Sabtu, 28 November 2020

Penjelasan Tentang Masalah Perpecahan Umat


Perpecahan di dalam tubuh umat Islam adalah sesuatu yang tidak terhindarkan, tetapi yang perlu diingat adalah, orang sering kali tidak tahu sebab-sebab terjadinya perpecahan. Di kalangan umat Islam sekarang ini terkadang terjadi perpecahan dalam hal-hal yang sebenarnya tidak boleh terjadi. Kita sering berpendapat, bahwa menghidari perpecahan dan membendung bahayanya sebelum hal itu terjadi jauh lebih baik daripada pengobatan setelah terjadi. Memang pendapat ini merupakan ijma’ yang disepakati. Namun sebaiknya kita mengerti bahwa menjaga dari perpecahan caranya adalah dengan jalan menghindari penyebabnya. Ada beberapa masalah lain yang bisa menjadi faktor terhindarnya perpecahan, yaitu dalam bentuk umum maupun khusus. Sebab-sebab umunya adalah: Berpegang  teguh pada Kitabullah dan Sunnah Rasulullah saw.
              
Dengan memahami petunjuk Nabi saw dan berpegang teguh kepadanya, insya Allah akan mendapat petunjuk dan mengetahui agamanya. Oleh karena itu akan terjauhkan dari perpecahan dan pertentangan yang menuju pada perpecahan atau terjerumus ke dalamnya tanpa disadari. Sementara sebab khusus yang dapat menjaga dari perpecahan adalah megikuti jalan Salafush Shalih,yaitu sahabat, tabi’in, dan imam agama dari kalangan Ahlu Sunnah wal Jama’ah.‎
Perpecahan politik dan aliran pemikiran antara kaum muslimin terjadi karena perbedaan tentang masalah khilafah, hal ini dimulai setelah wafatnya Ali Bin Abi Thalib yang telah mengakibatkan barisan kaum muslimin terpecah menjadi tiga kelompok:
1.      Syiah, yaitu orang yang sangat fanatik dengan Ali bin Abi Thalib. Mereka menganggap khilafah hanya untuk Ali dan keturunannya sehingga urusan khilafah menurut mereka sama dengan warisan dari Nabi saw dan bukan dengan cara baiat.
2.      Khawarij, yaitu orang yang kecewa dengan adanya proses tahkim (perdamaian)pada zaman khalifah Muawiyah lalu mereka mengkafirkan Ali dan Muawiyah, dan mayoritas mereka berpendapat wajib melantik seorang khalifah taat agama, adil mutlak, tegas dan keras, dan tidak harus dari suku Quraisy atau keturunan Arab.
3.      Jumhur kaum muslimin (Ahlu Sunnah wal jama’ah), yaitu kaum moderat yang memiliki sifat adil dan tidak radikal. Mereka berpendapat bahwa khalifah harus dari suku Quraisy, namun mereka dipilih oleh kaum muslimin dengan cara bai’at. Perbedaan politik ini telah memberikan pengaruh yan besar terhadap perjalanan aliran fiqh yang berkembang pada zaman berikutnya.
            
Pembincangan mengenai perpecahan umat itu juga bermula dari hadis Nabi Muhammad saw tentang terjadinya perpecahan di tengah umat ini, di antaranya adalah hadis iftiraq:

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ ، قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : افْتَرَقَتِ الْيَهُودُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً ، وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِينَ فِرْقَةً.

"Dari Abu Hurairah ia berkata: Rasulullah saw telah bersabda: Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan."
            
Hadis megenai perpecahan umat tersebut merupakan hadis yang populer dan masyhur karena banyak yang meriwayatkan, namun yang menarik dari hadis di atas adalah karena hadis tersebut tidak diriwayatkan oleh al-Bukhari dan Muslim dalam kitab shohihainnya. Di dalam hadis tersebut juga terdapat masalah, yaitu masalah penilaian perpecahan umat menjadi lebih banyak dari perpecahan Yahudi dan Nasrani dari satu segi, dan bahwa firqah-firqah ini seluruhnya binasa dan masuk neraka kecuali hanya satu saja. Ini akan membuka pintu bagi klaim-klaim setiap firqh bahwa dialah firqah yang benar, sementara yang lain binasa. Hal ini tentunya akan memecah belah umat, mendorong mereka untuk saling cela satu sama lain, sehinnga akan melemahkan umat secara keseluruhan dan memperkuat musuhnya. Oleh karena itu, Ibnu Waziir mencurigai hadits ini secara umum terutama pada tambahannya itu. Karena, hal itu akan membuat kepada penyesatan umat satu sama lain, bahkan membuat mereka saling mengkafirkan.
            
Berdasarkan hal tersebut, maka penelitian untuk memahami secara mendalam terhadap hadis tersebut sangat diperlukan untuk menghindari kesalah pahaman di antara umat Islam. Salah satu sebab perbedaan pendapat yang akhirnya berujung kepada perpecahan itu adalah karena tidak mampu memahami permasalahan secara menyeluruh, yang satu memahaminya melalui satu sisi dan yang lain melalui sisi yang lain pula, demikian juga orang yang ketiga memahaminya dari sisi selain yang dipahami oleh orang pertama dan kedua.
            
Ahli hikmah mengatakan: “Sesungguhnya kebenaran tidak akan dicapai oleh manusia dalam semua aspeknya dan mereka juga tidak akan salam dalam segala bentuknya, tetapi sebagian mereka mencapai sebagian kebenaran dan yang lain mencapai aspek kebenaran yang lain.”Mereka mengumpamakan hal itu dengan sekelompok orang buta yang memegang seekor gajah besar. Setiap orang akan mensifatinya (gajah) seperti bagian yang dipegang dan terlintas dalam fikiran masing-masing. Bagi orang yang memegang kaki gajah ia akan mengatakan bahwa gajah adalah hewan yang bentuknya seperti pohon kurma yang tinggi dan bulat. Dan orang yang memegang punggung gajah mengatakan bahwa gajah itu bentuknya seperti bukit yang tinggi atau tanah yang menggunung. Begitulah masing-masing memberikan ciri-ciri gajah dengan apa yang mereka sentuh. Dalam satu segi ia benar, tapi jika ia mengklaim yang lain berbohong dan tidak benar, maka ia telah melakukan kesalahan.
              
Sesungguhnya berbeda dengan orang lain bukanlah suatu kesalahan, apalagi kejahatan, namun sebaliknya sangat diperlukan. Tentunya, berbeda dengan pengertian ini bukan asal berbeda atau (waton sulaya). Perbedaan harus dipandang sebagai suatu realitas sosial yang fundamental, yang harus dihargai dan dijamin pertumbuhannya oleh masyarakat itu sendiri. ‎Kaitannya dengan penjelasan ini, al-Qur’an surah al-Hujurat ayat 13 menegaskan:

يَا أَيُّهَا النَّاسُ إِنَّا خَلَقْنَاكُمْ مِنْ ذَكَرٍ وَأُنْثَى وَجَعَلْنَاكُمْ شُعُوبًا وَقَبَائِلَ لِتَعَارَفُوا إِنَّ أَكْرَمَكُمْ عِنْد اللَّهِ أَتْقَاكُمْ إِنَّ اللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٌ.

"Hai sekalian manusia, sesungguhnya kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan kami jadikan kau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah yang lebih taqwa di antara kamu." (QS Al-Hujurot Ayat 13)
              
Ayat al-Qur’an ini sesungguhnya mengajarkan kepada manusia untuk saling mengerti dan memahami. Itu artinya, karena Allah swt sengaja menciptakan perbedaan di antara umat manusia, maka manusia diperintahkan untuk saling menjaga situasi fisik dan batin sesamanya agar tak terlukai dan melukai satu sama lain oleh sebab perbedaan yang ada. Pada akhirnya, tinggi rendahnya manusia dihadapan Tuhan tidak ditentukan oleh fakta perbedaan yang melekat pada dirinya, tetapi oleh kadar ketaqwaannya. Itulah sesungguhnya prestasi gemilang manusia di hadapan sesama dan Tuhannya. Kata iman dan taqwa merupakan suatu prestasi tersendiri bagi manusia. Seakan Tuhan berkata, “Hai manusia, kalian semua sama di hadapanku, kecuali prestasimu”. Prestasi di sini adalah prestasi sosial dan prestasi spiritual di hadapannya.
            
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa sumber ajaran Islam adalah al-Qur’an dan hadis. Keduanya memiliki peranan yang penting dalam kehidupan umat Islam. Walaupun terdapat perbedaan pendapat dari segi penafsiran dan aplikasi, namun setidaknya ulama sepakat bahwa keduanya dijadikan rujukan. Ajaran Islam mengambil dan menjadikan pedoman utamanya dari keduanya. Oleh karena itu, kajian- kajian terhadapnya tak akan pernah keruh bahkan terus berjalan dan berkembang seiring dengan kebutuhan umat islam. Melalui terobosan-terobosan baru, kajian ini akan terus mewarnai khasanah perkembangan studi keislaman dalam pentas sejarah umat Islam.
            
Dalam sejarah dan bahkan saat ini, ada sekelompok kecil orang-orang yang mengaku diri mereka sebagai orang Islam, tetapi mereka menolak hadis atau sunnah Nabi saw. Mereka dikenal sebagai orang-orang yang berfaham inkarus-sunnah. Cukup banyak alasan mereka menolak hadis Nabi saw sebagai sumber ajaran Islam. Dengan meyakini bahwa hadis Nabi merupakan bagian dari sumber  ajaran Islam, maka penelitian hadis khususnya hadis ahad sangat penting. Penelitian itu dilakukan untuk menghindarkan diri dari pemakaian dalil-dalil hadis yang tidak dapat dipertanggung jawabkan sebagai sesuatu yang berasal dari Rasulullah saw. Sekiranya hadis Nabi hanya berstatus sebagai data sejarah belaka, niscaya penelitian hadis tidaklah begitu penting. Hal ini tampak jelas pada sikap ulama ahli kritik hadis dalam berbagai kitab sejarah yang termuat dalam kitab-kitab sejarah (siratun-Nabi). Kritik yang diajukan ulama hadis terhadap apa yang termuat dalam berbagai kitab-kitab sejarah tidaklah seketat kritik yang mereka ajukan kepada berbagai hadis yang termuat dala kitab-kitab hadis, khususnya yang berkaitan erat dengan pokok-pokok ajaran Islam.
            
Agak sulit kita bayangkan, jika tanpa “campur tangan: Hadis, al-Qur’an, khususnya yang berkaitan dengan masalah-masalah hukum dapat dipahami dan diaktualisasikan dalam amaliah praktis kaum muslimin. Karena itulah Hadis mejadi sumber utama bagi kaum Muslimin setelah al-Qur’an, sebagai juklak hukum dan ajaran-ajaran yang terdapat dalam al-Qur’an. Oleh Karena itu pula kiranya perhatian yang diberikan umat Islam begitu besar terhadap hadis sejalan dengan perhatian mereka terhadap al-Qur’an.
            
Perbedaan dan perpecahan tentu tidak bisa kita hindari  karena berbagai sebab, akan tetapi jangan sampai perbedaan tersebut memicu untuk saling merendahkan satu sama lain dan hanya menganggap kelompoknya yang paling benar dan menyalahkan kelompok lain atau bahkan mengkafirkannya. Oleh karena itu, sangat diperlukan perhatian kita mengenai hal ini untuk mengetahui bagaimana solusinya dan salah satu solusinya adalah dengan meneliti hadits tentang perpecahan ummat Islam menjadi 73 golongan mulai dari sanad, matan, dan pendapat ulama mengenai hadis tersebut. Dari penelitian hadis tersebut, maka kita akan mengetahui kehujjahan hadis terpecahnya umat Rasulullah menjadi 73 golongan dan tidak memahaminya secara parsial atau setengah setengah.

JUMLAH HADITS TENTANG TERPECAHNYA UMMAT ISLAM
 
Apabila kita kumpulkan hadits-hadits tentang terpecahnya ummat menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan dan satu golongan yang masuk Surga, lebih kurang ada lima belas hadits yang diriwayatkan oleh lebih dari sepuluh Imam Ahli Hadits dari 14 (empat belas) orang Shahabat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Yaitu:

1. Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu.
2. Mu’awiyah bin Abi Sufyan radhiyallahu ‘anhu.
3. ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash radhiyallahu ‘anhuma.
4. ‘Auf bin Malik radhiyallahu ‘anhu.
5. Abu Umamah al-Bahili radhiyallahu ‘anhu.
6. ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.
7. Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma.
8. Sa’ad bin Abi Waqqash radhiyallahu ‘anhu.
9. Abu Darda’ radhiyallahu ‘anhu.
10 Watsilah bin Asqa’ radhiyallahu ‘anhu.
11. ‘Amr bin ‘Auf al-Muzani radhiyallahu ‘anhu.
12. Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu.
13. Abu Musa al-Asy’ari radhiyallahu ‘anhu.
14. Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu.

Sebagian dari hadits-hadits tersebut adalah sebagai berikut:

HADITS PERTAMA: ‎

Hadits Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتِ النَّصَارَى عَلَى إِحْدَى أَوْ ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً.

Dari Abu Hurairah Radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam telah bersabda, ‘Kaum Yahudi telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) golongan atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan kaum Nasrani telah terpecah menjadi tujuh puluh satu (71) atau tujuh puluh dua (72) golongan, dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga (73) golongan. 

Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Abu Dawud, Kitab as-Sunnah, I-Bab Syarhus Sunnah no. 4596, dan lafazh hadits di atas adalah lafazh Abu Dawud.
2. At-Tirmidzi, Kitabul Iman, 18-Bab Maa Jaa-a fiftiraaqi Haadzihil Ummah, no. 2778 dan ia berkata: “Hadits ini hasan shahih.” (Lihat kitab Tuhfatul Ahwadzi VII/397-398.)
3. Ibnu Majah, 36-Kitabul Fitan, 17-Bab Iftiraaqil Umam, no. 3991.
4. Imam Ahmad, dalam kitab Musnad II/332, tanpa me-nyebutkan kata “Nashara.”
5. Al-Hakim, dalam kitabnya al-Mustadrak, Kitabul Iman I/6, dan ia berkata: “Hadits ini banyak sanadnya, dan berbicara tentang masalah pokok agama.”
6. Ibnu Hibban, sebagaimana yang disebutkan dalam kitab Mawaariduzh Zhamaan, 31-Kitabul Fitan, 4-Bab Iftiraqil Ummah, hal. 454, no. 1834. 
7. Abu Ya’la al-Maushiliy, dalam kitabnya al-Musnad: Musnad Abu Hurairah, no. 5884 (cet. Daarul Kutub Ilmiyyah, Beirut). 
8. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam kitabnya as-Sunnah, 19-Bab Fii ma Akhbara bihin Nabiyyu -Shallallaahu ‘alaihi wa sallam- anna Ummatahu Sataftariqu, I/33, no. 66.
9. Ibnu Baththah, dalam kitab Ibanatul Kubra: Bab Dzikri Iftiraaqil Umam fii Diiniha, wa ‘ala kam Taftariqul Ummah? I/374-375 no. 273 tahqiq Ridha Na’san Mu’thi. 
10. Al-Ajurri, dalam kitab asy-Syari’ah: Bab Dzikri Iftiraqil Umam fii Diinihi, I/306 no. 22, tahqiq Dr. ‘Abdullah bin ‘Umar bin Sulaiman ad-Damiiji. 

Perawi Hadits:
a. Muhammad bin ‘Amr bin ‘Alqamah bin Waqqash al-Allaitsiy.
• Imam Abu Hatim berkata: “Ia baik haditsnya, ditulis haditsnya dan dia adalah seorang Syaikh (guru).”
• Imam an-Nasa-i berkata: “Ia tidak apa-apa (yakni boleh dipakai), dan ia pernah berkata bahwa Muhammad bin ‘Amir adalah seorang perawi yang tsiqah.”
• Imam adz-Dzahabi berkata: “Ia adalah seorang Syaikh yang terkenal dan hasan haditsnya.”
• Al-Hafizh Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Ia se-orang perawi yang benar, hanya padanya ada beberapa kesalahan.” 
(Lihat al-Jarhu wat Ta’dilu VIII/30-31, Mizaanul I’tidal III/ 673 no. 8015, Tahdzibut Tahdzib IX/333-334, Taqribut Tahdzib II/119 no. 6208.) 
b. Abu Salamah, yakni ‘Abdurrahman bin ‘Auf: Beliau adalah seorang perawi yang tsiqah, Abu Zur’ah ber-kata: “Ia seorang perawi yang tsiqah.”
(Lihat Tahdzibut Tahdzib XII/115, Taqribut Tahdzib II/409 no. 8177.)

Derajat Hadits
Hadits di atas derajatnya hasan, karena terdapat Muhammad bin ‘Amr, akan tetapi hadits ini menjadi shahih karena banyak syawahidnya.

Imam at-Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih.”

Imam al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih menurut syarat Muslim dan keduanya (yakni al-Bukhari dan Muslim) tidak meriwayatkannya.” Dan al-Hafizh adz-Dzahabi pun menyetujuinya. (Lihat al-Mustadrak Imam al-Hakim: Kitaabul ‘Ilmi I/128.)

Ibnu Hibban dan Imam asy-Syathibi telah menshahihkan hadits di atas dalam kitab al-I’tisham (II/189).

HADITS KEDUA: 
Hadits Mu’awiyah bin Abi Sufyan :

عَنْ أَبِيْ عَامِرٍ الْهَوْزَنِيِّ عَبْدِ اللهِ بْنِ لُحَيِّ عَنْ مُعَاوِيَةَ بْنِ أَبِيْ سُفْيَانَ أَنَّهُ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أَلاَ إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَامَ فِيْنَا فَقَالَ: أََلاَ إِنَّ مَنْ قَبْلَكُمْ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ اِفْتَرَقُوْا عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَإِنَّ هَذِهِ الْمِلَّةَ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ. ثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ .

Dari Abu ‘Amir al-Hauzaniy ‘Abdillah bin Luhai, dari Mu’awiyah bin Abi Sufyan, bahwasanya ia (Mu’awiyah) pernah berdiri di hadapan kami, lalu ia berkata: “Ketahuilah, sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berdiri di hadapan kami, kemudian beliau bersabda, “Ketahuilah sesungguhnya orang-orang sebelum kamu dari Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani) terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan dan sesungguhnya ummat ini akan berpecah belah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, (adapun) yang tujuh puluh dua akan masuk Neraka dan yang satu golongan akan masuk Surga, yaitu “al-Jama’ah.” 

Keterangan:
Hadits ini diriwayatkan oleh:
1. Abu Dawud, Kitabus Sunnah Bab Syarhus Sunnah no. 4597, dan lafazh hadits di atas adalah dari lafazh-nya.
2. Ad-Darimi, dalam kitab Sunan-nya (II/241) Bab fii Iftiraqi Hadzihil Ummah.
3. Imam Ahmad, dalam Musnad-nya (IV/102).
4. Al-Hakim, dalam kitab al-Mustadrak (I/128).
5. Al-Ajurri, dalam kitab asy-Syari’ah (I/314-315 no. 29).
6. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam Kitabus Sunnah, (I/7) no. 1-2.
7. Ibnu Baththah, dalam kitab al-Ibaanah ‘an Syari’atil Firqah an-Najiyah (I/371) no. 268, tahqiq Ridha Na’san Mu’thi, cet.II Darur Rayah 1415 H.
8. Al-Lalikaa-iy, dalam kitab Syarah Ushul I’tiqad Ahlus Sunah wal Jama’ah (I/113-114) no. 150, tahqiq Dr. Ahmad bin Sa’id bin Hamdan al-Ghaamidi, cet. Daar Thay-yibah th. 1418 H. 
9. Al-Ashbahani, dalam kitab al-Hujjah fii Bayanil Mahajjah pasal Fii Dzikril Ahwa’ al-Madzmumah al-Qismul Awwal I/107 no. 16.

Semua Ahli Hadits di atas telah meriwayatkan dari jalan:
Shafwan bin ‘Amr, ia berkata: “Telah menceritakan kepadaku Azhar bin ‘Abdillah al-Hauzani dari Abu ‘Amr ‘Abdullah bin Luhai dari Mu’awiyah.”

Perawi Hadits
a. Shafwan bin ‘Amr bin Haram as-Saksaki, ia telah di-katakan tsiqah oleh Imam al-‘Ijliy, Abu Hatim, an-Nasa-i, Ibnu Sa’ad, Ibnul Mubarak dan lain-lain.
b. Azhar bin ‘Abdillah al-Harazi, ia telah dikatakan tsiqah oleh al-‘Ijliy dan Ibnu Hibban. Al-Hafizh adz-Dzahabi berkata: “Ia adalah seorang Tabi’in dan haditsnya hasan.” Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata: “Ia shaduq (orang yang benar) dan ia dibicarakan tentang Nashb.” (Lihat Mizaanul I’tidal I/173, Taqribut Tahdzib I/75 no. 308, ats-Tsiqat hal. 59 karya Imam al-‘Ijly dan kitab ats-Tsiqat IV/38 karya Ibnu Hibban.)
c. Abu Amir al-Hauzani ialah Abu ‘Amir ‘Abdullah bin Luhai.
• Imam Abu Zur’ah dan ad-Daruquthni berkata: “Ia tidak apa-apa (yakni boleh dipakai).”
• Imam al-‘Ijliy dan Ibnu Hibban berkata: “Dia orang yang tsiqah.”
• Al-Hafizh adz-Dzahabi dan Ibnu Hajar al-‘Asqalani berkata: “Ia adalah seorang perawi yang tsiqah.” (Lihat al-Jarhu wat Ta’dilu V/145, Tahdzibut Tahdzib V/327, Taqribut Tahdzib I/444 dan kitab al-Kasyif II/109.)

Derajat Hadits
Derajat hadits di atas adalah hasan, karena ada seorang perawi yang bernama Azhar bin ‘Abdillah, akan tetapi hadits ini naik menjadi shahih dengan syawahidnya.

Al-Hakim berkata: “Sanad-sanad hadits (yang banyak) ini, harus dijadikan hujjah untuk menshahihkan hadits ini. dan al-Hafizh adz-Dzahabi pun menyetujuinya.” (Lihat al-Mustadrak I/128.)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Hadits ini shahih masyhur.”

HADITS KETIGA:‎

Hadits ‘Auf bin Malik Radhiyallahu 'anhu.

عَنْ عَوْفِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: اِفْتَرَقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَافْتَرَقَتِ النَّصَارَى عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً فَإِحْدَى وَسَبْعُوْنَ فِي النَّارِ وَوَاحِدَةٌ فِي الْجَنَّةِ وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَتَفْتَرِقَنَّ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَاحِدَةٌ فِيْ الْجَنَّةِ وَثِنْتَانِ وَسَبْعُوْنَ فِيْ النَّارِ، قِيْلَ: يَا رَسُوْلَ اللهِ مَنْ هُمْ؟ قَالَ: الْجَمَاعَةُ.

Dari ‘Auf bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Yahudi terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, satu (golongan) masuk Surga dan yang 70 (tujuh puluh) di Neraka. Dan Nasrani terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang 71 (tujuh puluh satu) golongan di Neraka dan yang satu di Surga. Dan demi Yang jiwa Muhammad berada di Tangan-Nya, ummatku benar-benar akan terpecah menjadi 73 (tujuh puluh tiga) golongan, yang satu di Surga, dan yang 72 (tujuh puluh dua) golongan di Neraka,’ Ditanyakan kepada beliau, ‘Siapakah mereka (satu golongan yang masuk Surga itu) wahai Rasulullah?’ Beliau menjawab, ‘Al-Jama’ah.’

Keterangan
Hadits ini telah diriwayatkan oleh:
1. Ibnu Majah, dalam kitab Sunan-nya Kitabul Fitan bab Iftiraaqil Umam no. 3992. 
2. Ibnu Abi ‘Ashim, dalam kitab as-Sunnah I/32 no. 63.
3. Al-Lalikaa-i, dalam kitab Syarah Ushul I’tiqaad Ahlis Sunah wal Jama’ah I/113 no. 149.

Semuanya telah meriwayatkan dari jalan ‘Amr, telah menceritakan kepada kami ‘Abbad bin Yusuf, telah menceritakan kepadaku Shafwan bin ‘Amr dari Rasyid bin Sa’ad dari ‘Auf bin Malik. 

Perawi Hadits:
a. ‘Amr bin ‘Utsman bin Sa’ad bin Katsir bin Dinar al-Himshi.
An-Nasa-i dan Ibnu Hibban berkata: “Ia merupakan seorang perawi yang tsiqah.”
b. ‘Abbad bin Yusuf al-Kindi al-Himsi. 
Ia dinyatakan tsiqah oleh Ibnu Hibban. Ibnu ‘Adiy berkata: “Ia meriwayatkan dari Shafwan dan lainnya hadits-hadits yang ia menyendiri dalam meriwayatkannya.”
Ibnu Hajar berkata: “Ia maqbul (yakni bisa diterima haditsnya bila ada mutabi’nya).” 
(Lihat Mizaanul I’tidal II/380, Tahdzibut Tahdzib V/96-97, Taqribut Tahdzib I/470 no. 3165.)
c. Shafwan bin ‘Amr: “Tsiqah.” (Taqribut Tahdzib I/439 no. 2949.)
d. Raasyid bin Sa’ad: “Tsiqah.” (Tahdzibut Tahdzib III/195, Taqribut Tahdzib I/289 no. 1859.)
Derajat Hadits
Derajat hadits ini hasan, karena ada ‘Abbad bin Yusuf, tetapi hadits ini menjadi shahih dengan beberapa syawahidnya.‎

HADITS KEEMPAT: 
Hadits tentang terpecahnya ummat menjadi 73 golongan diriwayatkan juga oleh Anas bin Malik dengan mempunyai 8 (delapan) jalan (sanad) di antaranya dari jalan Qatadah diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 3993:

Lafazh-nya adalah sebagai berikut:

عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ اِفْتَرَقَتْ عَلَى إِحْدَى وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً وَإِنَّ أُمَّتِيْ سَتَفْتَرِقُ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً كُلُّهَا فِي النَّارِ إِلاَّ وَاحِدَةً؛ وَهِيَ الْجَمَاعَةُ 

Dari Anas bin Malik, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sesungguhnya Bani Israil terpecah menjadi 71 (tujuh puluh satu) golongan, dan sesungguhnya ummatku akan terpecah menjadi 72 (tujuh puluh dua) golongan, yang semuanya berada di Neraka, kecuali satu golongan, yakni “al-Jama’ah.”

Imam al-Bushiriy berkata, “Sanadnya shahih dan para perawinya tsiqah.

Hadits Kelima;‎

Imam at-Tirmidzi meriwayatkan dalam Kitabul Iman, bab Maa Jaa-a Fiftiraaqi Haadzihil Ummah no. 2641 dari Shahabat ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-‘Ash dan Imam al-Laalika-i juga meriwayatkan dalam kitabnya Syarah Ushuli I’tiqad Ahlis Sunnah wal Jama’ah (I/111-112 no. 147) dari Shahabat dan dari jalan yang sama, dengan ada tambahan pertanyaan, yaitu: “Siapakah golongan yang selamat itu?” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: 

مَاأَنَا عَلَيْهِ وَ أَصْحَابِيْ

“Ialah golongan yang mengikuti jejakku dan jejak para Shahabatku.”

Lafazh-nya secara lengkap adalah sebagai berikut:

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرٍو قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: لَيَأْتِيَنَّ عَلَى أُمَّتِيْ مَا أَتَى عَلَى بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ حَذْوَ النَّعْلِ بِالنَّعْلِ حَتَّى إِنْ كَانَ مِنْهُمْ مَنْ أَتَى أُمَّهُ عَلاَنِيَةً لَكَانَ فِيْ أُمَّتِيْ مَنْ يَصْنَعُ ذَلِكَ وَإِنَّ بَنِيْ إِسْرَائِيْلَ تَفَرَّقَتْ عَلَى ثِنْتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً وَتَفْتَرِقُ أُمَّتِيْ عَلَى ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ مِلَّةً كُلُّهُمْ فِي النَّارِ إِلاَّ مِلَّةً وَاحِدَةً، قَالُوْا: وَمَنْ هِيَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قَالَ: مَا أَنَا عَلَيْهِ وَأَصْحَابِيْ.

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr, ia berkata: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Sungguh akan terjadi pada ummatku, apa yang telah terjadi pada ummat bani Israil sedikit demi sedikit, sehingga jika ada di antara mereka (Bani Israil) yang menyetubuhi ibunya secara terang-terangan, maka niscaya akan ada pada ummatku yang mengerjakan itu. Dan sesungguhnya bani Israil berpecah menjadi tujuh puluh dua millah, semuanya di Neraka kecuali satu millah saja dan ummatku akan terpecah menjadi tujuh puluh tiga millah, yang semuanya di Neraka kecuali satu millah.’ (para Shahabat) bertanya, ‘Siapa mereka wahai Rasulullah?’ Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab, ‘Apa yang aku dan para Shahabatku berada di atasnya.’”
(Diriwayatkan oleh at-Tirmidzi no. 2641, dan ia berkata: “Ini merupakan hadits penjelas yang gharib, kami tidak mengetahuinya seperti ini, kecuali dari jalan ini.”)

Perawi Hadits
Dalam sanad hadits ini ada seorang perawi yang lemah, yaitu ‘Abdur Rahman bin Ziyad bin An’um al-Ifriqiy. Ia dilemahkan oleh Yahya bin Ma’in, Imam Ahmad, an-Nasa-i dan selain mereka. Ibnu Hajar al-Asqalani berkata: “Ia lemah hafalannya.” 
(Tahdzibut Tahdzib VI/157-160, Taqribut Tahdzib I/569 no. 3876.)

Derajat Hadits
Imam at-Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini hasan, karena banyak syawahid-nya. Bukan beliau menguatkan perawi di atas, karena dalam bab Adzan beliau melemahkan perawi ini.

Adanya selisih penyebutan angka dalam nash-nash shahih di atas, selain tidak bisa diketahui mana yang rojih dan mana yang marjuh, selain juga menyambung pembahasan point ke-dua (tidak memungkinkannya membatasi perpecahan yang terus bermunculan dari waktu ke waktu sehingga tidak bisa secara pasti menentukan 72 golongan itu siapa saja), maka penyebutan bilangan pada nash hadits tersebut bukan dalam rangka membatasi perpecahan yang akan terjadi.

Kasus semcam ini juga ada dalam Al-qur’an, yaitu surat At-taubah ayat 80, disebutkan:

اسْتَغْفِرْ لَهُمْ أَوْ لَا تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ إِنْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ سَبْعِينَ مَرَّةً فَلَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ ذَلِكَ بِأَنَّهُمْ كَفَرُوا بِاللَّهِ وَرَسُولِهِ وَاللَّهُ لَا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Kamu memohonkan ampun bagi mereka atau tidak kamu mohonkan ampun bagi mereka (adalah sama saja). Kendatipun kamu memohonkan ampun bagi mereka tujuh puluh kali, Namun Allah sekali-kali tidak akan memberi ampunan kepada mereka. yang demikian itu adalah karena mereka kafir kepada Allah dan Rasul-Nya. dan Allah tidak memberi petunjuk kepada kaum yang fasik. (QS. At-Taubah [9]: 80)

Penyebutan bilangan 70 dalam ayat tersebut bukan berarti pembatasan, dengan artian jika saja Rasulullah saw memintakan ampun bagi orang kafir yang sudah meninggal dengan jumlah lebih dari 70 kali, maka akan diterima oleh Allah swt dan si kafir akan diampuni.

Mempertegas hal itu, dalam shahih Bukhori (pada peristiwa matinya Abdullah bin Ubai bin Salul al-munafiq) Rasulullah saw bersabda:

لَوْ أَعْلَمُ أَنِّي إِنْ زِدْتُ عَلَى السَّبْعِينَ يُغْفَرْ لَهُ لَزِدْتُ عَلَيْهَا

Jika aku tahu bahwa apabila aku tambah (istighfar) melebihi 70 kali (itu bermanfaat), niscaya sudah aku tambahkan atasnya. (HR. Bukhori)

Imam Ibn Katsir memberikan keterangan dalam kitab tafsirnya:

إن السبعين إنما ذكرت حسما لمادة الاستغفار لهم؛ لأن العرب في أساليب كلامها تذكر السبعين في مبالغة كلامها، ولا تريد التحديد بها، ولا أن يكون ما زاد عليها بخلافها.

Sesungguhnya bilangan 70 itu disebutkan semata-mata untuk memotong (kebolehan) memintakan ampunan untuk mereka, karena orang Arab dalam gaya bicaranya menyebutkan bilangan 70 untuk tujuan mubalaghoh (penekanan) dari pembicaraan mereka, dan bukan dimaksudkan pembatasan, sehingga tidak berarti jika lebih dari itu maka yang berlaku sebliknya. (Tafsir Ibn Katsir: 4/188) 

Dan dalam ayat lain dikatakan:

سَوَاءٌ عَلَيْهِمْ أَسْتَغْفَرْتَ لَهُمْ أَمْ لَمْ تَسْتَغْفِرْ لَهُمْ لَنْ يَغْفِرَ اللَّهُ لَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لا يَهْدِي الْقَوْمَ الْفَاسِقِينَ

Sama saja bagi mereka, kamu mintakan ampunan atau tidak kamu mintakan ampunan bagi mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. Al-Munafiqun [63]: 6)

Jadi penyebutan 70 disitu bukan sebagai pembatasan, melainkan sebagai mubalaghoh dalam memperbanyak istighfar, yang artinya tidak lain adalah meskipun Rasulullah memintakan ampunan lebih dari 70 kali, bahkan ribuan atau jutaan kali, tetap Allah swt tidak akan mengampuni orang yang mati dalam keadaan kafir.

Demikian pula penyebutan angka pada hadits terpecahnya umat Islam menjadi 70 golongan lebih, bukan dalam rangka membatasi melainkan sebagai mubalaghoh atas banyaknya perpecahan yang telah terjadi pada umat Yahudi dan Nashrani, dan yang akan terjadi pada umat Islam.

Adapun selisih antara perpecahan yang terjadi pada umat Yahudi, Nashrani dan Islam, semata-mata menunjukkan bahwa perpecahan di tubuh umat Islam akan lebih banyak dari perpecahan yang telah terjadi di antara para ahli kitab, urutan terbanyak kedua Nasrani dan yang terakhir Yahudi.

Perpecahan yang pernah Terjadi 

Berdasarkan beberapa hadist yang saling menguatkan dengan pertimbangan ini, sudah selayaknya kalau kita meyakini bahwa Hadits tersebut memang shahih, sehingga dapat dijadikan pedoman.
Sebagian Ulama memang menpertanyakan kesahihan hadis tersebut. Namun mengingat banyaknya riwayat, para ulama menetapkan sahihnya hadis tersebut. Kemudian dalam hadis lain, Nabi telah menyebutkan secara eksplisit, golongan-golongan yang sesat, seperti kelompok qadariyah yang primitif.

Pada awalnya golongan yang sesat tersebut terdiri dari 6 kelompok kemudian dari 6 kelompok masing - masing terbagi dan berkembang menjadi 12 golongan sehingga menjadi 72 golongan yang sesat....6 kelompok tersebut adalah : 1. Al Haruriyah....2. Al Qadariyah....3. Al Jahmiyah....4. Al Murji'ah....5. Ar Rafidhah....6. Al Jabariyah.


I. Kelompok Al Haruriyah terbagi menjadi 12 golongan dan ciri - ciri mereka :


1. Al Azraqiyah : Mereka berkata bahwa kami tidak mengenal seorangpun yang kami anggap sebagai orang mukmin. Mereka mengkafirkan semua orang mukmin kecuali orang yang mau menerima ucapan ( pendapat ) mereka.
2. Al Abadhiyah : Mereka berkatasiapa yang menerima pendapat kami maka dia beriman sedangkan yang berpaling dan mengingkari pendapat kami adalah munafiq.‎

3. Ats Tsa'labiyah : Mereka berkata bahwa sesungguhnya Allah tidak menetapkan dan juga tidak tidak mentakdirkan segala sesuatu.
4. Al Khazimiyah : Mereka berkata bahwa kami tidak mengenal apa itu iman dan akhlaq. Semua orang kami anggap salah.
5. Al Khalfiyah : Mereka menganggap bahwa orang yang tidak melakukan jihad baik laki - laki maupun perempuan berarti dia telah kafir.
6. Al Kuziayah : Mereka berkata bahwa seseorang tidak boleh menyentuh orang lain karena dia tidak tahu apakah orang lain itu suci atau najis.‎

7. Al Kanziyah : Mereka berkata bahwa seseorang hendaknya tidak memberikan hartanya kepada orang lain karena bisa jadi orang itu sebenarnya tidak berhak. Akan tetapi hendaknya hartanya disimpan ditimbun di dalam tanah hingga ditemukan oleh orang yang benar dan berhak memilikinya.‎

8. Asy Syamrakhiyah : Mereka berkata bahwa tidak masalah jika menyentuh wanita walaupun bukan mahram karena mereka baunya wangi.
9. Al Akhnasiyah : Mereka berkata bahwa orang yang meninggal tidak diikuti oleh kebaikan dan keburukan apapun setelah kematiannya.‎

10. Al Hukmiyah : Mereka berkata bahwa siapa saja yang meminta keputusan fatwa hukum kepada makhluq maka berarti dia kafir.‎

11. Al Mu'tazilah : Mereka berkata bahwa kelompok Ali bin Abi Thalib dan Mu'awiyah bagi kami sama ( Perang Siffin ), jadi kami memilih untuk terlepas dari kedua kelompok tersebut dengan tidak mengakuinya.‎

12. Al Maimuniyah : Mereka berkata bahwa tidak ada kepemimpinan melainkan dengan pemimpin ( imam) dari orang - orang yang kami cintai.


II. Kelompok Al Qadariyah terbagi menjadi 12 golongan dan ciri - ciri mereka :


1. Ahmariyah : Mereka beranggapan bahwa syarat keadilan dari Allah adalah dengan cara menguasai dan menghalangi dengan kemaksiatan.
2. Tsanawiyah : Mereka menyatakan bahwa kebaikan itu dari Allah dan keburukan berasal dari syetan.‎

3. Mu'tazilah : Mereka mengatakan bahwa Al Qur'an adalah makhluq dan mengingkari sifat rububiyah Allah.‎

4. Kaisaniyah : Mereka yang mengatakan bahwa tidak mengetahui apakah perbuatan - perbuatan ini berasal dari Allah atau berasal dari hamba dan tidak mengetahui apakah manusia mendapatkan pahala atau sebaliknya akan memperoleh hukuman.‎

5. Syaithaniyah : Mereka yang mengatakan bahwa Allah tidak menciptakan syetan.‎

6. Syarikiyah : Mereka yang mengatakan bahwa keburukan semuanya telah ditakdirkan kecuali kekufuran.
7. Wahmiyah : Mereka yang mengatakan bahwa perbuatan dan ucapan tidak berbentuk dzat dan demikian pula dengan kebaikan dan keburukan juga tidak memiliki dzat.‎

8. Zabriyah : Mereka berkata bahwa Seluruh kitab suci yang diturnkan Allah maka mengamalkannya adalah suatu perbuatan yang benar baik yang nasikh maupun mansukh.‎

9. Mas'adiyah : Merekan menganggap bahwa orang yang berbuat maksiat kemudian bertaubat maka taubatnya tetap tidak diterima.‎

10. Nakitsiyah : Mereka beranggapan bahwa orang yang melanggar pembaitan Rasulullah maka dia tidak berdosa.
11. Qasithiyah : Mereka mengikuti Ibrahim bin Nizam dengan perkataan bahwa siapa saja yang menganggap Allah adalah sesuatu maka berarti dia telah kafir.‎

12. Qashriyah : Mereka yang mengubah jumlah rakaat shalat fardhu yang 4 rakaat menjadi 2 rakaat saja.


III. Kelompok Jahmiyah terbagi menjadi 12 golongandan ciri - ciri mereka :


1. Mu'athalah : Mereka beranggapan bahwa setiap yang terbersit dalam bayangan ( dugaan ) seseorang maka ia adalah makhluq dan seseorang yang menganggap bahwa Allah dapat dilihat adalah kafir.
2. Marisiyah : Mereka yang mengatakan bahwa kebanyakan sifat - sifat Allah adalah makhluq.‎

3. Multaziqah : Mereka menegaskan bahwa Allah berada di segala tempat.‎

4. Waridiyah : Mereka yang mengatakan bahwa tidak akan masuk neraka orang yang mengenal Tuhannya dan siapa saja yang masuk ke dalam neraka maka dia tidak akan dapat keluar darinya selamanya.
5. Zanadiqah : Mereka berkata bahwa tidak seorangpun yang dapat menetapkan bahwa dirinya ada yang memiliki karena penetapan itu tidak dapat dilakukan kecuali setelah diketahui oleh panca indera. Sesuatu yang tidak diketahui oleh panca indera maka tidak dapat ditetapkan.
6. Harqiyah : Mereka beranggapan bahwa orang yang kafir akan dibakar oleh api neraka sekali dan kemudian dia akan terus dalam keadaan terbakar selamanya.
7. Makhluqiyah : Mereka menganggap bahwa Al Qur'an adalah makhluq.
8. Faniyah : Mereka menganggap bahwa syurga dan neraka itu fana dan mereka beranggapan bahwa syurga dan neraka itu belum diciptakan.
9. Abadiyah : Mereka yang mengingkari para rasul. Mereka mengatakan bahwa mereka hanyalah para hakim atau penguasa.
10. Waqifiyah : Mereka mengatakan bahwa kami tidak tahu bahwa Al Qur'an itu makhluq atau bukan makhluq.
11. Qabriyah : Mereka mengingkari adzab kubur dan syafaat.‎

12. Lafzhiyah : Mereka mengatakan bahwa lafazh kami dalam mengucapkan Al Qur'an adalah makhluq.

IV. Kelompok Murji'ah terbagi menjadi 12 golongan dan ciri - ciri mereka :

1. Tarikiyah : Merka mengatakan bahwa Allah tidak mewajibkan kepada makhluq Nya kecuali beriman kepada Nya. Siapa saja yang beriman maka Dia akan melakukan dan menetapkan sesuai dengan kehendak Nya.‎

2. Saibiyah : Mereka yang mengatakan bahwa sesungguhnya Allah membebaskan kepada makhluq Nya untuk melakukan apa yang mereka inginkan.
3. Raj'iyah : Mereka yang mengatakan bahwa orang yang taat maka tidak dapat disebut sebagai orang yang taat dan orang yang suka bermaksiat tidak dapat disebut sebagai ahli maksiat karena kami tidak mengetahui kedudukannya disisi Allah.
4. Salibiyah : Mereka berkata bahwa ketaatan bukan bagian dari keimanan.
5. Bahisyiyah : Mereka berkata bahwa keimanan itu adalah ilmu dan siapa saja yang tidak mengetahui mana yang benar dan mana yang batil, mana yang halal dan mana yang haram maka berarti dia kafir.
6. Amaliyah : Mereka mengatakan bahwa keimanan adalah amal perbuatan.
7. Manqushiyah : Mereka mengatakan bahwa keimanan itu tidak bertambah dan tidak berkurang.‎

8. Mustatsniyah : Mereka mengatakan bahwa pengecualian adalah bagian dari iman.
9. Musyabbahah : Mereka mengatakan bahwa penglihatan ( mata ), pendengaran ( telinga ), tangan, kaki adalah sama dengan apa yang diketahui makhluq sebagaimana lazimnya.
10. Hasyawiyah : Mereka berkata bahwa hukum hadits - hadits adalah satu. Bagi mereka meninggalkan sunnah berarti sama saja telah meninggalkan yang wajib.
11. Zhahriyah : Mereka yang menafikan dan mengingkari qiyas atau majaz.
12. Bada'iyah : Mereka yang pertama kali menciptakan hal - hal bid'ah pada umat ini yang suka menambahkan sesuatu yang baru yang tidak selaras dengan Al Qur'an dan Hadits.

V. Kelompok Rafidhah terbagi menjadi 12 golongan dan ciri - ciri mereka :

1. Alawiyah : Mereka mengatakan bahwa risalah kenabian sebenarnya ditujukan kepada Ali dan Jibril telah melakukan kesalahan.
2. Amiriyah : Mereka mengatakan bahwa sesungguhnya Ali adalah rekan Nabi Muhammad dalam hal kenabian.
3. Syiah : Mereka mengatakan bahwa Ali adalah penerima wasiat sebagai pengganti Rasulullah setelah belaiau wafat. Umat Islam yang membaiat kepemimpinan ( khilafah ) setelah Rasulullah kepada selain Ali berarti dia telah kafir.
4. Ishaqiyah : Mereka mengatakan bahwa kenabian itu tidak berakhir dan akan terus bersambung hingga hari kiamat. Oleh karena itu setiap orang yang memiliki ilmu tentang ahlul bait maka berarti dia seorang nabi.‎

5. Nawusiyah : Mereka yang mengatakan bahwa Ali adalah umat terbaik. Siapa saja yang lebih mengistimewakan yang lainnya maka berarti dia telah kafir.
6. Imamiyah : Mereka mengatakan bahwa dunia ini tidak mungkin tanpa seorang pemimpin yang berasal dari keturunan Husein. Dan seorang imam diajarkan langsung oleh malaikat Jibril. Jika seorang imam wafat maka kedudukannya digantikan oleh yang lainnya.
7. Zaidiyah : Mereka mengatakan bahwa anak keturunan Husein seluruhnya adalah pemimpin ( imam ) dalam shalat. Oleh karenanya jika mendapatkan salah seorang dari keturunan Husein maka keturunan Husein tidak boleh melakukan shalat di belakang orang lain.‎

8. Abbasiyah : Mereka yang menganggap bahwa Abbas adalah orang yang paling berhak memimpin kekhilafahan Islam daripada yang lainnya.
9. Tanasukhiyah : Mereka mengatakan bahwa ruh - ruh manusia dapat ber reinkarnasi. Oleh karena itu jika orang itu baik maka ruh nya akan keluar dan masuk ke dalam tubuh makhluq yang membuatnya dapat berbahagia dalam kehidupannya.‎

10. Raj'iyyah : Mereka menganggap bahwa Ali dan sahabat - sahabatnya akan kembali ke dunia dan akan membalas dendam kepada musuh - musuh mereka.
11. La'inah : Mereka yang melaknat Abu Bakar, Umar, Ustman, Thalhah, Zubair, Mu'awiyah, Abu Musa, Aisyah dan yang lainnya.
12. Mutarabbishah : Mereka yang berpenampilan dengan mengenakan pakaian seperti ahli ibadah. Setiap tahun mereka mengangkat seseorang yang menjadi tempat sandaran mereka dalam setiap urusan mereka ( amir / mursyid ). Jika orang itu wafat akan digantikan dan diserahkan kedudukannya kepada yang lainnya.

VI. Kelompok Jabariyah terbagi menjadi 12 golongan dan ciri - ciri mereka :

1. Mudhtharibah : Mereka yang mengatakan bahwa manusia sebenarnya tidak dapat berbuat apa - apa akan tetapi Allah lah yang melakukan segala sesuatu untuknya.
2. Af'aliyah : Mereka yang mengatakan bahwa kita dapat melakukan sesuatu akan tetapi pada hakekatnya kita tidak memiliki kemampuan. Kita seperti hewan yang diikat.
3. Mafrughiyah : Mereka yang mengatakan bahwa segala sesuatu sudah diciptakan dan sekarang tidak ada sesuatupun yang baru diciptakan.
4. Nujariyah : Mereka mengatakan bahwa Allah akan memberikan adzab kepada manusia atas perbuatannya bukan atas perbuatan orang lain.
5. Mananiyah : Mereka mengatakan bahwa kamu wajib melakukan sesuatu yang terbersit dalam hatimu. Maka laksanakanlah jika yang terdetik itu merupakan kebaikan.‎
6. Kasbiyah : Mereka mengatakan bahwa seorang hamba tidak dapat mengusahakan pahala dan hukuman.
7. Sabiqiyah : Mereka mengatakan bahwa siapa saja yang berkeinginan maka lakukanlah keinginan itu. Siapa saja yang tidak mau melakukannya makajanganlah melakukannya. Sesungguhnya orang yang bahagia ( ahli syurga ) tidak akan bermanfaat kebaikannya.
8. Habbiyah : Mereka mengatakan bahwa siapa sajayang meminum gelas kecintaan kepada Allah makagugurlah kewajibannya dalam beribadah melaksanakan rukun - rukun agama yang telah ditetapkan.
9. Khufiyah : Mereka mengatakan bahwa siapa saja yang mencintai Allah maka dia tidak akan memiliki kemampuan untuk takut kepada Nya. Karena seorang kekasih tidak akan takut kepada kekasihnya.
10. Fikriyah : Mereka mengatakan bahwa siapa saja yang keilmuannya bertambah maka gugurlah kewajiban ibadah baginya sesuai dengan tingkat keilmuannya.‎

11. Khasyabiyah : Mereka mengatakan bahwa dunia ini bagi para hamba adalah sama, tidak ada keistimewaan bagi sebagian dari mereka tanpa sebagian yang lain sesuai yang diwariskan oleh nenek moyang mereka.
12. Maniyah : Mereka mengatakan bahwa dari kita suatu perbuatan dilakukan dan kita memiliki kemampuan untuk melakukannya.
Sumber : [ Al Milal wa An Nihal, Asy Syahrustani danI'tiqad Firaq Al Muslimin wal Musyrikin, Fakhruddin Ar Razi ]‎

Dalam menafsirkan hadis tersebut para ulama berpendapat, bahwa yang dimaksud kelompok sesat, bukanlah kelompok-kelompok Islam yang muncul karena perbedaan masalah fiqh . 

Namun yangdimaksud kelompok sesat, adalah kelompok yang memang telah keluar dari ajaran-ajaran pokok Islam. Seperti kelompok yang mengingkari rukun-rukun Islam dan Iman. Jadi kelompok yang mengamalkan rukun Islam dan mempercayai rukun-rukun iman, mereka ini termasuk kelompok yang selamat. Adapun kelompok-kelompok Islam yang ada sekarang ini, kita juga harus melihatnya melalui kacamata di atas. JIka penyimpangan yang terjadi sesuai dengan kriteria diatas, maka aliran tersebutmasuk dalam Firqah/golongan tersebut diatas. 

Sejauh mereka mengamalkan syariat Islam serta berakidah dengan aqidah yang islami, maka kita tidak boleh memberinya cap sebagai kelompok yang sesat.
Berikut ini beberapa etika bila menemukan beda pendapat antar kelompok:
1. Memulai dengan "husnuzzan" (prasangka baik) terhadap sesama muslim.
2. Menghargai pendapat kelompok lain sejauh pendapat tersebut mempunyai dalil.‎
3. Tidak memaksakan kehendak bahwa kelompoknyalah yang paling benar, karena pendapat lain juga mempunyai kemungkinan benar yang seimbang, sejauh dalam diskursus syariah.
4. Mengakui adanya perbedaan dalam masalah furu'iyah (cabang-cabang ajaran) dan tidak membesar-besarkannya.
5. Tidak mengkafirkan orang yang telah mengucapkan "Laailaaha illallah".
6. Mengkaji perbedaan secara ilmiyah dengan mengupas dalil-dalilnya.
7. Tidak beranggapan bahwa kebenaran hanya satu dalam masalah-masalah furu'iyah (cabang-cabangajaran), karena ragamnya dalil, di samping kemampuan akal yang berbeda-beda dalam menafsiri dalil-dalil tsb.
8. Terbuka dalam menyikapi perbedaan, dengan melihat perbedaan sebagai hal yang positif dalamagama karena memperkaya khazanah dan fleksibillitas agama. Tidak cenderung menyalahkan dan menuduh sesat ajaran yang tidak kita kenal. Justru karena belum kenal, sebaiknya kita pelajari dulu latar belakang dan inti ajarannya.


AHLUS SUNNAH WAL JAMA’AH‎

Jika dilihat dari segi bahasa, Ahlu as-Sunnah wa al-Jama’ah terdiri dari tiga kata :
1. Ahlun ( اَهْلٌ ) artinya golongan, keluarga atau orangyang mempunyai atau orang yang menguasai, misalnya :


- اَهْلُ الْبَيْتِ 
Artinya : Keluarga atau kaum kerabat

- اَهْلُ اْلاَمْرِ 
Artinya Orang yang mempunyai urusan atau penguasa
2. As-Sunnah ( اَلسُّنَّةِ ) artinya meliputi : perkataan, perbuatan, ketetapan.

Secara istilah yang dimaksud adalah apa yang datang dari Rosululloh saw. yang meliputi perkataan ( sabda Nabi ), perbuatan Nabi ( af’al ) dan ketetapan Nabi (taqrir).
3. al-Jama’ah ( اَلْجَمَاعَةِ ( artinya kumpulan atau kelompok.
Secara Istilah yang dimaksud Jama’ah adalah para sahabat Rosululloh saw. terutama adalah khulafa’ur rosyidin yaitu Khalifah : Abu Bakar as-Shidiq ra., Umar bin Khottob ra., Utsman bin ‘Affan ra., dan Ali bin Abi Tholib ra.


Arti Ahlu as-Sunnah wal-Jama’ah ( Ahlus Sunnah wal-Jama’ah ) secara Istilah adalah :
Kaum atau golongan yang menganut/mengikuti serta mengamalkan ajaran agama Islam yang murni sesuai yang diajarkan dan diamalkan oleh Rosululloh saw dan para sahabatnya.
Menurut Muhammad bin Muhammad bin al-Husaini az-Zabidi dalam kitabnya berjudul Ithafus Sadah al-Muttaqin ( Sarah kitab Ihya Ulumiddin karya Imam Ghozali ) mengatakan : Yang dikatakan Ahlu as-Sunnah wal-Jama’ah ( Ahlus Sunnah wal-Jama’ah) adalah :


اِذَا اُطْلِقَ اَهْلُ السُّنَّةِ وَالْجَمَاعَةِ فَالْمُرَادُ بِهِ اَلاَشَاعِرَةُ وَالْمَاتُرِدِيَّةُ

Artinya adalah : Apabila di sebut Ahlu as-Sunnah wal-Jama’ah ( Ahlus Sunnah wal-Jama’ah ) maka maksudnya adalah orang-orang yang mengikuti paham Imam Al-Asy’ari dan Imam al-Maturidi.

Takhtimah

Apa yang bisa diambil dari nash hadits tersebut? Yaitu mewaspadai terjadinya perpecahan yang tidak diridhoi oleh Allah swt, karena yang demikian itu telah terjadi pada umat-umat terdahulu. Perpecahan yang dimaksud adalah perbedaan dalam perkara ushul (pokok), baik ushul akidah maupun ushul syari’ah, atau perpecahan pada kesatuan umat. Adapun terbentuknya banyak madzhab fiqhiyyah, partai dan ormas islami, dll selama terbebas dari perpecahan di atas maka bukan termasuk yang dilarang.

Kalaupun perpecahan tersebut harus terjadi, maka kita harus berpegang teguh pada solusi yang diberikan oleh Rasulullah saw:

As-Sawad Al-A'zham atau Al-Jama’ah, yaitu sabar dan teguh dalam kesatuan kaum muslimin di bawah kepemimpinan seorang imam/ khalifah/ amir.

عن ابن عباس يرويه قال قال النبي صلى الله عليه وسلم من رأى من أميره شيئا فكرهه فليصبر فإنه ليس أحد يفارق الجماعة شبرا فيموت إلا مات ميتة جاهلية

"Dari Ibn Abbas, Rasulullah saw bersabda: Barangsiapa melihat sesuatu pada Amirnya lalu membencinya maka hendaklah ia bersabar, karena sesungguhnya tidak seorang pun yang memisahkan diri dari Jama'ah kemudian ia mati melainkan ia mati dalam keadaan mati jahiliyyah." (HR. Bukhori)

Berikut nukilan perkataan Imam At-Tirmidzi:

قال الترمذي وتفسير الجماعة عند أهلا العلم (هم أهل الفقه والعلم والحديث): الاعتصام ومعنى السواد الأعظم: - المجتمعون على إمام يحكم بالكتاب والسنة وينصر الحق وأهله.

"At-Tirmidzi berkata: tafsir dari kata Jama'ah menurut Ulama (yaitu mereka ahli fiqh, ilmu, dan hadits)yaitu berpegang teguh, dan makna As-Sawad Al-A'zham adalah orang-orang yang berhimpun pada seorang Imam yang menerapkan hukum Al-Qur'an dan As-Sunnah, serta menolong kebenaran dan pengembannya." (Shahih Kunuz As-Sunnah An-Nabawiyyah 1/212)

Jika kaum muslimin tidak memiliki imam atau kesatuan pemimpin, maka di hadits berikut ini telah dinyatakan solusinya:

عن حذيفة بن اليمان يقول كان الناس يسألون رسول الله صلى الله عليه وسلم عن الخير وكنت أسأله عن الشر مخافة أن يدركني فقلت يا رسول الله إنا كنا في جاهلية وشر فجاءنا الله بهذا الخير فهل بعد هذا الخير من شر قال نعم قلت وهل بعد ذلك الشر من خير قال نعم وفيه دخن قلت وما دخنه قال قوم يهدون بغير هديي تعرف منهم وتنكر قلت فهل بعد ذلك الخير من شر قال نعم دعاة على أبواب جهنم من أجابهم إليها قذفوه فيها قلت يا رسول الله صفهم لنا قال هم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا قلت فما تأمرني إن أدركني ذلك قال تلزم جماعة المسلمين وإمامهم قلت فإن لم يكن لهم جماعة ولا إمام قال فاعتزل تلك الفرق كلها ولو أن تعض بأصل شجرة حتى يدركك الموت وأنت على ذلك .

"Dari Hudzaifah bin Yaman berkata, orang-orang bertanya kepada Rasulullah saw tentang kebaikan, sedangkan aku bertanya kepada beliau tentang keburukan karena khawatir akan menimpaku, maka aku katakan: wahai Rasulullah saw, kami dahulu berada dalam masa jahiliyyah dan keburukan, kemudian Allah swt datangkan kebaikan ini (Islam), lalu apakah setelah kebaikan ini ada keburukan? beliau berkata: Ya. aku berkata: dan apakah setelah keburukan tesebut ada kebaikan lagi? beliau berkata: Ya, dan di masa itu ada asap (bertanda polusi). aku bertanya: apa asapnya? beliau menjawab: kaum yang memberi petunjuk dengan selain petunjukku, kamu mengenali di antara mereka dan mengingkarinya. aku bertanya: apakah setelah kebaikan itu ada keburukan? beliau menjawab: Ya, para pendakwah di depan pintu-pintu neraka jahannam, siapa yang memenuhi seruan mereka maka mereka akan melemparkannya kedalamnya (neraka). aku bertanya: gambarkanlah (tentang mereka) kepada kami wahai Rasulullah saw. Beliau berkata: mereka adalah dari kalangan bangsa kita, berkata-kata dengan bahasa kita pula. aku bertanya: lalu apa yang engkau perintahkan kepadaku jika aku di masa itu? beliau bersabda: berpegang teguhlah terhadap jama'ah kaum muslimin dan imam mereka (khilafah). aku berkata: bagaimana jika mereka tidak lagi memiliki jama'ah dan imam? beliau berkata:maka jauhilah kelompok-kelompok (yang menyeru kepada kesesatan) tersebut seluruhnya, sekalipun kamu harus menggigit akar pohon hingga kematian menjumpaimu sedangkan kamu dalam kondisi seperti itu." (HR. Bukhori)

yaitu untuk meninggalkan kelompok-kelompok sesat yang menyerukan kepada neraka, betapapun mereka dari kalangan kita (هم من جلدتنا ويتكلمون بألسنتنا). Lalu bagaimana dengan kelompok-kelompok yang menyerukan kepada islam dan syari'atnya? tentu mereka tidak termasuk yang disebut sebagai (دعاة على أبواب جهنم), selama apa yang diserukannya benar berdasarkan petunjuk Allah swt dan Rasul-Nya.

Dan menurut riwayat At-Tirmidzi, berusaha agar seperti apa yang Nabi saw dan para sahabatnya berada diatasnya, yaitu keberislaman secara I’tiqodi dan ‘Amali yang sesuai dengan apa yang dijalani oleh Nabi saw dan para sahabat terdahulu.

Wallohu A'lam Bisshowab Wallohul Waliyyut Taufiq Ila Sabilul Huda‎

Penjelasan Tentang Namimah (Adu-Adu)


Salah satu di antara sasaran yang dituju oleh Islam ialah mempererat rasa persaudaraan dengan menjalin hubungan yang penuh kemesraan dan cinta kasih antar individu. Sebaliknya Islam menganjurkan pada umatnya agar memberantas faktor-faktor yang bisa menyebabkan perpecahan dan saling membenci. 

Oleh karena itu Islam melarang hal-hal yang dibenci dan yang bisa menimbulkan permusuhan serta saling membenci antara saudara seagama. Di antara hal-hal yang merusak itu ialah Namimah.Pengertian namimah ialah mengadukan perkataan seseorang kepada orang lain dengan tujuan mengadu domba antara keduanya. Perkataan yang diadukan tersebut bukanlah sembarangan perkataan, tetapi mengandung rahasia orang lainyang apabila disiarkan kepada orang lain, maka ia tidak akan suka dan akan marah. Sebaiknya seorang muslim tidak usah menceritakan hal-hal yang ia saksikan mengenai orang lain, lantaran bisa menimbulkan bencana. Tetapi ada suatu perkecualian, apabila dalam menceritakan perihal itu, akan membawa manfaat bagi orang lain, atau bisa menolak kejahatan yang akan menimpa orang lain. 

Mengadukan ucapan seseorang kepada orang lain dengan tujuan merusak adalah salah satu faktor yang menyebabkan terputusnya ikatan dan yang menyulut api kebencian serta permusuhan antar sesama manusia.

Allah mencela pelaku perbuatan tersebut dalam firmanNya, 

وَ لاَ تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَّهِيْنٍ. هَمَّازٍ مَّشَآءٍ بِنَمِيْمٍ. مَنَّاعٍ لّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ اَثِيْمٍ. عُتُلّ بَعْدَ ذلِكَ زَنِيْمٍ. القلم:10-13

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian-kemari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu yang terkenal kejahatannya. [QS. Al-Qalam : 10-13]

Dalam sebuah hadits marfu’ yang diriwayatkan Hudzaifah, disebutkan,

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَتَّاتٌ.

“Tidak akan masuk Surga al-qattat (tukang adu domba).”( Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat Fathul Bari, 10/472. Dalam An-Nihayah karya Ibnu Atsir, 4/11 disebutkan:” …Al-Qattat adalah orang yang menguping (mencuri dengar pembicaraan), tanpa sepengetahuan mereka, lalu ia membawa pembicaraan tersebut kepada yang lain dengan tujuan mengadu domba.)

Ibnu Abbas meriwayatkan,

مَرَّ النَّبِيُّ بِحَائِطٍ مِنْ حِيْطَانِ الْمَدِيْنَةِ فَسَمِعَ صَوْتَ إِنْسَانَيْنِ يُعَذَّبَانِ فِيْ قُبُوْرِهِمَا فَقَالَ النَّبِيُّ : يُعَذَّبَانِ، وَمَا يُعَذَّبَانِ فِيْ كَبِيْرٍ -ثُمَّ قَالَ- بَلَى [وَفِيْ رِوَايَةٍ: وَإِنَّهُ لَكَبِيْرٌ] كَانَ أَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ، وَكَانَ اْلآخَرُ يَمْشِي بِالنَّمِيْمَةِ.

“(Suatu hari) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melewati sebuah kebun di antara kebun-kebun di Madinah. Tiba-tiba beliau mendengar dua orang sedang disiksa di dalam kuburnya, lalu Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda, “Keduanya disiksa, padahal tidak karena masalah yang besar (dalam anggapan keduanya) -lalu bersabda- benar (dalam sebuah riwayat disebutkan, “Padahal sesungguhnya ia adalah persoalan besar.”). Salah seorang di antaranya tidak meletakkan sesuatu untuk melindungi diri dari percikan kencingnya dan seorang lagi (karena) suka mengadu domba.”( Hadits riwayat Al-Bukhari, lihat Fathul Bari, 1/317.)

Di antara bentuk namimah yang paling buruk adalah hasutan yang dilakukan seorang lelaki tentang istrinya atau sebaliknya, dengan maksud untuk merusak hubungan suami istri tersebut. Demikian juga adu domba yang dilakukan sebagian karyawan kepada teman karyawannya yang lain. Misalnya dengan mengadukan ucapan-ucapan kawan tersebut kepada direktur atau atasan dengan tujuan untuk memfitnah dan merugikan karyawan tersebut. Semua hal ini hukumnya haram.

Dalil-dalil yang Mengharamkan Namimah

Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:

وَ لاَ تُطِعْ كُلَّ حَلاَّفٍ مَّهِيْنٍ. هَمَّازٍ مَّشَآءٍ بِنَمِيْمٍ. مَنَّاعٍ لّلْخَيْرِ مُعْتَدٍ اَثِيْمٍ. عُتُلّ بَعْدَ ذلِكَ زَنِيْمٍ. القلم:10-13

Dan janganlah kamu ikuti setiap orang yang banyak bersumpah lagi hina, yang banyak mencela, yang kian-kemari menghambur fitnah, yang banyak menghalangi perbuatan baik, yang melampaui batas lagi banyak dosa, yang kaku kasar, selain dari itu yang terkenal kejahatannya. [QS. Al-Qalam : 10-13]

وَيْلٌ لّكُلّ هُمَزَةٍ لُّمَزَةٍ. الهمزة:1

Kecelakaanlah bagi setiap pengumpat lagi pencela. [QS. Al-Humazah:1]

وَ مَنْ يَّكْسِبْ خَطِيْئَةً اَوْ اِثْمًا ثُمَّ يَرْمِ بِه بَرِيْئًا فَقَدِ احْتَمَلَ بُهْتَانًا وَّ اِثْمًا مُّبِيْنًا. النساء:112

Dan barangsiapa yang mengerjakan kesalahan atau dosa, kemudian dituduhkannya kepada orang yang tidak bersalah, maka sesungguhnyaia telah berbuat suatu kebohongan dan dosa yang nyata. [QS. An-Nisaa’ :112]

لاَ خَيْرَ فِيْ كَثِيْرٍ مّنْ نَّجْويهُمْ اِلاَّ مَنْ اَمَرَ بِصَدَقَةٍ اَوْ مَعْرُوْفٍ اَوْ اِصْلاَحٍ بَيْنَ النَّاسِ، وَ مَنْ يَّفْعَلْ ذلِكَ ابْتِغَآءَ مَرْضَاتِ اللهِ فَسَوْفَ نُؤْتِيْهِ اَجْرًا عَظِيْمًا. النساء:114

Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedeqah atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian diantara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridlaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar. [QS. An-Nisaa’ : 114]

ياَيُّهَا الَّذِيْنَ امَنُوْآ اِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوْآ اَنْ تُصِيْبُوْا قَوْمًا بِجَهَالَةٍ فَتُصْبِحُوْا عَلى مَا فَعَلْتُمْ نَادِمِيْنَ. الحجرات:6

Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasiq membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu mushibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kamu menyesal atas perbuatanmu itu. [QS. Al-Hujuraat : 6]

Hadits-hadits Nabi SAW :

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عَمْرِو عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: اْلمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ. وَ اْلمُهَاجِرُ مَنْ هَجَرَ مَا نَهَى اللهُ عَنْهُ. البخارى 1: 8

Dari ‘Abdullah bin ‘Amr dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Orang Islam itu ialah orang yangmana orang-orang Islam yang lain selamat dari perbuatan lisan dan tangannya. Dan orang yang berhijrah ialah orang yang meninggalkan apa-apa yang dilarang oleh Allah. [HR. Bukhari juz 1, hal. 8]

عَنْ اَبِى مُوْسَى رض قَالَ: قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيُّ اْلاِسْلاَمِ اَفْضَلُ؟ قَالَ: مَنْ سَلِمَ اْلمُسْلِمُوْنَ مِنْ لِسَانِهِ وَ يَدِهِ.البخارى 1: 9

Dari Abu Musa RA, ia berkata : Para shahabat bertanya, “Ya Rasulullah, (orang) Islam yang bagaimana yang lebih utama ?”. Nabi SAW menjawab, “Orang yangmana orang-orang Islam yang lain selamat dari perbuatan lisan dan tangannya”. [HR. Bukhari juz 1, hal. 9]

عَنْ حُذَيْفَةَ رض قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ ص: لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ نَمَّامٌ. البخارى و مسلم و ابو داود و الترمذى، فى الترغيب و الترهيب 1: 495

Dari Hudzaifah RA, ia berkata : Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang suka berbuat namimah”. [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud dan Tirmidzi, dalam Targhib wat Tarhib juz 3, hal. 495]

عَنْ هَمَّامٍ قَالَ: كُنَّا مَعَ حُذَيْفَةَ فَقِيْلَ لَهُ: اِنَّ رَجُلاً يَرْفَعُ اْلحَدِيْثَ اِلىَ عُثْمَانَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ: سَمِعْتُ النَّبِيَّ ص يَقُوْلُ: لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ قَتَّاتٌ. البخارى 7: 86

Dari Hammam, ia berkata : Dahulu kami bersama Hudzaifah, lalu dikatakan kepadanya bahwa ada seorang laki-laki yang suka melaporkan pembicaraan kepada ‘Utsman, maka Hudzaifah berkata : Saya mendengar Nabi SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang suka berbuat namimah”. [HR. Bukhari juz 7, hal. 86]

عَنْ هَمَّامِ بْنِ اْلحَارِثِ قَالَ: كَانَ رَجُلٌ يَنْقُلُ اْلحَدِيْثَ اِلَى اْلاَمِيْرِ. فَكُنَّا جُلُوْسًا فِى اْلمَسْجِدِ، فَقَالَ اْلقَوْمُ: هذَا مِمَّنْ يَنْقُلُ اْلحَدِيْثَ اِلَى اْلاَمِيْرِ؟ قَالَ: فَجَاءَ حَتّى جَلَسَ اِلَيْنَا، فَقَالَ حُذَيْفَةُ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: لاَ يَدْخُلُ اْلجَنَّةَ قَتَّاتٌ. مسلم 1: 101

Dari Hammam bin Harits, ia berkata : Ada seorang laki-laki yang suka melaporkan kepada penguasa. Ketika kami sedang duduk di masjid, orang-orang berkata, “Ini orang yang suka melaporkan kepada penguasa ?”. (Hammam) berkata, ”Lalu dia mendekat sehingga duduk bersama kami”. Maka Hudzaifah berkata : Aku mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Tidak akan masuk surga orang yang suka berbuat namimah”. [HR. Muslim juz 1, hal. 101]

عَنِ ابْنِ عُمَرَ رض قَالَ: سَمِعْتُ رَسُوْلَ اللهِ ص يَقُوْلُ: اَلنَّمِيْمَةُ وَ الشَّتِيْمَةُ وَ اْلحَمِيَّةُ فِى النَّارِ. و فى لفظ: اِنَّ النَّمِيْمَةَ وَ اْلحِقْدَ فِى النَّارِ، لاَ يَجْتَمِعَانِ فِى قَلْبِ مُسْلِمٍ. الطبرانى، فى الترغيب و الترهيب 3: 497

Dari Ibnu ‘Umar RA, ia berkata : Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, “Namimah (adu-adu), syatimah (suka mencaci) dan hamiyyah (kesombongan) adalah di neraka”. Dan dalam satu lafadh, “Sesungguhnya namimah dan hiqdu (dendam) itu di neraka, kedua-duanya tidaklah bersemayam di dalam hati seorang muslim”. [HR. Thabrani, dalam Targhib wat Tarhib juz 3, hal. 497]

عَنْ اَبِى هُرَيْرَةَ رض قَالَ: كُنَّا نَمْشِى مَعَ رَسُوْلِ اللهِ ص فَمَرَرْنَا عَلَى قَبْرَيْنِ فَقَامَ فَقُمْنَا مَعَهُ، فَجَعَلَ لَوْنُهُ يِتَغَيَّرُ حَتَّى رَعَدَكُمُّ قَمِيْصِهِ فَقُلْنَا: مَا لَكَ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ فَقَالَ: اَمَا تَسْتَمِعُوْنَ مَا اَسْمَعُ؟ فَقُلْنَا: وَ مَا ذَاكَ يَا نَبِيَّ اللهِ؟ قَالَ: هذَانِ رَجُلاَنِ يُعَذَّبَانِ فِى قُبُوْرِهِمَا عَذَابًا شَدِيْدًا فِى ذَنْبٍ هَيّنٍ. قُلْنَا: فِيْمَ ذَاكَ؟ قَالَ: كَانَ اَحَدُهُمَا لاَ يَسْتَنْزِهُ مِنَ اْلبَوْلِ. وَ كَانَ اْلآخَرُ يُؤْذِى النَّاسَ بِلِسَانِهِ وَ يَمْشِى بَيْنَهُمْ بِالنَّمِيْمَةِ، فَدَعَا بِجَرِيْدَتَيْنِ مِنْ جَرَائِدِ النَّخْلِ، فَجَعَلَ فِى كُلّ قَبْرٍ وَاحِدَةً. قُلْنَا: وَ هَلْ يَنْفَعُهُمْ ذلِكَ؟ قَالَ: نَعَمْ، يُخَفَّفُ عَنْهُمَا مَا دَامَتَا رَطْبَتَيْنِ. ابن حبان فى صحيحه، فى الترغيب و الترهيب 3: 498

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata : Dahulu kami pernah berjalan bersama Rasulullah SAW, lalu kami melewati dua buah qubur. Kemudian beliau berhenti, maka kamipun berhenti bersama beliau. Lalu wajah beliau berubah, sehingga bergetar ujung tangan ‎baju beliau. Kami bertanya, “Mengapa engkau, ya Rasulullah ?”. Beliau menjawab, “Apakah kalian tidak mendengar apa yang aku dengar ?”. Kami bertanya, “Apa, ya Nabiyallah ?”. Beliau bersabda, “Ini, dua orang laki-laki yang sedang disiksa di dalam quburnya dengan siksa yang keras lantaran dosa (yang mereka anggap) ringan”. Kami bertanya, “Kenapa mereka itu ?”. Beliau menjawab, “Salah satu dari keduanya dahulu dia tidak bersih dari kencing. Adapun yang lain, dia dahulu biasa menyakiti orang-orang dengan lisannya, dan berjalan di tengah-tengah mereka dengan berbuat namimah”. Lalu beliau meminta dua pelepah kurma, dan beliau menancapkan pada masing-masing qubur sebuah pelepah kurma. Kami bertanya, “Apakah yang demikian itu bermanfaat kepada mereka ?”.Beliau menjawab, “Ya, diringankan (siksa) keduanya selama dua pelepah kurma itu masih basah”. [HR. Ibnu Hibban di dalam shahihnya, dalam Targhib wat Tarhib juz 3, hal. 498]

عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص مَرَّ بِقَبْرَيْنِ يُعَذَّبَانِ فَقَالَ: اِنَّهُمَا يُعَذَّبَانِ، وَ مَا يُعَذَّبَانِ فِى كَبِيْرٍ بَلَى اِنَّهُ كَبِيْرٌ. اَمَّا اَحَدُهُمَا فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ، وَ اَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ لاَ يَسْتَتِرُ مِنْ بَوْلِهِ. البخارى و اللفظ له و مسلم و ابو داود و الترمذى و النسائى و ابن ماجه، فى الترغيب و الترهيب 3: 496

Dari Ibnu ‘Abbas RA, bahwasanya Rasulullah SAW pernah melewati dua qubur yang (penghuninya) sedang disiksa. Dan tidaklah keduanya disiksa lantaran perkara yang besar (menurut pandangan manusia), tetapi sesungguhnya perkara itu besar (menurut pandangan Allah). Adapun seseorang dari keduanya dahulu biasa kesana-kemari berbuat namimah. Adapun seseorang yang lain ialah dahulu tidak menjaga (tidak bersih) dari kencing”. [HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi, Nasai dan Ibnu Majah. Lafadh ini bagi Bukhari, dalam Targhib wat Tarhib juz 3, hal. 496]

عَنْ اَبِى اُمَامَةَ رض قَالَ: مَرَّ النَّبِيُّ ص فِى يَوْمٍ شَدِيْدِ اْلحَرّ نَحْوَ بَقِيْعِ اْلغَرْقَدِ قَالَ: فَكَانَ النَّاسُ يَمْشُوْنَ خَلْفَهُ. قَالَ: فَلَمَّا سَمِعَ صَوْتَ النّعَالِ وَقَرَ ذلِكَ فِى نَفْسِهِ، فَجَلَسَ حَتَّى قَدَّمَهُمْ اَمَامَهُ لِئَلاَّ يَقَعَ فِى نَفْسِهِ شَيْءٌ مِنَ اْلكِبْرِ، فَلَمَّا مَرَّ بِبَقِيْعِ اْلغَرْقَدِ اِذَا بِقَبْرَيْنِ قَدْ دَفَنُوْا فِيْهِمَا رَجُلَيْنِ. قَالَ: فَوَقَفَ النَّبِيُّ ص فَقَالَ: مَنْ دَفَنْتُمُ اْليَوْمَ ههُنَا؟ قَالُوْا فُلاَنٌ وَ فُلاَنٌ. قَالُوْا يَا نَبِيَّ اللهِ، وَ مَا ذَاكَ؟ قَالَ: اَمَّا اَحَدُهُمَا فَكَانَ لاَ يَتَنَزَّهُ مِنَ اْلبَوْلِ، وَ اَمَّا اْلآخَرُ فَكَانَ يَمْشِى بِالنَّمِيْمَةِ، وَ اَخَذَ جَرِيْدَةً رَطْبَةً فَشَقَّهَا، ثُمَّ جَعَلَهَا عَلَى اْلقَبْرِ. قَالُوْا: يَا نَبِيَّ اللهِ، لِمَ فَعَلْتَ هذَا؟ قَالَ: لِيُخَفَّفَنَّ عَنْهُمَا. قَالُوْا: يَا نَبِيَّ اللهِ، حَتَّى مَتَى هُمَا يُعَذّبَانِ؟ قَالَ: غَيْبٌ، لاَ يَعْلَمُهُ اِلاَّ اللهُ عَزَّ وَ جَلَّ. وَ لَوْ لاَ تَمَزُّعُ قُلُوْبِكُمْ وَ تَزَيُّدُكُمْ فِى اْلحَدِيْثِ لَسَمِعْتُمْ مَا اَسْمَعُ.احمد، فى الترغيب و الترهيب 3: 496

Dari Abu Umamah RA, ia berkata : Pada suatu hari yang sangat panas Nabi SAW berjalan lewat jurusan (quburan) Baqii’il Gharqad. Abu Umamah berkata, “Maka setelah beliau mendengar suara sandal-sandal, beliau menenangkan diri lalu duduk, sehingga beliau mempersilakan orang-orang berjalan di depannya supaya tidak timbul suatu kesombongan pada diri beliau. Setelah beliau melewati (quburan) Baqii’il Gharqad, tiba-tiba beliau melihat dua quburan orang laki-laki yang orang-orang (baru saja) menguburkannya.Nabi SAW bertanya, “Siapa yang telah kalian qubur di sini pada hari ini ?”. Mereka menjawab, “Si Fulan dan si Fulan”. Lalu mereka bertanya, “Ya Nabiyallah, kenapa mereka itu ?”. Nabi SAW menjawab, “Adapun salah satu dari keduanya, dia tidak bersih dari kencing, adapun yang lain, dia dahulu kesana-kemari berbuat namimah”.Kemudian Nabi SAW mengambil pelepah kurma yang masih basah, lalu membelahnya dan menancapkannya pada qubur itu. Para shahabat bertanya, “Ya Nabiyallah, mengapa engkau berbuat hal ini ?”. Beliau SAW menjawab, “Supaya diringankan (siksa) dari keduanya”. Mereka bertanya, “Ya Nabiyallah, sampai kapan mereka berdua itu disiksa ?”. Nabi SAW menjawab, “Itu hal yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Allah ‘Azza wa Jalla. Dan seandainya hati kalian tidak keluh-kesah dan kalian tidak banyak bicara, sesungguhnya kalian pasti mendengar apa yang aku dengar”. [HR. Ahmad, dalam Targhib wat Tarhib juz 3, hal. 496]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ بُسْرٍ رض عَنِ النَّبِيّ ص قَالَ: لَيْسَ مِنّى ذُوْ حَسَدٍ، وَ لاَ نَمِيْمَةٍ، وَ لاَ كَهَانَةٍ، وَ لاَ اَنَا مِنْهُ. ثُمَّ تَلاَ رَسُوْلُ اللهِ ص {وَ الَّذِيْنَ يُؤْذُوْنَ اْلمُؤْمِنِيْنَ وَ اْلمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوْا فَقَدِ احْتَمَلُوْا بُهْتَانًا وَّ اِثْمًا مُّبِيْنًا} الطبرانى، فىالترغيب و الترهيب 3: 499

Dari ‘Abdullah bin Busr, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Bukan dari golonganku orang yang pendengki, orang yang berbuat namimah, dan orang yang percaya kepada dukun, dan aku bukan dari golongannya”. Kemudian Rasulullah SAW membaca ayat Walladziina yu’dzuunal mu’miniina wal mu’minaati bighairi maktasabuu faqadihtamaluu buhtaanaw waitsmam mubiina (Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang mukmin laki-laki dan perempuan tanpa kesalahan yang mereka lakukan, maka sungguh mereka itu telah berbuat kebohongan dan dosa yang nyata). QS. Al-Ahzaab:58. [HR. Thabrani, dalam Targhib wat Tarhib juz 3, hal. 499]

عَنْ عَبْدِ الرَّحْمنِ بْنِ غَنْمٍ يَبْلُغُ بِهِ النَّبِيَّ ص: خِيَارُ عِبَادِ اللهِ الَّذِيْنَ اِذَا رُءُوْا ذُكِرَ اللهُ، وَ شِرَارُ عِبَادِ اللهِ اْلمَشَّاءُوْنَ بِالنَّمِيْمَةِ اْلمُفَرّقُوْنَ بَيْنَ اْلأَحِبَّةِ اَلْبَاغُوْنَ لِلْبُرَآءِ اْلعَنَتَ. احمد، فى التغيب و الترهيب 3: 499

Dari ‘Abdurrahman bin Ghanmin, dari Nabi SAW, beliau bersabda, “Sebaik-baik hamba Allah ialah orang-orang yang apabila mereka itu dipuji, disebutlah nama Allah, dan seburuk-buruk hamba Allah ialah orang-orang yang berjalan kesana-kemari berbuat namimah, orang-orang yang memecah persatuan dengan mencari-cari cela dan keburukan orang-orang yang bersih”. [HR. Ahmad, dalam Targhib wat Tarhib juz 3, hal. 499]

عَنِ اْلعَلاَءِ بْنِ اْلحَارِثِ رض اَنَّ رَسُوْلَ اللهِ ص قَالَ: اَلْهَمَّازُوْنَ وَ اللَّمَّازُوْنَ وَ اْلمَشَّاءُوْنَ بِالنَّمِيْمَةِ اْلبَاغُوْنَ لِلْبُرَآءِ اْلعَنَتَ يَحْشُرُهُمُ اللهُ فِى وُجُوْهِ اْلكِلاَبِ. ابو الشيخ ابن حبان، فى الترغيب و الترهيب 3: 500

Dari Al-’Alaa’ bin Al-Harits RA, bahwasanya Rasulullah SAW bersabda, “Orang-orang tukang pengumpat, tukang pencela dan orang-orang yang berjalan kesana-kemari dengan berbuat namimah yang mencari-cari cela dan keburukan orang-orang yang bersih, Allah akan mengumpulkan mereka itu dalam bentuk wajah-wajah anjing”. [HR. Abusy-Syaikh Ibnu Hibban, dalam Targhib wat Tarhib juz 3, hal. 500]

عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُوْدٍ قَالَ: اِنَّ مُحَمَّدًا ص قَالَ: اَلاَ اُنَبّئُكُمْ مَا اْلعَضْهُ. هِيَ النَّمِيْمَةُ اْلقَالَةُ بَيْنَ النَّاسِ. وَ اِنَّ مُحَمَّدًا ص قَالَ: اِنَّ الرَّجُلَ يَصْدُقُ حَتَّى يُكْتَبَ صِدّيْقًا وَ يَكْذِبُ حَتَّى يُكْتَبَ كَذَّابًا. مسلم 4: 2012

Dari ‘Abdullah bin Mas’ud, ia berkata :Sesungguhnya Nabi Muhammad SAW pernah bersabda, “Maukah aku beritahukan kepada kalian, apakah al-’adlhu itu ?. Al-’adlhu adalah perbuatan namimah yang tersebar di tengah-tengah manusia”. Dan sesungguhnya Nabi SAW bersabda, “Sesungguhnya seseorang berbuat jujur sehingga dicatat sebagai orang yang jujur, dan seseorang berbuat dusta sehingga dicatat sebagai pendusta”. [HR. Muslim juz 4, hal. 2012]

Hukum Mengadu Domba/Namimah

Mengadu domba adalah perbuatan yang paling buruk di antara perbuatan-perbuatan buruk, namun paling banyak terjadi di antara sesama manusia hingga tidak ada orang bisa terhindar dari perbuatan itu kecuali sedikit sekali.
Kaum muslimin telah bersepakat menyatakan bahwa mengadu domba itu adalah perbuatan yang diharamkan, karena banyak dalil-dalil dari Al-Qur’an dan An-Sunnah yang secara tegas menyatakan bahwa perbuatan itu adalah haram.
Al-Hafizh Al-Mankhari berkata: Umat ini telah sepakat mengharamkan namimah, dan juga menyatakan bahwa namimah adalah termasuk diantara dosa yang paling besar di sisi Allah Subhaanahu Wata’aala.

Namimah diharamkan karena dapat menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kaum Muslimin.

Faktor-faktor yang Mendorong Timbulnya Adu Domba

Sesungguhnya di antara faktor-faktor yang mendorong seseorang mengadu domba antar sesamanya adalah beberapa hal yang tersembunyi, antara lain:
Sebagian orang tidak tahu bahwa mengadu domba adalah perbuatan yang diharamkan bahkan termasuk di antara yang berdosa besar yang dapat menimbulkan permusuhan, memutuskan tali persaudaraan, menghancurkan keharmonisan rumah tangga dan menebarkan kebencian di antara sesama kaum Muslimin.

Melampiaskan apa yang ada di dalam hati yang berupa iri dan dengki, yaitu dengan mengadu domba di antara orang yang saling mencintai dan berusaha untuk merendahkan orang yang dibenci itu di hadapan orang lain.
Mencari simpati dari rekan-rekan sepergaulan dan berusaha untuk mengadakan pendekatan kepada mereka dengan memberikan berita baru atau sesuatu hingga mereka memperhatikan kepadanya.

Adanya keinginan untuk menimbulkan keburukan terhadap orang yang diceritakan, misalnya dengan mengutip omongan orang yang dimaksud kepada seseorang yang berkuasa, atau karena adanya keinginan untuk mendatangkan marabahaya terhadap orang yang dibencinya dengan berbagai macam cara.
Menampakkan kecintaan dan berusaha mengadakan pendekatan kepada orang yang diajak bicara dengan berusaha seakan-akan ia adalah salah satu di antara orang-orang yang mencintainya sehingga tidak ridha dengan perkataan orang lain tentangnya, untuk itu disampaikan kepadanya semua ucapan tentangnya, bahkan mungkin dengan menambah-nambahinya agar ia lebih dicintai oleh orang yang diajak bicaranya itu.

Sekedar main-main dan bergurau, karena pada kenyataannya banyak perkumpulan yang diselenggarakan sekadar untuk mengundang tawa, senda gurau dan mengutip omongan yang beredar di antara mereka.

Adanya keinginan untuk mengada-ada dan mengetahui rahasia orang lain serta menimbulkan surprise di kalangan manusia, sehingga untuk maksud itu ia mengutip ucapan seseorang untuk membuka rahasia orang lain.

Bagaimana Menyikapi Orang yang Suka Mengadu Domba?

Setiap orang yang menerima berita tentang dirinya bahwa “Fulan berkata tentangmu begini dan begitu“, atau “Fulan telah memperlakukan terhadap hakmu dengan begini dan begitu”, atau “Fulan telah merencanakan sesuatu untuk merusak urusanmu atau untuk menjelekkanmu”, atau ungkapan-ungkapan serupa lainnya, maka untuk mengatasi hal semacam itu hendaklah ia melakukan enam hal berikut:

Tidak percaya kepadanya, karena orang yang suka mengadu domba adalah seorang yang fasik dan kesaksiannya tidak dapat diterima, Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا أَنْ تُصِيبُوا قَوْمًا بِجَهَالَة

“Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya.” (Al-Hujurat: 6).

Melarangnya melakukan hal itu, menasihatinya dan mengatakan kepadanya bahwa perbuatannya itu adalah perbuatan buruk. Allah berfirman:

وَأْمُرْ بِالْمَعْرُوفِ وَانْهَ عَنِ الْمُنْكَر

“Dan suruhlah (manusia) mengerjakan yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar.” (Luqman: 17).

Hendaklah ia marah kepada orang tersebut karena Allah, sebab orang yang berbuat demikian adalah orang yang dimurkai di sisi Allah, maka wajib marah kepada siapa yang dimurkai Allah.

Jangan berburuk sangka kepada sesama Muslim yang tidak ada di hadapan anda, berdasarkan firman Allah:

اجْتَنِبُوا كَثِيرًا مِنَ الظَّنِّ إِنَّ بَعْضَ الظَّنِّ إِثْم

“Jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya sebagian prasangka itu adalah dosa.” (Al-Hujurat: 12).

Jangan sampai khabar yang anda terima itu mendorong anda untuk mencari-cari dan memastikan kesalahan orang lain, hal ini berdasarkan firman Allah:

وَلا تَجَسَّسُوا

“Dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan orang lain.” (Al-Hujurat: 12).

Janganlah anda merasa puas diri karena anda berhasil mencegah seseorang untuk mengadu domba, dan jangan sekali-kali anda menceritakan itu kepada orang lain dengan mengatakan, bahwa “Fulan berkata kepadaku begini dan begitu”, jika hal itu anda lakukan maka anda telah berbuatnamimah dan menggunjing orang lain, yang berarti anda melakukan sesuatu yang anda sendiri telah melarangnya.

Al-Hasan berkata: “Barangsiapa yang mengadu kepadamu berarti ia telah mengadu domba kamu”, hal ini merupakan suatu isyarat bahwa orang yang mengadu domba patut untuk dibenci, tidak dipercaya kata-katanya dan patut pula untuk dikucilkan dalam pergaulan, sebab orang yang melakukan itu tidak terlepas dari perbuatan dusta, membicarakan aib orang, khianat, iri, dengki, nifaq, menyebabkan rusaknya hubungan antara sesama manusia, dan orang yang melakukan perbuatan itu termasuk orang yang berusaha memutuskan tali (persaudaraan) yang Allah perintahkan untuk menjalinnya, serta termasuk orang yang melakukan kerusakan di muka bumi.

Allah Subhaanahu Wata’aala berfirman:

إِنَّمَا السَّبِيلُ عَلَى الَّذِينَ يَظْلِمُونَ النَّاسَ وَيَبْغُونَ فِي الأَرْضِ بِغَيْرِ الْحَقّ

“Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zhalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak.”(Asy-Syura: 42).Dan orang yang suka mengadu domba temasuk di antara mereka.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

إِنَّ مِنْ شَرَارِ النَّاسِ مَنِ اتَّقَاهُ النَّاسُ مِنْ شَرِّهِ.

“Sesungguhnya yang termasuk manusia jahat adalah yang ditakuti orang lain karena kejahatannya.”

Dan orang yang berbuat namimah termasuk di antara mereka.Beliau bersabda pula:

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ قَاطِعٌ. قِيْلَ: وَمَا الْقَاطِعُ؟ قَالَ: قَاطِعٌ بَيْنَ النَّاسِ.

“Tidak masuk Surga orang yang memutuskan”, beliau ditanya: “Memutuskan apa?”. Beliau bersabda: “Yang memutuskan hubungan antara sesama manusia”.

Dan itu adalah orang yang berbuatnamimah. Ada juga yang berpendapat bahwa maksud dari hadits ini adalah orang yang memutuskan tali persaudaraan.

Mush’ab bin Umair berkata: Kami berpendapat bahwa menerima laporan yang bersifat mengadu domba adalah lebih jahat daripada perbuatan adu domba itu sendiri, karena laporan yang bersifat mengadu domba adalah petunjuk, sementara menerimanya berarti melakukan petunjuk itu. Adalah tidak sama antara orang yang menunjukkan pada sesuatu dengan orang yang melakukan sesuatu. Maka waspadalah terhadap orang yang mengadu domba, walaupun ucapannya itu jujur namun di balik kejujurannya itu ia adalah seorang penjilat, karena dengan begitu berati ia tidak menjaga kehormatan orang lain dan tidak menutupi aib sesama.

Sikap Terhadap Pelaku Namimah

Imam An-Nawawi berkata, “Dan setiap orang yang disampaikan kepadanya perkataan namimah, dikatakan kepadanya: “Fulan telah berkata tentangmu begini begini. Atau melakukan ini dan ini terhadapmu,”maka hendaklah ia melakukan enam perkara berikut:

Tidak membenarkan perkataannya. Karena tukang namimah adalah orang fasik.
Mencegahnya dari perbuatan tersebut, menasehatinya dan mencela perbuatannya.

Membencinya karena Allah, karena ia adalah orang yang dibenci di sisi Allah. Maka wajib membenci orang yang dibenci oleh Allah.

Tidak berprasangka buruk kepada saudaranya yang dikomentari negatif oleh pelaku namimah.

Tidak memata-matai atau mencari-cari aib saudaranya dikarenakan namimah yang didengarnya.

Tidak membiarkan dirinya ikut melakukan namimah tersebut, sedangkan dirinya sendiri melarangnya. Janganlah ia menyebarkan perkataan namimah itu dengan mengatakan, “Fulan telah menyampaikan padaku begini dan begini.” Dengan begitu ia telah menjadi tukang namimahkarena ia telah melakukan perkara yang dilarang tersebut.”.

Bukan Termasuk Namimah

Apakah semua bentuk berita tentang perkataan/perbuatan orang dikatakan namimah? Jawabannya, tidak. Bukan termasuk namimah seseorang yang mengabari orang lain tentang apa yang dikatakan tentang dirinya apabila ada unsur maslahat di dalamnya. Hukumnya bisa sunnat atau bahkan wajib bergantung pada situasi dan kondisi. Misalnya, melaporkan pada pemerintah tentang orang yang mau berbuat kerusakan, orang yang mau berbuat aniaya terhadap orang lain, dan lain-lain. An-Nawawi rahimahullah berkata, “Jika ada kepentingan menyampaikan namimah, maka tidak ada halangan menyampaikannya. Misalnya jika ia menyampaikan kepada seseorang bahwa ada orang yang ingin mencelakakannya, atau keluarga atau hartanya.”

Pada kondisi seperti apa menyebarkan berita menjadi tercela? Yaitu ketika ia bertujuan untuk merusak. Adapun bila tujuannya adalah untuk memberi nasehat, mencari kebenaran dan menjauhi/mencegah gangguan maka tidak mengapa. Akan tetapi terkadang sangat sulit untuk membedakan keduanya. Bahkan, meskipun sudah berhati-hati, ada kala niat dalam hati berubah ketika kita melakukannya. Sehingga, bagi yang khawatir adalah lebih baik untuk menahan diri dari menyebarkan berita.

Imam Asy-Syafi’i rahimahullah berkata, “Seseorang selayaknya memikirkan apa yang hendak diucapkannya. Dan hendaklah dia membayangkan akibatnya. Jika tampak baginya bahwa ucapannya akan benar-benar mendatangkan kebaikan tanpa menimbulkan unsur kerusakan serta tidak menjerumuskan ke dalam larangan, maka dia boleh mengucapkannya. Jika sebaliknya, maka lebih baik dia diam.”

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...