Selasa, 12 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Memakai Sorban

 

Biasanya kalau ada orang sorbanan di kepala (udeng-udeng) orang langsung menganggap dia orang yang 'alim dan ahli ibadah. maka tak heran jika dihormati sedemikian rupa karena orang merasa sungkan. Memang di Indonesia umumnya orang yang menggunakan sorban yang dililitkan dikepala adalah habaib, para ulama', para kyai terutama kyai sepuh. Tapi tidak sedikit juga ustadz-ustadz muda kita menggunakan udeng-udeng. Contoh yang paling kongkrit (nyata) adalah KH. abdulloh Gymnastiar, atau yang akrab dipanggil AA Gym. Sudah menjadi ciri khas beliau kemana-mana, terutama dalam berdakwah pakai sorban dikepala.

Berbeda dengan sorban yag dililitkan dikepala, kalau sorban yang di selendangkan dibahu lebih populer lagi. Pada saat sholat jama'ah pun nampak banyak yang mempergunakannya, Yach emang sorban seperti itu sudah memasarakat. Jangankan wak kaji yang mau sholat, wong para wali kota pun buayak yang pakai sorban, tentu kita tidak usah repot utk menilai orang2 yang pake sorban, itu karena Alloh atau karena tujuan lain. Karena itu urusan mereka masing2 dgn Alloh dan ndak usah repot menilai ke iklasannya meraka.

Di samping sorban, masyarakat kita mengenal kopyah atau peci, justru yang ini lebih merakyat dan hampir seluruh umat islam di dunia memakainya. Bahkan waktu akad nikah jika ndak pakek kopyah ndak afdhol bahkan bisa dimarahin tu ama modin. hehehehe,...............

Sebagian masyarakat banyak yang bertanya-tanya apa sich hukunya dan manfaat menggunakan sorban atau penutup kepala seperti itu....???. dan apa ada dasar hukumnya...???! karena banyak di kalangan umat islam tidak memakai sorban bahkan tdk sama sekali menggunakan sorban, ada yg alasannya malu, belum pantas, atau tidak mengerti hkum dan manfaatnya.

Hadits-hadits tentang sorban

عَنْ أَبِى جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدِ بْنِ عَلِىِّ بْنِ رُكَانَةَ عَنْ أَبِيهِ أَنَّرُكَانَةَ صَارَعَ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- فَصَرَعَهُ النَّبِىُّ -صلىالله عليه وسلم- قَالَ رُكَانَةُ وَسَمِعْتُ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- يَقُولُ« فَرْقُ مَا بَيْنَنَا وَبَيْنَ الْمُشْرِكِينَ الْعَمَائِمُ عَلَى الْقَلاَنِسِ».

Dari Abi Ja’far bin Muhammad bin ‘Ali bin Rukanah dari ayahnya:”Sesungguhnya Rukanah bergulat dengan Nabi Saw.,maka Nabi Saw. pun membanting Rukanah. Rukanah berkata,’aku mendengar Nabi Saw bersabda:{Perbedaan antara kita dan antara orang-orang Musyrik adalah sorban di atas peci}.’”(HR Abu Dawud,at-Tirmidzi, ath-Thabrani, al-Hakim, al-Baihaqi)

Penjelasan:di dalam kitab Tanqih al-qaul dijelaskan bahwa jika memakai peci saja, makamenyerupai dengan kaum Musyrikin, karena kaum Musyrikin pun suka memakai pecitapi tidak mengenakan sorban di atas pecinya. Di dalam kitab ad-Di’amah juga disebutkan, karena banyak keterangan bahwa kita dilarang tasyabbuh (menyerupai)orang-orang kafir dalam berbagai keadaan, juga saat berpakaian pada waktu beribadah.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا اعْتَمَّ سَدَلَعِمَامَتَهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ. قَالَ نَافِعٌ وَكَانَ ابْنُ عُمَرَ يَسْدِلُ عِمَامَتهُ بَيْنَ كَتِفَيْهِ.

Dari Ibnu ‘Umar ia berkata :”Sesungguhnya Rasulullah Saw tatkala memakai sorban, dijuraikan (buntut) sorbannya itu diantara dua pundak/bahunya.”(HR. at-Tirmidzi dan al-Baihaqi)

حَدَّثَنِى شَيْخٌ مِنْ أَهْلِ الْمَدِينَةِ قَالَ سَمِعْتُ عَبْدَ الرَّحْمَنِ بْنَعَوْفٍ يَقُولُ عَمَّمَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- فَسَدَلَهَا بَيْنَيَدَىَّ وَمِنْ خَلْفِى

Telah mengabarkan kepadaku seorang Syaikh dari penduduk Madinah ia berkata, aku mendengar ‘Abdurahman bin ‘Auf berkata:”Rasulullah Saw memakaikan sorban padaku,maka dijuraikanlah (buntut) sorban tersebut diantara kedua tanganku, dibelakangku.”(HR.Abu Dawud, Abi Ya’la dan al-Baihaqi)

عن جابر قال, قال رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم: رَكْعَتَانِ بِعَمَامةٍ خَيْرٌمِنْ سَبْعِينَ رَكْعَةً بِلاَ عِمَامَةٍ

Dari Jabir ia berkata,Rasulullah Saw bersabda:”Shalat dua raka’at dengan memakai sorban, lebih baik/utama dari pada shalat tujuh puluh raka’at tanpa memakai sorban.”HR.ad-Dailami,lihat kitab Syarah jami’ ash-Shagir oleh Syaikh al-Manawi juz 4 hadits no4468).Shalat adalah menghadap Sang Maha Raja, dan datang menghadap ke hadirat Sang Maha Raja tanpa berhias adalah menyalahi adab! (Kitab Tanqih al-Qaul)

قال صلى الله عليه وسلم: تَعَمَّموا فَإنَّ المَلائِكَةَ تَعَمَّمَتْ

Rasulullah Saw bersabda:”Bersorbanlah kalian, karena sesungguhnya para malaikat itu bersorban.”(Syaikh Nawawi al-Bantani, Tanqih al-qaul, babkeutamaan sorban)

بَلَى إِنْ تَصْبِرُواوَتَتَّقُوا وَيَأْتُوكُمْ مِنْ فَوْرِهِمْ هَذَا يُمْدِدْكُمْ رَبُّكُمْ بِخَمْسَةِآلَافٍ مِنَ الْمَلَائِكَةِ مُسَوِّمِينَ (125)

“ Ya (cukup), jika kamu bersabar dan bersiap-siaga, dan mereka datang menyerang kamu dengan seketika itu juga,niscaya Allah menolong kamu dengan lima ribu Malaikat yang memakai tanda. (S.Al Imran : 125).

Ibnu ‘Abbas berkata:”Tanda itu maksudnya adalah memakai sorban.” 

  وعن أبي هريرة معا ( إن لله عز وجل ملائكة وقوفا بباب المسجد يستغفرون لأصحاب العمائم البيض)

“Beberapa malaikat Allah akan berdiri di depan pintu mesjid dan memintakan ampun bagi mereka yang memakai sorban berwarna putih” (Hafizhas-Sakhawi Al-Maqaasidul Hasanah, Hal 466)

عَنِ ابْنِ الْمُغِيرَةِ عَنْ أَبِيهِ أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- مَسَحَعَلَى الْخُفَّيْنِ وَمُقَدَّمِ رَأْسِهِ وَعَلَى عِمَامَتِهِ.

Dari Ibnu al-Mughirah dari Ayahnya: ”Bahwasannya  Nabi Saw mengusap dua sepatunya, bagian depan kepalanya, dan sorbannya (saat wudlu).”(HR. Muslim, AbuDaud)

Hadits tersebut di atas memberikan isyarat bahwa Rasulullah Saw. memakai sorban

عَنْ أَبِي الدَّرْدَاءِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم إِنَّ اللَّهَ وَمَلائِكَتَهُ يُصَلُّونَ عَلَى أَصْحَابِ الْعَمَائِمِ يَوْمَ الْجُمُعَةِ

Dari Abi Darda’ ia berkata,Rasulullah Saw bersabda:”Sesungguhnya Allah Swt dan para malaikat-Nya bershalawat kepada orang-orang yang memakai sorban pada hari Jum’at).”(HR.ath-Thabrani dan Abu Nu’aim)

 وقال صلىالله عليه وسلم: صَلَّتِ المَلاَئِكَةُ عَلَى المُتَعَمِّمينَ يَوْمَ الجُمُعَة

Rasulullah Saw bersabda:”Malaikat memintakan rahmat untuk orang-orang yang memakai sorban pada hari Jum’at.” (Syaikh Nawawial-Bantani, Tanqih al-qaul, bab keutamaan sorban)

 (وقال صلى الله عليه وسلم: تَعَمَّمُوا فَإنَّ الشَّياطِينَ لاَ تَتَعمَّمُ) 

RasulullahSaw bersabda:”Bersorbanlah kalian , karena sesungguhnya setan tidak bersorban.”(Syaikh Nawawi al-Bantani, Tanqih al-qaul, bab keutamaan sorban)

 وقال صلىالله عليه وسلم: العَمَائِمُ سِيمَا المَلائِكَةِفَأرْسِلُوهاخَلْفَ ظُهورِكُمْ

RasulullahSaw bersabda:”Sorban adalah kekhususan/ciri malaikat, maka juraikanlah (buntutnya)di belakang punggung kalian.” (HR. Ibnu ‘Adi danal-Baihaqi dalam kitab khulashah)

 قال النبيصلى الله عليه وسلم: العَمَائِمُ تِيجانُ العَرَبِ فَإذَا وَضَعُواالعَمَائِمَ وَضَعُوا عِزَّهُمْ

Rasulullah Saw bersabda :”Sorban adalah mahkotanya orang Arab. Jika mereka meletakkan sorban, maka berarti mereka telah meletakkan kemuliannya.”(HR ad-Dailami)

 عَنْ أَبِي الْمَلِيحِ بن أُسَامَةَ، عَنْ أَبِيهِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: أَعْتِمُوا تَزْدَادُوا حِلْمًا.

Dari Abi al-Malih bin Usamah dari ayahnya ia berkata, Rasulullah Saw bersabda :Bersorbanlah kalian, niscaya kalian akan bertambah sabar.”(HR.at-Thabrani)

و حكى ابن عبد البرعن علي كرم الله وجهه أنه قال : ( تمام جمالة المرأة في خفها، وتمام جمال الرجل فيعمته)

Diriwayatkan dari Ibnu ‘Abdil Bar dari Imam ‘Ali Kw, sesungguhnya beliau berkata:” Kesempurnaan kecantikan wanita adapada selopnya, dan kesempurnaan ketampanan laki-laki ada pada sorbannya.” (Ibnu Muflih al-Hambali,  al-Adabu Syar’iyyah, juz 3, hal 354)

Pernyataan para ‘Ulama tentang sorban

54. قَدْ رَوَى الْبَيْهَقِيُّ فِيشُعَبِ الْإِيمَانِ عَنْ أَبِي عَبْدِ السَّلَامِ قَالَ سَأَلْت ابْنَ عُمَرَ كَيْفَ{ كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَعْتَمُّ قَالَ كَانَ يُدِيرُالْعِمَامَةَ عَلَى رَأْسِهِ وَيَغْرِزُهَا مِنْ وَرَائِهِ وَيُرْسِلُ لَهَا مِنْ وَرَائِهِذُؤَابَةً بَيْنَ كَتِفَيْهِ }

“Telah meriwayatkan al-Baihaqi dalam kitab Syu’abul Iman dari Abi ‘Abdis Salam, ia bertanya kepada kepada Ibnu ‘Umar bagaimana sesungguhnya cara Rasulullah Saw memakai sorban. Ia berkata :”Sesungguhnya beliau Saw melilitkan sorbannya kekepalanya, menancapkan buntutnya ke bagian belakang, dan menjuraikan (buntutnya)ke belakang rambutnya diantara dua bahunya.”(Syaikh Sulaiman bin ‘Umar al-Jamal asy-Syafi’i, Hasyiyah Jamal, juz 6,hal 201)

وَيُسْتَحَبُّ لَهُ أَنْ يَعْتَمَّ من وجبت عليه الجمعة....... وَلِقَوْلِهِ {صَلَّىاللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ} : الْعَمَائِمُ تِيجَانُ الْعَرَبِ .

“Dan disunnahkan baginya agar bersorban pada hari Jum’at………berdasarkan pada hadits Rasulullah Saw :”Sorban itu adalah mahkotanya orang Arab.”( Al-Qadlial-Mawardi asy-Syafi’i, al-Hawi, juz 2, hal 1031)

الْمُخْتَارُ لِلنَّاسِ فِي هَذَا الْيَوْمِ مِنَ الزِّينَةِ ( يوم العيد ) ، وَحُسْنِالْهَيْئَةِ وَلُبْسِ الْعَمَائِمِ ، وَاسْتِعْمَالِ الطِّيبِ وَتَنْظِيفِ الْجَسَدِ، وَأَخْذِ الشَّعْرِ وَاسْتِحْسَانِ الثِّيَابِ.

“(Pendapat)yang terpilih bagi orang-orang pada saat hari ini (hari ‘Id) tentang berhiasadalah membaguskan rupa, memakai sorban, menatanya dengan baik, dan menjaga kebersihan badan. Juga menyisir rambut, merapihkan pakaian.” (Al-Qadlial-Mawardi asy-Syafi’i, al-Hawi, juz 2, hal 455)

(قوله: لخبر: إن الله وملائكته إلخ) أي ولخبر: صلاة بعمامة أفضل من خمس وعشرين بغيرعمامة، وجمعة بعمامة أفضل من سبعين بغير عمامة 

“(Dan perkataannya berdasarkan khabar: ’sesungguhnya Allah Swt dan para Malaikatnya…..’) dan berdasarkan khabar: 'shalat dengan memakai sorban lebih utama daripada solat dua puluh raka’at tanpa memakai sorban. Dan Shalat Jum’at dengan memakai sorban lebih utama daripada shalat jum’at tujuh puluh rakaat tanpa memakai sorban.”( Sayyid Syatha’ ad-Dimyati asy-Syafi’i,Hasyiyah i’anah ath-Thalibin, juz 2,hal95)

49.ثُمَّ الْعِمَامَةُ على صِفَتِهَا في السُّنَّةِ وَالرِّدَاءُ في الصَّلَاةِ مَطْلُوبٌشَرْعًا وهو أَنْ يَجْعَلَهُ على كَتِفَيْهِ

“Kemudian sorban atas sifatnya dalam sunnah dan rida’ dalam shalat,  yang dituntut secara syara’ dalam pemakaiannya adalah dengan menguraikan (buntutnya) di belakang pundaknya.”( Syaikh Ibnu Hajar al-Haitami, Fatawa fiqhiyah kubra,  juz1,  hal 169)

50.وعبارة التحفة: وتسن العمامة للصلاة، ولقصد التجمل، للاحاديث الكثيرة فيها، واشتدادضعف كثير منها يجبره كثرة طرقها، وزعم وضع كثير منها تساهل، كما هو عادة ابن الجوزيهنا، والحاكم في التصحيح - ألا ترى إلى حديث: اعتموا تزدادوا حلما.
حيث حكم ابن الجوزي بوضعه، والحاكم بصحته، استرواحامنهما على عادتهما ؟ وتحصل السنة بكونها على الرأس أو نحو قلنسوة تحتها.

“Menurut Ibarat kitab Tuhfah:”dan disunnahkan memakai sorban untuk shalat, dan berhias,berdasarkan hadits-hadits yang banyak tentang hal tersebut. Dan kesangatan dla’if yang banyak dari padanya, dapat dinaikkan derajatnya dikarenakan oleh banyak thuruq (riwayatnya) dari jalur lain . Dan prasangka dugaan tentang banyak kepalsuan dari hadits-hadits tersebut adalah sikap yang terlalu merendahkan, seperti kebiasaan Ibnul Jauzi dalam hal ini dengan terlalu menganggap palsu suatu hadits. Dan kebiasaan al-Hakim dalam pentashihannya (menshahihkan).Lihatlah kepada hadits (اعتمواتزدادوا حلما/bersorbanlah kalian, niscaya kalian akan bertambah sabar  ). .”( Sayyid Syatha’ ad-Dimyatiasy-Syafi’i, Hasyiyah i’anah ath-Thalibin, juz 2, hal 95)

51.وفي خبر أنه كان له ثلاث قلانس : قلنسوة بيضاء ، مضرية ، وقلنسوة بردة حبرة ، وقلنسوةذات آذان يلبسها في السفر ، وربما وضعها بين يديه إذا صلى ، ويؤخذ من ذلك أن لبس القلنسوةالبيضاء يغني عن العمامة ، وبه يتأيد ما اعتاده بعض مدن اليمن من ترك العمامة من أصلها

“Dan di dalam suatu hadits bahwa Rasulullah Saw mempunyai tiga peci: peci putih, Mudlarriyah, dan peci Burdah Habarah. Peci tersebut terkadang dipakai dalam safar, dan terkadang ditaruhnya diantara kedua tangannya tatkala beliau Saw shalat. Dan dapat difahami dari hal tersebut, bahwa memakai peci putih itu sudah terkaya dari pada sorban. Dan dengannya jadi kuatlah kebiasaan orang-orang di sebagian kota-kota di negeri Yaman dari pada meninggalkan sorban sama sekali.”( Sayyid ‘Abdurahman al-Masyhur asy-Syafi’i, Bughyahal-Mustarsyidin, hal 87)

والعمامة مستحبة في هذا اليوم وروى واثلة بن الأسقع أن رسول الله صلى الله عليه و سلمقال إن الله وملائكته يصلون على أصحاب العمائم يوم الجمعة فإن أكربه الحر فلا بأس بنزعهاقبل الصلاة وبعدها ولكن لا ينزع في وقت السعي من المنزل إلى الجمعة ولا في وقت الصلاةولا عند صعود الإمام المنبر وفي خطبته 

“Dan sorban itu disunnahkan memakainya pada hari ini(Jum’at). Dan telah meriwayatkan Watsilah bin al-Asqa’ bahwa sesungguhnya Rasulullah Saw bersabda: Sesungguhnya Allah Swt dan para Malaikatnya bershalawat kepada orang-orang yang memakai sorban di hari Jum’at. Maka jika cuaca panas merisaukannya, tidaklah mengapa sorban tersebut ditanggalkan sebelum shalat dan sesudahnya. Akan tetapi janganlah ditanggalkan di waktu berjalan dari rumah menuju shalat Jum’at,jangan pula di waktu shalat,dan jangan pula di waktu Khatib/Imam naik mimbar saat berkhutbah.”(al-Ghazali, Ihya’ ‘ulumid ad-din, juz 1, hal 181)

Petikan Hadis Tentang Bukti Rasulullah Mempunyai Syal (Rida’ – رِدَاءٌ)

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنْتُ أَمْشِي مَعَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَلَيْهِ رِدَاءٌ نَجْرَانِيٌّ غَلِيظُ الْحَاشِيَةِ فَأَدْرَكَهُ أَعْرَابِيٌّ فَجَبَذَهُ بِرِدَائِهِ جَبْذَةً شَدِيدَةً نَظَرْتُ إِلَى صَفْحَةِ عُنُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَدْ أَثَّرَتْ بِهَا حَاشِيَةُ الرِّدَاءِ مِنْ شِدَّةِ جَبْذَتِهِ ثُمَّ قَالَ يَا مُحَمَّدُ مُرْ لِي مِنْ مَالِ اللَّهِ الَّذِي عِنْدَكَ فَالْتَفَتَ إِلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَحِكَ ثُمَّ أَمَرَ لَهُ بِعَطَاءٍ . بِهَذَا الْحَدِيثِ وَفِي حَدِيثِ عِكْرِمَةَ بْنِ عَمَّارٍ مِنْ الزِّيَادَةِ قَالَ ثُمَّ جَبَذَهُ إِلَيْهِ جَبْذَةً رَجَعَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي نَحْرِ الْأَعْرَابِيِّوَفِي حَدِيثِ هَمَّامٍ فَجَاذَبَهُ حَتَّى انْشَقَّ الْبُرْدُ وَحَتَّى بَقِيَتْ حَاشِيَتُهُ فِي عُنُقِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

1. Hadis Anas bin Malik r.a katanya, ; Pada suatu ketika aku berjalan bersama-sama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam. Saat itu, beliau memakai selendang buatan Najran yang tebal pinggirnya. Tiba-tiba seorang Arab badui mendapatkan beliau, lalu ditariknya selendang Nabi tersebut sekuat-kuatnya, sehingga kulihat selendang tersebut membekas di leher Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam karena kuatnya tarikan. Kemudian orang tersebut berkata, “Wahai Muhammad, perintahkanlah kepada bendahara Tuan agar memberikan harta yang ada dalam pengawasan Tuan kepadaku.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menoleh kepada orang itu sambil tertawa. Kemudian diperintahkanlah oleh beliau agar orang itu diberi sedekah.

Dalam hadits Ikrimah bin Ammar terdapat tambahan; “Kemudian laki-laki itu menarik dengan sekali tarikan hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tertarik ke arahnya.” Dan dalam hadits Hammam; “Ia menarik selendang itu hingga sobek dan meninggalkan bekas pada leher Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.”

2. Diriwayatkan oleh Buraidah, ia mengatakan bahawa “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang seseorang solat dengan kain tanpa menyelepangkannya di atas bahu dan melarang solat dengan seluar tanpa mengenakan selendang (kain yang menutupi bahunya).” (Riwayat Muslim)
*maksud hadis ialah larangan solat tanpa berbaju. Jika tidak memakai baju, afdal kenakan selendang (rida) di badan.

وَعَنْ اَنَس اَنَّ النَّبِيّ صلى الله عليه وسلم قَالَ: اِذَا قَامَ اَحَدُكُمْ فِى صَلاَتِهِ فَلاَ يَبْزُقَنَّ قِبَلَ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ اَوْ تَحْتَ قَدَمِهِ ثُمَّ اَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيْهِ وَرَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَقَالَ اَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا

3. Daripada Anas bahawa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Apabila salah seorang di antara kamu berdiri dalam solatnya maka jangan sekali-kali ia meludah ke depannya tetapi hendaklah ke kirinya atau ke bawah telapak kakinya” lalu ia (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) mengambil hujung selendangnya dan meludah di situ dan melipat sebahagian (hujung selendang) itu atas sebahagian lalu baginda bersabda: “Atau dia berbuat begini”. (Hadis Riwayat Ahmad dan Bukhari)

ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ فَلَمْ يَزَلْ يَدْعُوْ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ اِبْطَيْهِ ثُمَّ حَوَّلَ اِلَى النَّاسِ ظَهْرَهُ وَقَلَّبَ رِدَاءَهُ وَهُوَ رَافِعٌ يَدَيْهِ

4. “Kemudian baginda mengangkat kedua dua belah tangannya berdoa dan berdoa sehingga ternampak putih ketiaknya Kemudian baginda memalingkan belakangnya kepada manusia serta memalingkan selendangnya di kala beliau mengangkat kedua dua tangannya ….” (Hadis Riwayat Abu Daud)

ثُمَّ تَحَوَّلَ اِلَى الْقِبْلَةِ وَحَوَّلَ رِدَاءَهُ فَقَلَّبَهُ ظَهْرَا لِبَطْنٍ وَتَحَوَّلَ النَّاسُ مَعَهُ

5. Kemudian baginda shallallahu ‘alaihi wasallam berpaling ke arah kiblat dan beliau memalingkan selendangnya yang luar ke dalam dan orang ramai pun memalingkan selendang mereka bersama Rasulullah (Hadis Riwayat Ahmad)

اَنَّ النَّبِيَّ ص اِسْتَسْقَى وَعَلَيْهِ خَمِيْصَةٌ لَهُ سَوْدَاءٌ فَاَرَادَ اَنْ يَأْخُذَ اَسْفَلَهَا فَيَجْعَلُهُ اَعْلاَهَا فَثَقُلَتْ عَلَيْهِ فَقَلَّبَهَا الأَيْمَنِ عَلَى الأَيْسَرِ وَالأَيْسَرِ عَلَى الأَيْمَنِ

6. “Bahawasanya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam meminta hujan. Baginda memakai kain hitam empat persegi (kain selendang) lalu beliau hendak mengambil bahagian sebelah bawah, hendak dijadikan bahagian atasnya tetapi beliau merasa berat lalu beliau membalikkan yang sebelah kanan ke atas sebelah kiri dan yang sebelah kiri ke atas sebelah kanan.” (Hadis Riwayat Ahmad dan Abu Daud)

Takhtimah

Pada prinsipnya, syariah Islam mewajibkan seorang muslim laki-laki untuk menutup aurat baik saat shalat atau di luar shalat yaitu antara pusar sampai lutut. 

Itu artinya, selagi aurat tertutup, maka sah shalatnya. Adapaun pakaian yang melebihi menutup aurat, maka itu terserah kepada masing-masing orang. Ia boleh memakainya atau tidak. Bagi seorang yang sedang shalat dianjurkan untuk berpakaian menurut kepantasan yang berlaku di suatu daerah tertentu. Kalau pantasnya memakai songkok, berbaju koko dan bersarung, maka dianjurkan untuk mengikuti tradisi tersebut. 

Dalam QS Al-A;raf 7:31 Allah berfirman

يا بني آدم خذوا زينتكم عند كل مسجد وكلوا واشربوا ولا تسرفوا , إنه لا يحب المسرفين 

Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki) mesjid, makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.

Ayat di atas menjadi dasar ulama untuk menyimpulkan bahwa saat shalat hendaknya memakai pakaian yang pantas. Salah satu kepantasan saat shalat adalah menutup kepala dengan memakai sorban atau serupa seperti songkok atau kopiah.

Dalam kitab Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyah dikatakan:

لا خلاف بين الفقهاء في استحباب ستر الرأس في الصلاة للرجل بعمامة وما في معناها، لأنه صلى الله عليه وسلم كان كذلك يصلي

Artinya: Tidak ada perbedaan (khilaf) ulama atas sunnah-nya menutup kepala saat shalat bagi laki-laki baik dengan sorban atau yang serupa dengan itu karena Nabi melakukan itu saat shalat. 

Jadi, menutup kepala itu sunnah dilakukan saat shalat baik penutupnya berupa sorban atau yang sama fungsinya seperti songkok putih, kopiah hitam, blangkon, dan lain-lain. Tentu saja seseorang hendaknya memakai penutup kepala yang dianggap paling pantas dibuat shalat menurut anggapan di masyarakat setempat. Artinya, tidak harus sorban. 

Adapun orang yang berpendapat sunnahnya sorban secara khusus mungkin berdasarkan pada atsar (perkataan Sahabat) Ibnu Umar di mana beliau konon mengatakan

صلاة بعمامة تعدل سبعين صلاة بلا عمامة. ، أو ما ورد عن أنس: بعشرة آلاف حسنة.

Artinya: Sekali shalat dengan memakai sorban itu sama dengan 70 kali shalat tanpa sorban. Atau berdasar riwayat dari Anas: sama dengan 10.000 kebaikan.

Atsar di atas menurut Ibnu Hajar statusnya maudhu' (palsu). Sinyalemen Ibnu Hajar ini diperkuat Al Manufi dalam kitab Al-Masnu' fi Makrifati Hadits Al-Maudhuk yang menyatakan bahwa hadits ini bukan hanya maudhuk tapi juga isinya batil 

( مَوْضُوعٌ . قَالَ الْمنوفِيُّ : فَذَلِكَ كُلُّهُ بَاطِلٌ).

“Para ulamak biasa menyebutkan pakaian-pakaian Rasulullah sehingga se’detail’nya. Para guru kami menyebutkan, pemakaian rida’ disunnahkan dan terdapat pelbagai cara memakainya. Malah para ulamak berbeza pendapat dalam memilih cara yang terbaik tanpa menafikan cara-cara yang lain. Kebanyakan guru kami mengajarkan supaya memakai rida’ dengan meletakkan kain di atas bahu kiri (atau kanan mengikut sebahagian guru lain). Ada juga yang meletakkan di atas bahu kiri kemudiannya ditarik di sebelah belakang dan keluar melalui bawah ketiak kanan dan diangkat ke belakang melalui bahu kanan. Ada juga yang menggantungkan sahaja di tengkuk dan membiarkan ke bawah dari kedua-dua bahu. Apapun yang kami dapati, semua cara tersebut boleh dilakukan, dan jika diniatkan kerana mencintai Nabi Sallallahu ‘Alaihi Wasallam dan amalan para ulamak, insyaAllah beroleh pahala. ”

Rasulullah memakai rida’

Memakai rida’ (semacam selendang) dan membalik posisi rida’ disunnahkan. Sebagai contoh dalil pemakaian rida’ / burdah shawl ini berlaku ketika Rasulullah saw menunaikan solat istisqa, iaitu dengan menaruh kain yang disebelah kiri ke sebelah kanan, dan kain yang ada di sebelah kanan ke sebelah kiri.
Hadis-hadis yang menyatakan dianjurkannya hal ini sangatlah banyak, diantaranya hadis Abu Hurairah, hadits Abdullah bin Zaid, hadis ‘Aisyah yang sudah disebutkan.

Pemakaian dan tindakan membalikan rida’ ini dapat dilakukan setelah berdoa, sebagaimana dalam hadits Abu Hurairah, atau ketika hendak berdoa, sebagaimana hadits Abdullah bin Zaid Radhiallahu’anahu :

خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى المصلى فاستسقى . وحول ردائه حين استقبل القبلة

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam keluar menuju lapangan untuk istisqa’. Beliau membalik rida’-nya ketika mulai menghadap kiblat” (HR. Muslim, no.894)

Berkata Imam Nawawi dalam kitab al-Adzkar hal 7:

قالالعلماء من المحدثين والفقهاء وغيرهم :
 يجوز ويستحب العمل في الفضائل والترغيب والترهيببالحديث الضعيف ما لم يكن موضوعا.
وأما الأحكام كالحلال والحرام والبيع والنكاح والطلاق وغير ذلك فلا يعملفيها إلا بالحديث الصحيح أو الحسن إلا أن يكون في احتياط في شئ من ذلك ، كما إذا وردحديث ضعيف بكراهة بعض البيوع أو الأنكحة ، فإن المستحب أن يتنزه عنه ولكن لا يجب.

”Berkata para ulama dari kalangan Muhadditsin, Fuqaha, dan sebagainya, ”Dibolehkan dan disunahkan beramal dalam hal fadlail, targhib dan tarhib dengan hadits dla’if,selama ia bukan hadits yang maudlu. Adapun dalam hal-hal yang berkaitan dengan hukum seperti halal-haram,jual-beli, nikah-talaq, dan sebagainya, maka tidak dibolehkan mengamalkan/menetapkan didalamnya kecuali dengan sahih atau hasan.Kecuali hadits yang menyangkut masalah kehati-hatian dama suatu hal darimasalah tersebut. Semisal apabila ada suatu hadits dla’if yang menyebutkan makruh melakukan sebagian transaksi jual beli atau makruh melakukan sebagian nikah, maka hal tersebutkan disunahkan untuk dihindari, tetapi tidak bersifatwajib.” 

Dalam kitab Fatawa ar-Ramli 4:383 : “Diriwayatkan oleh Imam Nawawi dalam beberapa karangannya tentang kesepakatan para ahli hadits atas kebolehan beramal dengan hadits dla’if dalam fadlilah amal dan yang semisalnya.”

Dalam kitab Mawahib al-Jalil lil al-Khitab 17:1 dan Syarh al-Kharsyi ‘ala Khalil : “ Saya katakan,”sesungguhnya jika hadits setiap urusan penting….dst adalah dla’if, maka sesungguhnya telah sepakat para ulama tentang kebolehan beramal dengan hadits dla’if dalam fadlailul a’mal.”

Berkata ‘Ali al-Qari’ dalam kitab al-Hazhzh al-Aufar seperti yang disebutkan olehal-Laknawi  dalam kitab al-Ajwibatal-Fadlilah hal 36 : 
“Hadits dla’if mu’tabar dalam fadlailul a’mal menurut pandangan semua ulama yang dari kalangan orang-orang yang memiliki kesempurnaan pengetahuan.” Dan berkata juga ‘Alial-Qari’ dalam kitab al-Maudlu’at seperti disebutkan juga dalam kitabal-Ajwibat al-Fadlilah karya al-Laknawi hal 36 : “ Hadits dla’if boleh diamalkan dalam fadlilah ‘amal dan telah terjadi kesepakatan atas hal tersebut (ijma’)….dst.”

Berkata IbnuHajar al-Haitami dalam kitab syarah arba’in an-Nawawiyah hal 32 :

قد اتفق العلماء على جواز العمل بالحديث الضعيففي فضائل الأعمال؛لأنه إن كان صحيحا في نفس الأمر، فقد أعطي حقه من العمل به 

“ Para ulama sepakat atas pengamalan hadits dla’if dalam fadlailul a’mal. Jika ternyata hadits tersebut pada dasarnya sahih, maka seharusnya ia diamalkan. Jika ternyata seandainya tidak sahih, maka pengamalan terhadap hadits itu tidak akan mengakibatkan kerusakan (mafsadah) menghalalkan yang haram, mengharamkan yang halal, dan menyia-nyiakan hak orang lain.”

Berkata juga Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitab fatawanya 2: 54  :

وقد تقرر أن الحديث الضعيفوالمرسل والمنقطع والمعضل والموقوف يعمل بها في فضائل الأعمال إجماعا

 “Telah ditetapkan/disepakati bahwa hadits dla’if yang Mursal, Munqothi’, Mu’dlal, dan mauquf boleh diamalkan dalam fadlailul a’mal.”

Dan dalam kitab Tathhir al-Janan hal 3, masih karangan Ibnu Hajar al-Haitami: “ Maka jika anda berkata bahwa hadits yang disebutkan ini sanadnya dla’if, bagaimanakah hukumnya kalau berhujah dengan hadits tersebut?.Saya (Ibnu Hajar) Katakan: Telah sepakat para imam kami dari kalangan Fuqaha, Ahli usul, dan para Hafizh bahwasannya hadits dla’if boleh dijadikan hujjah dalam hal manaqib sepertihalnya telah sepakat bahwa hadits dla’if boleh dijadikan hujjah dalam fadlailula’mal …”

Selain dari pada hal tersebut, banyak juga kelompok orang-orang yang salah faham terhadap mereka-mereka yang mengamalkan ibadah dengan pamrih mengharapkan pahala, seperti dalam masalah keutamaan memakai sorban dsb.

Mereka menganggap bahwa orang yang mengamalkan hadits fadlailul a’mal (keutamaan-keutamaan),berarti beribadah tanpa keikhlasan. Namun hal itu juga tidak tepat, karena dalam hal tertentu, beramal dengan pamrih mengharapkan pahala tidaklah menjadi masalah, sesuai dengan tingkatan-tingkatannya.

Penjelasan Tentang Busana Dan Pakaian

 

Salah satu perbedaan sistem Islam dengan sistem Kapitalis adalah bahwa sistem Kapitalis memandang persoalan sosial dan rumah tangga dianggap sebagai masalah ekonomi, sedangkan sistem Islam masalah-masalah di atas dibahas tersendiri dalam hukum-hukum seputar interaksi pria-wanita (nizhâm al-ijtima’iyyah). Misalnya dalam sistem kapitalisme tidak ada istilah zina jika laki-laki dan perempuan melakukan hubungan suami isteri tanpa ikatan pernikahan asal dilakukan suka-sama suka atau saling menguntungkan sebaliknya disebut pelecehan seksual dan pelakunya dapat diajukan ke pengadilan jika seorang suami memaksa dilayani oleh seorang isteri sementara isterinya menolak.

Karena itu dalam persoalan pakaian antara penganut sistem kapitalis dan sistem Islam jelas perbeda. Dalam sistem kapitalis pakaian dianggap sebagai salah satu ungkapan kepribadian, sebagai unsur penarik lawan jenis dan karena itu memiliki nilai ekonomis. Bentuk tubuh seseorang –apalagi wanita– sangat berpengaruh terhadap makna kebahagiaan dan masa depan.

Adapun Islam menganggap bahwa pakaian digunakan memiliki karakteristik yang sangat jauh dari tujuan ekonomis apalagi yang mengarah pada pelecehan penciptaan makhluk Allah.

عَنْ عَبْدِالْعَزِيْزِبن اَبِيْ رَوَّادِ عَنْ سَاِلِم بن عَبْدِاللهِ عَنْ اَبِيْهِ عَنِ النَّبِيْ صَلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم قَالَ: الْإِسْبَالُ فِيْ الْاِزَارِوَالْقَمِيْصِ وَالْعِمَا مَةِ مِنْ جَرَّمِنْهَا شَيأخيَلاَءِ لَمْ يَنْظُرُاللهِ اَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ (اخرجه ابوداود)

Artinya: Dari Abdul Aziz bin Abu Ruwad, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, dari Nabi SAW bersabda:” hendaknya dipanjangkaan sarung, baju, dan sorban, barang siapa memanjangkan sesuatu darinya karena sombong Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (H.R Abu Daud)‎

Pakaian yang dikenakan oleh seorang hamba memiliki nilai ibadah di sisi Allah Ta’ala. Dia dan Rasul-Nya telah menetapkan kaidah umum dalam berpakaian, yang intinya adalah menutup aurat seorang hamba. Melalui cara berpakaian, sesungguhnya Allah berkehendak memuliakan manusia sebagai makhluk yang mulia dan sebagai identitas keislaman seseorang.
Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 26:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ

“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya telah Kami turunkan kepada kalian pakaian untuk menutup aurat kalian dan perhiasan bagi kalian.Tetapi pakaian takwa, itulah yanglebih baik. Demikianlah sebagian tanda-tanda kekuasaan Allah. Mudah-mudahan mereka ingat.”
Fungsi utama pakaian adalah untuk menutupi aurat, yaitu bagian tubuh yang tidak boleh dilihat oleh orang lain kecuali yang dihalalkan dalam agama. Dandianjurkan untuk berpakaian terbaik yang dimilikinya dengan tidak berlebihan.
Imam Muslim meriwayatkan dalam kitab shahihnya:

عَنْ أَبِى سَعِيدٍ الْخُدْرِىِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ « لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ وَلاَ يُفْضِى الرَّجُلُ إِلَى الرَّجُلِ فِى ثَوْبٍ وَاحِدٍ وَلاَ تُفْضِى الْمَرْأَةُ إِلَى الْمَرْأَةِ فِى الثَّوْبِ الْوَاحِدِ »

Dari Abu Sa’id al-Khudri radhiallahu anhu bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Seorang laki-laki tidak boleh melihat aurat laki-laki lain, dan begitu juga seorangperempuan tidak boleh melihat aurat perempuan lain, dan tidak boleh seorang laki-laki bercampur dengan laki-laki lain dalam satu pakaian, dan begitu juga perempuan dengan perempuan lain bercampur dalam satu pakaian.” (HR. Muslim)
Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat al-A’raf ayat 31:

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِينَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلَا تُسْرِفُوا إِنَّهُ لَا يُحِبُّ الْمُسْرِفِينَ

“Wahai anak cucu Adam! Pakailah pakaian kalian yang indah pada setiap kalian ke masjid (Tempat ibadah) dan makanlah serta minumlah oleh kaliandan jangan pula kalian berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak suka akan orang-orang yang berlebih-lebihan.”

Dalam hal ini akan dibahas lebih lanjut tentang segala yang berhubungan dengan tema makalah ini yakni “Pakaian”. Adapun yang akan diuraikan adalah pengertian dari pakaian, syarat-syarat berpakaian menurut syari’at Islam, fungsi dari pakaian,warna pakaian yang disukai Rasulullah serta etika dalam berpakaian.‎

عَنْ اِبْنِ عَبَاسٍ قَالَ:قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَم:الْبَسُوْمِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ؛ فَاِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِياَبِكُمْ, وَكَفِّنُوْافِيْهَا مَوْتاَكُمْ (اخرجه أبوداودوالترمذي والطبراني)

Artinya: Dari Ibnu Abbas R.A., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “pakailah pakaian berwarna putih. Karena pakaian putih adalah pakaian yang paling baik. Dan kafanilah orang yang meninggal dengan kain putih.”(H.R Abu Daud dan Tirmidzi)

وَعَنْ اَبِيْ رِمْثَه رِفاَعَة التَّيْمِيْ ـ رَضِيَّ اللهُ عَنْهُ ـ, قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَم ـ وَعَلَيْهِ ثَوْبَانِ أخْضَرَانِ. (رواه أبو داودوالترمذي بإسنادصحيح)

Artinya: Dari Abu Rimtsah Rifaah at-taimiy R.A. Ia berkata: “saya pernah melihat Rasulullah SAW.memakai dua baju yang hijau”(H.R Abu Daud dan Tirmidzi)

وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَّ اللهُ عَنْهُ : أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم دَخَلَ عَامَ الْفَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَا مَةٌ سَوْدَاءُ (رواه داود)

Artinya: Dari Jabir R.A., ia berkata:”ketika Rasulullah SAW. memasuki kota makkah pada hari penaklukannya, beliau memakai sorban hitam”(H.R Abu Daud).‎

عَنْ عَبْدِالْعَزِيْزِبن اَبِيْ رَوَّادِ عَنْ سَاِلِم بن عَبْدِاللهِ عَنْ اَبِيْهِ عَنِ النَّبِيْ صَلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم قَالَ: الْإِسْبَالُ فِيْ الْاِزَارِوَالْقَمِيْصِ وَالْعِمَا مَةِ مِنْ جَرَّمِنْهَا شَيأخيَلاَءِ لَمْ يَنْظُرُاللهِ اَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ (اخرجه ابوداود)

Artinya: Dari Abdul Aziz bin Abu Ruwad, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, dari Nabi SAW bersabda:” hendaknya dipanjangkaan sarung, baju, dan sorban, barang siapa memanjangkan sesuatu darinya karena sombong Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (H.R Abu Daud)

وَعَنْ البَرَئِ رَضِيَّ االلهُ عَنْهُ قَالَ: كَانَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلًيْهِ وَسَلَمَ مَرْبُوْعًا وَلَقَدْ رَاَيْتُهُ فِيْ حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَاَيْتُ شَيْأً قَطُّ اَحْسَنَ مِنْهُ (اخرجه ابوداود)

Artinya: Dari Al Barra bin Azib R.A., ia berkata: “Tubuh Rasulullah SAW. berukuran sedang. Saya pernah melihat beliau mengenakan kain merah, dan belum pernah melihat orang yang lebih tampan dari beliau.”(H.R Abu Daud)

عَنْ اَبِيْ هُرَيْرَةَ : اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم قَالَ اِذَا اَنْتَعَلَ اَحَدْكُمْ فَلْيَبْدَأ بِا لْيَمِيْنِ وَإِذَانَزَعَ فَالْيَبْدَأْ بِالشِّمَالِ وَالْتَكُنُ الْيَمِنِى أَوْ لَهُماَ يُنْتَعَلُ وَآخِرَهُمَايُنْزَعُ(اخرجه ابوداودوالترمذي وقال أبو عيسى هذاحديث حسن صحيح)
Artinya: dari Abu Hurairah bahwasanya Rasulullah SAW bersabda” kalau kamu memakai sandal, pasang yang kanan terlebih dahulu tetapi kalau membukanya yang kiri buka dahulu, jadi yang kanan adalah pertama dipasang dan yeng kiri terakhir dibuka.”(HR Abu Daud dan Tirmidzi, dan Abu Isa berkata ini hadits hasan shahih).
KAIDAH UMUM PAKAIAN MUSLIM DAN MUSLIMAH
Standar berpakaian itu ialah takwa yaitu pemenuhan ketentuan-ketentuan agama. Berbusana muslim dan muslimah merupakan pengamalan akhlak terhadap diri sendiri, menghargai dan menghormati harkat dan martabat dirinya sendiri sebagai makhluk yang mulia. 

Berikut adalah kaidah umum tentang cara berpakaian yang sesuai dengan ajaran Islam yang mulia:
1- Pakaian harus menutup aurat, longgar tidak membentuk lekuk tubuh dan tebal tidak memperlihatkan apa yang ada dibaliknya.
Allah Ta’ala berfirman dalam al-Qur’an surat Al-A’raf ayat 26:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنْزَلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ

“Wahai anak cucu Adam! Sesungguhnya Kami telah menyediakan pakaian untuk menutup aurat.”
2- Pakaian laki-laki tidak boleh menyerupai pakaian perempuan atau sebaliknya.
Imam al-Bukhari meriwayatkan dalam kitab shahihnya:

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ: لَعَنَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنَ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنَ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhu, dia berkata, “Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat kaum pria yang menyerupai kaum wanita dan kaum wanita yang menyerupai kaum pria.”(HR. al-Bukhari)
3- Pakaian tidak merupakan pakaian syuhroh (untuk ketenaran).
Imam Ibnu Majah meriwayatkan dalam kitab sunannya:

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « مَنْ لَبِسَ ثَوْبَ شُهْرَةٍ فِي الدُّنْيَا أَلْبَسَهُ اللَّهُ ثَوْبَ مَذَلَّةٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ »

Dari Ibnu Umar radhiallahu anhu ia berkata bahwa Rasulallah shallallahu alaihi wasallam telah bersabda, "Barangsiapa mengenakan pakaian ketenaran di dunia niscaya Allah akan mengenakan padanya pakaian kehinaan di hari Kiamat." (HR. Ahmad, Abu Dawud, al-Nasa’I dan Ibnu Majah)
Ibn al-Atsir rahimahullah menerangkan, pakaian syuhroh (ketenaran) adalah pakaian yang menjadi terkenal di masyarakat karena warnanya berbeda dengan warna pakaian mereka, sehingga pandangan manusia tertuju kepadanya dan dia bergaya dengan kebanggan dan kesombongan.
Dalam tahqiq sunan Ibnu Majah, Muhammad Fu’ad Abdul Baaqi menjelaskan:

( ثوب شهرة ) أي ثوب يقصد به الاشتهار بين الناس. سواء كان الثوب نفيسا يلبسه تفاخرا بالدنيا وزينتها أو خسيسا يلبسه إظهارا للزهد والرياء. ( ثوب مذلة ) من إضافة السبب إلى المسبب. أو بيانية تشبيها للمذلة بالثوب في الاشتمال

(Pakaian ketenaran) yaitu pakaian yang dimaksudkan untuk tenar di mata manusia, baik pakaian itu adalah pakaian mahal yang dikenakannya karena kebanggaan terhadap dunia serta perhiasannya atau pakaian rendah yang mengenakannya untuk menampakan zuhud dan riya. (Pakaian kehinaan) yaitu penisbatan sebab dengan yang menjadikan sebab atau penjelasan akankehinaan dalam pakaian dengan mengenakannya.
As-Sarkhasi rohimahulloh mengatakan, “Maksud hadis, seseorang tidak boleh memakai pakaian yang sangat bagus dan indah, sampai mengundang perhatian banyak orang. Atau memakai pakaian yang sangat jelek –lusuh-, sampai mengundang perhatian banyak orang. Yang pertama, sebabnya karena berlebihan sementara yang kedua karena menunjukkan sikap terlalu pelit. Yang terbaik adalah pertengahan.” (al-Mabsuth, 30:268)
Asy-Syaukaaniy rahimahullah berkata :
قال ابن الأثير : الشهرة ظهور الشيء والمراد أن ثوبه يشتهر بين الناس لمخالفة لونه لألوان ثيابهم فيرفع الناس إليه أبصارهم ويختال عليهم بالعجب والتكبر
“Ibnul-Atsiir berkata : ‘Asy-Syuhrah adalah tampaknya sesuatu. Maksudnya bahwa pakaiannya populer di antara manusia karena warnanya yang berbeda sehingga orang-orang mengangkat pandangan mereka (kepadanya). Dan ia menjadi sombong terhadap mereka karena bangga dan takabur” [Nailul-Authaar, 2/111 – via Syamilah].
Beberapa ulama menjelaskan bahwa diantara syuhrah yang dilarang dalam hadits adalah menyelisihi pakaian penduduk negerinya tanpa ‎‘udzur.
حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا عَبَّادُ بْنُ الْعَوَّامِ، عَنِ الْحُصَيْنِ، قَالَ: كَانَ زُبَيْدٌ الْيَامِيُّ يَلْبَسُ بُرْنُسًا، قَالَ: فَسَمِعْتُ إِبْرَاهِيمَ عَابَهُ عَلَيْهِ، قَالَ: فَقُلْتُ لَهُ: إِنَّ النَّاسَ كَانُوا يَلْبَسُونَهَا، قَالَ: " أَجَلْ ! وَلَكِنْ قَدْ فَنِيَ مَنْ كَانَ يَلْبَسُهَا، فَإِنْ لَبِسَهَا أَحَدٌ الْيَوْمَ شَهَرُوهُ، وَأَشَارُوا إِلَيْهِ بِالأَصَابِعِ "
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami ‘Abbaad bin Al-‘Awwaam, dari Al-Hushain, ia berkata : Dulu Zubaid Al-Yaamiy pernah memakai burnus (sejenis tutup kepala). Lalu aku mendengar Ibraahiim mencelanya karena perbuatannya yang memakai burnus tersebut. Aku berkata kepada Ibraahiim : “Sesungguhnya orang-orang dulu pernah memakainya”. Ibraahiim berkata : “Ya. Akan tetapi orang-orang yang memakainya sudah tidak ada lagi. Apabila ada seseorang yang memakainya hari ini, maka ia berbuat syuhrah dengannya. Lalu orang-orang berisyarat dengan jari-jari mereka kepadanya (karena heran)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah no. 25655; sanadnya shahih].
Ibnu Baththaal rahimahullah berkata :
فالذى ينبغى للرجل أن يتزى فى كل زمان بزى أهله ما لم يكن إثمًا لأن مخالفة الناس فى زيهم ضرب من الشهرة
“Yang seharusnya dilakukan seseorang adalahia berpakaian di setiap masa dengan pakaian orang-orang yang hidup di masa tersebutsepanjang tidak terkandung dosa, karena penyelisihan terhadap pakaian yang dipakai oleh orang banyak termasuk syuhrah” [Syarh Shahih Al-Bukhaariy, 17/144 – via Syamilah].
Al-Mardawiy rahimahullah berkata :‎

يكره لبس ما فيه شهرة, أَو خلاف زي بلده من الناس, على الصحيح من المذهب
“Dimakruhkan memakai sesuatu yang menimbulkan syuhrah/popularitas atau menyelisihi pakaian penduduk negeri setempat berdasarkan pendapat yang shahih dari madzhab (Hanaabilah)” [Al-Inshaaf, 2/263].
As-Safaariiniy rahimahullah berkata :
ونص الإمام أحمد رضي الله عنه على أنه لا يحرم ثوب الشهرة ، فإنه رأى رجلا لابسا بردا مخططا بياضا وسوادا ، فقال : ضع هذا ، والبس لباس أهل بلدك ، وقال : ليس هو بحرام ، ولو كنت بمكة ، أو المدينة لم أعب عليك . قال الناظم رحمه الله : لأنه لباسهم هناك
“Dan Al-Imaam Ahmad radliyallaahu ‘anhu bahwa beliau tidak mengharamkan pakaian ‎syuhrah. ‎Beliau pernah melihat seorang laki-laki yang memakai kain dengan motif garis-garis putih dan hitam, lalu berkata : “Lepaskanlah kain ini dan pakaialah pakaian penduduk negerimu”. Beliau kembali berkata : “Memakainya tidaklah haram. Seandainya engkau berada di Makkah atau di Madiinah, maka tidak mengapa engkau memakainya”.An-Naadhim (Abu ‘Abdillah Muhammad bin ‘Abdil-Qawiy Al-Mardawiy Al-Hanbaliy) ‎rahimahullah berkata : “Karena ia merupakan pakaian mereka di sana” [Ghidzaaul-Albaab, 2/126].‎
أنه يكره له لبس غير زي بلده بلا عذر كما هو منصوص الإمام 
“Dibenci baginya memakai pakaian yang bukan model pakaian (penduduk) negerinya tanpa‘udzur, sebagaimana dikatakan oleh Al-Imaam (Ahmad)” [idem, 2/182].

4- Tidak menyerupai pakaian khas orang-orang non muslim.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ قَالَ: رَأَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَعَلَىَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ فَقَالَ « إِنَّ هَذِهِ مِنْ ثِيَابِ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَا »

Dari Abdullah bin Amr berkata: Rasulallah shallallahu alaihi wasallam meihatku mengenakan dua kain berwarna merah (karena dicelup dengan tanaman usfur) lalu beliau shallallahu alaihi wasallam bersabda,’Sesungguhnya itu adalah pakaian orang-orang kafir maka janganlah engkau kenakan.” (HR. Muslim)
5- Jangan memakai pakaian bergambar makhluk yang bernyawa.
Imam Muslim meriwayatkan:

عَنْ أَبِى طَلْحَةَ عَنِ النَّبِىِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ « لاَ تَدْخُلُ الْمَلاَئِكَةُ بَيْتًا فِيهِ كَلْبٌ وَلاَ صُورَةٌ ».

Dari Abu Thalhah, dari Nabishallallahu alaihi wasallam bahwa beliau bersabda, “Malaikat tidak akan masuk ke dalam rumah yang terdapat anjing dan gambar.” (HR. Muslim)
Aisyah radhiallahu anha berkata, “Rasulallah shallallahu alaihi wasallam datang dari bepergian, sedangkan aku telah menutupi sebuah rak-ku dengan tirai yang ada gambar-gambarnya. Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah melihatnya, beliau menariknya dan bersabda. "Manusia yang paling berat siksanya pada hari kiamat adalah orang-orang yang menandingi dengan ciptaan Allah". Aisyah mengatakan: "Lalu kami jadikan tirai itu sebuah bantal atau dua buah bantal". (HR. Bukhari)
Kaidah dan syarat-syarat pakaian muslim di atas juga berlaku bagi pakaian muslimah. Hanya saja, ada syarat khususyang harus dipenuhi khusus bagi muslimah, diantaranya adalah:

Menutup seluruh tubuh wanita termasuk wajah dan kedua telapak tangan menurut pendapat yang tepat akan wajibnya cadar‎
Berbahan lebar dan tidak sempit karena bahan yang sempit dapat membentuk tubuh wanita dan ini bertentangan dengan tujuan dari hijab dan tujuan ini tidaklah bisa direalisasikan kecuali dengan baju yang berbahan lebar.‎
Berbahan tebal dan tidak tipis yang dapat menjadikan apa yang ada dibalik pakaian itu terlihat (transparan)
Tidak terdapat berbagai hiasan di pakaian tersebut. Dilarang bagi seorang wanita untuk mengenakan pakaian bermotif atau terdapat hiasan-hiasan yang berlebihan  karena termasuk tabaruj.
Adapun seorang wanita yang mengenakan celana panjang longgar dan tidak transparan, maka apabila dia juga mengenakan pakaian panjang yang juga longgar dan tidak transparan hingga menutupi bagian tubuhnya dari atas hingga bawah atau lututnya sehingga tetap menutupi aurat seluruh tubuhnya kecuali kedua telapak tangan dan wajahnya maka tidaklah dilarang.‎

HUKUM ISBAL

Isbal secara bahasa adalah masdar dari “asbala” yang bermakna menurunkan, melabuhkan atau memanjangkan. Sedangkan menurut istilah, sebagaimana diungkapkan oleh Imam Ibnu al-Aroby rahimahullah dan selainnya adalah, “memanjangkan, melabuhkan dan menjulurkan pakaian hingga menutupi mata kaki dan menyentuh tanah, baik karena sombong ataupun tidak.”
Dalam Islam, isbal dilarang baik karena sombong maupun tidak. Larangan isbal bagi laki-laki telah dijelaskan dalam hadits-hadits Rasulallah shollAllahu alaihi wa sallam yang sangat banyak. Larangan untuk melakukan Isbal adalah larangan yang bersifat umum,apakah karena sombong atau tidak. Itu sama saja dengan keumuman nash. Tapi, bila dilakukan karena sombong maka hal itu lebih keras lagi kadar keharamannya dan lebih besar dosanya.
DALIL-DALIL LARANGAN ISBAL
Berikut dalil-dalil yang menjelaskan larangan isbal. Semoga menjadi hidayah bagi orang-orang yang mencari kebenaran.

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: مَا أَسْفَلَ مِنْ الْكَعْبَيْنِ مِنْ الْإِزَارِ فَفِي النَّار

Dari Abu Huroiroh radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesuatu yang berada di bawah mata kaki dari pakaian (sarung) adalah di dalam Neraka”(HR. al-Bukhori)
Hadits ini menunjukkan larangan isbal. Maka tidak diperkenankan celana, sarung pakaian atau sejenisnya terlalu panjang hingga menutup mata kaki. Nash ini menunjukan larangan secara umu, baik pelakunya sombong ataupun tidak. 

Adapun jika pelakunya melakukan isbal karena sombong maka larangannya lebih berat lagi dan termasuk dosa besar.

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : لاَيَنْظُرُ اللَّهُ إِلَى مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ.

Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma bahwasanya Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,“Allah tidak akan melihat (pada hari kiamat) orang yang melabuhkan pakaiannya karena sombong.” (HR. Bukhari dan Muslim)

عَنْ أَبِى ذَرٍّ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَ « ثَلاَثَةٌ لاَ يُكَلِّمُهُمُ اللَّهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ وَلاَ يَنْظُرُ إِلَيْهِمْ وَلاَ يُزَكِّيهِمْ وَلَهُمْ عَذَابٌ أَلِيمٌ » قَالَ فَقَرَأَهَا رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- ثَلاَثَ مِرَارٍ. قَالَ أَبُو ذَرٍّ خَابُوا وَخَسِرُوا مَنْ هُمْ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ « الْمُسْبِلُ وَالْمَنَّانُ وَالْمُنَفِّقُ سِلْعَتَهُ بِالْحَلِفِ الْكَاذِبِ ».

Dari Abu Dzar bahwasanya Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,“Ada tiga golongan yang tidak akan diajak bicara oleh Allah pada hari kiamat dan bagi mereka adzab yang pedih. Rasulullah menyebutkan tiga golongan tersebut berulang-ulang sebanyak tiga kali, Abu Dzar berkata, “Merugilah mereka! Siapakah mereka wahai Rasulallah?” Rasulallah menjawab: “Orang yang suka memanjangkan pakaiannya, yang suka mengungkit-ungkit pemberian dan orang yang melariskan dagangannya dengan sumpah palsu.” (HR. Muslim, Abu Dawud, an-Nasa'i, dan ad-Darimi 2608)

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم قَالَ : مَنْ جَرَّ ثَوْبَهُ خُيَلاَءَ لَمْ يَنْظُرِ اللَّهُ إِلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ قَالَ أَبُو بَكْرٍ يَا رَسُولَ اللهِ إِنَّ أَحَدَ شِقَّيْ إِزَارِي يَسْتَرْخِي إِلاَّ أَنْ أَتَعَاهَدَ ذَلِكَ مِنْهُ فَقَالَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم لَسْتَ مِمَّنْ يَصْنَعُهُ خُيَلاَء.

Dari Abdulloh bin Umar radhallahu anhuma, dari Rasulallah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Barangsiapa yang menjulurkan pakaiannya dengan sombong maka Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat nanti.” Abu Bakar berkata: Wahai Rasulallah, sesungguhnya aku salah seorang yang celaka, kainku turun, sehingga aku selalu memeganginya.” Maka Nabi shallallahu alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya kamu bukan termasuk orang yang melakukannya karena kesombongan.” (HR. al-Bukhori)
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa isbal itu haram secara mutlak, baik karena sombong maupun tidak sombong.

Syaikh Bakr Abu Zaid rohimahulloh berkata, "Dan Hadist-hadist tentang pelarangan isbal mencapai derajat Mutawatir Makna, tercatum dalam kitab-kitab shohih, Sunan-sunan ataupun Musnad-musnad, diriwayatkan banyak sekali oleh sekelompok sahabat.” Beliau lantas menyebutkan nama-nama sahabat tersebut hingga 21 (dua puluh satu) orang. Lanjutya, "Seluruh hadist tersebut menunjukkan larangan yang sangat tegas, larangan pengharaman, karena didalamnya terdapat ancaman yang sangat keras. Dan telah diketahui bersama bahwa sesuatu yang terdapat ancaman atau kemurkaan maka diharamkan, termasuk dosa besar, tidak bisa dihapus dan diangkat hukumnya termasuk hukum-hukum syar’I yang kekal pengharamanya". (Hadd Tsaub Wal Uzroh Wa Tahrim Isbal Wa Libas Syuhroh Hlm.19).
Sedangkan pendapat para ulama yang tidak mengharamkan isbal asalkan bukan karena riya, di antaranya adalah pendapat Al-Hafidz Ibnu Hajar Al-Asqalani, seorang yang dengan sukses menulis syarah (penjelasan) kitab Shahih Bukhari. Kitab beliau ini boleh dibilang kitab syarah yang paling masyhur dari Shahih Bukhari. Beliau adalah ulama besar dan umat Islam berhutang budi tak terbayarkan kepada ilmu dan integritasnya.

Khusus dalam masalah hukum isbal ini, beliau punya pendapat yang tidak sama dengan Syeikh Bin Baz yang hidup di abad 20 ini. Beliau memandang bahwa haramnya isbal tidak bersifat mutlak. Isbal hanya haram bila memang dimotivasi oleh sikap riya’. Isbal halal hukumnya bila tanpa diiringi sikap itu.

Ketika beliau menerangkan hukum atas sebuah hadits tentang haramnya isbal, beliau secara tegas memilah maslah isbal ini menjadi dua. Pertama, isbal yang haram, yaitu yang diiringi sikap riya’. Kedua, isbal yang halal, yaitu isbal yang tidak diiringi sikap riya’. Berikut petikan fatwa Ibnu Hajar dalam Fathul Bari.

وفي هذه الأحاديث أن إسبال الإزار للخيلاء كبيرة, وأما الإسبال لغير الخيلاء فظاهر الأحاديث تحريمه أيضا, لكن استدل بالتقييد في هذه الأحاديث بالخيلاء على أن الإطلاق في الزجر الوارد في ذم الإسبال محمول على المقيد هنا, فلا يحرم الجر والإسبال إذا سلم من الخيلاء

Di dalam hadits ini terdapat keterangan bahwa isbal izar karena sombong termasuk dosa besar. Sedangkan isbal bukan karena sombong (riya’), meski lahiriyah hadits mengharamkannya juga, namunhadits-hadits ini menunjukkan adalah taqyid (syarat ketentuan) karena sombong. Sehingga penetapan dosa yang terkait dengan isbal tergantung kepada masalah ini. Maka tidak diharamkan memanjangkan kain atau isbalasalkan selamatdari sikap sombong. (Lihat Fathul Bari, hadits 5345)

Al-Imam An-Nawawi

Al-Imam An-Nawawi rahimahullah adalah ulama besar di masa lalu yang menulis banyak kitab, di antaranya Syarah Shahih Muslim. Kitab ini adalah kitab yang menjelaskan kitab Shahih Muslim. Beliau juga adalah penulis kitab hadits lainnya, yaitu ‎Riyadhus-Shalihin yang sangat terkenal ke mana-mana. Termasuk juga menulis kitab hadits sangat populer, Al-Arba’in An-Nawawiyah. Juga menulis kitab I’anatut-Thalibin dan lainnya.

Di dalam Syarah Shahih Muslim, beliau menuliskan pendapat:

وأما الأحاديث المطلقة بأن ما تحت الكعبين في النار فالمراد بها ما كان للخيلاء, لأنه مطلق, فوجب حمله على المقيد. والله أعلم

Adapun hadits-hadits yang mutlak bahwa semua pakaian yang melewati mata kaki di neraka, maksudnya adalah bila dilakukan oleh orang yang sombong. Karena dia mutlak, maka wajib dibawa kepada muqayyad, wallahu a’lam.

والخيلاء الكبر. وهذا التقييد بالجر خيلاء يخصص عموم المسبل إزاره ويدل على أن المراد بالوعيد من جره خيلاء. وقد رخص النبي صلى الله عليه وسلم في ذلك لأبي بكر الصديق رضي الله عنه, وقال, " لست منهم " إذ كان جره لغير الخيلاء

Dan Khuyala’ adalah kibir (sombong). Dan pembatasan adanya sifat sombong mengkhususkan keumuman musbil (orang yang melakukan isbal) pada kainnya, bahwasanya yang dimaksud dengan ancaman dosa hanya berlaku kepada orang yang memanjangkannya karena sombong. Dan Nabi SAW telah memberikan rukhshah (keringanan) kepada Abu Bakar Ash-Shiddiq ra seraya bersabda, "Kamu bukan bagian dari mereka." Hal itu karena panjangnya kain Abu Bakar bukan karena sombong.

Maka klaim bahwa isbal itu haram secara mutlak dan sudah disepakati oleh semua ulama adalah klaim yang kurang tepat. Sebab siapa yang tidak kenal dengan Al-Hafidz Ibnu Hajar dan Al-Imam An-Nawawi rahimahumallah. Keduanya adalah begawan ulama sepanjang zaman. Dan keduanya mengatakan bahwa isbal itu hanya diharamkan bila diiringi rasa sombong.

Maka haramnya isbal secara mutlak adalah masalah khilafiyah, bukan masalah yang qath’i atau kesepakatan semua ulama. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Dan itulah realitasnya.

Pendapat mana pun dari ulama itu, tetap wajib kita hormati. Sebab menghormati pendapat ulama, meski tidak sesuai dengan selera kita, adalah bagian dari akhlaq dan adab seorang muslim yang mengaku bahwa Muhammad SAW adalah nabinya. Dan Muhammad itu tidak diutus kecuali untuk menyempurnakan akhlaq.

Pendapat mana pun dari ulama itu, boleh kita ikuti dan boleh pula kita tinggalkan. Sebab semua itu adalah ijtihad. Tidak ada satu pun orang yang dijamin mutlak kebenaran pendapatnya, kecuali alma’shum Rasulullah SAW. Selama seseorang bukan nabi, maka pendapatnya bisa diterima dan bisa tidak.

Bila satu ijtihad berbeda dengan ijtihad yang lain, bukan berarti kita harus panas dan naik darah. Sebaliknya, kita harus mawas diri, luas wawasan dan semakin merasa diri bodoh. Kita tidak perlu menjadi sok pintar dan merasa diri paling benar dan semua orang harus salah. Sikap demikian bukan ciri thalabatul ilmi yang sukses, sebaliknya sikap para juhala’ (orang bodoh) yang ilmunya terbatas.

Semoga Allah SWT selalu menambah dan meluaskan ilmu kita serta menjadikan kita orang yang bertafaqquh fid-din, Amin Ya Rabbal ‘alamin.

PENGAMALAN NABI DAN SAHABATNYA
Rasulallah shallallahu alaihi wasallam dan sahabatnya adalah tauladan dalam memahami dan mengamalkan Islam. Berikut adalah beberapa riwayat tentang pakaian mereka yang tidak isbal dan ini juga termasuk dalil akan wajibnya untuk tidak isbal.
Dari Utsman bin ‘Affaan rodhiAllahu anhu berkata, “Kain Nabi shallallahu alaihi wasalla sampai ke tengah betisnya.” (HR. Muslim)

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: « إِزْرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى عَضَلَةِ سَاقَيْهِ، ثُمَّ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ، ثُمَّ إِلَى كَعْبَيْهِ، فَمَا كَانَ أَسْفَلَ مِنْ ذَلِكَ فِي النَّارِ »

Dari Abu Hurairah, dia berkata: Rasulallah shallallahu alaihi wasallam bersabda, “Kain seorang mukmin adalah sampai otot kedua betisnya, kemudian sampai pertengahan betisnya dan kemudian sampai kedua mata kakinya. Dan kain yang menjulur melebihi (mata kaki) adalah di Neraka.” (HR. Ahmad)

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ:«إِزْرَةُ الْمُؤْمِنِ إِلَى أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ، لَا جُنَاحَ -أَوْ لَا حَرَجَ- عَلَيْهِ فِيمَا بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَعْبَيْنِ »

Dari Abu Sa’id berkata: Saya telah mendengar Rasulallah shallallahu alaihi wasalla bersabda, “Kainnya seorang mu’min adalah sampai kedua betisnya, tidak mengapa antara betis dengan dua mata kaki.” (HR. Ahmad dengan sanad shahih)

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: مَرَرْتُ عَلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَفِى إِزَارِى اسْتِرْخَاءٌ فَقَالَ « يَا عَبْدَ اللَّهِ ارْفَعْ إِزَارَكَ ». فَرَفَعْتُهُ ثُمَّ قَالَ « زِدْ ». فَزِدْتُ فَمَا زِلْتُ أَتَحَرَّاهَا بَعْدُ. فَقَالَ بَعْضُ الْقَوْمِ إِلَى أَيْنَ فَقَالَ أَنْصَافِ السَّاقَيْنِ.

Dari Ibn Umar radhiallahu anhu berkata: Saya lewat di hadapan Rasulullah sedangkan sarungku terurai, kemudian Rasulullah Shallallahu alaihi wa sallam menegurku seraya berkata, “Wahai Abdullah, tinggikan sarungmu!” Aku pun meninggikannya. Beliau bersabda lagi, “Tinggikan lagi!” Aku pun meninggikannya lagi, maka semenjak itu aku senantiasa menjaga sarungku pada batas itu. Ada beberapa orang bertanya, “Seberapa tingginya?” “Sampai setengah betis.” (HR. Muslim dan Ahmad)

عَنْ اِبْنِ عَبَاسٍ قَالَ:قَالَ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَم:الْبَسُوْمِنْ ثِيَابِكُمْ الْبَيَاضَ؛ فَاِنَّهَا مِنْ خَيْرِ ثِياَبِكُمْ, وَكَفِّنُوْافِيْهَا مَوْتاَكُمْ (اخرجه أبوداودوالترمذي والطبراني)

Artinya: Dari Ibnu Abbas R.A., ia berkata: Rasulullah saw. bersabda: “pakailah pakaian berwarna putih. Karena pakaian putih adalah pakaian yang paling baik. Dan kafanilah orang yang meninggal dengan kain putih.”(H.R Abu Daud dan Tirmidzi)

وَعَنْ اَبِيْ رِمْثَه رِفاَعَة التَّيْمِيْ ـ رَضِيَّ اللهُ عَنْهُ ـ, قَالَ : رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّ اللهِ عَلَيْهِ وَسَلَم ـ وَعَلَيْهِ ثَوْبَانِ أخْضَرَانِ. (رواه أبو داودوالترمذي بإسنادصحيح)

Artinya: Dari Abu Rimtsah Rifaah at-taimiy R.A. Ia berkata: “saya pernah melihat Rasulullah SAW.memakai dua baju yang hijau”(H.R Abu Daud dan Tirmidzi)

وَعَنْ جَابِرٍ رَضِيَّ اللهُ عَنْهُ : أنَّ رَسُولَ اللهِ صَلَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم دَخَلَ عَامَ الْفَتْحِ مَكَّةَ وَعَلَيْهِ عِمَا مَةٌ سَوْدَاءُ (رواه داود)

Artinya: Dari Jabir R.A., ia berkata:”ketika Rasulullah SAW. memasuki kota makkah pada hari penaklukannya, beliau memakai sorban hitam”(H.R Abu Daud).

عَنْ عَبْدِالْعَزِيْزِبن اَبِيْ رَوَّادِ عَنْ سَاِلِم بن عَبْدِاللهِ عَنْ اَبِيْهِ عَنِ النَّبِيْ صَلَ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَم قَالَ: الْإِسْبَالُ فِيْ الْاِزَارِوَالْقَمِيْصِ وَالْعِمَا مَةِ مِنْ جَرَّمِنْهَا شَيأخيَلاَءِ لَمْ يَنْظُرُاللهِ اَلَيْهِ يَوْمَ الْقِيَا مَةِ (اخرجه ابوداود)

Artinya: Dari Abdul Aziz bin Abu Ruwad, dari Salim bin Abdullah, dari ayahnya, dari Nabi SAW bersabda:” hendaknya dipanjangkaan sarung, baju, dan sorban, barang siapa memanjangkan sesuatu darinya karena sombong Allah tidak akan melihatnya pada hari kiamat.” (H.R Abu Daud)
HUKUM WARNA-WARNA PAKAIAN
Hukum asal akan warna pakaian itu boleh-boleh saja selama tidak ada dalil yang mengharamkannya baik secara umum maunpun secara khusus. Namun, memang ada warna yang dilarang, di antaranya merah polos.
Dan dibolehkan bagi seorang muslim laki-laki menggunakan pakaian berwarna merah asalkan tidak polos (tidak seluruhnya berwarna merah). Namun jika pakaian tersebut seluruhnya merah, maka inilah yang terlarang. Inilah pendapat yang lebih hati-hati dan lebih selamat dari khilaf (perselisihan) ulama.
Berkaitan dengan larangan pakaian merah polos dan boleh jika tidak polos, maka berikut dalil yang menerangkan tentangnya.

عَنِ ابْنِ عَازِبٍ قَالَ: نَهَانَا النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنِ الْمَيَاثِرِ الْحُمْرِ وَالْقَسِّيِّ.

Dari Al Baro’ bin ‘Azib radhiallahu anhu, ia berkata, “Nabi shallallahu alaihi wa sallam melarang kami mengenakan ranjang (yang lembut) yang berwarna merah dan qasiy (pakaian yang bercorak sutera).”(HR. Bukhori)
Dari Ibnu Abbas radhiallahu anhuma, ia berkata:
نُهِيتُ عَنْ الثَّوْبِ الْأَحْمَرِ وَخَاتَمِ الذَّهَبِ وَأَنْ أَقْرَأَ وَأَنَا رَاكِعٌ

“Aku dilarang untuk memakai kain yang berwarna merah, memakai cincin emas dan membaca Al-Qur'an saat rukuk.” (HR. An-Nasai)
Al-Barro ibn‘Azib radhiallahu anhu ia berkata:
كَانَ النَّبِىُّ - صلى الله عليه وسلم - مَرْبُوعًا ، وَقَدْ رَأَيْتُهُ فِى حُلَّةٍ حَمْرَاءَ مَا رَأَيْتُ شَيْئًا أَحْسَنَ مِنْهُ

“Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam adalah seorang laki-laki yang berperawakan sedang (tidak tinggi dan tidak pendek), saya melihat beliau mengenakan pakaian (hullah) merah, dan saya tidak pernah melihat orang yang lebih bagus dari beliau” (HR. al-Bukhari)
Imam Ibn al-Qoyyim Al-Jauziyah rahimahullah berkata, “Yang dimaksud “hullah” berwarna merah adalah burdah (pakaian bergaris) dari Yaman dan burdah di sini bukanlah pakaian yang dicelup sehingga berwarna merah polos (merah keseluruhan).” (Fathul Bari, 16/415.)

عَنْ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَخْبَرَهُ قَالَ رَأَى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَلَىَّ ثَوْبَيْنِ مُعَصْفَرَيْنِ فَقَالَ « إِنَّ هَذِهِ مِنْ ثِيَابِ الْكُفَّارِ فَلاَ تَلْبَسْهَا ».

Dari Abdullah ibn Amu bin al-Ash, dia berkata; Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam pernah melihat aku memakai dua potong pakaian yang dicelup ‘ushfur, lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya ini adalah pakaian orang-orang kafir, maka janganlah kamu memakainya.” (HR. Muslim)

عَنْ عَلِىِّ بْنِ أَبِى طَالِبٍ قَالَ نَهَانِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنِ التَّخَتُّمِ بِالذَّهَبِ وَعَنْ لِبَاسِ الْقَسِّىِّ وَعَنِ الْقِرَاءَةِ فِى الرُّكُوعِ وَالسُّجُودِ وَعَنْ لِبَاسِ الْمُعَصْفَرِ.

Ali ibn Abi Thalib berkata, "Rasulallah shallallahu alaihi wa sallam telah melarang berpakaian yang dibordir (disulam) dengan sutera, memakai pakaian yang dicelup ‘ushfur, memakai cincin emas, dan membaca Al Qur'an saat ruku’." (HR. Muslim)
Ushfur adalah sejenis tumbuhan dan dominan menghasilkan warna merah.  Adapun hukum memakai pakaian warna merah, terlarang jika pakaiannya adalah merah polos. Sedangkan pakaian merah bercorak atau bergaris, maka tidaklah masalah mengenakannya. Sedangkan pakaian warna kuning tidaklah masalah.
Dibolehkan bagi wanita muslimah memakai pakaian berwarna terang yang tidak mencolok selama tidak menimbulkan fitnah. Namun sepantasnya meninggalkan pakaian berwarna terang yang menarik perhatian atau berwarna-warni yang menarik hati laki-laki. Karena tujuan perintah berjilbab adalah untuk menutupi perhiasan. Adapun jilbab atau pakaian yang dihiasi dengan renda, bros, aksesoris, warna-warni yang menarik pandangan orang, maka ini tidak dibolehkan dalam Islam.
Allah Ta’ala berfirman:
وَلَا يُبْدِينَ زِينَتَهُنَّ إِلَّا مَا ظَهَرَ مِنْهَا
“Dan janganlah para wanita Mukminat itu menampakkan perhiasan mereka kecuali yang biasa terlihat darinya.” (Qs an-Nur: 31)
Ummu Salamah radhiallahu anha berkata, “Ketika turun firman Allah “Hendaklah mereka (wanita-wanita beriman) mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka” (Qs al-Ahzab:59)  wanita-wanita Anshar keluar seolah-olah pada kepala mereka terdapat burung-burung gagak karena (warna hitam-red) kain-kain (mereka).” (HR. Abu Dawud)
Ummu Salamah menyamakan kain khimar yang ada di atas kepala-kepala para wanita yang dijadikan jilbab dengan burung-burung gagak dari sisi warna hitamnya.
Oleh karena itulah jika keluar rumah, hendaklah wanita memakai pakaian yang berwarna gelap, tidak menyala dan berwarna-warni agar tidak menarik pandangan orang. Namun tidak harus memakai pakaian berwarna hitam, terutama jika berada di daerah yang masyarakatnya memandang warna hitam itu menyeramkan.

Takhtimah
Perlu diketahui suatu kaedah yang biasa disampaikan oleh para ulama, “Hukum asal pakaian adalah mubah (artinya: dibolehkan)”. Dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,
هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الأرْضِ جَمِيعًا ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ فَسَوَّاهُنَّ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ وَهُوَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu.” (QS. Al Baqarah: 29)
Oleh karena itu, barangsiapa yang mengklaim bahwa pakaian warna tertentu itu haram atau terlarang dikenakan, tentu saja ia harus membawakan dalil. Jika tidak ada dalil, maka asalnya dibolehkan.
Para ulama berselisih pendapat mengenai hukum warna pakaian laki-laki dalam tiga masalah berikut.
1- Warna merah polos yang tidak bercampur dengan warna lainnya. Sedangkan jika warna merah pada pakaian tersebut bercampur dengan warna lainnya, maka ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama.
2- Warna yang dicelup dengan ‘ushfur (sejenis tumbuhan dan menghasilkan warna merah secara dominan‎). Adapun jika menghasilkan warna merah selain dengan ‘ushfur, maka termasuk dalam pembahasan nomor satu.
3- Warna yang dicelup dengan za’faron (sejenis tumbuhan yang menghasilkan warna kuning). Adapun jika dicelup dengan warna kuning dari selain za’faron, seperti ini dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama.‎

Satu hal penting yang perlu digarisbawahi dalam hal berpakaian dengan pakaian yang lazim dipakai oleh penduduk negeri adalah tidak mengandung keharaman.
Berkenaan dengan penjelasan para ulama di atas, maka nampaklah kekeliruan sebagian saudara kita yang melarang dan membenci berpakaian yang lazim dipakai oleh penduduk negeri kita, baik dalam shalat ataupun di luar shalat. Kesesuaian pakaian dengan pakaian penduduk Saudi atau Pakistan dipandang sebagai bentuk kesesuaian terhadap Islam dan/atau manhaj salaf. Bahkan yang dianjurkan adalah berpakaian dengan pakaian penduduk negeri kita, seperti misal : kemeja, batik, sarung, songkok, celana panjang, kaos, dan yang lainnya sepanjang memenuhi persyaratan yang diatur syari’at. Jika memang mengandung keharaman, maka kita dapat memodifikasinya agar sesuai dengan syari’at. Misalnya : celana/pantalon kita buat lebih longgar dan kita potong di atas mata kaki, motif batik kita pilih yang soft dan tidak bergambar makhluk hidup, kaos kita pilih yang longgar dan lebih tebal, dan yang lainnya.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...