Senin, 23 November 2020

Islam Nusantara??? Istilah Lama Yang Di Munculkan Lagi


BELAKANGAN  ini muncul wacana “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara”. Istilah ini bahkan sedang menjadi tren di kalangan intelektual, birokrat Kementerian Agama, politisi, dan sebagian organisasi Islam.

Dalam berbagai kesempatan sejumlah akademisi, pejabat Kementerian Agama, dan beberapa tokoh organisasi Islam kerap mengulang-ulang frasa ini dalam pidatonya.

Wacana “Islam Indonesia” (di)muncul(kan) di tengah konstelasi politik global yang sedang sumpek akibat berbagai konflik yang ikut menyeret Islam dan umat Islam di dalamnya, sebut saja misalnya perang di Iraq, Suriah, Yaman, Somalia, Nigeria, dan lain-lain. Tidak bisa dipungkiri konflik-konflik tersebut melahirkan -atau melibatkan- kelompok-kelompok militan yang tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan untuk mencapai tujuannya yang kemudian menimbulkan citra Islam sebagai agama kekerasan, teror, haus darah, dan sebagainya.

Di tengah situasi inilah wacana “Islam Indonesia” hendak dihadirkan sebagai tawaran alternatif untuk menampilkan wajah Islam yang “moderat”, “toleran”, cinta damai, dan menghargai keberagaman.

Namun di luar “niat baik” itu sesungguhnya masih banyak hal yang menjadi tanda tanya dari wacana “Islam Indonesia” ini, baik landasan konseptualnya maupun substansinya. Akan tetapi sayangnya tidak banyak orang yang memberi perhatian akan hal ini padahal ia mencakup permasalahan yang mendasar. Berangkat dari situ penulis akan mencoba mengkritisi wacana “Islam Indonesia” ini.

“Islam Indonesia”, Makhluk Apakah?

“Islam Indonesia” sejatinya adalah sebuah konsep. Sebagai konsep, sampai hari ini belum ada definisi baku tentang apa yang dimaksud “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara”.

Aneh, sebuah sebuah konsep belum jelas,  sudah diwacanakan secara resmi di lembaga-lembaga kementerian bahkan wacana akademik.

Bagaimana mungkin sebuah konsep diperbincangkan sedemikian rupa tanpa dijelaskan maknanya, ini sama saja  membicarakan sesuatu yang tidak ada isinya.

Penulis masih menebak-nebak, apa sesungguhnya “Islam Indonesia” yang dimaksud para akademisi, pejabat, dan tokoh ormas itu?

Apakah yang dimaksud adalah “agama Islam ala Indonesia”? Jika ya lantas seperti apa wujudnya? Apa seperti di Turki pada zaman Mustafa Kemal Attaturk dulu yang adzan dikumandangkan dalam bahasa Turki dan Al Quran hanya diterbitkan terjemahannya saja yang ditulis dengan huruf Latin? Atau seperti apa? Masih belum jelas.

Selama pengertiannya belum jelas, sebaiknya  para akademisi, pejabat, birokrat dan tokoh tidak latah bicara soal “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara”. Membicarakan konsep yang masih kabur hanya akan membingungkan dan menyesatkan masyarakat.

Mengingkari Realitas

Terlepas dari belum jelasnya pengertian “Islam Indonesia” itu sendiri, tampak bahwa wacana ini erat hubungannya dengan gagasan almarhum Gus Dur tentang “pribumisasi Islam”. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa “pribumisasi Islam” adalah upaya mengartikulasikan ajaran dan nilai-nilai Islam sesuai dengan konteks sosial-budaya masyarakat penganut Islam itu sendiri.

Bagi masyarakat Muslim Indonesia tentu saja Islam harus diterjemahkan sesuai dengan konteks-sosial budaya lokal Indonesia atau Nusantara.

Dalam banyak perbincangan seputar wacana “Islam Indonesia” kerap disinggung  memiliki “ciri khas” dan membedakannya dengan Islam di negeri-negeri lain.

Secara umum ada yang mengelompokkan dalam dua macam karakteristik. Pertama  “Islam Indonesia” lebih mengedepankan aspek esoteris (hakikat) ketimbang eksoteris (syariat); kedua  sebagai Islam yang “moderat”, “toleran” dan “cinta damai”. Pendeknya Islam yang lemah lembut, kebalikan Islam yang “radikal”, “intoleran” atau “gemar kekerasan”.

Kalimah Islam Nusantara akan Dijadikan Tema Pada Muktamar NU

Dunia internasional dikabarkan menerima Islam Nusantara, sebuah gagasan yang kini dijadikan tema besar Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama pada 1 sampai 5 Agustus 2015 mendatang. Kabar gembira ini disyukuri Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

"Saya dengar PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) sampai menggelar diskusi khusus tentang Islam Nusantara. Alhamdulillah,Islam Nusantara bisa diterima dunia internasional," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj dalam keterangannya di Jakarta.

Situs VOA Indonesia melaporkan, PBB membahas diskusi wajah Islam moderat di Indonesia di markas besar mereka di New York, Amerika Serikat, Diskusi yang digagas perwakilan tetap Indonesia di PBB ini diikuti pemuka agama, pengamat, diplomat, serta tokoh masyarakat.
“Ini membanggakan,” lanjut Kiai Said.

Kiai Said meminta pihak-pihak yang terus mempertanyakan gagasan Islam Nusantaratak memperdebatkannya lagi. Ia memastikanIslam Nusantara bukan agama baru, bukan juga aliran baru. "Paling penting, Islam Nusantara tak akan mengajarkan seseorang menjadi radikal, tak mengajarkan permusuhan dan kebencian," tegas dia.

Dalam diskusi tentang Islam Nusantara di PBB, Dr James B Hoesterey dari Universitas Emory di Atlanta, Georgia, menganggapIslam Nusantara sebagai gagasan yang layak dicontoh oleh dunia internasional.

“Sebagai seorang antropolog yang sudah lama melakukan penelitian di Indonesia, saya senang bahwa dunia luar dan wakil-wakil serta duta besar dari negara masing-masing dapat mendengarkan sedikit lebih dalam mengenai Islam di Indonesia yang mungkin tidak sama dengan Islam di negara mereka, misalkan Arab Saudi. Kalau kita lihat ke depan, mungkin Indonesia bisa menjadi contoh,” kata Dr James.

Sementara Dr. Chiara Formichi, pakar sejarah Islam di Indonesia dari Universitas Cornell di Ithaca, New York, mengatakan banyak pelajaran yang bisa dipetik dari Islam di Indonesia. “Gagasan Islam Nusantara sa‎ngat erat dengan budaya dan sejarah Indonesia. Saya tidak tahu bisa diterapkan di negara lain atau tidak, tetapi yang jelas bisa menjadi contoh untuk mengerti mengapa seseorang memeluk Islam,” katanya.

Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama yang akan digelar di Jombang, Jawa Timur nanti akan dibuka Presiden Joko Widodo. Muktamar yang merupakan forum permusyawaratan tertinggi di Nahdlatul Ulama tersebut mengangkat tema ‘Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia.'

Menteri Agama pun Mengklarifikasi Kalimah Islam Nusantara 

SULTAN Palembang (Sultan Iskandar Badaruddin) mengkritik dengan keras gagasan Islam Nusantara. Menurutnya, Islam Nusantara ditinjau dari maknanya terlihat simpang siur karena secara penamaan saja salah terlebih pengistilahan.

“Mentradisikan agama atau meng-agama-kan tradisi?” ujarnya mengajak berpikir.

Diindikasi tema Islam Nusantara adalah konsep yang cenderung mengedepankan nilai-nilai modern daripada kemurnian syariat Islam itu sendiri.

“Jadi, mereka jangan sok modern, zaman dulu itu lebih baik daripada sekarang, mengikuti mereka yang dulu lebih baik, daripada mengikuti yang sekarang,” kata sultan Iskandar Badaruddin

Menurutnya, tanpa embel-embel apapun Islam tetaplah benar dan baik, malah jika ditambah akan timbul penyempitan syariat dan terlihat tidak sempurna.

Sebelumnya, Islam Nusantara atau Islam Indonesia adalah konsep yang salah satu poros pengusungnya adalah Menteri Agama sebagaimana dipromosikan oleh Menteri Menag, Lukman Hakim saat acara ta’aruf Kongres Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta.

“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan” ujar Lukman Hakim.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meluruskan stigma tentang Islam Nusantara. Menurutnya, Islam Nusantara merupakan nilai atau ajaran-ajaran Islam yang diimplementasikan di bumi Nusantara. Sehingga, ketika nilai-nilai Islam tersebut diimplementasikan di ranah lokal, maka menunjukan kekhasannya. 
 
"Bagaimana nilai-nilai Islam ini terkait dengan penyikapan terhadap perempuan, misalnya. Yang tidak sama jika diterapkan di wilayah lain. Bagaimana nilai-nilai islam menyikapi perbedaan yang ada. Bahkan terhadap perbedaan yang bisa masuk kategori akidah lalu kemudian mengusik atau merampas hak-hak mereka," ujar Lukman
 
Sebetulnya, ujar Menag, istilah Islam Nusantara juga dikenal dengan Islam moderat yang penuh toleransi, Islam yang bisa hidup dalam keberagaman, Islam yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan, hak azasi manusia, dan lain sebagainya.
 
Sehingga, ia berharap Islam menjadi model bagi bangsa lain untuk mengambil nilai-nilai positif di wilayahnya masing-masing.
 
Adapun terkait banyaknya kontroversi yang timbul karena istilah Islam Nusantara, ia mencermatinya akibat belum adanya kesamaan pemahaman tentang substansi.

"Jadi sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali," katanya.
 
Menurutnya, istilah Islam Nusantara bukan untuk mendegasikan atau menafikkan kelompok tertentu. Penetapan istilah Islam Nusantara ini pun tidak ada hubungannya sama sekali dengan politis.

Menjadi Sarana Memahami 4 Pilar Kebangsaan 

Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) menggandeng Pimpinan Pusat Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) menggelar Sosialisasi 4 Pilar Kebangsaan.

Ketua Umum PP IPNU, Khairul Anam Haritsah, mengatakan, kegiatan yang bertema "Perspektif Islam Nusantara dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara" dimaksudkan untuk memperkuat wawasan kabangsaan bagi pelajar NU.

Anam mengatakan Islam Nusantara merupakan cara pandang ber-Islam dalam Bhineka Tunggal Ika. Dimana, lanjutnya memandang yang berbeda sebagai sebuah kekayaan dan rahmat Tuhan bukan menuding, menyalahkan, menyesatkan bahkan mengkafirkan.

"Islam nusantara itu merangkul bukan memukul, Islam Nusantara itu menasehati bukan menyakiti dan Islam Nusantara itu mengajak bukan mengejek. IPNU akan mendukung kehidupan berbangsa agenda MPR dengan membumikan Islam Nusantara. Indonesia kaya akan budaya, suku, ras dan agama," kata Anam usai acara buka bersama di Komplek DPR RI, Jakarta
.
Anam menambahkan dengan kekayaannya membuat iri bangsa lain. Sehingga, tidak sedikit yang ingin membuat perpecahan seperti beberapa negara Timur Tengah. Saat ini, lanjutnya banyak ulama Timur Tengah dari Irak, Afghanistan dan Yaman menaruh perhatian terhadap relasi agama negara ala Pancasila di Indonesia yang mampu menyeimbangkan sikap nasionalisme dan agama Islam.
"Kita harus sadari ada ancaman perpecahan, terutama kalangan ideologi radikal takfiri. Di Timur Tengah ada ribuan ulama, tiap bulan ratusan kitab diterbitkan, tapi karena tidak punya sikap kecintaan tanah air (nasionalisme) kuat, perbedaan dalam berpaham agama, sekte dan mazhab membuatnya terjebak dalam perang saudara yang sudah bertahun-tahun, ratusan ribu nyawa hilang, Kejadian seperti itu jangan sampai terjadi," beber Anam.

Menurut Anam, Islam Nusantara yang belakangan ramai dibicarakan umat Islam sebenarnya juga pernah dinyatakan Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Bahkan Gus Dur menyampaikan lebih tegas melalui konsep Pribumisasi Islam dalam konteks berbangsa dan bernegara. Konsep yang ditekankan adalah Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat.

"Tapi juga tidak menolak nilai-nilai baru yang terus muncul sepanjang untuk kebaikan masyarakat," demikian Anam.

Tanggapan penulis terhadap istilah Islam Nusantara 

Menurut saya  "Tidak ada Islam Arab, tidak ada Islam Nusantara," ‎ 
berikut sejarah singkat Islam Di Bumi Nusantara 

Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara

Awal masuknya Islam ke Indonesia hingga kini masih menjadi salah satu polemik intelektual terbesar di kalangan sejarawan muslim. Namun secara sederhana pandangan khalayak umum dapatlah dipetakan masih bertumpu pada teori Gujarat, teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia melalui pedagang pedagang yang berasal dari sebuah daerah di India bernama Gujarat pada awal abad 13, teori inilah yang hingga kini masih menjadi alam pikiran manusia muslim Indonesia, hal ini akibat berjalannya „koloni‟ sistem
 pengetahuan kita yang dijalankan oleh aparatus aparatus pendidikan kita. Teori ini sesungguhnya sangat biasa pada masa kolonial , promotor terbesar teori ini adalah Dr.Snouck Hurgonje,orientalis-Islamolog terbesar di Hindia Belanda, Hurgounje berkepentingan memainkan politik "devide et impera’  dan "peluruhan sejarah‟ Islam di nusantara demi kepentingan kolonialisme Belanda

Teori ini berhasil dipatahkan dengan teori Makkahnya Hamka,Hamka menyatakan Islam masuk ke Indonesia bukan pada abad 13, melainkan sejak abad 7,dan dibawa langsung dari Makkah sebagai sentrum kaum muslimin sedunia, bukan Gujarat.Argumentasi Hamka salah satunya didasarkan pada penemuan nisan seorang ulama bernamaSyaikh Mukaiddin di Baros, Tapanuli, Sumatera Utara, dimana tertulis tahun 48 Hijriah yakni670 Masehi.

Selain itu menurut Hamka, Gujarat pada abad ke 13 menganut mazhab Maliki,sedangkan Islam di Nusantara sejak dahulu mayoritas bermazhab Syafii, bagaimana ini bisa dijelaskan..?Dengan menggunakan pendapat Hamka, Islam di Nusantara berkembang perlahan lahan sejak awal abad ke 7, tepatnya pada zaman kekhalifahan Ali RA. Bahkan cendekiawan Muslim Malasyia, Naquib Al Attas menyatakan bahwa kedatangan Islam di nusantara dibawa langsung oleh utusan gubernur Syarif (Makkah) yakni seorang ulama yang bernama Syaikh Ismail, yang kemudian mengajak pemuda bernama Muhammad mendirikan kesultanan Islam pertama di nusantara, kerajaan Pasai

Perlu diketahui juga bahwa para penyebar Islam yangmula mula di bumi nusantara bukanlah pedagang yang hanya bermotif ekonomi saja,melainkan diantaranya terdapat para alim ulama, syaikh, dan kaum sufi pengikut tareqat. Para pedagang, ulama dan pengikut tarekat yang masuk ke nusantara sejak abad ke 7kemudian mulai mengembangkan jaringan dakwahnya, dengan status sosial ekonomi yanglebih tinggi dari mayoritas pribumi para saudagar ini mendapat tempat yang istimewadikalangan pribumi. Dakwah yang mereka tebar juga berwajah ramah cermin karakter Islam yang rahmatan lil alamin  pendekatan kebudayaan yang dilakukan dipermudah dengan kuatnya basis sosial ekonomi para saudagar ini. Secara sederhana, kita dapat memetakan strategi pembasisan kekuatan Islam di Nusantara. Strategi dakwah ini dapat dipetakan dengantiga komponen utama, pertama pasar sebagai basis ekonomi, pesantren sebagai basiskebudayaan dan perkaderan, dan masjid sebagai sentrum dan ruang publik komunitas muslim.

Formula Keberhasilan Dakwah Islam di Nusantara

Pasar, Pesantren dan Masjid adalah tiga komponen utama kesuksesan strategi dakwahkaum muslimin di Nusantara. 

Pasar seperti diketahui pada abad abad itu adalah pusatekonomi rakyat, semua elemen masyarakat mengadu hidupnya melalui insitusi bernama pasar, dan komoditas utama nya adalah rempah rempah. Dalam hal ini, para juru dakwah Islam memiliki bargaining position yang kuat, saudagar saudagar muslim yang berasal dariArab terkenal pandai berniaga dan tergolong kaya. Hal ini tentu berhasil merebut hati dansimpati pribumi. Lambat laun pasar menjadi basis penting dalam penyebaran Islam di Nusantara. 

Sementara itu lembaga pesantren juga tak kalah kontribusinya bagi pesatnya penyabaran Islam. Aktivitas aktivitas perkaderan ulama, keilmuan dan kebudayaan terjadi dilingkungan pesantren, kiai dan santri perlahan menumbuhkan kebudayaan Islam di Nusantara melalui serangkaian aktivitasnya, selain itu dari sinilah benih benih rasa kebangsaan diamdiam disemai dan dialiri semangat transedental ilahiyah. 

Terakhir, Masjid memiliki peranyang sangat sentral sebagai ruang sosial tempat bertemunya kaum muslimin dari berbagai strata sosial, Masjid juga menjadi semacam “corong” bagi para ulama untuk menyampaikan pandangan dan seruannya seruannya kepada khalayak kaum muslimin.Kolaborasi tiga elemen vital ini berhasil mencapai kegemilangan dakwah Islamiyahyang luar biasa kuatnya, dengan waktu yang relatif singkat Islam telah menggeser Hindhu Budha sebagai agama mayoritas di nusantara, dan jauh lebih penting kesuksesan misionarisIslam ini dilakukan tanpa pedang dan darah, sebagaimana banyak dituduhkan oleh paraorientalis, melainkan dengan wajah yang ramah dan lembut. Strategi mendahulukan pendekatan kebudayaan, penguatan basis ekonomi dan penciptaan ruang ruang sosial terlebihdahulu terbukti jitu diterapkan pada masyarakat pribumi nusantara. 

Setelah basis kebudayaan,ekonomi dan sosial telah kokoh, komunitas muslim barulah berpikir tentang imajinasikesatuan politik ummat Islam. Eksperimentasi politik (ijtihadi) ummat Islam kala itu adalahmembentuk Kesultanan, sebagai langgam kesatuan politik komunitas muslim menggantikansistem kerajaan yang berwatak Hindu Budha. Kepemimpinan dijalankan oleh seorang Sultan yang bergelar Khalifatullah Panatagama, para Sultan muslim ini di sokong lingkaran ulamasebagai penasihat kesultanan. Kolaborasi Ulama dan Umaro inilah yang merumuskan kebijakan kebijakan Kasultanan Islam, termasuk kebijakan antikolonialis berupa perlawanan- perlawanan rakyat. 

Tercatat hingga awal abad 20 an di berbagai daerah nusantara ada sekitar40an kasultanan Islam yang pernah berdiri sebelum ditaklukkan oleh kolonialisme Belanda mewujudkan kesatuan politik betapapun urgennya diletakkan paling akhir dari desain besar perjuangan ummat Islam, bukan sebaliknya.Pada masa masa revolusi kemerdekaan, tiga elemen vital di atas memainkan perananyang sangat signifikan dalam perjuangan membela republik, terutama sekali insitusi pesantren. Setelah kasultanan Aceh ditaklukkan tentara kolonial pada akhir tahun 1900an, praktis kekuasaan politik ummat Islam di Nusantara telah berakhir. Namun meskipunkekuasaan politik berakhir, namun kekuatan ummat Islam tidaklah ikut sirna pula, sebab basis kebudayaan masyarakat masih dipegang oleh para ulama. Pesantren pesantren yangterus tumbuh di awal abad 19 berkat politik etis menjadi semakin independen dan bahkanmengembangkan suatu jenis semangat radikalisme baru, sutau semangat yang disebut olehMitsuo Nakamura sebagai tradisionalisme radikal.

 Akibat semakin dipinggirkan dalamsistem pendidikan kolonial, pesantren justru berhasil mengambil peran oposan terbesarkolonial kala itu, pesantren menjadi basis penyemaian semangat kebangsaan kaum muda dan pusat perlawanan paling radikal di nusantara, kiai memainkan peranan yang begitu besardalam membakar semangat juang kaum santri dan mengobarkan panggilan jihad fii sabilillah membela republik. 

Kisah paling heroik adalah ketika Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari, mengeluarkan fatwa kewajiban jihad fii sabilillah dalam peperangan 10 november diSuarabaya, fatwa ini berhasil memobilisasi dukungan ratusan ribu santri di seantero JawaTimur. Ada begitu banyak kisah kisah yang menunjukan bahwa di awal abad 20, pesantrenmenjadi basis perlawanan kaum santri terhadap kolonialisme belanda. Saat itu Islamdijadikan api perjuangan melawan jahatnya kolonialisme Belanda. Dalam konteks yang lebihluas, Islam di Nusantara sesungguhnya juga telah berhasil melakukan “purifikasi”
 terhadap konsep nasionalisme, nasionalisme di barat yang sejatinya berwatak sekularistik, di Indonesia ditransformasikan menjadi rasa kebangsaan yang dijiwai semangat transedental teramat tinggi, para ulama ketika itu menggunakan mutiara hikmah “Hubbul Wathan Minal Iman"‎ sebagai landasan teologis bahwa Islam dan Nasionalisme tidaklah bertentangan, bahkan nasionalisme sangat dianjurkan oleh Islam dan sebagian dari kepercayaan seorang muslim(iman), inilah saat saat dimana keislaman dan keindonesiaan bergandeng tangan dengan penuh kemesraan.
 
Dari uraian di atas sesungguhnya terbukti sudah bahwa Islam sebagai sebuah kekuatan yang dinamis, mampu selalu hadir untuk menjawab tantangan zaman melalui pergerakan historis yang digerakkan oleh umatnya. Dalam hal ini penting dikemukakan pandangan Prof. Kuntowijoyo, beliau menyebutkan karakteristik kebudayaan Islam ada dua, pertama universal dan yang kedua kosmopolit

Universal berarti nilai nilai prinsipil dalamIslam selalu relevan dengan segala tempat dan zaman, melintasi batas batas ruang dan waktu.Sedangkan kosmopolit berarti Islam selalu mampu hadir dalam berbagai ragam dan mampumenyerap bentuk bentuk kebudayaan yang lain tanpa kehilangan identitasnya. Universalismedan Kosmpolitanisme Islam terlihat dalam corak perkembangan Islam di Nusantara. 

Islam‎ di Nusantara sebagaimana dijelaskan di atas, mampu hadir beriringan dengan kebudayaan lokal pada saat yang bersamaan, Islam melintas batas geografi dengan mampu hadir dan eksis di bumi nusantara, hal ini menunjukan Islam bukanlah agama hanya untuk suku Quraisy atau bangsa Arab saja, melainkan agama untuk semua bangsa bangsa di dunia, universalis memenemukan bentuknya. 

Sedangkan kosmopolitanisme mewujud dengan akulturasi kebudayaan Jawa dan kebudayaan Islam yang membentuk kebudayaan Islam Nusantara,tradisi pesantren sebagai basis perkaderan ulama adalah salah satu buktinya, pesantren adalahlembaga pendidikan yang inovatif karena mampu menggabungkan unsur lokalitas dan universalitas Islam, pesantren juga menjadi basis tumbuhnya kebudayaan santri yang telah mencerap nilai nilai Islam.Kini Islam di  Nusantara telah menjadi suatu alternasi cara keberagamaan masyarakat Indonesia. Islam nusantara tidak berarti menativekan Islam, atau melokalisasi ajaran Islam, bukan Islam sebagai sistem nilai (value system) tetaplah bersifat universal, namun dalam praktik praktik sosial kemasyarakatannya boleh jadi sangat bergantung pada konteks budaya masyarakat setempat. Dalam hal ini, Islam di Nusantara telah melewati „ujian‟ yang serius dalam beberapa periode zaman, dari zaman hindu budha, kolonialisme hingga sekarang ketika gelombang demokratisasi menerpa Islam di nusantara ditantang kembali relevansinya oleh zaman.

Tantangan zaman ke depan memerlukan formulasi cara keberagamaan yang tepat.Globalisasi cenderung membawa kepada kehidupan yang serba materialistik-sekular, nilaidan moralitas baik yang bersumber dari agama maupun masyarakat lokal tidak dianggaprelevan lagi bagi arus modernisasi, institusi institusi moral seperti keluarga dan lembagakeagamaan kian kehilangan signifikansi peranannya dalam masyarakat. Individu individu dalam masyarakat merasa berhak menentukan sikap dan perbuatannya atas rasionya masingmasing, dan mengabaikan tuntunan moralitas yang ada, atomisasi sebagaimana dijelaskan Emile Durkheim kini benar benar terjadi, khususnya di masyarakat perkotaan. Belum lagi terjangan paham neoliberalisme dalam segala bentuk, neoliberalisme dalam bidang ekonomi menyebabkan liberalisasi perdagangan, privatisasi BUMN, ketergantungan import dan dihapuskannya subsidi untuk rakyat. Liberalisasi politik menyebabkan politik biaya tinggi (high cost politic) dan perselingkuhan penguasa penguasaha kian amarak terjadi. Bahkan paham neoliberalisme juga telah merasuki insitusi agama, maraknya acara acara berkonsep religitainment  saat ini misalnya menjadi bukti shahih bahwa telah terjadi komodifikasi Agama, para kapitalis tega „menjual‟ agama demi pundi pundi rupiah mereka.

Di tengah kondisi yang serba limbung di atas, Islam di Nusantara dengan segala khazanah kebudayaan, tradisi, warisan intelektual, basis ekonomi dan kekuatan politk etiknya mampu menjadi salah satu alternasi jalan untuk keluar dari jeratan masalah. Konkretnya,lembaga pesantren misalnya sesungguhnya memiliki potensi pemberdayaan ummat yangsangat besar, dengan jumlah ribuan santri dan luasnya jaringan yang dibangun pesantren sesungguhnya mampu melakukan fungsi pemberdayaan (empowering)  masyarakat,memberdayakan masyarakat secara ekonomi, sosial, budaya dan politik. 

Konsep pemberdayaan berbasis pesantren ini telah terbukti di Pesantren Maslakhul Huda di Pati, Pesantren Tebu Ireng, Pesantren SiwalanPanji, Pesantren Lirboyo serta Pesantren lainnya. Pesantren Pesantren ini mampu merintis program program yang sesuai dengan kemajuan Zaman dan tetep mengedepankan pelajaran Agama.
Islam Rohmatan lil 'Alamin

Kalau seperti apa Islam Nusantara, saya tidak tahu persis. Saya bukan yang melontarkan ide itu ya. Tapi begini, Islam itu adalah agama, lalu Nusantara adalah budaya. Budaya atau geografi, jadi kalau yang dimaksud Islam Nusantara itu adalah Islam yang diwarnai dengan corak budaya nusantara, seperti saya ini pakai peci, kan nusantara. Kalau seperti itu saya mendukung sekali. Tapi kalau itu bersumber dari ajaran-ajaran yang berkembang di nusantara, itu saya tolak.

Ajaran yang berkembang di nusantara sebelum Islam apa? Kan klenik dan sebagainya, tahayul itu mau dijadikan, saya menentang keras. Tapi kalau yang dimaksud adalah Islam yang diwarnai dengan corak budaya nusantara itu engak ada masalah.

Cuma saya melihat kenapa ada ide seperti itu, orang seperti itu sebab belakangan berkembang dari segala apa yang dari Arab, bahkan yang dari nabi itu bakal dijadikan agama. Artinya apa yang berasal dari nabi mesti diikuti. Padahal yang dari nabi ada dua macam. Yang agama dan budaya. Nabi sendiri mengatakan begini," kalau aku memerintahkan kepada kamu dan itu merupakan agama, maka kamu wajib mengikuti. Tapi kalau yang saya perintahkan itu adalah pendapat saya, maka saya adalah manusia biasa."

Nah apa yang datang dari nabi itu ada tiga hal. Pertama aqidah, ibadah, ada yang bidangnya muamalah. Nah ini masuknya budaya. Kalau bidang agama, aqidah dan ibadah harus kita ambil. Gamis yang dikalungkan. Itu adalah budaya orang Arab pada masa nabi seperti itu. Apa yang pakai sorban itu bukan cuma Rasullullah, abu jahal juga pakai sorban. Nabi sendiri mengatakan perbedaan sorban kami dengan sorban orang-orang musryikin adalah memakai peci kemudian memakai sorban.

Cuma kalau orang Islam kalau pakai peci dulu kemudian pakai sorban, sorbannya akan lebih srot. Karena dipakai untuk ruku dan sujud. Pada musyrikin itu kan enggak ada srot-srotan, yang penting ada ubel-ubel begitu. Jadi itu kata para ulama bukan agama, itu budaya. Nah artinya apa, budaya orang arab tidak harus kita ambil. Kalau itu baik ya tidak apa-apa. Kalau sorban saja. Tapi jangan mengatakan kalau tidak memakai sorban tidak mengikuti nabi. Itu akan saya lawan duluan dan itu bertentangan dengan ajaran nabi sendiri. 

Memang Al-quran mengatakan apa yang berasal dari nabi ambil, apa yang dilarang tinggalkan. Itukan sifatnya umum. Nah sekarang banyak orang menginginkan apa yang dilakukan nabi itu harus kita lakukan. Seperti pakai sorban, itu silakan. Tapi jangan ambil sorbannya saja, nabi tidak pernah makan nasi. Kamu jangan makan nasi. Itukan budaya. Pakaian misalnya, Islam itu tidak pernah membatasi tentang bentuk pakaian. Pakaian itu secara kriteria P4, pertama tutup aurat, tidak transfaran, tidak menyerupai lawan jenis. 

Kemudian ditambah lagi adabnya misalnya, bukan pakaian zuhroh, pakaian popularitas. Berarti pakaian berbeda dari apa yang digunakan orang-orang di sekitar kita. Kemudian bahannya yang tidak diharamkan, sutra bagi laki-laki misalnya. Kalau itu terpenuhi semuanya, mau model apa silakan. Orang Amerika pakai dasi silakan, siapa mau larang. Orang China mau pakai baju China silakan.

Sekarang kalau orang Indonesia pakai sarung, pakai peci, itukan nusantara. Nah kalau itu yang dimaksud saya dukung betul.
Budaya Indonesia tidak perlu kita lawan sepanjang itu tidak bertentangan dengan Islam.

Anda pakai baju ini budaya enggak? Yang pakai peci ini budaya enggak, berlawan dengan Islam? Orang-orang pakai baju batik budaya mana itu, sarung budaya mana itu, kan bisa menjadi budaya nusantara, ya kan? Dan itu tidak bertentangan dengan Islam. Tapi kalau budayanya itu harus pakai koteka, itu tidak boleh. Jadi jangan terlalu kaku lah. Tapi ada sekarang ini yang ingin mengamankan budaya, nah itu yang saya tidak sependapat. Budaya Arab itu wajib kita kerjakan sama seperti agama, itu tidak benar seperti itu.

Bagaimana Islam melihat tahlilan dalam tradisi nusantara, misalnya peringatan tujuh hari atau empat puluh hari kematian?

Tahlilan itu, jangankan tahlilan, sembahyang aja budaya dengan agama. Ritualnya kan agama, ibadah. Tapi pakai bajunya gimana, kan budaya, itukan menyatu, makanya tidak bisa mau memisahkan ibadah tidak bersinggungan dengan budaya tidak mungkin. Apa kita mau sembahyang telanjang, coba bagaimana. Kalau kita pakai jas itukan budaya barat. Berartikan ada agama bersinggungan dengan budaya.

Tapi banyak yang mengatakan jika tahlilan seperti itu tidak dilakukan oleh nabi?

Tidak semua yang tidak dilakukan oleh nabi itu tidak boleh dilakukan. Rasulullah tidak pernah haji dua kali, Rasulullah tidak pernah umroh pada bulan Ramadhan. Kenapa orang lakukan itu. Tahlilan itu budayanya apa? Kumpul-kumpulnya itu budaya, tapi bacaan Al-quran itu bukan budaya, tapi ibadah. Baca salawat itu ibadah. Baca tahlil, tasbih itu semuanya ibadah. Kumpul-kumpulnya itu budaya. Sulit beribadah tanpa mencampuri budaya.

Lalu bagaimana dengan Maulid Nabi?

Maulid Nabi itu budaya. Tapi membaca Alqurannya ibadah, baca shalawatnya ibadah. Menyantuni anak yatimnya ibadah, berdoanya ibadah, ceramahnya ibadah. Tapi itu dikemas dalam bentuk budaya. Coba sekarang anda sembahyang tanpa budaya sama sekali. Coba bayangkan sembahyangnya bagaimana? Apa telanjang?

Kita pakai sarung, pakai peci itu budaya kita. Islam kan tidak menentukan sarung. Kan tutup aurat, lalu kalau pakai daun pisang boleh?

Bagaimana menurut anda cara Islam masuk ke Indonesia dan perkambangannya sekarang?

Islam melalui perdagangan hanya penyebarannya saja, tidak ada masalah itu. Mau perdagangan, yang jelas begini, yang saya ketahui kalau dibanding penyebaran Islam di seputaran Arab ini, Islam masuk di Indonesia tanpa ada peperangan sama sekali. Jadi masuknya itu dengan jalan damai. Tapi harus diketahui pada saat itu ada dua imperium, Romawi dan Spartly, yang dalam situasi perang terus. Ketika menyebarkan Islam pun dalam faktor perang juga dan di Indonesia itu tidak ada. Itu yang saya ketahui begitu. Jadi dalam penyebaran Islam di Indonesia tidak ada perang.

Dan itu yang menjadikan Islam Indonesia lebih dikenal dengan budayanya?

Yah betul. Jadi begini juga. Yang kedua, ada upaya gerakan untuk menjadikan budaya Arab itu sebuah agama. Itu sebuah kewajiban, apa yang datang dari nabi tanpa dipilah-pilah harus diikuti termasuk pakainnya harus diikuti, makannya harus begini. Dan makan pun itu antara Agama dan budaya. Kalau kita makan dengan tangan kanan, diawali Bismillah dan diakhiri dengan hamdalah, itukan agama. Bahkan saya tidak tahu budaya itu masuk wilayah hewan misalnya? Ada memang hewan berbudaya?

Untuk membedakan agama dengan budaya, perbedaannya begini. Kalau perbuatan itu dilakukan oleh umat Islam saja, tandanya itu apa. Kalau perbuatan itu dilakukan oleh orang Islam dan non Islam, itu budaya. Contohnya begini, pakai baju itu budaya, non muslim juga memakai baju. Tapi memakai baju dengan kriteria yang saya sebutkan tadi, itu hanya diperuntukan untuk orang Islam. Makan pun budaya, yang dilakukan oleh orang non muslim dan muslim. Tapi ketika makan dengan tangan kanan diawali dengan bismilah dan diakhiri dengan hamdalah itu adalah agama.

Jadi harus bedakan mana budaya, mana agama. Yang datang dari nabi itu merupakan agama, kata Rasulullah wajib menaati. Tapi yang bukan merupakan agama, pendapat Rasulullah sendiri tidak harus dianjurkan. Sekarang kan anda tahu, sampai pengobatan Arab saja mau dijadikan agama. Kemudian bekam begitu, saya itu pernah mencoba untuk bekam. Apa ilmu yang saya dapat, saya tanya tukangnya itu "ini alat-alat bekamnya beli dimana? Ini buatan china,". Pengobatan nabi, ini buatan China. Berarti orang China punya budaya berbekam itu. Mungkin bekam itu bukan agama, tapi budaya.

Sekarang sedang ramai orang pakai batu cincin. Nabi pakai cincin, orang yang non muslim juga pakai cincin. Apakah orang yang pakai cincin itu merupakan pengikut Rasulullah? Itu budaya, karena orang non muslim juga pakai. Makanya yang budaya itu, anda mau pakai silakan tidak pakai juga silakan. Tapi dengan catatan, kalau anda mengambil budaya Arab atau budaya Nabi, apakah bercincin atau sorbanan, jangan mengatakan orang yang tidak memakai cincin, bukan pengikut nabi. Itu nanti yang akan saya lawan.

Banyak yang tidak dilakukan oleh nabi lalu dilakukan dan berujung pada pengkafiran?

Nah itu yang saya tidak setuju. Saya dulu pernah, 20 tahun yang lalu di kawasan Tomang ada pengajian, penghuninya anak dan bapak pakai sorban, pakai jubah. Anak kecilnya itu umurnya mungkin 8 tahun. Sorbannya itu sampai tengkleng. Namanya anak lucu kalau dipakaikan itu. Lalu bapaknya ngomong apa? "Iya mulai menjalankan sunnah nabi itu harus sejak kecil". Jadi dia mengatakan pakai sorban itu sunnahnya nabi. Kata para ulama, sorban itu bukan ibadah tapi tradisi. Nah kita kadang tidak membedakan mana yang agama dan budaya. Sehingga kita akan mengagamakan budaya. Nah yang perlu dipertimbangkan bagus mungkin membudayakan agama.

Yang dimaksud membudayakan agama ini adalah membiasakan mengamalkan sebuah rutinitas ajaran agama. Itu yang menjadikan membudayakan agama, itu bagus. Tapi kalau mengagamakan budaya, budaya itu setiap bangsa itu berbeda, setiap daerah berbeda. Islam itukan universal. Silakan saja.

Artinya Islam itu bukan Islam Arab atau Islam Nusantara?

Tidak ada Islam Arab, tidak ada Islam Nusantara. Makanya saya katakan sebenarnya tidak usah bikin-bikin istilah Islam Nusantara. Islam ini cukup sumbernya Al-quran. Tapi tadi Islam yang diwarnai budaya nusantara, tidak apa-apa. Sekarang begini, misalnya lebaran. Lebaran itu agama atau budaya? Sembahyangnya agama, ketupatnya budaya. Ketupatnya saja hanya sebagian daerah kok. Ada yang pakai lepet. Itu simbol-simbol budaya. 

Ketupat itu rapet, lepet itu erat, itu simbol-simbol hari raya. Yang menurut saya tidak benar adalah yang itu tadi, semua yang bersumber dari nabi itu agama. Pakai sorban, nanti pakai cincin, dan sebagainya dan itu yang akan merusak Islam itu sendiri.

Karena jika kita perhatikan, pemikiran ini jelas hendak merusak islam besar-besaran. Dan tidak jauh jika kita katakan, memecah belah kaum muslimin.

Budaya di nusantara bagi Indonesia, sangat beragam. Aceh jauh berbeda dengan jawa. Kalimantan, jauh beda dengan Papua. Ketika islam nusantara dipahami sebagai islam hasil akulturasi budaya lokal, apa yang bisa anda bayangkan ketika islam ini disinkronkan dengan budaya papua. Sehingga tercipta sebuah desain pakaian muslim, hasil interaksi antara islam dan budaya koteka. Tentu saja, ini akan sangat ditolak oleh masyarakat jawa atau lainnya.

Ingatan kita masih sangat segar terkait kasus shalat dengan bahasa jawa, yang diajarkan di Pesantren I’tikaf Ngadi Lelaku, Malang. Spontan memancing emosi banyak masyarakat. Jika sampai hal ini diwujudkan, yang terjadi bukan renaisans peradaban Islam, tapi malah mengacaukan masyarakat.

Termasuk ajaran sebagian etnis Sasak, shalat 3 waktu. Apakah bisa disebut islam nusantara? Jika sampai ini dilegalkan, berarti menolak keberadaan 2 shalat sisanya.

Hingga kini, banyak orang liberal menuduh, bahwa tujuan terbesar dakwah Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah untuk arabisasi dunia. Menerapkan hegemoni quraisy di alam raya. Sehingga, ketika ada gerakan dakwah di tengah masyarakat, mereka sebut, arabisasi.

Inti masalahnya, orang liberal lemah dalam membedakan antara budaya dan ajaran agama. Sehingga, di manapun ajaran agama itu disampaikan, menurut orang liberal, itu sedang memasarkan budaya arab.

Kita bisa telusuri, sebenarnya yang dilakukan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam itu meng-arab-kan islam ataukah meng-islam-kan arab??.

Jika kita menggunakan teori orang liberal, berarti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam meng-arabkan islam. Artinya, islam sudah ada, kemudian oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diwarnai dengan budaya arab.

Anda layak untuk geleng kepala..

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus di tengah masyarakat yang telah memiliki budaya. Ada yang baik dan ada yang buruk. Ketika beliau datang, beliau mengislamkan budaya-budaya itu. Dalam arti, mengarahkan pada budaya yang baik, dan membuang budaya jahat. Bukan disinkronkan, kemudian islam menyesuaikan semua budaya mereka.

Kita bisa simak, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan tentang budaya buruk jahiliyah, beliau mengatakan,

أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَىَّ مَوْضُوعٌ

“Katahuilah, segala urusan jahiliyah, terkubur di bawah telapak kakiku.” (HR. Muslim 3009)

Ini salah satu bukti, bagaimana upaya beliau menolak setiap tradisi jahiliyah yang bertentanagn dengan wahyu.


Islam Agama Menyeluruh

Islam agama yang unversal. Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyebarkan islam kepada seluruh umat manusia. Sehingga ajaran islam sedunia adalah sama. Karena sumbernya sama. Ketika ada orang yang memiliki kerangka ajaran yang berbeda, berarti itu bukan islam ajaran beliau.

Allah berfirman,

وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ

“Aku tidak mengutus kamu, melainkan untuk umat manusia seluruhnya, sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)

Dalam tafsirnya, al-Hafidz Ibnu Katsir menfsirkan ayat ini, bahwa Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk seluruh makhluk. Semua yang mukallaf. Baik orang arab maupun luar arab. Yang paling mulia diantara mereka, adalah yang paling taat kepada Allah. (Tafsir Ibn Katsir, 6/518).

Saya kira, tidak ada orang muslim yang ingin tidak dianggap sebagai umat Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam arti khusus, gara-gara dia punya islam yang berbeda dengan islam beliau.

Adat Bisa Menjadi Acuan Hukum

Ada satu kaidah dalam ilmu fiqh,

العادة محكَّمة

“Adat bisa dijadikan acuan hukum.”

Kaidah ini termasuk kaidah besar dalam fiqh (qawaid fiqhiyah kubro). Kaidah ini menjelaskan bahwa adat dan tradisi masyarakat dalam pandangan syariat bisa menjadi penentu untuk hukum-hukum terkait muamalah sesama manusia. Selama di sana tidak ada dalil tegas yang bertentangan dengan adat tersebut. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 276).

Hanya saja di sana para ulama fiqh memberikan batasan, ketika adat bertentangan dengan dalil syariat,

Pertama, jika ada adat yang sesuai dengan dalil syariat, wajib untuk diperhatikan dan diterapkan. Karena mempraktekkan hal ini hakekatnya mempraktekkan dalil dan bukan semata adat. ‎Contoh: memuliakan tamu.

Kedua, jika adat bertentangan dengan dalil syariat, ada beberapa rincian keadaan sebagai berikut,

Adat bertentangan dengan dalil dari segala sisi. Menggunakan adat otomatis akan meninggalkan dalil. Dalam kondisi ini adat sama sekali tidak berlaku. Misalnya: tradisi koperasi simpan pinjam berbunga.
Adat bertentangan dengan dalil dalam sebagian aspek. Dalam kondisi ini, bagian yang bertentanga dengan dalil, wajib tidak diberlakukan. Misalnya: Dropshipping dengan cara terutang.
Dalil yang bertentangan dengan Urf, dibatasi dengan latar belakang adat yang terjadi ketika itu. Misalnya, larangan membiarkan api penerangan menyala di malam hari. Atau larangan minum air dari mulut botol.
Contoh Penerapan Kaidah‎

Allah mewajibkan suami untuk menafkahi istri. Tentang ukuran nafkah, dikembalikan kepada keadaan masyarakat, berapa nilai uang nafkah wajar untuk istri.

Islam mewajibkan kita untuk bersikap baik terhadap tetangga. Bagaimana batasan sikap baik itu, dikembalikan kepada batasan di masyarakat dst.‎

 

Contoh Khutbah 'Idul Fithri


اَللهُ اَكْبَرْ (×9)
 اَللهُ اَكْبَرْ مَا هَبَّتْ نَسَائِمُ اْلاَفْرَاحِ بِالتَّهَانِى وَالسُّرُوْرِ, وَاَقْبَلَتْ بَشَائِرُ اْلا َعْيَادِ بِالتَّدَانِى وَاْلحُبُّوْرِ, وَتَعَطَّرَتِ اْلاَفْوَاهُ كَمَا يَنْبَغِى اَنْ يُحْمَدَ رَبُّنَا وَيُشْكَرَ. اَللهُ اَكْبَرْ, مَاسَجَعَتْ وُرْقُ اْلمُؤَذِّنِيْنَ فَوْقَ اْلمَنَائِرِ. وَغَرَّدَتْ بَلاَبِلُ اْلخُطَبَاءِ فَوْقَ اَعْوَادِ اْلمَنَابِرِ. وَنُشِرَتْ فِى هَذَا اْليَوْمِ اَعْلاَمُ التَّكْبِيْرِ وَالذِّكْرِ, وَلَذِكْرُ اللهِ اَكْبَرْ.
اَللهُ اَكْبَرْ, مَا تَزَيَّنَ الْمُسْلِمُوْنَ بِجَمِيْلِ الثِّيَابِ وَخَرَجُوا يَمْشُوْنَ اِلَى اْلمَسَاجِدِ وَالصَّحَارَى ذَاكِرِيْنَ اللهَ فِى الذَّهَابِ وَاْلاِيَابِ. فَهَنِيْئًا لِمَنْ بِاْلاِخْلاَصِ قَدْ تَعَطَّرَ.
 اَللهُ اَكْبَرْ, مَا جَهَرَ مُسْلِمٌ بِالتَّكْبِيْرِ مِنْ مَنْزِلِهِ اِلَى مُصَلاَّهُ, وَاسْتَمَرَّ يُكَبِّرُ حَتَّى قَدُمَ اْلاِمَامُ وَقَامَ اِلَى الصَّلاَةِ, فَنَوَى بِتَكْبِيْرَةِ اْلاِحْرَامِ وَقَالَ : اَللهُ اَكْبَرْ.
 اَللهُ اَكْبَرُ فِى مِثْلِ هَذَا الْيَوْمِ تَتَضَاعَفُ اْلاُجُوْرُ وَاْلحَسَنَاتُ, وَتَنْمُوْ بِهِ اْلخَيْرَاتُ وَاْلبَرَكَاتُ, وَيُسْتَزَادُ مِنْ اَلاَءِ اللهِ وَيُسْتَكْثَرُ.
 اَللهُ اَكْبَرْ (×٣)
اَلْحَمْدُ ِللهِ الَّذِى مَدَّ لَنَا مَوَائِدَ اِحْسَانِهِ وَاِنْعَامِهِ, وَاَعَادَ عَلَيْنَا فِى هَذَا اْليَوْمِ عَوَائِدَ بَرِّهِ وَاِكْرَامِهِ, وَاَلْبَسْنَا مَلاَبِسَ اْلعِزِّ وَاْلاَفْخَرِ. اَحْمَدُهُ حَمْدَ مَنْ نَطَقَتِ اْلاَلْسُنُ بِشُكْرِهِ فِى اْلمَسَاءِ وَالصَّبَاحِ, وَتَرَنَّمَ بِهِ اْلعَبْدُ فِى كُلِّ غُدُوٍّ وَرَوَاحٍ, وَسَبَّحَ بِحَمْدِ رَبِّهِ وَاسْتَغْفَرَ.وَاَشْهَدُ اَنْ لاَاِلَهَ اِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَشَرِيْكَ لَهُ وَاَشْهَدُ اَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ. اَللَّهُمَّ فَصَلِّ وَسَلِّمْ عَلَى سَيِّدِنَا وَمَوْلاَنَا مُحَمَّدٍ, اَلْمُشَفَّعِ فِى الْمَحْشَرِ, وَعَلَى اَلِهِ وَاَصْحَابِهِ وَمَنْ بِمِلَّتِهِ اشْتَهَرَ.
 اَللهُ اَكْبَرْ (×٣) عِبَادَ اللهِ…  اِتَّقُوا اللهَ وَاعْلَمُوْا اَنَّ هَذَا يَوْمُ عِيْدٍ وَسُرُوْرٍ ... وَاِعْتَاقٍ مِنَ النَّارِ وَاُجُوْرٍ…….. 

Kaum Muslimin Muslimat Rahimakumullah…

Langkung rumiyin kulo wasiyat dumateng pribadi kulo piyambak lan dateng kaum sedulur kulo muslim sedoyo. Monggo sami ajrih dateng ngarsanipun Allah kelawan netepi sikap lan sifat takwa ingkang saestu-estu. Sejatosipun takwa inggih kelawan ngamalaken sedoyo menopo ingkang dados dawuhipun Allah lan nebihi sedoyo  larangan-laranganipoun Allah swt.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Kaum Muslimin Muslimat Ingkang kulo mulyaaken… Dinten niki dinten riyoyo Fitri utawi Idul Fitri. Fithri niku artosipun secara bahasa buko, minongko tandane wus rampung anggene nglampahi puasa ramadhan. Kanthi rahmat lan kanugrahaning Gusti Allah, kito sedoyo saget ngrampungaken kewajiban puasa kang kelebu rukun Islam kang werno limo. Saksuwene poso niku kito pun saget nyingkirake hawa nafsu saking mangan ,ngombe lan liya liyane ,mulo kelawan tumibane ‘Idul Fitri iki kito kraos pikantuk kemenangan koyo dene prajurit kang nembe kondur saking medan perang kelawan mbekto kemenangan kang kilang gumilang, sak temene nggih pancen kados mekaten, nglawan hawa nafsu niku dumunung sewijine jihad, sewijine perjuangan kang gede, Rosululloh saw naliko kondur saking peperangan nglawan musuh kaum kafir lan musyrikin ing medan perang, Panjenenganipun  banjur ngendika:

“رَجَعْنَا مِنَ الْجِهَادِ اْلاَصْغَرِ اِلَى اْلجِهَادِ اْلاَكْبَرِ, جِهَادِ النَّفْسِ”

Artine: Kito kabeh pada bali songko jihad kang cilik (ngelawan mungsuh) nuju ngadepi jihad kang luwih gedhe, ya niku Jihad (nglawan) Nefsu”..

Allohu Akbar, Allohu Akbar, Allohu Akbar.

Kaum muslimin yang berbahagia!

Akeh banget poro menungso kang ngakeni beragama islam, nanging sholat mboten nate ngelakoni, poso ugi mboten. Anehe yen ‘Idul Fitri pun dumugi, yo melu bungah-bungah, lan melu seneng-seneng, klambi anyar,  lan liya-liyane. Polah tingkahipun menungso-menungso wau koyo-koyo poro pahlawan ingkang nembe wangsul sangking medan perang, nanging sak temene rupane mungsuh mawon mboten sami weruh, nopo manlih mateni lan natoni mengsah.
Banget olehe mboten gadhahi raos isin piyantun-piyantun kados mekaten nniku, ngaku nipun pahlawan perang, nyatane mung pahlawan jajan lan jenang.  Nyambut riyadin kanthi bingah lan suko cito pareng ke mawon,, bungah-bungah oleh, nanging sak madya mawon. 
Ono sawijine ulama islam, arane Abu Yazid, ngucap mangkene :

لَيْسَ اْلعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ اْلجَدِيْدَ, وَلاَ لِمَنْ اَكَلَ اْلقَدِيْدَ, وَلَكِنَّ اْلعِيْدُ لِمَنْ طَاعَتُهُ تَزِيْدُ, وَخَافَ اْلوَعِيْدَ.

Artine: “riyoyo niku dudu kanggo piyantun kang nyandang anyar tur mangan dendeng enak, nanging riyoyo niku kanggone piyantun kang ketaatane marang Alloh biso tambah lan wedi marang ancaman siksane.”

Dadi jelas menawai piyantun kang naliko nyambut dino riyoyo mung kelawan seneng-seneng lan lampah mubadzir, niku namung nuruti kekarepane howo nafsune lan yen dituruti terus, hawa nafsu nniku mboten wonten mareme, ora ono akhire. Tambah suwe tambah ndadi, koyo dene piyantun ngunjuk banyu segoro kang asin, tambah akeh olehe ngombe, tambah nemen ngelake. 
Imam Al Bushiri ing dalem kitab Al Burdah, ngaturaken syi’irane :

“وَالنَّفْسُ كَالطِّفْلِ اِنْ تُهْمِلْهُ شَبَّ عَلَى * حُبِّ الرَّضَاعِ وَاِنْ تَفْطِمْهُ يَنْفَطِمِ”

“Howo nafsu niku koyo bocah cilik, lamun siro tok ake, mesti terus olehe seneng nyusu, nanging lamun siro sapih (dipedot) hiyo bakal kasapih (biso medhot banyu susu).”

Rosululloh SAW ngendikaake yen piyantun kang seneng nuruti nafsune niku durung biso sempurno imane.
لاَيُؤْمِنُ اَحَدُكُمْ حَتَّي يَكُوْنَ هَوَاهُ تَبَعًا لِمَا جِئْتُ بِهِ

Artine : “Ora sampurno imane salah sawijine siro kabeh, sahinggo howo nafsune gelem di anutake marang agomo kang ingsun (Nabi Muhammad) gawa (yakni Agami Islam).”  Diriwayatake deneng Imam Bukhori.

Dados sanes agamine kang dianutake miturut kekarepane howo nafsune, Nanging howo nafsune kang kedah di rem, dipekak lan sarto dikendalikno sarto disetir dening agami Islam. Yen lampah niki pun saget ditindak aken nembe saget kawastanan sampurno imanipun.

Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar.

Kaum Muslimin Muslimat Ingkang Berbahagia.

Saben-saben piyantun kang anduweni cito-cito utowo niat kepingin gayuh sewijine perkoro kang nyebabake kepenak, mesti lan wajib wani ngadepi kesengsaran, kerupekan lan wajib tahan tur sabar.  Kito kepingin ngraosaken legine nangka, kedah wani keno pulut, kito kepingin ngraosaken legine madu tawon, kedah wani dientup tawon, lan sak lajengipun.

Ringkesipun kabeh kelapangan lan kesenengan kedah digoleki kelawan wani nandang sengsoro lan prihatin. Semanten ugi dino riyaya niki, dino kang dirameake kelawan kabungahan lan kasenengan, saget kalampah mung kelawan wontenipun wulan poso romadhon ingkang ing sak lebeting sewulan muput terus-terus ngraosaken ngelak lang ngelih utawa weteng luwe. Mulo piyantun kang tumut Riyoyo, emoh nindakaken poso niku keno diarani gawe sakepenake dewe, ibarat gelem mangan nangkane emoh gupak pulute. Rekoso disik banjur bungah-bungah, niku ora mung menungso thok, cobi kito pirsani kahanane kupu, asale uler. Naliko deweke kepengin biso mabur dadi kupu, bebas mrono mrene, banjur deweke ngenthung, poso ora mangan lan ora ngombe, awake dilebokake guwo, yoniku enthunge/ungkrunge, nganthi pirang-pirang dino. Akhire dadi kupu, biso ngambah gegono, mebur kelawan sentosa. Kang mengkene wajib dadi pepeling utowo tadzkiroh tumrap poro menungso kang biso migunaake akale. Mulo niku cocok banget nopo ingkang dipun dhawuhake dening Allah Ta’ala :

فَإِنَّ مَعَ اْلعُسْرِ يُسْرًا ، إِنَّ مَعَ اْلعُسْرِ يُسْرًا (سورة الإنشراح: 5-6)

 Artine : “Amarga Sa’temene sawuse angel iku ana gampang. Satemene sawuse angel ana gampang”

Allohu Akbar, Allohu Akbar, Allohu Akbar.

Poro kaum muslimin !

Naliko Shiyam kito ngraosaken ngelih lan ngelak, kiro-kiro mung ing wektu poso thok kito ngraosaken mekaten, menawi mboten poso mesti saget dhahar-ngunjuk-udud nganti kuwaregen lan marem. Nanging yen kitho neliti kahanane poro kaum faqir miskin, sangsara banget pagesanganipun, sedina mangan sedina mboten, sandangane suwek-suwek owal-awilan mboten wonten gantine lan saben dinane mlaku turut dalan jaluk kawelasane tiyang sanes. Piyantun kang mengkene iki saben dino ngraosaken ngelak lan ngelih, saben dina atine tansah susah kerono durung karuan kang dipangan. Kadang-kadang ketambahan nggadahi anak yatim, sebab bapake wus ora ono, minggat utowo sampun swargi. Mulo niku sakwuse kitho ngraosaken sangsarane ora mangan lan ora ngombe sewulan muput, banjur mestine yo kedah thukul roso welas lan asih marang poro faqir miskin.

Kerono niku agama islam banjur majibaken tumrap ummatipun supados ngedalaken zakat fithrah lan yen ono sandangan kang wus ora dienggo, becike dishodaqohake marang piyantun-piyantun kang kekurangan niku. Kelawan nindaake iki, kitho jenenge wus ngamalake perintahe Rosululloh saw hiyo niku :

أَغْنُوْهُمْ عَنِ السُّؤَالِ فِى هَذَا اْليَوْمِ .

Artine : “Poro faqir miskin niku cukupono (sandang pangane) supoyo ojo nganthi jejaluk ing dino riyoyo iki.”

Tegese ojo nganthi yen dino riyoyo niku katon ono piyantun ngemis, sebab mesaake banget, wayahe piyantun akeh podo seneng-seneng, sambang-sinambang, ziaroh-ziarohan kelawan mangan jajan lan ngombe wedang, dumadaan isih ono sepirangan menungso kang kapekso jaluk-jaluk kanggo ngisi wetenge, mongko yen ditakoni agamane, piyantun ngemis mahu ngandaake, “agami kulo Islam”. Dadi yen mengkono piyantun niku isih sedulur kitho dewe tunggal agama. Opo ora terenyuh manah kitho. Mugo-mugo kitho diparingi sifat welas lan asih marang sepdo-podo makhluq ing bumi, supoyo kitho diasihi dening sinten kemawaon kang mapan ono ing langit. Rosululloh saw dawuh :

اِرْحَمْ مَنْ فِى اْلأَرْضِ ، يَرْحَمْكَ مَنْ فِى السَّمَاء

ِArtine : “Welaso siro marang kang ono ing bumi, siro mesti diwelasi kang ono ing langit.” Diriwayatake dening Imam At Thobroni saking shohabat Jarir ra.

Allohu Akbar, Allohu Akbar, Allohu Akbar.

 أَعُوْذُ باِللهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيْمِ  :“وَاَنْفِقُوْا مِمَّا رَزَقْنَاكُمْ مِنْ قَبْلِ اَنْ يَأْتِيَ أَحَدَكُمُ اْلمَوْتُ فَيَقُوْلُ رَبِّ لَوْلاَ أَخَّرْتَنِى اِلَى أَجَلٍ قَرِيْبٍ , فَأَصَّدَّقَ وَأَكُنْ مِنَ الصَّالِحِيْنَ. وَلَنْ يُؤَخِّرَ اللهُ نَفْسًا إِذَا جَاءَ أَجَلُهَا , وَاللهُ خَبِيْرٌ بِمَا تَعْمَلُوْنَ”  (سورة المنافقون : ۱۰-۱۱)

Artine :
“Lan siro kabeh podo infaqna songko rizqi kang wus ingsun paringake marang siro kabeh, sak durunge salah suwijine siro kabeh niku katekan pati, banjur matur : “Duh pengeran kulo, mugi panjenengan paring wekdal sakedap kemawon kulo bade shodaqoh lan bade dados golonganipun tiyang sahe-sahe. Alloh ora bakal paring kelonggaran wektu marang piyantun lamun wus teka titi mangsane pati. Alloh niku Moho Waspodo marang opo wahe kang siro kabeh tindaake.”

بَارَكَ اللهُ لِى وَلَكُمْ فِى الْقُرْاَنِ اْلعَظِيْمِ . عِبَادَ اللهِ, أُوْصِيْكُمْ وَإِيَّايَ بِتَقْوَى اللهِ, وَاَحُثُّكُمْ وَنَفْسِى عَلَى طَاعَةِ اللهِ وَرَسُوْلِهِ. أَقُوْلُ قَوْلِى هَذَا وَأَسْتَغْفِرُ اللهَ لِى وَلَكُمْ وَلِسَائِرِ الْمُسْلِمِيْنَ وَاْلمُسْلِمَاتِ وَالْمُؤْمِنِيْنَ وَالْمُؤْمِنَاتِ فَاسْتَغْفِرُوْهُ, إِنَّهُ هُوَ الْغَفُوْرُ الرَّحِيْمُ.


الخطبة الثانية
الله أكبر  X7
الله أكبر كبيرا والحمد لله كثيرا وسبحان الله بكرة وأصيلا. أشهد أن لاإله إلا الله وأشهد أن محمدا عبده ورسوله . اللهم صل وسلم على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين وسلم تسليما كثيرا .
أما بعد  :فيا أيها الناس اتقوا الله ولازموا الصلاة على خير خلقه عليه الصلاة والسلام.  فقد أمركم الله بذلك إرشادا وتعليما. فقال: إن الله وملائكته يصلون على النبى . يا أيها الذين أمنوا صلوا عليه وسلموا تسليما. اللهم صل على سيدنا محمد وعلى أله وصحبه أجمعين . وعلى التابعين ومن تبعهم بإحسان الى يوم الدين. وارحمنا معهم برحمتك يا أرحم الراحمين.

اللهم اغفر للمؤمنين والمؤمنات والمسلمين والمسلمات الأحياء منهم والأموات إنك على كل شيئ قدير . اللهم أعز الإسلام والمسلمين. وأهلك الكفرة والمبتدعة والرافضة والمشركين . ودمر أعداء الدين . واجعل اللهم ولايتنا فيمن خافك واتقاك. ربنا أتنا فى الدنيا حسنة وفى الأخرة حسنة وقنا عذاب النار . ربنا اغفر لنا ولإخواننا الذين سبقونا بلإيمان ولا تجعل فى قلوبنا غلا للذين أمنوا ربنا إنك رؤوف الرحيم والحمد لله رب العالمين.

 

Sejarah Kyai Ageng Banyubiru


Dalam penulisan sejarah sering terjadi Simpang siur tentang riwayat masa lalu. Diantara nya mengenai Ki Ageng Banyubiru.
Maka dari itu di sini penulis akan mencoba menulis dua sejarah yang berbeda mengenai Ki Ageng Banyubiru.

1- Ki Ageng Banyubiru (Ki Kebo Kanigoro)

Tersebutlah pada zaman Kerajaan Islam Pajang-Mataram seorang kyai agung yang gemar laku tapa brata bernama Kyai Ageng Purwoto Sidik (yang lebih dikenal dengan julukan Kyai Ageng Banyubiru). Kyai Ageng Purwoto Sidik adalah guru spiritual dari Jaka Tingkir (Raden Mas Karebet) pendiri Kerajaan Islam Pajang yang menggantikan dinasti Kerajaan Demak Bintoro. Selain berguru kepada Kyai Ageng Purwoto Sidik (Kyai Ageng Banyubiru), maka Jaka Tingkir (Raden Mas Karebet) juga berguru kepada Sunan Kalijaga (Wali Agung Tanah Jawa) dan Syaikh Siti Jenar (yang juga dikenal dengan Syaikh Ali Hasan atau Syaikh Lemah Abang). Dalam kehidupan spiritualnya, Kyai Ageng Purwoto Sidik sering mengembara dan berpindah-pindah dari daerah satu ke daerah yang lain. Maka tak heran bila dalam pengembaraan tersebut, Kyai Ageng Purwoto Sidik banyak meninggalkan“Petilasan-Petilasan” (untuk bertapa brata atau tempat bermukim yang beliau tinggalkan).

Setelah sekitar tujuh tahun Kyai Ageng Purwoto Sidik mengembara di Purwokerto, beliau kemudian hijrah ke Rejosari, Semin, Gunungkidul. Ditempat itu beliau hidup di tengah hutan Kali Goyang. Setelah beliau hidup di tengah hutan Kali Goyang cukup lama, lalu beliau meneruskan pengembaraan sampai di Jatingarang, Sukoharjo (dulu bernama hutan Wonogung). Ditempat baru ini  Kyai Ageng Purwoto Sidik melakukan “Tapa Kungkum” di sendang setempat. Konon karena pancaran dari energi spiritual Kyai Ageng Purwoto Sidik, maka air Sendang Wonogung mendadak berubah berwarna biru. Hingga, sendang itu pun seiring berjalannya waktu kemudian dinamakan“Sendang Banyubiru”. Berdasarkan peristiwa ini pula, Kyai Ageng Purwoto Sidik diberi julukan “Kyai Ageng Banyubiru”. Pada era selanjutnya, julukan “Kyai Ageng Banyubiru”digunakan pula oleh murid-murid dan orang-orang sesudah beliau yang memang cinta pada sosok ketokohan beliau.

Perlu diketahui bahwa dusun Banyubiru berada di Selatan kota Solo (Jawa Tengah), yang disebut-sebut sebagai tempat Jaka Tingkir (Sultan Kerajaan Pajang) berguru (menimba ilmu). Setelah Jaka Tingkir berguru kepada Kyai Ageng Banyubiru, beliau kemudian melakukan perjalanan ke Gunung Majasto, selanjutnya ke Pajang. Jalur gethek-nya menjadi dasar penamaan dusun-dusun di wilayah itu, yakni: Watu Kelir, Toh Saji, Pengkol, Kedung Apon dan Kedung Srengenge. Selain Sendang Banyubiru, ada “Delapan Sendang” lain sebagai Petilasan Kyai Ageng Purwoto Sidik (Kyai Ageng Banyubiru), yakni: Sendang Margomulyo, Sendang Krapyak, Sendang Margojati, Sendang Bendo, Sendang Gupak Warak, Sendang Danumulyo, Sendang Siluwih dan Sendang Sepanjang. Sendang Gupak Warak berada di Wonogiri, dan sendang lainnya tersebar di Weru, Sukoharjo. Semua sendang itu kini airnya telah menyusut. Bahkan Sendang Banyubiru sudah tidak lagi mengeluarkan air, dan dibiarkan menjadi kolam kering penampung air hujan, dan di atasnya dibangun sebuah “masjid”.

Dalam kehidupannya, Kyai Ageng Purwoto Sidik (Kyai Ageng Banyubiru atau Ki Kebo Kanigoro) beristrikan Nyai Gadhung Melati dan mempunyai anak bernama Nyai Roro Tenggok (Sekar Rinonce). Tersebutlah di dusunSekardangan (Kec. Kanigoro Kab. Blitar) seorang tokoh yang terkenal mendirikan dusun bernama Nyai Gadhung Melati. Karena perpolitikan jaman Demak-Pajang-Mataram, mereka sempat berpisah dan menjadi pengembara. Sehingga dari pengembaraannya, Nyai Gadhung Melati juga banyak meninggalkan beberapa petilasan diberbagai daerah seperti: di Sekardangan, Kademangan, Maliran, Kanigoro,Dayu dan lain-lain.  Wal khasil, di dusun Banyubiru tersebut, Kyai Ageng Purwoto Sidik menetap hingga tutup usia. Beliau dimakamkan di utara Sendang Banyubiru ([Sarehan] Selatan kota Solo, Jawa Tengah), bersama istrinya yang bernama Nyai Gadhung Melati dan putri tercintanya yang bernama Roro Tenggok (Sekar Rinonce).
Makam Ki Ageng Banyubiru terletak di Desa Jatingarang Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo ± 24 Km dari Kota Kabupaten Sukoharjo.

2- Ki Ageng Banyubiru (Kyai Ageng Gajah Sora)

Desa Banyubiru merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Desa Banyubiru adalah desa agraris, baik pertanian basah maupun pertanian kering. Selain itu, Desa Banyubiru juga memiliki sektor unggulan lainnya, berupa sektor peternakan. Sektor peternakan yang dikembangkan di desa ini, di antaranya sapi potong, itik, kambing dan beberapa ternak lainnya.

Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Banyubiru tahun 2010, jumlah penduduknya adalah 8.451 orang dengan luas wilayah sekitar 677.087 hektar, yang terdiri atas 9 dusun, yaitu Dusun Krajan, Dusun Kampung Rapet, Dusun Randusari, Dusun Tegalwuni, Dusun Cerbonan, Dusun Demakan, Dusun Pancuran, dan Dusun Dangkel. Sebagian besar penduduknya bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam yang menopang pertanian.

Jarak tempuh Desa Banyubiru ke ibu kota Kecamatan Banyubiru yaitu sekitar 0,4 kilometer. Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Semarang adalah sekitar 30 kilometer.

Secara administratif, Desa Banyubiru dibatasi oleh wilayah desa-desa tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pojok Sari. Di sebelah barat berbatasan dengan Desa Rapah dan Desa Brongkol. Di sisi selatan berbatasan dengan Desa Wirogomo, sedangkan di sisi timur berbatasan dengan Desa Kebondowo.

Dalam Profil Desa Banyubiru, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang, yang disusun oleh Tim Perumus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa (RPJM Des) Tahun 2010 – 2014, diceriterakan bahwaDesa Banyubiru adalah salah satu desa penyangga Kecamatan Banyubiru yang keberadaannya sudah ada sejak zaman Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Pajang hingga Mataram. Memang tidak ada bukti tertulis seperti piagam atau prasasti secara implisit, namun dilihat dari beberapa peninggalan situs sejarah yang ada menunjukkan bahwa kala itu eksistensi Desa Banyubiru memang ada. 

Berdasarkan babad yang berkembang di sana, Desa Banyubiru pernah mendapat sebutan ”Tanah Perdikan Banyubiru” dari Kerajaan Demak. Tanah perdikan merupakan sebidang tanah yang diberi hak istimewa dengan tidak di punguti pajak. Biasanya, tanah perdikan diberikan kepada orang-orang yang berjasa kepada sang raja yang memerintah, atau juga biasa diberikan kepada para pendeta-pendeta Hindu pada saat itu. Daerah tanah perdikan yang diberikan kepada pendeta-pendeta Hindu biasanya dibangun candi atau lingga. Masyarakat di sekitar candi diberikan keistimewaan untuk tidak membayar pajak dengan syarat, mereka harus menjaga dan merawat candi tersebut. Namun, kalau untuk Desa Banyubiru menjadi tanah perdikan, disebabkan karena pendiri Banyubiru yaitu Ki Ageng Sora Dipoyono adalah seorang panglima perang di bawah Adipati Pati Unus atau Pangeran Sabrang Lor pada waktu perang Malaka mengusir penjajah Portugis, sehingga mendapatkan penghargaan memimpin suatu daerah, yaitu Tanah Banyubiru dengan status tanah perdikan karena pengabdian yang luar biasa pada Kerajaan Demak pada saat itu. Tanah perdikan ini biasanya dikenal dengan istilah ‎sima di kala Kerajaan Hindu masih eksis.


Sejarah Ki Ageng Banyu Biru (Kyai Ageng Gajah Sora)

Ki Ageng Banyu Biru adalah pemimpin sebuah padepokan  ( Sampai sekarang saya tidak mengetahui pasti dimana letak Padepokan Banyu Biru). Banyak para siswa yang berguru kepada beliau.‎
Ki Ageng Banyu Biru memiliki dua orang adik laki-laki. Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil. Disana, sudah beberapa waktu yang lama, telah menetap dan berguru seorang pemuda keturunan Prabhu Brawijaya V, Ki Mas Manca.

Ki Mas Manca adalah keturunan Arya Jambuleka II. Sedangkan Arya Jambuleka II adalah putra Arya Jambuleka I. Dan Arya Jambuleka I adalah putra selir Prabhu Brawijaya V.

Ki Ageng Banyu Biru yang waskita batinnya, pagi itu memerintahkan para siswa membersihkan Padepokan. Tak ada yang mengetahui apa maksud beliau. Hanya Ki Mas Manca yang diberitahu bahwasanya sore hari nanti, akan datang seorang tamu keturunan Prabhu Brawijaya V yang hendak berguru ke padepokan tersebut.

Dan benar, menjelang selesai sandhya sore atau sembahyang sore, seorang pemuda nampak memasuki Padepokan serta meminta ijin kepada seorang cantrik (siswa) untuk bertemu dengan Ki Ageng Banyu Biru.

Cantrik tersebut segera menghadap Ki Ageng. Dan Ki Ageng serta merta memerintahkan Ki Mas Manca untuk menyambut kedatangan pemuda tersebut yang tak lain adalah Jaka Tingkir!

Jaka Tingkir terkejut juga mendapati kedatangannya disambut sedemikian rupa oleh Ki Ageng. Rupanya beliau sudah tahu pasti bahwa pada sore hari itu, dia akan datang kesana. Didepan Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir menceritakan apa sebabnya hingga dirinya sampai ke Padepokan Banyu Biru. Berhari-hari Jaka Tingkir berusaha mencari letak padepokan tersebut, dan pada akhirnya berkat Hyang Widdhi, dia sampai juga dan bisa bertemu langsung dengan Ki Ageng Banyu Biru.

Ki Ageng Banyu Biru memperkenalkan Ki Mas Manca kepada Jaka Tingkir. Kedua pemuda keturunan Majapahit itu saling berpelukan bahagia. Bahkan, Ki Mas Manca sedemikian bahagianya sampai-sampai menitikkan air mata.

Ki Ageng Banyu Biru memerintahkan Jaka Tingkir berdiam di Padepokan untuk sementara waktu. Dengan ditemani Ki Mas Manca, Jaka Tingkir mempelajari berbagai macam ilmu dari Ki Ageng Banyu Biru. Kini, Jaka Tingkir lebih mendalami Ilmu Kesempurnaan yang berasal dari butir-butir Upanishad Weda. Jaka Tingkir benar-benar mendalami Ilmu tinggi tersebut.

Berbulan-bulan Jaka Tingkir digembleng dengan Tapa, Brata, Yoga dan Samadhi. Kecerdasaan dan kesungguhan Jaka Tingkir membuat Ki Ageng sangat menyayanginya. Berbagai lontar-lontar rahasia Shiwa Buddha dengan mudah dikuasai Jaka Tingkir. Hanya dalam beberapa bulan, kemajuan spiritual Jaka Tingkir sudah sedemikian pesatnya. Jaka Tingkir yang dulu lebih mumpuni dalam Olah Kanuragan, kini, Kesadaran spiritual-nya benar-benar terasah tajam berkat Ki Ageng Banyu Biru.

Ki Ageng Banyu Biru bangga melihat perkembangan Jaka Tingkir.

Dan manakala sudah dirasa cukup, Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Jaka Tingkir untuk turun dari Padepokan. Konon, dari Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir mendapatkan Aji Lembu Sekilan, yaitu sebuah ilmu kesaktian yang langka, yang berguna untuk melindungi tubuh dari berbagai serangan dalam batas satu jengkal jari ( satu jengkal jari dalam bahasa Jawa adalah sekilan ). Konon pula, ilmu ini menyerap energi Lembu Andini, seorang Atma Suci yang berwujud seekor Lembu dan menjadi tunggangan Shiwa Mahadewa.‎

Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil untuk menemani Jaka Tingkir. Sebelum meninggalkan padepokan, Ki Ageng memberikan sebuah taktik jitu kepada Jaka Tingkir agar dapat kembali diterima oleh Sultan Trenggana.



Pada setiap musim penghujan, Sultan Trenggana pasti meninggalkan ibu kota Demak dan berdiam diri di Pegunungan Prawata. Banjir seringkali melanda ibu kota Demak. Dan tidak banyak yang tahu bahwasanya Sultan kerapkali berdiam diri di Pegunungan Prawata tiap kali musim banjir tiba. Hanya para Pasukan Pengawal Sultan saja yang mengetahuinya.

Untuk kembali mendapatkan kepercayaan Sultan Trenggana, Ki Ageng Banyu Biru menyarankan kepada Jaka Tingkir membuat sebuah keonaran dengan meminta bantuan beberapa gerilyawan Majapahit. Keonaran tersebut harus mampu mengancam keselamatan Sultan Trenggana yang tengah bermukin di Pegunungan Prawata. Dapat dipastikan, tidak bakalan banyak prajurid angkatan bersenjata Demak yang berada disana.

Sebelum pasukan bantuan Demak datang dari Demak menuju Pegunungan Prawata, Jaka Tingkirharus secepatnya tampil menjadi sosok penyelamat. Dengan demikian, Sultan pasti akan kembali menaruh kepercayaan kepada Jaka Tingkir.

Pada hari yang ditentukan, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil-pun berangkat. Tujuan mereka adalah Pegunungan Prawata.

Arya Bahureksa.

Untuk mempersingkat perjalanan dari Banyu Biru ke Pegunungan Prawata, keempat pemuda ini memilih menghindari jalur darat. Mereka memilih menggunakan jalur suingai.

Rakit-pun dibuat. Setelah rampung membuat rakit yg kokoh, keempatnya segera menaiki rakit.

Disuatu tempat, karena waktu telah menjelang sore hari, keempatnya memutuskan untuk menepi dan mencari tempat bermalam dipinggir sungai. Kebetulan, tak jauh dari tepi sungai, waktu itu banyak para gadis tengah mencuci pakaian. Melihat kehadiran keempat orang asing yang tak dikenal, para gadis seketika menyingkir ketakutan.

Dasar Jaka Tingkir dan Ki Mas Manca yang memang masih belia, salah seorang gadis tercantik diantara sekawanan gadis lain, sempat digoda oleh keduanya. Gadis tersebut marah dan pulang dengan hati mendongkol.

Tak ada yang menyangka jika menjelang malam menanjak, tempat dimana keempat pemuda ini bermalam seadanya tiba-tiba dikepung oleh orang-orang tak dikenal dengan senjata lengkap! Perselisihan terjadi. Apa daya empat orang melawan sebegitu banyak manusia, pada akhirnya keempatnya menuruti keinginan segerombolan orang-orang tak dikenal tersebut.

Akhirnya, Jaka Tingkir dan ketiga temannya tahu duduk permasalahan sebenarnya setelah mereka dibawa ke tempat hunian ditengah hutan, sarang para gerombolan.

Tempat dimana mereka bermalam ternyata adalah wilayah hunian para gerombolan gerilyawan Majapahit. Dan salah seorang gadis cantik yang sore tadi mereka goda adalah anak perempuan sang pemimpin gerombolan.

Untung, begitu Jaka Tingkir memperkenalkan siapa dirinya, para gerombolan gerilyawan langsung berbalik menghormatinya. Tiga hari tiga malam keempat pemuda dari Banyu Bitu ini dijamu disana.Arya Bahureksa, sang pemimpin, sangat-sangat bersuka cita bisa bertemu dengan putra Ki Ageng Pengging.

(Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, manakala rakit yang dinaiki Jaka Tingkir hendak menepi, mereka melihat seorang gadis cantik dipinggiran sungai. Jaka Tingkir dan Ki Mas Manca menggodanya. Gadis marah dan serta merta menghilang. Disusul rakit berputar sendiri dan hujan seketika turun rintik-rintik. Lebih mengagetkan lagi, mendadak banyak buaya bermunculan ditempat itu! Keempat orang pemuda terpaksa bertempur dengan gerombolan buaya dan akhirnya berhasil menaklukkan mereka. Arya Bahureksa, pemimpin para buaya menjamu mereka di Istana Buaya selama tiga hari tiga malam)

Dari Arya Bahureksa, Jaka Tingkir mendapatkan bantuan pasukan gerilyawan. Arya Bahureksa juga menyarankan kepada Jaka Tingkir untuk menemui Kebo Andanu, seorang pemimpin gerilyawan yang bermukim disekitar Pegunungan Prawata.

Jaka Tingkir sangat-sangat berterima kasih atas semua bantuan Arya Bahureksa.

Setelah tiga hari tiga malam tinggal dipusat pemukiman para gerilyawan, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil-pun melanjutkan perjalanannya ke Pegunungan Prawata.

Kini perjalanan mereka diiringi oleh sebagian gerombolan gerilyawan yang hendak membantu. Dalam Babad Tanah Jawa, iring-iringan rakit rombongan Jaka Tingkir ini digambarkan dalam tembang Megatruh sebagai berikut :

Sigra milir, Sang Gethek sinangga bajul,
Kawan dasa kang njageni,
Ing ngarsa miwah ing pungkur,
Tanampi ing kanan kering,
Sang Gethek lampahnya alon.

(Segeralah berjalan, Sang Rakit dengan disangga para buaya,
Empat puluh buaya pilihan yang menjaga,
Berada didepan dan dibelakang,
Begitu juga berada di kanan dan kiri,
Sang Rakit-pun berjalan pelan.)

(Megatruh adalah tembang yang menyiratkan situasi genting. Megat berarti : Pegat, Ruh berarti Nyawa/Atma. Megatruh berarti situasi yang mampu memisahkan Ruh dan Jasad. Perjalanan Jaka Tingkir ke Pegunungan Prawata dituangkan dalam tembang Megatruh menyiratkan bahwa perjalanan ini adalah perjalanan menujui situasi genting yang bisa memisahkan Ruh dan Jasad)

Empat puluh prajurid pilihan, ditambah para prajurid yang lain, mengiringi Jaka Tingkir.

Perjalanan mereka-pun akhirnya terhenti manakala senja telah menjelang. Jaka Tingkir beserta para lasykar gerilyawan Majapahit ini akhirnya menepi untuk mencari tempat bermalam.

Wahyu Keprabhon berpindah.

Tepat waktu itu, mereka berhenti di wilayah pedukuhan Butuh, dimana Ki Ageng Butuh adalah pemimpin padukuhan dengan pangkat Bekel.

(Ingatkah anda dengan Ki Ageng Butuh? Ki Ageng Butuh adalah sahabat karib Ki Ageng Pengging. Beliau bersama Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng Tingkir sempat berguru kepada Syeh Lemah Abang. Baca catatan saya KI AGENG PENGGING).

Malam itu Ki Ageng Butuh tidak dapat tidur. Beliau duduk di Pendhopo rumah. Tepat menjelang tengah malam, diatas langit nampak seberkas cahaya kebiru-biruan meluncur dari arah utara. Cahaya itu melintasi langit Butuh!

Ki Ageng Butuh terkesiap. Cahaya ini adalah Wahyu Keprabhon. Yaitu Wahyu seorang Raja. Berasal dari utara, tak lain dari Demak Bintara. Dan wahyu ini tengah berpindah tempat! Dimana wahyu ini jatuh, maka disanalah orang pilihan tersebut dapat dipastikan akan tampil menjadi seorang Raja!

Sontak Ki Ageng Butuh menghambur menuju Gedhogan ( Kandang Kuda ) dan menyambar seekor kuda. Ditengah malam buta, Ki Ageng Butuh memacu kudanya mengikuti gerak cahaya kebiru-biruan yang nampak melintas di atas langit menuju ke pinggir pedukuhan, jauh ke pinggir sungai!

Ki Ageng Butuh terus mengikuti pergerakan cahaya tersebut.

Dan tepat dipinggiran sungai, cahaya itu meluncur ke bawah dan raib! Ki Ageng terus memacu kudanya.

Dan kudanya terhenti nyalang manakala beberapa orang bersenjata tengah menghadangnya tiba-tiba!

Ki Ageng memincingkan matanya melihat ada sekitar lima orang bersenjata terhunus tengah menghalangi laju kudanya. Sejenak Ki Ageng ditanya siapakah beliau. Ki Ageng-pun memperkenalkan dirinya sebagai penguasa wilayah tersebut. Dan giliran Ki Ageng yang balik bertanya siapakah mereka.

Para penghadang Ki Ageng Butuh tak lain adalah para gerilyawan yang mengiringi Jaka Tingkir. Mereka tengah mendapat giliran jaga malam. Mendengar nama Jaka Tingkir disebut-sebut, Ki Ageng Butuh terkejut. Cepat dia meminta kepada kelima orang tersebut untuk menunjukkan dimana Jaka Tingkir kini tengah berada. Kelima orang itu nampak enggan dan curiga. Namun manakala mendengar penuturan Ki Ageng bahwa beliau melihat wahyu keprabhon jatuh ditempat itu, sontak mereka segera mengantarkan Ki Ageng Butuh ketempat dimana Jaka Tingkir tengah beristirahat.

Disaksikan kelima orang gerilyawan berikut Ki Ageng Butuh, disana sebuah kejadian yang memukau mata tengah terjadi!

Diatas kepala seorang pemuda yang tengah tertidur, nampak seberkas cahaya tengah mengambang, berwarna biru cerah. Keenam orang yang menyaksikan hal itu tercengang. Wajah sang pemuda nampak jelas terlihat tersinari cahaya tersebut.

Ki Ageng Butuh tidak sangsi lagi dengan Mas Karebet, putra sahabatnya, Ki Ageng Pengging! Pemuda yang kini tengah tertidur dengan cahaya mengambang diatas kepalanya itu adalah Mas Karebet, karena wajahnya mirip dengan Ki Ageng Pengging!

Dan Jaka Tingkir mendadak terjaga dari tidurnya! Bersamaan dengan itu, cahaya kebiru-biruan yang terang diatas kepalanya lenyap!

Jaka Tingkir terjaga karena dalam tidurnya dia mendengar suara-suara aneh tengah memanggil-manggil namanya berulang-ulang!

Begitu dia sadar, dia nampak kebingungan manakala tak jauh dari tempatnya tidur, ada enam orang tengah memperhatikannya dengan tatapan takjub!


Belum reda keheranan Jaka Tingkir, salah seorang dari enam orang yg tengah tercengang melihatnya menghambur dan memeluknya. Keheranan Jaka Tingkir semakin bertambah-tambah. Namun begitu sosok itu memperkenalkan didinya sebagai Ki Ageng Butuh, sahabat karib ayahandanya Ki Ageng Pengging, Jaka Tingkir sedikit banyak memahami situasi yg serba mengherankan tersebut.

Ki Ageng Butuh menjelaskan bahwasanya Jaka Tingkir kini telah terpilih sebagai Raja Tanah Jawa. Sesaat lalu, kala Jaka Tingkir tertidur, cahaya wahyu keprabhon telah jatuh diatas kepalanya. Jaka Tingkir kembali dicekam rasa heran. Antara percaya tidak percaya. Namun melihat keseriusan Ki Ageng Butuh, keraguan Jaka Tingkir luruh juga.

Malam itu, Ki Ageng Butuh banyak memberikan wejangan-wejangan yang sangat berguna bagi Jaka Tingkir. Satu hal yg beliau tekankan, agar Jaka Tingkir mentauladani ayahandanya Ki Ageng Pengging yang terkenal sabar dan legowo. Jika kelak Jaka Tingkir benar-benar berhasil menduduki tahta dan menjadi penguasa Tanah Jawa, sikap ini harus dikedepankan.

Menjelang pagi, Ki Ageng Butuh-pun melepas kepergian Jaka Tingkir dan rombongan dengan doa-doa keselamatan.

Rombongan Jaka Tingkir, kini melanjutkan perjalanan melalui jalur darat.



Pegunungan Prawata


Dan perjalanan rombongan Jaka Tingkir-pun sampai juga di pegunungan Prawata. Walau agak lambat dikarenakan mereka memilih jalur-jalur sepi dengan menerobos hutan belukar demi meghindari kecurigaan orang banyak, pada akhirnya mereka tiba juga.

Dengan bantuan gerilyawan anak buah Arya Bahu Reksa, Jaka Tingkir bisa bertemu dengan Kebo Andanu, pemimpin gerilyawan yang bermukim disekitar Pegunungan Prawata.

Jumlah personil anak buah Kebo Andanu ternyata cukup banyak juga. Dengan bantuan mereka yang sudah cukup hafal medan Pegunungan Prawata, apa yang akan direncanakan Jaka Tingkir akan bisa dijalankan dengan mudah.

Jaka Tingkir dan Kebo Andanu segera merndingkan rencana secara matang.

Setelah bkesepakatan dicapai, Jaka Tingkir menjanjikan, kelak apabila dia berhasil menduduki tahta Demak dan berhasil mendirikan Kerajaan baru, Kebo Andanu akan diberikan wilayah otonomi khusus didaerah Pegunungan Prawata dan sekitarnya. Kebo Andanu dijanjikan akan diangkat sebagai penguasa setingkat Adipati atau Raja Bawahan.

Untuk sementara waktu, Jaka Tingkir berserta rombongan beristirahat beberapa hari dipusat hunian para gerilyawan pimpinan Kebo Andanu. Jaka Tingkir menanti hari yang tepat untuk menjalankan rencananya.

Dan pada hari yang ditentukan, gerilyawan gabungan ini bergerak menduduki tempat-tempat yang sudah direncanakan. Tempat-tempat yang mendekati posisi Pesanggrahan dimana Sultan Trenggana berada.

Dengan ditemani Ki Mas Manca, Jaka Tingkir menyamar sebagai seorang tukang rumput. Mereka berdua lebih mendekat ke pusat Pesanggrahan. Jaka Tingkir ingin lebih memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa Sultan Trenggana memang benar-benar berdiam disana. Selain itu, Jaka Tingkir juga tengah mencari target beberapa orang Prajurid Pengawal Sultan yang sama-sama saling kenal dengan dirinya.

Dari hasil pengamatan Jaka Tingkir, dia bisa memastikan bahwa Sultan Trenggana memang berdiam disana. Jaka Tingkir yakin setelah mengamati seharian kondisi dan situasi Pesanggrahan. Sebagai mantan Lurah Prajurid Pengawal Sultan, Jaka Tingkir tahu bahwa memang Raja Demak itu sedang berada di Pesanggrahan Pegunungan Prawata.

Pada malam harinya, kembali Jaka Tingkir, ditemani Ki Mas Manca dan beberapa gerilyawan pilihan mendekati lokasi Pesanggrahan. Jaka Tingkir tengah mengincar beberapa orang prajurid jaga. Yaitu Prajurid Pengawal Sultan yang dikenalinya. 

Setelah mendapatkan sasaran yang tepat, ditambah situasi yang dirasa cukup memadai, Ki Mas Manca dan Jaka Tingkir menyergap dua orang prajurid yang sudah diincar semenjak sore. Dibantu beberapa gerilyawan yang lain, dua orang prajurid ini berhasil dilumpuhkan dan dibawa menjauhi areal Pesanggrahan menuju ke tempat persembunyian para gerilyawan.

Sesampainya ditempat persembunyian para gerilyawan, kedua prajurid pengawal tersebut langsung ditemui sendiri oleh Jaka Tingkir. Betapa terkejut mereka mengetahui siapa yang tengah menemui mereka berdua. Keduanya tidak bakalan lupa dengan Jaka Tingkir, mantan Lurah Prajurid Pengawal mereka.

Oleh Jaka Tingkir, kedua prajurid ini ditawari jabatan tinggi jika mereka mau membantu gerakan yang direncanakan Jaka Tingkir. Dan keduanya tergiur. Mereka akhirnya menerima tawaran tersebut. Tugas mereka hanyalah mengabarkan kepada Sultan Trengana bahwa mereka melihat sosok Jaka Tingkir tegah bertapa disekitar Pegunungan Prawata.

Kabar tersebut harus disampaikan kepada Sultan Demak keesokan hari manakala Pesanggrahan sudah diserang oleh pere gerilyawan. Ditengah situasi genting dan sangat mengancam keselamatyan Sultan, disaat itulah kedua prajurid ini harus menghadap Sultan dan menyampaikan berita tersebut.

Selanjutnya mereka harus bisa memberi masukan agar Sultan meminta bantuan Jaka Tingkir untuk mengusir gerombolan liar yang mengancam beliau.

Jika Sultan setuju, secepatnya mereka harus kembali menemui Jaka Tingkir. Jika Sultan tidak setuju, mereka tidak usah kembali lagi.


Menjelang pagti hari, seluruh gerilyawan telah siap pada pos masing-masing. Dan bersamaan dengan bunyi burung hutan buatan yang disuarakan oleh Ki Mas Manca, serentak mereka keluar dari persembunyian dan menyerang Pesanggrahan dimana Sultan Trenggana berada!

Pagi baru menjelangt. Embun masih juga belum mengering. Matahari masih menyembul malu-malu. Seluruh Prajurid Pengawal Sultan Demak dikejutkan dengan serangan mendadak dari gerombolan gerilyawan Majapahit!

Bende (Gong kecil) seketka nyalang dipukul! Dari satu tempat, menyusul suara bende terdengar ditempat lain! Berkumadnatg memekakkan telinga! Bunyi pukulan bertylu-talu tersebut berbaur dengan suara teriakan-teriakan beringas dari para gerilyawan dan suara kepanikan para prajurid Demak!

Dipagi buta itu, dimana mata mereka juga belum sepenuhnya jernih, para Prajurid Pengawal Sultan segera menyambar senjata dan tameng masing-masing! Riuh rendak suaranya! Bentakan-bentakan komando terdengar disana-sini!!

Dan pertempuran pecah sudah! Senjata-senjata berkilat-kilat ditimpa cahaya mentari yang baru saja mengintip mayapada! Disana-sini, suara denting senjata terdengar memekakkan telinga dibarengi teriakan-teriakan marah dari mereka yang tengah mengadu nyawa!!

Belum reda kekacauan yang tengah terjadi, para prajurid Demak dikejutkan pekikan keras dari sisi lain. Pekikan yang berbunyi : JAYA MAJAPAHIT!! berulang-ulang dan disusul suara gemuruh sahutan : JAYA!!. Disana, dari sisi lain, sepasukan gerilyawan datang menyerang dan meleburkan diri dalam pertempuran yang sudah terjadi!!!

Kepanikan melanda para Prajurid Pengawal Sultan! Mereka tidak menyangka-nyangka, hari ini para gerilyawan berani menyerang Pesanggrahan Pegunungan Prawata!! Kepanikan semakin bertambah-tambah manakala disela-sela pertempuran terdengar teriakan berulang-ulang :PATENI WONG DEMAK!!! (BUNUH ORANG DEMAK!!). Teriakan ini bersahut-sahutan. Para prajurid Demak sedikit menciut nyalinya.

Dan satu demi satu, mayat-pun bergelimpangan bermandikan darah!!!

Kebo Andanu terlihat memacu kuda ditengah-tengah pertempuran sembari terus berteriak-teriak : JAYA MAJAPAHIT!!Dia membawa bendera bergambar Surya Majapahit, simbol kebesaran Majapahit ditangan kirinya ,sedangkan tangan kanannya terus mengayunkan senjata dengan lincahnya!! Satu dua prajurid Demak terpapas ayunan senjatanya! Jerit kesakitan terdengar diiringi tumbangnya tubuh itu dengan bermandikan darah segar!

Para Prajurid Pengawal Sultan terdesak! Tubuh-tubuh prajurid Demak tumbang satu persatu. Gerilyawan liar ini sangat terlihat sangat ganas! Gerakan peyerangan mereka yang tidak kenal takut terlihat sarat dengan penumpahan dendam dan kebencian!!

Dan beberapa pasukan gerilyawan telah naik memasuki Pesangrahan dimana Sultan Trenggana tengah berada! Jerit ketakutan dari para dayang wanita dan beberapa selir yang kebetulan ikut ditempat tersebut terdengar! Mereka ketakutan melihat gerombolan gerilyawan Majapahit memasuki Pesanggrahan tanpa ada satupun pasukan Demak yang bisa menahannya! Kegaduhan, kepanikan, ketakutan terlihat disana-sini!

Pergerakan pasukan gerilyawa sudah tidak dapat dikontrol lagi. Penyeragan mereka semakin liar dan ganas!!!

Melihat situasi seperti itu, Jaka Tingkir segera memerintahkan dua orang prajurid Demak yang semalam diculiknya untuk segera menjalankan tugas! Kedua prajurid ini langsung bergerak menyusup, mencari jalan aman menuju Pesanggrahan. Sebuah tanda khusus yang mereka kenakan dileher membuat para gerilyawan yang kebetulan melihat mereka segera memberikan jalan!!

Dua orang prajurid ini sampai di Pesanggrahan! Situasi sangat kacau balau!! Mereka telah hapal jalan menuju ruang dalam Pesanggrahan. Dan mereka bergerak ke ruang rahasia dimana mereka pastikan Sultan pasti tengah mengamankan dirinya disana!!

Kedatangan mereka yang tergopoh-gopoh membuat beberapa prajurid pengawal yang masih menjaga Sultan terkejut!! Ditengah kepanikan dan ketakutan, ditengah kebingungan mereka mencari celah membawa lari Sultan keluar dari medan tempur, kedatangan dua orang prajurid ini hampir saja menimbulkan pertikaian!!

Namun melihat yang datang adalah sesama anggota prajurid pengawal, mereka-pun segera menanyakan ada berita penting apakah yang hendak disampaikan? Dua orang prajurid ini meminta ijin untuk bertemu Sultan Trenggana langsung!

Dalam suasana mencekam, para prajurid yabg menjaga Sultan mengantarkan dua orang suruhan menemui Sultan Trenggana! Didalam bilik, nampak Sultan tengah berdiri tegang sembari menggenggam keris. Melihat kedatangan dua orang prajurid tersebut, Sultan langsung menyambut dan menanyakan apa yang hendak mereka sampaikan.

Tanpa menungu waktu lama, dua orang prajurid ini langsung mengabarkan bahwa mereka melihat Jaka Tingkir. Jaka Tingkir tengah berada disekitar Pegunungan Prawata. Dia tengah menjalankan Tapa Brata. Jika Sultan berkenan, Jaka Tingkir mau turun tangan saat ini juga!!


Dalam kondisi panik, Sultan Treggana tidak bisa berfikir panjang lagi. Beliau langsung memerintahkan dua prajurid ini untuk menemui Jaka Tingkir. Sultan Trenggana memerintahkan Jaka Tingkir mengatasi kekacauan dan Sultan akan mengampuni segala kesalahannya!

Kedua prajurid ini bergegas mohon undur. Keduanya segera keluar dari Pesangrahan, kembali menemui Jaka Tingkir!

Mendengar Sultan Trenggana tengah panik dan meminta bantuannya, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil segera bergerak!

Ki Mas Manca segera memperdengarkan suara burung hutan tiruan bersahut-sahutan! Disusul kemudian suara serupa terdengar! Suara yang dibuat oleh para gerilyawan yang lain begitu mendengar suara burung hutan tiruan yang diperdengarkan oleh Ki Mas Manca!

Jika suara ini terdengar, maka menandakan bahwasanya Jaka Tingkir sudah waktunya tampil ke medan laga

Namun seharusnya, begitu mendengar isyarat suara yang dibunykan beberapa gerilyawan dari garis belakang, Kebo Andanu harus memberikan isyarat penghentian setengah penyerangan dengan menurunkn bendera Surya Majapahit! Hanya pemimpin gerilyawan anak buah Arya Bahureksa saja yang melakukannya. Gerakn penyerangan setengah terhenti dari sisi lain. Beberaga gerilyawan dibaris depan berbalik arah mundur pelahan bergelombang!

Namun tidak dengan pasukan yang dipimpi Kebo Andanu! Mereka terus merangsak maju. Mereka tidak melihat bendera Surya Majapahit ditangan Kebo Andanu diturunkan!

Situasi yang tak terduga ini membuat beberapa gerilyawan kebingungan. Dan Jaka Tingkir-pun melihat itu! Kebo Andanu tidak menuruti perintahnya! Kebo Andanu tidak menjalankan rencana yang telah disepakati! Dan gerakan pasukan Kebo Andanu telah merambah Pesanggrahan. Beberapa bangunan Pesanggrahan telah dibakar!

Jaka Tingkir cepat bertindak! Dia mengambil sekor kuda dan cepat naik keatas pelana. Kuda langsung digebrak nyalang, langsung melaju ke garis depan! Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil tidak tinggal diam! Mereka segera meggebrak kuda masing-masing menyusul Jaka Tingkir!

Melihat kedatangan empat penunggang kuda yang menerobos medan pertempuran, dan yang paling depan terlihat adalah Jaka Tingkir, Kebo Andanu tidak menggubris! Bendera Surya Majapahit kini semakin dia angkat tinggi-tinggi!

Jaka Tingkir bertindak cepat, dia memacu kuda mendekati Kebo Andanu. Manakala jarak mereka sudah teramat dekat, Jaka Tingkir langsung melompat dari atas kudanya, menubruk tubuh Kebo Andanu! Karuan saja, Kebo Andany jatuh terguling ditimpa tubuh Jaka Tingkir. Bendera Surya Majapahit terlempar dari genggamannya!

Cepat bendera itu diraih Jaka Tingkir dan dilemparkan kearah Ki Mas Manca yang tengah memacu kuda kearahnya! Ki Mas Manca sigap menerima lemparan tersebut! Dengan terus memacu kuda ke garis paling depan, diiringi Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil, Ki Mas Manca mengangkat tinggi-tinggi bendera Surya Majapahit, lantas digerakkannya turun sambil berteriak :

“Munduuuuuuuuur!!!!”

Mendengar teriakan komando dari Ki Mas Manca dan melihat bendera Surya Majapahit ditangannya bergerak turun, beberapa pemimpin gerilyawan yang membawa bendera serupa segera melakukan hal yang sama dan berteriak :

“Munduuuuuuur!! Munduuuuuuuuur!!”

Gerakan merangsak maju dari anak buah Kebo Andanu segera tertahan. Kini pelahan mereka mundur ke belakang bergelombang!

Beberapa prajurid Demak yang hampir kehilangan nyawa bersyukur manakala para gerilyawan itu seketika mundur kebelakang!

Di lain tempat, Kebo Andanu tengah berhadapan dengan Jaka Tingkir!

“Paman, mengapa tidak mengikuti rencana semula?!”

Suara Jaka Tingkir tertahan. Jarak mereka teramat dekat, cukup untuk didengar oleh Kebo Andanu. Kebo Andanu mendengus! Matanya berkilat-kilat!

“Kehormatan bagiku membunuh keturunan Patah itu dengan tanganku, Raden!”

Suara Kebo Andanu terdengar bergetar menahan amarah!


Jaka Tingkir mendesis :

“Pasukan Demak dalam jumlah besar sebentar lagi datang! Percuma hanya membunuh Sultan-nya! Sultan baru akan segera diangkat menggantikan! Ikuti rencana semula, paman! Tahta Demak bisa kita rebut dari dalam!!”

Namun Kebo Andanu tidak mau mendengar. Kini dia malah menaiki kudanya, menghunus keris dan berkata :

“Bunuhlah aku, Raden! Hanya dengan cara itu Raden bisa menghentikan aku memenggal kepala Trenggana!!”

Kuda digebrak! Sesaat meringkik! Lantas berlari ke arah Pesanggrahan! Jaka Tingkir tidak tinggal diam! Dia berlari menghampiri kudanya dan segera meyusul Kebo Andanu!

Aksi kejar-kejaran terlihat jelas karena pertempuran pelahan mulai mereda. Seluruh yang hadir menyaksikan itu semua. Para gerilyawan menduga-duga apa yang tengah terjadi! Dan pada akhirnya mereka masing-masing bisa menyimpulkan bahwa Kebo Andanu tengah melanggar rencana semula!

Di pihak pasukan Demak, beberapa prajurid senior bisa melihat dengan jelas dan mengenali bahwa sosok penunggang kuda yang tengah mengejar pemimpin gerilyawan itu tak lain adalah Jaka Tingkir, mantan Lurah Prajurid Pengawal Sultan! Berbagai dugaan merebak dibenak mereka! Namun, aksi kejar-kejaran yang tengah berlangsung lebih menyita perhatian mereka!!

Dan kembali Jaka Tingkir lebih tangkas memapas laju kuda Kebo Andanu!! Kuda Jaka Tingkir mendahului laju kuda Kebo Andanu dan dengan berani bergerak melintang didepannya! Karuan Kuda Kebo Andanu terkejut dan sigap berlari memutar!!!

Kedua kuda berlari berputar arah, lantas bertemu berhadap-hadapan! Koua melonjak-lonjak sesaat! Mendengus-dengus!! Jaka Tingkir dan Kebo Andanu kini kembali berhadapan!!

“Hentikan, paman!!”

Kebo Andanu tersenyum anyir!! Dia menggeleng!!

“Membunuh Trenggana atau mati ditangan pewaris tahta Majapahit adalah kehormatan bagiku!”

Nyaring suara Kebo Andanu! Hampir semua orang mendengar suaranya! Kini, baik pasukan Demak maupun para gerilyawan mendadak terkesiap diam!! Hanya ringkikan-ringkikan kuda sesekali terdengar disana-sini! Mereka yang hadir menantikan dengan tegang apa yang bakal terjadi!

Dan, kembali Kebo Andanu memutar kudanya! Jaka Tingkir sigap! Dia menubruk tubuh Kebo Andanu sekali lagi! Keduanya terguling-guling ditanah! Dan keduanyapun cepat bangkit berdiri!! Kebo Andanu beringas! Ia tusukkan keris ke tubuh Jaka Tingkir!!

Jaka Tingkir menghindar! Jaka Tingkir tetap bersikeras mengingatkkan Kebo Andanu! Namun serangan Kebo Andanu semakin ganas!! Pertempuran terjadi! Disaksikan oleh para prajurid Demak dan para gerilyawan, dua sosok harimau Majapahit itu kini tengah bertempur satu lawan satu!

Belum lama pertempuran terjadi, suasana tegang tiba-tiba dipecahkan oleh suara hentakan kendang dan alunan gamelan!! Suara irama pertempuran!! Bunyi itu berasal dari arah Pendhopo Pesanggrahan. Seluruh yang hadir melihat, disana, Sultan Trenggana nampak tengah berdiri menyaksikan duel maut dua harimau Majapahit!! Sultan-lah yang memerintahkan beberapa Pangrawit Keraton ( Pemusik Istana ) yang juga ikut serta dalam rombongan Sultan di Pegunungan Prawata, untuk membunyikan gamelan bernada perang!! Bunyi gamelan mengiringi adu kesaktian Jaka Tingkir dan Kebo Andanu!!

Kendang menghentak-hentak nyalang! Indah didengar!! Seiring gerakan dua orang yang tengah mengadu nyawa! Hentakan kendang, dibarengi teriakan dari para prajurid Demak!!!

Para gerilyawan diam ditempat masing-masing! Mereka tidak mengira situasi berubah secepat itu! Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa! Semua hanya bisa mengamati dengan dada berdebar! Kedua orang yang tengah bertempur adalah para pemimpi mereka!

Namun tidak demikian dipihak pasukan Demak! Setiap kali Jaka Tingkir menyarangkan serangan, kendang dipukul keras!! Dan teriakan para prajurid mengiringinya!!! Disuatu saat, manakala posisi keduaya merapat, Jaka Tingkir menggeram :

“Hentikan!!”

Kebo Andanu mendengus :

“Bunuh aku, Raden! Atau aku akan memenggal kepala Trenggana!”

Dan pertempuran berjalan a lot! Masing-masing sangat tangguh dan terampil bermain keris! Namun disuatu ketika, keris Jaka Tingkir berhasil melukai lambung Kebo Andanu! Kendang menghentak!!! Gemuruh suara prajurid membahana!!

Kebo Andanu semakin nekad!! Dan disuatu saat, ketika Jaka Tingkir berhasil membalikkan serangan keris Kebo Andanu, ujung keris meluncur tak terarah lagi mengarah dada sang pemimpin gerilyawan!! Jaka Tingkir kaget tapi terlambat!! Keris menancap dalam!! Tepat didada Kebo Andanu!!

Kebo Andanu menggeram!! Darah memancar dari dadanya!! Sesaat dia hendak bergerak kedepan, namun tubuhnya luruh, dia jatuh terduduk.....!!!

Tangan kirinya mendekap dada yang telah basah oleh darah segar!! Tangan kanannya yang tenngah memegang keris diangkat tinggi-tinggi. Kebo Andanu berteriak :

“Jaya Majapahittt!!!”

Jaka Tingkir terkesima! Tubuhnya bagai terpancang kuat kedasar bumi!! Sesaat sebelum Kebo Andanu tersungkur, dia melihat ksatria Majapahit itu terseyum kepadanya!!!

Bunyi gamelan kemenangan kini terdengar!! Sorak sorai para prajurid Demak bergema! Ditempat lain para gerilyawan geger!!

Namun Ki Mas Manca berhasil menenangkan mereka!!

Ki Mas Manca memerintahkan dua orang gerilyawan maju kedepan. Jaka Tingkir tanggap, dia membiarkan dua orang gerilyawan itu membawa jenazah Kebo Andanu! Jaka Tingkir sempat berkata lirih, cukup didengar dua orang gerilyawan :

“Lakukan upacara kematian yang layak!”

Dan, Ki Mas Manca memerintahkan seluruh gerilyawan meninggalkan pesangrahan Pegunungan Prawata saat itu juga!

(Peristiwa memilukan ini diceritakan secara simbolis dalam Babad Tanah Jawa. Konon, sesampainya di Pegunungan Prawata, Jaka Tingkir menemukan seekor kerbau liar yang bernama Kebo Andanu. Kerbau tersebut ditangkap oleh Jaka Tingkir, lantas disalah satu telinganya dimasukkannya segenggam tanah yang dibawa dari Banyu Biru. Kerbau liar tersebut berubah semakin liar, lalu dilepaskan ke arah Pesanggrahan Sultan Trenggana! Kerbau mengamuk! Para prajurid pengawal tidak ada yang mampu menaklukkan amukan Kebo Andanu. Bahkan banyak para prajurid yangtewas terkena amukannya! Pesanggrahan Pegunungan Prawata porak poranda oleh olah Kebo Andanu! Sultan Trenggana panik! Lantas, dua orang prajurid menghadap Sultan dan mengabarkan bahwa mereka melihat Jaka Tingkir. Seyogyanya Sultan meminta pertolongan Jaka Tingkir untuk menaklukkan Kebo Andanu. Sultan menyetujui. Jaka Tingkir akhirnya turun tangan. Jaka Tingkir bertempur dengan Kebo Andanu! Kerbau dipegang, namun tidak menurut dan semakin liar! Terpaksa Jaka Tingkir mengeluarkan tanah yang dia masukkan ke telinga kerbau, lalu Jaka Tingkir memukul kepala kerbau! Kepala Kerbau pecah! Kebo Andanu tewas seketika! Sultan Trenggana selamat dari amukan Kebo Andanu. Tanah yang disimbolkan dalam Babad Tanah Jawa tal lain adalah daerah kekuasaan yang sempat dijanjikan kepada Kebo Andanu. Namun daerah kekuasaan tersebut tidak jadi dimiliki Kebo Andanu karena dia telah membangkang perintah Jaka Tingkir
Atas kebanggaannya terhadap Joko Tingkir, Sultan Trenggono menjodohkan putri keempatnya, Retno Ayu Ratu Mas Cepaka dengan Joko Tingkir atas persetujuan Sunan Kalijaga. Hal ini dikarenakan istri Sultan adalah putri anggota Wali Songo yang paling menonjol tersebut.

Joko Tingkir diberi tanah Pajang dengan gelar Hadiwijaya Adipati  Pajang. Dia bangun daerah baru sebelah barat daya Dusun Butuh itu menjadi besar dan ramai. Hadiwijaya menjadi seorang adipati yang dicintai rakyatnya berkat kebijaksanaannya.

Untuk membalas budi atas jasa-jasa para gurunya, Joko Tingkir mengangkat anak-turunan gurunya menjadi bagian dari istana Pajang. Tiga murid Ki Ageng Banyubiru; Mas Manca diangkat sebagai patih dengan gelar Tumenggung Mancanegara. Ki Wila dan Ki Wuragil dijadikan sebagai bupati.

Ki Ageng Ngenis, anak bungsu Ki Ageng Selo diangkat sebagai priyayi di Lawiyan. Anak dan keponakan Ki Ageng Ngenis, Ki Pamanahan dan Ki Penjawi diangkat sebagai lurah tamtama. Ipar Ki Pamanahan, Ki Juru Martani diangkat sebagai priyayi. Sedangkan anak Pamanahan, Raden Bagus atau Sutawijaya dijadikan sebagai anak angkat Adipati Pajang dengan gelar Raden Ngabehi Loring Pasar.

Anak Ki Ageng Butuh diberi gelar Pangeran Wenang Wulan, sedangkan Ki Ageng Banyubiru dan Ki Ageng Majasta dijadikan sebagai pepunden/junjungan Pajang.

Dalam era ini pula Sultan Trenggono memimpin ekspansi untuk menaklukkan Pasuruan, Singosari dan Blambangan yang masih belum mau tunduk pada Kasultanan Demak. Namun sayang, di tengah perang sebelum negeri-negeri di Jawa Timur tersebut ditaklukkan, Sultan wafat. Sengketa tahta mulai terkuak, apalagi anggota Wali Songo juga terbelah dalam posisi dukung-mendukung terhadap kandidatnya masing-masing. Sunan Kudus mendukung Aryo Penangsang, Adipati Jipang Panolan. Sunan Kalijaga mendukung Joko Tingkir –Adipati Pajang, sedangkan Sunan Giri merestui Sunan Prawoto (Pangeran Suroyoto)‎

Intrik-intrik dalam istana mulai terjadi. Aryo Penangsang melakukan balas dendam. Sunan Kudus yang membeberkan cerita bahwa sesungguhnya pembunuh ayahnya, Pangeran Sekar Seda Ing Lepen adalah Pangeran Prawata, putra Sultan Trenggono membuatnya menuntut balas. Ia merasa haknya sebagai pewaris sah tahta kasultanan Demak pasca Pati Unus wafat, dirampas. Dibunuhlah Prawata melalui tangan Rangkud, utusannya. Demak kembali vacuum of  power. Adik Prawata, Ratu Kalinyamat yang menikah dengan Pangeran Hadiri dari Jepara pergi ke Kudus mencoba untuk meminta keadilan dari Sunan Kudus. Tapi mereka kecewa karena Sunan Kudus membela Aryo Penangsang. Sepulang dari Kudus mereka dicegat pasukan Aryo Penangsang. Semua dibunuh kecuali Ratu Kalinyamat. Melihat kenyataan pahit tersebut, Ratu Kalinyamat melakukan tapa telanjang di bukit Danaraja dan mengucapkan sumpah: “Aku tidak akan mengenakan pakaian kembali seumur hidupku hingga Aryo Penangsang mati! Siapapun juga yang mampu menewaskan Aryo Penangsang, ia akan menerima pengabdianku dan seluruh harta kekayaanku” ‎

Agar keinginan menjadi Sultan Demak terlaksana, Sunan Kudus selaku penasehat politik Aryo Penangsang menyarankan untuk melenyapkan Joko Tingkir sebagai satu-satunya penghalang. Mengingat kesaktian Joko Tingkir, maka Aryo Penangsang mengirim empat pembunuh bayaran; Singaprana, Wanengpati, Jagasatru dan Kartijaya. Untuk memuluskan rencana, mereka dibekali oleh pusaka Aryo Penangsang, keris Kiai Setan Kober.

Para pembunuh pembayaran itu dengan mudahnya masuk istana Pajang dengan ajian sirep. Namun sayang, tubuh Joko Tingkir yang sedang tidur tidak mempan dengan hujaman keris Aryo Penangsang. Karena gaduh, Joko Tingkir terbangun. Kibasan selimutnya merobohkan tiga pembunuh hinga pingsan, sedangkan Wanengpati yang masih selamat berhasil dilumpuhkan oleh Ki Pamanahan. Dengan kebijaksanaannya, keempat pembunuh bayaran tersebut diampuni dan diberi hadiah oleh Joko Tingkir, disuruh kembali untuk melapor ke Aryo Penangsang.

Aryo Penangsang merasa terhina dengan perbuatan Joko Tingkir tersebut. Maka dibuatlah siasat berikutnya untuk menjebak Joko Tingkir. Kali ini, dengan mengatasnamakan Sunan Kudus, Aryo Penangsang mengundang Joko Tingkir ke Kudus untuk musyawarah ilmu. Ki Pamanahan yang ahli strategi curiga atas undangan tersebut. Biasanya, undangan musyawarah ilmu itu otoritasnya Sunan Giri, sedangkan Sunan Kudus biasanya mengundang soal pembahasan strategi perang. Atas kejanggalan ini, maka atas saran Pamanahan, Joko Tingkir tetap ke Kudus tapi dengan membawa pasukan terbaik.

Sesampai di pendopo Kudus, Joko Tingkir dan Aryo Penangsang duduk berhadapan. Dengan tipu muslihat Aryo Penangsang meminjam keris pusaka Joko Tingkir dengan segala pujian. Keris itu dikeluarkan dari warangkanya. Melihat gelagat kurang baik, Ki Pamanahan menepuk bahu Joko Tingkir yang menjadikannya tersadar lalu sesegera mungkin mengeluarkan keris pusakanya yang lain; Kiai Cerubuk.

Kedua pangeran dengan keris terhunus saling pamer kekuatan. Sunan Kudus yang melihat  ketegangan tersebut mencoba untuk melerai. Keduanya diminta untuk menyarungkan kembali kerisnya. Joko Tingkir memasukkan keris Kiai Cerubuk ke warangkanya, diikui Aryo Penangsang. Joko Tingkir mengundurkan diri.

Sunan Kudus menyalahkan Aryo Penangsang yang tidak menghujamkan keris Joko Tingkir yang dipinjamnya tatkala Joko Tingkir sudah menyarungkan Kiai Cerubuk terlebih dahulu. Kata-kata Sunan Kudus, “sarungkan kerismu” yang sebenarnya dimaksudkan untuk membunuh Joko Tingkir, dipahami Aryo Penangsang dengan menyarungkan keris Joko Tingkir itu ke warangkanya. Aryo Penangsang menyadari ketidakcerdasannya. Hilang lagi kesempatannya untuk melenyapkan Joko Tingkir.‎

Hawa permusuhan semakin panas. Jipang Panolan yang berada di sebelah timur Bengawan Sore versus pasukan Pajang di sebelah barat. Dalam kondisi ini peran Ki Pamanahan yang ahli strategi sangat dominan. Walaupun hanya sebatas lurah tamtama Pajang, saran dan nasehatnya sangat didengar oleh Joko Tingkir.

Ingat akan sumpah Ratu Kalinyamat, Pamanahan pergi ke bukit Danaraja. Ia melobi Kalinyamat agar Joko Tingkir diberi kesempatan mengambil sayembara itu. Agar Joko Tingkir teguh semangatnya, Pamanahan menyarankan agar Kalinyamat menawarkan dua dayang cantik  yang menjaganya. Setelah sepakat, Pamanahan kembali ke Bengawan Sore, tempat markas pasukan Pajang untuk melaporkan hasil pertemuannya dengan Kalinyamat.

Joko Tingkir setuju atas laporan Pamanahan, maka berangkatlah ia menuju Danaraja. Sesuai dengan sumpahnya, Kalinyamat akan menyerahkan harta dan kekayaannya jika Joko Tingkir sanggup membunuh Aryo Penangsang. Dua dayang cantik dimunculkan, maka terpesonalah Joko Tingkir. Akhirnya dia menyanggupi menjawab sumpah Ratu Kalinyamat. Agar tidak terjadi masalah di kemudian hari, maka Raden Pangiri (putra Pangeran Prawata) yang masih bocah dijodohkan dengan putri sulung Joko Tingkir. Hal ini dilakukan untuk mengatasi problem kekosongan kekuasaan Demak.‎

Menjadi aneh, ketika para keturunan Ki Ageng Selo (Ki Pamanahan, Ki Penjawi dan Ki Juru Martani) justru menyarankan agar yang melenyapkan Aryo Penangsang bukan Joko Tingkir langsung, tapi disayembarakan saja dengan hadiah tanah Pati dan hutan Mataram. Endingnya, mereka juga yang mengambil sayembara tersebut (saran dari Ki Juru Martani). Sejarah ini perlu ditela’ah kembali bagaimana Pamanahan cs memberi ide sekaligus mengambil ide tersebut.

Joko Tingkir bangga karena Pamanahan cs menunjukkan keberaniannya. Sutawijaya, anak Pamanahan juga ingin ikut dalam rencana itu. Karenanya, Joko Tingkir memberinya tombak Kiai Plered kepadanya untuk menghadapi Aryo Penangsang. Tombak pusaka tersebut merupakan pemberian Ki Ageng Selo yang tak lain buyut dari Sutawijaya sendiri.‎

Ki Juru Martani mulai mengatur siasat. Bersama dua ratus orang Selo mereka menuju ke sebelah barat Bengawan Sore. Di sana, mereka memotong telinga kiri seorang pekatik (pencari rumput) kudanya Aryo Penangsang yang sengaja menjadi telik sandi untuk memata-matai gerak pasukan Selo. Disuruhlah si pekatik itu pulang ke Jipang dengan sepucuk surat tantangan atas nama Hadiwijaya diikatkan di telinga kanan dan diberinya uang secukupnya untuk pengobatan.

Dengan penuh darah yang bercecer, si pekatik menghadap Aryo Penangsang. Murkalah cucu Raden Patah itu. Nasehat Patih Mentaun dan Arya Mataram –adiknya- tidak digubrisnya. Dipacunya Gagak Rimang menuju Bengawan Sore.

Juru Martani memancing emosi agar Aryo Penangsang mau menyeberang bengawan. Konon, menurut riwayat; barang siapa pada saat berperang yang melewati bengawan itu akan mengalami kekalahan. Dengan tombak Kiai Dandang Mungsuh, Aryo Penangsang menyeberang dengan amarahnya. Sesampai di tepi barat bengawan dia dikeroyok ratusan warga Selo, tapi tidak mempan. Orang Selo dibuatnya kocar-kacir. Melihat gelagat demikian, Juru Martani kembali mengatur strategi. Dilepaslah seekor kuda betina untuk mengalihkan konsentrasi Gagak Rimang. Ia terpancing, kuda itu meronta-ronta tidak bisa dikendalikan tuannya. Pada saat Aryo Penangsang lengah, tombak Kiai Plered menghujam dada Aryo Penangsang dari tangan Sutawijaya. Usus Aryo Penangsang terburai, meskipun demikian Adipati Jipang itu masih perkasa melakukan perlawanan. Disampirkanlah ususnya ke gagang keris. Sutawijaya kembali menyerang. Tombak Kiai Plered kembali mementalkan tombak Kiai Dandang Mungsuh hingga terjatuh. Aryo Penangsang mencabut kerisnya. Tapi dia lupa, ususnya pun putus oleh pusakanya sendiri. Tewaslah Aryo Penangsang.

Juru Martani kembali melakukan siasat. Laporan yang masuk ke Joko Tingkir menyebutkan yang membunuh Aryo Penangsang adalah Ki Pamanahan dan Ki Penjawi, bukan Sutawijaya. Ini sebagai strategi agar hadiah sayembara dari Joko Tingkir tetap bisa didapatkan, karena kalau Joko Tingkir tahu yang membunuh Aryo Penangsang adalah Sutawijaya yang notabene anak angkatnya, tentu dia tidak akan memberikan hadiah tanah Pati dan hutam Mataram, tapi hanya hadiah biasa saja.‎

Joko Tingkir bangga akan keberhasilan keturunan Ki Ageng Selo. Ki Penjawi diberinya (dan memilih) tanah Pati, sedangkan hutan Mataram akan diserahkan ke Pamanahan sehabis dia diutus melapor ke Ratu Kalinyamat di bukit Danaraja. Lagi-lagi Pamanahan berbohong tentang siapa pembunuh Aryo Penangsang (sesuai yang dilaporkannya juga ke Joko Tingkir). Karena jasanya, Ratu Kalinyamat menyerahkan wilayah Kalinyamat dan Prawata ke Pamanahan, tapi dia menolak hadiah sayembara tersebut.

Ratu Kalinyamat merestui gelar sultan untuk Hadiwijaya; Sultan Hadiwijaya Kerajaan Pajang. Ratu juga memberi hadiah harta kekayaan untuk Pamanahan, tapi sekali lagi ditolak. Pamanahan hanya minta pusaka saja. Ratu Kalinyamat akhirnya memberinya 2 cincin pusaka; cincin mirah delima “Menjangan Bang” dan cincin pusaka intan “Si Celuk” dengan perjanjian tanpa sepengetahuan Joko Tingkir.

Sepulang dari Danaraja, Pamanahan bukannya ke Pajang tapi mampir ke kampungnya dulu di Selo. Dia mengajak kerabatnya untuk pindah dan membabat hutan Mataram sebagai sebuah daerah perdikan Pajang. Sehabis dari hutan Mataram barulah ia ke Pajang.

Lagi-lagi Joko Tingkir menunda hadiah sayembara hutan Mataram. Janjinya, hadiah itu akan diberikan kepada Pamanahan saat “Penghadapan Agung” di Giri, Gresik. Di acara pengukuhan Joko Tingkir sebagai sultan Tanah Jawa oleh Sunan Giri itulah hadiah akan diberikannya. Pamanahan mulai memendam kecewa.

Joko Tingkir sepertinya takut akan ramalan guru sekaligus kakek menantunya, Sunan Kalijaga yang telah meramalkan akan muncul kerajaan besar dari hutan Mataram. Karenanya, hadiah tersebut dia pending. Hanya atas bantuan Sunan Kalijogo pula akhirnya Joko Tingkir mau menyerahkan hutan Mataram ke Ki Pamanahan. Syaratnya, Pamanahan harus mengikat tunduk-setia pada Pajang. Pamanahan berikrar setia tapi hanya untuk dirinya sendiri. Dia tidak mengikrarkan setia untuk anak dan turunannya. Dan kelak memang benar, muncullah Sutawijaya yang tak lain anak angkat Joko Tingkir dengan gelar Panembahan Senopati sebagai raja pertama Kerajaan Mataram. Dia memerintah hingga 32 tahun lamanya. Dengan munculnya Mataram Baru, maka berakhirlah riwayat kerajaan Pajang yang hanya mampu berumur 1 raja saja, yakni Joko Tingkir itu sendiri. Akhirnya tercapailah harapan Ki Ageng Selo; bahwa anak-keturunannya akhirnya bisa menjadi raja Jawa.

Sejarah Pusaka Timang Kyai Bajulgiling
Menurut Babad Jawi dan Babad Sengkala, timang atau kepala ikat pinggang Kyai Bajulgiling adalah timang sakti milik Kyai Buyut dari Banyubiru yang kemudian diberikan kepada Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Timang Kyai Bajulgiling ’bersama ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit buaya itu diberikan Kyai Buyut dari Banyubiru kepada Jaka Tingkir sebagai piandel dalam pengabdiannya ke Kerajaan Demak Bintoro yang kemungkinan akan mengalami banyak hambatan, baik selama di perjalanan maupun setelah berada di Demak Bintaro.

Diceritakan dalam Babad Pengging, konon Timang Kyai Bajulgiling dibuat oleh Kyai Banyubiru dari bijih baja murni yang diambil dari dalam gumpalan magma lahar Gunung Merapi. Dengan kekuatan gaibnya, bijih baja murni itu oleh Kyai Banyubiru dibuat menjadi dua pusaka. Satu berbentuk sebilah keris luk tujuh yang dikenal dengan nama Kyai Jalakpupon dan satunya lagi berbentuk timang (kepala ikat pinggang) yang kemudian dikenal dengan nama Kyai Bajulgiling, karena bentuk mata timang yang seperti buaya giling dengan kepala sedikit terangkat, mulut terkatup tapi kedua matanya terbuka lebar.

Kekuatan gaib yang dimiliki oleh Timang Kyai Bajulgiling ialah, barang siapa yang memakai ikat pinggang Timang Kyai Bajulgiling ini, maka dia akan kebal dari segala macam senjata tajam dan ditakuti semua binatang buas. Hal ini selain kekuatan alami yang dimiliki oleh inti bijih baja murni itu sendiri, juga karena adanya kekuatan rajah berkekuatan gaib yang diguratkan Kyai Banyubiru di seputar timang tersebut. Kemudian kekuatan ikat pinggang ber-Timang Kyai Bajulgiling beberapa kali dialami dan dibuktikan sendiri oleh JakaTingkir.

Mengenai hal ini Babad Tanah Jawi menceritkan sebagai berikut:

Jaka Tingkir konon lahir di Pengging yang penuh rahasia, yang tentunya sebuah negeri kecil yang berdiri sendiri. Di sana terdapat beberapa benda kuno dari zaman Hindu, juga sebuah makam keramat yang dinyatakan sebagai tempat peristirahatan ayah Jaka Tingkir yang bernama Kebo Kenanga putra Prabu Handayaningrat. Karena ia lahir sewaktu ada pertunjukkan wayang Beber (juga dinamakan wayang Karebet), maka ia pun dinamakan Mas Karebet.

Tetapi Jaka Tingkir tidak dibesarkan di Pengging, namun di Tingkir, sebab Sunan Kudus, raja pendeta diplomat jendral Demak, telah membunuh ayahnya karena fitnah pembangkangan, dan tidak lama setelah itu ibunya pun meninggal. Keluarganya kemudian membawanya ke Tingkir, dan disana ia diasuh oleh seorang janda kaya, sahabat ayahnya. Karena itulah ia diberi nama Jaka Tingkir, pemuda dari Tingkir.

Mengikuti saran Ki Ageng Selo, gurunya dan Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir pergi ke Demak untuk bekerja mengabdikan diri pada Sultan Demak, dan melamar sebagai pengawal pribadi. Keberhasilannya meloncati kolam masjid dengan lompatan ke belakang tanpa sengaja, karena sekonyong-konyong ia harus menghindari Sultan dan para pengiringnya memperlihatkan bahwa dialah orang yang tepat sebagai tamtama, dan diapun dijadikan sebagai kepala.

Beberapa waktu kemudian satuan itu menuntut perluasan. Seorang calon yang tak berwajah tampan (buruk rupa), bersikap tidak menyenangkan bagi panglima muda ini. Karenanya calon itu tidak diuji seperti bisa, yaitu menghancurkan kepala banteng dengan tangan telanjang, melainkan diuji kekebalannya yang disetujui pula oleh yang bersangkutan. Dan hanya dengan sebuah tusuk konde Jaka Tingkir mampu menembus jantungnya. Alangkah hebat kesaktiannya. Tapi seketika itu juga, hal ini mengakibatkan ia dipecat dan dibuang.

Kepergiannya menimbulkan rasa sedih yang mendalam pada kawan-kawannya. Dengan rasa putus asa Jaka Tingkir pulang kembali dan ingin mati saja.

Dua orang pertapa, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang (suami dari putri Bondan Kejawen atau adik Ki Ageng Getas Pendawa, kakek buyut Panembahan Senopati) tidak hanya memberi pelajaran, tetapi juga memberi semangat kepadanya. Ketika Jaka Tingkir berziarah di malam hari di makam ayahnya di Pengging, terdengarlah suara yang menyuruhnya pergi ke tokoh-tokoh keramat lain, antara lain Kyai Buyut dari Banyubiru  yang selanjutnya menjadi gurunya. Demikianlah Kyai ini memberikan kepadanya azimat agar ia mendapat perkenan kembali dari Sultan. Azimat pemberian Kyai Buyut dari Banyubiru itu berupa sebuah ikat pinggang dengan timang yang matanya berwujud buaya, yang diyakini sebagai Timang Kyai Bajulgiling.

Perjalanan kembali Jaka Tingkir ke Demak dilakukan dengan getek (rakit yang hanya terdiri dari susunan beberapa batang bambu). Saat akan melewati Kedung Srengenge, Jaka Tingkir menghadapi hambatan karena adanya sekawanan buaya, kurang lebih berjumlah 40 ekor, yang menjadi penghuni dan penjaga kedung tersebut. Percaya dengan kekuatan gaib dari Timang ikat pinggang pemberian Kyai Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir nekad mengayuhkan geteknya memasuki kawasan Kedung Srengenge.

Bahaya pun mengancam ketika sekawanan buaya menghadang dan mengitari rakitnya. Namun berkat kekuatan gaib dari Timang Kyai Bajulgiling, buaya-buaya yang semula buas beringas seketika menjadi lemah dan akhirnya tunduk pada Jaka Tingkir. Bahkan keempat puluh buaya ekor buaya itu menjadi pengawal perjalanan Jaka Tingkir selama menyebrangi Kedung Srengenge dengan berenang di kiri-kanan, depan dan belakang rakitnya.

Di wilayah Demak azimat pemberian Kyai Buyut Banyubiru diterapkannya kembali. Seekor lembu liar dibuatnya menjadi gila, sehingga tiga hari tiga malam para tamtama pun tidak dapat menghancurkan kepalanya, dan bahkan dengan malu terpaksa mengaku kalah. Hanya Jaka Tingkir yang berhasil membunuh kerbau itu, yakni hanya dengan mengeluarkan azimat yang telah dimasukkan ke dalam mulut hewan itu sebelumnya. Setelah itu ia mendapatkan kembali kedudukannya yang lama.

Beberapa waktu kemudian ia menikah dengan putri ke -5 Raja (Sultan Trenggono) dan menjadi Bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bahu. Tiga tahun ia harus menghadap ke Demak, tetapi negerinya berkembang dengan baik sekali dan di sanalah dibangunnya sebuah istana….

Demikianlah sekilah kisah tentang Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya, gelar setelah menjadi Raja di Pajang. Setelah dia wafat, lalu dimanakah keberadaan ikat pinggang dan Timang Kyai Bajulgiling azimat pemberian Kyai Buyut Banyubiru itu? Sebab setelah meninggalnya Jaka Tingkir, tak satu pun dari anak, menantu dan kerabat dekat Sultan Hadiwijaya seperti Pangeran Benowo, Pangeran Pangiri dan juga Sutawijaya atau Senopati pernah menyimpan Timang Kyai Bajulgiling? Demikian juga halnya dengan dua sahabat dekatnya dari Pengging, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu.

Menurut cerita, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling itu tertinggal di depan makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat (masuk wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah), lupa terbawa oleh Sultan Hadiwijaya yang mengakibatkan ia terjatuh dari gajah yang dinaikinya dalam perjalanan pulang dari Tembayat ke Pajang.

Seperti diceritakan dalam Serat Kanda. Kedatangan iparnya Tumenggung Mayang memberi kesempatan kepada Senopati untuk mendapat pengikut lebih banyak lagi dari Pajang. Fakta-fakta ini pada suatu hari dalam persidangan agung di Pajang disodorkan oleh para menantu raja (Tumenggung Tuban dan Tumenggung Demak) kepada raja agar diperhatikan karena mereka berpendapat perlu segera menggempur Mataram. Meskipun sadar akan jatuhnya Pajang nanti, Sultan tidak bisa bertahan atas desakan itu, dan memerintahkan untuk mengangkat senjata. Para tumenggung menyatakan bersedia, asalkan Sultan turut serta, meskipun berada di belakang barisan.

Lebih kurang 10.000 orang prajurit dipersiapkan. Pangeran Benowo naik kuda di belakang ayahnya yang duduk di atas gajah. Di Prambanan mereka berhenti dan memperkuat pertahanan dengan meriam.

Kyai Adipati Mandaraka (Juru Mertani), yang melihat akan terjadinya pertempuran besar, mendesak Senopati agar pergi ke Gua Langse (Gua Rara Kidul) sedangkan ia sendiri akan ke Gunung Merapi untuk meminta bantuan. Setelah kembali dari Gua Langse Senopati mengumpulkan 1.000 orang prajurit, dan 300 orang di antaranya ditempatkan di sebelah selatan Prambanan. Mereka mendapat perintah, begitu terdengar suara letusan keluar dari Gunung Merapi, harus segera memukul canang Kyai Bicak dan berteriak-teriak. Sebagai panglima diangkat Tumenggung Mayang.

Pertempuran terjadi di dua tempat. Pasukan Mataram pura-pura melarikan diri. Tetapi orang-orang Pajang yang mengejarnya tiba-tiba diserang oleh pasukan Matram dari dua arah dan dicerai-beraikan. Gelap malam menghentikan pertempuran itu. Kedua belah pihak kembali ke kubu pertahanan masing-masing.

Hari itu pukul tujuh pagi, Gunung Merapi meletus di tengah-tengah kegelapan. Hujan lebat, hujan debu, gempa bumi, banjir dan gejala alam lain yang menyeramkan. Orang-orang Mataram memukul Canang Kyai Bicak. Banjir menggenangi kubu panjang yang memaksa mereka melarikan diri dalam kebingungan. Sultan terseret dalam kekacauan itu.

Selanjutnya diceritakan dalam Serat Babad Tanah Jawi. Sultan, dalam hal ini Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, yang malang dan terpaksa melarikan diri itu ingin berdoa di makam Tembayat, tetapi pintu makam tidak dapat dibuka. Raja tidak mampu membukanya sehingga ia berlutut saja di luar. Juru kunci memberikan penjelasan yang sangat buruk tentang kejadian itu. Rupanya Allah tidak lagi memberinya izin menjadi raja. Hal ini amat mengguncangkan jiwa sang raja. Pada malam hari ia tidur dalam bale kencur yang dikelilingi air, yang sangat menyegarkan.

Esok harinya perjalanan dilanjutkan, tetapi raja terjatuh dari gajahnya dan menjadi sakit karenanya. Setelah itu ia dinaikkan di atas tandu, begitulah perjalanan pulang ke Pajang amat lambat dan raja duduk terguncang-guncang di atas tandu.

Pangeran Benowo, Pangeran Pengiri, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu yang menolong raja saat jatuh dari gajah, segera mengetahui, mengapa Sultan tidak bisa lagi mengendalikan gajah yang tiba-tiba menjadi galak, karena tidak lagi adanya ikat pinggang azimat dari Kyai Buyut Banyubiru di pinggangnya. Suratanu ingat, Sultan melepaskan ikat pinggang itu dari tubuhnya dan meletakkan di sampingnya saat berdoa di depan makam Sunan Tembayat. Suratanu meyakini ikat pinggang itu pasti lupa terbawa oleh Sultan dan masih tertinggal di depan pintu makam di Tembayat.

Dengan cepat Suratanu menggebrak kudanya kembali ke makam Sunan Tambayat. Tapi ikat pinggang itu sudah tidak ada di tempatnya. Menurut juru kunci, hilangnya ikat pinggang Sultan memberi pertanda akan berakhirnya masa kejayaannya, karena ikat pinggang itulah yang telah mengantarnya mendapatkan harkat dan martabat yang terhormat.

Banyak kisah tentang hilangnya dan keberadaan ikat pinggang bertimang Kyai Bajulgiling yang bertuah itu. Ada sebagian kisah menceritakan, ikat pinggang yang tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembayat itu diambil dan disimpan oleh juru kunci makam. Tetapi ada pula yang mempercayai ikat pinggang itu hilang secara gaib, yang hilangnya azimat itu juga diketahui dan disadari oleh Sultan.

Namun yang jelas, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling azimat buatan Kyai Buyut Banyubiru itu secara gaib masih tersimpan di seputar makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat. Karena itu tak heran bila sejak dahulu sampai sekarang banyak orang pintar yang berusaha mengambilnya dari alam gaib, baik untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan orang lain. Hal ini karena adanya kepercayaan, akan kekuatan gaib yang terkandung dalam Timang Kyai Bajulgiling yang dapat mengangkat derajat, harkat dan martabat pemilik atau pemakainya.

Meski sudah banyak sekali orang pintar yang memburu kepala ikat pinggang sakti milik Jaka Tingkir itu, namun hingga kini belum diperoleh informasi apakah sudah ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan benda keramat dari alam gaib itu.

Saat Misteri berkunjung ke lokasi Makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat beberapa waktu silam, yang kebetulan ditemani oleh Mbah Diran, seorang paranormal asal dusun setempat, tidak berhasil mendapatkan gambaran gaib mengenai benda ini.

”Sepertinya ada kekuatan gaib yang sangat hebat menutupi keberadaan Timang Kyai Bajulgiling, sehingga Mbah sulat untuk melacak posisinya. Mungkin, faka ini juga yang membuat banyak orang yang memburunya sulit mendapatkan pusaka sakti ini,” 

Sedikit ulasan sejarah Kyai Ageng Banyubiru yang menjadi guru Djoko Tingkir dan sekaligus sang dalang politik suksesi Djoko Tingkir di Demak.‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...