Melakukan pemanasan sebelum melakukan hubungan seks memang sangat
dianjurkan. Kesiapan istri sebelum Mr.P memasuki Miss.V sangatlah
penting.
Tak jarang suami-istri melakukan pemanasan dengan menjilat anggota tubuh pasangan, misalnya kemaluan.
Pemanasan seperti menjilat kemaluan oleh sebagian orang menjadi
pertanyaan banyak pasangan muslim. Boleh jadi sebagian pasangan merasa
nikmat, lebih semangat dan lebih bergairah dalam melakukan pemanasan.
Sesungguhnya kegiatan suami istri dengan cara yang boleh jadi dianggap
aneh oleh sebagian orang ini menjadi pertanyaan banyak pasangan muslim.
Boleh jadi sebagian pasangan merasa nikmat, lebih semangat, dan lebih
bergairah dalam melakukan pemenuhan kebutuhan biologis ini. Namun boleh
jadi sebagian yang lain menganggap buruk dan menjijikkan. Sehingga tak
layak dilakukan oleh orang muslim. Akahirnya hal ini menimbulkan tanda
tanya tentang hukum bolehnya?.
Sebenarnya, telah banyak keterangan dan jawaban ulama terhadap masalah
hubungan suami istri ini. Pada ringkasnya, diakui bahwa sebagian orang
merasa jijik dan menganggap buruk bentuk cumbu rayu semacam ini.
Sehingga paling utama adalah menjauhi dan menghindarinya. Tetapi
bersamaan hal itu, mereka tidak bisa mengharamkan dengan tergas. Karena
tidak ada ketegasan dari nash syar'i yang mengharamkannya. Tetapi jika
memang terbukti itu berbahaya, maka jenis foreplay yang bisa menyebabkan
penyakit dan bahaya diharamkan. Hal ini berdasarkan firman Allah
Ta'ala, "Dan Dia mengharamkan atas kalian yang buruk-buruk." (QS.
Al-A'raf: 157)
Sesungguhnya asal dalam hubungan suami istri adalah mubah, kecuali apa
yang disebutkan larangannya oleh nash: berupa mendatangi istri pada
dubur (anus)-nya, menggaulinya saat haid dan nifas, saat istri
menjalankan puasa fardhu, atau saat berihram haji atau umrah.
Adapun yang disebutkan dalam pertanyaan berupa salah satu pasangan
menjilati kemaluan pasangannya, dan praktek dalam bersenang-senang yang
telah disebutkan dalam pertanyaan, maka itu tidak apa-apa berdasarkan
dalil-dalil berikut ini:
1. Itu termasuk dari keumuman bersenang-senang yang dimubahkan.
2. Jika coitus dibolehkan yang merupakan puncak bersenggama (bersenang-senang), maka yang dibawah itu jauh lebih boleh.
3. Karena masing-masing pasangan boleh menikmati anggota badan
pasangannya dengan menyentuh dan melihat, kecuali pengecualian yang
telah disebutkan oleh syariat sebagaimana yang telah kami sebutkan di
atas.
4. Firman Allah Ta'ala,
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
وَقَدِّمُوا لِأَنْفُسِكُمْ وَاتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوا أَنَّكُمْ
مُلَاقُوهُ وَبَشِّرِ الْمُؤْمِنِينَ
"Istri-istrimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok-tanam, maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki. Dan kerjakanlah (amal yang baik) untuk dirimu, dan
bertakwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa kamu kelak akan
menemui-Nya. Dan berilah kabar gembira orang-orang yang beriman." (QS.
Al-Baqarah: 223)
HUKUM MENJILAT CLITORIS VAGINA SAAT MAIN SEKS
Dalil para ulama yang membolehkan :
Pertama :Keumuman firman Allah
نِسَاؤُكُمْ حَرْثٌ لَكُمْ فَأْتُوا حَرْثَكُمْ أَنَّى شِئْتُمْ
“Isteri-isterimu adalah (seperti) tanah tempat kamu bercocok tanam, Maka
datangilah tanah tempat bercocok-tanammu itu bagaimana saja kamu
kehendaki“ (QS Al-Baqoroh : 223)
Ayat ini menunjukkan seorang suami berhak melakukan segala cara jimak
dalam menikmati istrinya kecuali ada dalil yang melarang seperti
menjimak wanita yang haid dan nifas atau menjimak wanita di duburnya.
Kedua : Para ulama sepakat akan bolehnya menyentuh kemaluan istri.
Hal ini masih banyak yang mempertanyakan, sehubungan masalah ini memang
bersinggungan dengan area yang sangat Intim, pokok-pokok aurat yang
sangat disembunyikan oleh kaum perempuan, sehingga seolah-olah tiada
yang patut melihat, memegang, selain kita sendiri. Oleh sebab itu masih
banyak pertanyaan yang di ajukan oleh kaum Muslimah berkaitan dengan
hukum ini. Pada dasarnya syari’at sudah memiliki pondasi pada Ayat
berikut :
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُو جِهِمْ حَفِظُونَ إِلاَّ عَلَى أَزْوَجِهِمْ
أَوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَنُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُمَلُومِينَ
“Dan orang-orang yang memelihara kemaluannya, kecuali terhadap
istri-istri mereka atau budak-budak yang mereka miliki, maka
sesungguhnya mereka dalam hal ini tidak tercela.” [Qs. Al-Ma’arij:
29-30]
حَدَّثَنَا عَبْدَانُ قَالَ أَخْبَرَنَا عَبْدُ اللَّهِ قَالَ أَخْبَرَنَا
هِشَامُ بْنُ عُرْوَةَ عَنْ أَبِيهِ عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذَا اغْتَسَلَ مِنْ
الْجَنَابَةِ غَسَلَ يَدَيْهِ وَتَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ
اغْتَسَلَ ثُمَّ يُخَلِّلُ بِيَدِهِ شَعَرَهُ حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنَّهُ
قَدْ أَرْوَى بَشَرَتَهُ أَفَاضَ عَلَيْهِ الْمَاءَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ
غَسَلَ سَائِرَ جَسَدِهِ وَقَالَتْ كُنْتُ أَغْتَسِلُ أَنَا وَرَسُولُ
اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ إِنَاءٍ وَاحِدٍ نَغْرِفُ
مِنْهُ جَمِيعًا
Telah menceritakan kepada kami 'Abdan berkata, telah mengabarkan kepada
kami 'Abdullah berkata, telah mengabarkan kepada kami Hisyam bin 'Urwah
dari bapaknya dari 'Aisyah berkata,: Adalah Nabi Rasulullah shallallahu
'alaihi wasallam. jika mandi janabat, mencuci tangannya dan berwudlu'
sebagaimana wudlu' unmtuk shalat. Kemudian mandi dengan
menggosok-gosokkan tangannya ke rambut kepalanya hingga bila telah yakin
merata mengenai dasar kulit kepalanya Beliau mengguyurkan air ke
atasnya tiga kali. Lalu membasuh seluruh badannya. 'Aisyah berkata,: Aku
pernah mandi bersama Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. dari satu
bejana dimana kami saling mengambil (menciduk) air
bersamaan.[HR.bukhari No : 264]
Ibnu ‘Urwah al Hanbali rahimahullah berkata dalam mengomentari hadits di
atas, “Dibolehkan bagi setiap pasangan suami istri untuk memandang
seluruh tubuh pasangannya dan menyentuhnya hingga farji’ (kemaluan),
berdasarkan hadits ini. Karena farji’ istrinya adalah halal baginya
untuk dinikmati, maka dibolehkan pula baginya untuk memandang dan
menjamahnya seperti anggota tubuhnya yang lain."
Ibnu ‘Abidin Al-Hanafi berkata
سَأَل أَبُو يُوسُفَ أَبَا حَنِيفَةَ عَنِ الرَّجُل يَمَسُّ فَرْجَ
امْرَأَتِهِ وَهِيَ تَمَسُّ فَرْجَهُ لِيَتَحَرَّكَ عَلَيْهَا هَل تَرَى
بِذَلِكَ بَأْسًا ؟ قَال : لاَ ، وَأَرْجُو أَنْ يَعْظُمَ الأَْجْرُ
“Abu Yuusuf bertanya kepada Abu Hanifah rahimahullah- tentang seseorang
yang memegang kemaluan istrinya, dan sang istri yang menyentuh kemaluan
suaminya agar tergerak syahwatnya kepada sang istri, maka apakah
menurutmu bermasalah?. Abu Hanifah berkata, “Tidak mengapa, dan aku
berharap besar pahalanya (Haasyiat Ibni ‘Aabidiin 6/367, lihat
juga Al-Bahr Ar-Raaiq syarh Kanz Ad-Daqooiq 8/220, Tabyiinul Haqoo’iq
6/19)
Ketiga : Pernyataan sebagian fuqohaa yang menunjukkan akan bolehnya
mencium kemaluan (vagina) wanita. Hal ini sangat ditegaskan terutama di
kalangan para ulama madzhab Hanbali, dimana mereka menjelaskan akan
bolehnya seorang suami mencium kemaluan istrinya sebelum berjimak, akan
tetapi hukumnya makruh setelah berjimak (lihat Kasyaaful Qinaa’
5/16-17, Al-Inshoof 8/27, Al-Iqnaa’ 3/240)
Keempat :Bahkan ada sebagian fuqohaa yang menyatakan bolehnya lebih dari
sekedar mencium. Yaitu bahkan dibolehkan menjilat kemaluan sang istri.
Al-Hatthoob rahimahullah berkata:
قَدْ رُوِيَ عَنْ مَالِكٍ أَنَّهُ قَال : لاَ بَأْسَ أَنْ يَنْظُرَ
إِلَى الْفَرْجِ فِي حَال الْجِمَاعِ ، وَزَادَ فِي رِوَايَةٍ :
وَيَلْحَسَهُ بِلِسَانِهِ ، وَهُوَ مُبَالَغَةٌ فِي الإِْبَاحَةِ ،
وَلَيْسَ كَذَلِكَ عَلَى ظَاهِرِهِ
“Telah diriwayatkan dari Imam Malik –rahimahullah- bahwasanya ia
berkata, “Tidak mengapa melihat kemaluan tatkala berjimak”. Dan dalam
riwayat yang lain ada tambahan, “Ia menjilat kemaluan istrinya dengan
lidahnya”. Dan ini merupakan bentuk mubaalaghoh (sekedar penekanan) akan
bolehnya, akan tetapi bukan pada dzhohirnya” (Mawaahibul
Jaliil 5/23) Al-Malibaariy Al-Fanaaniy (dari kalangan ulama abad 10
hijriyah) dari madzhab As-Syafi’iyah berkata:
يَجُوزُ لِلزَّوْجِ كُل تَمَتُّعٍ مِنْهَا بِمَا سِوَى حَلْقَةِ دُبُرِهَا ، وَلَوْ بِمَصِّ بَظْرِهَا
“Boleh bagi seorang suami segala bentuk menikmati istrinya kecuali
lingkaran dubur, bahkan meskipun mengisap kiltorisnya (Fathul
Mu’iin bi Syarh Qurrotil ‘Ain bi Muhimmaatid diin, hal 482, terbitan
Daar Ibnu Hazm, cetakan pertama tahun 1424 H-2004 H, Tahqiq : Bassaam
Abdul Wahhaab Al-Jaabi).
TAMBAHAN Zainuddin al-Malaibari:
( ﺗﺘﻤﺔ ) ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻠﺰﻭﺝ ﻛﻞ ﺗﻤﺘﻊ ﻣﻨﻬﺎ ﺑﻤﺎ ﺳﻮﻯ ﺣﻠﻘﺔ ﺩﺑﺮﻫﺎ ﻭﻟﻮ ﺑﻤﺺ ﺑﻈﺮﻫﺎ
"Boleh bagi suami menikmati semua jenis aktivitas seks dari istrinya
selain pada lingkaran duburnya, meskipun dilakukan dengan menghisap
klitorisnya" (Fathul Mu'in, 3/340)
- Al-Bahuthi:
ﻗﺎﻝ ﺍﻟﻘﺎﺿﻲ ﻳﺠﻮﺯ ﺗﻘﺒﻴﻞ ﻓﺮﺝ ﺍﻟﻤﺮﺃﺓ ﻗﺒﻞ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ
"Qadhi Ibnu Muflih berkata: Boleh mencium kelamin isterinya sebelum bersetubuh" (Kasysyaful Qana', 5/17)
- Al-Haththab:
ﻭﻗﺪ ﺭﻭﻱ ﻋﻦ ﻣﺎﻟﻚ ﺃﻧﻪ ﻗﺎﻝ ﻻ ﺑﺄﺱ ﺃﻥ ﻳﻨﻈﺮ ﺇﻟﻰ ﺍﻟﻔﺮﺝ ﻓﻲ ﺣﺎﻝ ﺍﻟﺠﻤﺎﻉ ﻭﺯﺍﺩ ﻓﻲ ﺭﻭﺍﻳﺔ ﻭﻳﻠﺤﺴﻪ ﺑﻠﺴﺎﻧﻪ
"Disebutkan riwayat dari Imam Malik bahwasanya beliau berkata: Tidak
apa-apa melihat kemaluan saat bersetubuh. Ditambahkan dalam riwayat
lain: Serta menjilat kemaluan tersebut dengan lidahnya." (Mawahib
al-Jalil, 5/23)
- Al-Qurthubi:
ﻭﻗﺪ ﻗﺎﻝ ﺃﺻﺒﻎ ﻣﻦ ﻋﻠﻤﺎﺋﻨﺎ : ﻳﺠﻮﺯ ﻟﻪ ﺃﻥ ﻳﻠﺤﺴﻪ ﺑﻠﺴﺎﻧﻪ
"Ashbagh salah satu ulama [malikiyah] kami berkata: Boleh baginya
[suami] menjilatnya [kemaluan istrinya] dengan lidahnya." (Tafsir Al-
Qurthubi, 12/232)
وَلِلزَّوْجِ) وَالسَّيِّدِ فِي حَالِ الْحَيَاةِ (النَّظَرُ إلَى كُلِّ
بَدَنِهَا) أَيْ الزَّوْجَةِ وَالْمَمْلُوكَةِ الَّتِي تَحِلُّ وَعَكْسُهُ،
وَإِنْ مَنَعَهَا كَمَا اقْتَضَاهُ إطْلَاقُهُمْ، وَإِنْ بَحَثَ
الزَّرْكَشِيُّ مَنْعَهَا إذَا مَنَعَهَا وَلَوْ الْفَرْجَ لَكِنْ مَعَ
الْكَرَاهَةِ وَلَوْ حَالَةَ الْجِمَاعِ
dan untuk suami dan sayyid (tuannya budak) di waktu hidup boleh melihat
semua anggota tubuh istri dan budaknya ,di mana itu di halalkan bagi
suami , dan sebaliknya walaupun suami mencegah istri untuk melihat
auratnya, seperti penetapan kemutlaqan ulama', dan walaupun az zarkasyi
membahas mencegah istri (untuk melihat aurat suami) bila suami
melarangnya . Dan (boleh bagi suami melihat semua tubuh istri) walaupun
farjinya, akan tetapi disertai kemakruhan, walaupun di tingkah hubungan
intim.[tuhfatul muhtaj 7/206]
(قَوْلُهُ: وَإِنْ بَحَثَ إلَخْ) غَايَةٌ (قَوْلُهُ: وَإِنْ بَحَثَ
الزَّرْكَشِيُّ إلَخْ) اعْتَمَدَهُ الْمُغْنِي وَالنِّهَايَةُ فَقَالَا
وَاللَّفْظُ لِلْأَوَّلِ قَالَ الزَّرْكَشِيُّ وَلَا يَجُوزُ لِلْمَرْأَةِ
أَنْ تَنْظُرَ إلَى عَوْرَةِ زَوْجِهَا إذَا مَنَعَهَا مِنْهُ بِخِلَافِ
الْعَكْسِ اهـ وَهَذَا ظَاهِرٌ، وَإِنْ تَوَقَّفَ فِيهِ بَعْضُ
الْمُتَأَخِّرِينَ اهـ.
(قَوْلُهُ: مَنَعَهَا إلَخْ) فَإِنْ مَنَعَهَا حَرُمَ عَلَيْهَا النَّظَرُ
لِمَا بَيْنَ سُرَّتِهِ وَرُكْبَتِهِ اهـ بُجَيْرِمِيٌّ عَنْ الزِّيَادِيِّ
وَفِي ع ش عَنْ سم عَنْ م ر مَا يُوَافِقُهُ (قَوْلُهُ وَلَوْ الْفَرْجَ)
إلَى التَّنْبِيهِ فِي النِّهَايَةِ وَالْمُغْنِي إلَّا قَوْلَهُ
وَعَلَيْهِ يَنْبَغِي إلَى وَخَرَجَ (قَوْلُهُ: وَلَوْ الْفَرَجَ إلَخْ)
رَاجِعٌ إلَى الْمَتْنِ
perkataan mushannif walaupun az zarkasyi membahasnya itu ghoyah (in
ghoyah menandakan khilaf) begitu juga khotib asy sarbini ,imam romli
dalam kitab mughni dan nihayah mengikuti pendapat az zarkasyi, berkata
az zarkasyi tidak boleh bagi istri melihat aurat suami bila suami
mencegahnya, berbeda bila sebaliknya ( suami boleh melihat aurat istri
walaupun istri mencegah) dan ini jelas,walaupun sebagian ulama'
muta'akhirin tidak membahasnya .
perkataan mushannif مَنَعَهَا إلَخْ bila suami mencegah istri (melihat
aurat suami) maka haram bagi istri untuk melihat di antara pusar sampai
lutut suami . selesai bujairomi dari az ziyadi, begitu juga imam romli
dan ali syibromilisi yang mencocoki pendapat az zarkasyi. perkataan
mushannif walaupun farji, begitu juga di tutur dalam kitab at tanbih,
nihayah, mughni. [حاشية الشرواني 7/206 ]
Maka suami boleh melihat dan menikmati seluruh anggota tubuh istrinya.
Sebagaimana Al-Hafizh Imam Ibnu Katsir rahimahullah Memaparkan ketika
menafsirkan surat “an-Nuur ayat 31”, “Adapun suami, maka semua ini
(bolehnya menampakkan perhiasan dan perintah menundukkan pandangan dari
orang lain) memang diperuntukkan baginya (yakni suami). Maka seorang
istri boleh melakukan sesuatu untuk suaminya, yang tidak boleh
dilakukannya di hadapan orang lain.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir
III/284].
TRUS GIMANA DENGAN MADLI NYA KAN NAJIS ?
hal itu blom pasti .. tinggal berkumur kan beres Analogi yang paling
dekat dengan masalah ini adalah pada oral seks Cunnilingus.
Sebagaimana dijelaskan di atas, telah disebutkan dalam Fathul Mu'in,
Kasysyaful Qana', Mawahibul Jalil, dan beragam kitab lainnya bahwa oral
seks kelamin wanita diperbolehkan meskipun sama- sama beresiko menelan
madzi. Boleh jadi hal itu karena sifat keluarnya madzi tidak pasti, di
samping bisa dimuntahkan.
ﺃَﻣَّﺎ ﺍﻟﺮُّﻃُﻮﺏَﺓُ ﺍﻟْﺨَﺎﺭِﺝَﺓُ ﻣِﻦْ ﺍﻟْﺒَﺎﻃِﻦِ ﻓَﻨَﺠِﺴَﺔٌ ﻣُﻄْﻠَﻘًﺎ
ﻭَﺇِﻧَّﻤَﺎ ﻗُﻠْﻨَﺎ ﺑِﻄَﻬَﺎﺭَﺓِ ﺫَﻛَﺮِ ﺍﻟْﻤُﺠَﺎﻡِﻉِ ﻭَﻧَﺤْﻮِﻩِ ؛ ﻟِﺄَﻧَّﺎ
ﻟَﺎ ﻧَﻘْﻄَﻊُ ﺑِﺨُﺮُﻭﺟِﻪﺍَ
Antara lain mengambil i'tibar dari kesucian dzakar dari rembasan farji
(ruthubah farji) dikarenakan sifat keluarnya ruthubah yang tidak bisa
dipastikan kapan keluar dari kelamin wanita.
Al-Qaadhi Abu al-Waliid Muhammad bin Rusyd rahimahullah berkata dalam Al-Bayaan wa At-Tahshiil 5/79
إِلاَّ أَنَّ الْعُلَمَاءَ يَسْتَجِيْزُوْنَ مِثْلَ هَذَا إِرَادَةَ
الْبَيَانِ ، وَلِكَيْلاَ يَحْرُمُ مَا لَيْسَ بِحَرَامٍ ، فَإِنَّ
كَثِيْرًا مِنَ الْعَوَامِّ يَعْتَقِدُوْنَ أَنَّهُ لاَ يَجُوْزُ
لِلرَّجُلِ أَنْ يَنْظُرَ إِلَى فَرْجِ امْرَأَتِهِ فِي حَالٍ مِنَ
الْأَحْوَالِ. وَقَدْ سَأَلَنِي عَنْ ذَلِكَ بَعْضُهُمْ فَاسْتَغْرَبَ أَنْ
يَكُوْنَ ذَلِكَ جَائِزاً وَكَذَلِكَ تَكْلِيْمُ الرَّجُلِ امْرَأَتَهُ
عِنْدَ الْوَطْءِ، لاَ إِشْكَالَ فِي جَوَازِهِ وَلاَ وَجْهَ
لِكَرَاهِيَتِهِ
Hanya saja para ulama membolehkan seperti ini dalam rangka penjelasan,
sehingga tidak diharamkan perkara yang tidak haram. Karena banyak orang
awam yang meyakini bahwasanya tidak boleh seseorang melihat kemaluan
istrinya dalam kondisi apapun. Sebagian mereka telah bertanya kepadaku
tentang hal ini, dan mereka heran kalau hal ini diperbolehkan. Demikian
pula seseorang boleh berbicara dengan istrinya tatkala berjimak, tidak
ada masalah dalam hal ini dan tidak ada sisi makruhnya.
Praktek kelainan-kelainan seksual seperti menjimak istri melalui dubur,
atau menjimak hewan telah tersebutkan oleh para fuqaha' terdahulu dalam
kitab-kitab fiqih mereka. Demikian pula praktek oral seks juga telah
diisyaratkan dalam buku-buku fiqih terdahulu, bahkan diisyaratkan oleh
Imam As-Syafi'i.
Al Umm 1/37
وَلَوْ نَالَ من امْرَأَتِهِ ما دُونَ أَنْ يُغَيِّبَهُ في فَرْجِهَا ولم
يُنْزِلْ لم يُوجِبْ ذلك غُسْلًا وَلَا نُوجِبُ الْغُسْلَ إلَّا أَنْ
يُغَيِّبَهُ في الْفَرْجِ نَفْسِهِ أو الدُّبُرِ فَأَمَّا الْفَمُ أو
غَيْرُ ذلك من جَسَدِهَا فَلَا يُوجِبُ غُسْلًا إذَا لم يُنْزِلْ
Kalau seandainya sang suami menggauli istrinya tanpa membenamkan
dzakarnya ke farji (kemaluan) istrinya dan ia tidak mengeluarkan air
mani maka hal ini tidak mengharuskannya mandi (janabah). Dan kami tidak
mewajibkan mandi janabah kecuali jika ia memasukan dzakarnya ke kemaluan
istrinya atau duburnya. Adapun mulut (istrinya) dan anggota tubuh
istrinya yang lainnya maka tidak mewajibkan mandi jika ia tidak
mengeluarkan air mani
Yaitu dzahirnya seakan-akan Imam Syafi'i menjelaskan bahwa jika seorang
lelaki memasukan kemaluannya di mulut istrinya atau bagian tubuh yang
lain (seperti diantara dua paha, atau dua payudara, atau dua belahan
pantat) maka tidak mewajibkan mandi junub kecuali jika sang lelaki
mengeluarkan mani. Hal ini berbeda jika ia memasukan dzakarnya ke vagina
wanita atau duburnya, meskipun tidak sampai mengeluarkan mani maka
tetap wajib untuk mandi junub.
Namun kenyataannya kita tidak mendapati penjelasan fuqaha' terdahulu yang panjang lebar tentang hukum oral seks.