Para ahli sejarah berbeda pendapat tentang penentuan tahun masuknya
Islam ke Vietnam, namun mereka sepakat bahwa Islam telah sampai ke
tempat ini pada adab ke 10 dan 11 Masehi melalui jamaah dari India,
Persia dan pedagang Arab, dan menyebar antara jamaah cham sejak adanya
perkembangan kerajaan mereka di daerah tengah Vietnam dan dikenal dengan
nama kerajaan Champa.
Kerajaan Champa didirikan di Vietnam oleh orang-orang Cham yang secara
etnis tidak mempunyai hubungan dengan orang-orang Vietnam. Ketika
kerajaan Funan yang berada sebelah selatan Champa dipengaruhi oleh Cina,
kerajaan Champa selama 1600 tahun juga mendapatkan pengaruh dari Cina.
Akibat dari hal itu, Champa harus mengimbangi kekuatan di antara dua
negara tetangganya dalam hal jumlah penduduknya dan pola militer :
Vietnam di utara dan Khmer (Kamboja) di selatan. Seperti Funan, kerajaan
Champa menerapkan kekuatan perdagangan pelayaran laut yang berlaku
hanya di wilayah yang kecil.
Pertengahan abad VIII merupakan waktu yang kritis bagi Champa, seperti
Kamboja, Champa harus bertahan atas sejumlah serangan dari Jawa. Tetapi
bahaya Jawa segera berlalu pada awal abad IX karena Champa sendiri juga
melakukan serangan-serangan. Dibawah Hariwarman I, Champa menyerang
propinsi-propinsi Cina sebelah utara dengan mendapat kemenangan.
Champa juga melakukan penyerangan ke Kamboja dibawah pimpinan Jayawarman
II, yaitu pendiri dinasti Angkor. Serangan tersebut dibalas oleh
Indrawarman II.
Di bawah Indrawarman II (854-893), didirikan ibu kota Indrapura di
propinsi Quang Nam. Ia memperbaiki hubungan baik dengan Cina.
Pemerintahannya merupakan pemerintahan yang damai, terutama dengan
dengan dirikannya bangunan-bangunan besar Budha, sebuah tempat suci,
yang reruntuhannya terdapat di Dong-duong, di sebelah tenggara Mison.
Ini adalah bukti pertama adanya Budha Mahayana di Champa.
Indrawarman II mendirikan enam dinasti dalam sejarah Champa.
Raja-rajanya lebih aktif daripada yang sebelumnya dalam perhatiannya
pada kehidupan di negeri itu. Mereka bukan saja mendirikan tempat-tempat
suci baru, tetapi juga melindungi bangunan-bangunan keagamaan itu dari
para perampok dan memperbaikinya kembali jika rusak.
Selama pemerintahan pengganti Indrawarman, Jayasimhawarman I, hubungan
dengan Jawa menjadi erat dan bersahabat. Seorang keluarga permaisurinya
berziarah ke Jawa dan kembali dengan memegang jabatan tertinggi dengan
sejumlah raja dibawahnya. Hubungan ini menjelaskan pengaruh Jawa pada
kesenian Champa.
Selama abad X terjadi banyak peristiwa penting di Champa. Tahun 907
dinasti T’ang jatuh di Cina dan orang Annam mengambil kesempatan itu
untuk maju dan mendirikan kerajaan Dai-co-viet (Annam dan Tong-King)
tahun 939. Awalnya perubahan ini hanya berpengaruh sedikit pada Champa
akan tetapi kemudian timbul keributan antara Champa dengan
kerajaan-kerajaan baru itu. Kemudian Champa dikuasai dan mulai mencari
pengakuan dari Cina. Tahun 988 terjadi pembalasan oleh Champa dibawah
raja Vijaya (Binh-dinh). Setelah masa damai yang singkat, ia mendapat
jaminan pengakuan dari Cina dan memperbaiki ibukota Indrapura.
Abad XI merupakan masa kehancuran Champa. Champa kehilangan propisinya
karena direbut oleh Annam. Mereka mengirim misi ke Cina berturut-turut
dan tahun 1030 bersekutu dengan Suryawarman I dari Angkor. Tahun 1044
Annam melakukan penyerangan besar-besaran terhadap Champa dan Champa
mengalami kehancuran. Ibukota Vijaya direbut dan Raja Jayasimhawarman II
dinaikan pangkatnya.
Dinasti VIII, didirikan oleh seorang pemimpin perang yang bergelar
Parameswaraman I dan mulai menghidupkan kembali kerajaannya. Ia menekan
pemberontakan di propinsi bagian selatan dan berusaha mengembangkan
hubungan baik dengan kedua Annam dan Cina dengan sering-sering mengirim
misi.
Seorang pangeran bernama Thang mendirikan dinasti IX. Beliau mengambil
gelar Hariwarman IV dan segera memperlihatkan kekuasaannya dengan
memperbaiki kerusakan yang disebabkan oleh penyerangan dan membangkitkan
kesejahteraan negerinya. Kebangkitan Champa sangat cepat, setelah
berhasil mengusir Annam dari Champa, selanjutnya menghancurkan serangan
Khmer dan membalasnya dengan mengirim pasukan penyerang memasuki
Kamboja.
Politik Hariwarman IV memelihara hubungan yang lebih baik dengan Annam.
Sejak itu dengan sedikit keraguan kemudian ia bersekutu dengan Cina dan
merencanakan penyerangan terhadap Annam. Ketika gagal, ia
bertanggungjawab melindungi dari kemarahan orang Annam dengan
mengirimkan tawaran perdamaian yaitu dengan memberi upeti kepada Annam
secara teratur.
Khmer juga mulai menyerang Champa, bagian utara Champa telah berada
dibawah kekuasaan Khmer. Tetapi di bagian selatan Panduranga, seorang
raja baru, Jaya Hariwarman I, bangkit tahun 1147. Kemudian setelah
mendesak keluar pasukan Khmer, ia terus menyerang dan mengembalikan
Wijaya dan menyatukan kembali kerajaan.
Kesulitan Jaya Hariwarman I belum teratasi, tahun 1155 Panduranga mulai
memberontak. Tetapi ia dapat memperbaiki kembali kerusakan-kerusakan
karena perang dengan menggunakan sebagian barang jarahannya untuk
memperbaiki candi-candi dan membangun yang baru. Beliau juga mengirim
utusan ke Cina dan menenangkan Annam dengan membayar upeti secara
teratur.
Ketika Jaya Hariwarman I mangkat, ia digantikan oleh seorang avontutir
yang cerdik bernama Jaya Indrawarman IV yang telah merebut tahta dari
putera Jaya Hariwarman I. Kemauannya yang besar ialah membalas dendam
dengan menyerang Kamboja yang telah menyerang Champa oleh Suryawarman.
Akan tetapi penyerangan tersebut gagal. Setelah melakukan persiapan
lama, Jayawarman VII, pendiri Angkor Thom, melancarkan serangan
besar-besaran terhadap Champa. Sekali lagi Champa jatuh ke tangan
Kamboja. Suryawarman memutuskan untuk bersekutu dengan Kamboja.
Kemudian Khmer menyerang Champa lagi, dan Champa dikuasai oleh Khmer
selama 17 tahun. Karena beberapa alasan yang tidak disebut dalam
catatan, pasukan Khmer meninggalkan negeri itu dan memberikan kendali
pemerintahannya secara sukarela. Banyak yang berpendapat mengenai sebab
pengunduran Khmer secara tiba-tiba tersebut. Kesimpulan Maspero oleh
Coedes, adalah bahwa tekanan T’ai atas kerajaan besar Khmer telah
sedemikian keras hingga Angkor dipaksa meninggalkan cita-citanya
menjadikan Champa sebagai daerah taklukannya.
Kemengan-kemenangan Mongol di Cina juga dianggap sebagai penyebab
berhentinya perang antara Annam dan Champa. Dalam hal Champa, masalahnya
sampai pada puncaknya ketika tahun 1281, yaitu saat kesabaran Kublai
Khan telah habis dan beliau mengirim marsekal “Sogatu” untuk mendesak
pemerintahan Mongol di negeri itu.
Seorang raja baru, Jaya Simhawarman III didesak untuk bersekutu dengan
Annam. Tahun 1301 ia menerima kunjungan dari Tran Naon-Ton, yang telah
menyerahkan dengan senang hati tahtanya kepada puteranya Tran Anh Ton,
dan pura-pura mencari kebajikan dengan berziarah keliling tempat suci di
negeri-negeri tetangganya. Ia menjanjikan pada raja Champ salah seorang
putrinya untuk dijadikan istri raja Cham.
Dalam pertalian perkawinan itu, ia terbujuk untuk menyerahkan dua buah
propinsi Cham di utara Col des Nuages sebagai nilai tukar penyerahan
seorang saudara perempuan Tra Anh-Ton. Kemudian ketika pemerintahannya
digantikan oleh putranya Che-Chi, putranya harus menanggung perbuatan
bodohnya itu. Tahun 1312, Annam menyerbu Champa, menurunkan Jaya
Simbhawarman IV dari tahtanya dan menggantinya dengan adiknya. Cue Nang.
Champa sekarang menjadi propinsi Annam yang rajanya diangkat sebagai
“pangeran pembayar pajak kelas dua”. Tetapi Che Nang tetap setia kepada
Champa dan tidak mau menyerahkan pada kekuasaan Annam. Ia memberontak
dan berusaha mengembalikan dua propinsi yang telah diserahkan oleh
ayahnya.
Che Anan ialah pendiri dinasti XII dalam sejarah Cham yang berkuasa
sampai tahun 1390. Ini merupakan pembuka bagi kebangkitan Cham dengan
mengambil manfaat atas berdirinya dinasti Ming di Cina. Dengan mulai
serangkaian serangan-serangan yang sukses di Annam. Negeri itu tetap
dalam keadaan teror terus menerus sampai tahun 1390, raja Cham terbunuh
dalam perang di laut. Kemudian Champa kehilangan propinsi Indrapura
(Quang Nam). Tahun 1441, pemerintahan Jaya Simhawarman V berakhir.
Di tahun 1471, tentara Vietnam Dinasti Le menaklukan kerajaan Champa.
Sekitar 60.000 orang tentara Champa terbunuh, termasuk Raja Champa dan
keluarganya dan sekitar 60.000 orang lainnya diculik untuk dijadikan
budak.
Kerajaan Champa diperkecil wilayahnya, yang sekarang dikenal dengan nama
Nha Trang. Pada tahun 1720 terjadi serangan baru dari tentara Vietnam
yang mengancam kerajaan Champa. Seluruh bangsa Cham beremigrasi ke arah
barat daya, ke wilayah utara danau Tonle Sap yang sekarang merupakan
Kamboja.
Dengan kejatuhan Vijaya pada 1471 maka keluasan Negara Champa semakin
mengecil dan ibu negara Champa berpindah untuk kesekian kalinya. Kali
ini jauh ke selatan ke Panduranga. Mengikut sejarah, semenjak
perlantikan Po Tri Tri sebagai raja untuk keseluruh Champa dan dengan
perpindahan beliau ke Panduranga untuk menubuhkan kerajaan yang baru,
maka bermulalah perkembangan Islam secara besar-besaran di Champa.
Bahasa Sanskrit yang selama ini menjadi bahasa rasmi Champa juga tidak
digunakan lagi.
Semenjak era inilah Champa bertukar corak. Tidak pasti sama ada Champa
terus menerus diperintah oleh raja Islam sehingga kejatuhannya ke
Vietnam, akan tetapi berdasarkan kepada keunikan sistem pentadbiran yang
diamalkan di Champa di mana terdapat berbagai kerajaan dalam satu
wilayah pada masa yang sama, maka berkemungkinan bahwa ada raja-raja
Islam yang memerintah Champa pada zaman tiga abad setelah kejatuhan
Vijaya.
Keunikan sistem pemerintahan Champa adalah karena Champa terdiri dari
persekutuan berbagai kaum yang dikenal majemuk sebagai ‘Urang Champa’.
Selain kaum Cham sendiri, penduduknya juga terdiri dari berbagai kaum
etnik daripada rumpun lain yang juga merupakan rumpun bahasa Austronesia
yaitu puak bukit (hill tribes) yang terdiri daripada kaum-kaum Chru,
Edê, Hroy, Jörai, Rhade (Koho),dan Raglai dan termasuk juga dari rumpun
bahasa Austroasiatic seperti kaum Dera atau montanagards yang terdiri
dari kaum-kaum Ma, Sré dan Stieng.
Meskipun terdapat raja, yang memerintah Champa secara keseluruhannya,
terdapat juga raja-raja kecil misalnya Raja Bao Dai, yang menjadi raja
untuk kaum etnik yang tertentu. Ini mempunyai persamaan dengan kaum
Batak dan Mandiling di Indonesia, misalnya, yang mempunyai raja-raja
mereka sendiri, tetapi semata-mata sebagai raja adat. Dalam mengkaji
sejarah Champa mungkin pengkaji sejarah tidak memahami kedudukan raja
pada kaum masing-masing dan hal ini telah menimbulkan kekeliruan di
sebabkan dalam satu zaman yang sama akan terdapat rujukan kepada dua
atau tiga raja yang berlainan nama.
Dalam tradisi pemerintahan Champa, hanya raja yang mempunyai kekuatan
tentara dan kekuasaan politik negara sebagai ‘Raja kepada Raja-raja
(‘Rajatiraja’) Champa’ (“King of Kings of Champa”). Berdasarkan kepada
manuskrip-manuskrip yang terdapat berkemungkinan besar setelah kejatuhan
Vijaya, kekuasaan ini pernah dipegang oleh raja yang beragama Islam.
Kerajaan Champa merupakan kerajaan maritim sehingga pandai dalam
pelayaran. Pelabuhan utama Champa ialah Phan Rang dan Nha Trang.
Pelabuhan tersebut merupakan pemasok utama pendapatan kerajaan ini.
Karena Quang Nam menawarkan pelabuhan yang lebih baik daripada pelabuhan
yang lain, dimana kapal pedagang dari India, Sumatra, Jawa, dan Cina
bisa mendapatkan persediaan air bersih di pelabuhan ini.
Sejarah Kerajaan Campa
Campa terletak di seberang laut sebelah selatan propinsi Goangdong
(Tiongkok Selatan) demikian menurut catatan Ma Huan dalam bukunya Ying
Yang Sheng Lan (pemandangan indah di sebrang samudra) orang berlayar
menuju ke sebelah barat daya dari kabupaten Chang Le, propinsi Fujian
(Tiongkok Selatan) bila ada angin buritan kapal akan sampai di Campa
pada hari ke-10. Di sebelah selatan Campa terdapat kerajaan tetangga
bernama Kamboja. Di sebelah barat berbatasan dengan dengan Laos. Di
sebelah laut timur adalah laut besar.
Di bagian timur laut Campa terdapat sebuah pelabuhan, Xinzhaou
(Qoui-Nho) di pantai terdapat sebuah menara batu. Di sana tempat
berlabuh kapal-kapal yang berdatangan. Kampungnya bernama Sri Vijaya dan
dipimpin oleh dua kepala kampong yang mengurus 50-60 kepala keluarga.
Kota Campapura sebagai ibu kota Kerajaan Campa terletak kira-kira 100 li
(puluhan kilometer) di sebelah barat daya kampong itu. Di kota
Campapura terdapat istana sang raja. Tembok kotanya terbuat dari batu
dan berpintu empat. Pintu gerbangnya dijaga ketat.
Kerajaan Champa (bahasa Vietnam: Chiêm Thành) adalah kerajaan yang
pernah menguasai daerah yang sekarang termasuk Vietnam tengah dan
selatan, diperkirakan antara abad ke-7 sampai dengan 1832. Sebelum
Champa, terdapat kerajaan yang dinamakan Lin-Yi (Lam Ap), yang didirikan
sejak 192, namun hubungan antara Lin-Yi dan Campa masih belum jelas.
Komunitas masyarakat Champa, saat ini masih terdapat di Vietnam,
Kamboja, Thailand, Malaysia dan Pulau Hainan (Tiongkok). Bahasa Champa
termasuk dalam rumpun bahasa Austronesia.
Kerajaan Lin-Yi merupakan inti pertama negri Campa yang masuk sejarah
pada akhir abad ke-2. Sumber-sumber Cina memberitakan pendiriannya
sekitar tahun 192. Pembentukan kerajaan Lin-Yi pada tahun 192 didahului
setengah abad sebelumnya, yakni pada tahun 137, dengan usaha penyerbuaan
pertama terhadap Siang-Lin oleh segerombolan orang Bar-Bar yang
kira-kira 1000 jumlahnya yang datang dari luar perbatasan Jen-Nan.
Sebelum terbentuknya Kerajaan Champa, di daerah tersebut terdapat
Kerajaan Lin-Yi (Lam Ap), akan tetapi saat ini belum diketahui dengan
jelas hubungan antara Lin-Yi dan Champa. Lin-Yi diperkirakan didirikan
oleh Seorang pegawai peribumi yang bernama K’iu-Lien mengambil
keuntungan dari merosotnya kekuasaan Dinasti Han akhirnya untuk
membentuk wilayahnya dari sebagian wilayah militer Cina, kemudian
menyatakan diri raja di Sianglin, wilayah yang paling selatan secara
kasar dapat disamakan dengan bagian selatan yaitu di daerah kota Huế
yang sekarang menjadi provinsi Vietnam: Thuathien. Mula-mula Lin-Yi,
“ibu kota Lin disangka kependekan dari Siam-lin Yi, ibu kota-Siang-Lien.
Tetapi akhir-akhir ini dikemukakan Menurut Stein kemungkinannya sebagai
nama suku bangsa.
Wilayah Kekuasaan
Sebelum tahun 1471, Champa merupakan konfederasi dari 4 atau 5
kepangeranan, yang dinamakan menyerupai nama wilayah-wilayah kuno di
India:
Indrapura – Kota Indrapura saat ini disebut Dong Duong, tidak jauh dari
Da Nang dan Huế sekarang. Da Nang dahulu dikenal sebagai kota
Singhapura, dan terletak dekat lembah My Son dimana terdapat banyak
reruntuhan candi dan menara. Wilayah yang dikuasai oleh kepangeranan ini
termasuk propinsi-propinsi Quảng Bình, Quảng Trị, dan Thừa Thiên–Huế
sekarang ini di Vietnam.
Amaravati – Kota Amaravati menguasai daerah yang merupakan propinsi Quảng Nam sekarang ini di Vietnam.
Vijaya – Kota Vijaya saat ini disebut Cha Ban, yang terdapat beberapa
mil di sebelah utara kota Qui Nhon di propinsi Bình Định di Vietnam.
Selama beberapa waktu, kepangeranan Vijaya pernah menguasai sebagian
besar wilayah propinsi-propinsi Quang-Nam, Quang-Ngai, Binh Dinh, dan
Phu Yen.
Kauthara – Kota Kauthara saat ini disebut Nha Trang, yang terdapat di
propinsi Khánh Hòasekarang ini di Vietnam. Panduranga – Kota Panduranga
saat ini disebut Phan Rang, yang terdapat di propinsi Ninh Thuận
sekarang ini di Vietnam. Panduranga adalah daerah Champa terakhir yang
ditaklukkan oleh bangsa Vietnam.
Diantara kepangeranan-kepangeranan tersebut terdapat dua kelompok atau
suku: yaitu Dua dan Cau. Suku Dua terdapat di Amaravati dan Vijaya,
sementara suku Cau terdapat di Kauthara dan Panduranga. Kedua suku
tersebut memiliki perbedaan tata-cara, kebiasaan, dan kepentingan, yang
sering menyebabkan perselisihan dan perang. Akan tetapi biasanya mereka
berhasil menyelesaikan perselisihan yang ada melalui perkawinan antar
suku.
Kedatangan Islam Di Campa
Pada awalnya Champa memiliki hubungan budaya dan agama yang erat dengan
Tiongkok, namun peperangan dan penaklukan terhadap wilayah tetangganya
yaitu Kerajaan Funan pada abad ke-4, telah menyebabkan masuknya budaya
India. Setelah abad ke-10 dan seterusnya, perdagangan laut dari Arab ke
wilayah ini akhirnya membawa pula pengaruh budaya dan agama Islam ke
dalam masyarakat Champa.
Sebelum penaklukan Champa oleh by Lê Thánh Tông, agama dominan di Champa
adalah Syiwaisme dan budaya Champa sangat dipengaruhi India. Islam
mulai memasuki Champa setelah abad ke-10, namun hanya setelah invasi
1471 pengaruh agama ini menjadi semakin cepat. Pada abad ke-17 keluarga
bangsawan para tuanku Champa juga mulai memeluk agama Islam, dan ini
pada akhirnya memicu orientasi keagamaan orang-orang Cham. Pada saat
aneksasi mereka oleh Vietnam mayoritas orang Cham telah memeluk agama
Islam.
Kebanyakan orang Cham saat ini beragama Islam, namun seperti orang Jawa
di Indonesia, mereka mendapat pengaruh besar Hindu. Catatan-catatan di
Indonesia menunjukkan pengaruh Putri Darawati, seorang putri Champa yang
beragama Islam, terhadap suaminya, Kertawijaya, Raja Majapahit ketujuh
sehingga keluarga Kerajaan Majapahit akhirnya memeluk agama Islam. Makam
Putri Campa dapat ditemukan di Trowulan, situs ibukota Kerajaan
Majapahit.
Kedatangan Islam di Campa dibuktikan dengan adanya dua buah prasasti
kufi yang di temukan di Phanrang/ pahanri (Panduranga). Dalam prasasti
tersebut bertarikh 1039 M, dan yang saytu bertarikh 1035- 1039 M, ini
menunjukkan bahwa orang Islam telah datang dan menetap di Campa semenjak
pertengahan abad ke-10. Dalam cerita lain disebutkan bahwa telah ada
hubungan antara Campa dengan Islam sekitar tahun 1000 hingga tahun 1036
M. Jadi, Raja Campa pergi ke Makkah selama kurang lebih 37 tahun
kemudian kembali lagi ke Campa. Adapun mengenai siapa orang Islam
pertama yang datang dan menetap di Campa, Fatimi dan Ravaise berpendapat
bahwa kebanyakan orang Islam yang datang ke Campa adalah orang-orang
dari Parsi. Sebagai buktinya ialah pengembaran orang-orang Cina yang
bernama I-Ching yang menaiki sebuah kapal Po-see (Parsi) pada tahun 671.
Dari kedua ukiran tulisan prasasti kufi di atas dikatakan bahwa keduanya
ini berasal dari Syi’ah yang di tulis oleh orang Parsi/ orang Islam
Parsi, salah satu diantara keduanya yaitu bertuliskan Abu Kamil. Yang
mempunyai tujuan sama seperti orang Persia dan Iraq datang ke Campa
diduga untuk mencari kekayaan. Mengenai prasasti yang kedua Fatimi dan
Ravaise juga berpendapat bahwa prasasti tersebut telah ditulis oleh
orang Parsi juga yang bertuliskan Mahmud Ghaznawi yang pada waktu itu
memerintah hampir seluruh Persia. Selain itu petunjuk lain mengenai
Islam di Campa ini adalah adanya upacara-upacara Cam Bani misalnya
upacara menamai bayi yang hampir semuanya rata-rata bernama Ali, Ibrahim
atau Muhammad untuk bayi laki-laki dan Fatimah untuk bayi perempuan,
ini menandakan pengaruh dari unsur Syiah atau Parsi. Pada masa ini juga
dunia Melayu sedang mengalami Islamisasi. Jadi, Islam mulai sepenuhnya
berkembang di Cam setelah mereka berhubungan dengan dunia Melayu.
Seperti yang telah dijelaskan diatas orang Islam dikawasan Panduranga
memanggil diri mereka Cam Bani yang diambil dari bahasa Arab “Bani”
artinya anak atau keturunan. Dan Kebanyakan para pegawai Bani ini
memahami bahasa Arab dan memiliki beberapa salinan Al- Qur’an. Masjid
menghadap ke Makkah dan ditutup hampir sepanjang tahun kecuali pada
bulan Ramadhan. Ramadhan yang di kenal sebagai Ramadon atau bulan ok
(bulan berpuasa) adalah yang diperuntukan kepada ahli-ahli agama Bani
yang akan berpuasa mewakili semua komuniti. Namun mereka hanya berpuasa
hanya tiga hari pertama bulan tersebut. Khutbah sembahyang Jum;at
terdiri dari Syarahan (kajian) yang dipetik dari beberapa ayat
Al-Qur’an, diikuti dengan jamuan makan. Meskipun Campa ini merupakan
Islam dan Allah disertakan dalam imannya tetapi dalam pelaksanaannya
berbeda dengan Islam. Yang didalamnya terdapat beberapa kesan tentang
kepercayaan primitife Melayu-Polinesia yang bercampur aduk dengan unsur-
unsur Brahmanisme. Menurut mereka meskipun beragama Islam namun tidak
salah apabila melibatkan “Po Yang” (kesucian) yang dipandang tinggi oleh
orang kafir. Mereka menyambut satu upacara pemujaan khas yang dipandang
sebagai semangat bayi yang meninggal ketika masih bayi atau keguguran.
Mereka percaya bahwa semangat ini menunggu untuk dihidupkan kembali.
Islam Dan Kerajaan Campa
Islam masuk dan berkembangnya di Vietnam, khususnya Islam pada tahap
awal tidak bisa dilepaskan dari kehadiran kerajaan dan etnis Campa,
uraian tentang Islam di Vietnam diawali dengan uraian sejarah keberadaan
Campa Kuno dan Etnis Campa.
Campa, menurut literatur Cina dari negeri bernama Lin-Yi (yang muncul
pada 192 M), terletak dibagian tengah negeri Vietnam sekarang, antara
Gate Of Annam (Hoanh Son) di uatara dan sungai Donnai selatan. Penduduk
Lin-Yi bertutur dalam bahasa Cham dari rumpun Austronesia. Sejak awal
Lin-Yi negeri yang takluk pada china dan membayar upeti kepada China.
Nama “Campa” disebut dan dipakai pertama kali dalam dua buah inskkripsi
bahasa sansekerta, satunya bertarikh 658 M yang ditemukan bagian tengah
Vietnam. Dan satu lagi ditemukan pada 668 M di kamboja. Abad VIII
merupakan puncak kerajaan Campa, yang ditandai dengan kekuasaan
wilayahnya daan kemajuan peradabannya. Pada masa ini, Campa merupakan
sebuah kerajaan persekutuan yang terdiri dari kerajaan negeri :
Indrapura, Amarawati, Vijaya, Kauthara dan Pandurangan yang
masing-masing mempunyai pemerintah yang otonom dengan ibu negara
Indrapura (Quang Nam sekarang). Kerajaan Campa mempunyai hubungan dengan
kerajaan-kerajaan tetangganya, dengan China dan Vietnam
diuatara,Kamboja dibarat, dan Nusantara di selatan. Contoh secara
teratur mengirim utusan-utusan dan mengadakan hubungan ekonomi dan
keagamaan dengan China.
Ajaran agama yang dianut masyarakat Campa pada abad VIII dan IX adalah
buddha mahayana, yang merambah Campa melalui sami (Pendeta Buddha) yang
datang dari Cina. Adapun relasinya dengan nusantara bermula ketika
terjadi perompakan besar-besaran oleh orang Jawa penghujung abad VIII.
Hubungan itu kemudian menjadi lebih baik dalm bentuk hubungan
perdagangan dan persahabatan.
Pada abad IX, terjadi peralihan orientasi Campa dari China. Mulai jaman
ini kebudayaan Campa termasuk sistem sosial keagamaan dan lain
sebagainya, dipengaruhi oleh budaya India dan agama Hindu dan Budha.
Pada 939 M, muncul kekuatan baru di wilayah ini, yakni Dai Viet
(kemudian menjadi Vietnam). Mulai sejak itu terjadi peperangan yang
berkepanjangan antara Vietnam dan Campa. Pada 982 M, Vietnam berhasil
menghancurkan ibu kota Indrapuraraja Campa memindahkannya jauh ke
selatan, yakni ke Vijaya (Binh Dinh sekarang).
Namun pada 1044, Dai Viet (Vietnam) bahkan berhasil menduduki kota
Vijaya dan membunuh rajanya..berbagai usaha pernah dilakukan raja-raja
Campa untuk membalas dendam dan menyerang Vietnam yang semakin dapat
memperbesar wilayahnya dan mencaplok Campa. Suatu kali kerajaan Campa
pernah kembali pada masa kejayaannya, meski hanya dalam durasi singkat,
yaitu ketika diperintah oleh Che Bong Nga (1360-1390), dialah yang
berhasil dalam usaha mengembalikan wilayah yang dirampas Vietnam dan
dalam memerintah dengan cukup adil serta berjaya memerangi para
perampok.
Pada 1471, Raja Vietnam Le Thanh Tong menyerang Campa secara
besar-besaran, dan menghancurkan Vijaya, membunuh lebih 40.000 penduduk,
mengusir lebih dari 30.000 lainnya dari bumi Campa, bahkan lebih jauh
lagi dia telah menghancurkan sisa-sisa kebudayaan Campa yang dipengaruhi
Hindu/Buddha dan kemudian menggantikannya dengan kebudayaan
China/Vietnam. Dengan kemenangan Le Thanh Tong 1471 itu, tamatlah
riwayat kerajaan Campa belahan utara, khususnya Indrapura, Amarawati,
Vijaya.
Selanjutnya yang bertahan adalah sisa-sisa kerajaan Campa belahan
selatan, yaitu Kauthara dan Panduranga, yang diperintahi oleh Bo Tri Tri
dan pengganti-penggantinya. Kerajaan Campa mulai menerima kebudayaan
melayu serta Islam yang masuk melalui pelabuhan Panduranga dan Kauthara,
dan juga meningkatkan hubungan dengan negeri-negeri di Melayu dan
Nusantara. Bahkan dikabarkan bahwa raja Campa yang bernama Po Klau Halu
(1579-1603) sudah memeluk Islam dan pernah mengirim tentaranya untuk
membantu Sultan Johor di Semenanjung Malaka untuk berperang menentang
Portugis pada 1511.
Bagaimanapun Raja Ngunyen dari Vietnam menaklukan Khautara (1659) dan
Panduranga (1697). Akibatnya, Raja Pandurangan terakhir, Po Chei Brei
terpaksa mengungsi meninggalkan negereinya bersama ribuan pengikutnya
menuju Rong Damrei di Kamboja. Pada 1832 penguasa Vietnam Minh Menh
melakukan pembunuhan besar-besaran terhadap sisa-sisa terakhir penduduk
Campa Panduranga, dan merampas seluruh sawah ladang mereka serta
memasukkan wilayah Pandurangan menjadi bagian Vietnam. Hal ini menandai
lenyapnya sisa-sisa kerajaan Campa terakhir dari peta bumi untuk
selamanya, walaupun kebudayaan dan etnis Campa tetap berlanjut
dipengungsian yakni Kamboja.
Seperti telah diuraikan sebelumnya banyak orang Campa yang meninggalkan
tanah airnya karena desakan Nan Tien atau pergerakan orang-orang Vietnam
ke selatan. Untuk menyelamatkan diri mereka Hijrah ke Kamboja. Di
Kamboja mereka bertemu dengan kelompok Melayu yang datang dari
Nusantara. Akulturasi budaya yang terjadi karena persamaan agama dan
rumpun bahasa Austronesia tersebut membentuk sebuah komunitas masyarakat
baru yang di sebut Melayu-Campa atau Java-Campa.
Mazhab Yang Diikuti
Terdapat dua mazhab besar umat Islam di Vietnam: mazhab Sunni dan mazhab
Bani. Adapun mazhab Sunni tersebar diseluruh penjuru negara kecuali dua
tempat antara Tuan Han dan Ninh Thuan, dan mayoritas mereka menganut
mazhab Syafi’i. Adapun mazhab Bani tersebut di daerah Ninh Thuan dan
Binh Thuan, dan mazhab ini tidak banyak dikenal oleh umat Islam di
dunia; karena memiliki ciri khusus domistik dan memiliki pengaruh kuat
warisan dari India yang banyak bertentangan dengan ajaran Islam yang
benar, seperti menjadikan pemimpin untuk shalat mewakili jamaah, tidak
ada perhatian dari para pemimpin dengan jamaah mereka sehingga menyebar
di tengah mereka ajaran-ajaran syirik, dan tersebar di tengah mereka
aktivitas yang tidak sesuai dengan aqidah yang benar oleh karena
kebodohan, sedikitnya ulama dan para dai. Dan ketika datang bulan
Ramadhan mereka memisahkan diri dari istri-istri mereka sejak awal bulan
hingga akhir, karena mereka tinggal di masjid selama bulan Ramadhan,
dan banyak lagi permasalahan lainnya yang ada di sana. Boleh jadi
phenomena terjadi oleh karena kebodohan mereka terhadap Islam dan
ajaran-ajaran yang sebenarnya, dan terputusnya hubungan mereka dengan
dunia Islam dalam waktu lama sehingga mereka memiliki keyakinan apa yang
dalam Islam dan bahkan hingga mencapai pada tuduhan bahwa mazhab sunni
adalah bid’ah. Sebagaimana yang terjadi di sana adanya perselisihan dan
perdebatan tentang tema antara mereka dan mazhab Sunni.
Pada tahun 1959 sebagai mereka umat Islam bagian selatan, khususnya umat
Islam di kota Shai Ghon, dan terjadi perkenalan dan dialog di tengah
mereka tentang Islam sehingga mereka memahami bahwa jamaah mereka jauh
dari hakikat Islam, dan mereka mulai belajar dari mereka ajaran yang
benar, dan juga memperbaharui keislaman mereka dan memperbaikinya.
Kemudian kelompok ini pulang ke negeri mereka dan mengajak masyarakat
pada ajaran Islam yang bersih dan benar, maka dakwah itupun berhadapan
dengan berbagai bentuk penolakan, pendustaan dan tuduhan dari warga dan
menganggapnya sebagai bid’ah dan khurafat. Namun berkat karunia Allah
SWT, mampu memenangkan agama dari keyakinan yang menyimpang dan agama
yang batil yang diacuhkan kecuali Allah mampu menyempurnakan cahaya-Nya
sehingga sebagian mereka menerima dakwah ini dengan penuh kepuasan dan
kerelaan, dan akhirnya mereka memperbaharui dan memperbaiki keislaman
mereka.
Dan melalui ini terjadi titik tolak penting dalam sejarah berupa
bersinar kembali cahaya Islam di tengah mereka setelah sebelumnya
mengalami kejahilan di negeri mereka dalam waktu yang lama, dan akhirnya
setiap hari terus bertambah orang-orang yang memperbaharui keislaman
mereka. Dan bertambah pula 4 pembangunan masjid di daerah tersebut,
karena keberadaan mereka dalam masjid-masjid yang ada dapat mengarah
pada perbedaan dan perdebatan. Adapun masjid yang dimaksud adalah masjid
Phuic Nhon, masjid An Xuan, masjid Van Lam, dan masjid Nho Lam, dan
semuanya terdapat di propinsi Ninh Thuan.
Sementara itu gerakan pembaharuan tidak mencakup propinsi Ninh Thuan,
sehingga penduduknya tetap berada pada keyakinan tersebut hingga datang
pembaharuan yang dibawa oleh sebagian pemuda Islam mereka pada tahun
2006, sebagaimana sisa dari mereka menerima gerakan ini dan bertambah
jumlah mereka, karena mereka betul-betul membutuhkan orang yang bisa
mengajarkan Islam kepada mereka.
Kelompok-kelompok klasik umat Islam
Umat Islam Vietnam banyak yang loyal pada suku-suku beragam, dan melalui tulisan dapat kita bagi pada 3 kelompok:
Kelompok pertama: Muslim Tcham, yang merupakan kelompok mayoritas.
Kelompok kedua: umat yang berasal dari suku-suku yang beragam, mereka
adalah pedagang muslim yang datang dari negeri-negeri yang beragam
kemudian menikah dari anak-anak negeri tersebut, seperti Arab, India,
Indonesia, Malaysia dan Pakistan, dan jumlah mereka merupakan kelompok
terbesar dari jumlah umat Islam secara keseluruhan.
Kelompok ketiga: muslim dari warga Vietnam asli, dan mereka adalah warga
Vietnam yang masuk setelah berinteraksi dengan para pedagang muslim dan
komunikasi secara baik, seperti kampng Tan Buu pada bagian kota Tan An,
baik dengan masuknya warga kepada Islam atau mereka masuk Islam melalui
pernikahan.
Kondisi umat Islam
Umat Islam adalah bagian dari penduduk negeri, maka dari itu kondisi
mereka sangat berhubungan dengan pertumbuhan negara dan kemajuannya. Dan
kondisi negara Vietnam sepanjang tahun terakhir ini mengalami kemajuan
yang pesat dan prestasi yang banyak yang belum pernah dialami pada
pemerintahan sebelumnya. Pada tahun 2007, Vietnam resmi menjadi anggota
organisasi negara perdagangan internasional, setelah mampu
berpartisipasi melakukan perbaikan ekonomi dan meluas jaringannya pada
beberapa tahun terakhir. Karena itulah Vietnam menjadi salah satu dari
negara yang mampu membangun beberapa komponen perbaikan ekonomi dan
membuka negara di hadapan investor asing dan perusahaan-perusahaan
swasta dengan jumlah milyaran dollar untuk menanamkan investasinya di
berbagai lini dan sektor yang beragam.
Dan jika dibandingkan dengan kondisi umat pada kurun sebelumnya umat
Islam saat ini mengalami perbaikan, sehingga sebagian umat Islam mampu
keluar dari sangkar kemiskinan dan ketiadaan, bahkan berubah kondisi
hidup mereka. Namun jumlahnya masih terbatas, karena masih banyak dari
umat Islam bahkan dalam jumlah yang begitu besar umat Islam menghadapi
berbagai problema kemiskinan dan permasalahan materi khususnya yang
tinggal di luar dari Ho Chi Minh City.