BELAKANGAN ini muncul wacana “Islam Indonesia” atau “Islam Nusantara”.
Istilah ini bahkan sedang menjadi tren di kalangan intelektual, birokrat
Kementerian Agama, politisi, dan sebagian organisasi Islam.
Dalam berbagai kesempatan sejumlah akademisi, pejabat Kementerian Agama,
dan beberapa tokoh organisasi Islam kerap mengulang-ulang frasa ini
dalam pidatonya.
Wacana “Islam Indonesia” (di)muncul(kan) di tengah konstelasi politik
global yang sedang sumpek akibat berbagai konflik yang ikut menyeret
Islam dan umat Islam di dalamnya, sebut saja misalnya perang di Iraq,
Suriah, Yaman, Somalia, Nigeria, dan lain-lain. Tidak bisa dipungkiri
konflik-konflik tersebut melahirkan -atau melibatkan- kelompok-kelompok
militan yang tidak segan-segan menggunakan cara kekerasan untuk mencapai
tujuannya yang kemudian menimbulkan citra Islam sebagai agama
kekerasan, teror, haus darah, dan sebagainya.
Di tengah situasi inilah wacana “Islam Indonesia” hendak dihadirkan
sebagai tawaran alternatif untuk menampilkan wajah Islam yang “moderat”,
“toleran”, cinta damai, dan menghargai keberagaman.
Namun di luar “niat baik” itu sesungguhnya masih banyak hal yang menjadi
tanda tanya dari wacana “Islam Indonesia” ini, baik landasan
konseptualnya maupun substansinya. Akan tetapi sayangnya tidak banyak
orang yang memberi perhatian akan hal ini padahal ia mencakup
permasalahan yang mendasar. Berangkat dari situ penulis akan mencoba
mengkritisi wacana “Islam Indonesia” ini.
“Islam Indonesia”, Makhluk Apakah?
“Islam Indonesia” sejatinya adalah sebuah konsep. Sebagai konsep, sampai
hari ini belum ada definisi baku tentang apa yang dimaksud “Islam
Indonesia” atau “Islam Nusantara”.
Aneh, sebuah sebuah konsep belum jelas, sudah diwacanakan secara resmi di lembaga-lembaga kementerian bahkan wacana akademik.
Bagaimana mungkin sebuah konsep diperbincangkan sedemikian rupa tanpa
dijelaskan maknanya, ini sama saja membicarakan sesuatu yang tidak ada
isinya.
Penulis masih menebak-nebak, apa sesungguhnya “Islam Indonesia” yang dimaksud para akademisi, pejabat, dan tokoh ormas itu?
Apakah yang dimaksud adalah “agama Islam ala Indonesia”? Jika ya lantas
seperti apa wujudnya? Apa seperti di Turki pada zaman Mustafa Kemal
Attaturk dulu yang adzan dikumandangkan dalam bahasa Turki dan Al Quran
hanya diterbitkan terjemahannya saja yang ditulis dengan huruf Latin?
Atau seperti apa? Masih belum jelas.
Selama pengertiannya belum jelas, sebaiknya para akademisi, pejabat,
birokrat dan tokoh tidak latah bicara soal “Islam Indonesia” atau “Islam
Nusantara”. Membicarakan konsep yang masih kabur hanya akan
membingungkan dan menyesatkan masyarakat.
Mengingkari Realitas
Terlepas dari belum jelasnya pengertian “Islam Indonesia” itu sendiri,
tampak bahwa wacana ini erat hubungannya dengan gagasan almarhum Gus Dur
tentang “pribumisasi Islam”. Secara ringkas dapat disimpulkan bahwa
“pribumisasi Islam” adalah upaya mengartikulasikan ajaran dan
nilai-nilai Islam sesuai dengan konteks sosial-budaya masyarakat
penganut Islam itu sendiri.
Bagi masyarakat Muslim Indonesia tentu saja Islam harus diterjemahkan
sesuai dengan konteks-sosial budaya lokal Indonesia atau Nusantara.
Dalam banyak perbincangan seputar wacana “Islam Indonesia” kerap
disinggung memiliki “ciri khas” dan membedakannya dengan Islam di
negeri-negeri lain.
Secara umum ada yang mengelompokkan dalam dua macam karakteristik.
Pertama “Islam Indonesia” lebih mengedepankan aspek esoteris (hakikat)
ketimbang eksoteris (syariat); kedua sebagai Islam yang “moderat”,
“toleran” dan “cinta damai”. Pendeknya Islam yang lemah lembut,
kebalikan Islam yang “radikal”, “intoleran” atau “gemar kekerasan”.
Kalimah Islam Nusantara akan Dijadikan Tema Pada Muktamar NU
Dunia internasional dikabarkan menerima Islam Nusantara, sebuah gagasan
yang kini dijadikan tema besar Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama pada 1
sampai 5 Agustus 2015 mendatang. Kabar gembira ini disyukuri Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
"Saya dengar PBB (Perserikatan Bangsa Bangsa) sampai menggelar diskusi
khusus tentang Islam Nusantara. Alhamdulillah,Islam Nusantara bisa
diterima dunia internasional," kata Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj
dalam keterangannya di Jakarta.
Situs VOA Indonesia melaporkan, PBB membahas diskusi wajah Islam moderat
di Indonesia di markas besar mereka di New York, Amerika Serikat,
Diskusi yang digagas perwakilan tetap Indonesia di PBB ini diikuti
pemuka agama, pengamat, diplomat, serta tokoh masyarakat.
“Ini membanggakan,” lanjut Kiai Said.
Kiai Said meminta pihak-pihak yang terus mempertanyakan gagasan Islam
Nusantaratak memperdebatkannya lagi. Ia memastikanIslam Nusantara bukan
agama baru, bukan juga aliran baru. "Paling penting, Islam Nusantara tak
akan mengajarkan seseorang menjadi radikal, tak mengajarkan permusuhan
dan kebencian," tegas dia.
Dalam diskusi tentang Islam Nusantara di PBB, Dr James B Hoesterey dari
Universitas Emory di Atlanta, Georgia, menganggapIslam Nusantara sebagai
gagasan yang layak dicontoh oleh dunia internasional.
“Sebagai seorang antropolog yang sudah lama melakukan penelitian di
Indonesia, saya senang bahwa dunia luar dan wakil-wakil serta duta besar
dari negara masing-masing dapat mendengarkan sedikit lebih dalam
mengenai Islam di Indonesia yang mungkin tidak sama dengan Islam di
negara mereka, misalkan Arab Saudi. Kalau kita lihat ke depan, mungkin
Indonesia bisa menjadi contoh,” kata Dr James.
Sementara Dr. Chiara Formichi, pakar sejarah Islam di Indonesia dari
Universitas Cornell di Ithaca, New York, mengatakan banyak pelajaran
yang bisa dipetik dari Islam di Indonesia. “Gagasan Islam Nusantara
sangat erat dengan budaya dan sejarah Indonesia. Saya tidak tahu bisa
diterapkan di negara lain atau tidak, tetapi yang jelas bisa menjadi
contoh untuk mengerti mengapa seseorang memeluk Islam,” katanya.
Muktamar ke-33 Nahdlatul Ulama yang akan digelar di Jombang, Jawa Timur
nanti akan dibuka Presiden Joko Widodo. Muktamar yang merupakan forum
permusyawaratan tertinggi di Nahdlatul Ulama tersebut mengangkat tema
‘Meneguhkan Islam Nusantara untuk Peradaban Indonesia dan Dunia.'
Menteri Agama pun Mengklarifikasi Kalimah Islam Nusantara
SULTAN Palembang (Sultan Iskandar Badaruddin) mengkritik dengan keras
gagasan Islam Nusantara. Menurutnya, Islam Nusantara ditinjau dari
maknanya terlihat simpang siur karena secara penamaan saja salah
terlebih pengistilahan.
“Mentradisikan agama atau meng-agama-kan tradisi?” ujarnya mengajak berpikir.
Diindikasi tema Islam Nusantara adalah konsep yang cenderung
mengedepankan nilai-nilai modern daripada kemurnian syariat Islam itu
sendiri.
“Jadi, mereka jangan sok modern, zaman dulu itu lebih baik daripada
sekarang, mengikuti mereka yang dulu lebih baik, daripada mengikuti yang
sekarang,” kata sultan Iskandar Badaruddin
Menurutnya, tanpa embel-embel apapun Islam tetaplah benar dan baik,
malah jika ditambah akan timbul penyempitan syariat dan terlihat tidak
sempurna.
Sebelumnya, Islam Nusantara atau Islam Indonesia adalah konsep yang
salah satu poros pengusungnya adalah Menteri Agama sebagaimana
dipromosikan oleh Menteri Menag, Lukman Hakim saat acara ta’aruf Kongres
Umat Islam Indonesia VI di Yogyakarta.
“Islam Indonesia oleh beberapa ilmuwan dari dalam dan luar negeri
dianggap dapat menjadi model yang bisa diharapkan” ujar Lukman Hakim.
Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin meluruskan stigma tentang Islam
Nusantara. Menurutnya, Islam Nusantara merupakan nilai atau
ajaran-ajaran Islam yang diimplementasikan di bumi Nusantara. Sehingga,
ketika nilai-nilai Islam tersebut diimplementasikan di ranah lokal, maka
menunjukan kekhasannya.
"Bagaimana nilai-nilai Islam ini terkait dengan penyikapan terhadap
perempuan, misalnya. Yang tidak sama jika diterapkan di wilayah lain.
Bagaimana nilai-nilai islam menyikapi perbedaan yang ada. Bahkan
terhadap perbedaan yang bisa masuk kategori akidah lalu kemudian
mengusik atau merampas hak-hak mereka," ujar Lukman
Sebetulnya, ujar Menag, istilah Islam Nusantara juga dikenal dengan
Islam moderat yang penuh toleransi, Islam yang bisa hidup dalam
keberagaman, Islam yang menjunjung tinggi hak-hak perempuan, hak azasi
manusia, dan lain sebagainya.
Sehingga, ia berharap Islam menjadi model bagi bangsa lain untuk mengambil nilai-nilai positif di wilayahnya masing-masing.
Adapun terkait banyaknya kontroversi yang timbul karena istilah Islam
Nusantara, ia mencermatinya akibat belum adanya kesamaan pemahaman
tentang substansi.
"Jadi sebenarnya tidak ada yang perlu dikhawatirkan sama sekali," katanya.
Menurutnya, istilah Islam Nusantara bukan untuk mendegasikan atau
menafikkan kelompok tertentu. Penetapan istilah Islam Nusantara ini pun
tidak ada hubungannya sama sekali dengan politis.
Menjadi Sarana Memahami 4 Pilar Kebangsaan
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR-RI) menggandeng Pimpinan Pusat
Ikatan Pelajar Nahdlatul Ulama (PP IPNU) menggelar Sosialisasi 4 Pilar
Kebangsaan.
Ketua Umum PP IPNU, Khairul Anam Haritsah, mengatakan, kegiatan yang
bertema "Perspektif Islam Nusantara dalam Kehidupan Berbangsa dan
Bernegara" dimaksudkan untuk memperkuat wawasan kabangsaan bagi pelajar
NU.
Anam mengatakan Islam Nusantara merupakan cara pandang ber-Islam dalam
Bhineka Tunggal Ika. Dimana, lanjutnya memandang yang berbeda sebagai
sebuah kekayaan dan rahmat Tuhan bukan menuding, menyalahkan,
menyesatkan bahkan mengkafirkan.
"Islam nusantara itu merangkul bukan memukul, Islam Nusantara itu
menasehati bukan menyakiti dan Islam Nusantara itu mengajak bukan
mengejek. IPNU akan mendukung kehidupan berbangsa agenda MPR dengan
membumikan Islam Nusantara. Indonesia kaya akan budaya, suku, ras dan
agama," kata Anam usai acara buka bersama di Komplek DPR RI, Jakarta
.
Anam menambahkan dengan kekayaannya membuat iri bangsa lain. Sehingga,
tidak sedikit yang ingin membuat perpecahan seperti beberapa negara
Timur Tengah. Saat ini, lanjutnya banyak ulama Timur Tengah dari Irak,
Afghanistan dan Yaman menaruh perhatian terhadap relasi agama negara ala
Pancasila di Indonesia yang mampu menyeimbangkan sikap nasionalisme dan
agama Islam.
"Kita harus sadari ada ancaman perpecahan, terutama kalangan ideologi
radikal takfiri. Di Timur Tengah ada ribuan ulama, tiap bulan ratusan
kitab diterbitkan, tapi karena tidak punya sikap kecintaan tanah air
(nasionalisme) kuat, perbedaan dalam berpaham agama, sekte dan mazhab
membuatnya terjebak dalam perang saudara yang sudah bertahun-tahun,
ratusan ribu nyawa hilang, Kejadian seperti itu jangan sampai terjadi,"
beber Anam.
Menurut Anam, Islam Nusantara yang belakangan ramai dibicarakan umat
Islam sebenarnya juga pernah dinyatakan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).
Bahkan Gus Dur menyampaikan lebih tegas melalui konsep Pribumisasi Islam
dalam konteks berbangsa dan bernegara. Konsep yang ditekankan adalah
Islam yang kompatibel dengan nilai-nilai budaya yang ada di masyarakat.
"Tapi juga tidak menolak nilai-nilai baru yang terus muncul sepanjang untuk kebaikan masyarakat," demikian Anam.
Tanggapan penulis terhadap istilah Islam Nusantara
Menurut saya "Tidak ada Islam Arab, tidak ada Islam Nusantara,"
berikut sejarah singkat Islam Di Bumi Nusantara
Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Nusantara
Awal masuknya Islam ke Indonesia hingga kini masih menjadi salah satu
polemik intelektual terbesar di kalangan sejarawan muslim. Namun secara
sederhana pandangan khalayak umum dapatlah dipetakan masih bertumpu pada
teori Gujarat, teori ini menyatakan bahwa Islam masuk ke Indonesia
melalui pedagang pedagang yang berasal dari sebuah daerah di India
bernama Gujarat pada awal abad 13, teori inilah yang hingga kini masih
menjadi alam pikiran manusia muslim Indonesia, hal ini akibat
berjalannya „koloni‟ sistem
pengetahuan kita yang dijalankan oleh aparatus aparatus pendidikan
kita. Teori ini sesungguhnya sangat biasa pada masa kolonial , promotor
terbesar teori ini adalah Dr.Snouck Hurgonje,orientalis-Islamolog
terbesar di Hindia Belanda, Hurgounje berkepentingan memainkan politik
"devide et impera’ dan "peluruhan sejarah‟ Islam di nusantara demi
kepentingan kolonialisme Belanda
Teori ini berhasil dipatahkan dengan teori Makkahnya Hamka,Hamka
menyatakan Islam masuk ke Indonesia bukan pada abad 13, melainkan sejak
abad 7,dan dibawa langsung dari Makkah sebagai sentrum kaum muslimin
sedunia, bukan Gujarat.Argumentasi Hamka salah satunya didasarkan pada
penemuan nisan seorang ulama bernamaSyaikh Mukaiddin di Baros, Tapanuli,
Sumatera Utara, dimana tertulis tahun 48 Hijriah yakni670 Masehi.
Selain itu menurut Hamka, Gujarat pada abad ke 13 menganut mazhab
Maliki,sedangkan Islam di Nusantara sejak dahulu mayoritas bermazhab
Syafii, bagaimana ini bisa dijelaskan..?Dengan menggunakan pendapat
Hamka, Islam di Nusantara berkembang perlahan lahan sejak awal abad ke
7, tepatnya pada zaman kekhalifahan Ali RA. Bahkan cendekiawan Muslim
Malasyia, Naquib Al Attas menyatakan bahwa kedatangan Islam di nusantara
dibawa langsung oleh utusan gubernur Syarif (Makkah) yakni seorang
ulama yang bernama Syaikh Ismail, yang kemudian mengajak pemuda bernama
Muhammad mendirikan kesultanan Islam pertama di nusantara, kerajaan
Pasai
Perlu diketahui juga bahwa para penyebar Islam yangmula mula di bumi
nusantara bukanlah pedagang yang hanya bermotif ekonomi saja,melainkan
diantaranya terdapat para alim ulama, syaikh, dan kaum sufi pengikut
tareqat. Para pedagang, ulama dan pengikut tarekat yang masuk ke
nusantara sejak abad ke 7kemudian mulai mengembangkan jaringan
dakwahnya, dengan status sosial ekonomi yanglebih tinggi dari mayoritas
pribumi para saudagar ini mendapat tempat yang istimewadikalangan
pribumi. Dakwah yang mereka tebar juga berwajah ramah cermin karakter
Islam yang rahmatan lil alamin pendekatan kebudayaan yang dilakukan
dipermudah dengan kuatnya basis sosial ekonomi para saudagar ini. Secara
sederhana, kita dapat memetakan strategi pembasisan kekuatan Islam di
Nusantara. Strategi dakwah ini dapat dipetakan dengantiga komponen
utama, pertama pasar sebagai basis ekonomi, pesantren sebagai
basiskebudayaan dan perkaderan, dan masjid sebagai sentrum dan ruang
publik komunitas muslim.
Formula Keberhasilan Dakwah Islam di Nusantara
Pasar, Pesantren dan Masjid adalah tiga komponen utama kesuksesan strategi dakwahkaum muslimin di Nusantara.
Pasar seperti diketahui pada abad abad itu adalah pusatekonomi rakyat,
semua elemen masyarakat mengadu hidupnya melalui insitusi bernama pasar,
dan komoditas utama nya adalah rempah rempah. Dalam hal ini, para juru
dakwah Islam memiliki bargaining position yang kuat, saudagar saudagar
muslim yang berasal dariArab terkenal pandai berniaga dan tergolong
kaya. Hal ini tentu berhasil merebut hati dansimpati pribumi. Lambat
laun pasar menjadi basis penting dalam penyebaran Islam di Nusantara.
Sementara itu lembaga pesantren juga tak kalah kontribusinya bagi
pesatnya penyabaran Islam. Aktivitas aktivitas perkaderan ulama,
keilmuan dan kebudayaan terjadi dilingkungan pesantren, kiai dan santri
perlahan menumbuhkan kebudayaan Islam di Nusantara melalui serangkaian
aktivitasnya, selain itu dari sinilah benih benih rasa kebangsaan
diamdiam disemai dan dialiri semangat transedental ilahiyah.
Terakhir, Masjid memiliki peranyang sangat sentral sebagai ruang sosial
tempat bertemunya kaum muslimin dari berbagai strata sosial, Masjid juga
menjadi semacam “corong” bagi para ulama untuk menyampaikan pandangan
dan seruannya seruannya kepada khalayak kaum muslimin.Kolaborasi tiga
elemen vital ini berhasil mencapai kegemilangan dakwah Islamiyahyang
luar biasa kuatnya, dengan waktu yang relatif singkat Islam telah
menggeser Hindhu Budha sebagai agama mayoritas di nusantara, dan jauh
lebih penting kesuksesan misionarisIslam ini dilakukan tanpa pedang dan
darah, sebagaimana banyak dituduhkan oleh paraorientalis, melainkan
dengan wajah yang ramah dan lembut. Strategi mendahulukan pendekatan
kebudayaan, penguatan basis ekonomi dan penciptaan ruang ruang sosial
terlebihdahulu terbukti jitu diterapkan pada masyarakat pribumi
nusantara.
Setelah basis kebudayaan,ekonomi dan sosial telah kokoh, komunitas
muslim barulah berpikir tentang imajinasikesatuan politik ummat Islam.
Eksperimentasi politik (ijtihadi) ummat Islam kala itu adalahmembentuk
Kesultanan, sebagai langgam kesatuan politik komunitas muslim
menggantikansistem kerajaan yang berwatak Hindu Budha. Kepemimpinan
dijalankan oleh seorang Sultan yang bergelar Khalifatullah Panatagama,
para Sultan muslim ini di sokong lingkaran ulamasebagai penasihat
kesultanan. Kolaborasi Ulama dan Umaro inilah yang merumuskan kebijakan
kebijakan Kasultanan Islam, termasuk kebijakan antikolonialis berupa
perlawanan- perlawanan rakyat.
Tercatat hingga awal abad 20 an di berbagai daerah nusantara ada
sekitar40an kasultanan Islam yang pernah berdiri sebelum ditaklukkan
oleh kolonialisme Belanda mewujudkan kesatuan politik betapapun urgennya
diletakkan paling akhir dari desain besar perjuangan ummat Islam, bukan
sebaliknya.Pada masa masa revolusi kemerdekaan, tiga elemen vital di
atas memainkan perananyang sangat signifikan dalam perjuangan membela
republik, terutama sekali insitusi pesantren. Setelah kasultanan Aceh
ditaklukkan tentara kolonial pada akhir tahun 1900an, praktis kekuasaan
politik ummat Islam di Nusantara telah berakhir. Namun meskipunkekuasaan
politik berakhir, namun kekuatan ummat Islam tidaklah ikut sirna pula,
sebab basis kebudayaan masyarakat masih dipegang oleh para ulama.
Pesantren pesantren yangterus tumbuh di awal abad 19 berkat politik etis
menjadi semakin independen dan bahkanmengembangkan suatu jenis semangat
radikalisme baru, sutau semangat yang disebut olehMitsuo Nakamura
sebagai tradisionalisme radikal.
Akibat semakin dipinggirkan dalamsistem pendidikan kolonial, pesantren
justru berhasil mengambil peran oposan terbesarkolonial kala itu,
pesantren menjadi basis penyemaian semangat kebangsaan kaum muda dan
pusat perlawanan paling radikal di nusantara, kiai memainkan peranan
yang begitu besardalam membakar semangat juang kaum santri dan
mengobarkan panggilan jihad fii sabilillah membela republik.
Kisah paling heroik adalah ketika Hadratusy Syaikh Hasyim Asyari,
mengeluarkan fatwa kewajiban jihad fii sabilillah dalam peperangan 10
november diSuarabaya, fatwa ini berhasil memobilisasi dukungan ratusan
ribu santri di seantero JawaTimur. Ada begitu banyak kisah kisah yang
menunjukan bahwa di awal abad 20, pesantrenmenjadi basis perlawanan kaum
santri terhadap kolonialisme belanda. Saat itu Islamdijadikan api
perjuangan melawan jahatnya kolonialisme Belanda. Dalam konteks yang
lebihluas, Islam di Nusantara sesungguhnya juga telah berhasil melakukan
“purifikasi”
terhadap konsep nasionalisme, nasionalisme di barat yang sejatinya
berwatak sekularistik, di Indonesia ditransformasikan menjadi rasa
kebangsaan yang dijiwai semangat transedental teramat tinggi, para ulama
ketika itu menggunakan mutiara hikmah “Hubbul Wathan Minal Iman"
sebagai landasan teologis bahwa Islam dan Nasionalisme tidaklah
bertentangan, bahkan nasionalisme sangat dianjurkan oleh Islam dan
sebagian dari kepercayaan seorang muslim(iman), inilah saat saat dimana
keislaman dan keindonesiaan bergandeng tangan dengan penuh kemesraan.
Dari uraian di atas sesungguhnya terbukti sudah bahwa Islam sebagai
sebuah kekuatan yang dinamis, mampu selalu hadir untuk menjawab
tantangan zaman melalui pergerakan historis yang digerakkan oleh
umatnya. Dalam hal ini penting dikemukakan pandangan Prof. Kuntowijoyo,
beliau menyebutkan karakteristik kebudayaan Islam ada dua, pertama
universal dan yang kedua kosmopolit
Universal berarti nilai nilai prinsipil dalamIslam selalu relevan dengan
segala tempat dan zaman, melintasi batas batas ruang dan
waktu.Sedangkan kosmopolit berarti Islam selalu mampu hadir dalam
berbagai ragam dan mampumenyerap bentuk bentuk kebudayaan yang lain
tanpa kehilangan identitasnya. Universalismedan Kosmpolitanisme Islam
terlihat dalam corak perkembangan Islam di Nusantara.
Islam di Nusantara sebagaimana dijelaskan di atas, mampu hadir
beriringan dengan kebudayaan lokal pada saat yang bersamaan, Islam
melintas batas geografi dengan mampu hadir dan eksis di bumi nusantara,
hal ini menunjukan Islam bukanlah agama hanya untuk suku Quraisy atau
bangsa Arab saja, melainkan agama untuk semua bangsa bangsa di dunia,
universalis memenemukan bentuknya.
Sedangkan kosmopolitanisme mewujud dengan akulturasi kebudayaan Jawa dan
kebudayaan Islam yang membentuk kebudayaan Islam Nusantara,tradisi
pesantren sebagai basis perkaderan ulama adalah salah satu buktinya,
pesantren adalahlembaga pendidikan yang inovatif karena mampu
menggabungkan unsur lokalitas dan universalitas Islam, pesantren juga
menjadi basis tumbuhnya kebudayaan santri yang telah mencerap nilai
nilai Islam.Kini Islam di Nusantara telah menjadi suatu alternasi cara
keberagamaan masyarakat Indonesia. Islam nusantara tidak berarti
menativekan Islam, atau melokalisasi ajaran Islam, bukan Islam sebagai
sistem nilai (value system) tetaplah bersifat universal, namun dalam
praktik praktik sosial kemasyarakatannya boleh jadi sangat bergantung
pada konteks budaya masyarakat setempat. Dalam hal ini, Islam di
Nusantara telah melewati „ujian‟ yang serius dalam beberapa periode
zaman, dari zaman hindu budha, kolonialisme hingga sekarang ketika
gelombang demokratisasi menerpa Islam di nusantara ditantang kembali
relevansinya oleh zaman.
Tantangan zaman ke depan memerlukan formulasi cara keberagamaan yang
tepat.Globalisasi cenderung membawa kepada kehidupan yang serba
materialistik-sekular, nilaidan moralitas baik yang bersumber dari agama
maupun masyarakat lokal tidak dianggaprelevan lagi bagi arus
modernisasi, institusi institusi moral seperti keluarga dan
lembagakeagamaan kian kehilangan signifikansi peranannya dalam
masyarakat. Individu individu dalam masyarakat merasa berhak menentukan
sikap dan perbuatannya atas rasionya masingmasing, dan mengabaikan
tuntunan moralitas yang ada, atomisasi sebagaimana dijelaskan Emile
Durkheim kini benar benar terjadi, khususnya di masyarakat perkotaan.
Belum lagi terjangan paham neoliberalisme dalam segala bentuk,
neoliberalisme dalam bidang ekonomi menyebabkan liberalisasi
perdagangan, privatisasi BUMN, ketergantungan import dan dihapuskannya
subsidi untuk rakyat. Liberalisasi politik menyebabkan politik biaya
tinggi (high cost politic) dan perselingkuhan penguasa penguasaha kian
amarak terjadi. Bahkan paham neoliberalisme juga telah merasuki insitusi
agama, maraknya acara acara berkonsep religitainment saat ini misalnya
menjadi bukti shahih bahwa telah terjadi komodifikasi Agama, para
kapitalis tega „menjual‟ agama demi pundi pundi rupiah mereka.
Di tengah kondisi yang serba limbung di atas, Islam di Nusantara dengan
segala khazanah kebudayaan, tradisi, warisan intelektual, basis ekonomi
dan kekuatan politk etiknya mampu menjadi salah satu alternasi jalan
untuk keluar dari jeratan masalah. Konkretnya,lembaga pesantren misalnya
sesungguhnya memiliki potensi pemberdayaan ummat yangsangat besar,
dengan jumlah ribuan santri dan luasnya jaringan yang dibangun pesantren
sesungguhnya mampu melakukan fungsi pemberdayaan (empowering)
masyarakat,memberdayakan masyarakat secara ekonomi, sosial, budaya dan
politik.
Konsep pemberdayaan berbasis pesantren ini telah terbukti di Pesantren
Maslakhul Huda di Pati, Pesantren Tebu Ireng, Pesantren SiwalanPanji,
Pesantren Lirboyo serta Pesantren lainnya. Pesantren Pesantren ini mampu
merintis program program yang sesuai dengan kemajuan Zaman dan tetep
mengedepankan pelajaran Agama.
Islam Rohmatan lil 'Alamin
Kalau seperti apa Islam Nusantara, saya tidak tahu persis. Saya bukan
yang melontarkan ide itu ya. Tapi begini, Islam itu adalah agama, lalu
Nusantara adalah budaya. Budaya atau geografi, jadi kalau yang dimaksud
Islam Nusantara itu adalah Islam yang diwarnai dengan corak budaya
nusantara, seperti saya ini pakai peci, kan nusantara. Kalau seperti itu
saya mendukung sekali. Tapi kalau itu bersumber dari ajaran-ajaran yang
berkembang di nusantara, itu saya tolak.
Ajaran yang berkembang di nusantara sebelum Islam apa? Kan klenik dan
sebagainya, tahayul itu mau dijadikan, saya menentang keras. Tapi kalau
yang dimaksud adalah Islam yang diwarnai dengan corak budaya nusantara
itu engak ada masalah.
Cuma saya melihat kenapa ada ide seperti itu, orang seperti itu sebab
belakangan berkembang dari segala apa yang dari Arab, bahkan yang dari
nabi itu bakal dijadikan agama. Artinya apa yang berasal dari nabi mesti
diikuti. Padahal yang dari nabi ada dua macam. Yang agama dan budaya.
Nabi sendiri mengatakan begini," kalau aku memerintahkan kepada kamu dan
itu merupakan agama, maka kamu wajib mengikuti. Tapi kalau yang saya
perintahkan itu adalah pendapat saya, maka saya adalah manusia biasa."
Nah apa yang datang dari nabi itu ada tiga hal. Pertama aqidah, ibadah,
ada yang bidangnya muamalah. Nah ini masuknya budaya. Kalau bidang
agama, aqidah dan ibadah harus kita ambil. Gamis yang dikalungkan. Itu
adalah budaya orang Arab pada masa nabi seperti itu. Apa yang pakai
sorban itu bukan cuma Rasullullah, abu jahal juga pakai sorban. Nabi
sendiri mengatakan perbedaan sorban kami dengan sorban orang-orang
musryikin adalah memakai peci kemudian memakai sorban.
Cuma kalau orang Islam kalau pakai peci dulu kemudian pakai sorban,
sorbannya akan lebih srot. Karena dipakai untuk ruku dan sujud. Pada
musyrikin itu kan enggak ada srot-srotan, yang penting ada ubel-ubel
begitu. Jadi itu kata para ulama bukan agama, itu budaya. Nah artinya
apa, budaya orang arab tidak harus kita ambil. Kalau itu baik ya tidak
apa-apa. Kalau sorban saja. Tapi jangan mengatakan kalau tidak memakai
sorban tidak mengikuti nabi. Itu akan saya lawan duluan dan itu
bertentangan dengan ajaran nabi sendiri.
Memang Al-quran mengatakan apa yang berasal dari nabi ambil, apa yang
dilarang tinggalkan. Itukan sifatnya umum. Nah sekarang banyak orang
menginginkan apa yang dilakukan nabi itu harus kita lakukan. Seperti
pakai sorban, itu silakan. Tapi jangan ambil sorbannya saja, nabi tidak
pernah makan nasi. Kamu jangan makan nasi. Itukan budaya. Pakaian
misalnya, Islam itu tidak pernah membatasi tentang bentuk pakaian.
Pakaian itu secara kriteria P4, pertama tutup aurat, tidak transfaran,
tidak menyerupai lawan jenis.
Kemudian ditambah lagi adabnya misalnya, bukan pakaian zuhroh, pakaian
popularitas. Berarti pakaian berbeda dari apa yang digunakan orang-orang
di sekitar kita. Kemudian bahannya yang tidak diharamkan, sutra bagi
laki-laki misalnya. Kalau itu terpenuhi semuanya, mau model apa silakan.
Orang Amerika pakai dasi silakan, siapa mau larang. Orang China mau
pakai baju China silakan.
Sekarang kalau orang Indonesia pakai sarung, pakai peci, itukan nusantara. Nah kalau itu yang dimaksud saya dukung betul.
Budaya Indonesia tidak perlu kita lawan sepanjang itu tidak bertentangan dengan Islam.
Anda pakai baju ini budaya enggak? Yang pakai peci ini budaya enggak,
berlawan dengan Islam? Orang-orang pakai baju batik budaya mana itu,
sarung budaya mana itu, kan bisa menjadi budaya nusantara, ya kan? Dan
itu tidak bertentangan dengan Islam. Tapi kalau budayanya itu harus
pakai koteka, itu tidak boleh. Jadi jangan terlalu kaku lah. Tapi ada
sekarang ini yang ingin mengamankan budaya, nah itu yang saya tidak
sependapat. Budaya Arab itu wajib kita kerjakan sama seperti agama, itu
tidak benar seperti itu.
Bagaimana Islam melihat tahlilan dalam tradisi nusantara, misalnya peringatan tujuh hari atau empat puluh hari kematian?
Tahlilan itu, jangankan tahlilan, sembahyang aja budaya dengan agama.
Ritualnya kan agama, ibadah. Tapi pakai bajunya gimana, kan budaya,
itukan menyatu, makanya tidak bisa mau memisahkan ibadah tidak
bersinggungan dengan budaya tidak mungkin. Apa kita mau sembahyang
telanjang, coba bagaimana. Kalau kita pakai jas itukan budaya barat.
Berartikan ada agama bersinggungan dengan budaya.
Tapi banyak yang mengatakan jika tahlilan seperti itu tidak dilakukan oleh nabi?
Tidak semua yang tidak dilakukan oleh nabi itu tidak boleh dilakukan.
Rasulullah tidak pernah haji dua kali, Rasulullah tidak pernah umroh
pada bulan Ramadhan. Kenapa orang lakukan itu. Tahlilan itu budayanya
apa? Kumpul-kumpulnya itu budaya, tapi bacaan Al-quran itu bukan budaya,
tapi ibadah. Baca salawat itu ibadah. Baca tahlil, tasbih itu semuanya
ibadah. Kumpul-kumpulnya itu budaya. Sulit beribadah tanpa mencampuri
budaya.
Lalu bagaimana dengan Maulid Nabi?
Maulid Nabi itu budaya. Tapi membaca Alqurannya ibadah, baca shalawatnya
ibadah. Menyantuni anak yatimnya ibadah, berdoanya ibadah, ceramahnya
ibadah. Tapi itu dikemas dalam bentuk budaya. Coba sekarang anda
sembahyang tanpa budaya sama sekali. Coba bayangkan sembahyangnya
bagaimana? Apa telanjang?
Kita pakai sarung, pakai peci itu budaya kita. Islam kan tidak
menentukan sarung. Kan tutup aurat, lalu kalau pakai daun pisang boleh?
Bagaimana menurut anda cara Islam masuk ke Indonesia dan perkambangannya sekarang?
Islam melalui perdagangan hanya penyebarannya saja, tidak ada masalah
itu. Mau perdagangan, yang jelas begini, yang saya ketahui kalau
dibanding penyebaran Islam di seputaran Arab ini, Islam masuk di
Indonesia tanpa ada peperangan sama sekali. Jadi masuknya itu dengan
jalan damai. Tapi harus diketahui pada saat itu ada dua imperium, Romawi
dan Spartly, yang dalam situasi perang terus. Ketika menyebarkan Islam
pun dalam faktor perang juga dan di Indonesia itu tidak ada. Itu yang
saya ketahui begitu. Jadi dalam penyebaran Islam di Indonesia tidak ada
perang.
Dan itu yang menjadikan Islam Indonesia lebih dikenal dengan budayanya?
Yah betul. Jadi begini juga. Yang kedua, ada upaya gerakan untuk
menjadikan budaya Arab itu sebuah agama. Itu sebuah kewajiban, apa yang
datang dari nabi tanpa dipilah-pilah harus diikuti termasuk pakainnya
harus diikuti, makannya harus begini. Dan makan pun itu antara Agama dan
budaya. Kalau kita makan dengan tangan kanan, diawali Bismillah dan
diakhiri dengan hamdalah, itukan agama. Bahkan saya tidak tahu budaya
itu masuk wilayah hewan misalnya? Ada memang hewan berbudaya?
Untuk membedakan agama dengan budaya, perbedaannya begini. Kalau
perbuatan itu dilakukan oleh umat Islam saja, tandanya itu apa. Kalau
perbuatan itu dilakukan oleh orang Islam dan non Islam, itu budaya.
Contohnya begini, pakai baju itu budaya, non muslim juga memakai baju.
Tapi memakai baju dengan kriteria yang saya sebutkan tadi, itu hanya
diperuntukan untuk orang Islam. Makan pun budaya, yang dilakukan oleh
orang non muslim dan muslim. Tapi ketika makan dengan tangan kanan
diawali dengan bismilah dan diakhiri dengan hamdalah itu adalah agama.
Jadi harus bedakan mana budaya, mana agama. Yang datang dari nabi itu
merupakan agama, kata Rasulullah wajib menaati. Tapi yang bukan
merupakan agama, pendapat Rasulullah sendiri tidak harus dianjurkan.
Sekarang kan anda tahu, sampai pengobatan Arab saja mau dijadikan agama.
Kemudian bekam begitu, saya itu pernah mencoba untuk bekam. Apa ilmu
yang saya dapat, saya tanya tukangnya itu "ini alat-alat bekamnya beli
dimana? Ini buatan china,". Pengobatan nabi, ini buatan China. Berarti
orang China punya budaya berbekam itu. Mungkin bekam itu bukan agama,
tapi budaya.
Sekarang sedang ramai orang pakai batu cincin. Nabi pakai cincin, orang
yang non muslim juga pakai cincin. Apakah orang yang pakai cincin itu
merupakan pengikut Rasulullah? Itu budaya, karena orang non muslim juga
pakai. Makanya yang budaya itu, anda mau pakai silakan tidak pakai juga
silakan. Tapi dengan catatan, kalau anda mengambil budaya Arab atau
budaya Nabi, apakah bercincin atau sorbanan, jangan mengatakan orang
yang tidak memakai cincin, bukan pengikut nabi. Itu nanti yang akan saya
lawan.
Banyak yang tidak dilakukan oleh nabi lalu dilakukan dan berujung pada pengkafiran?
Nah itu yang saya tidak setuju. Saya dulu pernah, 20 tahun yang lalu di
kawasan Tomang ada pengajian, penghuninya anak dan bapak pakai sorban,
pakai jubah. Anak kecilnya itu umurnya mungkin 8 tahun. Sorbannya itu
sampai tengkleng. Namanya anak lucu kalau dipakaikan itu. Lalu bapaknya
ngomong apa? "Iya mulai menjalankan sunnah nabi itu harus sejak kecil".
Jadi dia mengatakan pakai sorban itu sunnahnya nabi. Kata para ulama,
sorban itu bukan ibadah tapi tradisi. Nah kita kadang tidak membedakan
mana yang agama dan budaya. Sehingga kita akan mengagamakan budaya. Nah
yang perlu dipertimbangkan bagus mungkin membudayakan agama.
Yang dimaksud membudayakan agama ini adalah membiasakan mengamalkan
sebuah rutinitas ajaran agama. Itu yang menjadikan membudayakan agama,
itu bagus. Tapi kalau mengagamakan budaya, budaya itu setiap bangsa itu
berbeda, setiap daerah berbeda. Islam itukan universal. Silakan saja.
Artinya Islam itu bukan Islam Arab atau Islam Nusantara?
Tidak ada Islam Arab, tidak ada Islam Nusantara. Makanya saya katakan
sebenarnya tidak usah bikin-bikin istilah Islam Nusantara. Islam ini
cukup sumbernya Al-quran. Tapi tadi Islam yang diwarnai budaya
nusantara, tidak apa-apa. Sekarang begini, misalnya lebaran. Lebaran itu
agama atau budaya? Sembahyangnya agama, ketupatnya budaya. Ketupatnya
saja hanya sebagian daerah kok. Ada yang pakai lepet. Itu simbol-simbol
budaya.
Ketupat itu rapet, lepet itu erat, itu simbol-simbol hari raya. Yang
menurut saya tidak benar adalah yang itu tadi, semua yang bersumber dari
nabi itu agama. Pakai sorban, nanti pakai cincin, dan sebagainya dan
itu yang akan merusak Islam itu sendiri.
Karena jika kita perhatikan, pemikiran ini jelas hendak merusak islam
besar-besaran. Dan tidak jauh jika kita katakan, memecah belah kaum
muslimin.
Budaya di nusantara bagi Indonesia, sangat beragam. Aceh jauh berbeda
dengan jawa. Kalimantan, jauh beda dengan Papua. Ketika islam nusantara
dipahami sebagai islam hasil akulturasi budaya lokal, apa yang bisa anda
bayangkan ketika islam ini disinkronkan dengan budaya papua. Sehingga
tercipta sebuah desain pakaian muslim, hasil interaksi antara islam dan
budaya koteka. Tentu saja, ini akan sangat ditolak oleh masyarakat jawa
atau lainnya.
Ingatan kita masih sangat segar terkait kasus shalat dengan bahasa jawa,
yang diajarkan di Pesantren I’tikaf Ngadi Lelaku, Malang. Spontan
memancing emosi banyak masyarakat. Jika sampai hal ini diwujudkan, yang
terjadi bukan renaisans peradaban Islam, tapi malah mengacaukan
masyarakat.
Termasuk ajaran sebagian etnis Sasak, shalat 3 waktu. Apakah bisa
disebut islam nusantara? Jika sampai ini dilegalkan, berarti menolak
keberadaan 2 shalat sisanya.
Hingga kini, banyak orang liberal menuduh, bahwa tujuan terbesar dakwah
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam, adalah untuk arabisasi dunia.
Menerapkan hegemoni quraisy di alam raya. Sehingga, ketika ada gerakan
dakwah di tengah masyarakat, mereka sebut, arabisasi.
Inti masalahnya, orang liberal lemah dalam membedakan antara budaya dan
ajaran agama. Sehingga, di manapun ajaran agama itu disampaikan, menurut
orang liberal, itu sedang memasarkan budaya arab.
Kita bisa telusuri, sebenarnya yang dilakukan Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam itu meng-arab-kan islam ataukah meng-islam-kan arab??.
Jika kita menggunakan teori orang liberal, berarti Nabi Shallallahu
‘alaihi wa sallam meng-arabkan islam. Artinya, islam sudah ada, kemudian
oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, diwarnai dengan budaya arab.
Anda layak untuk geleng kepala..
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus di tengah masyarakat yang
telah memiliki budaya. Ada yang baik dan ada yang buruk. Ketika beliau
datang, beliau mengislamkan budaya-budaya itu. Dalam arti, mengarahkan
pada budaya yang baik, dan membuang budaya jahat. Bukan disinkronkan,
kemudian islam menyesuaikan semua budaya mereka.
Kita bisa simak, ketika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengingatkan tentang budaya buruk jahiliyah, beliau mengatakan,
أَلاَ كُلُّ شَىْءٍ مِنْ أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ تَحْتَ قَدَمَىَّ مَوْضُوعٌ
“Katahuilah, segala urusan jahiliyah, terkubur di bawah telapak kakiku.” (HR. Muslim 3009)
Ini salah satu bukti, bagaimana upaya beliau menolak setiap tradisi jahiliyah yang bertentanagn dengan wahyu.
Islam Agama Menyeluruh
Islam agama yang unversal. Allah mengutus Nabi Muhammad Shallallahu
‘alaihi wa sallam untuk menyebarkan islam kepada seluruh umat manusia.
Sehingga ajaran islam sedunia adalah sama. Karena sumbernya sama. Ketika
ada orang yang memiliki kerangka ajaran yang berbeda, berarti itu bukan
islam ajaran beliau.
Allah berfirman,
وَمَا أَرْسَلْنَاكَ إِلَّا كَافَّةً لِلنَّاسِ بَشِيرًا وَنَذِيرًا وَلَكِنَّ أَكْثَرَ النَّاسِ لَا يَعْلَمُونَ
“Aku tidak mengutus kamu, melainkan untuk umat manusia seluruhnya,
sebagai pembawa berita gembira dan sebagai pemberi peringatan, tetapi
kebanyakan manusia tiada mengetahui.” (QS. Saba’: 28)
Dalam tafsirnya, al-Hafidz Ibnu Katsir menfsirkan ayat ini, bahwa
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam diutus untuk seluruh makhluk.
Semua yang mukallaf. Baik orang arab maupun luar arab. Yang paling mulia
diantara mereka, adalah yang paling taat kepada Allah. (Tafsir Ibn
Katsir, 6/518).
Saya kira, tidak ada orang muslim yang ingin tidak dianggap sebagai umat
Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam arti khusus, gara-gara dia
punya islam yang berbeda dengan islam beliau.
Adat Bisa Menjadi Acuan Hukum
Ada satu kaidah dalam ilmu fiqh,
العادة محكَّمة
“Adat bisa dijadikan acuan hukum.”
Kaidah ini termasuk kaidah besar dalam fiqh (qawaid fiqhiyah kubro).
Kaidah ini menjelaskan bahwa adat dan tradisi masyarakat dalam pandangan
syariat bisa menjadi penentu untuk hukum-hukum terkait muamalah sesama
manusia. Selama di sana tidak ada dalil tegas yang bertentangan dengan
adat tersebut. (al-Wajiz fi Idhah Qawaid al-Fiqh al-Kulliyah, hlm. 276).
Hanya saja di sana para ulama fiqh memberikan batasan, ketika adat bertentangan dengan dalil syariat,
Pertama, jika ada adat yang sesuai dengan dalil syariat, wajib untuk
diperhatikan dan diterapkan. Karena mempraktekkan hal ini hakekatnya
mempraktekkan dalil dan bukan semata adat. Contoh: memuliakan tamu.
Kedua, jika adat bertentangan dengan dalil syariat, ada beberapa rincian keadaan sebagai berikut,
Adat bertentangan dengan dalil dari segala sisi. Menggunakan adat
otomatis akan meninggalkan dalil. Dalam kondisi ini adat sama sekali
tidak berlaku. Misalnya: tradisi koperasi simpan pinjam berbunga.
Adat bertentangan dengan dalil dalam sebagian aspek. Dalam kondisi ini,
bagian yang bertentanga dengan dalil, wajib tidak diberlakukan.
Misalnya: Dropshipping dengan cara terutang.
Dalil yang bertentangan dengan Urf, dibatasi dengan latar belakang adat
yang terjadi ketika itu. Misalnya, larangan membiarkan api penerangan
menyala di malam hari. Atau larangan minum air dari mulut botol.
Contoh Penerapan Kaidah
Allah mewajibkan suami untuk menafkahi istri. Tentang ukuran nafkah,
dikembalikan kepada keadaan masyarakat, berapa nilai uang nafkah wajar
untuk istri.
Islam mewajibkan kita untuk bersikap baik terhadap tetangga. Bagaimana
batasan sikap baik itu, dikembalikan kepada batasan di masyarakat dst.