Sungguh aneh sikap mayoritas umat muslim masa kini, mereka lebih merasa
tertarik kepada tokoh-tokoh nonmuslim, menjadikan tokoh-tokoh tersebut
sebagai panutan, contoh, dan suri teladan. Setiap kali mereka ingin
memberikan permisalan atau contoh kesuksesan seseorang, mereka pasti
mengangkat dan menggunakan nama nonmuslim. Bila mereka ingin
menggambarkan kecerdasan maka yang terlintas di otak dan pikiran mereka
adalah kecerdasan Albert Einstein. Bila mereka ingin memncontohkan
tentang semangat yang tak kenal putus asa, maka mereka mempermisalkan
kegigihan seorangThomas Alva Edison. Dan masih banyak contoh lain yang
sangat sering kita lihat dan kita dengar di kehidupan kita sehari-hari.
Timbul sebuah pertanyaan besar, apakah tidak ada seorang tokoh muslim
pun yang sehebat tokoh-tokoh nonmuslim tersebut, sampai-sampai kaum
muslimin mengangkat nama mereka bila ingin memberikan semangat dan
motivasi???!
Mungkin ini menjadi sebab umat muslim menjadi lemah, karena hidup di
bawah jajahan dan naungan pemikiran non muslim. Bergaya hidup dan
berpola pikir seperti mereka kaum non muslim. Secara tidak lansung baik
kita sadari ataupun tidak kita bagaikan boneka yang di kendalikan oleh
umat non muslim.
Sebagai solusi dari kenyataan ini, umat Islam harus memiliki jati diri
sebagai seorang muslim, mereka harus mengenal Nabi mereka, para
sahabatnya, dan tokoh-tokoh besar lainnya yang berpengaruh dalam
kejayaan Islam, yang dengan mengenal sejarah mereka, kita dapat
termotivasi dengan meyebutkan kisah hidup serta keberhasilan yang telah
mereka gapai.
Pada pembahasan ini, penulis akan memaparkan biografi seorang imam besar
yang kebesarannya tercatat dalam tinta sejarah peradaban Islam, beliau
adalah Al-Imam al-Hafizh Adz-Dhahabiy.
Biografi Imam al-Hafizh Adz-Dzahabi
Beliau adalah: al-Imam al-Hafizh, Syamsuddin, Abu Abdillah, Muhammad bin
Ahmad bin Utsman bin Qaimaz bin Abdullah at-Turkmani al-Fariqi
asy-Syafi’i ad-Dimasyqi, yang terkenal dengan Adz-Dzahabi.
Adz-Dzahabi berasal dari kata adz-dzahab yang berarti emas. Nama ini
beliau dapatkan dikarenakan ayahnya adalah seorang pengrajin emas, dan
beliau pun pernah berprofesi sebagai pengrajin emas. Yang pada akhirnya
nama inilah yang lebih dikenal hingga sekarang daripada nama asli
beliau, dan beliau memang pantas untuk digelari sebagai “emas” karena
ilmu dan jasa beliau selama hidupnya.
Kelahiran dan Perkembangannya
Imam Syamsudin Abu Abdillah Adz-Dzahabi lahir di Damaskus, pada bulan
Rabiul Akhir, tahun 673 H. Dia hidup di lingkungan keluarga ilmuwan yang
taat beragama. Pada tahun kelahirannya, saudara sesusuannya, Alaudin
Abu Al Hasan Ali bin Ibrahim bin Daud Al Aththar, berhasil memperoleh
ijazah dari ulama-ulama besar semasanya di Damaskus, Halab, Makkah, dan
Madinah.
Syamsudin tinggal selama 4 tahun bersama salah seorang sastrawan, yaitu
Alaudin Ali bin Muhammad Al Halabi, yang terkenal dengan sebutan Al
Bushbush. Dia mulai fokus menuntut ilmu ketika berusia 18 tahun.
Menuntut Ilmu
Syamsudin belajar qira`at (cara mengucapkan lafazh-lafazh Al Qur`an dan
mempraktekkannya, baik yang disepakati maupun yang diperselisihkan, dan
menyandarkannya kepada periwatnya-ed.) kepada Syaikhul Qurra` Jamaludin
Abu Ishaq Ibrahim bin Daud Al Asqalani Ad-Dimasyqi, yang terkenal dengan
sebutan Al Fadhili. Kemudian dia belajar kepada Syaikh Jamaludin Abu
Ishaq Ibrahim bin Ghali Al Muqri` Ad-Dimasyqi. Dia mengikuti majlis yang
diadakan Syaikh Syamsudin Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Aziz
Ad-Dimyathi Ad-Dimasyqi, seorang ahli qira`at, yang kemudian
mempercayakan majlis-nya kepadanya pada tahun 692 H di masjid Jami’
dinasti Umayyah. Dia juga mendengar (belajar) kitab Asy-Syathibiyyah
(Kitab Imam Syathibi tentang Qira`at Sab’) tidak hanya dari seorang ahli
qira`at.
Pada waktu belajar qira`at, dia tertarik untuk mendengarkan hadits
(belajar hadits dengan cara mendengarkan dari seorang syaikh) dengan
seksama. Dia mendengar dari berbagai kitab yang tidak terhitung. Dia
bertemu dengan banyak syaikh dan syaikhat (ulama perempuan).
Dia sangat ambisius mendengar hadits dan qira`at. Dia menekuni bidang
tersebut sepanjang hidupnya, sampai-sampai dia mendengar dari beberapa
orang yang terkadang tidak dia sukai.
Disamping belajar hadits dan qira`at, dia juga belajar ilmu-ilmu
lainnya, seperti nahwu. Dia belajar kitab Al Hajibiyyah dalam ilmu nahwu
(tata bahasa Arab). Ia juga belajar kepada pakar Bahasa Arab, Ibnu
An-Nahhas, disamping mempelajari kumpulan-kumpulan syair, bahasa, serta
sastra, secarasima’i (mendengarkan).
Adz-Dzahabi juga mempelajari kitab-kitab sejarah. Dia menyimak al
maghazi, sirah, sejarah umum, mu’jam para syaikh dan syaikhat, serta
buku-buku biografi lainnya.
Perjalanannya Menuntut Ilmu
Imam Adz-Dzahabi sangat berambisi melakukan perjalanan ke negeri-negeri
lain untuk mendapatkan sanad Ali, supaya dapat belajar secara sima’i
(mendengar langsung), dan bertemu dengan para ahli hadits untuk belajar
dan mengambil manfaat dari mereka. Namun, ayahnya tidak mendukungnya.
Setelah berusia 20 tahun, ayahnya membolehkannya melakukan
perjalanan-perjalanan yang tidak jauh. Ayahnya mendampinginya saat
mendatangi orang-orang yang dituju. Bahkan kadang-kadang mendampinginya
dalam sebagian perjalanannya dan ikut mendengar dari beberapa syaikh.
Adz-Dzahabi melakukan perjalanan di kota-kota negeri Syam pada tahun 693
H, dengan melewati kota-kota yang paling terkenal, yaitu Ba’albek,
Halab, Himsh, Hamah, Tripoli, Karak, Ma’arrah, Basra, Nabulus, Ramallah,
Al Quds (Jerusalem), dan Tabuk.
Dia mendengar dan belajar kepada beberapa orang syaikh yang hidup pada masa itu, diantaranya Al Muwaffiq An-Nashibi (W. 695 H).
Dia juga melakukan perjalanan ke Mesir pada tahun 695 H dengan melewati
Palestina. Kemudian melakukan perjalanan ke Iskandariyah (Alexandria)
dan Bilbis, lalu belajar kepada beberapa orang syaikh disana, seperti
Jamaludin Abu Al Abbas Ahmad bin Muhammad bin Abdullah Al Halabi, yang
terkenal dengan sebutan Ibnu Azh-Zhahiri (W. 696 H).
Dia juga melakukan perjalanan untuk menunaikan ibadah haji pada tahun
698 H, dan di sana dia belajar dengan cara sima’ikepada beberapa orang
syaikh di Makkah, Madinah, Arafah, dan Mina. Di antara mereka adalah
Syaikh Dar Al Hadits di Madrasah Al Mustanshiriyah, yaitu Al Alim Al
Musnid Abu Abdillah Muhammad bin Abdul Muhsin, yang terkenal dengan
sebutan Ibnu Al Kharrath Al Hanbali (W. 748 H).
Guru-Gurunya
Imam Az-Zahabi menuntut ilmu sejak usia dini dan ketika berusia 18 tahun
menekankan perhatian pada dua bidang ilmu iaitu ilmu-ilmu al-Quran dan
Hadis. Beliau menempuh perjalanan yang jauh dalam mencari ilmu ke Syria,
Mesir dan Hijaz (Makkah dan Madinah). Beliau mengambil ilmu dari para
ulama di negeri-negeri tersebut.
Di antara para ulama yang menjadi guru-guru beliau ialah:
1. Ibnu Taimiyah
Yang beliau letakkan namannya paling awal di deretan guru-guru yang
memberikan ijazah pada beliau dalam kitabnya, Mu’jam asy-Syuyukh. Beliau
begitu mengagumi Ibnu Taimiyah dengan mengatakan, “Dia lebih agung jika
aku yang menyifatinya. Seandainya aku bersumpah di antara rukun dan
maqam maka sungguh aku akan bersumpah bahwa mataku belum pernah melihat
yang semisalnya. Tidak, demi Allah, bahkan dia sendiri belum pernah
melihat yang semisalnya dalam hal keilmuan.” (Raddul Wafir , hal. 35)
2. al-Hafiz Jamaluddin Yusuf bin Abdurrahman al-Mizzi
Yang dikatakan oleh beliau, “Dia adalah sandaran kami jika kami menemui
masalah-masalah yang musykil.” (ad-Durar al-Kaminah,V:235)
3. Al-Hafiz Alamuddin Abdul Qasim bin Muhammad al-Birzali
Yang menyemangati beliau dalam belajar ilmu hadits, beliau mengatakan
tentangnya: “Dialah yang menjadikanku mencintai ilmu hadits.” (ad-Durar
al-Kaminah, III:323)
Ketiga ulama diatas adalah yang banyak memberikan pengaruh terhadap
kepribadian beliau. Adapun guru-guru beliau yang lainnya adalah Umar bin
Qawwas, Ahmad bin Hibatullah bin Asakir, Yusuf bin Ahmad al-Ghasuli,
Abdul Khaliq bin Ulwan, Zainab bintu Umar bin Kindi, al-Abrahuqi, Isa
bin Abdul Mun’im bin Syihab, Ibnu Daqiqil ‘Id, Abu Muhammad ad-Dimyathi,
Abul abbas azh-Zhahiri, ali bin Ahmad al-Gharrafi, Yahya bin ahmad
ash-Shawwaf, at-Tauzari, masih banyak lagi yang lainnya.
Imam az-Zahabi memiliki Mu’jam asy-Syuyukh (Daftar Guru-Guru) beliau
yang jumlahnya mencapai 3000-an orang (adz-Dzahabi wa Manhajuhu fi
Kitabihi, Tarikhil Islam)
Murid-Muridnya
Di antara murid-murid beliau ialah Tajuddin as-Subki, Muhammad bin Ali
al-Husaini, al-Hafiz Ibnu Katsir, al-Hafiz Ibnu Rajab dan masih banyak
lagi selain mereka.
Pujian Para Ulama Kepadanya
Ibnu Nashruddin ad-Dimasyqi berkata, “Beliau adalah Ayat (tanda
kebesaran Allah) dalam ilmu rijal, sandaran dalam jarh wa ta’dil (ilmu
kritik hadits-red) lantaran mengetahui cabang dan pokoknya, imam dalam
qiraat, faqih dalam pemikiran, sangat paham dengan madzhab-madzhab para
imam dan para pemilik pemikiran, penyebar sunnah dan madzhab salaf di
kalangan generasi yang datang belakangan.” (Raddul Wafir, hal. 13)
Ibnu Katsir berkata, “Beliau adalah Syeikh al-Hafiz al-kabir, Pakar
Tarikh Islam, Syeikhul muhadditsin. Beliau adalah penutup syuyukh hadis
dan huffazhnya.” (al-Bidayah wa an-Nihayah, XIV:225)
Tajuddin as-Subki berkata, “Beliau adalah syaikh Jarh wa Ta’dil, pakar
Rijal, seakan-akan umat ini dikumpulkan di satu tempat kemudian beliau
melihat dan mengungkapkan sejarah mereka.” (Thabaqah Syafi’iyyah Kubra,
IX:101)
An-Nabilisi berkata, “Beliau pakar zamannya dalam hal perawi dan
keadaaan-keadaan mereka, tajam pemahamannya, cerdas, dan ketenarannya
sudah mencukupi dari pada menyebutkan sifat-sifat nya.” (ad-Durar
al-Kaminah, III:427)
As-Shafadi berkata, “Beliau seorang hafiz yang tidak tertandingi,
penceramah yang tidak tersaingi, mumpuni dalam hadits dan rijalnya,
memiliki pengetahuan yang sempurna tentang ‘illah dan
keadaan-keadaannya, memiliki pengetahuan yang sempurna tentang biografi
manusia. Menghilangkan ketidakjelasan dan kekaburan dalam sejarah
manusia. Beliau memiliki akal yang cerdas, benarlah nisbahnya kepada
dzahab (emas). Beliau mengumpulkan banyak bidang ilmu, memberi manfaat
yang banyak kepada manusia, banyak memiliki karya ilmiah, lebih
mengutamakan hal yang ringkas dalam tulisannya dan tidak berpanjang
lebar. Aku telah bertemu dan berguru kepadanya, dan membaca banyak dari
tulisan-tulisannya di bawah bimbingannya. Aku tidak menjumpai padanya
kejumudan, bahkan dia adalah faqih dalam pandangannya, memiliki banyak
pengetahuan tentang perkataan-perkataan ulama, madzhab-madzahab para
imam salaf dan para pemilik pemikiran.” (al-Wafi bil Wafayat, II:163)
Di Antara Kata-Katanya
Imam Az-Zahabi berkata, “Tidak sedikit orang yang memusatkan
perhatiannya pada ilmu kalam melainkan ijtihadnya akan membawanya kepada
perkataan yang menyelisihi sunnah. Karena itulah ulama salaf mencela
setiap yang belajar ilmu-ilmu para umat sebelum Islam. Ilmu kalam
turunan dari ilmu para filosof atheis. Barangsiapa yang sengaja ingin
menggabungkan ilmu para nabi dengan ilmu para ahli filsafat dengan
mengandalkan kecerdasannya maka pasti dia akan menyelisihi para nabi dan
para ahli filsafat. Dan barangsiapa yang berjalan di belakang apa yang
dibawa oleh para rasul. Maka sungguh dia telah menempuh jalan salaf dan
menyelamatkan agama dan keyakinannya.” (Mizanul I’tidal, III:144)
Beliau menukil perkataan ma’mar, “Dahulu dikatakan bahwa seseorang
menuntut ilmu untuk selain Allah maka ilmu itu enggan hingga semata-mata
untuk Allah.” Kemudian beliau mengomentari perkataan ma’mar tersebut
dengan mengatakan, “Ya, dia awalnya menuntut ilmu atas dorongan
kecintaan kepada ilmu, agar menghilangkan kejahilannya, agar mendapat
pekerjaan, dan yang semacamnya. Dia belum tahu tentang wajibnya ikhlas
dalam menuntutnya dan kebenaran niat di dalamnya. Maka jika sudah
mengetahuinya, dia hisab dirinya dan takut terhadap akibat buruk dari
niatnya yang keliru, maka datanglah kepada niat yang shahih semuanya
atau sebagiannya. Kadang dia bertaubat dari niatnya yang keliru dan
menyesal. Tanda atas hal itu ialah bahwasanya dia mengurangi dari
klaim-klaim, perdebatan, dan perasaan memiliki ilmu yang banyak, dan dia
hinakan dirinya. Adapun jika dia merasa banyak ilmunya atau mengatakan
“saya lebih berilmu dari pada Fulan; maka sungguh celakalah dia.” (Siyar
A’lam An-Nubala’, VII:17)
Beliau berkata, “Yang dibutuhkan oleh seorang hafizh adalah hendaknya
bertakwa, cerdas, mahir Nahwu, mahir ilmu bahasa, memiliki rasa malu dan
salafi.” (Siyar, XIII:380)
Beliau berkata, “Ahli hadis sekarang hendaknya memperhatikan Kutubus
Sittah, Musnad Ahmad dan Sunan Baihaqi. Dan hendaknya teliti terhadap
matan-matan dan sanad-sanadnya, kemudian tidak mengambil manfa’at dari
hal itu hingga dia bertakwa kepada Rabbnya dan menjadikan hadits sebagai
dasar agama. Kemudian ilmu bukanlah dengan banyak riwayat, tetapi dia
adalah cahaya yang Allah pancarkan ke dalam hati dan syaratnya adalah
ittiba’ (mengikuti nabi SAW-red) dan menjauhkan diri dari hawa nafsu dan
kebid’ahan.” (Siyar, XIII:323)
Beliau berkata, “Kebanyakan ulama pada zaman ini terpaku dengan taqlid
dalam hal furu’, tidak mau mengembangkan ijtihad, tenggelam dalam
logika-logika umat terdahulu dan pemikiran ahli filsafat. Dengan
demikian, bencana pun meluas, hawa nafsu menjadi hukum dan tanda-tanda
tercabutnya ilmu semakin nampak. Semoga Allah merahmati seseorang yang
mau memperhatikan kondisi dirinya, menjaga ucapannya, selalu membaca
al-Qur’an, menangis atas kejadian zaman, memperhatikan kitab as-Sahihain
dan beribadah kepada Allah sebelum ajal datang secara tiba-tiba.”
(Tadzkirah al-Huffazh, II:530)
Karir Keilmuannya
Imam Adz-Dzahabi memegang jabatan Khatib di masjid Kafr Batna —salah
satu desa di lembah Damaskus— pada tahun 703 H, dan menetap disana
sampai tahun 718 H.
Sebelum meninggal, dia bekerja sebagai guru besar hadits di lima tempat di Damaskus, yaitu:
1. Masyhad Urwah atau Dar Al Hadits Al Urwiyyah.
2. Dar Al Hadits An-Nafisah.
3. Dar Al Hadits At-Tankaziyah.
4. Dar Al Hadits Al Fadhiliyah di Kallasah.
5. Turbah Ummu Ash-Shalih.
Karya-Karyanya
Beliau memiliki sekitar 100 karya tulis, di antara karya-karya tulis itu ialah:
a. Siyar A’lam An-Nubala setebal 20 jilid
b. al-‘Uluww lil ‘Aliyyil Ghaffar
c. Taariikhul Islam setebal 36 jilid
d. Mukhtashar Tahdziibil Kamaal
e. Miizaanul I’tidaal Fii Naqdir Rijaal setebal 4 Jilid
f. Thabaqatul Huffazh
g. Al-Kaasyif Fii Man Lahu Riwaayah Fil Kutubis Sittah
h. Mukhtashar Sunan al-Baihaqi
i. Halaqatul Badr Fii ‘Adadi Ahli Badr
j. Thabaqatul Qurra’
k. Naba’u Dajjal
l. Tahdziibut Tahdziib
m. Tanqiih Ahaadiitsit Ta’liiq
n. Muqtana Fii al-Kuna
o. Al-Mughni Fii adh-Dhu’afaa’ setebal 2 Jilid
p. Al-‘Ibar Fii Khabari Man Ghabar setebal 5 jilid
q. Talkhiishul Mustadrak
r. Ikhtishar Taarikhil Kathib
s. Al-Kabaair
t. Tahriimul Adbar
u. Tauqif Ahli Taufiq Fi Manaaqibi ash-Shiddiq
v. Ni’mas Smar Fi Manaaqib ‘Umar
w. At-Tibyaan Fi Manaaqib ‘Utsman
x. Fathul Mathalib Fii Akhbaar Ali bin Abi Thalib
y. Ma Ba’dal Maut
z. Ikhtishar Kitaabil Qadar Lil Baihaqi
aa. Nafdhul Ja’bah Fi Akhbaari Syu’bah
bb. Ikhtishar Kitab al-Jihad, ‘Asakir
cc. Mukhtashar athraafil Mizzi
dd. At-Tajriid Fii Asmaa’ ish Shahaabah
ee. Mukhtashar Tariikh Naisabuur, al-Hakim
ff. Mukthashar al-Muhalla dan Tartiil Maudhuu’at, Ibn al-Jauzi
Kelebihan Kitab Siyar A’lam An-Nubala (Perjalanan Hidup Orang-Orang Mulia)
Salah satu karya Imam Az-Zahabi yang terkenal dang sangat bermanfaat
ialah Siyar A’lam An-Nubala (Perjalanan Hidup Orang-Orang Mulia). Kitab
ini menghimpunkan biografi
para sahabat Nabi s.a.w., tabiin, tabiut tabiin, ulama, sasterawan dan seumpamanya.
Kitab ini sangat berguna bagi sesiapa yang ingin mendalami dan membaca
kisah hidup orang-orang dan tokoh-tokoh Islam terkenal dalam bidang
masing-masing.
Di antara kelebihan-kelebihan kitab ini ialah:
1. Ketelitian penulis. Imam Az-Zahabi tidak hanya memaparkan biografi
orang yang ditulis, tetapi juga disertai dengan komentar jika menurutnya
perlu, yaitu dengan melakukan pengecekan secara detail terhadap cerita
yang dipaparkannya, baik dengan menyebutkan sisi kekurangannya maupun
monjelaskan kelebihannya jika orang-orang pada umumnya mengecapnya
buruk, atau berpandangan lain jika memungkinkan, atau mengkritik
perilakunya dengan kritik yang didasarkan pada syariat. Kemudian dia
berusaha mengeluarkan penilaian secara umum terhadap orang yang ditulis
biografinya itu, disertai dengan ketelitian. Ketelitian dalam menilai
kepribadian manusia ini, memberikan cahaya terang yang dapat diambil
manfaatnya oleh kebangkitan Islam, yaitu kebangkitan yang hampir
memberikan hasilnya jika tidak dikotori oleh ulah sebagian orang yang
memiliki pandangan picik, yang menuduh para ulama dan da’i sebagai
orang-orang fasik, ahli bid’ah, berpaling dari mazhab salaf, tidak
berhati-hati dalam menilai orang lain, dan tidak takut kepada Allah
ketika berprasangka buruk terhadap orang lain. Ada juga orang yang tidak
bisa hidup kecuali dengan mencela orang yang tidak sama dengannya,
melupakan kebaikannya, dan menyembunyikannya. Orang-orang seperti itulah
yang disangkal habis-habisan oleh Imam Az-Zahabi.
Adanya kajian kritis dalam kitab ini. Az-Zahabi seringkali tidak
membiarkan peristiwa sejarah berjalan tanpa kritik jika menurutnya
memang perlu dikritik dan dijelaskan. Oleh karena itu, Anda melihat
beliau terkadang menolak peristiwa yang dinilainya mungkar atau
mengoreksi peristiwa yang masih sebatas asumsi atau mendukung pendapat
penulis lain atau menjelaskan pendapatnya dalam masalah yang , perlu
dirinci, dijelaskan, dan sebagainya. Metode kritis semacam inilah yang
sering ditinggalkan oleh buku-buku sejarah dan biografi lainnya.
2. Kitab ini memuat masalah-masalah yang tidak dimuat oleh kitab-kitab
lain, karena ia memadukan informasi sejarah dengan riwayat hidup. Kitab
Al Bidayah wa An-Nihayah misalnya, memuat cerita-cerita sejarah yang
cukup luas, tetapi tidak memuat biografi para ulama, orang-orang
pilihan, para pemimpin, dan sebagainya. Begitu juga kitab Al Kamil karya
Ibnu Al-Atsir dan kitab Tarikhul Umam wa al-Muluk karya At-Tabari.
Memang ada kitab-kitab yang memuat biografi para tokoh seperti ini,
namun rentetan cerita sejarah dengan metode penyusunan yang urut tidak
ditemukan di dalamnya. Misalnya kitab Hilyah Al Auliya’ dan Ath-Thabaqat
karya Ibnu Sa’ad, serta Wafayat Al ‘A’yaan. Sedangkan kitab ini
membahas tentang biografi secara panjang lebar disertai dengan
cerita-cerita sejarah dan metode yang runtun, yang ditulis di sela-sela
penulisan biografi seorang tokoh, khususnya biografi para khilafah,
raja, dan pemimpin.
3. Kitab As-Siyar ini mencakup sebagian besar sejarah orang-orang
penting dimata manusia. Kebanyakan mereka atau sebagian mereka, walaupun
cacat di mata syariat- tidak hanya memuat pengikut madzhab fikih
tertentu, raja, khalifah, pemirnpin, penyair, ahli sastera Arab, ahli
bahasa, pahlawan, satria, pemimpin perang, doktor, hakim,praktisi, dan
penganut madzhab tertentu, tetapi juga mencakup seluruh kelompok yang
disebutkan dan hampir mencakup seluruh teritorial Islam. Memang benar
biografi para ahli hadits lebih banyak disebutkan daripada tokoh-tokoh
lainnya. Hal itu karena perhatian Imam Az-Zahabi terhadap hadis, lebih
besar daripada disiplin ilmu lainnya, karena memang beliau seorang hafiz
dan mahir di dalam hadis. Akan tetapi, kebanyakan para ahli hadis pada
abad keemasan Islam dan sesudahnya adalah para ahli feqah, ahli tafsir,
orang-orang yang berperang di jalan Allah, para sasterawan, ahli nahwu,
dan tokoh-tokoh lainnya yang terkenal.
Wafatnya Beliau
Di akhir hidupnya Al-Imam Al-Hafizh Adz-Dzahabi rahimahullah mendapat
cobaan, tujuh tahun mengalami kebutaan. Kemudian beliau wafat malam
Senin 3 Dzulqa’dah 748 H/ 1348 M, dan dimakamkan di Bab Ash-Shaghir di
Damaskus.
Semoga Allah melimpahkan rahmat-Nya yang luas kepada Al-Imam Al-Hafizh
Adz-Dzahabi rahimahullah, dan mengampuni kita semua dan beliau, serta
mengumpulkan kita dengan beliau di bawah bendera Nabi kita, Muhammad
Shallallahu Alaihi wa Sallam.
Semoga Allah meredhai beliau dan menempatkannya dalam keluasan syurgaNya. Amiin