Jumat, 15 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Aurot Laki-laki


Kewajiban menutup aurat tidak hanya dibebankan kepada perempuan saja, kewajiban tersebut juga dibebankan kepada kaum laki-laki. Sehingga haruslah para kaum laki-laki juga memperhatikan hal ini, kurangnya pembahasan dari para ahlul ilmi membuat hal ini sedikit disepelekan.

Aurat secara bahasa berasal dari kata ‘araa , dari kata tersebut muncul derivasi kata bentukan baru dan makna baru pula. Bentuk ‘awira (menjadikan buta sebelah mata), ‘awwara (menyimpangkan, membelokkan dan memalingkan), a’wara (tampak lahir atau auratnya), al-‘awaar (cela atau aib), al-‘wwar (yang lemah, penakut), al-‘aura’ (kata-kata dan perbuatan buruk, keji dan kotor), sedangkan al-‘aurat adalah segala perkara yang dirasa malu.

Pendapat senada juga dinyatakan bahwa aurat adalah sesuatu yang terbuka, tidak tertutup, kemaluan, telanjang, aib dan cacat. Artinya aurat dipahami sebagai sesuatu yang oleh seseorang ditutupi karena merasa malu atau rendah diri jika sesuatu itu kelihatan atau diketahui orang lain.

Berdasarkan pada makna kata aurat adalah yang berarti segala sesuatu yang dapat menjadikan seseorang malu atau mendapatkan aib (cacat), entah perkataan, sikap ataupun tindakan, aurat sebagai bentuk dari satu kekurangan maka sudah seharusnya ditutupi dan tidak untuk dibuka atau dipertontonkan di muka umum.
Dalam era globalisasi yang seolah membuat dunia tanpa sekat ini, umat Islam perlu waspada akan maraknya fashion yang  jauh dari nilai-nilai Islam. Banyak umat Islam terutama wanita muslim yang terjebak dalam arus modernisasi. Berbagai fashion yang jauh dari unsur Islami banyak ditawarkan kepada umat Islam. Mulai dari mode pakaian yang terbuka menampakkan auratnya, lalu mode busana yang sangat menerawang sampai kepada mode busana sempit yang menonjolkan sex appeal-nya. Hal ini perlu di waspadai oleh umat Islam karena pada dasarnya busana atau pakaian berfungsi sebagai penutup aurat dan tidak menjurus pada kesombongan atau pemborosan. Rasulullah telah memperingatkan :

“ Allah tidak akan melihat dengan rahmat pada hari kiamat kepada orang yang memakai kainnya (pakaian) karena sombong.” (HR Bukhari dan Muslim)

Urgensi Menutup Aurat

Aurat merupakan bagian anggota badan yang wajib ditutup (haram jika diperlihatkan) kepada orang yang tidak berhak melihatnya. Allah SWT telah mewajibkan laki-laki maupun perempuan untuk menutup auratnya sesuai dengan ketentuan Islam. Allah SWT berfirman:

يَا بَنِي آدَمَ قَدْ أَنزلْنَا عَلَيْكُمْ لِبَاسًا يُوَارِي سَوْآتِكُمْ وَرِيشًا وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ لَعَلَّهُمْ يَذَّكَّرُونَ 

Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepada kalian pakaian untuk menutupi aurat kalian dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik. Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan mereka selalu ingat. [QS Al-A'rof Ayat-26]

Allah Swt. menyebutkan anugerah yang telah diberikan-Nya kepada hamba-hamba-Nya, antara lain Dia telah menjadikan untuk mereka pakaian dan perhiasan. Pakaian untuk menutupi aurat, sedangkan perhiasan untuk memperindah penampilan lahiriah. Pakaian termasuk kebutuhan pokok, sedangkan perhiasan termasuk keperluan sampingan.
Ibnu Jarir mengatakan bahwa ar-riyasy menurut istilah bahasa Arab ialah perabotan rumah tangga dan aksesori pakaian.
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan Imam Bukhari meriwayatkan pula darinya, bahwa ar-riyasy ialah harta benda. 
Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Urwah ibnuz Zubair, As-Saddi, Ad-Dahhak, dan lain-lainnya yang bukan hanya seorang.
Al-Aufi meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa ar-risy artinya pakaian, sedangkan al-disy artinya kemewahan.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa ar-riyasy artinya kecantikan.
وَقَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ، حَدَّثَنَا أصْبَغُ، عَنْ أَبِي الْعَلَاءِ الشَّامِيِّ قَالَ: لَبِسَ أَبُو أُمَامَةَ ثَوْبًا جَدِيدًا، فَلَمَّا بَلَغَ تَرْقُوَتَه قَالَ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَسَانِي مَا أُوَارِي بِهِ عَوْرَتِي، وَأَتَجَمَّلُ بِهِ فِي حَيَاتِي. ثُمَّ قَالَ: سَمِعْتُ عُمَرَ بْنَ الْخَطَّابِ يَقُولُ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "مَنِ اسْتَجَدَّ ثَوْبًا فَلَبِسَهُ فَقَالَ حِينَ يَبْلُغُ تَرْقُوَتَهُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي كَسَانِي مَا أُوَارِي بِهِ عَوْرَتِي، وَأَتَجَمَّلُ بِهِ فِي حَيَاتِي ثُمَّ عَمَدَ إِلَى الثَّوْبِ الَّذِي خَلُقَ أَوْ: أَلْقَى فَتَصَدَّقَ بِهِ، كَانَ فِي ذِمَّةِ اللَّهِ، وَفِي جِوَارِ اللَّهِ، وَفِي كَنَفِ اللَّهِ حَيًّا وَمَيِّتًا، [حَيًّا وَمَيِّتًا، حَيًّا وَمَيِّتًا] "

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yazid ibnu Harun, telah menceritakan kepada kami Asbag, dari Abul Ala Asy-Syami yang menceritakan bahwa Abu Umamah memakai pakaian baru, ketika pakaiannya sampai pada tenggorokannya, ia mengucapkan doa berikut:Segala puji bagi Allah yang telah memberi saya pakaian untuk menutupi aurat saya dan untuk memperindah penampilan dalam hidup saya.Kemudian Abu Umamah mengatakan, ia pernah mendengar Umar ibnul Khattab bercerita bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:Barang siapa memakai pakaian baru dan di saat memakainya hingga sampai pada tenggorokannya ia mengucapkan doa berikut, "Segala puji bagi Allah yang telah memberi saya pakaian untuk menutupi aurat saya dan untuk memperindah penampilan dalam hidup saya," kemudian ia menuju ke pakaian bekasnya dan menyedekahkannya, maka ia berada di dalam jaminan Allah dan berada di sisi Allah serta berada di dalam pemeliharaan Allah selama hidup dan mati(nya).
Imam Turmuzi dan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui riwa­yat Yazid ibnu Harun, dari Asbag (yaitu Ibnu Zaid Al-Juhani) yang dinilai siqah oleh Yahya ibnu Mu'indan lain-lainnya. Gurunya bernama Abul Ala Asy-Syami, ia tidak dikenal melainkan hanya melalui hadis ini, tetapi hadis ini tidak ada seorang pun yang mengetengahkannya.
قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ أَيْضًا: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عُبَيْدٍ، حَدَّثَنَا مُخْتَارُ بْنُ نَافِعٍ التَّمَّارُ، عَنْ أَبِي مَطَرٍ؛ أَنَّهُ رَأَى عَلِيًّا، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، أَتَى غُلَامًا حَدَثًا، فَاشْتَرَى مِنْهُ قَمِيصًا بِثَلَاثَةِ دَرَاهِمَ، وَلَبِسَهُ إِلَى مَا بَيْنَ الرُّسْغَيْنِ إِلَى الْكَعْبَيْنِ، يَقُولُ وَلَبِسَهُ: الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي رَزَقَنِي مِنَ الرِّيَاشِ مَا أَتَجَمَّلُ بِهِ فِي النَّاسِ، وَأُوَارِي بِهِ عَوْرَتِي. فَقِيلَ: هَذَا شَيْءٌ تَرْوِيهِ عَنْ نَفْسِكَ أَوْ عَنْ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ قَالَ: هَذَا شَيْءٌ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ عِنْدَ الْكِسْوَةِ: "الْحَمْدُ لِلَّهِ الَّذِي رَزَقَنِي مِنَ الرِّيَاشِ مَا أَتَجَمَّلُ بِهِ فِي النَّاسِ، وَأُوَارِي بِهِ عَوْرَتِي "

Imam Ahmad mengatakan pula, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ubaid, telah menceritakan kepada kami Mukhtar ibnu Nafi’, dari Abu Matar, bahwa ia melihat Ali r.a. mendatangi seorang penjual kain, kemudian ia membeli sebuah baju gamis darinya dengan harga tiga dirham. Lalu ia memakainya di antara persendian tangan dan kedua mata kakinya. Ketika memakainya, ia mengucapkan doa berikut:Segala puji bagi Allah yang telah memberikan rezeki pakaian kepadaku untuk memperindah penampilanku di kalangan manusia dan untuk menutupi auratku. Ketika ditanyakan kepadanya, "Apakah doa ini darimu sendiri, ataukah engkau riwayatkan dari Nabi Saw.?" Ali r.a. menjawab bahwa doa itu ia dengar dari Rasulullah Saw. yang membacakannya di saat memakai jubah, yaitu:Segala puji bagi Allah yang telah memberiku rezeki berupa per­hiasan untuk memperindah penampilan diriku di kalangan orang-orang lain dan untuk menutupi auratku.‎
Hadis riwayat Imam Ahmad.

يَا بَنِي آدَمَ خُذُوا زِيْنَتَكُمْ عِنْدَ كُلِّ مَسْجِدٍ وَكُلُوا وَاشْرَبُوا وَلاَ تُسْرِفُوا إِنَّهُ لاَ يُحِبُّ المُسْرِفِيْنَ

Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah setiap memasuki mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan. (QS. Al-A’rof 31)

إِرْجِعْ إِلىَ ثَوْبِكَ خُذْهُ وَلاَ تَمْشَوْا عُرَّاةً
Kembalilah kepada pakaianmu, pakailah!, janganlah kalian berjalan dalam keadaan telanjang (HR. Muslim, dari Al-Musawir bin Makhramah)

قاَلَ فىِ النِّهَايَةِ وَحِكْمَةُ وُجُوْبِ السَّتْرِ فِيْهَا ماَجَرَّتْ بِهِ عَادَةٌ مُرِيْدَ التَّمَثُّلِ بَيْنَ يَدَيْ كَبِيْرٍ مِنَ التَّجَمُّلِ بِالسَّتْرِ وَالتَّطْهِيْرِ، وَالمُصَلِّى يُرِيْدُ التَّمَثُّلَ بَيْنَ يَدَيْ مُلُكِ المُلُوْكِ، وَالتَّجَمُّلُ لَهُ بِذَلِكَ أَوْلىَ . وَيَجِبُ سَتْرُهَا فىِ غَيْرِ الصَّلاَةِ أَيْضًا لِمَا صَحَّ مِنْ قَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لاَ تَمْشَوْا عُرَّاةً وَقَوْلِهِ أَللهُ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ مِنَ النَّاسِ

Dalam kitab An-Nihayah Al-Imam Ramliy menyatakan, hikmah diwajibkan menutup aurat dalam shalat, ialah sebagaimana menurut etika dan moral manusia dituntut untuk berlaku sopan dan santun ketika berada di hadapan pembesar atau penguasa, dengan menutup aurat dan dalam keadaan bersih. Seorang shalat ialah berada di hadapan Maha raja, Raja setiap penguasa. Berpakaian santun dan sopan ialah lebih diutamakan. Dan juga diwajibkan menutup aurat pada saat di luar shalat, karena berdasarkan hadits Nabi SAW, “Janganlah kalian berjalan dalam keadaan telanjang” (HR. Muslim) dan berdasarkan hadits, “Allah adalah lebih berhak untuk ada rasa malu kepada-Nya daripada ada rasa malu kepada manusia”.(HR. Bukhori)

وَيَجِبُ سَتْرُهَا مُطْلَقًا أَيْ في الصَّلاَةِ وَغَيْرِهَا وَلَوْ كاَنَ فىِ خَلْوَةٍ لِخَبَرٍ لاَ تَمْشُوا عُرَاةً رَوَاهُ مُسْلِمٌ وَلِقَوْلِهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِجَرْهَدٍ غَطِّ فَخْذَكَ فَإِنَّ الفَخْذَ مِنَ العَوْرَةِ رَوَاهُ التِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ وَِلأَنَّ اللهَ أَحَقُّ أَنْ يُسْتَحْيَا مِنْهُ , وَلِيَسْتَتِرَ عَنِ الجِنِّ وَالمَلَكِ لاَ سَتْرُهَا عَنْ نَفْسِهِ فَلاَ يَجِبُ وَيُكْرَهُ نَظَرُهُ سَوْأَتَيْهِ أَيْ قُبُلَهُ وَدُبُرَهُ بِلاَ حَاجَةٍ

Menutup aurat ialah wajib secara mutlak, yaitu baik dalam shalat ataupun di luar shalat, bahkan sekalipun saat sendirian di dalam kamar. Hal ini berdasarkan hadits, “Janganlah kalian berjalan dalam keadaan telanjang” (HR.Muslim) juga berdasarkan perintah Nabi kepada Jarhad, “Tutupilah pahamu karena  paha itu termasuk dari aurat” (HR.Turmudzi, dan menyatakan hadits Hasan) dan juga berdasarkan hadits, “Allah ialah lebih pantas ada rasa malu kepadanya” (HR. Bukhori). Juga diwajibkan untuk menutup aurat dari pandangan jin dan malaikat, dan tidak wajib menutup aurat dari pandangan dirinya sendiri. Namun melihat qubul dan dubur punya sendiri ialah makruh, jika tanpa ada keperluan penting.

Firman Allah Swt.:


{وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ}

Dan pakaian takwa itulah yang lebih baik. (Al-A'raf: 26)


Sebagian ulama membacanya libasat taqwadengan harakat nasab, sedangkan sebagian yang lain membacanya rafa' sebagai mubtada, danzalika khair berkedudukan menjadi khabar-nya.Ulama tafsir berbeda pendapat mengenai maknanya.
Ikrimah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan libasut taqwa ialah pakaian yang dikenakan oleh orang-orang yang bertakwa kelak di hari kiamat. Demikian menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.
Zaid ibnu Ali, As-Saddi, Qatadah, dan Ibnu Juraij mengatakan bahwa libasut taqwa ialah iman. Sedangkan menurut Al-Aufi, dari Ibnu Abbas,libasut taqwa ialah amal saleh.
Ad-Dayyal ibnu Amr meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa makna yang dimaksud ialah pertanda baik yang ada pada wajah. Disebutkan dari Urwah ibnuz Zubair bahwa libasut taqwa ialah takut kepada Allah.
Abdur Rahman ibnu Zaid ibnu Aslam mengatakan bahwa libasut taqwa ialah bertakwa kepada Allah; dengan pakaian itu seseorang menutupi auratnya, demikianlah pengertian libasut taqwa.
Pengertian semua pendapat tersebut mirip. Hal ini diperkuat dengan sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir; ia mengatakan bahwa: 

حَدَّثَنِي الْمُثَنَّى، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ الْحَجَّاجِ، حَدَّثَنَا إِسْحَاقُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ سُلَيْمَانَ بْنِ أَرْقَمَ، عَنِ الْحَسَنِ قَالَ: رَأَيْتُ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَلَى مِنْبَرِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَلَيْهِ قَمِيصٌ قُوهي مَحْلُولُ الزِّرِّ، وَسَمِعْتُهُ يَأْمُرُ بِقَتْلِ الْكِلَابِ، وَيَنْهَى عَنِ اللَّعِبِ بِالْحَمَامِ. ثُمَّ قَالَ: يَا أَيُّهَا النَّاسُ، اتَّقُوا اللَّهَ فِي هَذِهِ السَّرَائِرِ، فَإِنِّي سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "وَالَّذِي نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ، مَا عَمِلَ أَحَدٌ قَطُّ سِرًّا إِلَّا أَلْبَسُهُ اللَّهُ رِدَاءً عَلَانِيَةً، إِنْ خَيْرًا فَخَيْرٌ وَإِنْ شَرًّا فَشَرٌّ". ثُمَّ تَلَا هَذِهِ الْآيَةَ: "وَرِيَاشًا" وَلَمْ يَقْرَأْ: وَرِيشًا - {وَلِبَاسُ التَّقْوَى ذَلِكَ خَيْرٌ ذَلِكَ مِنْ آيَاتِ اللَّهِ} قَالَ: "السَّمْتُ الْحَسَنُ".

telah menceritakan kepadaku Al-Musanna, telah menceritakan kepada kami Ishaq ibnul Hajjaj, telah menceritakan kepadaku Ishaq ibnu Ismail, dari Sulaiman ibnu Arqam, dari Al-Hasan yang mengatakan bahwa ia pernah melihat Khalifah Usman ibnu Affan r.a. berada di atas mimbar Rasulullah dengan memakai baju gamis berkancing yang terbuka kancing-kancingnya. Lalu ia mendengarnya memerintahkan agar semua anjing dibunuh, dan ia melarang bermain burung merpati. Kemudian Khalifah Usman berkata, "Hai manusia, bertakwalah kalian kepada Allah dalam lubuk hati kalian, karena sesungguhnya saya pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda:'Demi Tuhan yang jiwa Muhammad ada pada genggaman kekuasaan-Nya, tidak sekali-kali seseorang memendam sesuatu dalam lubuk hatinya, melainkan Allah akan memakaikan kepadanya hal itu dalam bentuk kain selendang secara lahiriah (kelak di hari kiamat). Jika apa yang dipendamnya itu baik, maka pakaiannya baik; dan jika yang dipendamnya itu jahat, maka pakaiannya jahat (buruk) pula'." Kemudian Khalifah Usman membacakan firman-Nya: dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah yang paling baik Yang demikian itu adalah sebagian dari tanda-tanda kekuasaan Allah. (Al-A'raf: 26); Khalifah Usman mengatakan, libasut taqwa ialah tanda yang baik. 
Hal yang sama diriwayatkan oleh Ibnu Jarir melalui riwayat Sulaiman ibnu Arqam, tetapi di dalamnya terkandung ke-daif-an (kelemahan).
Imam Syafii, Imam Ahmad, dan Imam Bukhari meriwayatkan di dalam Kitabul Adab (Pembahasan Etika) melalui berbagai jalur yang sahih dari Al-Hasan Al-Basri, bahwa ia pernah mendengar Amirul Mukminin Usman ibnu Affan memerintahkan untuk membunuh semua anjing dan menyembelih burung-burung merpati. Hal ini dikemukakan-nya pada hari Jumat di atas mimbarnya.
Adapun mengenai hadis marfu' yang melaluinya, telah diriwayatkan oleh Al-Hafiz Abul Qasim At-Tabrani di dalam kitab Mu'jamul Kabir­nya. Hadisnya ini mempunyai syahid dari jalur lain, yang menyebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami.....

Aurat Kaum adam 

Aurat laki-laki yang harus ditutup saat menunaikan shalat adalah qubul (kemaluan bagian depan) dan dubur (kemaluan bagian belakang), adapun di luar itu, mulai dari paha, pusar dan lutut, para ulama berbeda pendapat; sebagian ulama menganggapnya sebagai aurat dan sebagian lagi tidak menganggapnya sebagai aurat.

Pendapat pertama :

Bahwa paha, pusar dan lutut bukan aurat
Mereka beralasan :

Nabi bersabda :

عن عائشة رضي الله عنها: أن رسول الله صلى الله عليه وسلم كان جالسا كاشفا عن فخذه، فاستأذن أبو بكر فأذن له وهو على حاله، ثم استأذن عمر فأذن له، وهو على حاله ثم استأذن عثمان فأرخى عليه ثيابه. فلما قاموا قلت: يا رسول الله استأذن أبو بكر وعمر فأذنت لهما.
وأنت على حالك، فلما استأذن عثمان أرخيت عليك ثيابك؟ فقال: “يا عائشة ألا أستحي من رجل والله إن الملائكة لتستحي منه” رواه أحمد، وذكره البخاري تعليقا.

Dari Aisyah RA, bahwa Rasulullah saw saat duduk pahanya terbuka, lalu Abu Bakar meminta izin kepada Rasul, beliau pun mengizinkannya dan beliau dalam keadaan seperti semula, kemudian Umar  meminta izin dan beliau mengizinkannya dan beliau dalam keadaan seperti itu, kemudian Utsman pun ikut meminta izin namun beliau menurunkannya pakaiannya, setelah mereka pergi aku berkata : Wahai Rasulullah ketika Abu Bakar dan Umar meminta izin engkau mengizinkan keduanya. Dan engkau dalam keadaan semula, namun ketika Utsman meminta izin engkau mengulurkan pakaianmu ? maka beliau bersabda : Wahai Aisyah,  apakah aku tidak malu dari seseorang, demi Allah para malaikat lebih malu darinya”. (HR. Ahmad, dan disebutkan oleh imam Bukhari dalam ta’liqnya)

وعن أنس: “أن النبي صلى الله عليه وسلم يوخ خيبر حسر الازار عن فخذه، حتى إني لانظر إلى بياض فخذه” رواه أحمد والبخاري.

Dari Anas RA: bahwa Nabi saw membuka pada saat Khaibar kain sarungnya sehingga terbuka pahanya, sampai aku dapat melihat pahanya yang berwarna putih. (HR. Ahmad dan Bukhari)

Ibnu Hazm berkata : Jelas bahwa paha bukan aurat, sekiranya merupakan aurat maka Allah tidak akan menyingkapkannya padahal beliau seorang yang suci dan maksum dari manusia, saat beliau menyampaikan risalahnya dan tidak diperlihatkan pahanya di hadapan Anas bin Malik dan yang lainnya.

وعن مسلم عن أبي العالية البراء قال: إن عبد الله ابن الصامت ضرب فخذي وقال: إني سألت أبا ذر فضرب فخذي كما ضربت فخذك وقال: إني سألت رسول الله صلى الله عليه وسلم كما سألتني فضرب فخذي كما ضربت فخذك وقال: (صل الصلاة لوقتها) إلى آخر الحديث.

Dari Imam Muslim, dari Abu Al-‘Aliyah al-barra berkata : bahwa Abdullah bin As-shamit memukul paha saya, dia berkata : lalu saya bertanya kepada Abu Dzar, maka beliau memukul paha saya seperti Aku memukul paha kamu, kemudian dia berkata : kemudian saya bertanya kepada Rasulullah saw seperti yang kamu Tanya kepadaku maka beliau pun memukul saya seperti aku memukul paha kamu, dan beliau bersabda : “Dirikanlah shalat pada waktunya…sampai akhir hadits.

Ibnu Hazm  berkata : jika paha sebagai bagian dari aurat maka Rasulullah saw tidak akan menyentuhnya dari Abu Dzar dengan tangannya yang suci. Dan jika paha merupakan aurat menurut Abu Dzar maka tidak menyentuh paha Abdullah bin Shamit dengan tangannya, begitu pun Abdullah bin Shamit dan Abu al-Aliyah.

Pendapat kedua :

Bahwa paha, pusar dan lutut adalah aurat.
Mereka beralasan :

Hadits nabi saw :

عن محمد بن جحش قال: مر رسول الله صلى الله عليه وسلم على معمر، وفخذاه مكشوفتان فقال  :”يا معمر غط فخذيك فإن الفخذين عورة” رواه أحمد والحاكم والبخاري في تاريخه، وعلقه في صحيحه.

Dari Muhammad bin Jahsy berkata : Rasulullah saw melewati ma’mar sementara kedua pahanya tersingkap, beliau bersabda : “Wahai Ma’mar tutuplah kedua pahamu karena paha itu adalah aurat”. (HR. Ahmad, Hakim dan Bukhari).

وعن جرهد قال: مر رسول الله صلى الله عليه وسلم وعلي بردة وقد انكشفت فخذي فقال: “غط فخذيك فإن الفخذ عورة” رواه مالك وأحمد وأبو داود والترمذي وقال: حسن: وذكره البخاري في صحيحه معلقا.

Dan dari Jurhud berkata : Rasulullah saw lewat pada Burdah dan kedua pahanya tersingkap, beliau bersabda : “Tutuplah kedua pahamu karena paha itu adalah aurat”. (HR. Malik, Ahmad, Hakim, Abu Dawud dan Tirmidzi serta Bukhari dalam shahihnya).

Demikian dua pendapat tentang batasan aurat laki-laki, namun bagi kita untuk lebih berhati-hati, saat akan menunaikan shalat maka kita menutup aurat kita mulai dari pusar hingga dua lututnya sebisa mungkin.

Aurat laki-laki bersama dengan laki-laki.

Bersama dengan kaum lelaki, ia tidak boleh menampakkan bagian antara lutut dan pusarnya, baik laki-laki yang melihatnya itu kerabatnya maupun orang lain, baik muslim maupun kafir. Adapun selain anggota tubuh itu boleh terlihat selama tidak ada fitnah.
Rasulullah bersabda :
Artinya: Apa yang ada di antara pusar dan lutut adalah aurat. (H.R.  Al Hakim)

Rasulullah saw bersabda :
Artinya: Tutuplah pahamu, karena paha lelaki adalah aurat”. (H.R. Al Hakim)

Aurat laki-laki di hadapan wanita

Seorang wanita muslimah diperbolehkan melihat kaum lelaki yang berjalan di jalan-jalan, atau memainkan permainan yang tidak diharamkan, yang sedang berjual beli, dan sebagainya.

Rasulullah SAW menyaksikan orang-orang Habsyiy bermain lembing di dalam masjid pada hari raya dan Aisyah ikut menyaksikan mereka dari belakang beliau. Rasulullah menghalangi Aisyah dari mereka, sampai ia merasa bosan dan pulang. Peristiwa ini terjadi pada tahun ke tujuh Hijriyah. 

Sedangkan hadits yang mengatakan :
“Berhijablah kalian berdua dari padanya. Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua melihatnya?”
Menunjukkan bahwa Ummu Salamah dan Maimunah berkumpul bersama Ibnu Ummi Maktum di dalam satu majelis, mereka bertemu pandang dan berhadap hadapan.

Pada kenyataannya, memang sangat berbeda antara pandangan laki-laki pada wanita dan pandangan wanita pada laki-laki. Wanita dengan rasa malu yang tinggi akan cenderung pasif, sedangkan laki-laki dengan sifat pemberaninya akan cenderung aktif dan kreatif.

Kesimpulannya, wanita diperbolehkan melihat lelaki lain dengan dua syarat, yaitu :
Pertama, tidak dikhawatirkan akan menimbulkan fitnah.
Kedua, tidak berada dalam satu majelis  berhadap-hadapan.‎

Setelah menbaca penjelasan di atas maka kita bisa simpulkan bahwa dada laki-laki bukanlah aurat, akan tetapi jika dapat menimbulkan fitnah ketika ada wanita yang melihatnya maka dada itu harus ditutup, terlebih lagi Allah Ta’ala berfirman yang ditujukan kepada wanita mukminat,

وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ

“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya.”(QS. An Nuur: 31)

Kandungan ayat ini secara dhohir memang ditujukan kepada kaum mukminat sebagai subjek yang memandang, dan secara tidak langsung juga memerintahkan kepada kaum laki-laki sebagai objek yang dipandang mampu dan ikut menjalankan ayat ini dengan tidak seenaknya membuka auratnya.

Ulama Hanafiyah berpendapat bahwa wanita boleh melihat selain pusar hingga lutut dengan syarat selama aman darifitnah (artinya tidak sampai membuat wanita tersebut tergoda). Ulama Malikiyah berpendapat bahwa dibolehkan bagi wanita melihat pria sebagaimana pria dibolehkan melihat mahromnya, yaitu selama yang dilihat adalah wajah dan athrofnya (badannya), ini juga dengan syarat selama aman dari fitnah (godaan).
Sedangkan ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa wanita tidak boleh melihat aurat lelaki dan juga bagian lainnya tanpa ada sebab. Hal ini berdasarkan keumuman firman Allah Ta’ala,
وَقُلْ لِلْمُؤْمِنَاتِ يَغْضُضْنَ مِنْ أَبْصَارِهِنَّ
“Katakanlah kepada wanita yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandangannya.” (QS. An Nuur: 31)
Dalil lainnya yang digunakan sebagai hujjah oleh Syafi’iyah adalah hadits dari Ummu Salamah, ia berkata,
كُنْتُ عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَعِنْدَهُ مَيْمُونَةُ فَأَقْبَلَ ابْنُ أُمِّ مَكْتُومٍ وَذَلِكَ بَعْدَ أَنْ أُمِرْنَا بِالْحِجَابِ فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « احْتَجِبَا مِنْهُ ». فَقُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَيْسَ أَعْمَى لاَ يُبْصِرُنَا وَلاَ يَعْرِفُنَا فَقَالَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- « أَفَعَمْيَاوَانِ أَنْتُمَا أَلَسْتُمَا تُبْصِرَانِهِ ».
“Aku berada di sisi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika Maimunah sedang bersamanya. Lalu masuklah Ibnu Ummi Maktum -yaitu ketika perintah hijab telah turun-. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun bersabda, “Berhijablah kalian berdua darinya.” Kami bertanya, “Wahai Rasulullah, bukankah ia buta sehingga tidak bisa melihat dan mengetahui kami?” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam balik bertanya: “Apakah kalian berdua buta? Bukankah kalian berdua dapat melihat dia?“ ‎[Riwayat ini adalah riwayat yang dho’if, lemah]
Abu Daud berkata, “Ini hanya khusus untuk isteri-isteri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidakkah engkau lihat bagaimana Fatimah binti Qais di sisi Ibnu Ummi Maktum! Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah berkata kepada Fatimah binti Qais, ‘Bukalah hijabmu di sisi Ibnu Ummi Maktum, sebab ia adalah seorang laki-laki buta, maka tidak mengapa engkau letakkan pakaianmu di sisinya.” 
Adapun pendapat terkuat menurut madzhab Hambali, boleh  bagi wanita melihat pria lain selain auratnya. Hal ini didukung oleh hadits ‘Aisyah dan haditsnya muttafaqun ‘alaih. Dari Aisyah ‎radhiyallahu ‘anha, ia berkata;
رَأَيْتُ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – يَسْتُرُنِى بِرِدَائِهِ ، وَأَنَا أَنْظُرُ إِلَى الْحَبَشَةِ يَلْعَبُونَ فِى الْمَسْجِدِ ، حَتَّى أَكُونَ أَنَا الَّذِى أَسْأَمُ ، فَاقْدُرُوا قَدْرَ الْجَارِيَةِ الْحَدِيثَةِ السِّنِّ الْحَرِيصَةِ عَلَى اللَّهْوِ
“Aku melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menutupiku dengan pakaiannya, sementara aku melihat ke arah orang-orang Habasyah yang sedang bermain di dalam Masjid sampai aku sendirilah yang merasa puas. Karenanya, sebisa mungkin kalian bisa seperti gadis belia yang suka bercanda.”[HR. Bukhari no. 5236 dan Muslim no. 892.‎]
Yang terkuat adalah pendapat terakhir, yaitu boleh bagi wanita melihat pria lain selain auratnya karena dalil yang mendukung lebih shahih dan lebih kuat.
Aurat Lelaki di Hadapan Istri
Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan fuqoha bahwa tidak ada batasan aurat antara suami istri. Semua bagian tubuhnya halal untuk dilihat satu dan lainnya, sampai pun pada kemaluan. Karena menyetubuhinya saja suatu hal yang mubah (boleh). Oleh karena itu melihat bagian tubuh satu dan lainnya –terserah dengan syahwat atau tidak-, tentu saja dibolehkan.
Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa dimakruhkan untuk memandang kemaluan satu dan lainnya. Namun hadits yang digunakan adalah hadits yang dho’if. Hadits tersebut adalah,
إِذَا أَتَى أَحَدُكُمْ أَهْلَهُ فَلْيَسْتَتِرْ وَلاَ يَتَجَرَّدْ تَجَرُّدَ الْعَيْرَيْنِ
“Jika salah seorang dari kalian mendatangi isterinya hendaklah dengan penutup, dan jangan telanjang bulat.”[HR. Ibnu Majah no. 1921. Ibnu Hajar menyatakan bahwa dalam hadits tersebut terdapat Mandal dan ia dho’if (Mukhtashor Al Bazzar, 1/579)‎].

Nasehat bagi Penggemar Bola dan Penggemar Renang
Jika kita sudah mengetahui manakah aurat lelaki, ada satu hal yang mesti kami ingatkan tentang tersebarnya kekeliruan di tengah masyarakat mengenai aurat lelaki ini. Yaitu seringkalinya kita melihat para pria buka-bukaan aurat, baik paha yang disingkap –seperti ketika main bola– atau sengaja menyingkap bagian aurat lainnya –mungkin saja ketika renang– dengan hanya memakai –maaf- ‘celana dalam’. Ini sungguh kekeliruan. 
Dari Abu Sa’id Al Khudri, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
لاَ يَنْظُرُ الرَّجُلُ إِلَى عَوْرَةِ الرَّجُلِ وَلاَ الْمَرْأَةُ إِلَى عَوْرَةِ الْمَرْأَةِ
“Seorang laki-laki janganlah melihat aurat laki-laki lainnya. Begitu pula seorang wanita janganlah melihat aurat wanita lainnya.” (HR. Muslim no. 338). 

Artinya, orang yang sengaja buka aurat telah bermaksiat. Aurat sesama pria tentu saja tidak boleh dilihat, lantas bagaimanakah dengan menonton pertandingan bola yang jelas sekarang ini sering menampakkan paha karena celana yang digunakan begitu pendek?!
Nasehat ini sebenarnya untuk semua yang sering menampakkan auratnya di hadapan yang lainnya, bukan hanya untuk penggemar bola dan renang saja.

Penjelasan Tentang Tiada Kewajiban Sholat Jum'at Bagi Musafir


Shalat jum’at merupakan shalat yang wajib dilakukan oleh seorang laki laki muslim yang sudah memenuhi syarat untuk shalat jumat. Adapun syarat shalat jum’at diantaranya laki laki muslim yang sudah baligh, orang muqmin, baligh dan berakal jika anda sudah memenuhi syarat shalat jum’at yang sudah kami sebutkan diatas berarti anda wajib untuk melakukan shalat jum’at.

Mengenai kewajiban menghadiri shalat Jum’at ini sebagaimana disebutkan dalam ayat,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang beriman, apabila diseru untuk menunaikan shalat Jum’at, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” (QS. Jumu’ah: 9).
Dari Thoriq bin Syihab, dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia bersabda,
الْجُمُعَةُ حَقٌّ وَاجِبٌ عَلَى كُلِّ مُسْلِمٍ فِى جَمَاعَةٍ إِلاَّ أَرْبَعَةً عَبْدٌ مَمْلُوكٌ أَوِ امْرَأَةٌ أَوْ صَبِىٌّ أَوْ مَرِيضٌ
“Shalat Jum’at itu wajib bagi setiap muslim secara berjama’ah selain empat orang: budak, wanita, anak kecil, dan orang sakit” (HR. Abu Daud no. 1067. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Demikianlah shalat jum’at menjadi salah satu momentum pertemuan antara umat muslim dalam sebuah komunitas tertentu. Diharapkan pertemuan fisik ini dapat menambah kwalitas ketaqwaan dan keimanan umat muslim. Karena itulah shalat jum’at didahului dengan khutbah yang berisi berbagai mauidhah. Di samping itu secara sosiologis sholat jum’at hendaknya menjadi satu media syi’ar Islam yang menunjukkan betapa besar dan kuwat persatuan umat.

Adapun syarat-syarat shalat jum’at seperti yang terturils dalam kitab Matnul Ghayah wat Taqrib karya Imam Abu Suja’

وشرائط وجوب الجمعة سبعة أشياء : الاسلام والبلوغ والعقل والحرية والذكورية والصحة والاستيطان

Syarat wajib jum’at ada tujuh hal yaitu; Islam, baligh, berakal sehal, merdeka, laki-laki, sehat dan mustauthin (tidak sedang bepergian) 

Dari ketujuh syarat tersebut, tiga syarat pertama Islam, baligh dan berakal dapat dianggap mafhum. Karena jelas tidak wajib shalat jum’at orang yang tidak beragama Islam, yang belum baligh, apalagi orang gila. Sedangkan mengenai empat syarat yang lain Rasulullah saw dalam hadits yang diriwayatkan oleh Daruquthny dan lainnya dari Jabir ra, Nabi saw bersabda:

من كان يؤمن بالله واليوم الأخر فعليه الجمعة إلا امراة ومسافرا وعبدا ومريضا

Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir maka wajib baginya shalat jum’at kecuali perempuan, musafir, hamba sahaya dan orang yang sedang sakit.

Pada praktiknya, shalat jum’at sama seperti shalat-shalat fardhu lainnya. Hanya ada beberapa syarat khusus yang harus dipenuhi yaitu pertama  hendaklah diadakan di negeri, kota atau desa. kedua jumlah orang tidak kurng dari 40, dan ketiga masih adanya waktu untuk shalat jum’at, jika waktu telah habis atau syarat yang lain tidak terpenuhi maka dilaksanakanlah shalat dhuhur.

Dengan demikian shalat jum’at selalu dilakukan di masjid. Dan tidak boleh dilakukan sendirian di rumah seperti shalat fardhu yang lain. Hal ini tentunya menyulitkan mereka yang terbiasa bepergian jauh. Entah karena tugas negara atau tuntutan pekerjaan. Oleh karena itulah maka shalat jum’at tidak diwajibkan bagi mereka yang sedang sakit atau berada dalam perjalanan (musafir).

Khusus untuk musafir atau orang yang sedang berada dalam perjalanan ada beberapa ketentuan jarak tempuh. Tidak semua yang bepergian meninggalkan rumah bisa dianggap musafir. Sebagian ulama berpendapat bahwa seorang dianggap musafir apabila jarak perjalanan yang ditempuh mencapai 90 km, yaitu jarak diperbolehkannya meng-qashar shalat. Itupun dengan catatan agenda perjalanannya bersifat mubah (dibenarkan secara agama, tidak untuk ma’syiat ) dan sudah berangkat dari rumah sebelum fajar terbit.

Bolehnya meninggalkan shalat jum’at oleh musafir ini dalam wacana fiqih disebut dengan rukhshah(dispensasi). Yaitu perubahan hukum dari sulit menjadi mudah karena adanya udzur. Bepergian menjadi udzur seseorang untuk menjalankan shalat jum’at karena dalam perjalanan seseorang biasa mengalami kepayahan. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup seseorang, tidak jarang mereka harus melakukan bepergian. Dan seringkali seseorang masih dalam perjalanan ketika waktu shalat jum’at tiba.

Akan tetapi keringanan –rukhshah- ini tidak berlaku jika status seorang musafir telah berbah menjadi mukim. Yaitu dengan berniat menetap ditempat tujuan selama minimal empat hari. Misalkan jika seorang dari Surabaya pergi ke Jakarta lalu niat menginap di rumah sanak famili selama lima hari, maka tidak berlaku lagi baginya keringanan bepergian –rukhsah al-safar-. Maka dia tidak diperbolehkan meninggalkan shalat jum’at, jama’ atauqashar shalat. Begitu pula jika seseorang berniat mukim saja tanpa tahu batas waktunya secara pasti, maka hukumnya sama dengan bermukim empat hari. Contohnya ketika seseorang dari Jawa Timur merantau ke Jakarta, dengan niat mencari pekerjaan yang dia sendiri tidak tahu pasti kapan dia mendapatkan pekerjaan tersebut. Maka dalam kacamata fiqih ia telah dianggap sebagai mukimin di Jakarta dan wajib mengikuti shalat Jum’at bila tiba waktunya.   

Lain halnya jika orang tersebut berniat untuk tinggal di Jakarta dalam jangka waktu maksimal tiga hari, maka baginya masih berlaku rukhshah. Hal mana juga berlaku bagi seseorang yang sengaja bermukim demi satu keperluan yang sewaktu-waktu selesai dan ia akan kembali pulang, tanpa mengetahui persis kapan waktunya selesai. Maka status musafir masih berlaku baginya dan masih mendapatkan rukhshah selama delapan belas hari.

Oleh karena itu untuk menentukan seorang sebagai musafir perlu ditentukan beberapa hal. Pertama jarak jauhnya harus telah mencapai masafatul qasr (kurang lebih 90 km). Kedua, tujuannya bukan untuk ma’syiat.Ketiga, mengetahui jumlah hari selama berpergian sebagai wisatawan yang hanya singgah satu atau dua hari, ataukah untuk studi atau bekerja yang lamanya sudah barang tentu diketahui (1 semester, 2 tahun dst) ataukah untuk satu urusan yang waktunya tidak diketahui dengan pasti. Semua ada aturan masing-masing. Demikian keterangan dari beberapa kitab Al-Madzahibul Arba’ah, Al-Hawasyiy Al-madaniyah dan Al-Fiqhul Islami)

Ad-Daaruquthniy rahimahullah berkata :
حدثنا أبو بكر الشافعي ثنا إسماعيل بن الفضل ثنا القواريري ثنا أبو بكر الحنفي عن عبد الله بن نافع عن أبيه عن ابن عمر عن النبي صلى الله عليه وسلم قال ليس على المسافر جمعة
Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Asy-Syaafi’iy : Telah menceritakan kepada kami Ismaa’iil bin Al-Fadhl : Telah menceritakan kepada kami Al-Qawaariiriy : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr Al-Hanafiy, dari ‘Abdullah bin Naafi’, dari ayahnya, dari Ibnu ‘Umar, dari Nabi shallallaahu ‘alahi wa sallam, beliau bersabda : “Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [As-Sunan, no. 1582].
Ismaa’iil bin Al-Fadhl mempunyai muttabi’ dari Ahmad bin Yahyaa Al-Hulwaaniy sebagaimana diriwayatkan juga oleh Ath-Thabaraaniy dalam ‎Al-Ausath 1/249 no. 818.
Hadits ini sangat lemah, dikarenakan ‘Abdullah bin Naafi’, seorang yang matruuk.
Al-Baihaqiy rahimahullah menyatakan bahwa yang shahih (mahfuudh) dari riwayat ini adalah mauquf :
وأخبرنا أبو حازم الحافظ ثنا أبو أحمد الحافظ أنبأ أبو يعقوب إسحاق بن أيوب الفقيه بواسط ثنا أحمد بن سعد الزهري ثنا يحيى بن سليمان الجعفي ثنا بن وهب أخبرني عمرو بن الحارث حدثني عبيد الله بن عمر عن نافع عن بن عمر قال لا جمعة على مسافر
Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haazim Al-Haafidh : Telah menceritakan kepada kami Abu Ahmad Al-Haafidh : Telah memberitakan Abu Ya’quub Ishaaq bin Ayyuub Al-Faqiih di Waasith : Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Sa’d Az-Zuhriy : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Sulaimaan Al-Ju’fiy : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahb : Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Amru bin Al-Haarits : Telah menceritakan kepadaku ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar, ia berkata : “Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [As-Sunan Al-Kubraa, 3/184].
Diriwayatkan pula oleh ‘Abdurrazzaaq (3/172 no. 5198) dari jalan ‘Ubaidullah bin ‘Umar, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa.
Ada hadits lain dalam hal ini :‎
Ad-Daaruquthniy rahimahullah berkata :
حدثنا عبيد الله بن عبد الصمد بن المهتدي بالله ثنا يحيى بن نافع بن خالد بمصر ثنا سعيد بن أبي مريم ثنا ابن لهيعة حدثني معاذ بن محمد الأنصارى عن أبي الزبير عن جابر أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال : من كان يؤمن بالله واليوم الآخر فعليه الجمعة يوم الجمعة إلا مريض أو مسافر أو امرأة أو صبي أو مملوك فمن استغنى بلهو أو تجارة استغنى الله عنه والله غني حميد
Telah menceritakan kepada kami ‘Ubaidullah bin ‘Abdish-Shamad Al-Muhtadiy billah : Telah menceritakan kepada kami Yahyaa bin Naafi’ bin Khaalid di Mesir : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Abi Maryam : Telah menceritakan kepada kami Ibnu Lahii’ah : Telah menceritakan kepadaku Mu’aadz bin Muhammad Al-Anshaariy, dari Abuz-Zuabir, dari Jaabir : Bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : “Barangsiapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, maka wajib baginya mengerjakan shalat Jum’at pada hari Jum’at, kecuali : orang yang sakit, musafir, wanita, anak-anak, dari budak. Barangsiapa yang mencukupkan diri dengan kesia-siaan atau perdagangan, maka Allah akan merasa cukup darinya, dan Allah Maha Kaya lagi Maha Terpuji” [As-Sunan, no. 1576, dan dari jalannya Ibnul-Jauziy dalam At-Tahqiiq, 1/501 no. 788].
Sa’iid bin Abi Maryam mempunyai muttabi’ dari Kaamil bin Thalhah Al-Jahdariy, seorang yang ‎shaduuq, sebagaimana diriwayatkan oleh Ibnu ‘Adiy dalam Al-Kaamil dan dari jalannya Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/184.
Riwayat ini lemah, atau bahkan mungkin sangat lemah. Ibnu Lahii’ah, seorang yang lemah dari sektor hapalannya setelah kitab-kitabnya terbakar [At-Taqriib, hal. 538 no. 3587]. Mu’aadz bin Muhammad seorang perawi munkarul-hadiits, ‎sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Adiy [Al-Kaamil no. 1912]. Adapun Al-Uqailiy berkata : “Dalam haditsnya ada wahm”[Adl-Dlu’afaa’, hal. 1348 no. 1787].
Jaabir mempunyai syaahid antara lain dari :
1.      Tamiim Ad-Daariy radliyallaahu ‘anhu.
Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :
أخبرنا علي بن أحمد بن عبدان أنبأ أحمد بن عبيد الصفار ثنا علي بن الحسن بن بيان ثنا سعيد بن سليمان ثنا محمد بن طلحة بن مصرف ح وأخبرنا أبو حازم الحافظ أنبأ أبو أحمد الحافظ يعني النيسابوري أنبأ أبو أحمد محمد بن سليمان بن فارس ثنا محمد يعني بن إسماعيل البخاري حدثني إسماعيل بن أبان ثنا محمد بن طلحة عن الحكم بن عمرو عن ضرار بن عمرو عن أبي عبد الله الشامي عن تميم الداري عن النبي صلى الله عليه وسلم قال الجمعة واجبة إلا على صبي أو مملوك أو مسافر وفي رواية بن عبدان إن الجمعة واجبة إلا على صبي أو مملوك أو مسافر
Telah mengkhabarkan kepada kami ‘Aliy bin Ahmad bin ‘Abdaan : Telah memberitakan Ahmad bin ‘Ubaid Ash-Shaffaar : Telah menceritakan kepada kami ‘Aliy bin Al-Hasan bin Bayaan : Telah menceritakan kepada kami Sa’iid bin Sulaimaan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Thalhah bin Musharrif (ح). Dan telah mengkhabarkan kepada kami Abu Haazim Al-Haafidh : Telah memberitakan Abu Ahmad Al-Haafidh An-Naisaabuuriy : Telah memberitakan Abu Ahmad Muhammad bin Sulaimaan bin Faaris : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ismaa’iil Al-Bukhaariy : Telah menceritakan kepadaku Ismaa’iil bin Abaan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Thalhah, dari Al-Hakam bin ‘Amru, dari Dliraar bin ‘Amru, dari Abu ‘Abdillah Asy-Syaamiy, dari Tamiim Ad-Daariy, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Shalat Jum’at itu wajib kecuali bagi anak-anak, budak, atau musafir”. Dan dalam riwayat Ibnu ‘Abdaan : “Sesungguhnya shalat Jum’at itu wajib kecuali bagi anak-anak, budak, dan musafir” [As-Sunan Al-Kubraa, 3/183-184].
Diriwayatkan pula oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kubraa 2/51-52 no. 1257 dan Al-‘Uqailiy dalam Adl-Dlu’afaa’ hal. 609 no. 765 dari jalan Muhammad bin Thalhah yang selanjutnya seperti hadits di atas.
Sanad hadits ini sangat lemah. Abu ‘Abdillah Asy-Syaamiy namanya Syahr bin Hausyab adalah perawi lemah [Tahriirut-Taqriib, 2/122 no. 2830]. Dliraar bin ‘Amru Al-Malathiy, [Mishbaahul-Ariib, 2/105 no. 12603] dan Al-Hakam bin ‘Amru Ar-Ru’ainiy [idem, 1/389 no. 8165 – lihat jugata’liq Hamdiy As-Salafiy dalam Al-Kabiir], adalah dua orang perawi yang sangatlemah.
Abu Zur’ah berkata tentang hadits ini : “Hadits munkar” [Al-‘Ilal oleh Ibnu Abi Haatim 1/212].
2.      Abu Hurairah radliyallaahu ‘anhu.
Ath-Thabaraaniy rahimahulah berkata :
حدثنا أحمد بن محمد بن الحجاج بن رشدين بن سعد المصري قال حدثنا إبراهيم بن حماد بن أبي حازم المديني قال حدثنا مالك بن أنس عن أبي الزناد عن الأعرج عن أبي هريرة قال قال رسول الله صلى الله عليه وسلم خمسة لا جمعة عليهم المرأة والمسافر والعبد والصبي وأهل البادية لم يرو هذا الحديث عن مالك إلا إبراهيم بن حماد بن أبي حازم
Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaaj bin Risydiin bin Sa’d Al-Mishriy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Ibraahiim bin Hammaad bin Abi Haazim Al-Madiiniy, ia berkata : Telah mengkhabarkan kepada kami Maalik bin Anas, dari Abuz-Zinaad, dari Al-A’raj, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Ada lima golongan yang tidak diwajibkan shalat Jum’at atas mereka : wanita, musafir, budak, anak-anak, dan penduduk padang pasir”. Ath-Thabaraaniy berkata : “Tidak ada yang meriwayatkan hadits ini dari Maalik kecuali Ibraahiim bin Hammaad bin Abi Haazim” [Al-Ausath, no. 204].
Hadits ini lemah karena Ahmad bin Muhammad bin Al-Hajjaaj [Irsyaadul-Qaadliy, hal. 155-156 no. 172] dan Ibraahiim bin Hammaad [Mishbaahul-Ariib,1/28 no. 283] adalah dua orang perawi lemah.
Al-Albaaniy mengatakan tentang hadits ini : “Sangat lemah” [Adl-Dla’iifah no. 3555].
Ada juga hadits mursal Al-Hasan Al-Bashriy rahimahullah :
عَنِ ابْنِ عُيَيْنَةَ ، عَنْ عَمْرٍو ، عَنِ الْحَسَنِ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : " لَيْسَ عَلَى الْمُسَافِرِ جُمُعَةٌ
Dari Ibnu ‘Uyainah, dari ‘Amru, dari Al-Hasan, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurrazzaaq no. 5203].
Hadits ini lemah karena mursal.
Kesimpulan : Hadits perkecualian musafir dari orang-orang yang diwajibkan shalat Jum’at dari sabda beliau shallalahu ‘alaihi wa sallam adalah lemah.
Akan tetapi perkecualian musaafir dari orang-orang yang diwajibkan shalat Jum’at merupakan ijmaa’ dari kalangan ulama sebagaimana dikatakan Ibnu Hubairah ‎rahimahullah :
واتفقوا على أن الجمعة لا تجب على صبي ولا عبد ولا مسافر ولا امرأة، إلا رواية عن أحمد في العبد خاصة
“Para ulama telah sepakat bahwasannya shalat Jum’at tidak diwajibkan atas anak-anak, hamba/budak, musafir, dan wanit; kecuali satu riwayat dari Ahmad tentang hamba secara khusus” [Ikhtilaaful-‘Ulamaa’, 1/152].
Begitu juga yang dikatakan Ibnu ‘Abdil-Barr rahimahullah :
وأما قوله: (ليس على مسافر جمعة) فإجماع لا خلاف فيه
“Adapun sabda beliau : ‘Tidak ada kewajiban shalat Jum’at atas musafir’, maka itu adalah ‎ijma’ tanpa ada perselisihan padanya” [Al-Istidzkaar, 2/36]
Hal itu dikarenakan bahwasannya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam telah sering melakukan safar, akan tetapi tidak ternukil satupun riwayat yang menjelaskan beliau menegakkan shalat Jum’at. Ibnul-Mundzir ‎rahimahullah berkata :
ومما يحتج به في إسقاط الجمعة عن المسافر أن النبي صلى الله عليه وسلم قد مرّ به في أسفاره جُمَعٌ لا محالة، فلم يبلغنا أنه جَمَّع وهو مسافر، بل قد ثبت عنه أنه صلى الظهر بعرفة وكان يوم الجمعة، فدلّ ذلك من فعله على أن لا جمعة على المسافر
“Dan termasuk dalil yang menunjukkan gugurnya kewajiban shalat Jum’at bagi musafir adalah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dalam safar-safarnya tentu pernah melewati hari Jum’at. Akan tetapi tidak sampai pada kita beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam mengerjakan shalat Jum’at dalam keadaan safar. Bahkan, telah shahih dari beliau mengerjakan shalat Dhuhur di ‘Arafah yang saat itu bertepatan dengan hari Jum’at. Maka, itu merupakan petunjuk dari perbuatan beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam bahwa tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [Al-Ausath, 4/20].
حدثنا وكيع عن العمري عن نافع عن ابن عمر أنه كان لا يجمع في السفر
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Al-‘Umariy, dari Naafi’, dari Ibnu ‘Umar : Bahwasannya ia tidak melaksanakan shalat Jum’at ketika safar [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya hasan, namun shahih dengan riwayat mauquf Al-Baihaqiy di awal].
عن الثوري عن مغيرة عن إبراهيم قال كانوا لا يجمعون في سفر ولا يصلون الا ركعتين
Dari Ats-Tsauriy, dari Mughiirah, dari Ibraahiim, ia berkata : “Mereka tidak mengerjakan shalat Jum’at ketika safar. Dan mereka tidaklah shalat kecuali dua raka’at” [Diriwayatkan ‘Abdurrazzaaq 3/173-174 no. 5202; sanadnya shahih].
‘Mereka’ yang dimaksud Ibraahiim An-Nakha’iy ini adalah beberapa tabi’in dan shahabat yang semasa dengannya, karena ia sendiri termasuk ‎tabi’iy kecil (thabaqah ke-5, wafat tahun 196 H).
حدثنا معتمر عن برد عن مكحول قال : ليس على المسافر أضحى ولا فطر ولا جمعة
Telah meceritakan kepada kami Mu’tamir, dari Burd, dari Mak-huul, ia berkata : “Tidak ada kewajiban bagi musafir shalat ‘Iedul-Adlhaa, shalat ‘Iedul-Fithri, dan shalat Jum’at” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih].
حدثنا أبو أسامة عن أبي العميس عن علي بن الأقمر قال : خرج مسروق وعروة بن المغيرة ونفر من أصحاب عبد الله فحضرت الجمعة فلم يجمعوا وحضر الفطر فلم يفطروا
Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Abul-‘Umais, dari ‘Aliy bin Al-Aqmar, ia berkata : “Masruuq, ‘Urwah, Al-Mughiirah, dan sejumlah orang dari kalangan shahabat ‘Abdullah pernah keluar untuk safar. Tibalah hari Jum’at, namun mereka tidak shalat Jum’at. Dan tiba pula hari ‘Iedul-Fithri, namun mereka tidak shalat ‘Ied” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih].
حدثنا أبو الأحوص عن مغيرة عن إبراهيم قال كان أصحابنا يغزون فيقيمون السنة أو نحو ذلك يقصرون الصلاة ولا يجمعون
Telah menceritakan kepada kami Abul-Ahwash, dari Mughiirah, dari Ibraahiim : “Shahabat-shahabat kami pernah berperang selama kurang lebih setahun, dimana mereka menqashar shalat namun tidak melakukan shalat Jum’at” [idem, sanadnya shahih].
عن معمر عن بن طاووس عن أبيه قال ليس على المسافر جمعة
Dari Ma’mar, dari Ibnu Thaawus, dari ayahnya, ia berkata : “Tidak ada kewajiban shalat Jum’at bagi musafir” [Diriwayatkan ‘Abdurrazzaq 3/172 no. 5197; sanadnya shahih].
Ijma’ ini adalah bagi musafir yang tidak singgah di satu negeri/daerah dan tidak terdengar adzan oleh mereka. 
Inilah tahqiq yang mesti kita perhatikan. Termasuk dalam memahami perkataan beberapa ulama, semisal perkataan Ibnu Qudaamah ‎rahimahullah berkata :
 وأما المسافر فأكثر أهل العلم يرون أنه لا جمعة عليه كذلك قاله مالك في أهل المدينة والثوري في العراق والشافعي وإسحاق وأبو ثور وروي ذلك عن عطاء وعمر بن عبد العزيز والحسن والشعبي وحكي عن الزهري والنخعي أنها تجب عليه لان الجماعة تجب عليه فالجمعة أولى ولنا أن النبي عليه الصلاة والسلام كان يسافر فلا يصلي الجمعة في سفره وكان في حجة الوداع بعرفة يوم الجمعة فصلى الظهر وجمع بينها ولم يصل جمعة والخلفاء الراشدون رضي الله عنهم كانوا يسافرون للحج وغيره فلم يصل أحد منهم الجمعة في سفره وكذلك غيرهم من أصحاب رسول الله صلى الله عليه وسلم ومن بعدهم
“Adapun musafir, kebanyakan ulama berpendapat tidak adanya kewajiban shalat Jum’at baginya. Begitulah yang dikatakan Maalik dari kalangan penduduk Madinah, Ats-Tsauriy dari kalangan penduduk ‘Iraaq, Asy-Syaafi’iy, Ishaaq, dan Abu Tsaur. Dan diriwayatkan hal tersebut dari ‘Athaa’, ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz, Al-Hasan, dan Asy-Sya’by.Dan dihikayatkan dari Az-Zuhriy dan An-Nakha’iy bahwasannya shalat Jum’at itu wajib bagi musafir karena shalat jama’ah itu wajib baginya sehingga qiyas aula-nya shalat Jum’at lebih pantas untuk diwajibkan. Adapun dalil kami adalah bahwasannya Nabi shallallaahu ‘alaihi wa salambiasa melakukan safar, namun beliau tidak melakukan halat Jum’at dalam safarnya itu. Dan ketika dalam haji wada’ di ‘Arafah pada hari Jum’at, beliau shalat Dhuhur dan menjamaknya, tanpa melakukan shalat Jum’at. Hal yang sama dengan Al-Khulafaaur-Raasyidiin radliyallaahu ‘anhum dimana mereka biasa bersafar untuk haji dan selainnya tanpa ada seorang pun dari mereka melakukan shalat Jum’at dalam safarnya. Begitu pula dengan shahabat-shahabat Rasulullahshallallaahu ‘alaihi wa sallam lainnya dan orang-orang setelah mereka....” [Al-Mughniy, 3/216].

Seandainya mereka menegakkan sendiri shalat Jum’at, maka shalatnya tidak sah menurut sebagian ulama, dan ia harus mengulangi dengan melakukan shalat Dhuhur.
Akan tetapi para ulama berbeda pendapat tentang musafir yang mendengar panggilan adzan dalam satu negeri/daerah yang ia lewati. 
At-Tirmidziy rahimahullah berkata :
واختلف أهل العلم على من تجب عليه الجمعة، فقال بعضهم: تجب الجمعة على من آواه الليل إلى منزله. وقال بعضهم: لا تجب الجمعة إلا على من سمع النداء، وهو قول الشافعي وأحمد وإسحاق.
سمعت أحمد بن الحسن يقول: كنا عند أحمد بن حنبل فذكروا على من تجب الجمعة، فلم يذكر أحمد فيه عن النبي صلى الله عليه وسلم شيئا: قال أحمد بن الحسن: فقلت لأحمد بن حنبل: فيه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم، قال أحمد بن حنبل: عن النبي صلى الله عليه وسلم؟ قلت: نعم.
حدثنا الحجاج بن نصير أخبرنا معارك بن عباد عن عبد الله بن سعيد المقبري عن أبيه عن أبي هريرة عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "الجمعة على من آواه الليل إلى أهله" فغضب علي أحمد، وقال: استغفر ربك استغفر ربك. وإنما فعل به أحمد بن حنبل هذا لأنه لم يعد هذا الحديث شيئا وضعفه لحال إسناد.
“Para ulama berbeda pendapat tentang orang yang diwajibkan padanya shalat Jum’at. Sebagian mereka berkata : ‘Shalat Jum’at diwajibkan bagi orang yang dapat bermalam dengan keluarganya’. Sebagian yang lain berkata : ‘Shalat Jum’at tidak diwajibkan kecuali bagi orang yang mendengar panggilan adzan’. Ia adalah pendapat Asy-Syaafi’iy, Ahmad, dan Ishaaq.
Aku mendengar Ahmad bin Al-Hasan berkata : ‘Kami pernah berada di sisi Ahmad bin Hanbal, lalu mereka membicarakan tentang siapa saja yang diwajibkan shalat Jum’at. Ahmad tidak menyebutkan satu pun hadits dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Ahmad bin Al-Hasan berkata : Aku berkata kepada Ahmad bin Hanbal : ‘Dalam permasalahan itu ada hadits dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam’. Lalu Ahmad bin Hanbal mengomentari : ‘Dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam ?’. Aku berkata : ‘Benar’. (Lalu Ahmad bin Al-Hasan menyebutkan hadits) : Telah menceritakan kepada kami Al-Hajjaaj bin Nushair : Telah mengkhabarkan kepada kami Mu’aarik bin ‘Abbaad, dari ‘Abdullah bin Sa’iid Al-Maqburiy, dari ayahnya, dari Abu Hurairah, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : ‘Shalat Jum’at diwajibkan bagi orang yang dapat bermalam dengan keluarganya’. Maka, Ahmad marah kepadaku, dan berkata : ‘Minta ampunlah kepada Rabbmu, minta ampunlah kepada Rabbmu’.
Ahmad bin Hanbal melakukan hal tersebut hanyalah karena ia tidak menganggap hadits ini sedikitpun dikarenakan kelemahan sanadnya” [lihat : Sunan At-Tirmidziy, 1/511-512].
Jumhur ulama berpendapat tidak wajib menghadiri shalat Jum’at. Alasannya adalah sebagaimana di atas.
حدثنا عبد الأعلى عن يونس عن الحسن أن أنس بن مالك أقام بنيسابور سنة أو سنتين فكان يصلي ركعتين ثم يسلم ولا يجمع
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’laa, dari Yuunus, dari Al-Hasan : Bahwasannya Anas bin Maalik pernah berada di Naisaabuur selama setahun atau dua tahun. Ia shalat dua raka’at kemudian salam, tanpa mengerjakan shalat Jum’at [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih].
حدثنا عبد الأعلى عن يونس عن الحسن أن عبد الرحمن بن سمرة شتى بكابل شتوة أو شتوتين لا يجمع ويصلي ركعتين
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdul-A’la, dari Yuunus, dari Al-Hasan : Bahwasannya ‘Abdurrahman bin Samurah pernah berada di negeri Kaabul (Afghanistan) pada musim dingin selama semusim atau dua musim. Ia tidak melakukan shalat Jum’at, dan ia shalat dua raka’at” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih].
حدثنا زيد بن حباب قال ثنا رجاء بن أبي سلمة قال حدثني أبو عبيد مولى سليمان بن عبد الملك قال : خرج عمر بن عبد العزيز من دابق وهو يومئذ أمير المؤمنين فمر بحلب يوم الجمعة فقال لأميرها : جمع فإنا سفر
Telah menceritakan kepada kami Zaid bin Hubaab, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Rajaa’ bin Abi Salamah, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Abu ‘Ubaid maulaa Sulaimaan bin ‘Abdil-Malik, ia berkata : “’Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah keluar dalam safarnya dari Daabiq dimana saat itu ia menjabat sebagai Amiirul-Mukminiin. Ia melewati negeri Halab pada hari Jum’at, lalu ia berkata kepada amir negeri itu : “Shalat Jum’at lah, karena kami sedang safar (sehingga tidak shalat bersama kalian)” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/105; sanadnya shahih].

Di antara mereka (salaf) ada yang tetap mewajibkan menghadiri shalat Jum’at. Dalil mereka adalah keumuman ayat :
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, apabila diseru untuk menunaikan sembahyang pada hari Jumat, maka bersegeralah kamu kepada mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui” [QS. Al-Jum’ah : 6].
Ayat ini umum, tidak mengkhususkan bagi orang yang mukim saja.
عن معمر عن الزهري قال سألته عن المسافر يمر بقرية فينزل فيها يوم الجمعة قال إذا سمع الاذان فليشهد الجمعة
Dari Ma’mar, dari Az-Zuhriy, ia berkata : Aku (Ma’mar) pernah bertanya kepadanya tentang musafir yang melewati satu kampung/desa yang bertepatan dengan hari Jum’at, maka ia menjawab : “Apabila ia mendengar adzan, hendaklah ia menghadiri shalat Jum’at” [Diriwayatkan oleh ‘Abdurazzaaq 3/174 no. 5205; sanadnya shahih].
Catatan : Pendapat Az-Zuhriy ini juga dilatarbelakangi pengetahuannya bahwa para shahabat dan tabi’in ketika berada di Dzul-Hulaifah menghadiri shalat Jum’at.
حدثنا أبو خالد الأحمر عن عبد الله بن يزيد عن سعيد بن المسيب قال : سألته على من تجب الجمعة ؟ فقال : على من سمع النداء
Telah menceritakan kepada kami Abu Khaalid Al-Ahmar, dari ‘Abdullah bin Yaziid, dari Sa’iid bin Al-Musayyib, ia berkata : Aku (‘Abdullah bin Yaziid) pernah bertanya kepadanya tentang orang yang diwajibkan shalat Jum’at, lalu ia menjawab : “Wajib bagi siapa saja yang mendengar adzan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/102; sanadnya shahih].
حدثنا وكيع عن داود بن قيس الفراء قال : سمعت عمرو بن شعيب قيل له : يا أبا إبراهيم على من يجب الجمعة ؟ قال : على من سمع الصوت
Telah menceritakan kepada kami Wakii’, dari Daawud bin Qais Al-Farraa’, ia berkata : Aku pernah mendengar ‘Amru bin Qais, dikatakan kepadanya : “Wahai Abu Ibraahiim, siapa saja yang diwajibkan shalat Jum’at ?”. Ia berkata : “Diwajibkan bagi siapa saja yang mendengar suara adzan” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/104; sanadnya shahih].
Pendapat inilah yang nampak dikuatkan oleh Shiddiiq Hasan Khaan rahimahullah, dimana ia berkata :
والغالب أن المسافر لا يسمع النداء، وقد ورد أن الجمعة على من سمع النداء، كما في حديث ابن عمر عند أبي داود
“Dan ghalib-nya, musafir itu tidak mendengar adzan. Dan telah ada riwayat bahwasannya shalat Jum’at itu wajib bagi orang yang mendengar adzan, sebagaimana terdapat dalam hadits Ibnu ‘Umar sebagaimana diriwayatkan Abu Dawud” [Ar-Raudlatun-Nadiyyah, 1/362].
Riwayat Ibnu ‘Umar radliyallaahu ‘anhumaa dalam Sunan Abi Daawud yang dimaksudkan oleh Shiddiiq Hasan Khaan adalah :
حدثنا محمد بن يحيى بن فارس، ثنا قبيصة، ثنا سفيان، عن محمد بن سعيد يعني الطائفي عن أبي سلمة بن نبيه، عن عبد اللّه بن هارون، عن عبد اللّه بن عمرو، عن النبي صلى الله عليه وسلم قال: "الجمعة على كل من سمع النداء".
Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Yahyaa bin Faaris : Telah menceritakan kepada kami Qabiishah : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Muhammad bin Sa’iid Ath-Thaaifiy, dari Abu Salamah bin Nabiih, dari ‘Abdullah bin Haarun, dari ‘Abdulah bin ‘Amru, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Shalat Jum’at wajib bagi siapa saja yang mendengar adzan” [Diriwayatkan oleh Abu Daawud no. 1056; dihasankan oleh Al-Albaaniy dalam Irwaaul-Ghaliil 3/58-60 no. 594].
Yang raajih, shalat Jum’at wajib dihadiri oleh musafir jika ia mendengar seruan adzan, karena tidak ada dalil yang memalingkankannya dari keumumannya. Baik seruan adzan itu berasal dari perkotaan ataupun pedesaan.
حدثنا عبد الله بن إدريس عن شعبة عن عطاء بن أبي ميمونة عن أبي رافع عن أبي هريرة أنهم كتبوا إلى عمر يسألونه عن الجمعة فكتب جمعوا حيث كنتم
Telah menceritakan kepada kami ‘Abdullah bin Idriis, dari Syu’bah, dari ‘Athaa’ bin Abi Maimuun, dari Abu Raafi’, dari Abu Hurairah : Bahwasannya para shahabat menulis surat kepada ‘Umar (bin Al-Khaththaab) bertanya kepadanya tentang shalat Jum’at. Lalu ‘Umar menulis balasan : “Shalat Jum’atlah dimana saja kalian berada” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/101; sanadnya shahih].
Adapun pendalilan bahwa Rasulullah shallallaahu 'alaihi wa sallam tidak pernah menegakkan shalat Jum'at dalam safarnya, maka itu dikarenakan jama'ah adalah bersama beliau shallallaahu 'alaihi wa sallam. Tidak ada seruan adzan yang berkumandang kecuali seruan adzan yang dikumandangkan  oleh para shahabat yang bersama beliau. Seandainya dikatakan musafir tetap tidak diwajibkan menghadiri shalat Jum’at (jika ia mendengar panggilan adzan di suatu daerah/negeri yang ia lewati/singgahi), maka itu tidak menafikkan disyari’atkannya menghadiri shalat Jum’at bagi musafir dan ke-afdlal-annya. Itulah yang dilakukan oleh sebagian shahabat.

Kapan Musafir Tidak Wajib Melaksanakan Shalat Jum'at

Musafir tidak lagi wajib melaksanakan shalat jum'at semenjak dia keluar dari negerinya sampai ia kembali lagi. Dia tidak wajib melaksanakan Jum'atan ketika di tengah perjalanannya, ketika sampai di tempat tujuannnya yang tidak diniatkan untuk bermukim di sana hingga dia kembali ke rumahnya.

Jika dia sendirian, di tidak wajib untuk mendirikan jum'atan sendirian. Dan jika tetap mendirikan dan melaksanakan Jum'atan dengan sendirian, menurut pendapat empat madzhab, shalat Jum'atnya tidak sah dan dia wajib melaksanakan shalat dhuhur.

Dia juga tidak wajib ikut berjum'atan dengan penduduk negeri yang dilaluinya. Namun, jika dia bergabung dengan jama'ah suatu masjid di suatu negeri/daerah, maka sudah mencukupinya. Artinya dia tidak lagi berkewajiban melaksanakan shalat Dhuhur.

Sesungguhnya musafir memiliki keringanan yang tidak dimiliki kelompok lain. Jika dia sampai di suatu negeri lalu mendengar adzan, baik untuk shalat jama'ah atau jum'at, sedangkan dia merasa berat untuk mendatanginya, atau ingin beristirahat karena ngantuk, atau ada kesibukan, maka dia memiliki udzur (alasan) untuk tidak mendatangi panggilan adzan tersebut yang tidak dimiliki oleh orang yang muqim, walau dia buta.

Apabila Berniat Tinggal Sampai Beberapa Pekan

DR. Sa'id bin Ali bin Wahf al-Qahthani dalam kitabnya Shalah al-Mukmin (diterjemahkan: Ensiklopedi Shalat menurut Al-Qur'an dan as-Sunnah) menjelaskan, "Jika seorang musafir mengumpulkan waktu masa tinggalnya sehingga melarangnya melakukan qashar shalat, dan juga dia tidak disebut sebagai penduduk tetap suatu negeri, seperti penuntut ilmu atau pedagang yang bermukim untuk menjual barang dagangannya atau membeli sesuatu yang tidak bisa dilakukan kecuali dalam waktu yang cukup lama, maka terdapat dua pendapat menurut Madzhab Hambali:

Pertama, dia harus menunaikan shalat Jum'at berdasarkan keumuman ayat Al-Qur'an dan dalil-dalil berita yang mewajibkan shalat Jum'at kecuali kepada lima golongan: orang sakit, musafir, wanita, anak kecil, dan hamba sahaya. Musafir yang bermukim selama waktu yang melarang dirinya mengqashar shalat tidak termasuk lima golongan di atas.

Kedua, dia tidak wajib menunaikan shalat Jum'at, karena dia bukan penduduk yang menetap. Sedangkan tinggal menetap menjadi salah satu syarat wajib shalat Jum'at. Selain itu, karena dia tidak berniat bermukim di negeri itu untuk selamanya sehingga dia serupa dengan penduduk badui yang menempati suatu kampung selama musim kemarau dan berpindah pada waktu musim hujan. (Lihat Al-Mughni, Ibnu Qudamah: III/218)"

Kemudian DR. Sa'id al Qahthani merinci tentang shalat Jum'atnya musafir yang bermukim dalam rentang waktu yang menghalangi dirinya untuk mengqashar shalat dan juga tidak berniat bermukim dengan dua kesimpulan yang dikuatkannya:

1. Jika para musafir bermukim selama waktu yang melarangnya mengqashar shalat di tempat yang tidak dilaksanakan shalat Jum'at, maka mereka tidak wajib menunaikan shalat Jum'at. Sebabnya, karena mereka seperti musafir dan penduduk badui. Sedangkan shalat Jum'at hanya diwajibkan bagi orang yang tinggal menetap.

2. Jika mereka bermukim di suatu tempat yang didirikan shalat Jum'at oleh penduduk setempat, maka disyariatkan baginya untuk mengerjakan shalat Jum'at bersama mereka. Di dalam kitab Al-Inshaf, Imam al-Mawardi menrajihkannya seraya berkata, "Madzhab yang benar adalah bahwa shalat Jum'at itu wajib dia kerjakan bersama orang lain." (Al-Inshaf fi Ma'rifah al-Raajih min al-Khilaf: V/170) Demikian pula yang difatwakan Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baaz di dalam Majmu' Fatawanya: XII/376-377)

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...