyah meneyelisihi sunnah dan ulama salaf, sangatlah tidak benar, itu semata-mata hanya pemahaman rekaan (dhann) kaum wahabi saja, justru faktanya pemahaman kaum wahabi sangat menyelisihi pemahaman ulama salaf dan kholaf, menyimpang dari pemahaman mayoritas umat Muslim, Naudzu billah min sus-il fahm wal i’tiqad.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...