Rabu, 25 November 2020

Jangan Asal Mengatakan Bid'ah Pada Orang Lain!!


Pembagian bid'ah menjadi dua yakni bid'ah hasanah (baik) dan bid'ah dhalalah (sesat) merupakan perspektif yang disepakati oleh Sahabat, dan para ulama salaf seperti Imam Syafi'i, Nawawi, Imam Suyuti, dan lain-lain.

Dalam pengertian yang umum, bid'ah adalah segala sesuatu perilaku yang tidak dilakukan oleh Nabi Muhammad. Pengertian yang khusus adalah segala bentuk ibadah yang tidak disyariatkan oleh Rasulullah. Hukum bid'ah adalah haram. Namun bid'ah yang haram itu adalah bid'ah dalam soal ibadah sebagaima dikatakan dalam kaidah fikih bahwa "hukum asal dari ibadah adalah haram". Adapun bid'ah yang bukan ibadah hukumnya boleh karena dalam kaidah fiqih dikatakan "hukum asal dari segala sesuatu (muamalah, adat, non-ibadah) adalah boleh." 

إِنَّ أَصْدَقَ الْحَدِيثِ كِتَابُ اللَّهِ، وَأَحْسَنَ الْهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ، وَشَرُّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا وَكُلُّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ، وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ وَكُلُّ ضَلاَلَةٍ فِي النَّارِ‪.‬
 
"Sesungguhnya ucapan yang paling benar adalah kitab Allah, dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Muhammad SAW, dan seburuk-buruk perkara adalah perkara baru, setiap perkara baru adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat dan setiap kesesatan itu tempatnya di neraka." (HR. An-Nasa'i)
Hadits ini merupakan salah satu dari sekian banyak hadits yang berbicara tentang bid'ah. Namun untuk memahami perkara bid'ah ini tidak asal begitu saja kita pahami secara harfiah atau tekstual dari hadits tersebut, sehingga siapapun menjadi mudah untuk mengklaim saudara-saudaranya semuslim yang melakukan satu perkara yang tidak pernah dilakukan di zaman nabi SAW kita anggap sebagai pelaku bid'ah yang sesat, dan jika ia sesat berarti tempatnya di neraka. Agar tidak berkesan tergesa-gesa ada baiknya kita memahami terlebih dahulu masalah ini melalui kajian-kajian dari para ulama salafush-shalih kita yang telah terebih dahalu mengkajinya.

Definisi Bid'ah
Untuk mengetahui pengertian bid'ah yang benar maka kita harus terlebih dahulu memahami arti bid'ah secara bahasa (etimologi) dan istilah (terminologi/syariat).

Pendefinisian Bid’ah

Imam an-Nawawi mengatakan bid’ah sebagai perbuatan yang tidak ada contoh sebelumnya,
 
أن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق

“setiap perkara yang dilakukan yang mana padanya tidak ada contoh sebelumnya”

dan didalam Tahdzibul Asmaa’ wal Lughaat, beliau mendefinisikan :

بدع: البِدعة بكسر الباء في الشرع هي إحداث ما لم يكن في عهد رسول الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وهي منقسمة إلى: حسنة وقبيحة

“Bid’ah didalam syara’ adalah mengada-adakan perkara yang tidak ada pada masa Rasulullah shalullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi hasanah dan qabihah”.

Sulthanul ‘Ulamaa’ al-Imam ‘Izzuddin bin Abdissalam didalam kitabnya Qawa’idul Ahkam mendefinisikan bid’ah sebagai berikut :

البدعة فعل ما لم يعهد في عصر رسول الله - صلى الله عليه وسلم -. وهي منقسمة إلى: بدعة واجبة، وبدعة محرمة، وبدعة مندوبة، وبدعة مكروهة، وبدعة مباحة، والطريق في معرفة ذلك أن تعرض البدعة على قواعد الشريعة

“Bid’ah adalah melakukan sesuatu yang tidak ada masa masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, dan itu terbagi menjadi ; bid’ah wajibah, bid’ah muharramah, bid’ah mandzubah, bid’ah makruhah dan bid’ah mubahah, sedangkan metode dalam mengetahui pembagian yang demikian untuk menjelaskan bid’ah berdasarkan kaidah-kaidah syariah”. 

Berdasarkan definisi ini, setiap sesuatu apapun terkait syara’ yang tidak ada pada masa Rasulullah maka itu dinamakan sebagai bid’ah. Sehingga apa yang dilakukan hanya atas inisiatif sahabat Nabi pasca wafatnya Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu adalah perkara baru yang bid’ah. Namun perlu di ketahui, bahwa perkara baru ini dilakukan oleh sahabat Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam, yang mana para sahabat merupakan orang-orang yang mendapatkan petunjuk sehingga perkara baru yang mereka lakukan walaupun kadang terjadi perselisihan diantara mereka tetap saja disebut sebagai sunnah. Yaitu bid’ah yang hakikatnya adalah sunnah. 95 Sunnah yang dimaksud adalah sunnah dalam pengertian kebiasaan umum bukan khusus. Sebab dalam pengertian khusus hanya di sandarkan pada Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam baik berupa perkataan, perbuatan maupun taqrir beliau.

Definisi ulama lainnya memang ada kemungkinan berbeda tergantung dari sudut pandang apa mereka mendefinisikannya, sehingga nantinya cara memahami pun akan terjadi perbedaan namun pada hakikatnya sebenarnya sama.

Bid'ah Menurut Bahasa (Etimologi)
Yaitu hal baru yang disisipkan pada syariat setelah setelah ia sempurna. Ibnu As-Sikkit berpendapat bahwa bid'ah adalah segala hal yang baru. Sementara istilah pelaku bid'ah (baca: mubtadi') menurut adat terkesan tercela.

Adapun Abu Adnan berpendapat bahwa bid'ah adalah melakukan satu perbuatan yang nyaris belum pernah dilakukan oleh siapapun, seperti perkataan Anda: si fulan berbuat bid'ah dalam perkara ini, artinya ia telah mendahului untuk melakukan hal itu sebelum orang lain.

Bid'ah Menurut Istilah (Terminologi/Syariat)
Ada dua cara yang ditempuh para ulama untuk mendefinisikan bid'ah menurut syara'.

DALIL DASAR SEPUTAR BID'AH

Ulama salaf membagi bid'ah menjadi dua kategori yaitu bid'ah yang baik (hasanah, mahmudah) dan bid'ah sesat (dhalalah, mazmumah)

DALIL BI'DAH HASANAH


- Hadits riwayat Muslim

من سن في الإسلام سنة حسنة كان له أجرها وأجر من عمل بها من بعده لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا، ومن سن في الإسلام سنة سيئة كان عليه وزرها ووزر من عمل بها من بعده لا ينقص ذلك من أوزارهم شيئا

Artinya: Barang siapa yang melakukan perbuatan yang baik maka dia akan mendapat pahala dan pahala orang yang melakukan itu setelahnya tanpa kurang sedikitpun. Barangsiapa yang melakukan perbuatan buruk maka ia akan mendapat dosa dan dosa orang yang menirunya tanpa kurang sedikitpun.

- Hadits riwayat Muslim

من دعا إلى هدى كان له من الأجر مثل أجور من تبعه لا ينقص ذلك من أجورهم شيئا ومن دعا إلى ضلالة كان عليه من الإثم مثل آثام من تبعه لا ينقص ذلك من آثامهم شيئا

Artinya: Barangsiapa yang mengajak kepada hidayah (kebaikan) maka ia akan mendapat pahala seperti pahala yang mengikutinya tanpa kurang sedikitpun. Barang siapa yang mengajak pada kesesatan maka ia akan mendapat dosa seperti dosa yang mengikutinya tanpa berkurang sedikitpun.

- Hadits riwayat Muslim
من دل على خير فله مثل أجر فاعله

Artinya: Barangsiapa menunjukkan pada kebaikan maka pahalnya sama dengan yang melakukannya,

- Perkataan Umar bin Khattab dalam soal shalat taraweh berjamaah
 
قول عمر رضي الله عنه في صلاة التراويح جماعة: نعمت البدعة هذه

Artinya: Perkataan Umar bin Khattab dalam shalat tarawih yang dilakukan secara berjamaah (atas inisiatif Umar): "Sebaik-baik bid'ah adalah ini."


DALIL BID'AH DHALALAH

- Hadits riwayat Bukhari & Muslim (muttafaq alaih)
من أحـدث في أمرنا هذا ما ليس منه فهو رد

Artinya: Barangsiapa membuat hal baru dalam perkaraku maka ia tertolak.

- Hadits riwayat Bukhari & Muslim

من عمل عملا ليس عليه أمرنا فهو رد

Artinya: Barangsiapa yang melakukan suatu perbuatan yang tidak berasal dari kami maka ia tertolak.

- Hadits riwayat Tirmidzi & Nasa'i (muttafaq alaih)

إِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُورِ ، فَإِنَّ شَرَّ الأُمُورِ مُحْدَثَاتُهَا ، وَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ ، وَإِنَّ كُلَّ بِدْعَةٍ ضَلالَةٌ

Artinya: Jauhkan dari memperbarui perkara. Karena seburuk-buruk perkara adalah membuat hal baru (inovasi). Setiap perkara baru adalah bid'ah dan setiap bid'ah adalah sesat.

CATATAN PENTING:

Hadis-hadis di atas oleh kalangan sebagian umat dijadikan dalil bahwa semua bid'ah dan muhdas (perkara baru) itu sesat. Padahal menurut kalangan ulama salaf, hadits di atas jelas menyatakan bahwa bid'ah yang sesat itu yang tidak sesuai dengan syariah (ما ليس منه). Adapun bid'ah yang sesuai syariah maka dibolehkan bahkan baik (hasanah). 

Adapun hadits riwayat Abu Dawud yang melarang kita dari membuat perkara baru (muhdasat al-umur - وإياكم ومحدثات الأمور فإن كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة), maka hadits ini lafadznya umum tapi maknanya khusus untuk bid'ah yang menyalahi syariah saja dengan dalil takhshish hadits-hadits lain yang disebut di atas 

Pembagian Bid'ah

Sebagaimana Imam an-Nawawi menyebutkan didalam al-Minhaj syarah Shahih Muslim :

قال العلماء البدعة خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة فمن الواجبة نظم أدلة المتكلمين للرد على الملاحدة والمبتدعين وشبه ذلك ومن المندوبة تصنيف كتب العلم وبناء المدارس والربط وغير ذلك ومن المباح التبسط في ألوان الأطعمة وغيرذلك والحرام والمكروه ظاهران وقد أوضحت المسألة بأدلتها المبسوطة في تهذيب الأسماء واللغات

“’Ulama berkata bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian (bagian hukum) yakni wajibah (bid’ah yang wajib), mandubah (bid’ah yang mandub), muharramah (bid’ah yang haram), makruhah (bid’ah yang makruh), dan mubahah (bid’ah yang mubah)”, diantara bid’ah yang wajib adalah penyusunan dalil oleh ulama mutakallimin (ahli kalam) untuk membantah orangorang atheis, ahli bid’ah dan seumpamanya;
diantara bid’ah mandzubah (bid’ah yang sunnah) adalah mengarang kitab ilmu, membangun madrasah dan tempat ribath serta yang lainnya ;
diantara bid’ah yang mubah adalah mengkreasi macam-macam makanan dan yang lainnya, sedangkan bid’ah yang haram dan bid’ah yang makruh, keduanya telah jelas dan telah dijelaskan permasalahannya dengan dalil yang rinci didalam kitab Tahdzibul Asmaa wal Lughaat”

Berikut adalah redaksi dalam kitab Tahdzibul Asma’ wal Lughaat, yang menjelaskan lebih rinci lagi tentang pembagian bid’ah tersebut :

قال الشيخ الإمام المجمع على إمامته وجلالته وتمكنه في أنواع العلوم وبراعته أبو محمد عبد العزيز بن عبد السلام رحمه الله ورضي
عنه في آخر كتاب "القواعد": البدعة منقسمة إلى: واجبة، ومحرمة، ومندوبة، ومكروهة، ومباحة. قال: والطريق في ذلك أن تعرض
البدعة على قواعد الشريعة، فإن دخلت في قواعد الإيجاب فهي واجبة، أو في قواعد التحريم فمحرمة، أو الندب فمندوبة، أو المكروه
فمكروهة، أو المباح فمباحة، وللبدع الواجبة أمثلة منها: الاشتغال بعلم النحو الذي يفهم به كلام الله تعالى وكلام رسول الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ -، وذلك واجب؛ لأن حفظ الشريعة واجب، ولا يتأتى حفظها إلا بذلك وما لا يتم الواجب إلا به، فهو واجب، الثاني حفظ
غريب الكتاب والسنة في اللغة، الثالث تدوين أصول الدين وأصول الفقه، الرابع الكلام في الجرح والتعديل، وتمييز الصحيح من
السقيم، وقد دلت قواعد الشريعة على أن حفظ الشريعة فرض كفاية فيما زاد على المتعين ولا
يتأتى ذلك إلا بما ذكرناه، وللبدع
المحرمة أمثلة منها: مذاهب القدرية والجبرية والمرجئة والمجسمة والرد على هؤلاء من البدع الواجبة، وللبدع المندوبة أمثلة منها
إحداث الرُبِط والمدارس، وكل إحسان لم يعهد في العصر الأول، ومنها التراويح، والكلام في دقائق التصوف، وفي الجدل، ومنها جمع المحافل للاستدلال إن قصد بذلك وجه الله تعالى. وللبدع المكروهة أمثلة: كزخرفة المساجد، وتزويق المصاحف، وللبدع المباحة أمثلة: منها المصافحة عقب الصبح والعصر، ومنها: التوسع في اللذيذ من المآكل، والمشارب، والملابس، والمساكن، ولبس الطيالسة، وتوسيع الأكمام. وقد يختلف في بعض ذلك فيجعله بعض العلماء من البدع المكروهة، ويجعله آخرون من السنن المفعولة في عهد رسول الله - صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّمَ - فما بعده، وذلك كالاستعاذة في الصلاة والبسملة هذا آخر كلامه

“Syaikhul Imam Abu Muhammad ‘Abdul ‘Aziz bin Abdis Salam didalam akhir kitabnya al-
Qawaid berkata : “bid’ah terbagi kepada hukum yang wajib, haram, mandub, makruh dan
mubah. Ia berkata : metode yang demikian untuk memaparkan bid’ah berdasarkan kaidah kaidah syari’ah, sehingga
 
1. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum wajib maka itu bid’ah wajibah,
2. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum haram maka itu bid’ah muharramah,
3. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mandub maka itu bid’ah mandubah,
4. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum makruh maka itu bid’ah makruhah,
5. Apabila masuk pada qaidah (penetapan) hukum mubah maka itu bid’ah mubahah.
 
Diantara contohnya masing-masing adalah ;
 
1. Bid’ah Wajibah seperti : menyibukkan diri belajar ilmu-ilmu sehingga dengannya bisa paham firman-firman Allah Ta’ala dan sabda Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam, itu wajib karena menjaga menjaga syariah itu wajib, dan tidak mungkin menjaga kecuali dengan hal itu, dan sesuatu kewajiban yang tidak sempurna kecuali dengannya maka itu wajib, menjaga bahasa asing didalam al-Qur’an dan as-Sunnah, mencatat (membukukan) ilmu ushuluddin dan ushul fiqh, perkataan tentang jarh dan ta’dil, membedakan yang shahih dari buruk, dan sungguh kaidah syariah menunjukkan bahwa menjaga syariah adalah fardlu kifayah”.

2. Bid’ah Muharramah seperti : aliran (madzhab) al-Qadariyah, al-Jabariyah, al-Murji’ah, al-Mujassimah, dan membantah mereka termasuk kategori bid’ah yang wajib (bid’ahwajibah).

3. Bid’ah Mandzubah (Bid’ah yang Sunnah) seperti : membangun tempat-tempat rubath dan madrasah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada masa awal Islam, diantaranya
adalah (pelaknasaan) shalat tarawih, perkataan pada detik-detik tashawuf, dan lain sebagainya.

4. Bid’ah Makruhah seperti : berlebih-lebihan menghiasai masjid, menghiasi mushhaf danlain sebagainya.

5. Bid’ah Mubahah seperti : bersalaman (berjabat tangan) selesai shalat shubuh dan ‘asar, jenis-jenis makanan dan minuman, pakaian dan kediaman. Dan sungguh telah berselisih pada sebagian yang demikian, sehingga sebagian ‘ulama ada yang memasukkan pada bagian dari bid’ah yang makruh, sedangkan sebagian ulama lainnya memasukkan perkara sunnah yang dilakukan pada masa Rasulullah shallallahu ‘alayhi wa sallam dan setelah beliau, dan itu seperti mengucapkan isti’adzah didalam shalat dan basmalah. Ini akhir perkataan beliau. “

Kesimpulannya sudah jelas yaitu bahwa tidak semua bid’ah dihukumi haram, melainkan harus ditinjau terlebih dahulu status hukumnya. Semua itu karena ternyata ada bid’ah yang tidak bertentangan dengan syariat Islam, diistilahkan dengan bid’ah hasanah (baik) dan ada juga bid’ahyang bertentangan dengan syariat Islam, di istilahkan dengan bid’ah yang buruk. al-Imam asy-Syafi’i rahimahullah pernah mengatakan sebagaimana disebutkan olah al-Muhaddits al-Baihaqi :

أخبرنا أبو سعيد بن أبي عمرو، ثنا أبو العباس محمد بن يعقوب , ثنا الربيع بن سليمان، قال: قال الشافعي رضي الله عنه: المحدثات من الأمور ضربان: أحدهما: ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا , فهذه لبدعة الضلالة. والثانية: ما أحدث من الخير لا خلافيعني أنها محدثة « نعمت البدعة هذه » : فيه لواحد من هذا , فهذه محدثة غير مذمومة وقد قال عمر رضي الله عنه في قيام شهر رمضان لم تكن , وإن كانت فليس فيها رد لما مضى

“Telah mengkhabarkan kepada kami Abu Sa’id bin Abu ‘Amr, telah menceritakan kepada kami Abul ‘Abbas Muhammad bin Ya’qub, telah menceritakan kepada kami ar-Rabi’ bin Sulaiman, ia berkata : Imam asy-Syafi’i pernah berkata : perkara baru (muhdatsaat) itu terbagi menjadi menjadi dua bagian :
1. Suatu perkara baru yang menyelisihi al-Qur’an, Sunnah, Atsar atau Ijma’, maka ini
termasuk perkara baru yang disebut bid’ah dlalalah, dan
2. Suatu perkara baru yang baik yang didalamya tidak menyelisihi dari salah satu tersebut, maka ini perkara baru (muhdats) yang tidak buruk, dan sungguh Sayyidina ‘Umar radliyallahu ‘anh berkata tentang shalat pada bulan Ramadhan
(shalat Tarawih) : “sebaik-baiknya bid’ah adalah ini”, yakni perkara muhdats yang tidak ada sebelumnya, walaupun keberadaannya tidaklah bertentangan dengan sebelumnya.

Contoh-contoh semacam ungkapan (istilah) seperti diatas begitu banyak dikitab-kitab Ulama, diantaranya sebagaimana yang telah disebutkan. Sehingga menjadi penting ketika membaca perkataan ulama syafi’iyah juga mengerti pembagian bid’ah menurut ulama syafi’iyah. Perincian Imam ‘Izzuddin bin ‘Abdis Salam tersebut kadang berbeda dengan ulama madzhab lainnya, sehingga menyebutnya bukan sebagai bid’ah melainkan sebagai maslahah Mursalah, perbedaan ini terjadi karena memang cara memahaminya pun berbeda walaupun esensinya sebenarnya sama yaitu samasama para ‘ulama menerimanya. Perbedaan seperti inilah yang sebenarnya terjadi, bukan seperti kalangan yang selalu menuding-menuding “ini sesat” dan “itu sesat”, bukan seperti pemahaman mereka itu.

LANJUT MASALAH BID’AH
 
Pembahasan bid’ah adalah sebenarnya pembahasan “usang” yang selalu di gembar-gemborkan oleh beberapa kalangan hingga akhirnya menimbulkan keresahan diantara kaum Muslimin dengan berbagai tudingan yang sebenarnya bermuara pada perbedaan pemahaman dalam memahami esensi dari bid’ah. Misalnya seperti kalangan ulama menolak pembagian bid’ah hasanah, hakikatnya adalah tidak menerima penyebutan bid’ah terhadap masalah yang masih di naungi oleh keumuman nas atau masalah yang masih ada asalnya dari al-Qur’an, as—Sunnah, Ijma’, Qiyas, Mashlahah Mursalah, dan ada fuqaha’ yang menunjuki dalilnya, sehingga menurut mereka, yang seperti ini kenapa harus disebut bid’ah jika ada nasnya (walaupun nas-nya umum).

Sedangkan yang membagi bid’ah hasanah, mereka menganggap bahwa perkara tersebut memang baru (muhdats) yang tidak ada pada masa Rasulullah yang perlu di di tinjau hukumnya sehingga jika selaras dengan esensi al-Qur’an dan As-Sunnah atau masih di naungi dengan nas-nas umum maka berarti itu perkara baru yang baik. Hal ini juga didasarkan pada ungkapan Sayyidina ‘Umar yaitu “ni’amatul bid’ah” juga hadits “man sanna fil Islam”, yang dari sini kemudian muncul istilah bid’ah hasanah atau bid’ah mahmudah atau bid’ah hudaa dan lain sebagainya. Penggunaan istilah bid’ah tidak lain sebagai pembeda antara perkara yang ada pasa masa Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam danyang tidak. Imam an-Nawawi rahimahullah didalam al-Majmu’ juga menjelaskan :

قوله) صلى الله عليه وسلم " كل بدعة ضلالة " هذا من العام المخصوص لأن البدعة كل ما عمل على غير مثال سبق قال العلماء وهي خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة وقد ذكرت أمثلتها واضحة في تهذيب الأسماء واللغات

“Sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa salam “setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, ini bagian dari ‘amun makhshush, karena sesunggguhnya bid’ah adalah setiap perkara yang dilakukan atas tidak adanya contoh sebelumnya, ulama juga berkata : bid’ah terbagi kepada 5 bagian yaitu wajiban, mandzubah, muharramah, makruhah dan mubahah, dan sungguh telah aku sebutkan contoh-contohnya dan telah aku jelaskan didalam kitab Tahdizbul Asmaa’ wal Lughaat”.

Disini Imam an-Nawawi menjelaskan maksud hadits “kullu bid’atin dlalalah” sebagai bentuk yang umum yang di takhshish (dikhususkan) oleh hadits-hadits lainnya. Adapun salah satu hadits yang menjadi takhsish terhadapnya adalah sebagaimana yang telah beliau sebutkan penjelasannya didalam Syarh Shahih Imam Muslim :

وفي هذا الحديث تخصيص قوله صلى الله عليه وسلم كل محدثة بدعة وكل بدعة ضلالة وأن المراد به المحدثات الباطلة والبدع المذمومة وقد سبق بيان هذا في كتاب صلاة الجمعة وذكرنا هناك أن البدع خمسة أقسام واجبة ومندوبة ومحرمة ومكروهة ومباحة

Dan dalam hadits ini (man sanna fil Islam) merupakan takhsish terhadap sabda Nabi shallallahu ‘alayhi wa sallam “setiap perkara baru (muhdats) adalah bid’ah dan setiap bid’ah adalah dlalalah (sesat)”, sesungguhnya yang dimaksud dengannya adalah perkara-perkara baru yang bathil dan bid’ah madzmumah (buruk), dan telah berlalu penjelasan masalah ini pada kitab Shalat Jum’at, dan kami telah menuturkan disana bahwa bid’ah terbagi menjadi 5 bagian yakni wajibah, mandzubah, muharramah, makruhah dan mubahah”.

Sehingga dari itu, dapat dipahami bahwa istilah sunnah sayyi’ah pada hadits “man sanna fil Islam” sebenarnya merupakan bid’ah yang buruk, karena mensunnahkan atau mencetuskan sesuatu baru yang buruk didalam Islam. Adapun para sahabat Nabi sendiri, mensunnahkan atau mencetuskan sesuatu yang baik Islam. Oleh karena itu, bid’ah yang dimaksudkan pada hadits yang masih umum tersebut adalah bid’ah madzmumah atau perkara muhdats yang bathil.

Jalaluddin Suyuti: Maulid Nabi adalah Bid'ah hasanah

Imam Jalaluddin Al-Suyuti (w. 911 H) dalam kitab Al-Hawi lil Fatawa hlm. 1/221 menyatakan:
فقد وقع السؤال عن عمل المولد النبوي في شهر ربيع الأول ما حكمه من حيث الشرع وهل هو محمود و مذموم، وهل يُثاب فاعله أولا. والجواب عندي، أن أصل عمل المولد الذي هو اجتماع الناس وقراءة ما تيسر من القرآن ورواية الأخبار الواردة في مبدأ أمر النبي وما وقع في مولده من الآيات ثم يُمدّ لهم سماط يأكلونه وينصرفون من غير زيادة على ذلك هو من البدع الحسنة التي يثاب عليها صاحبها لما فيه من تعظيم قدر النبي وإظهار الفرح والاستبشار بمولده الشريف. أول من أحدث فعل ذلك صاحب اربل الملك المظفر ابو سعيد كوكبري بن زين الدين علي بن بكتكين احد الملوك الأمجاد والكبراء الأجواد وكان آثار حسنة وهو الذي عَمَّر الجامع المظفري بسفح قاسيون

Artinya: Ada yang bertanya apa hukum peringatan Maulid Nabi pada bulan Rabiul Awal menurut syariah, apakah terpuji atau tercela, apakah pelakunya mendapat pahala atau tidak? Jawabannya menurutku adalah: bahwa asal peringatan maulid Nabi berupa berkumpulnya manusia yang membaca Al-Quran dan riwayat kisah-kisah yang terjadi di masa Nabi, dan tanda-tanda yang terjadi saat kelahiran Nabi, lalu disuguhkan buat hadirin hidangan makanan lalu mereka membubarkan diri tanpa lebih dari itu, maka ini termasuk bid'ah hasanah yang pelakunya mendapat pahala karena telah mengangungkan Nabi dan menampakkan kegembiraan pada kelahirannya. Adapun orang pertama yang menyelanggarakannya adalah penguasa Irbil Raja Muzaffar Abu Said Kukubri bin Zainuddin Ali bin Baktakin salah satu raja besar dan dermawan. Dialah yang mendirikan universitas Muzaffar di bukit Qasiyun, Damaskus Suriah.


Ibnu Hajar Al-Asqalani: Bid'ah Hasanah dan Mazmumah

Ibnu Hajar (w. 852 H.) berkata dalam kitab Fathul Bari Syarh Sahih Bukhari 4/219 menyatakan:
 
قوله : قال عمر : نعم البدعة. والبدعة أصلها ما أحدث على غير مثال سابق وتطلق في الشرع في مقابل السنة قتكون مذمومة والتحقيق أنها إن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي حسنة وإن كانت مما تندرج في الشرع فهي مستقبحة وإلا فهي من قسم المباح وقد تنقسم إلى الأحكام الخمسة

Artinya: Umar berkata: 'Sebaik-baik bid'ah adalah ini'. Bid'ah adalah hal baru yang dilakukan tanpa ada contohnya di masa lalu. Secara syariah bid'ah dianggap berlawanan dengan sunnah oleh karena itu ia dianggap tercela (madzmumah). Yang benar adalah apabila baik mnurut kacamata syariah maka ia bid'ah hasanah (baik). Dan apabila buruk menurut perspektif syariah maka disebut bid'ah buruk (qabihah). Apabila tidak masuk pada keduanya, maka termasuk dalam bid'ah yang mubah. Dan bid'ah bisa terbagi ke dalam hukum syariah yang lima (wajib, haram, sunnah, makruh, sunnah).

PENDAPAT MADZHAB EMPAT TENTANG BID'AH

Berikut pendapat ulama fiqih dari empat madzhab tentang bid'ah. Mereka sepakat bahwa bid'ah terbagi dua yakni bid'ah baik (hasanah) dan sesat (dhalalah). Sedangkan hukumnya bisa meliputi lima hukum syariah yaitu wajib, haram, sunnah, makruh dan mubah.‎

BID'AH MENURUT MAZHAB HANAFI

Ibnu Abidin dalam Hasyiyah Ibnu Abidin, hlm. 1/376, menyatakan:

فقد تكون البدعة واجبة كنصب الأدلة للرد على أهل الفرق الضالة، وتعلّم النحو المفهم للكتاب والسنة، ومندوبة كإحداث نحو رباط ومدرسة، وكل إحسان لم يكن في الصدر الأول، ومكروهة كزخرفة المساجد، ومباحة كالتوسع بلذيذ المآكل والمشارب والثياب

Artinya: Bid'ah terkadang wajib hukumnya seperti membuat dalil pada kelompok sesat, belajar ilmu nahwu untuk memahami Al-Quran dan Hadits. Bid'ah terkadang hukumnya sunnah seperti mendirikan pesantren dan sekolah, dan setiap kebaikan yang tidak ada pada zaman Rasulullah. Bid'ah itu bisa juga hukumnya makruh seperti mengukir dan menghias masjid. Bid'ah hukumnya mubah (boleh) seperti berlapang diri dalam memakan makanan lezat dan minuman enak dan pakaian bagus.

Badruddin Al-Aini dalam Syarah Sahih Bukhari, hlm. 11/126, ketika mengomentari perkataan Umar bin Khattab "nikmatul bid'ah hadzihi" saat berkumpulnya manusia untuk shalat tarawih di belakang imam di mana sebelumnya jamaah shalat tarawih dilakukan sendiri-sendiri:

والبدعة في الأصل إحداث أمر لم يكن في زمن رسول الله صلى الله عليه وسلم، ثم البدعة على نوعين، إن كانت مما تندرج تحت مستحسن في الشرع فهي بدعة حسنة وإن كانت مما يندرج تحت مستقبح في الشرع فهي بدعة مستقبحة

Artinya: Bid'ah pada asalnya adalah membuat perkara yang tidak terdapat di zaman Rasulullah. Bid'ah ada dua macam: apabila baik menurut syariah maka disebut bid'ah hasanah (baik). Apabila buruk menurut syriah, maka disebut bid'ah buruk (mustaqbihah).‎

BID'AH MENURUT MAZHAB MALIKI

Muhammad Al-Zarqoni dalam Syarah Muwatta, hlm. 1/238, ketika menjelaskan perkata Umar "sebaik-baik bid'ah adalah ini" (نعمت البدعة هذه): 

فسماها بدعة لأنه صلى اللّه عليه وسلم لم يسنّ الاجتماع لها ولا كانت في زمان الصديق، وهي لغة ما أُحدث على غير مثال سبق وتطلق شرعًا على مقابل السنة وهي ما لم يكن في عهده صلى اللّه عليه وسلم، ثم تنقسم إلى الأحكام الخمسة. انتهى

Artinya: Umar bin Khattab menyebutnya bid'ah karena Nabi tidak pernah melakukan shalat taraweh secara berjemaah juga tidak di zaman Abu Bakar Ash-Shiddiq. Bid'ah secara bahasa adalah sesuatu yang dibuat tanpa ada contoh sebelumnya. Secara syariah bid'ah secara mutlak bermakna sesuatu yang berhadapan dengan sunnah yang tidak ada pada zaman Nabi. Bid'ah terbagi menjadi hukum yang lima.

Ahmad bin Yahya Al-Wansyarisi dalam Al-Mi'yar Al-Mu'rib, hlm. 1/357, menyatakan:

وأصحابنا وإن اتفقوا على إنكار البدع في الجملة فالتحقيق الحق عندهم أنها خمسة أقسام ... فالحق في البدعة إذا عُرضت أن تعرض على قواعد الشرع فأي القواعد اقتضتها ألحقت بـها، وبعد وقوفك على هذا التحصيل والتأصيل لا تشك أن قوله صلى الله عليه وسلم:" كل بدعة ضلالة"، من العام المخصوص كما صرح به الأئمة رضوان الله عليهم

Artinya: Ulama mazhab Maliki walaupun mereka sepakat untuk mengingkari bid'ah secara umum, namum kenyataannya adalah bid'ah menurut mereka terbagi dalam lima bagian ... Yang benar dalam soal bid'ah adalah apabila dihadapkan pada kaidah syariah maka dengan kaidah syariah mana yang sesuai maka itulah hukumnya. Dari kesimpulan ini, maka sabda Nabi bahwa "setiap bid'ah adalah sesat" itu termasuk dari kalimat umum yang berlaku khusus sebagaimana dijelaskan oleh para ulama.‎

MAZHAB SYAFI'I TENTANG BID'AH

Imam Syafi'i

Imam Syafi'i sebagaimana dinukil oleh Baihaqi dalam Manaqib Al-Syafi'i, hlm. 1/469, dan disebutkan juga oleh Ibnu Hajar dalam Fathul Bari, hlm. 13/267, menyatakan:

المحدثات من الأمور ضربان أحدهما ما أحدث يخالف كتابا أو سنة أو أثرا أو إجماعا فهذه البدعة الضلالة، والثاني ما أحدث من الخير لا خلاف فيه لواحد من هذا، فهذه محدثة غير مذمومة..

Artinya: Perkara baru (muhdas al-umur) ada dua macam. Pertama, perkara baru yang berlawanan dengan Al-Quran, Sunnah Nabi, Atsar Sahabat atau ijmak ulama, maka disebut bid'ah dolalah. Kedua, perkara baru yang baik yang tidak menyalahi unsur-unsur di atas maka tidaklah tercela.

Abu Nuaim dalam kitab Hilyah Al-Aulia, hlm. 9/76 meriwayatkan pernyataan Imam Syafi'i di mana ia berkata:

البدعة بدعتان، بدعة محمودة، وبدعة مذمومة. فما وافق السنة فهو محمود، وما خالف السنة فهو مذموم، واحتج بقول عمر بن الخطاب في قيام رمضان: نعمت البدعة هي 

Artinya: Bid'ah itu ada dua: bid'ah terpuji (mahmudah) dan bid'ah tercela (madzmumah). Bid'ah yang sesuai Sunnah disebut bidah terpuji. Yang berlawanan dengan sunnah disebut bid'ah tercela. Imam Syafi'i berargumen dengan perkataan Umar bin Khattab dalam soal shalat tarawih bulan Ramadan: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini."

Imam Ghozali

Imam Ghazali dalam Ihya Ulumuddin, hlm. 2/3, "Bab Tatacara Makan", menyatakan:

وما يقال إنه أبدع بعد رسول الله صلى الله عليه وسلم فليس كل ما أبدع منهيا بل المنهي بدعة تضاد سنة ثابتة وترفع أمرا من الشرع مع بقاء علته بل الإبداع قد يجب في بعض الأحوال إذا تغيرت الأسبابـ

Artinya: Apa yang dikatakan bahwa itu adalah bid'ah, maka tidaklah semua bid'ah itu dilarang. Yang dilarang itu adalah bid'ah berlawanan dengan sunnah yang tetap ... Bid'ah terkadang wajib dalam sebagian situasi apabila sebab-sebabnya berubah.

Imam Nawawi

Imam Nawawi dalam Syarah Muslim, hlm. 6/154-155, menyatakan:

قوله صَلَّى اللهُ عَلَيهِ وَسَلَّمَ: (وَكُلُّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ) هذا عامٌّ مخصوص، والمراد: غالب البدع. قال أهل اللُّغة: هي كلّ شيء عمل عَلَى غير مثال سابق. قال العلماء: البدعة خمسة أقسام: واجبة، ومندوبة، ومحرَّمة، ومكروهة، ومباحة. فمن الواجبة: نظم أدلَّة المتكلّمين للرَّدّ عَلَى الملاحدة والمبتدعين وشبه ذلك. ومن المندوبة: تصنيف كتب العلم وبناء المدارس والرّبط وغير ذلك. ومن المباح: التّبسط في ألوان الأطعمة وغير ذلك. والحرام والمكروه ظاهران، وقد أوضحت المسألة بأدلَّتها المبسوطة في (تـهذيب الأسماء واللُّغات) فإذا عرف ما ذكرته علم أنَّ الحديث من العامّ المخصوص، وكذا ما أشبهه من الأحاديث الواردة، ويؤيّد ما قلناه قول عمر بن الخطَّاب رَضِيَ اللهُ عَنْهُ في التّـَراويح: نعمت البدعة، ولا يمنع من كون الحديث عامًّا مخصوصًا قوله: (كُلُّ بِدْعَةٍ) مؤكّدًا بـــــــ كلّ، بل يدخله التَّخصيص مع ذلك كقوله تعالى: {تُدَمّرُ كُلَّ شَىءٍ} [الأحقاف،ءاية 25]اهـ

Artinya: Sabda Nabi "Setiap bid'ah itu sesat" Kalimat ini bersifat umum yang khusus. Maksudnya adalah umumnya bid'ah. Ahli bahasa berkata: Bid'ah adalah setiap sesuatu yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Ulama berkata: Bid'ah ada lima bagian yaitu wajib, sunnah, haram, makruh dan mubah. Termasuk bid'ah wajib adalah penyusunan argumen kalangan ulama ilmu kalam untuk menolak kalangan mulhid dan mubtadi' dan sejenisnya. Termasuk bid'ah sunnah adalah penyusunan kitab ilmu dan membangun madrasah dan asrama dan lainnya. Termasuk bid'ah boleh (mubah) adalah tidak membatasi dalam membuat warna makanan dan lainnya. Sedangkan bid'ah yang haram dan makruh sudah jelas dan sudah saya jelaskan hal ini dengan dalil-dalilnya yang luas dalam kitab Tahdzib al-Asma wa Al-Shifat. Apabila sudah diketahui apa yang saya sebut, maka dapat disimpulkan bahwa hadits di atas termasuk hadits umum yang berlaku khusus. Begitu juga dengan hadits-hadits lain yang serupa. Hal ini dikuatkan oleh perkataan Umar bin Khattab dalam shalat taraweh "sebaik-baik bid'ah." Sabda Nabi "setiap bid'ah" (كُلُّ بِدْعَةٍ) -- walalupun dikuatkan dengan kata 'setiap'-- tidak mencegah dari adanya hadis ini bersifat umum yang khusus. Bahkan kata "kullu" itu berfungsi takhsis (pengkhususan) sebagaiman firman Allah dalam QS Al-Ahqaf :25 (ُُتُدَمّر كُلَّ شَىءٍ) "yang menghancurkan segala sesuatu."

MADZHAB HANBALI TENTANG BID'AH

Syamsuddin Muhammad bin Abil Fath Al-Ba'li dalam Al-Muttali' ala Abwab Al-Muqni', hlm. 334, pada "Kitab Talaq" menyatakan:

والبدعة مما عُمل على غير مثال سابق، والبدعة بدعتان: بدعة هدى وبدعة ضلالة، والبدعة منقسمة بانقسام أحكام التكليف الخمسة.

Artinya: Bid'ah adalah perkara yang dilakukan tanpa ada contoh sebelumnya. Bid'ah terbagi dua: bid'ah hidayah (huda) dan bid'ah sesat (dhalalah). Bid'ah terbagi sesuai dengan pembagian hukum-hukum taklif yang lima (wajib, sunnah, haram, makruh, mubah).

Ibnu Arabi (25 July 1165 – 8 November 1240)

Ibnu Arabi menyatakan bahwa bid'ah dan perkara baru tidak otomatis sesat: 

ليست البدعة والمحدَث مذمومين للفظ بدعة ومحدث ولا معنييهما، وإنما يذم من البدعة ما يخالف السنة، ويذم من المحدثات ما دعا إلى الضلالة

Artinya: Bid'ah dan perkara baru tidaklah otomatis tercela. Bid'ah itu tercela apabila menyalahi sunnah. Perkara baru itu tercela apabila membawa pada kesesatan.


BID'AH MENURUT IBNU TAIMIYAH

Berikut definisi dan hukum bid'ah menurut Ibnu Taimiyah:

Ibnu Taimiyah dalam Majmuk Al-Fatawa, hlm. 1/161-162 dan dalam kitabnya yang bernama Qaidah Jalilah fi Al-Tawassul wa Al-Wasilah, hlm. 2/28, ia menyatakan:

وكل بدعة ليست واجبة ولامستحبة فهي بدعة سيئة، وهي ضلالة باتفاق المسلمين. ومن قال في بعض البدع إنها بدعة حسنة فإنما ذلك إذا قام دليل شرعي على أنها مستحبة، فأما ما ليس بمستحب ولا واجب فلا يقول أحد من المسلمين إنها من الحسنات التى يتقرب بها إلى الله

Artinya: Setiap bid'ah yang tidak wajib dan tidak sunnah maka disebut bid'ah buruk (sayyi'ah). Bid'ah buruk hukumnya sesat menurut kesepakatan ulama. Yang mengatakan bahwa sebagian bid'ah itu bid'ah hasanah maka itu bisa terjadi apabila ada dalil syar'i yang menyatakan sunnah. Adapun bid'ah yang tidak sunnah dan tidak wajib maka tidak ada satu ulama pun yang menyatakan sebagai bid'ah hasanah untuk beribadah pada Allah.

Ibnu Taimiyah dalam Majmuk Al-Fatawa, hlm. 20/163, mengutip pembagian bid'ah menjadi dua oleh Imam Syafi'i:

قال الشّافعيّ - رحمه اللّه -: البدعة بدعتان: بدعة خالفت كتابًا وسنّةً وإجماعًا وأثرًا عن بعض أصحاب رسول اللّه صلّى اللّه عليه وسلّم فهذه بدعة ضلالةٍ. وبدعة لم تخالف شيئًا من ذلك فهذه قد تكون حسنةً لقول عمر: نعمت البدعة هذه هذا الكلام أو نحوه رواه البيهقي بإسناده الصّحيح في المدخل.

Artinya: Imam Syafi'i berkata: Bid'ah ada dua: Bid'ah yang berlawanan dengan Al-Quran dan Sunnah Nabi, ijmak ulama dan atsar Sahabat maka disebut bid'ah sesat (dholalah) dan bid'ah yang tidak menyalahi Al-Quran dll maka disebut bid'ah baik (hasanah) berdasarkan ucapan Umar: "Sebaik-baik bid'ah adalah ini." Perkataan Imam Syafi'i ini diriwayatkan oleh Baihaqi dengan sanad yang sahih.

Dalam Majmuk Al-Fatawa hlm. 27/152 Ibnu Taimiyah menyatakan:

إذًا البدعة الحسنة - عند من يقسّم البدع إلى حسنةٍ وسيّئةٍ - لا بدّ أن يستحبّها أحد من أهل العلم الّذين يقتدى بـهم ويقوم دليل شرعيّ على استحبابـها وكذلك من يقول: البدعة الشّرعيّة كلّها مذمومة لقوله صلّى اللّه عليه وسلّم في الحديث الصّحيح: {كلّ بدعةٍ ضلالة} ويقول قول عمر في التّراويح: " نعمت البدعة هذه " إنّما أسماها بدعةً: باعتبار وضع اللّغة. فالبدعة في الشّرع عند هؤلاء ما لم يقم دليل شرعيّ على استحبابه اهـ

Artinya: Jadi, bid'ah hasanah (baik) - menurut mereka yang membagi bid'ah menjadi hasanah dan sayyi'ah - harus disunnahkan oleh seorang ulama yang jadi panutan dan menunjukkan dalil syar'i atas kesunnahannya. Begitu juga ulama yang menyatakan bahwa semua bid'ah syar'iyah itu tercela (madzmumah) berdasarkan pada sabda Nabi "setiap bid'ah itu sesat" dan mengatakan bahwa ucapan Umar dalam shalat tarawih "sebaik-baik bid'ah itu ini" dialihkan sebagai bid'ah secara bahasa. Menurut golongan kedua ini, bid'ah secara syariah adalah suatu perbuatan yang tidak berdasarkan pada dalil syar'i atas kesunnahannya.

Ibnu Taimiyah dalam kitabnya Al-Furqon baina Auliya Al-Rahman wa Aulia Al-Syaiton, hlm. 1/162, menyatakan:

قال الشّافعيّ " البدعة بدعتان: محمودة ومذمومة، فما وافق السّنّة فهو محمود وما خالفها فهو مذموم " أخرجه أبو نعيم بمعناه من طريق إبراهيم بن الجنيد عن الشّافعيّ، وجاء عن الشّافعيّ أيضًا ما أخرجه البيهقيّ في مناقبه قال"المحدثات ضربان ما أحدث يخالف كتابًا أو سنّة أو أثرًا أو إجماعًا فهذه بدعة الضّلال، وما أحدث من الخير لا يخالف شيئًا من ذلك فهذه محدثة غير مذمومة " انتهى. وقسّم بعض العلماء البدعة إلى الأحكام الخمسة وهو واضح.ا

Artinya: Imam Syafi'i berkata: Bid'ah terbagi dua, terpuji (mahmudah) dan tercela (madzmumah). Yang sesuai dengan sunnah disebut terpuji sedangkan yang menyalahi sunnah disebut tercela. Pernyataan Imam Syafi'i ini diriwayatkan oleh Abu Nuaim dari jalur Ibrohim bin Junaid dari Syafi'i. Juga dari Syafi'i pernyataan yang diriwayatkan oleh Baihaqi dalam Manaqib Syafi'i di mana Syafi'i berkata: "Perkara baru itu ada dua macam, pertama, perkara yang menyalahi Al-Quran, Sunnah, atsar Sahabat Nabi, ijmak ulama, maka ini disebut bid'ah sesat. Kedua, perkara baru yang baik yang tidak berlawanan dengan sesuatu pun dari yang disebut maka ini disebut perkara baru yang tidak tercela." Sebagian ulama membagi bid'ah berdasarkan hukum yang lima. Ini jelas.

Dalam kitabnya yang lain yaitu Iqtishad Al-Shirat al-Mustaqim, hlm 297, Ibnu Taimiyah mengatakan:

فتعظيم المولد واتخاذه موسما قد يفعله بعض الناس ويكون له فيه أجر عظيم لحسن قصده وتعظيمه لرسول الله صلى الله عليه وآله وسلم.

Artinya: Mengagungkan maulid Nabi dan menjadikannya sebagai rutin dilakukan oleh sebagian orang dan ia akan mendapat pahala besar karena kebaikan niatnya dan pengangungannya pada Rasulullah.

Takhtimah
Karena itu, syariat pun dapat dimaknakan sebagai values (nilai-nilai). Nilai-nilai itu yang mampu bertahan di tengah perubahan waktu dan tempat. Pemaknaan ini bukan berarti hilangnya makna syariat sebagai hukum yang bersifat positif.‎

Dalam kaitannya dengan makna bid'ah, yang dapat dipahami dari definisi Imam al-Nawawi adalah adanya penambahan nilai dan juga penambahan hukum yang bersifat positif.

Oleh karena itu, sebuah amalan dapat dikategorikan bid'ah jika bertentangan dengan nilai-nilai syariat dan menambah hukum positif yang sudah dicontohkan Nabi Muhammad s.a.w.

Menarik jika mencermati ungkapan Umar ibnu al-Khatthab seusai sholat tarawih berjamaah dengan hitungan 20 rakaat:

نعمت البدعة هذه
Bid'ah yang paling enak adalah ini (sholat tarawih berjamaah).

Nabi Muhammad memang tidak pernah menganjurkan sholat tarawih secara berjamaah. Tapi bukankah Nabi Muhammad menganjurkan sholat berjamaah? Apalagi Abdullah bin Abbas mengaku pernah sholat malam berjamaah bersama Nabi. Lalu pernahkah Nabi anjurkan sholat sebanyak 20 rokaat? Jawabannya memang tidak, tapi ucapan Nabi "siapa yg menghidupkan malam Romadlon...dst" dipahami oleh para sahabat sebagai anjuran untuk beribadah sebanyak-banyaknya. Lebih-lebih Aisyah r.a menuturkan, "jangan kalian tanya tentang lama dan bagusnya sholat beliau s.a.w."

Umar r.a tidak bisa dituduh sebagai pelaku bid'ah karena ada dalil yang mengarahkan pemahamannya kepada perbuatan tersebut. Jadi, justru karena dalil orang melakukan suatu perbuatan. Bukan dibalik yaitu berbuat dulu baru dicarikan dalilnya.

Sehingga menganggap bid'ah sebuah amalan memang tidaklah sederhana. Jadi, kalo ada yang gampang menuding bid'ah, katakan saja, "muka ente juga bid'ah brow."

Wallohul muwaffiq.‎

 

Membedakan Air Mani dan Keputihan


Beberapa riwayat hadits yang menegaskan wanita juga mengeluarkan air mani :
– Hadits Riwayat Bukhori dan Muslim
 
عن أم سلمة قَالَتْ: جَاءَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ إِلىَ النَّبِيِّ صلى الله عليه و سلم فَقَالَتْ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِ مِنَ اْلحَقِّ فَهَلْ عَلَى اْلمـَرْأَةِ مِنْ غُسْلٍ إِذَا احْتَلَمَتْ ؟ فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: نَعَمْ إِذَا رَأَتِ اْلمـَاءَ فَقَالَتْ أُمُّ سَلَمَةَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ وَ تَحْتَلِمُ اْلمَرْأَةُ ؟ فَقَالَ: تَرِبَتْ يَدَاكِ فَبِمَ يُشْبِهُهَا وَلَدُهَا؟

Dari Ummu Salamah radliyallahu anha berkata : “Ummu Sulaim radliyallahu anha pernah datang kepada Nabi Shallallahu alaihi wa sallam lalu bertanya : “Wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam, sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran maka apakah bagi perempuan ada kewajiban mandi apabila ia bermimpi?”. Rosulullah menjawab : “Ya, apabila ia melihat air (mani)”. 
Berkata Ummu Salamah : “Wahai Rosulullah apakah perempuan itu bermimpi?”.
Beliau menjawab : “Mudah-mudahan kedua tanganmu penuh berkah maka dengan apakah anaknya itu menyerupai dirinya?”.

– Hadits Riwayat Ibnu Majah dan Ahmad
 
عن خولة بنت حكيم أَنهَّاَ سَأَلَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم عَنِ اْلمـَرْأَةِ تَرَى فىِ مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ؟ فَقَالَ: لَيْسَ عَلَيْهَا غُسْلٌ حَتىَّ تُنْزِلَ كَمَا أَنَّهُ لَيْسَ عَلَى الرَّجُلِ غُسْلٌ حَتىَّ يُنْزِلَ

Dari Khaulah binti Hakim radliyallahu anha bahwasanya ia pernah bertanya kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam tentang perempuan yang bermimpi di dalam tidurnya seperti bermimpinya kaum lelaki?.
Beliau menjawab, “tidak ada kewajiban mandi sampai keluarnya (air mani), sebagaimana bahwasanya tidak ada kewjiban mandi bagi kaum lelaki sampai keluarnya (air mani)”.

– Hadits Riwayat Muslim
 
عن عروة أَنَّ عَائِشَةَ أَخْبَرَتْهُ أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ كَلَّمَتْ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه و سلم وَ عَائِشَةُ جَالِسَةٌ فَقَالَتْ لَهُ: يَا رَسُوْلَ اللهِ إِنَّ اللهَ لاَ يَسْتَحْيِ مِنَ اْلحَقِّ أَرَأَيْتَ اْلمـَرْأَةَ تَرَى فىِ النَّوْمِ مَا يَرَى الرَّجُلُ أَفَتَغْتَسِلُ مِنْ ذَلِكَ؟ فَقَالَ لَهَا رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه و سلم: نَعَمْ قَالَتْ عَائِشَةُ: فَقُلْتُ لَهَا: أُفٍّ لَكِ أَوَ تَرَى اْلمـَرْأَةُ ذَلِكَ؟ فَالْتَفَتَ إِليَّ رَسُوْلُ اللهِ rفَقَالَ: تَرِبَتْ يَمِيْنُكَ فَمِنْ أَيْنَ يَكُوْنُ الشَّبَهُ

Dari Urwah bahwasanya Aisyah radliyallahu anha mengkhabarkan kepadanya bahwa Ummu Sulaim pernah berbicara kepada Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sedangkan Aisyah sedang duduk (di sisinya). Ummu Sulaim bertanya, 
“Wahai Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam sesungguhnya Allah tidak malu dari kebenaran maka bagaimana pendapatmu mengenai perempuan yang bermimpi di dalam tidur seperti bermimpinya kaum lelaki?. Maka apakah ia harus mandi dari sebab itu?”. 
Maka Rosulullah bersabda kepadanya, “Ya”.
Aisyah berkata kepada Ummu Sulaim, “Ciss, apakah perempuan bermimpi akan hal itu?”.
Maka berpalinglah Rosulullah Shallallahu alaihi wa sallam kepadaku seraya bersabda, “Mudah-mudahan kedua tanganmu penuh berkah, maka dari manakah adanya penyerupaan (anaknya dengan dirinya)?”.

Penjelasan hadis dari kitab syarah az zarqoni

وقال ابن عبد البر : فيه دليل على أنه ليس كل النساء يحتلمن وإلا لما أنكرت عائشة وأم سلمة ذلك ، قال : وقد يوجد عدم الاحتلام في بعض الرجال إلا أن ذلك في النساء أوجد وأكثر ، وعكس ذلك ابن بطال فقال : فيه دليل على أن كل النساء يحتلمن ، قال الحافظ : والظاهر أن مراده الجواز لا الوقوع أي فيهن قابلية ذلك ، قال السيوطي : وأي مانع أن يكون ذلك خصوصية لأزواجه – صلى الله عليه وسلم – أنهن لا يحتلمن كما أن من خصائص الأنبياء لا يحتلمون لأنه من الشيطان فلم يسلطه عليهم ، وكذا لا يسلط على أزواجه تكريما له
Ibnu abdil barr berkata : dalam hadis terdapat dalil bahwa tdk semua perempuan mimpi basah jika tidak tentunya aisyah dan ummu salamah tdk akan ingkar.
Ibnu abdil barr berkata : dan terkadang sebagian lelaki tdk mimpi basah tetapi dalam kasus perempuan lebih banyak ditemukan .

Menurut ibnu batol : dalam hadis terdapat dalil bahwa setiap perempuan mimpi basah.

Al hafidz ibnu hajar berkata : yang jelas maksudnya hadis adalah bisanya perempuan mimpi basah bukan terjadinya, maksudnya perempuan bisa mimpi basah.

Imam As suyuti berkata : penghalang manakah adanya hal itu adalah khususiyah bagi istri2nya Nabi shollallohu alaihi wasallam bahwa mereka tdk mimpi basah sebagaimana khususiyah para Nabi yg tdk mimpi basah karena mimpi basah dari syetan dan syetan tdk menguasai mereka begitu juga syetan tdk menguasai istri2 Nabi sebagai penghormatan baginya. Wallohu a’lam.‎

Air mani wanita umumnya berwarna kuning encer atau putih encer.‎
Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إن ماء الرجل غليظ أبيض ، وماء المرأة رقيق أصفر

“Mani laki-laki itu kental putih, sedangkan mani wanita agak encer berwarna kuning.” (HR. Muslim, no.311)

Meskipun terkadang ada wanita yang air maninya berwarna putih.

Yang memiliki tiga ciri (sebagaimana tiga ciri ini juga menjadi ciri air mani lelaki); 1.keluarnya disertai syahwat yang disusul perasaan letih/lesu sesudahnya 2.keluar dengan cara memancar /menyembur /menyemprot 3. Berbau khas seperti bau mayang kurma dalam kondisi basah, atau berbau seperti bau telur dalam kondisi kering. Adapun keputihan (Fluor Albus), umumnya berwarna bening atau sedikit kuning/keruh, tidak berbau dan tidak menimbulkan keluhan seperti gatal dan semisalnya.

Keluar dengan cara memancar, bukan merembes. Allah berfirman tentang penciptaan manusia,

فَلْيَنْظُرِ الْإِنْسَانُ مِمَّ خُلِقَ ( ) خُلِقَ مِنْ مَاءٍ دَافِقٍ

Hendaknya manusia memperhatikan, dari mana dia diciptakan ( ) dia diciptakan dari air mani yang memancar. (QS. At-Thariq: 5 – 6)

Karakter ‘memancar’ pada mani ini mencakup mani lelaki maupun mani wanita. (Tafsir Al-Qurthubi, jilid 20, hlm. 4)‎

Air mani dalam syariat dan juga dalam bahasa Arab disebut dengan الْمَنِيُّ  (Al-Maniyy). Penggunaan lafadz ini tidak membedakan antara lelaki dengan wanita. Air mani untuk lelaki disebut الْمَنِيُّ  sebagaimana air mani untuk wanita juga disebut الْمَنِيُّ . An Nawawi dalam Kitabnya “Tahriru Alfadzi At-Tanbih” mendefinisikan mani sebagai berikut;

تحرير ألفاظ التنبيه (ص: 38)

 ومني الرجل في الرجل في حال الصحة أبيض ثخين يتدفق في خروجه دفعة بعد دفعة ويخرج بشهوة ويتلذذ بخروجه ويعقب خروجه فتور ورائحته كرائحة طلع النخل قريبة من رائحة العجين وإذا يبس كانت كرائحة البيض وقد يفقد بعض هذه الصفات مع أنه مني موجب للغسل بأن يرق ويصفر لمرض أو يخرج بلا شهوة ولا لذة لاسترخاء وعائه أو يحمر لكثرة الجماع ويصير كماء اللحم وربما خرج دما عبيطا ويكون طاهرا موجبا للغسل وخواصه ثلاث الخروج بشهوة مع الفتور عقبه والثانية الخروج بتدفق الثالثة الرائحة التي تشبه رائحة الطلع كما سبق فكل واحدة من هذه الثلاث إذا انفردت اقتضت كونه منيا فإن فقد كلها فليس بمني  ومني المرأة أصفر رقيق وقد يبيض لفرط قوتها

“Mani pria pada seorang lelaki dalam kondisi sehat berwarna putih kental yang menyembur dengan cara berdenyut ketika keluar. Keluarnya disertai syahwat, dinikmati, dan disusul perasaan lesu sesudahnya. Baunya seperti bau mayang kurma yang dekat dengan bau adonan roti. Jika kering baunya seperti bau telur. Kadang-kadang beberapa ciri ini tidak terealisasi padahal air tersebut adalah air mani yang mengharuskan mandi, misalnya bersifat encer dan berwarna kuning karena ada penyakit,  atau keluar tanpa perasaan syahwat dan nikmat karena kendornya kantung mani, atau berwarna merah karena kebanyakan berhubungan sex sehingga menjadi seperti air daging, dan kadang-kadang keluar berupa darah kental yang dihukumi suci dan mengharuskan mandi. Cirinya (air mani) tiga; 1.keluar disertai syahwat dan disusul perasaan lesu 2. Keluar dengan menyembur dan 3.baunya menyerupai bau mayang kurma sebagaimana dinyatakan sebelumnya. Masing-masing ciri ini jika terealisasi salah satu saja, maka pasti  itu air mani. Tapi jika tidak ada satupun yang terealisasi maka cairan itu bukan air mani. Air mani wanita berwarna kuning encer dan kadang-kadang berwarna putih karena kekuatan wanita yang luarbiasa (Tahriru Alfadzi At-Tanbih  hlm;38-39)

Berdasarkan keterangan di atas, air mani memiliki tiga ciri; a.Keluarnya disertai syahwat dan disusul kelesuan tubuh b.Keluar dengan menyembur c.Baunya khas seperti bau mayang kurma. Hanya saja, ada perbedaan sifat antara air mani laki-laki dengan air mani perempuan. Air mani laki-laki berwarna putih kental sementara air mani wanita berwarna kuning atau putih encer. Penyemburan air mani lelaki yang terjadi mirip denyutan yang semakin melemah dalam istilah zaman sekarang dinamakanEjakulasi, sementara penyemburan air mani wanita dikenal dengan istilah Squirting.

Kadang-kadang tiga ciri di atas tidak terpenuhi semuanya karena berbagai faktor, seperti penyakit, keletihan, stres, kadar hormon dan sebagainya. Namun, hal ini tidak mengubah status cairan yang dikeluarkan untuk disebut air mani. Selama salah satu/lebih dari ciri-ciri yang dijelaskan tadi terpenuhi, maka cairan tersebut adalah air mani.  Jika cairan tersebut tidak memenuhi satupun dari ciri-ciri yang disebutkan, maka barulah  cairan itu dihukumi bukan air mani.

Jika wanita mengeluarkan air mani, maka wajib baginya untuk mandi besar didasarkan hadis berikut;

مسند أحمد – مكنز (59/ 281، بترقيم الشاملة آليا)

عَنْ خَوْلَةَ بِنْتِ حَكِيمٍ أَنَّهَا سَأَلَتِ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ الْمَرْأَةِ تَرَى فِى مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ فَقَالَ « لَيْسَ عَلَيْهَا غُسْلٌ حَتَّى يَنْزِلَ الْمَاءُ كَمَا أَنَّ الرَّجُلَ لَيْسَ عَلَيْهِ غُسْلٌ حَتَّى يُنْزِلَ ».

“Dari Khoulah binti Al-Hakim bahwasanya beliau menanyai Nabi SAW tentang wanita yang melihat di dalam mimpi sebagaimana yang dilihat pria (bermimpi senggama/mimpi basah). Maka Nabi SAW menjawab; “Tidak ada kewajiban mandi baginya sampai mengeluarkan air (mani) sebagaimana pria tidak wajib mandi sampai keluar air mani” (H.R.Ahmad)

Adapun keputihan, maka cairan jenis ini adalah cairan normal yang umumnya menjadi ciri berakhirnya haid atau datangnya waktu haid. Secara fisik warnanya bening atau sedikit kuning/keruh. Cairan keputihan dalam bahasa Arab diistilahkan dengan nama التَّرِيَّةُ  (At-Tariyyah). Az-Zabidi dalam kitabnya “Tajul ‘Arus Min Jawahiri Al-Qomus” menyatakan;

تاج العروس من جواهر القاموس – ث (37/ 246)

التَّرِيَّةُ ، كغَنِيَّةٍ : في بَقِيَّة حيْضِ المرْأَةِ أَقَلَّ من الصُّفْرةِ والُكدْرَةِ ، وأَخْفَى ، تَراها المرأَةُ عنْدَ طهْرِها فتَعْلم أنَّها قد طهرَتْ من حيْضِها

“At-Tariyyah, (dibaca dengan wazan) seperti Ghoniyyah; Pada sisa haid wanita (cirinya fisiknya) lebih terang dan cerah daripada warna kuning/keruh. Wanita melihatnya pada saat suci  sehingga (dengan keluarnya cairan itu) dia tahu bahwa dia telah suci dari haidnya (Tajul ‘Arus Min Jawahiri Al-Qomus, Vol;38, hlm;246)‎

Keputihan adalah cairan normal yang ada pada setiap wanita dan tidak membuat wajib mandi besar. Adapula keputihan yang dianggap abnormal secara medis (keputihan patologis) karena berbau tidak sedap dan menimbulkan keluhan, namun keputihan jenis ini tetap dihukumi keputihan dan tidak membuat wajib mandi besar. 
Wallohu A'lam‎

 

Hukum Nadzar


Sebagian orang dengan mudahnya mengucapkan nadzar. Perlu diketahui, nadzar adalah bagian dari ibadah, bukan hanya sekadar ucapan tanpa konsekuensi apa-apa. Oleh karena itu penting untuk diketahui tentang hukum-hukum terkait nadzar. Dalam edisi ini, pembaca bisa menyimak hukum-hukum Islam yang berkaitan dengan masalah nadzar.
Nadzar adalah ucapan seseorang yang mewajibkan kepada dirinya sendiri untuk melakukan suatu aktifitas ibadah yang hukum asalnya ibadah tersebut bukan merupakan kewajiban. Ucapan nadzar dan penunaiannya termasuk ibadah yang hanya boleh ditujukan kepada Allah Ta’ala saja.

Nazar adalah Janji seseorang kepada Allah untuk melakukan suatu amalan yang hukum sebenarnya tidak wajib. Jika harapannya terpenuhi atau dikabulkan oleh Allah SWT, maka seseorang tersebut wajib menjalankan amalan ibadah yang telah dijanjikannya kepada Allah. Sesuatu hal yang dinazarkan haruslah sesuai dengan kebaikan dan tidak bertentangan dengan ajaran agama. 

Nadzar secara bahasa adalah janji secara mutlak baik berupa perbuatan baik atau buruk. Sedangkan menurut syara’ adalah mewajibkan diri untuk melaksanakan suatu qurbah (ibadah) yang bukan fardhu ‘ain dengan sighat tertentu. Nadzar hanya berlaku pada ibadah sunnah (seperti shalat/puasa sunnah) atau fardhu kifayah (seperti shalat jenazah, jihad fi sabilillah, dll), sehingga tidak sah nadzar pada ibadah fardhu ‘ain (seperti shalat 5 waktu, puasa ramadhan, dll) atau yang bukan ibadah, baik pekerjaan mubah (seperti makan, tidur,dll), makruh (seperti puasa dahr bagi orang yang khawatir sakit) ataupun haram (seperti minum khomr, berjudi, dll).
Nazar hanya sah apabila ia diucapkan dengan lisan. Hal ini menjadi kaedah am dalam hukum dan amalan. Sebagaimana hadis Nabi sallallahu alaihi wasallam:

إِنَّ اللَّهَ تَعَالَى تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا وَسْوَسَتْ بِهِ صُدُورُهَا مَا لم تعْمل بِهِ أَو تَتَكَلَّم

“Sesungguhnya Allah Ta’ala telah mengampuni umatku apa yang dibisikkan dalam hati selama mana ia tidak dilaksanakan atau diucapkan” (Riwayat Bukhari dan Muslim).

Tidak ada lafaz yang khusus buat nazar. Cukup dengan lafaz yang menunjukkan ke arah melazimkan diri dengan sesuatu.

Nazar tidak sah jika hanya sebatas niat atau belum diucapkan. Misalnya seseorang berniat, jika dia lulus ujian tahun ini, akan berpuasa daud selama sebulan lillahi ta’ala. Sebatas niat semacam ini, belum dianggap nazar yang sah, yang wajib dia laksanakan.

Fairuz Abadzi – ulama syafiiyah – menegaskan,

ولا يصح النذر إلا بالقول

“Nazar tidak sah, kecuali diucapkan.” (Al-Muhadzab, 1/440) .

An-Nawawi dalam syarah Muhadzab memberikan penjelasan,

وهل يصح بالنية من غير قول … (الصحيح) باتفاق الأصحاب أنه لا يصح إلا بالقول ولا تنفع النية وحدها

Apakah nazar sah semata dengan niat, tanpa diucapkan…(yang kuat) berdasarkan sepakat ulama madzhab Syafii, bahwa tidak sah nazar kecuali diucapkan. Niat semata, tidak bermanfaat (tidak dianggap). (Al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 8/451)

Hal yang sama juga dinyatakan Al-Mardawi – ulama hambali – dalam Al-Inshaf,

ولا يصح (النذر) إلا بالقول ، فإن نواه من غير قول : لم يصح بلا نزاع

Nazar tidak sah kecuali dengan diucapkan. Jika dia hanya berniat, namun tidak dia ucapkan, tidak sah nazarnya, tanpa ada perbedaan pendapat. (Al-Inshaf, 11/118)‎

Nazar berarti mewajibkan pada diri sendiri suatu perkara yang sebenarnya tidak wajib. Penjelasan nazar secara detail dapat ditelusuri dalam artikel sederhana berikut ini.
Dalil yang Menunjukkan Terlarangnya Memulai Bernadzar
Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata,
 
نَهَى النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَنِ النَّذْرِ قَالَ « إِنَّهُ لاَ يَرُدُّ شَيْئًا ، وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ »

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang untuk bernazar, beliau bersabda: ‘Nazar sama sekali tidak bisa menolak sesuatu. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang bakhil (pelit)’.” (HR. Bukhari no. 6693 dan Muslim no. 1639)
Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ تَنْذُرُوا فَإِنَّ النَّذْرَ لاَ يُغْنِى مِنَ الْقَدَرِ شَيْئًا وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
 
“Janganlah bernazar. Karena nazar tidaklah bisa menolak takdir sedikit pun. Nazar hanyalah dikeluarkan dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1640)
Juga dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau berkata bahwa Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
 
إِنَّ النَّذْرَ لاَ يُقَرِّبُ مِنِ ابْنِ آدَمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنِ اللَّهُ قَدَّرَهُ لَهُ وَلَكِنِ النَّذْرُ يُوَافِقُ الْقَدَرَ فَيُخْرَجُ بِذَلِكَ مِنَ الْبَخِيلِ مَا لَمْ يَكُنِ الْبَخِيلُ يُرِيدُ أَنْ يُخْرِجَ
 
“Sungguh nazar tidaklah membuat dekat pada seseorang apa yang tidak Allah takdirkan. Hasil nazar itulah yang Allah takdirkan. Nazar hanyalah dikeluarkan oleh orang yang pelit. Orang yang bernazar tersebut mengeluarkan harta yang sebenarnya tidak ia inginkan untuk dikeluarkan. ” (HR. Bukhari no. 6694 dan Muslim no. 1640)
Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa nazar itu terlarang. Demikianlah pendapat jumhur (mayoritas ulama) yang memakruhkan bernazar. Akan tetapi, jika terlanjur mengucapkan, maka nazar tersebut tetap wajib ditunaikan.
Dalil yang Menunjukkan Wajibnya Menunaikan Nazar
Allah Ta’ala berfirman,
ثُمَّ لْيَقْضُوا تَفَثَهُمْ وَلْيُوفُوا نُذُورَهُمْ
 
“Kemudian, hendaklah mereka menghilangkan kotoran yang ada pada badan mereka dan hendaklah mereka menyempurnakan nazar-nazar mereka.” (QS. Al Hajj: 29)
Allah Ta’ala juga berfirman,
وَمَا أَنْفَقْتُمْ مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ نَذَرْتُمْ مِنْ نَذْرٍ فَإِنَّ اللَّهَ يَعْلَمُهُ
 
“Apa saja yang kamu nafkahkan atau apa saja yang kamu nazarkan, maka sesungguhnya Allah mengetahuinya.” (QS. Al Baqarah: 270)
Allah Ta’ala memuji orang-orang yang menunaikan nazarnya,
 
إِنَّ الأبْرَارَ يَشْرَبُونَ مِنْ كَأْسٍ كَانَ مِزَاجُهَا كَافُورًا (٥)عَيْنًا يَشْرَبُ بِهَا عِبَادُ اللَّهِ يُفَجِّرُونَهَا تَفْجِيرًا (٦)يُوفُونَ بِالنَّذْرِ وَيَخَافُونَ يَوْمًا كَانَ شَرُّهُ مُسْتَطِيرًا (٧)
 
“Sesungguhnya orang-orang yang berbuat kebajikan minum dari gelas (berisi minuman) yang campurannya adalah air kafur, (yaitu) mata air (dalam surga) yang daripadanya hamba-hamba Allah minum, yang mereka dapat mengalirkannya dengan sebaik-baiknya. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.” (QS. Al Insan: 5-7)
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, dari Nabishallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
 
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ ، وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
 
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut. Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
Dari ‘Imron bin Hushoin radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda,
 
خَيْرُكُمْ قَرْنِى ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ ، ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ – قَالَ عِمْرَانُ لاَ أَدْرِى ذَكَرَ ثِنْتَيْنِ أَوْ ثَلاَثًا بَعْدَ قَرْنِهِ – ثُمَّ يَجِىءُ قَوْمٌ يَنْذُرُونَ وَلاَ يَفُونَ ، …
“Sebaik-baik kalian adalah orang-orang yang berada di generasiku, kemudian orang-orang setelahnya dan orang-orang setelahnya lagi. -‘Imron berkata, ‘Aku tidak mengetahui penyebutan generasi setelahnya itu sampai dua atau tiga kali’-. Kemudian datanglah suatu kaum yang bernazar lalu mereka tidak menunaikannya, …. ” (HR. Bukhari no. 2651). Hadits ini menunjukkan berdosanya orang yang tidak menunaikan nazar.
Dari ayat dan hadits di atas, kebanyakan ulama Malikiyah dan sebagian ulama Syafi’iyah –seperti Imam Nawawi dan Al Ghozali- berpendapat bahwa hukum nazar adalah sunnah.
Kompromi Pendapat
Jika kita melihat dua pendapat di atas, yang satu mengatakan makruh dan yang lainnya sunnah. Pendapat jumhur (mayoritas ulama) juga ada sedikit problema. Padahal kita ketahui bersama ada kaedah, wasilah (perantara) kepada ketaatan, maka bernilai ketaatan dan wasilah pada maksiat, maka bernilai maksiat. Lalu kenapa berniat nazar bisa jadi makruh, padahal penunaiannya wajib?!
Cara kompromi yang lebih baik sehingga tidak muncul problema seperti di atas adalah kita katakan bahwa  nazar itu ada dua macam:
Pertama, nazar mu’allaq untuk memperoleh manfaat. Maksud nazar ini adalah dengan bersyarat, yaitu jika permintaannya terkabul, barulah ia akan melakukan ketaatan. Contohnya, seseorang yang bernazar, “Jika Allah menyembuhkan saya dari penyakit ini, maka saya akan bersedekah sebesar Rp.2.000.000.”
Kedua, nazar muthlaq, artinya tidak menyebutkan syarat. Contohnya, seseorang yang bernazar, “Aku ikhlas pada Allah mewajibkan diriku bersedekah untuk masjid sebesar Rp.2.000.000”.
Kita katakan bahwa hadits-hadits yang menjelaskan larangan untuk bernazar dimaksudkan untuk nazar macam yang pertama. Karena nazar macam pertama sebenarnya dilakukan tidak ikhlas pada Allah, tujuannya hanyalah agar orang yang bernazar mendapatkan manfaat. Orang yang bernazar dengan macam yang pertama hanyalah mau bersedekah ketika penyakitnya sembuh. Jika tidak sembuh, ia tidak bersedekah. Itulah mengapa dalam hadits disebut orang yang pelit (bakhil).
Perlu juga diketahui bahwa kenapa dilarang untuk bernazar sebagaimana disebut dalam hadits-hadits larangan? Jawabnya, agar jangan disangka bahwa tujuan nazar itu pasti terwujud ketika seseorang bernazar atau jangan disangka bahwa Allah pasti akan penuhi maksud nazar karena nazar taat yang dilakukan. Sebagaimana dikatakan dalam hadits bahwa nazar sama sekali tidak menolak apa yang Allah takdirkan. Dalam hadits Ibnu ‘Umar yang lainnya disebutkan,
 
النَّذْرُ لاَ يُقَدِّمُ شَيْئًا وَلاَ يُؤَخِّرُهُ وَإِنَّمَا يُسْتَخْرَجُ بِهِ مِنَ الْبَخِيلِ
 
“Nazar sama sekali tidak memajukan atau mengakhirkan apa yang Allah takdirkan. Sungguh nazar hanyalah keluar dari orang yang pelit.” (HR. Muslim no. 1639)
Jadi larangan yang dimaksudkan dalam hadits-hadits yang melarang nazar adalah larangan irsyad (alias: makruh) untuk memberi petunjuk bahwa ada cara yang lebih afdhol, yaitu sedekah dan amalan ketaatan bisa dilakukan tanpa mesti mewajibkan diri dengan bernazar. Atau kita bisa bernazar dengan nazar yang tanpa syarat seperti kita katakan ketika penyakit kita sembuh, “Aku ingin bernazar dengan mewajibkan diriku untuk berpuasa.” Di sini tidak disebutkan syarat, namun dilakukan hanya dalam rangka bersyukur pada Allah.
Macam Nazar dan Hukumnya‎
Nazar dilihat dari hal yang dinazari (al mandzur) dibagi menjadi dua macam:
Pertama, nazar taat.
Seperti seseorang mewajibkan pada dirinya untuk melakukan amalan yang sunnah (seperti shalat sunnah, puasa sunnah, sedekah sunnah, i’tikaf sunnah, haji sunnah) atau melakukan amalan wajib yang dikaitkan dengan sifat tertentu (seperti bernazar untuk melaksanakan shalat lima waktu di awal waktu).
Adapun jika seseorang bernazar untuk melakukan shalat lima waktu atau melakukan puasa Ramadhan, maka bentuk semacam ini tidak dianggap nazar karena hal tersebut sudah wajib. Hal yang telah Allah wajibkan tentu lebih agung daripada hal yang diwajibkan lewat nazar.
Hukum penunaian nazar taat
Hukum penunaiannya adalah wajib, baik nazar tersebut nazar mu’allaq atau nazar muthlaq. Dalil yang menunjukkan wajibnya adalah,
 
مَنْ نَذَرَ أَنْ يُطِيعَ اللَّهَ فَلْيُطِعْهُ
 
“Barangsiapa yang bernazar untuk taat pada Allah, maka penuhilah nazar tersebut.” (HR. Bukhari no. 6696)
Dalil lainnya, dari Ibnu ‘Umar, beliau berkata,
 
أَنَّ عُمَرَ – رضى الله عنه – نَذَرَ فِى الْجَاهِلِيَّةِ أَنْ يَعْتَكِفَ فِى الْمَسْجِدِ الْحَرَامِ – قَالَ أُرَاهُ قَالَ – لَيْلَةً قَالَ لَهُ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « أَوْفِ بِنَذْرِكَ »
 
“Dahulu di masa jahiliyah, Umar radhiyallahu ‘anhu pernah bernazar untuk beri’tikaf di masjidil haram –yaitu i’tikaf pada suatu malam-, lantas Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda padanya, ‘Tunaikanlah nazarmu’.” (HR. Bukhari no. 2043 dan Muslim no. 1656)
Jika nazar tidak mampu ditunaikan
Jika nazar yang diucapkan mampu ditunaikan, maka wajib ditunaikan. Namun jika nazar yang diucapkan tidak mampu ditunaikan atau mustahil ditunaikan, maka tidak wajib ditunaikan. Seperti mungkin ada yang bernazar mewajibkan dirinya ketika pergi haji harus berjalan kaki dari negerinya ke Makkah, padahal dia sendiri tidak mampu. Jika nazar seperti ini tidak ditunaikan lantas apa gantinya?

Barangsiapa yang bernazar taat, lalu ia tidak mampu menunaikannya, maka nazar tersebut tidak wajib ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah. Kafaroh sumpah adalah:
Memberi makan kepada sepuluh orang miskin, atau
Memberi pakaian kepada sepuluh orang miskin, atau
Memerdekakan satu orang budak
Jika tidak mampu ketiga hal di atas, barulah menunaikan pilihan berpuasa selama tiga hari. (Lihat Surat Al Maidah ayat 89)
Kedua, nazar yang bukan bentuk taat.‎
Nazar jenis kedua ini dibagi menjadi dua macam: (1) nazar mubah, (2) nazar maksiat.
(1) Nazar mubah
Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan berenang selama lima jam.” Nazar seperti ini bukanlah nazar taat, namun nazar mubah. Untuk penunaiannya tidaklah wajib. Bahkan jumhur (mayoritas ulama) menyatakan bahwa bentuk seperti ini bukanlah nazar.
(2) Nazar maksiat
Seperti seseorang bernazar, “Jika lulus ujian, saya akan traktir teman-teman mabuk-mabukan.” Nazar seperti ini tidak boleh ditunaikan berdasarkan hadits,
وَمَنْ نَذَرَ أَنْ يَعْصِيَهُ فَلاَ يَعْصِهِ
 
“Barangsiapa yang bernazar untuk bermaksiat pada Allah, maka janganlah memaksiati-Nya. ” (HR. Bukhari no. 6696)
Lalu apakah ada kafaroh? Jawabnya, tetap ada kafaroh berdasarkan hadits.
 
النذر نذران : فما كان لله ؛ فكفارته الوفاء وما كان للشيطان ؛ فلا وفاء فيه وعليه كفارة يمين
 
“Nazar itu ada dua macam. Jika nazarnya adalah nazar taat, maka wajib ditunaikan. Jika nazarnya adalah nazar maksiat -karena syaithon-, maka tidak boleh ditunaikan dan sebagai gantinya adalah menunaikan kafaroh sumpah.” (HR. Ibnu Jarud, Al Baihaqi. Dishahihkan oleh Syaikh Al Albani dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 479)
Semoga sajian singkat ini bermanfaat.‎

 

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...