Gunung Penanggungan (dahulu bernama Gunung Pawitra) (1.653 m dpl)
adalahgunung berapi kerucut (istirahat) yang terletak di Jawa Timur,
Indonesia. Posisinya berada di dua kabupaten, yaituKabupaten Mojokerto
(sisi barat) danKabupaten Pasuruan (sisi timur), berjarak kurang lebih
55 km dari Surabaya. Gunung Penanggungan merupakan gunung kecil yang
berada pada satu kluster denganGunung Arjuno dan Gunung Welirang yang
jauh lebih besar. Gunung Penanggungan sering disebut sebagai miniatur
dariGunung Semeru, karena hamparan puncaknya yang sama-sama terdapat
pasir dan batuan yang luas. Menurut kepercayaan Jawa Kuna, Gunung
Penanggungan merupakan salah satu bagian puncak Mahameru yang
dipindahkan oleh penguasa alam. Penanggungan merupakan salah satu gunung
suci dari sembilan gunung suci di Jawa.
Dilihat dari sisi sejarah, gunung ini memiliki nilai yang penting. Di
sekujur lereng gunung ini ditemui berbagai peninggalan purbakala, baik
candi, pertapaan, maupun petirtaan dari periode Hindu-Buddha di Jawa
Timur. Berdasarkan studi selama dua tahun (2012-2014) ditemukan 116
situs percandian atau objek kepurbakalaan, mulai dari kaki sampai
mendekati puncak gunung. Beberapa struktur yang ditemukan adalah Gapura
Jedong (926 Masehi), Petirtaan Jalatunda (abad ke-10),Petirtaan Belahan,
Candi Kendalisodo, Candi Merak, Candi Yudha, Candi Pandawa, dan Candi
Selokelir. Selain bangunan Hindu, ditemukan pula punden berundak dan
tempat pertapaan. Candi-candi di Gunung Penanggungan memiliki gaya yang
unik, yaitu bangunannya menempel pada dinding gunung/lereng, tidak
berdiri sendiri.
Vegetasi yang menutupnya merupakan kawasan hutan Dipterokarp Bukit,
hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, danHutan Ericaceous atau hutan
gunung.
Untuk mencapai puncak Gunung Penanggungan terdapat 4 ( empat ) arah
pendakian yaitu via Trawas, Jolotundo, Ngoro dan via Pandaan. Bagi
pendaki yang memilih start dari Desa Jolotundo dan Ngoro, di sepanjang
jalan akan melewati candi - candi peninggalan purbakala. Yang memilih
start dari Desa Trawas dan Pandaan hampir tidak menjumpai peninggalan
purbakala.
Jalur Trawas
Untuk mencapai Trawas, dari Surabaya atau Dari Malang naik bis menuju
Pandaan, naik lagi Minibus menuju ke Trawas. Selama perjalanan jalan
yang dilalui sudah beraspal. Dari Desa Trawas,Mojokerto,kita menuju ke
desa Rondokuning ( 6 km ) dengan kendaraan roda 4 atau roda 2. Dari desa
Rondokuning melewati jalan setapak hutan alam menuju ke puncak
Penanggungandengan memakan waktu sekitar 3 jam. Sepanjang jalan, pendaki
akan melihat pemandangan dari celah - celah lebatnya pohon kaliandra,
puncak Gunung Bekel yang merupakan anak Gunung Penanggungan terlihat
angker. Rumah - rumah penduduk, pabrik - pabrik, sawah - sawah terlihat
di bawah.
Jalur Jolotundo
Untuk mencapai Jolotundo dari Trawas naik lagi minibus sekitar 9 Km.
Desa Jolotundo merupakan salah satu desa yang berada dekat dengan puncak
Gunung Penanggungan ( 6,5 Km ). Pendakian lewat Jolotundo membutuhkan
total waktu 3 jam. Perjalanan tidak melewati pedesaan, tetapi langsung
menyusup ke dalam hutan alam. kemiringan medannya 40 derajat, melewati
jalan setapak. Di kanan - kiri terdapat pohon - pohon besar. Hati -
hati, di sekitar sini banyak jalan setapak yang menyesatkan.
Setelah perjalanan memakan waktu 1 jam, hutan alam terlewati, berganti
memasuki hutan caliandra yang amat lebat dengan jalan menanjak. Berjalan
sekitar 30 menit pendaki melewati Batu talang, sebuah batu yang
panjangnya 7 km tanpa putus, bersumber dari leher Gunung Penanggungan
yang memanjnag seperti talang air menerobos hutan sampai ke Desa
Jolotundo dan Desa Balekambang.
Dari Batu talang, terus menyusup hutan caliandra. Sekitar 300 m,
sampailah di Candi Putri, sebuah candi peninggalan Airlangga yang
berukuran 7x7x4 m dalam keadaan tidak utuh. Candi Putri ini dikelilingi
oleh hutan caliandra yang sangat lebat. Dari Candi Putri, sekitar 200 m
sampai di Candi Pure, yaitu sebuah candi yang berukuran 7x6x2 m terbuat
dari batu andesit.
Dari Candi Pure, sekitar 150 m sampai di Candi Gentong. Disini terdapat
meja. Candi gentong dan meja sebenarnya bukan candi, tetapi menurut
masyarakat setempat dinamakan candi. Candi Gentong merupakan peninggalan
kuno yang terbuat dari batu kali. Posisinya bersebelahan. Gentong
terletak di sebelah Utara, meja terletak di sebelah selatan tetapi dalam
1 lokasi. Gentong berdiameter 40 cm bagian mulut dan 90 cm bagian
perut, tebal 15 cm. Setengan badannya terpendam di dalam tanah.
Sedangkan meja panjang 175 cm, lebar 100 cm dan tinggi 125 cm.
Setelah melewati Candi Gentong, perjalanan dilanjutkan menyusur ke atas.
Lebih kurang berjalan 50 m sampai di Candi Shinto. Keadaan candi sangat
memprihatinkan, panjang 6 m, lebar 6 m, tinggi 3 m, terletak di hutan
wilayah RPH Seloliman. Setelah melewati hutan kurang lebih 300 m akan
ditemui candi lagi, yaitu Candi Carik dan sekitar 300m Candi Lurah. Dan
sampailah di puncak.
Jalur Ngoro
Untuk mencapai Ngoro bisa dari arah Pandaan atau dari Arah Mojokerto.
Dari arah Pandaan naik minibus jurusan Ngoro sedangan dari arah
Mojokerto naik minibus menuju arah Ngoro. Desa Ngoro lebih mudah dicapai
lewat Mojokerto karena terletak di tikungan jalan jurusan antara
Japanan, Mojosari, Kabupaten Mojokerto; persisnya di kaki Gunung
Penanggungan sebelah Utara. Dari desa Ngoro kita menuju ke desa Jedong (
6 Km ) dengan kendaraan angkutan pedesaan lalu perjalanan di teruskan
menuju dusun Genting sekitar 3 Km. Masyarakat Desa Genting sebagaian
besar penduduknya suku Madura.
Dari dusun Genting, pendaki naik ke atas memasuki hutan lindung,
melewati jalan setapak menyusur ke atas, kemudian menurun dan melewati
Candi wayang dan sekitar 2 km menuju puncak dengan medan yang sangat
miring antara 70 - 80 derajat. Jalur lewat desa Ngoro ini lebih sulit
dibandingkan dengan jalur desa Jolotundo.
Penanggungan memiliki banyak sekali sejarah, inilah beberapa sejarah yang muncul sejak beribu-ribu tahun lalu :
1. Tempat Suci
Petirtaan Jolotundo hanyalah satu dari puluhan situs purbakala yang
ditemukan di kaki Gunung Penanggungan, Mojokerto, Jawa Timur. Semua ini
berkat jasa WF Stutterheim, arkeolog Belanda yang pertama kali menemukan
sebuah situs dan melaporkannya kepada pemerintah kolonial Belanda.
Sejak saat itu dimulailah penelitian dan penggalian arkeologi di gunung
ini. Tak kurang 81 situs candi dan 50 monumen punden berundah telah
ditemukan. Semuanya berasal dari sekitar abad 10-16 M.
Banyaknya candi yang ditemukan mengukuhkan kedudukan Penanggungan
sebagai gunung suci. Ada legenda yang mengatakan Penanggungan merupakan
jelmaan gunung keramat Mahameru di India. Seperti termuat dalam Kitab
Tantu Panggelaran, karya sastra jaman Majapahit.
Konon, Jawadwipa -sebutan lain Pulau Jawa- tidaklah stabil, selalu
terombang- ambing ombak Samudra Hindia dan Laut Jawa. Para dewa di
kahyangan lalu memutuskan untuk memindahkan Gunung Mahameru -yang
menjadi pusat alam semesta- dari Jambhudwipa (India) ke Jawadwipa.
Mahameru lalu digotong bersama-sama sambil terbang di angkasa. Dalam
perjalanan, bagian lereng Mahameru berguguran membentuk rangkaian
pegunungan di Pulau Jawa. Bagian yang berat jatuh membentuk Gunung
Semeru, sedang puncaknya menjadi Gunung Penanggungan.
Penanggungan dikenal juga sebagai Pawitra yang berarti kabut karena
tubuhnya selalu diselimuti kabut. Walau setinggi 1659 m di atas
permukaan laut, gunung ini tak mudah dilalui. Cuacanya selalu
berubah-ubah, berkabut dan gerimis, tak peduli musim. Namun itu tak
menghalangi niat para resi di masa lalu untuk menjadikannya pusat
pemujaan.
Hal ini dikuatkan oleh penemuan sebuah prasasti peninggalan Sri Maharaja
Rake Hino Pu Sindok pada 929 M. Prasasti itu menyebutkan bahwa Mpu
Sindok, Raja Medang Kemulan, membebaskan Desa Cunggrang dari pungutan
pajak (sima). Sebagai gantinya, penduduk harus memelihara Sanghyang
Dharmasrame in Pawitra dan Sanghyang Prasada Silungsilung, yang
merupakan bangunan suci (parasada) dan asrama bagi para pertapa di
Pawitra.
Sementara itu, Raja Airlangga sempat mengungsi ke Pawitra ketika
kerajaannya diserang pasukan pemberontak pimpinan Wurawari tahun 1016 M.
Dia yakin musuhnya takkan berani menggempur pasukannya di Pawitra yang
suci.
2. Kaya obyek wisata
Panoramanya yang indah, membuat Penanggungan difavoritkan menjadi tempat
wisata sejak dulu. Seperti dikisahkan dalam Kakawin Negarakertagama
pupuh 58 ayat 1, tentang perjalanan Raja Hayamwuruk (1350-1389 M) dari
Majapahit ke Cunggrang karena terpesona keindahan Pawitra. Cunggrang
adalah asrama para pertapa yang terletak di tepi jurang kaki Gunung
Penanggungan.
Kini, banyak obyek wisata tersebar di kaki Gunung Penanggungan. Selain
petirtaan Jolotundo yang bisa dicapai lewat Desa Tamiajeng, ada juga
pemandian air panas di Trawas, atau wisata lingkungan di PPLH (Pusat
Pendidikan Lingkungan Hidup) Seloliman, tepat di bawah Wanawisata
Jolotundo. Sementara yang suka dengan sejarah dapat melakukan tour
arkeologis dari candi ke candi, menyusuri pebukitan di sekitar gunung.
Penanggungan memiliki puncak yang dikelilingi empat puncak kecil, yaitu:
Puncak Gajahmungkur (1084 m), Kemuncup (1238 m), Sarahklopo (1235 m),
dan Bekel (1240 m), yang menggambarkan replika sistem mata angin kosmis.
Di setiap puncak tersebar bangunan bersejarah seperti candi dan gua
pertapaan. Cara termudah merunut candi-candi tersebut dengan mendaki
melalui Desa Seloliman yang berjarak 13 km dari Desa Tamiajeng. Di Bukit
Bekel misalnya, berturut-turut bisa kita jumpai Candi Putri, Rupa,
Gentong, dan Sinta.
Candi-candi ini umumnya dilengkapi dengan punden berundak dan altar
sesaji. Untaian bunga kering dan sisa dupa nampak menghiasi beberapa
altar, menjadi bukti bahwa tempat ini tak pernah sepi dari peziarah.
Pada malam tententu, Penanggungan selalu penuh oleh para peziarah.
Mereka adalah sisa-sisa pemeluk hindu syiwa-wisnu yang masih bertahan di
Pulau Jawa. Mereka berasal dari Mojokerto, Surabaya, Malang, Pasuruan,
dan kota sekitarnya. Selain mengunjungi candi-candi, mereka juga
menyucikan diri di petirtaan Jolotundo.
Air yang mengalir dari kolam ini berasal dari tubuh Mahameru, dan
dipercaya dapat bersifat amerta atau abadi. Dengan minum dan mandi di
kolam keabadian ini, maka pikiran yang kusut akan dijernihkan, hati yang
resah ditenangkan. Begitu pula jika berdoa di candi-candi ini. Membuat
tubuh lebih sehat dan panjang umur. Seperti para dewa di swargaloka.
3. Rawan penjarahan
Candi-candi Penanggungan kaya akan relief kisah kuno. Cerita Sudhamala
(kisah ruwat Dewi Durga), Arjuna Wiwaha (perkawinan Arjuna dengan
bidadari), Panji (kisah cinta antara putra mahkota Jenggala dan putri
Kediri), Ramayana, serta kisah-kisah hewan mendominasi relief dinding
dan bata candi. Relief juga ditemukan pada ribuan pecahan gerabah dan
bata yang berserakan di sekitar candi.
Tak jarang relief ini berpindah tangan ke tas dan kantong para
pengunjung. Tempatnya yang terbuka serta minimnya pengawasan membuat
banyak arca dan gerabah yang raib, menjadi koleksi pribadi pengunjung
dan kolektor profesional. Arca wisnu di petirtaan Jolotundo, contohnya.
Untuk mengurangi penjarahan liar, pemerintah lalu menetapkan kawasan ini
sebagai cagar budaya dan hutan lindung pada 1986. Pengawasan dan
pengelolaannya diserahkan kepada perhutani dan dinas purbakala.
Sayangnya, hal ini tak mengurangi tingginya penjarahan.
Belakangan, tak hanya benda purbakala yang dijarah, tapi juga kayu-kayu
di sekitar hutan Penanggungan. Penebangan liar dan perambahan ladang di
dalam hutan ini justru mendapat restu dari petugas kehutanan setempat.
Misalnya ladang kubis tepat di depan lokasi Candi Putri. Akibat
penjarahan hutan ini sungguh fatal. Puluhan orang tewas akibat bencana
air bah dadakan di pemandian air panas Trawas. Kalau hal ini terus
berlanjut, swargaloka tanah jawa pun akan musnah. Sehingga bukan
kedekatan dengan Sang Pencipta yang didapat, tapi dengan Sang Maut.