Senin, 25 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Fenomena Gerhana


Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman
هُوَ الَّذِي جَعَلَ الشَّمْسَ ضِيَاءً وَالْقَمَرَ نُورًا وَقَدَّرَهُ مَنَازِلَ لِتَعْلَمُوا عَدَدَ السِّنِينَ وَالْحِسَابَ مَا خَلَقَ اللَّهُ ذَلِكَ إِلا بِالْحَقِّ يُفَصِّلُ الآيَاتِ لِقَوْمٍ يَعْلَمُونَ (5) إِنَّ فِي اخْتِلافِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ وَمَا خَلَقَ اللَّهُ فِي السَّمَاوَاتِ وَالأرْضِ لآيَاتٍ لِقَوْمٍ يَتَّقُونَ (6) ‎
Dialah yang menjadikan matahari bersinar dan bulan bercahaya dan ditetapkan-Nya manzilah-manzilah(tempat-tempat) bagi perjalanan bulan itu, supaya kalian mengetahui bilangan tahun dan perhitungan (waktu). Allah tidak menciptakan yang demikian itu melainkan dengan hak. Dia menjelaskan tanda-tanda (kebesaran­Nya) kepada orang-orang yang mengetahui. Sesungguhnya pada pertukaran malam dan siang itu dan pada yang diciptakan Allah di langit dan di bumi benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan-Nya)bagi orang-orang yang bertakwa. (QS Yunus Ayat 5-6)‎
Allah Swt. menerangkan tentang apa yang telah diciptakan-Nya, hal itu merupakan tanda-tanda yang menunjukkan kesempurnaan kekuasaan-Nya dan kebesaran kemampuan-Nya. Dia telah menjadikan sinar yang timbul dari matahari sebagai penerangan dan menjadikan bulan bercahaya. Yang ini berbeda dengan yang itu, agar di antara keduanya tidak ada keserupaan. Dia menjadikan peran matahari di siang hari dan peran bulan di malam hari. Dia pun telah menetapkan manzilah-manzilah untuk bulan bagi peredarannya. Pada mulanya ia kelihatan kecil, lalu bertambah besar cahaya dan bentuknya hingga menjadi bulan penuh pada malam purnama. Setelah itu mulai berkurang sedikit demi sedikit hingga kembali kepada keadaannya semula pada akhir bulan. Hal ini diungkapkan pula oleh ayat lain melalui firman-Nya:

{وَالْقَمَرَ قَدَّرْنَاهُ مَنَازِلَ حَتَّى عَادَ كَالْعُرْجُونِ الْقَدِيمِ لَا الشَّمْسُ يَنْبَغِي لَهَا أَنْ تُدْرِكَ الْقَمَرَ وَلا اللَّيْلُ سَابِقُ النَّهَارِ وَكُلٌّ فِي فَلَكٍ يَسْبَحُونَ}

Dan telah Kami tetapkan bagi bulan manzilah-manzilah, sehingga (setelah dia sampai ke manzilah yang terakhir)kembalilah dia sebagai bentuk tandan yang tua. Tidaklah mungkin bagi matahari mendapatkan bulan, dan malam pun tidak dapat mendahului siang. Dan masing-masing beredar pada garis edarnya. (Yasin: 39-40)

{وَالشَّمْسَ وَالْقَمَرَ حُسْبَانًا ذَلِكَ تَقْدِيرُ الْعَزِيزِ الْعَلِيمِ}

dan (menjadikan) matahari dan bulan untuk perhitungan. (Al-An'am: 96), hingga akhir ayat.

Gerhana adalah fenomena astronomi yang terjadi apabila sebuah benda angkasa b‎ergerak ke dalam bayangan sebuah benda angkasa lain. Istilah ini umumnya digunakan untuk gerhana Matahari ketika posisi Bulan terletak di antara Bumi dan ‎Matahari, atau gerhana bulan saat sebagian atau keseluruhan penampang Bulan tertutup oleh bayangan Bumi. Namun, gerhana juga terjadi pada fenomena lain yang tidak berhubungan dengan Bumi atau Bulan, misalnya pada ‎planet lain dan satelit yang dimiliki planet lain.

Gerhana merupakan sebuah fenomena alam yang kerap terjadi pada masa kita. Kejadian ini jelas adalah sebuah tanda-tanda kebesaran Alloh, untuk memberikan sebuah pelajaran penting kepada manusia agar mau kembali kepada Alloh  dan bertaubat kepada-Nya.
Dalam ilmu Astronomi gerhana tersebut bisa terjadi pada dua keadaan, yaitu gerhana matahari dan gerhana bulan. Gerhana matahari terjadi ketika posisi bulan  terletak di antara bumi dan  matahari sehingga menutup sebagian atau seluruh cahaya Matahari. Walaupun Bulan lebih kecil, bayangan Bulan mampu melindungi cahaya matahari sepenuhnya karena Bulan yang berjarak rata-rata jarak 384.400 kilometer dari Bumi lebih dekat dibandingkan Matahari yang mempunyai jarak rata-rata 149.680.000 kilometer.
Gerhana bulan terjadi saat sebagian atau keseluruhan penampang  tertutup oleh bayangan bumi. Itu terjadi bila bumi berada di antara matahari dan bulan pada satu garis lurus yang sama, sehingga sinar matahari tidak dapat mencapai bulan karena terhalangi oleh bumi.
Dengan penjelasan lain, gerhana bulan muncul bila bulan sedang beroposisi dengan bumi. Perpotongan bidang orbit bulan dengan bidang ekliptika akan memunculkan 2 buah titik potong yang disebut node, yaitu titik di mana bulan memotong bidang ekliptika. Gerhana bulan ini akan terjadi saat bulan beroposisi pada node tersebut. Bulan membutuhkan waktu 29,53 hari untuk bergerak dari satu titik oposisi ke titik oposisi lainnya. Maka seharusnya, jika terjadi gerhana bulan, akan diikuti dengan karena kedua node tersebut terletak pada garis yang menghubungkan antara matahari dengan bumi.
Gerhana matahari dapat dibagi menjadi tiga jenis yaitu: gerhana total, gerhana sebagian, dan gerhana cincin. Sebuah gerhana matahari dikatakan se-bagai gerhana total apabila saat puncak gerhana, piringan Matahari ditutup se-penuhnya oleh piringan Bulan. Saat itu, piringan Bulan sama besar atau lebih besar dari piringan Matahari. Ukuran piringan Matahari dan piringan Bulan sendiri berubah-ubah tergantung pada masing-masing jarak Bumi-Bulan dan Bumi-Matahari.
Gerhana sebagian terjadi apabila piringan Bulan (saat puncak gerhana) hanya menutup sebagian dari piringan Matahari. Pada gerhana ini, selalu ada bagian dari piringan Matahari yang tidak tertutup oleh piringan Bulan.
Gerhana cincin terjadi apabila piringan Bulan (saat puncak gerhana) hanya menutup sebagian dari piringan Matahari. 
Gerhana jenis ini terjadi bila ukuran piringan Bulan lebih kecil dari piringan Matahari. Sehingga ketika piringan Bulan berada di depan piringan Matahari, tidak seluruh piringan Matahari akan tertutup oleh piringan Bulan. Bagian piringan Matahari yang tidak tertutup oleh piringan Bulan, berada di sekeliling piringan Bulan dan terlihat seperti cincin yang bercahaya.
Adapun gerhana Bulan ia terbagi menjadi tiga bagian:‎
1- Gerhana bulan total. Pada gerhana ini, bulan akan tepat berada pada daerah umbra.‎
2- Gerhana bulan sebagian. Pada gerhana ini, tidak seluruh bagian bulan terhalangi dari matahari oleh bumi. Sedangkan sebagian permukaan bulan yang lain berada di daerah penumbra. Sehingga masih ada sebagian sinar matahari yang sampai ke permukaan bulan.
3-Gerhana bulan penumbra. Pada gerhana ini, seluruh bagian bulan berada di bagian penumbra. Sehingga bulan masih dapat terlihat dengan warna yang suram.
Tetapi hati-hati gerhana matahari tidak bisa dilihat langsung karena dapat menyebabkan kerusakan pada retina mata, namun untuk gerhana bulan dapat dilihat langsung dengan mata telanjang.
Dalam Islam istilah yang dikenal adalah dengan Al-Kusuf (gerhana Matahari), Al-Khusuf (gerhana Bulan). Artinya adalah menghilangkan seluruh cahaya salah satu dari dua benda langit yang bercahaya (matahari dan bulan) atau sebagiannya dan berubah menjadi hitam.

Di dalam agama Islam, umat Muslim yang mengetahui atau melihat terjadinya gerhana bulan ataupun matahari, maka selayaknya segera melakukan salat kusuf(salat gerhana)

Berikut adalah beberapa dalil dari Al Quran dan Hadis (Sunnah) tentang Gerhana Matahari :

Dalil tentang Gerhana Matahari dari ayat Al Quran:

Matahari dan bulan adalah makhluk (ciptaan) Allah SWT, sampai detik ini kedua makhluk tersebut taat (tunduk/sujud) dengan perintah Allah untuk bergerak pada porosnya dan berkeliling pada garis edarnya. 

Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman
وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلشَّمْسَ وَٱلْقَمَرَ دَآئِبَيْنِ ۖ وَسَخَّرَ لَكُمُ ٱلَّيْلَ وَٱلنَّهَارَ (٣٣)

“Dan Dia (Allah) telah menundukkan (pula) bagimu matahari dan bulan yang terus menerus beredar (dalam orbitnya); dan telah menundukkan bagimu malam dan siang.” (QS. Ibrahim 14:33)‎

Hanya Allah Ta’ala saja yang bisa berkomunikasi dengan keduanya, gerhana adalah fenomena yang hanya dialami oleh matahari dan bulan, sebagai tanda keduanya tetap tunduk/sujud dengan apa yang Allah amanatkan. Fenomena inilah yang hanya bisa dilihat oleh manusia, baik dengan mata telanjang maupun dengan bantuan alat seperti teleskop, dimana keduanya masih beredar pada garis edarnya sesuai dengan perintah Allah Ta’ala yang disampaikan dalam Al Quran. Selanjutnya dalam ayat diatas Allah menunjukan tanda sujudnya bumi, dengan adanya pergantian siang dan malam. Bumi hingga kini masih berputar dan tetap taat kepada Allah untuk bersujud.

Maka selaku manusia yang taat kepada Allah Ta’ala, ketika melihat makhluk lain bersujud kepada-Nya, Apakah kita akan menentang untuk tidak bersujud ketika mendengar berita atau mengalami terjadinya gerhana? Tentu tidak, manusia yang taat akan ikut bersujud ketika ditampakkan tanda-tanda kekuasaan Allah atas ciptaan-Nya yang bersujud kepada-Nya.

Dalam surat dan ayat lain Allah berfirman,‎

وَمِنْ آيَاتِهِ اللَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُ لا تَسْجُدُوا لِلشَّمْسِ وَلا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوا لِلَّهِ الَّذِي خَلَقَهُنَّ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ

Dan dari sebagian tanda-tanda-Nya adalah adanya malam dan siang serta adanya matahari dan bulan. Janganlah kamu sujud kepada matahari atau bulan tetapi sujudlah kepada Allah Yang Menciptakan keduanya. (QS. Fushshilat : 37)

Betapa sayangnya Allah terhadap manusia, hingga menurunkan ayat diatas. Fenomena siang dan malam adalah cara bersujudnya bumi, maka manusia pun ikut bersujud saat itu dengan cara shalat subuh, dzuhur dan ashar, serta menjelang malam dilanjutkan dengan shalat magrib dan isya, serta qiyamul lail. Kemudian Allah mengingatkan manusia dengan kalimat “Laa yasjuduu lisy-syamsi wa laa lilqomari”. Jangan bersujud kepada matahari dan tidak juga (sujud) kepada bulan, dilanjutkan dengan “wasjuduu lillahi kholaqohunna” tapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya. “inkuntum iyyaahu ta’buduun” begitulah hendaknya kamu beribadah/mengabdi.
Matahari dan bulan dengan fenomena gerhana ditunjukan oleh Allah kepada manusia bahwa keduanya tetap tunduk. Kenapa Allah tunjukan/tampakan ketundukan bulan dan matahari? Jawabannya ada di dalam Al Quran, agar manusia dapat menyaksikan kekuasaan Allah dengan modal yang diberikan-Nya kepada tiap-tiap manusia. Modal apa yang sebenarnya Allah berikan kepada tiap manusia? Berikut ayatnya,

قُلْ هُوَ ٱلَّذِىٓ أَنشَأَكُمْ وَجَعَلَ لَكُمُ ٱلسَّمْعَ وَٱلْأَبْصَٰرَ وَٱلْأَفْـِٔدَةَ ۖ قَلِيلًا مَّا تَشْكُرُونَ (٢٣)

“Katakanlah: “Dialah Yang menciptakan kamu (manusia) dan menjadikan bagi kamu pendengaran, penglihatan dan hati”. (Tetapi) amat sedikit kamu bersyukur.” (QS.67:23).

Modal yang diberikan Allah kepada manusia ada 3, yaitu: pendengaran, penglihatan dan hati. Maka Allah Ta’ala perlihatkan gerhana agar manusia dapat melihat dengan mata-nya, mendengar berita tentang gerhana dengan telinga-nya, kalau matahari dan bulan tetap bersujud (tunduk) kepada Allah, tapi amat sedikit dari manusia yg bersyukur (memahami dengan hati-nya/ikut bersujud kepada Allah).‎

Dalil Tentang Gerhana Matahari dari Hadis 
Sabda Rasulullah SAW:

إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ آيَتَانِ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ فَإِذَا رَأَيْتُمُوهُمَا فَادْعُوا اللَّهَ وَصَلُّوا حَتَّى يَنْجَلِيَ

Sesungguhnya matahari dan bulan adalah sebuah tanda dari tanda-tanda Allah SWT. Keduanya tidak menjadi gerhana disebabkan kematian seseorang atau kelahirannya. Bila kalian mendapati gerhana, maka lakukanlah shalat dan berdoalah hingga selesai fenomena itu. (HR. Bukhari, Muslim dan Ahmad)

Memang pada saat terjadinya gerhana matahari, bertepatan dengan meninggalnya anak Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang bernama Ibrahim. Dari Al Mughiroh bin Syu’bah, beliau berkata,

كَسَفَتِ الشَّمْسُ عَلَى عَهْدِ رَسُولِ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – يَوْمَ مَاتَ إِبْرَاهِيمُ ، فَقَالَ النَّاسُ كَسَفَتِ الشَّمْسُ لِمَوْتِ إِبْرَاهِيمَ . فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – « إِنَّ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لاَ يَنْكَسِفَانِ لِمَوْتِ أَحَدٍ وَلاَ لِحَيَاتِهِ ، فَإِذَا رَأَيْتُمْ فَصَلُّوا وَادْعُوا اللَّهَ »

”Di masa Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah terjadi gerhana matahari ketika hari kematian Ibrahim. Kemudian orang-orang mengatakan bahwa munculnya gerhana ini karena kematian Ibrahim. Lantas Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya gerhana matahari dan bulan tidak terjadi karena kematian atau lahirnya seseorang. Jika kalian melihat gerhana tersebut, maka shalat dan berdo’alah.’” (HR. Bukhari no. 1043)

Ibrahim adalah Putra  dari Istri  Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam yang bernama Mariyah Al Qibthiyyah Al Mishriyyah. Ibrahim hidup selama 18 bulan. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak memiliki anak kecuali dari Khadijah dan budak ini. Tatkala Ibrahim meninggal, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menetaskan air mata dan begitu sedih. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun mengatakan ketika kematian anaknya ini,

إِنَّ الْعَيْنَ تَدْمَعُ ، وَالْقَلْبَ يَحْزَنُ ، وَلاَ نَقُولُ إِلاَّ مَا يَرْضَى رَبُّنَا ، وَإِنَّا بِفِرَاقِكَ يَا إِبْرَاهِيمُ لَمَحْزُونُونَ

”Air mata ini mengalir dan hati ini bersedih. Kami tidak mengatakan kecuali yang diridhoi Allah. Sungguh -wahai Ibrahim-karena kepergianmu ini, kami bersedih.” (HR. Bukhari no. 1303)

Dengan fenomena gerhana yang baru saja terjadi, mari kita perbaharui segala sikap hidup ini dengan tiga modal yang diberikan Allah. Melalui membaca, mendengar Al Quran dan As Sunnah dengan terjemahannya, agar dapat diresapi oleh hati. Sehingga kita dapat menjadi muslim yang selalu tunduk/sujud kepada Allah, tidak seperti iblis sebagaimana Allah Ta’ala informasikan dalam Al Quran.

قَالَ مَا مَنَعَكَ أَلَّا تَسْجُدَ إِذْ أَمَرْتُكَ ۖ قَالَ أَنَا۠ خَيْرٌ مِّنْهُ خَلَقْتَنِى مِن نَّارٍ وَخَلَقْتَهُۥ مِن طِينٍ (٢١)

Allah berfirman: “Apakah yang menghalangimu untuk bersujud (kepada Adam) di waktu Aku menyuruhmu?” Menjawab iblis “Saya lebih baik daripadanya; Engkau ciptakan saya dari api sedang dia Engkau ciptakan dari tanah”. (QS. Al Araaf 7:12)

Andaikata ada yang kurang paham dalam memahami terjemahan dari Al Quran dan As Sunnah, maka jangan segan-segan untuk bertanya kepada orang yang berilmu (ulama). Definisi ulama menurut Al Quran sangat luas berikut informasi tersebut

وَمِنَ النَّاسِ وَالدَّوَابِّ وَالْأَنْعَامِ مُخْتَلِفٌ أَلْوَانُهُ كَذَٰلِكَ ۗ إِنَّمَا يَخْشَى اللَّهَ مِنْ عِبَادِهِ الْعُلَمَاءُ ۗ إِنَّ اللَّهَ عَزِيزٌ غَفُورٌ (٢٨)

Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah diantara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama (orang berilmu). Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun. (QS. Faatir 35:28)

Sebagai sesama manusia yang lemah kita saling mengingatkan, dan kita serahkan segala urusan kepada Allah Ta’ala, Dia-lah (Allah) yang ahad yang mengurus semua makhluk-Nya, tanpa tidur dan tak kenal lelah. Maka andaikata ada kesalahan, semoga Allah menurukan rahmat dan ampunan-Nya kepada kita semua. Amin Ya Rabbal ‘Alamin, semoga Islam bisa menjadi rahmatan lil ‘alamin. Amiin, Allahuma amiin.

Adab, Doa Dan Waktu Terbaik Dalam Jima'


Islam adalah agama yang mulia dan memuliakan. Ia menjunjung tinggi akhlak dan etika. Setiap perbuatan baik di dalam Islam, pastilah ada tuntunan adabnya. Demikian pula dengan jima'.

Bahwa bagi suami istri berjimak adalah sebuah kebutuhan yang mendasar. Sebagai sebuah kebutuhan yang mendasar maka terdapat beberapa amalan yang sebaiknya dilakukan baik sebelum melakukannya, sedang maupun sesudahnya. Sedang mengenai waktu berjimak, karenan keterbatasan yang ada kami hanya menjelaskan secara singkat. Dan insya Allah akan kami jelaskan lebih detail lagi pada kesempatan yang lain.       

Malam Pertama Dan Adab Bersenggama
Saat pertama kali pengantin pria menemui isterinya setelah aqad nikah, dianjurkan melakukan beberapa hal, sebagai berikut:

Pengantin pria hendaknya meletakkan tangannya pada ubun-ubun isterinya seraya mendo’akan baginya. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِذَا تَزَوَّجَ أَحَدُكُمْ امْرَأَةً أَوِ اشْتَرَى خَادِمًا فَلْيَأْخُذْ بِنَاصِيَتِهَا (وَلْيُسَمِّ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ) وَلْيَدْعُ لَهُ بِالْبَرَكَةِ، وَلْيَقُلْ: اَللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ مِنْ خَيْرِهَا وَخَيْرِ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ، وَأَعُوْذُ بِكَ مِنْ شَرِّهَا وَشَرِّ مَا جَبَلْتَهَا عَلَيْهِ.

“Apabila salah seorang dari kamu menikahi wanita atau membeli seorang budak maka peganglah ubun-ubunnya lalu bacalah ‘basmalah’ serta do’akanlah dengan do’a berkah seraya mengucapkan: ‘Ya Allah, aku memohon kebaikannya dan kebaikan tabiatnya yang ia bawa. Dan aku berlindung dari kejelekannya dan kejelekan tabiat yang ia bawa.’”

Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لَوْ أَنَّ أَحَدَهُمْ إِذَا أَرَادَ أَنْ يَأْتِيَ أَهْلَهُ، قَالَ: بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنَّهُ إِنْ يُقَدَّرْ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ فِي ذَلِكَ، لَمْ يَضُرَّهُ شَيْطَانٌ أَبَدًا

Jika kalian ingin mendatangi istrinya, kemudian membaca,

بِاسْمِ اللهِ، اللهُمَّ جَنِّبْنَا الشَّيْطَانَ، وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا

’Dengan nama Allah. Ya Allah, jauhkanlah kami dari setan dan jauhkanlah setan dari anak yang Engkau berikan kepada kami.’

Jika ditakdirkan terwujud anak dari hubungan itu, maka setan tidak akan mengganggunya selamanya. (HR. Bukhari 5165, Muslim 1434, dan yang lainnya).

Zahir hadis menunjukkan bahwa yang dianjurkan membaca doa sebelum jima adalah suami. Dan ini merupakan pendapat sebagian ulama hambali. Ulama lainnya menegaskan bahwa anjuran ini berlaku untuk suami & istri. Karena tidak ada beda antara lelaki dan wanita, keduanya sama-sama dianjurkan memohon perlindungan kepada Allah dari godaan setan. Sehingga istri juga dianjurkan yang sama,

Al-Mardawi mengatakan,

وقال القاضي محب الدين ابن نصر الله: هل التسمية مختصة بالرجل أم لا؟ لم أجده، والأظهر عدم الاختصاص بل تقوله المرأة أيضاً

Al-Qodhi Muhibuddin Ibnu Nashrullah menjelaskan, ’Apakah membaca doa sebelum jima khusus bagi lelaki ataukah tidak?’ Saya tidak menjumpai keterangan bahwa itu khusus bagi lelaki. Yang zahir, tidak ada pengkhususan, namun juga dibaca oleh si wanita.

Kemudian dikomentari oleh al-Mardawi,

هو كالمصرح به في الصحيحين أن القائل هو الرجل وهو ظاهر كلام الأصحاب، والذي يظهر أن المرأة تقوله أيضاً

Ini seperti yang ditegaskan dalam riwayat Bukhari dan Muslim, bahwa yang membaca hanya suami, dan ini pendapat yang zahir dalam madzhab hambali. Dan yang dzahir, wanita juga disyariatkan untuk membacanya. (al-Inshaf, 8/357).

Amalan yang sebaiknya dilakukan sebelum memulai jimak adalah sebagai berikut:

Disunnahkan untuk membaca bismillah
Membaca surat Al-Ikhlash
Membaca takbir dan tahlil (Allohu akbar, Laailaha illalloh)
Membaca doa: Bismillahil-‘aliyy al-azhim. Allahumma ij`alhâ dzurriyatan thayyibah, in kunta qaddarta an tukhrija dzâlika min shulbi. Allahumma jannibni asy-syaithân wa jannib asy-syaithân mâ razaqtanâ. (Redaksi Arabnya seperti dalam penjelasan al-Ghaali di bawah)
Memakai penutup atau selimut, dan jangan melakukan jimak dengan telanjang bulat
Memulai dengan cumbu-rayu dan ciuman
 ‎
Amalan ketika sedang jimak:‎

Hindari untuk mengadap kearah kiblat
Hindari terlalu banyak pembicaraan
Ketika istri menjelang orgasme, maka suami mengatakan dalam hati: Alhamdulillahil-ladzi khalaqa minal-mâ` basyara faja’alahu nasaban wa shahra wa kana rabbuka qodîra.
Usahakan untuk keluar bersama-sama, karenanya pihak lelaki jangan terburu-buru untuk segera mentuntaskan permainan sebelum pihak perempuan mencapai orgasme.
Dan jika ingin mengulangi jimak yang kedua maka sebaiknya membersihkan atau mencuci terlebih dahulu kemaluannya.
Demikian itu sebagaimana dikemukakan oleh Imam al-Ghazali dalam kitab Ihya` ‘Ulumiddin:

 وَيُسْتَحَبُّ أَنْ يَبْدَأَ بِاسْمِ اللهِ تَعَالَى وَيَقْرَأَ قُلْ هُوَ اللهُ أَحَدٌ أَوَّلاً وَيُكَبِّرَ وَيُهَلِّلَ وَيَقُولَ بِسْمِ اللهِ العَلِيِّ العَظِيمِ اللَّهُمَّ اجْعَلْهَا ذُرِّيَةً طَيِّبَةً إِنْ كُنْتَ قَدَّرْتَ أَنْ تُخْرِجَ ذَلِكَ مِنْ صُلْبِي وَقَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَوْ أَنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا أَتَى أَهْلَهُ قَالَ اَللَّهُمَّ جَنِّبْنِي الشَّيْطَانَ وَجَنِّبِ الشَّيْطَانَ مَا رَزَقْتَنَا، فَإِنْ كَانَ بَيْنَهُمَا وَلَدٌ لَمْ يَضُرَّهُ الشَّيْطَانُ وَإِذَا قَرُبَتْ مِنَ الإِنْزَالِ فَقُلْ فِي نَفْسِكَ وَلَا تُحَرِّكْ شَفَتَيْكَ: اَلْحَمْدُ للهِ الَّذِي خَلَقَ مِنَ الْمَاءِ بَشَرًا فَجَعَلَهُ نَسَبًا وَصِهْرًا، وَكَانَ رَبُّكَ قَدِيرًا، وَكَانَ بَعْضُ أَصْحَابِ الحَدِيثِ يُكَبِّرُ حَتَّى يَسْمَعَ أَهْلُ الدَّارِ صَوْتَهُ ثُمَّ يَنْحَرِفُ عَنِ القَبْلَةِ وَلَا يَسْتَقْبِلُ القِبْلَةَ بِالوَقَاعِ إِكْرَاماً لِلْقِبْلَةِ وَلْيُغَطِّ نَفْسَهُ وَأَهْلَهُ بِثَوْبٍ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُغَطِّي رَأْسَهُ وَيَغُضُّ صَوْتَهُ وَيَقُولُ لِلْمَرْأَةِ عَلَيِكِ بِالسَّكِينَةِ وَفِي الخَبَرِ إِذَا جَامَعَ أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلَا يَتَجَرَّدَانِ تَجَرُّدَ العَيْرَيْنِ أَيْ اَلْحِمَارَيْنِ وَلْيُقَدِّم التَّلَطُّفَ بِالكَلَامِ وَالتَّقْبِيلِ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ يَقَعَنَّ أَحَدُكُمْ عَلَى امْرَأَتِهِ كَمَا تَقَعُ البَهِيمَةُ وَلْيَكُنْ بَيْنَهُمَا رَسُولٌ قِيلَ وَمَا الرَّسُولُ يَا رَسُولَ اللهِ قَالَ القُبْلَةُ وَالكَلَامُ.... ثُمَّ إِذَا قَضَى وَطَرَهُ فَلْيَتَمَهَّلْ عَلَى أَهْلِهِ حَتَّى تَقْضِيَ هِيَ أَيْضاً نَهْمَتَهَا (ابو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، مصر-مصطفى البابي الحلبي، 1385 هـ/1936، ج، 2، ص. 51، 52

“Dan disunnahkan memulai dengan membaca bismillah. Selanjutnya diawali dengan membaca Qul huwallahu ahad, membaca takbir, lalu membaca doa: Bismillah al-‘aliy al-‘azhîm allahumma ij’alha dzurriyatan thayyibah in kunta qaddarta an tukhrija dzalika min shulbi. Rasulullah saw bersabda, jika salah satu di antara kalian mendatangi isterimu maka berdoalah, allahumma jannibnisy-syaithân wa jannibisy-syaithân ma razaqtana, karena apabila (hubungan badan) di antara keduanya menghasilkan anak maka syaitan tidak akan menggangunya. Dan apabila si istri menjelang orgasme, maka bacalah dalam hatimu dan jangan gerakkan kedua bibirmu: Alhamdulillahil ladzi khalaqa minal-mâ`i basyaran fa ja’alahu nasaban wa shahran wa kâna rabbuka qadîran. Dan sebagian ashab al-hadîts bertakbir sampai seiisi rumah mendengarnya. Kemudian berpaling dari kiblat dan tidak menghadap kiblat ketika jimak karena untuk memuliakan kiblat. Dan hendaknya (suami) menutupi dirinya dan istrinya dengan kain (tsaub). Rasulullah saw menutupi kepalanya dan memelankan suaranya sembari berkata kepada istrinya, tenanglah. Bila salah satu dari kalian berhubungan badan dengan istrinya maka jangan keduanya bertelanjang bulat seperti halnya dua keledai. Dan (sebelum berhubungan badan) hendaknya didahului dengan cumbu-rayu dan ciuman. Rasulullah saw bersabda: Janganlah salah satu di antara kalian menyetubuhi isitrinya sebagaimana persetubuhan hewan, dan hendaknya di antara keduanya ada perantara. Lantas ditanyakan (kepada beliau), apa itu perantara wahai Rasulullah saw, beliau-pun menjawab, ciuman dan cumbu-rayu….kemudian ketika suami mengalami orgasme maka hantarkan sang istri secara perlahan-lahan sampai ia juga mengalami orgasme. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Mesir-Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1358 H/1939 M, juz, 2, h. 51, 52)        

Lebih lanjut menurut Imam al-Ghazali, jika ingin mengulangi jimak yang kedua maka sebaiknya membersihkan atau mencuci terlebih dahulu kemaluannya. Setelah berjimak segeralah mandi junub, namun apabila ingin langsung tidur atau makan maka lakukan wudlu terlebih dahulu. (Abu Hamid al-Ghazali Ihya` ‘Ulumiddin, juz, 2, h. 52)
Selanjutnya mengenai waktu yang pas untuk berjimak, menurut Imam al-Ghazali, sebaiknya jimak dilakukan setiap empat hari sekali, atau tergantung kebutuhan. Sebagian ulama ada yang mensunnahkan pada hari Jum’at. Dan dimakruhkan berjimak pada awal bulan, tengah, dan akhir bulan. Bagitu juga dimakruhkan berjimak pada awal malam.  Hal ini sebagaimana dikemukan oleh Imam al-Ghazali:

  وَيَنْبَغِي أَنْ يَأْتِيَهَا فِي كُلِّ أَرْبَعِ لَيَالٍ مَرَّةً فَهُوَ أَعْدَلُ إِذْ عَدَدُ النِّسَاءِ أَرْبَعَةٌ فَجَازَ التَّأْخِيرُ إِلَى هَذَا الحَدِّ نَعَمْ يَنْبَغِي أَنْ يَزِيدَ أَوْ يَنْقُصَ بِحَسْبِ حَاجَتِهَا فِي التَّحْصِينِ…. وَيُكْرَهُ لَهُ الجِمَاعُ فِي ثَلَاثِ لَيَالٍ مِنَ الشَّهْرِ الأَوَّلِ وَالآخِرِ وَالنِّصْفِ يُقَالُ إِنَّ الشَّيْطَانَ يَحْضُرُ الجِمَاعَ فِي هَذِهِ الْلَيَالِي… وَمِنَ العُلَمَاءِ مَنْ اسْتَحَبَّ الجِمَاعَ يَوْمَ الجُمُعَةِ وَلَيْلَتَهُ تَحْقِيقاً لِأَحَدِ التَّأْوِيلَيْنِ مِنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَحِمَ اللهُ مَنْ غَسَلَ وَاغْتَسَلَ..... وَإِنْ أَرَادَ أَنْ يُجَامِعَ ثَانِياً بَعْدَ أُخْرَى فَلْيَغْسِلْ فَرْجَهُ ....وَيُكْرَهُ الجِمَاعُ فِي أَوَّلِ اللَّيْلِ حَتَّى لَا يَنَامَ عَلَى غَيْرِ طَهَارَةٍ فَإِنَ أَرَادَ النَّوْمَ أَوْ الأَكْلَ فَلْيَتَوَضَّأ أَوَّلًا وُضُوءَ الصَّلَاةِ فَذَلِكَ سُنَّةٌ (ابو حامد الغزالي، إحياء علوم الدين، مصر-مصطفى البابي الحلبي، 1385 هـ/1936، ج، 2، ص. 52)

“Dan sebaiknya suami mendatangi istirinya empat hari sekali. Dan ini adalah yang paling ideal karena jumlah maksimal perempuan (yang boleh dinikahi) itu empat. Selanjutnya boleh juga mengakhirkan sampai batas ini, bisa sebaiknya menambah atau mengurangi sesuai dengan kebutuhan istri dalam tahshîn….dan dimakruhkan bagi suami untuk berjimak pada tiga malam dari satu bulan yaitu pada awal bulan, akhir, dan tengah bulan. Dikatakan: Sesungguhnya syaitan akan menghadiri jimak yang dilakukan pada malam-malam ini…Sebagian ulama ada yang mensunnahkan jimak pada hari dan malam jumat sebagai hasil tahqiq terhadap salah satu dari dua ta’wil dari sabda Rasulullah saw: Allah akan merahmati orang mencuci dan mandi (pada hari jumat)….Dan jika suami ingin berhubungan badan dengan istrinya untuk yang kedua kali maka hendaknya ia mencuci kemaluannya….dan dimakruhkan berjimak pada awal malam sampai ia tidak tidur kecuali dalam kondisi tidak suci, maka jika ingin tidur atau makan hendaknya ia melakukan wudlu sebagaimana wudlu untuk shalat. Demikian ini hukumnya sunnah. (Abu Hamid al-Ghazali, Ihya Ulumiddin, Mesir-Mushthafa al-Babi al-Halabi, 1358 H/1939 M, juz, 2, h. 51, 52)

Penjelasan Lain

Pertama, ada keadaan dimana seorang suami dianjurkan untuk mendatangi istrinya. Keadaan itu adalah ketika suami tidak sengaja melihat wanita dan dia terpikat dengannya. Anjuran ini berdasarkan hadis dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ الْمَرْأَةَ إِذَا أَقْبَلَتْ، أَقْبَلَتْ فِي صُورَةِ شَيْطَانٍ، فَإِذَا رَأَى أَحَدُكُمُ امْرَأَةً أَعْجَبَتْهُ فَلْيَأْتِ أَهْلَهُ فَإِنَّ مَعَهَا مِثْلَ الَّذِي مَعَهَا

Wanita itu, ketika dilihat seperti setan (punya kekuatan menggoda). Karena itu, jika ada lelaki melihat wanita yang membuatnya terpikat, hendaknya dia segera mendatangi istrinya. Karena apa yang ada pada istrinya juga ada pada wanita itu. (HR. Turmudzi 1158, Ibnu Hibban 5572, ad-Darimi dalam Sunannya 2261, dan yang lainnya. Sanad hadis ini dinilai shahih oleh Syuaib al-Arnauth).

Dalam riwayat lain di shahih Muslim, dari sahabat Jabir, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam

إِذَا أَحَدُكُمْ أَعْجَبَتْهُ الْمَرْأَةُ، فَوَقَعَتْ فِي قَلْبِهِ، فَلْيَعْمِدْ إِلَى امْرَأَتِهِ فَلْيُوَاقِعْهَا، فَإِنَّ ذَلِكَ يَرُدُّ مَا فِي نَفْسِهِ

”Jika ada lelaki yang terpikat dengan seorang wanita, hingga membuat dia jatuh cinta, hendaknya dia segera mendatangi istrinya dan melakukan hubungan dengannya. Dengan ini akan menghilangkan perasaan cinta dalam hatinya.” (HR. Muslim 1403).

An-Nawawi mengatakan,

ومعنى الحديث أنه يستحب لمن رأى امرأة فتحركت شهوته أن يأتي امرأته أو جاريته إن كانت له فليواقعها ليدفع شهوته وتسكن نفسه ويجمع قلبه على ما هو بصدده

Makna hadis, bahwa dianjurkan bagi lelaki yang melihat wanita, kemudian syahwatnya naik, agar dia segera mendatangi istrinya atau budaknya, jika dia punya budak, hingga dia melakukan hubungan badan dengannya. Agar bisa menahan syahwatnya dan jiwanya menjadi tenang, sehingga hatinya bisa kembali konsentrasi dengan tugasnya. (Syarh Shahih Muslim an-Nawawi, 9/178)

Kedua, mengenai waktu khusus yang berisi anjuran untuk melakukan hubungan badan, kami tidak menjumpai adanya dalil yang menjelaskan hal ini. Namun terdapat beberapa riwayat yang menunjukkan bagaimana kebiasaan orang soleh masa silam dalam memilih waktu untuk melakukan hubungan badan.

Berikut diantaranya,

1. Tiga waktu aurat

Yang dimaksud tiga waktu aurat adalah sebelum subuh, siang hari waktu dzuhur, dan setelah isya.

Allah berfirman,

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لِيَسْتَأْذِنْكُمُ الَّذِينَ مَلَكَتْ أَيْمَانُكُمْ وَالَّذِينَ لَمْ يَبْلُغُوا الْحُلُمَ مِنْكُمْ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ مِنْ قَبْلِ صَلَاةِ الْفَجْرِ وَحِينَ تَضَعُونَ ثِيَابَكُمْ مِنَ الظَّهِيرَةِ وَمِنْ بَعْدِ صَلَاةِ الْعِشَاءِ ثَلَاثُ عَوْرَاتٍ لَكُمْ لَيْسَ عَلَيْكُمْ وَلَا عَلَيْهِمْ جُنَاحٌ بَعْدَهُنَّ

Hai orang-orang yang beriman, hendaklah budak-budak (lelaki dan wanita) yang kamu miliki, dan orang-orang yang belum balig di antara kamu, meminta izin kepada kamu tiga kali (dalam satu hari) yaitu: sebelum shalat subuh, ketika kamu menanggalkan pakaian (luar)mu di waktu dzuhur dan sesudah shalat Isya’. (Itulah) tiga waktu aurat bagi kamu. tidak ada dosa atasmu dan tidak (pula) atas mereka selain dari (tiga waktu) itu. (QS. An-Nur: 58).

Diriwayatkan dari Muqatil bin Hayan, beliau menceritakan sebab turunnya ayat ini,

Ada pasangan suami istri di kalangan anshar, yang dia sering membuatkan makanan untuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Suatu ketika budaknya masuk ke kamar menemui mereka tanpa izin di waktu yang mereka tidak sukai untuk ditemui. Sang istripun melaporkan kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

يا رسول الله، ما أقبح هذا! إنه ليدخل على المرأة وزوجها وهما في ثوب واحد

”Wahai Rasulullah, betapa buruknya sikap orang ini. Dia menemui seorang wanita ketika dia sedang berduaan bersama suaminya dalam satu selimut.” Kemudian Allah menurunkan ayat di atas. (Tafsir Ibn Katsir, 6/83).

Allah menurunkan syariat agar anak yang belum baligh, atau budak yang tinggal bersama tuannya, untuk tidak masuk ke kamar pribadi orang tuanya atau kamar tuannya pada tiga waktu khusus tanpa izin. Tiga waktu itu Allah sebut sebagai waktu aurat, karena umumnya, mereka sedang membuka aurat di tiga waktu itu.

Ibnu Katsir menyebutkan keterangan dari as-Sudi,

كان أناس من الصحابة، رضي الله عنهم، يحبون أن يُوَاقعوا نساءهم في هذه الساعات ليغتسلوا ثم يخرجوا إلى الصلاة، فأمرهم الله أن يأمروا المملوكين والغلمان ألا يدخلوا عليهم في تلك الساعات إلا بإذن

”Dulu para sahabat radhiyallahu ‘anhum, mereka terbiasa melakukan hubungan badan dengan istri mereka di tiga waktu tersebut. Kemudian mereka mandi dan berangkat shalat. Kemudian Allah perintahkan agar mereka mendidik para budak dan anak yang belum baligh, untuk tidak masuk ke kamar pribadi mereka di tiga waktu tersebut, tanpa izin. (Tafsir Ibn Katsir, 6/83).

2. Setelah Tahajud

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memiliki kebiasaan tidur di awal malam, untuk bisa bangun di pertengahan atau sepertiga malam terakhir, melakukan shalat tahajud. Aisyah menceritakan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendekati istrinya setelah tahajud. Dari al-Aswad bin Yazid, bahwa beliau pernah bertanya kepada A’isyah radhiyallahu ‘anha tentang kebiasaan shalat malamnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Keterangan A’isyah radhiyallahu ‘anhu,

كَانَ يَنَامُ أَوَّلَ اللَّيْلِ ثُمَّ يَقُومُ، فَإِذَا كَانَ مِنَ السَّحَرِ أَوْتَرَ، ثُمَّ أَتَى فِرَاشَهُ، فَإِذَا كَانَ لَهُ حَاجَةٌ أَلَمَّ بِأَهْلِهِ، فَإِذَا سَمِعَ الْأَذَانَ وَثَبَ، فَإِنْ كَانَ جُنُبًا أَفَاضَ عَلَيْهِ مِنَ الْمَاءِ، وَإِلَّا تَوَضَّأَ ثُمَّ خَرَجَ إِلَى الصَّلَاةِ

”Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidur di awal malam, kemudian bangun tahajud. Jika sudah memasuki waktu sahur, beliau shalat witir. Kemudian kembali ke tempat tidur. Jika beliau ada keinginan, beliau mendatangi istrinya. Apabila beliau mendengar adzan, beliau langsung bangun. Jika dalam kondisi junub, beliau mandi besar. Jika tidak junub, beliau hanya berwudhu kemudian keluar menuju shalat jamaah. (HR. an-Nasai 1680 dan dishahihkan al-Albani)

Berdasarkan keterangan A’isyah di atas, sebagian ulama lebih menganjurkan agar hubungan badan dilakukan di akhir malam, setelah tahajud, dengan pertimbangan,

Mendahulukan hak Allah, dengan beribadah kepadanya dalam kondisi masih kuat.
Menghindari tidur ketika junub, karena bisa langsung mandi untuk shalat subuh.
Di awal malam umumnya pikiran penuh, dan di akhir malam umumnya pikiran dalam keadaan kosong.
Ketika menjelaskan hadis ini, Mula Ali Qori mengutip keterangn Ibnu Hajar yang menjelaskan,

تأخير الوطء إلى آخر الليل أولى؛ لأن أول الليل قد يكون ممتلئا ، والجماع على الامتلاء مضر بالإجماع على أنه قد لا يتيسر له الغسل فينام على جنابة وهو مكروه

Mengakhirkan hubungan badan hingga akhir malam itu lebih baik. Karena di awal malam terkadang pikiran orang itu penuh. Dan melakukan jima di saat pikiran penuh, bisa jadi membahayakan dengan sepakat para ahli, karena bisa jadi dia tidak bisa mandi, sehingga dia tidur dalam kondisi junub, dan itu hukumnya makruh. (Mirqah al-Mashabih, 4/345).

Semua keterangan di atas hanya menyebutkan kebiasaan mereka. Dan semata tradisi yang terkait adat atau kebutuhan fisik seseorang, tidak bisa dijadikan acuan bahwa itu sunah atau dianjurkan. Karena itu, pertimbangan yang disebutkan oleh Ibnu Hajar hanya pertimbangan terkait dampak baik ketika hubungan badan diakhirkan hingga mendekati sahur. Dengan demikian, kesimpulan yang bisa kita berikan, bahwa dalam masalah ini tidak ada acuan baku, sehingga dikembalikan kepada kebutuhan dan kebiasaan masyarakat.

Berdoa Bersama Setelah Sholat Dan Mengaminkan Doa


Menyangkut masalah furu’ (cabang) yang telah terjadi ikhtilaf di kalangan para ulama. Berdo’a bersama setelah sholat bukan hanya terjadi di Indonesia saja, di negara-negara Arab pun juga terdapat fenomena seperti itu. Bahkan sudah terjadi sejak zaman dahulu

Pada dasarnya, kalau kita mengkaji ajaran Islam secara mendalam, akan kita dapati bahwa tradisi doa bersama, di mana salah seorang dari jamaah mengucapkan doa, sedangkan anggota jamaah lainnya membaca amin, merupakan tradisi Islami sejak generasi salaf yang saleh dan sesuai dengan ajaran Rasulullah SAW. Dalam sebuah hadits hasan Rasulullah SAW bersabda:

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رضي الله عنه قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صلى الله عليه وسلم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ يَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني في الكبير و الحاكم في المستدرك

“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri RA –beliau seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidak lah berkumpul suatu kaum Muslimin, lalu sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengucapkan amin, kecuali Allah pasti mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir, dan al-Hakim dalam al-Mustadrak. Al-Hakim berkata, hadits ini shahih sesuai persyaratan Muslim. Al-Hafizh al-Haitsami berkata dalam Majma’ al-Zawaid, para perawi hadits ini adalah para perawi hadits shahih, kecuali Ibn Lahi’ah, seorang yang haditsnya bernilai hasan.”

Dalam hadits lain diterangkan:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُمَا قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم: اَلدَّاعِيْ وَالْمُؤَمِّنُ فِي اْلأَجْرِ شَرِيْكَانِ. رواه الديلمي في مسند الفردوس بسند ضعيف.

“Dari Ibn Abbas radhiyallahu ‘anhuma, berkata: “Rasulullah SAW bersabda: “Orang yang berdoa dan orang yang membaca amin sama-sama memperoleh pahala.” (HR. al-Dailami dalam Musnad al-Firdaus dengan sanad yang lemah).

Menurut al-Hafizh Ahmad bin al-Shiddiq al-Ghumari dalam kitabnya al-Mudawi li-’Ilal al-Jami’ al-Shaghir wa Syarhai al-Munawi (juz 4 hal. 43), kelemahan hadits al-Dailami di atas dapat diperkuat dengan ayat al-Qur’an. Allah SWT berfirman tentang kisahNabi Musa AS:

قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا. (يونس : ٨٩).

“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan doa kamu berdua, oleh karena itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus.” (QS. Yunus : 89).

Sebagaimana terdapat didalam Kitab Al Mawsu’ah Al Fiqhiyah Al Kuwaitiyah sebagai berikut:

الموسوعة الفقهية الكويتية – (1 / 116)

التَّأْمِينُ عَلَى الدُّعَاءِ دُبُرَ الصَّلاَةِ .

18 – لَمْ أَجِدْ مَنْ يَقُول بِالتَّأْمِينِ عَلَى دُعَاءِ الإِْمَامِ بَعْدَ الصَّلاَةِ إِلاَّ بَعْضَ الْمَالِكِيَّةِ . وَمِمَّنْ قَال بِجَوَازِهِ ابْنُ عَرَفَةَ ، وَأَنْكَرَ الْخِلاَفَ فِي كَرَاهِيَتِهِ . وَفِي جَوَابِ الْفَقِيهِ الْعَلاَّمَةِ أَبِي مَهْدِيٍّ الْغُبْرِينِيُّ مَا نَصُّهُ : ” وَنُقَرِّرُ أَوَّلاً أَنَّهُ لَمْ يَرِدْ فِي الْمِلَّةِ نَهْيٌ عَنْ الدُّعَاءِ دُبُرَ الصَّلاَةِ ، عَلَى مَاجَرَتْ بِهِ الْعَادَةُ الْيَوْمَ مِنَ الاِجْتِمَاعِ ، بَل جَاءَ التَّرْغِيبُ فِيهِ عَلَى الْجُمْلَةِ . ” فَذَكَرَ أَدِلَّةً كَثِيرَةً ثُمَّ قَال : ” فَتَحَصَّل بَعْدَ ذَلِكَ كُلِّهِ مِنَ الْمَجْمُوعِ أَنَّ عَمَل الأَْئِمَّةِ مُنْذُ الأَْزْمِنَةِ الْمُتَقَادِمَةِ مُسْتَمِرٌّ فِي مَسَاجِدِ الْجَمَاعَاتِ ، وَهُيَ مَسَاجِدُ الْجَوَامِعِ ، وَفِي مَسَاجِدِ الْقَبَائِل ، وَهِيَ مَسَاجِدُ الأَْرْبَاضِ وَالرَّوَابِطِ ، عَلَى الْجَهْرِ بِالدُّعَاءِ بَعْدَ الْفَرَاغِ مِنَ الصَّلَوَاتِ ، عَلَى الْهَيْئَةِ الْمُتَعَارَفَةِ الآْنَ ، مِنْ تَشْرِيكِ الْحَاضِرِينَ ، وَتَأْمِينِ السَّامِعِينَ ، وَبَسْطِ الأَْيْدِي وَمَدِّهَا عِنْدَ السُّؤَال وَالتَّضَرُّعِ وَالاِبْتِهَال مِنْ غَيْرِ مُنَازِعٍ . “

وَكَرِهَهُ مَالِكٌ وَجَمَاعَةٌ غَيْرُهُ مِنَ الْمَالِكِيَّةِ ، لِمَا يَقَعُ فِي نَفْسِ الإِْمَامِ مِنَ التَّعَاظُمِ . وَبَقِيَّةُ الْقَائِلِينَ بِالدُّعَاءِ عَقِبَ الصَّلاَةِ يُسِرُّونَ بِهِ نَدْبًا ، عَلَى تَفْصِيلٍ . (1) ( ر : دُعَاءٌ ) .

MENG”AMINKAN’ DOA SETELAH SHALAT

Saya tidak temukan pendapat  yang membolehkan mengaminkan doa setelah shalat kecuali pendapat beberapa orang pengikut mazhab Maliki . Diantara yang membolehkan itu adalah Ibnu Arafah, dia bahkan mengingkari adanya perbedaan pendapat tentang makruhnya hal ini.

Berikut ini nash ( tex ) jawaban dari alfaqih al’allamah ( Ahli fiqih yg sangat alim ) Abi Mahdi AlGhubriny dalam masalah ini : (( Pertama kita pastikan tidak ada dalam agama larangan berdoa secara berjamaah  setelah shalat sebagaimana kebiasaan yang terjadi sekarang , bahkan secara umum itu dianjurkan. – kemudian dia menyebutkan beberapa dalil, lalu meneruskan – jadi bisa disimpulkan bahwa apa yang dilakukan para imam sejak masa-masa dulu terus berlanjut di masjid-masjid raya,  masjid-masjid kampung, masjid-masjid sekolah, yaitu mengeraskan suara saat berdoa setelah shalat seperti cara yang dikenal sekarang, mengikut-sertakan hadirin ( jama’ah ),  mereka mengaminkannya, menadahkan tangan saat berdoa dan merendahkan diri di hadapan Allah, yang mana hal tersebut tidak ada yang mengingkarinya )) .  

Imam Malik tidak menyukai hal tersebut  juga sekelompok lain dari Mazhab Maliki, karena bisa menimbulkan perasaan diri hebat pada diri seorang imam.

Sebagian berpendapat doa setelah shalat disunnatkan dengan tidak mengeraskan suara, dengan beberapa rincian dalam pendapat mereka.

Didalam masalah ini pendapat para  ulama terbagi menjadi  dua  yaitu

Sebagian ulama tidak menyukainya,  karena berdasarkan keterangan bahwa Rasulullah dan para sahabat tidak melakukan do’a bersama setelah melakukan shalat fardhu.
Sebagian ulama membolehkannnya bahkan sebagian menganjurkannya karena dianggap baik.
Dalil dari ulama yang tidak menyukainya sudah jelas dan sangat sederhana yaitu karena tidak ada contoh dari Rasulullah dan para sahabat oleh karena itu tidak perlu dikerjakan bahkan bisa jadi terlarang.

Yang perlu dipahami adalah pendapat ulama yang membolehkan atau menganjurkan. Mereka membagi persoalan tersebut menjadi dua bagian kemudian disimpulkan menjadi satu kesatuan. Yaitu

Hukum berdo’a setelah shalat

Berdo’a setelah shalat adalah merupakan anjuran dari Rasulullah dan tidak ada ulama yang berbeda pandangan, karena dasarnya yang besumber dari hadis shahih sangat banyak diantaranya adalah

سنن أبى داود – (4 / 318)

أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَخَذَ بِيَدِهِ وَقَالَ يَا مُعَاذُ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ وَاللَّهِ إِنِّي لَأُحِبُّكَ فَقَالَ أُوصِيكَ يَا مُعَاذُ لَا تَدَعَنَّ فِي دُبُرِ كُلِّ صَلَاةٍ تَقُولُ اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى ذِكْرِكَ وَشُكْرِكَ وَحُسْنِ عِبَادَتِكَ

“ Sesungguhnya Rasulullah saw pernah memegang tanganku dan berkata :” Yaa Muadz , sesungguhnya Demi Allah aku mencintai Mu., Demi Allah aku mencintaiMu . aku berpesan kepadamu Yaa Muadz “ jangan sekali-kali engkau meninggalkan do’a setiap selesai  shalat dengan do’a sebagai berikut: ‘ Yaa Allah tolonglah aku agar dapat selalu mengingatMu, dapat mensyukuri nikmatMu dan dapat beribadah kepadaMu dengan sebaik-baiknya”

 Hukum mengaminkan do’a orang lain

Mengaminkan do’a adalah juga  adalah sesuatu yang disyariatkan, dan juga tidak ada perbedaan pandangan diantara para ulama,  sebagaimana sabda-sabda Rasulullah sebagai berikut:

الأدب المفرد – (1 / 342)

عن عائشة عن رسول الله صلى الله عليه و سلم : ما حسدكم اليهود على شيء ما حسدوكم على السلام والتأمين

Dari Aisyah r.a. dari Rasulullah s.a.w, bersabda: “Tidak ada hal yang paling dirikan oleh orang Yahudi kepada dirimu kecuali ucapan salam dan perkataan amiin. (Hadis Riwayat Bukhari didalam Adabul Mufrad, dishahihkan oleh Albani)

جامع الأحاديث – (17 / 36)

لا يجتمع ملأ فيدعو بعضهم ويؤمن بعضهم إلا أجابهم الله (الطبرانى ، والحاكم ، والبيهقى(

Rasulullah bersabda: “Tidaklah sekelompok orang berdo’a kemudian saling mengaminkan, maka do’anya akan dikabulkan oleh Allah (Hadis Riwayat Thabarani, Al Hakim dan Baihaqi, dikutip dari Kitab Jami’ul Ahadis)
Malaikat mengaminkan do’a yang orang mendo’akan saudara muslim lainnya, sebagaimana tersebut dalam hadis berikut:
جامع الأحاديث – (3 / 144)

إذا دعا المرءُ لأخيه بظهر الغيبِ قالت الملائكةُ آمين ولك مثلُه (البزار عن أنس) [المناوى]

أخرجه البزار كما فى مجمع الزوائد (10/152) قال الهيثمى : رجاله ثقات

Rasulullah bersabda: “apabila seseorang mendo’akan saudaranya yang tidak berada disisinya maka para malaikat mengucapkan amiin dan bagi yang berdo’a akan memperoleh  yang sama (hadis riwayat al Bazar dalam Kitab Al Manawi dan Majmu’ zawaid, dikutip dari Kitab Jami’ul Ahadis, perawinya dapat dipercaya)

Berdasarkan hadis-hadis diatas, sebagian ulama membolehkan, setelah shalat  imam membaca do’a dan diaminkan oleh para makmun.

Namun kiranya perlu diperhatikan pendapat para ulama salaf  bahwa berdo’a secara berjama’ah setelah sholat adalah bukan membuat hukum baru dalam artian bahwa apabila tidak berdo’a secara berjamaah ada keburukan disana atau sebaliknya..

Sebagaimana yang kita ketuahi bahwa bahwa berdzikir bisa dilakukan dengan sendiri-sendiri maupun secara bersama-sama. Dalam shalat berjamaah sebaiknya dilakukan bersama-sama. Imam membaca dzikir dengan keras dan makmum mengikutinya. Hal ini didasarkan keumuman hadits:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ وَأَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّهُمَا شَهِدَا عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّهُ قَالَ: لَا يَقْعُدُ قَوْمٌ يَذْكُرُونَ اللهَ عَزَّ وَجَلَّ إِلَّا حَفَّتْهُمُ الْمَلَائِكَةُ، وَغَشِيَتْهُمُ الرَّحْمَةُ، وَنَزَلَتْ عَلَيْهِمِ السَّكِينَةُ، وَذَكَرَهُمُ اللهُ فِيمَنْ عِنْدَهُ (رواه مسلم
 “Dari Abi Hurairah ra dan Abi Said al-Khudri ra bahwa keduanya telah menyaksikan Nabi saw beliau bersabda: ‘Tidaklah berkumpul suatu kaum sambil berdzikir kepada Allah ‘azza wa jalla kecuali para malaikat mengelilingi mereka, rahmat menyelimuti mereka, dan ketenangan hati turun kepada mereka, dan Allah menyebut (memuji) mereka di hadapan makhluk yang ada di sisi-Nya” (H.R. Muslim)

Di sisi lain memang beberapa hadits shahih yang tampak memiliki maksud berbeda. Di satu sisi terdapat hadits yang menunjukkan bahwa membaca dzikir dengan suara keras setelah sahalat fardlu sudah dilakukan para sahabat pada masa Nabi saw. Hal ini sebagaiman dikemukakan oleh Ibnu Abbas ra:

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ : أَنَّ رَفْعَ الصَّوْتِ بِالذِّكْرِ حِينَ يَنْصَرِفُ النَّاسُ مِنَ الْمَكْتُوبَةِ، كَانَ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ (رواه البخاري ومسلم
“Dari Ibnu Abbas ra ia berkata: ‘Bahwa mengerasakan suara dalam berdzikir ketika orang-orang selesai shalat maktubah itu sudah ada pada masa Nabi saw” (H.R. Bukhari-Muslim)
 
Namun terdapat juga hadits lain yang berkebalikan, yang menunjukkan adanya anjuran untuk memelankan suara ketika berdzikir, sebagaimana hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari:‎

ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ، فَإِنَّكُمْ لاَ تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلاَ غَائِبًا، وَلَكِنْ تَدْعُونَ سَمِيعًا بَصِيرًا (رواه البخاري


“Ringankanlan atas diri kalian (jangan mengerasakan suara secara berlebihan) karena susunggunya kalian tidak berdoa kepada Dzat yang tidak mendengar dan tidak kepada yang ghaib, akan tetapi kalian berdoa kepada Dzat Yang Maha Mendengar dan Maha Melihat” (H.R. Bukhari)

Dari kedua hadits tersebut dapat dipahami bahwa mengeraskan suara dalam berdzikir dan memelannkannya sama-sama memiliki landasan yang shahih. Maka dalam konteks ini Imam an-Nawawi berusaha untuk menjembatani keduanya dengan cara memberikan anjuran kepada orang yang berdzikir untuk menyesuakan dengan situasi dan kondisi. Berikut ini adalah penjelasan Imam an-Nawawi yang dikemukan oleh penulis kitab Ruh al-Bayan.

 وَقَدْ جَمَعَ النَّوَوِيُّ بَيْنَ الْأَحَادِيثِ الوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الجَهْرِ بِالذِّكْرِ وَالوَارِدَةِ فِى اسْتِحَبَابِ الإِسْرَارِ بِهِ بِأَنَّ الْإِخْفَاءَ أَفْضَلُ حَيْثُ خَافَ الرِّيَاءَ أَوْ تَأَذَّى المُصَلُّونَ أَوْ النَّائِمُونَ وَالْجَهْرُ أَفْضَلُ فِى غَيْرِ ذَلِكَ لِأَنَّ الْعَمَلَ فِيهِ أَكْثَرُ وَلِأَنَ فَائِدَتَهُ تَتَعَدَّى إِلَى السَّامِعِينَ وَلِأَنَّهُ يُوقِظُ قَلْبَ الذَّاكِرِ وَيَجْمَعُ هَمَّهُ إِلَى الفِكْرِ وَيَصْرِفُ سَمْعَهُ إِلَيْهِ وَيَطْرِدُ النَّوْمَ وَيَزِيدَ فِى النَّشَاطِ (أبو الفداء إسماعيل حقي، روح البيان، بيروت-دار الفكر، ج، 3، ص. 306
“Imam an-Nawawi memadukan antara hadits-hadits yang menganjurkan (mustahab) mengeraskan suara dalam berdzikir dan hadits-hadits yang menganjurkan memelankan suara dalam berdzikir; bahwa memelankan suara dalam berdzikir itu lebih utama sekiranya dapat menutupi riya dan mengganggu orang yang shalat atau orang yang sedang tidur. Sedangkan mengeraskan suara dalam berdzikir itu lebih utama pada selain dua kondisi tersebut karena: pebuatan yang dilakukan lebih banyak, faidah dari berdzikir dengan suara keras itu bisa memberikan pengaruh yang mendalam kepada pendengarnya, bisa mengingatkan hati orang yang berdzikir, memusatkan perhatiannya untuk melakukan perenungan terhadap dzikir tersebut, mengarahkan pendenganrannya kepada dzikir terebut, menghilankan kantuk dan menambah semangatnya”. (Abu al-Fida` Ismail Haqqi, Ruh al-Bayan, Bairut-Dar al-Fikr, juz, 3, h. 306)

Sedang mengenai doa bersama, yang dimaksudkan dalam konteks ini adalah setelah imam selesai shalat bersama-sama dengan makmum melakukan dzikir kemudian imam melakukan doa yang diamini oleh makmunya. Hal ini jelas diperbolehkan, dan di antara dalil yang memperbolehkannya adalah hadits berikut ini:

عَنْ حَبِيْبِ بْنِ مَسْلَمَةَ الْفِهْرِيِّ وَكَانَ مُجَابَ الدَّعْوَةِ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّم يَقُوْلُ: لاَ يَجْتَمِعُ قَوْمٌ مُسْلِمُوْنَ فَيَدْعُوْ بَعْضُهُمْ وَيُؤَمِّنُ بَعْضُهُمْ إِلاَّ اسْتَجَابَ اللهُ دُعَاءَهُمْ. رواه الطبراني

“Dari Habib bin Maslamah al-Fihri ra –ia adalah seorang yang dikabulkan doanya-, berkata: Saya mendengar Rasulullah saw bersabda: Tidaklah berkumpul suatu kaum muslim yang sebagian mereka berdoa, dan sebagian lainnya mengamininya, kecuali Allah mengabulkan doa mereka.” (HR. al-Thabarani)

Dalam Al Qur’an dikabarkan ketika Nabi Musa berdoa:

وَقَالَ مُوسَى رَبَّنَا إِنَّكَ آتَيْتَ فِرْعَوْنَ وَمَلَأَهُ زِينَةً وَأَمْوَالًا فِي الْحَيَاةِ الدُّنْيَا رَبَّنَا لِيُضِلُّوا عَنْ سَبِيلِكَ رَبَّنَا اطْمِسْ عَلَى أَمْوَالِهِمْ وَاشْدُدْ عَلَى قُلُوبِهِمْ فَلَا يُؤْمِنُوا حَتَّى يَرَوُا الْعَذَابَ الْأَلِيمَ

“Musa berkata: “Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah memberi kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta benda mereka, dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih.”” (QS. Yunus: 88)

Namun perhatikan apa firman AllahTa’ala setelahnya:

قَالَ قَدْ أُجِيبَتْ دَعْوَتُكُمَا فَاسْتَقِيمَا وَلَا تَتَّبِعَانِّ سَبِيلَ الَّذِينَ لَا يَعْلَمُونَ

“Allah berfirman: “Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui”” (QS. Yunus: 89)

Syaikh Abdul Aziz Ath Tharifi menjelaskan: “firman Allah ini khitab (lawan bicara) nya adalah Nabi Musa dan Nabi Harun ‘alaihimassalam padahal yang berdoa hanya Nabi Musa seorang. Namun ketika Nabi Musa berdoa, Nabi Harun mengamini doa beliau. Dan orang yang mengamini doa dianggap sebagai orang mengucapkan doa” (Sifat Shalat Nabi, 92).


Dalam sebuah hadits :

إِذَا أَمَّنَ القَارِئُ فَأَمِّنُوا، فَإِنَّ المَلاَئِكَةَ تُؤَمِّنُ، فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (مسلم)

Apabila yang membaca (doa) mengucapkan Amin, maka ucapkanlah Amin, karena malaikat mengaminkan, dan barangsiapa ucapan Amin nya bersamaan dengan Amin nya malaikat niscaya diampunia dosa-dosa (kecil) nya yang telah lalu (HSR Muslim)

Selain Muslim hadits yang sama diriwayatkan juga oleh Bukhari dalam shahihnya 8:85; Ahmad dalam musnadnya 12:187; Ibnu Abi Syaibah dalam mushannafnya 2:187; Ibnu Majah  dalam sunannya 1:277; Nasaa`i dalam sunannya 2:143; Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1:286; Thabrani dalam Mu`jamul Aushat 9:7 dan Baihaqi dalam sunan kubra 2:80.

Lafazh “alqaari`” pada hadits di atas arti harfiahnya adalah “yang membaca”, termasuk dalam pengertiannya yang membaca doa, maka itu dulu kami menyimpulkan baha apabila yang berdoa mengucap Amin, maka yang mendengar wajib mengucap Amin.

Belakangan terungkap bahwa sebenarnya yang dimaksud hadits di atas adalah apabila imam dalam shalat mengucap Amin, maka ma`mum di belakangnya wajib juga mengucap Amin. Jadi lafazh “alqaari`” itu maksudnya “al-imam” sebagaimana hadits sebagai berikut:

إِذَا أَمَّنَ الإِمَامُ، فَأَمِّنُوا، فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ المَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ (البخاري)

Apabila imam (dalam shalat) mengucap Amin, maka ucapkanlah Amin, karena se sungguhnya barangsiapa ucapan Amin nya bersamaan dengan ucapan Amin para malaikat niscaya akan diampuni dosa-dosa (kecilnya) yang telah lalu (HSR Bukhari)

Selain Bukhari, hadits ini diriwayatkan oleh Malik dalam al-Muwath-tha` 2:119; Syafi`i dalam musnadnya 1:82; Muslim dalam shahihnya 1:306; Ibnu Khuzaimah dalam shahihnya 1:286; Abu Awanah dalam mustakhrajnya 1:455; Abu Dawud dalam sunannya 1:246; Tirmi dzi dalam sunannya 1:332; Nasaa`i dalam sunannya 2:144 dan Baihaqi dalam sunan kubra 2:79.

Lalu sekarang bagaimana hukum sebenarnya mengaminkan doa seorang khatib atau doa seseorang yang kita dengar ? Untuk itu kita meruju` pada sebuah riwayat dari Jabir bin Abdullah:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَقَى المِنبر فَلما رَقَى الدَّرجة الأُولى قَالَ: (آمِين) ثُم رَقى الثَانية فَقال: (آمِينَ) ثُم رَقى الثَالثة فَقال: (آمِينَ) فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ سَمعنَاك تَقولُ: (آمينَ) ثَلاث مَرات؟ قَالَ: (لَما رَقيتُ الدَّرجةَ الأُولى جَاءِني جِبريلُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقال: شَقي عَبدٌ أَدركَ رمضانَ فانسَلخَ مِنهُ ولَم يُغفَر لَه فَقلتُ: آمِينَ، ثُم قَال شَقي عَبدٌ أَدرك والدَيهِ أَو أَحدَهُما فَلم يُدخِلاهُ الجنَّةَ. فَقلتُ: آمينَ. ثُم قَال شَقي عَبدٌ ذُكرتَ عِندهُ ولَم يُصلِ عَليك. فَقلتُ: آمينَ) رواه البخاري في الأدب المفرد 1:337

Bahwasanya suatu hari Nabi saw naik ke mimbar, ketika beliau menaiki tangga per tama beliau mengucapkan Amin, ketika menaiki tangga kedua beliau juga mengucapkan Amin, dan begitupula ketika menaiki tangga ketiga beliau mengucapkan Amin. Para sahabat kemudian bertanya: Ya Rasulullah, kami mendengar engkau mengucapkan Amin sebanyak tiga kali, (apakah gerangan yang terjadi ) ? Beliau lalu bersabda: Ketika saya menaiki tangga yang pertama Jibril as datang lalu berkata: Semoga kecelakaan menimpa seorang hamba yang menjumpai dan melewati bulan Ramadhan namun dia tidak diam puni, saya pun mengatakan Amin, Kemudian dia berkata: semoga kecelakaan menimpa seorang hamba yang sempat menjmpai kedua orang tuanya atau salah satu dari padanya (dalam keadaan masih hidup), namun keduanya tidak memasukkannya ke sorga (karena ia durhaka kepada nya), maka saya menjawab: Amin. Kemudian berkata: Semoga kecela kaan menimpa seorang hamba yang tidak mengucapkan shalawat kepadamu, ketika nama mu disebutkan di hadapannya, maka saya pun mengucapkan Amin (Bukhari dalam al-Ada bul Mufrad)

Hadits ini diriwayatkan oleh Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad 1:237 dengan status Shahih Lighairihi (artinya shahih karena terangkat riwayat lain)

Riwayat di atas dengan jelas menerangkan bahwa Nabi saw mengucap Amin ketika mendengar Jibril as berdoa, ini artinya pengaminan doa itu adalah sesuatu yang masyru` (di syari`atkan) berarti kita boleh mengamalkannya. Dan oleh karena dalam hal ini Nabi saw tidak memerintahkan pengaminan tersebut, maka status hukumnya adalah sunnah, sebab semata mata perbuatan Nabi saw apabila tidak diiringi dengan perintah maka hukumnya adalah sunnah.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...