Bawean adalah sebuah pulau yang terletak di Laut Jawa, sekitar 80 Mil
atau 120 kilometer sebelah utara Gresik. Secara administratif sejak
tahun 1974, pulau ini termasuk dalam wilayah Kabupaten Gresik, Provinsi
Jawa Timur dimana tahun sebelumnya sejak pemerintahan kolonial pulau
Bawean masuk dalam wilayah Kabupaten Surabaya. Belanda (VOC) masuk
pertama kali ke Pulau ini pada tahun 1743.
Bawean memiliki 2 kecamatan yaituSangkapura dan Tambak. Jumlah
penduduknya sekitar 70.000 jiwa yang merupakan pembauran beberapa suku
yang berasal dari pulau Jawa, Madura, Kalimantan Sulawesi dan Sumatera
termasuk budaya dan bahasanya. Penduduk Bawean kebanyakan memiliki mata
pencaharian sebagai nelayan atau petani selain juga menjadi pekerja
diMalaysia dan Singapura, sebagian besar di antara mereka telah
mempunyai status penduduk tetap di negara tersebut, selain di kedua
negara itu penduduk bawean juga menetap di Australia dan Vietnam.
Etnis mayoritas penduduk Bawean adalah Suku Bawean, dan suku-suku lain
misalnya Suku Jawa, Madura, Bugis,Mandar,Mandailing,Banjar.
danPalembang.
Bahasa pertuturan mereka adalah bahasa Bawean. Bukannya bahasa Madura
seperti yg dimaklumkan sebelum ini. Di Malaysia dan Singapura,
penyebutan suku ini berubah menjadi Boyan. Mereka menyebut diri mereka
orang Boyan, maksudnya orang Bawean.
Tokoh yang berasal dari Pulau Bawean yaitu Pahlawan Nasional Harun
Thohir, Yahya Zaini, Syekh Zainuddin dan beberapa lagi yang keturunan
bawean seperti Noh Alam Shah, Mahali Jasuli. Datuk Aziz Sattar.
Kata Bawean berasal dari bahasa Sanskerta, yang berarti ada sinar
matahari. Menurut legenda, sekitar tahun 1350 sekelompok pelaut dari
Kerajaan Majapahitterjebak badai di Laut Jawa dan akhirnya terdampar di
Pulau Bawean pada saat matahari terbit.
Nama BAWEAN muncul pada abad ke 13, nama ini di berikan oleh Prajurit
Majapahit (salah satu kerajaan terbesar di nusantara) yang berlabuh di
bawean setelah kapalnya terkena badai dan menyebutnya BAWEAN yang di
bahasa sansakerta berarti matahari terbit. Berdasarkan manuskrip yang
ada di sangkapura, pulau bawean ini sebelumnya dikenal dengan sebutan
Pulau Majdi karena bentuknya bundar seperti uang logam.
sebelum islam masuk ke pulau bawean, masyarakat bawean menganut paham
animisme ( penyembah roh dan kekuatan gaib), hal ini bisa di telusuri
dari cerita adu kesaktian antara Maulana Omar Mas’od VS Raja Babileono।
Raja babileono seorang penyihir animisme yang sakti mandraguna
Namun berkat pertolongan Allah SWT Omar Mas’od bisa mengalahkan raja
babileono।Ada juga yang menyebut BAWEAN = babi jadian, babian ===>
ini hanyalah masalah pronounciation, karena bahasa bawean mendapat unsur
pengaruh dari bahasa madura dimana huruf W dibaca menjadi B। terkenal
cerita bahwa Raja Babileono adalah seorang raja yang gemar memelihara
babi dan mempunyai ternak babi yang banyak sekali
sehingga raja Babileono dikenal juga dengan sebutan Raja Babi। pada
masyarakat animisme memelihara babi sudah menjadi biasa, bahkan hewan
babi itu juga disembelih dijadikan makanan । seperti pada masyarakat
Dayak di Borneo yang masih memelihara.
Dalam kitab Negarakertagama menyebutkan bahwa pulau ini bernama Buwun
sedangkan dalam catatan Serat Praniti Wakya Jangka Jaya Baya penduduk
Bawean bermula pada tahun 8 Saka dimana sebelumnya pulau ini tidak
berpenghuni, Pemerintah Koloni Belanda dan Eropa pada abad 18 menamakan
pulau ini dengan sebutan Lubeck,Baviaan,Bovian,Lobok Awal abad ke-16
tepatnya pada tahun 1501 agama Islam masuk ke Bawean yang dibawa oleh
Sayyid Maulana Ahmad Sidik atau yang dikenal dengan nama Maulana Umar
Mas'ud atau Pangeran Perigi sekaligus menjalankan tata pemerintahan di
Pulau Bawean selanjutnya Pulau Bawean di pimpin oleh keturunan Umar
Masud seperti Purbonegoro, Cokrokusumo dan seterusnya hingga yang
terakhir Raden Ahmad Pashai. Pada tahun 1870-1879 Pulau Bawean menjadi
Asistent Resident Afdeeling dibawah Resident Soerabaya pada masa inilah
Pulau Bawean di bagi menjadi dua kecamatan yaitu kecamatan Sangkapura
dan Kecamatan Tambak yang di pimpin oleh seorang Wedana dengan Wedana
terakhir bernama Mas Adi Koesoema ( 1899-1903).
Bawean merupakan pulau kecil yang dikelilingi oleh pulau-pulau lain yang
lebih kecil seperti Pulau Gili Barat, Pulau Gili Timur, Pulau Noko,
Pulau Selayar, Pulau Nusa. Di Pulau Bawean terdapat dua Kecamatan, 30
desa dan sekitar 143 dusun (kampung). Dua kecamatan itu adalah Kecamatan
Sangkapura yang terdiri dari 17 desa iaitu Pulangasih Sungairujing,
Terta, Dissallam, Desa Sawahmulya, Kota Kusuma, Sungaiteluk, Patar
Selamat, Gunung Teguh, Baliktetus, Daun, Kebun Teluk Dalam, Sidogedung
Batu, Lebak, Pudakit Timur, Pudakit Barat, Komalasa, Suwari dan
Deka-Tagung.
Kecamatan Tambak pula meliputi Desa Tambak, Teluk Jati,
Dedawang(dhedhebeng), Gelam, Sokaoneng, Sukalila, Kalompang Ghubuk,
Pakalongan, Tanjunguri, Grejek, Paromaan, Diponggo, Kepuh Teluk dan
Kepuh Legundi.
Kesenian Bawean
Senjata tradisional orang Bawean adalah pedang. Pedang digunakan oleh
Raja Bawean pada zaman dahulu seperti yang ada di Desa Kumalasa, dan
Pendekar Pokolan menggunakan pedang dan pisau sebagai senjatanya. Pada
zaman sekarang terkenal juga dengan Celurit kerana ada pengaruh dari
Madura, bukan hanya di Bawean tapi di Jawa Timur celurit menjadi senjata
khas. Seni pertahanan diri orang bawean adalah dinamakan
''POKOLAN",merupakan salah satu aliran pencak silat di nusantara. Pencak
Silat yang ada di Jawa Timur dan Madura berasal dari pokolan Bawean.
Pokolan Bawean seolah-olah seperti Silat Cekak Ustaz Hanafi di Malaysia
tapi pokolan Bawean lebih mematikan, teknik pukulan tangan dengan cara
menekuk jari tangan (orang bawean menyebutnya'Nyotok'/ 'Sotok'). Tidak
digenggam seperti karate. Ini berfungsi untuk mematahkan tulang rusuk
lawan. Pokolan Bawean kini berkembang di Singapore (Pencak Pokolan
Bawean). Kesenian tradisional Bawean umumnya terpengaruh budaya Melayu
dan Islam. Sebut saja seni balas pantun yang akrab di sebut Mandiling
oleh orang Bawean ada juga Budaya khas orang Bawean
yaitu"Makabin-kabin", ini adalah pernikahan adat orang Bawean yang
dirayakan 7 hari 7 malam.
Islam Di Pulau Bawean
Bukan Maulana umar Mas'ud yang pertama menyebarkan Islam ke Bawean, ada
Sunan Bonang (Raden Makdum Ibrahim) yang lebih dulu menyebarkan Islam di
Pulau Majedi (Bawean), kemudian ada Waliyah Zainab bersama suaminya
Pangeran Seda Laut. Kemudian barulah Maulana Umar Mas'ud. Pada permulaan
abad ke XVI (kira-kira tahun 1501 Masehi) datanglah ke Pulau Bawean
seorang bernama Maulana Umar Mas'ud (nama asalnya adalah Pangeran
Perigi). Beliau adalah cucu dari Sunan Derajat (Sayid Zainal Alim),
iaitu anak yang kedua dari Susuhunan Mojoagung (Putera Sayid Zainal Alim
yang tertua). Maulana Umar Mas'ud datang ke Pulau Bawean dari Pulau
Madura. Beliau datang ke Madura bersama saudaranya yang bernama Pangeran
Sekara. Pangeran Sekara ini menetap di Madura serta beristeri di sana (
di Arosbaya), sedangkan Pangiran Perigi (Maulana Umar Mas'ud) keluar
dari Madura menuju ke arah utara sehingga sampai di Pulau Bawean dan
mendarat di sebuah desa yang sekarang bernama Kumalasa. Konon menurut
cerita, beliau datang ke Bawean dari Madura dengan menaiki seekor ikan.
Pada mulanya setelah tiba di Pulau Bawean, Maulana Umar Mas'ud tidak
langsung mengajarkan dan menyiarkan agama Islam, tetapi pertama yang
beliau lakukan ialah bergaul dengan penduduk setempat dengan ramah tamah
sehingga dalam pergaulan itu sudah tidak ada perasaan bahawa beliau
adalah orang asing. Pergaulan beliau dengan orang-orang sekitar dusun
yang beliau tumpang sangat erat sekali, sehingga semua orang yang beliau
kenal menaruh kepercayaan kepada beliau. Apa lagi di dusun itu sudah
lebih dahulu datang seorang muslim, namun kedatangannya tidak bermaksud
dan tidak berfungsi sebagai mubaligh.
Tidak berapa lama kemudian Maulana Umar Mas'ud mendapat berita bahawa
Pulau Bawean diperintah oleh seorang Raja yang menganut faham animisme.
Raja itu sangat dipatuhi oleh rakyatnya sehingga rakyatnya pun mengikut
kepercayaan yang dianuti Rajanya. Setelah Maulana Umar Mas'ud mendengar
berita yang demikian itu, maka berangkatlah beliau menuju dusun Panagi,
tempat kedudukan Raja Babileono memerintah. Maksud beliau mengunjungi
Raja itu ialah akan mencari kebenaran berita yang diperolehinya. Dan
apabila memang benar demikian, beliau akan mengajak dan menyeru Raja
tersebut kepada Agama Islam. Kerana beliau berkeyakinan, apabila Raja
itu nanti mahu memeluk Agama Islam, maka semua rakyatnya akan mengikuti
pula. Al-kisah, setelah Maulana Umar Mas'ud tiba di Dusun Panagi dan
berjumpa dengan Raja Babileono, benarlah berita yang beliau peroleh,
bahwa Raja itu berkepercayaan Animisme.
Dalam pertemuan itu Maulana Umar Mas'ud dengan penuh kebijaksanaan
mengajak dan menyuruh Raja memeluk Agama Islam. Ajakan dan seruan beliau
ditolak oleh Raja dan sampai berulang-ulang Maulana Umar Mas'ud
menyatakan maksudnya itu tetapi selalu ditolak oleh Raja. Akhirnya Raja
Babileono mengajukan tentangan kepada Maulana Umar Mas'ud, bahawa beliau
harus mengadu sakti dan kekuatan dengan Raja serta dengan syarat,
bahawa siapa yang kalah harus tunduk dan patuh kepada yang menang.
Tantangan dan syarat tersebut diterima oleh Maulana Umar Mas'ud.
Kemudian ditentukan waktunya serta tempat diselenggarakannya adu sakti
dan kekuatan itu. Pada waktu yang telah ditentukan maka berkumpullah
semua pembantu Raja Babileono beserta rakyatnya yang ingin menyaksikan
adu sakti dan kekuatan tersebut di sebuah lapangan yang sudah ditentukan
pula. Raja dan Maulana Umar Mas'ud juga sudah berada di tengah-tengah
lapangan.
Sebagaimana lazimnya dengan keadaan kehidupan pemimpin-pemimpin masa
dulu, demikian pula halnya dengan apa yang terjadi antara Raja Babileono
dengan Maulana Umar Mas'ud. Adu sakti dan kekuatan yang terjadi antara
keduanya berjalan demikian: Dengan kesaktian dan kekuatan ilmu batinnya,
Raja Babileono merebahkan pohon kayu yang sangat besar tanpa alat dan
bantuan sesiapapun. Raja mempersilakan Maulana Umar Mas'ud supaya
menegakkan kembali pohon kayu yang sudah rebah itu. Semua yang hadir
menunggu apa yang akan dilakukan oleh Maulana Umar Mas'ud dalam usahanya
menegakkan kembali pohon itu. Maulana Umar Mas'ud berjalan dengan
tenang menghampiri dan mendekati pohon besar yang tumbang itu dan
menyapu sebahagian batang pohon tersebut dengan tangannya kemudian pohon
itu bergerak dan tegak kembali seperti sediakala. Sekarang sampai
giliran Maulana Umar Mas'ud. Beliau mengambil dan menghela seekor kerbau
ke tengah-tengah lapangan. Kerbau itu beliau rebahkan dengan tongkat
yang dibawanya. Setelah itu beliau mempersilakan Raja Babileono
mengangkat dan membangunkan kerbau tersebut. Raja Babileono
menghampirinya dan kemudian berusaha mengangkat dan membangunkannya.
Usaha Raja sia-sia belaka. Berbagai cara dan kekuatan yang dia
dilakukan, namun usahanya itu tidak membawa hasil sama sekali. Raja
dipersilakan meminta bantuan para pembantunya oleh Maulana Umar Mas'ud
untuk mengangkat dan membangunkan kerbau itu, tetapi usaha bantuan itu
pun sia-sia juga. Akhirnya karena Raja Babileono sudah tidak berdaya
lagi untuk mengangkat dan membangunkan kerbau tersebut sekali pun sudah
dibantu pula oleh para pembantunya, maka Maulana Umar Mas'ud datang
menghampiri kerbau itu dan dengan tongkatnya beliau mengangkat dan
membangunkannya. Gemparlah keadaan sekitar tempat adu sakti dan kekuatan
tersebut, kerana kekalahan yang diderita oleh Raja Babileono.
Melihat kejadian semacam itu Raja Babileono tidak dapat menahan marah
dan rasa malu akan kekalahannya dan ditambah pula harus tunduk dan patuh
kepada Maulana Umar Mas'ud, sebagaimana persyaratan yang sudah dibuat,
maka Raja Babileono menghunus pedangnya menyerang Maulana Umar Mas'ud.
Tetapi dengan pertolongan Allah Yang Maha Kuasa, Maulana Umar Mas'ud
dengan cepat dan tangkas menepis serangan itu, sehingga karena kerasnya
tangkisan dan pukulan tongkat Maulana Umar Mas'ud yang mengenai pedang
Raja, maka pedang itu berbalik. mengenai diri Raja Babileono sendiri.
Beliau pun akhirnya meninggal dunia. Mayat Raja Babileono kemudian
dibuang orang ke dalam laut. Dan dari situlah Maulana Umar Mas'ud
menyebarkan Islam.
Makam Maulana Umar Mas'ud terletak tepat di Belakang Masjid Baiturrahman
(Alun-alun) Kecamatan Sangkapura Bawean, dan nama beliau juga
diabadikan menjadi sebuah nama Yayasan di Pulau Bawean.
Pemakaman Bersejarah di Bawean
Di pulau Bawean diyakini terdapat 99 gunung. Dari gunung sebanyak itu terdapat banyak sekali petilasan dan makam bersejarah.
Diantara makam-makam tersebut seperti makam Maulana Umar Masud, makam
panjang di Tinggen, makam Purbonegoro, makam Waliyah Zainab, makam Jujuk
Campa, makam Cokrokusumo dan makam-makam lain.
Jika makam-makam bersejarah tersebut dikelola dengan baik akan
memberikan mamfaat baik secara batin (spiritual) maupun secara zahir
(ekonomi).
Hal-hal teknis untuk mengelolah makam tersebut seperti perawatan makam,
dirikan suatu bangunan yang unik atau mihrab di atasnya seperti
makam-makam parawali lainnya. Disamping itu, tentu harus memberikan
penerangan akan sejarah setiap tokohnya.
Pemberian catatan atau informasi tentang perjalanan hidup sang tokoh
semasa hidupnya kepada para pengunjung. Selain itu, menyediakan tempat
yang agak luas yang memungkinkan pengunjung bisa melakukan tirakat di
sekitar makam tersebut.
Jika tempatnya indah bersih dan menarik serta ditunjang oleh pancaran
sirr makam wali tersebut maka masyarakat umum, para pecinta spiritual
dan ahli kebatinan akan berdatangan dari segala penjuru negeri.
Kubur Mas Bawang
Kubur Mas Bawang secara administratif terletak di Desa Teluk Dalam
Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean. Kubur tokoh ini berada di tengah
pekuburan umum Desa Teluk Dalam yang terletak di sisi Utara lapangan
sepak bola.
Kubur atau makam tokoh ini nampak menonjol ditengah pekuburan umum.
Pemberian bangunan berupa cungkup beratap seng yang menaungi kubur tokoh
Mas Bawang dan kubur pendamping lainnya merupakan pembeda dari makam
kebanyakan. Cungkup kubur tersebut tidak memiliki dinding pada keempat
sisinya.
Di bagian luar cungkup terdapat pagar batu berbahan batu kali. Batu kali
itu tertata meninggi hingga satu meter. Uniknya, dinding itu tidak
menggunakan semen sebagai perekatnya. Pagar batu tersebut berdenah empat
persegi panjang dengan lebar 5 M, panjang 13 M dengan tinggi 1 M.
Yang juga menarik dari kompleks kubur Mas Bawang ini adalah ditemukannya
batu-batu nisan berbentuk gada dan berbagai hiasan di sekitar kubur
tokoh.
Makam Jirat
Makam tokoh ini menjadi satu dengan empat makam lainnya. Letaknya di
dalam cungkup. Makam Jirat tersebut juga menggunakan bahan batu kali
yang tidak dibentuk dan di tata meninggi tanpa perekat.
Areal di dalam jirat tersebut lebih tinggi di bandingkan lantai halaman
di dalam kompleks pagar. Jirat tersebut berdenah empat persegi panjang
dengan memiliki ukuran panjang 323 cm dan lebar 173 cm dengan tinggi
dari halaman kubur 24 cm.
Makam Embhe Rambheje
Secara administratif berada di wilayah Dusun Suwaritimur, Desa Suwari,
Kecamatan Sangkapura. Letak makam tokoh ini di halaman belakang Masjid
Suwari Timur yang dikelilingi desa. Untuk menuju ke lokasi kubur ini
dari jalan lingkar Bawean yang melalui Desa Suwari, masuk melalui jalan
desa yang telah diperkeras dengan beton cor sejauh 30 meter melalui
desa. Diujung jalan masuk kita akan sampai ke Masjid Suwari Timur.
Makam Embhe Rambheje dikelilingi kuburan masyarakat Dusun Suwari Timur.
Namun pekuburan ini saat ini telah tidak dipergunakan lagi. Makam Embhe
Rambheje akan terlihat mencolok ditengah kuburan lainnya. Fitur sebagai
pembeda dengan makam lainnya adalah ada pagar batu yang melingkari kubur
ini.
Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Suwari, tokoh
Embhe Rambheje adalah merupakan tokoh pembawa Agama Islam di desa
tersebut. Melalui peran tokoh ini masyarakat Suwari akhirnya menjadi
pemeluk Agama Islam. Sebagai tokoh yang mengajarkan syariat Islam, Embhe
Rambheje juga mendirikan masjid Suwari Timur yang kini berada dalam
satu kompleks dengan makam beliau.
Makam Kuna di Tambak
Makam atau Kubur kuna yang dimaksud di sini terletak ditepi jalan
lingkar Bawean yang berhimpit dengan garis pantai. Secara administratif
lokasi makam ini termasuk dalam wilayah administrasi Desa Pekalongan
Kecamatan Tambak. Makam kuna ini berada di tengah pekuburan umum Dusun
Tunjung Desa Pekalongan.
Saat ini makam kuna ini telah diberi bangunan cungkup dengan menggunakan
kontruksi beton dengan atap asbes tanpa dinding yang merupakan bangunan
baru. Jirat kuburnyapun telah ditinggikan dengan batako dengan lapisan
semen.
Keberadaan kubur kuna ini di Bawean baru ramai di bicarakan orang sejak
tahun 1995-an. Menurut keterangan masyarakat sekitar, pada awalnya
masyarakat sekitar dan Bawean pada umumnya kurang memperhatikan
keberadaan kuburan tersebut. Namun seiring dengan semakin banyaknya
peziarah yang datang dari Jawa ke makam tersebut, maka mulai
berkembanglah cerita tentang keberadaan kuburan tokoh tersebut.
Berdasarkan keterangan peziarah dari Jawa yang kami temui di lokasi
kuburan ini, menyatakan bahwa kuburan tersebut merupakan kuburan tokoh
Sunan Bonang, salah seorang dari wali songo yang ada di tanah Jawa.
Menurut peziarah tersebut Sunan Bonang meninggal dan dikuburkan dilokasi
ini dalam upaya beliau menyiarkan Agama Islam. Namun setelah diketahui
oleh para santri dan pengikutnya yang berada di Tuban, mereka bermaksud
untuk memindahkan kuburan Sunan Bonang dari lokasi di Bawean ke Kota
Tuban.
Dalam upaya tersebut santri dan pengikut dari Tuban, tidak sepenuh
niatan mereka berhasil dilaksanakan, karena yang berhasil dipindahkan
hanyalah kain kafannya saja. Sedangkan jasadnya tidak bisa dipindahkan
dari Bawean. Namun sebagian peziarah dari Jawa yang datang ke Bawean
menyebutkan bahwa kubur Sunan Bonang memang di Bawean. Namun kubur
tersebut bukan yang berada di Kecamatan Tambak ini. Melainkan berada di
Desa Pudakit Barat Kecamatan Sangkapura yang di Bawean dikenal dengan
Jujuk Tampo.
Peninggalan arkeologi yang menarik disekitar kuburan di Bawean ini
adalah ada 4 buah nisan bergaya bentuk gada dan 2 buah berbentuk pipih
yang menggunakan bahan batu andesit. Meskipun kuburan tersebut hanya
dikenal sebagai kuburan para santri tokoh utama di kompleks ini, gaya
bentuk nisannya merupakan peninggalan arkeologi yang cukup langkah
khususnya wilayah Bawean yang masih wilayah Kabupaten Gresik itu.
Kubur KH Fahruddin
Kubur tokoh ini di pekuburan umum Dusun Pakalongan Temor Desa Pakalongan
Kecamatan Tambak. Kubur ini tidak memiliki bangunan cungkup.
Tidak seperti umumnya kuburan Islam, pada kubur tokoh ini tidak
ditemukan unsur nisan yang biasanya didirikan dalam struktur jirat yang
mengelilinginya. Pada kubur ini hanya ditemukan struktur jirat yang
menggunakan bahan fosil karang.
Pada bagian kepala dan kaki kuburan, bentukan jiratnya meninggi dengan pola bangun setengah lingkaran menyerupai gunungan.
Makam KH Khatib
Makam KH Khatib berada di tengah pekuburan umum Desa Pakalongan
Kecamatan Tambak. Makam ini tidak memiliki bangunan cungkup dan terkesan
tidak berbeda dengan kuburan umumnya yang ada ditempat tersebut. Jirat
dan nisan kuburnya telah direhab oleh pihak keluarga yang kini dilapisi
dengan keramik modern.
Berdasarkan cerita tutur yang ada di masyarakat Bawean, tokoh ini
merupakan orang pertama yang membawa dan mendirikan organisasi Nahdlatul
Ulama 'di Pulau Bawean.
Beberapa kalangan dari pemimpin wilayah NU Jawa Timur menyatakan bahwa
KH Khatib merupakan salah seorang kyai yang masa hidupnya sejaman dengan
KH Hasyim Asy'ari Tebuireng Jombang. Bersama Hasyim Asy’ari, beliau
aktif sebagai salah seorang perintis pendiri Nahdlatul Ulama '.
Makam Waliyah Zainab
Makam ini terletak di Desa Diponggo Kecamatan Tambak Pulau Bawean, di
kaki bukit yang jaraknya dari pantai sekitar 350 M. Kubur ini di halaman
belakang masjid Desa Diponggo yang konon katanya masjid ini didirikan
oleh Waliyah Zainab.
Cungkup kubur ini telah direhab oleh masyarakat setempat yang saat ini
berdinding tembok dengan kontruksi beton cor beratap genteng. Jirat
kubur sebagai unsur yang masih merupakan peninggalan arkeologi,
menggunakan bahan batu kapur Gresik yang dibentuk persegi empat.
Jirat kubur ini bentuknya mengesankan adanya kesamaan dengan beberapa
jirat kubur yang ada di Gresik meskipun dalam bentuk dan ornamen yang
jauh lebih sederhana.
Tokoh Waliyah Zainab menurut cerita yang berkembang di Bawean adalah
merupakan istri kedua dari Sunan Giri yang bernama Dewi Wardah. Dewi
Wardah merupakan putri Sunan Bungkul di Surabaya yang diperistri berkat
penemuan buah delima oleh Sunan Giri dalam sebuah sayembara.
Namun Dewi Wardah merasa kurang bahagia menjadi istri kedua dari Sunan
Giri, sehingga ia memilih untuk menetap di Bawean sebagai kader penyiar
Agama Islam.
Kubur Jujuk Tampo
Kubur ini terletak di Dusun Tampo Desa Pudakit Barat Kecamatan
Sangkapura Pulau Bawean Kabupaten Gresik. Kubur tokoh yang bernama Jujuk
Tampo ini berada diatas sebuah struktur batu alam yang ditata
sedemikian rupa berbentuk meninggi dengan 3 buah teras undakan. Pada
setiap inti undakan memiliki bidang datar yang cukup luas, di teras
ketiga teratas ditemukan dua buah kuburan dengan dua pasang nisan yang
salah satunya dikenal dengan kubur Jujuk Tampo.
Hingga saat ini tidak ditemukan data yang bisa menerangkan tentang
identitas sang tokoh yang dikubur ditempat tersebut secara valid.
Keterangan warga setempat hanya menceritakan tentang kejadian proses
meninggalnya sang tokoh Jujuk Tampo. Meninggalnya tokoh Jujuk Tampo
adalah akibat dibunuh oleh orang dari Desa Patar Selamat yang menuduh
Jujuk Tampo sebagai pencuri sapi milik warga Patar Selamat yang hilang.
Karena tuduhan tersebut tidak terbukti kebenarannya, seluruh warga Patar
Selamat dikutuk agar tidak berziarah ke kuburan beliau. Bila ada warga
Patar Selamat yang melanggar sumpah tersebut, maka di Bawean akan
terjadi hujan deras dalam beberapa hari.
Tidak adanya data arkeologi dan sejarah yang bisa menjelaskan tokoh yang
dikubur dengan julukan Jujuk Tampo tersebut telah pula melahirkan
cerita baru yang menghubungkan Jujuk Tampo dengan Laksamana Ceng Hoo?
Saya sendiri tidak menemukan data tentang hubungan diantara keduanya
setelah saya baca buku yang baru terbit di tahun 2008 ini. Bukankah
intuisi tidak termasuk dalam metodologi ilmu.
Makam Mbhe Ghuste
Makam Mbeh Ghuste berada di punggung bukit yang termasuk dalam wilayah
Desa Komalasa Kecamatan Sangkapura. Kubur tersebut merupakan kuburan
tunggal yang disekelilingnya berupa semak belukar. Untuk menuju lokasi
kuburan tokoh ini dari jalan Desa Komalasa yang telah bisa dilalui
kendaraan bermotor, kita masih harus berjalan kaki melalui jalan setapak
yang terjal berbatu ditengah semak belukar yang tinggi.
Makam Mbeh Ghuste tidak memiliki bangunan cungkup. Sebagai penanda
keberadaan kuburan ini. Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di
masyarakat Desa Komalasa, Mbeh Ghuste dikenal sebagai salah seorang
kader Agama Islam yang awal di Desa Komalasa Pulau Bawean. Selain itu
tokoh ini dikenal sebagai seorang tabib yang memiliki kemampuan yang
tinggi dalam mengobati penyakit. Konon lebih dari 41 macam penyakit yang
bisa diobati oleh tokoh ini. Namun keterangan lebih jauh tentang asal
dan masa hidup tokoh tersebut tidak ditemukan dalam cerita tutur maupun
data sejarah.
Makam Mbhe Rato
Kubur ini berada di pekuburan umum Desa Dheun yang terlentak di tepi
jalan lingkar Pulau Bawean. Keletakan tersebut menjadikan kuburan ini
sangat mudah untuk di kunjungi. Secara administratif kubur ini termasuk
dalam wilayah Dusun Dheuneler, Desa Dheun Kecamatan Sangkapura.
Berdasarkan cerota tutur yang berkembang di masyarakat Dheun, disebutkan
bahwa tokoh Mbhe Rato saat hidupnya merupakan pemimpin atau penguasa
lokal yang sekarang seperti kepala desa di wilayah Dheun.
Makam Jujuk Neisela
Makam Jujuk Neisela ini berada di lokasi yang hingga kini masih sangat
sulit untuk didatangi. Keletakan kubur ini yang berada di punggung
gunung dengan akses jalan yang hanya berupa jalan setapak pencari rumput
yang sangat jarang di lalui, menyebabkan kesulitan untuk menenukan
lokasi kubur ditengah rimbun semak-semak. Secara administratif kubur ini
termasuk dalam wilayah Dusun Bhelibhekeler, Desa Balikterus Kecamatan
Sangkapura, yang keletakan desanya berada dibagian tengah Pulau Bawean
yang berbukit-bukit. Makam ini tanpa dilengkapi dengan bangunan cungkup.
Berdasarkan cerita tutur yang berkembang di masyarakat Bawean, khususnya
di Desa Balikterus, menyebutkan bahwa tokoh Jujuk Neisela merupakan
salah seorang khadam atau pembatu Waliyah Zainab atawa Dewi Wardah yang
meninggal dalam perjalanan pengungsi sebelum akhirnya Waliyah Zainab
menetap di Desa Diponggo.
Makam Purbonegoro
Letak makam Purbonegoro berada di kaki bukit Malokok yang termasuk dalam
wilayah Desa Gunungteguh Kecamatan Sangkapura. Lokasi kuburan
Purbonegoro merupakan pekuburan umum untuk masyarakat sekitar lokasi dan
lokasi penguburan bagi mereka yang masih memiliki hubungan darah atau
keturunan Purbonegoro.
Untuk menuju kelokasi kuburan ini cukup mudah karena keletakannya yang masih berada dalam kawasan kota Kecamatan Sangkapura.
Halaman cungkup kubur Purbonegoro yang merupakan kaki bukit Malokok
dibuat berundak lima. Setiap undakan diberi dinding talud yang
menggunakan batu koral yang dibentuk persegi empat panjang tanpa diberi
perekat. Empat dinding talud terbawa, saat ini hampir seluruh bagiannya
sudah tertimbun tanah. Sedangkan dinding talud teratas yang sekaligus
terhubung dengan pagar, hingga kini masih dapat teramati walaupun pada
banyak bagiannya telah runtuh.
Kondisi bangunan cungkup tersebut dalam kondisi rusak berat. Didalam
bangunan cungkup pertama tersebut terdapat 2 buah bangunan cungkup kedua
dan 7 buah kuburan. Cungkup kedua yang berada didepan pintu masuk
cungkup pertama merupakan cungkup kedua kubur Purbonegoro. Kedua cungkup
kubur tersebut menggunakan bahan kontruksi kayu yang meskipun kini
dalam kondisi rusak berat dan fragmentaris, namun masih menampakkan
kemegahan bentuk dan hiasannya.
Begitupula dengan jirat dan nisan kubur yang lainnya, juga menggunakan
bahan kayu dengan pola hias yang kompleks yang kini dalam kondisi rusak
berat. jirat kubur Purbonegoro menggunakan bahan kayu dengan pola hias
suluran bunga teratai yang memenuhi hampir seluruh bidang badan jirat
yang berundak dua.
Nisan ini memiliki hiasan antefik pada keempat sudut pinggangnya. Sisi
pinggir nisan diberi hiasan suluran tumbuhan yang mengelilingi bingkai
persegi lima. Di dalam bingkai segi lima sisi dalam nisan terdapat
kaligrafi yang menyebutkan wafatnya Panembahan Adi pada hari senin,
Tanggal 11 Jumadil Akhir Tahun Alif. Sedangkan pada sisi luar nisan di
dalam bingkai segi lima diberi hiasan suluran tumbuhan yang memenuhi
bidang. Nisan ini memiliki ukuran lebar 23 cm, tebal 17 cm, tinggi 47 cm
dengan jarak antar nisan sejauh 122 cm.
Berdasarkan data lisan dan sejarah yang ada di Bawean, Purbonegoro
merupakan keturunan Umar Mas'ud yang menjadi penguasa ke-enam dengan
gelar pangeran yang pemerintahannya berlangsung antara tahun 1720-1747
M. Data sejarah dan lisan tersebut berbeda dengan inskripsi yang
tertulis di nisan.
Makam Syech Maulana Umar Mas'ud
Tokoh Umar Mas'ud yang dalam tradisi lisan dan tulis masyarakat Bawean
dikenal sebagai penyebar Agama Islam di Bawean, terletak di dalam
kompleks Masjid Jamik Sangkapura yang konon masjid tersebut didirikan
oleh Umar Mas'ud. Secara administratif kubur ini termasuk kedalam
wilayah Desa Kotakusuma Kecamatan Sangkapura yang menempati lokasi di
sisi Barat Alon-alon kota Kecamatan Sangkapura.
Kubur Umar Mas'ud berada di sisi belakang kompleks Masjid Jamik dengan
pagar pembatas yang menyatu dengan pagar masjid. Sebuah cungkup yang
telah direnovasi dan kini cungkup tersebut berdinding tembok semen baru
menaungi dua buah kuburan, yakni kubur Umar Mas'ud beserta istrinya.
Nisan kuburan yang kini terpasang pada jirat merupakan nisan baru yang
menggunakan bahan kayu jati. Sedangkan dua pasang nisan asli dari dua
buah kuburan tokoh ini masih tersimpan di dalam bangunan cungkup dalam
kondisi utuh dan baik.
Tokoh Umar Mas'ud dalam sejarah Paulau Bawean dikenal sebagai tokoh
penyiar agama Islam yang datang ke Bawean dan mengalahkan penguasa
Bawean dikala itu yang bergelar Raja Babi sebagai raja Kerajaan Lubek
dalam sebuah duel. Setelah berhasil mengalahkan Raja Babi yang seketika
itu meninggal dunia, Umar Mas'ud mengangkat dirinya sebagai penguasa
Pulau Bawean dan memindahkan pusat kekuasaan dan pemerintahannya dari
Panagih di Desa Lebak ke Bengko Dhelem yang kini berada di Dusun
Dejebheta Desa Sawahmulya.
Dimasa pemerintahannya ini Umar Mas'ud mendirikan Kota Sangkapura dengan
konsepsi kota Islam Jawa yang diadaptasi dengan kondisi geografis
setempat. Bentuk adaptasi konsepsi tata kota Islam Jawa tersebut nampak
dari penempatan keraton pusat pemerintahan yang di Bawean dikenal dengan
Bengko Dhelem di sisi Utara Alon-alon dan pasar di sisi Selatan
Alon-alon. Sedangkan masjid Jamik tetap berada di sisi Barat dari
Alon-alon.
Pemerintahan Umar Mas'ud di gantikan oleh anak keturunannya pada saat
beliau wafat pada tahun 1630M yang kehilangan kedaulatannya sehubungan
dengan naiknya kembali kekuatan pemerintah di tanah Jawa pasca
Majapahit.
Makam Cokrokusumo
Menurut wilayahnya, makam Cokrokusumo masuk dalam Desa Sungaiteluk
Kecamatan Sangkapura Pulau Bawean. Lokasi makam ini berada ditepi
persimpangan jalan kecamatan yang telah beraspal, sehingga kuburan ini
cukup mudah untuk di kunjungi. Kubur Cokrokusumo yang bagi masyarakat
Sangkapura juga dikenal dengan nama Congkop Naghesare, dikelilingi oleh
kompleks pekuburan besar yang terpisahkan oleh jalan kecamatan yang
melintas ditengahnya.
Di dalam bangunan cungkup kubur ini terdapat beberapa kuburan tua. Tiga
buah kuburan dari tokoh utama yang ada di dalam cungkup kubur ini diberi
bangunan cungkup kedua. Cungkup kubur Cokrokusumo berada di bagian
tengah yang diapit oleh dua cungkup lainnya.
Kaligrafi yang tertulis pada bagian sisi dalam nisan, memiliki isi yang
berbeda antara nisan kepala dan nisan kaki. Kaligrafi pada nisan kepala
berisi wafatnya Kanjeng Rahadian Tumenggung Purba Negara pada tanggal 29
Ramadhan 1235. Sedangkan pada nisan kaki menyebutkan wafatnya Kanjeng
Rahadian Tumenggung Panji Cokrokusumo pada tanggal 29 Ramadhan 1285
Hijriyah.
Berdasarkan data sejarah yang ada di Pulau Bawean, tokoh Cokrokusumo
merupakan keturunan Umar Mas'ud yang kemudian bertahta pada Bawean pada
Tahun 1747 sampai 1789 M. ia kemudian menjadi penguasa ke lima sejak
Pulau Bawean direbut oleh Umar Mas'ud yang sekaligus menjadi penyiar
Agama Islam di Pulau Bawean setelah mengambil alih kekuasaan dari raja
animisme.
Riwayat terjadi nya Danau Kastoba
Danau Kastoba Merupakan Danau yang Terletak di Desa Paromaan Kecamatan
Tambak Kabupaten Gresik Jawatimur yang berada di puncak ketinggian dan
berada di tengah-tengah Pulau Putri Bawean. Dengan prasarana jalan
setapak dan melewati keindahan rimbunan pohon-pohon raksasa berumur
ratusan tahun.di tempat ini terdapat spesies satwa langka aneka serangga
yang takkan mungkin sama jenisnya dengan serangga di pelosok negeri,
sehingga lokasi ini mempunyai daya tarik luar biasa dan sulit
dibandingkan dengan obyek wisata lainnya dan merupakan kenyamanan
tersendiri bagi para pecinta alam.
Alkisah, pada zaman dahulu, Pulau Bawean masih bernama Pulau Majeti. Di
tengah-tengah Pulau Majeti terdapat pohon besar dan anggun, tetapi
rindang sehingga kalau seseorang berdiri di bawahnya akan dapat
menjangkau sebagian daun pohon tersebut. Kala itu Pulau Majeti
diperintah oleh Ratu jin yang berwibawa. Semua mahluk di daerah
kekuasaanya tunduk kepadanya, baik mahluk halus maupun mahluk kasar.
Ratu jin di Pulau Majeti sangat termashur dan dikenal oleh Ratu-Ratu jin
yang lain di Nusantara, ini karena di daerah kekuasaan Ratu Jin Majeti
terdapat “pohon sakti” yg tdk dimiliki oleh ratu jin lain di mana pun di
kepulauan Nusantara ini. Yang tiada lain adalah pohon besar dan rindang
ditengah Pulau Majeti itu.
Karenanya dalam waktu tertentu, Ratu jin selalu mengubah kebijaksanaanya
demi menyelamatkan pohon tersebut. Ratu juga ingin sekali melestarikan
pohon kebanggaanya itu. Maka dipanggillah beberapa jin pengawal
kerajaan. “wahai pengawalku!” “Ya Ratu!” “Coba kau jemput burung gagak
jantan yg sedang berada di Pantai Ria,Desa Dekat Agung dan burung gagak
betina yg ada di Pantai Mayangkara, Desa Ponggo!” “Hamba laksanakan
Ratu!.” Demikian jawab pengawal kerajaan sembari menundukkan tubuhnya
dan terus berangkat untuk memanggil ke dua burung gagak tersebut.
Setelah keduanya datang menghadap Ratu, maka sang Sang Ratu jin berkata…
“Hai, Gagak! kamu berdua akan mendapat tugas baru yg berat, tetapi
sangat mulia! bersediakah engkau?” “Dengan senang hati, Ratu” sembah
kedua gagk itu. “Bagus. Memang hanya engkaulah yg dpt mlksanakan amanat
ini. Apalagi selama ini kalian telah mengerjakan tugas-tugas kerajaan
dengan sangat baik n berhasil” “Tugas gerangan apakah itu, Ratu?” tanya
kedua gagak itu. “Begini. Engkau berdua sudah waktunya untuk mengetahui
keadaan ini, karena engkau telah menjadi pegawai kerajaan berjabatan
tinggi. Tapi, sebelumnya saya ingatkan janganlah kalian membocorkan
“rahasia kerajaan” ini.” titah Ratu penuh harap, kemudian melanjutkan.
“Kerajaan kita mempunyai pohon istimewa yg terdapat ditengah-tengah
pulau ini.
Berkat pohon itulah kerajaan kita termashur dan disegani oleh kerajaan
lainya. Segala bagian pohon itu amat berguna bagi kehidupan!” “oh ya?”
sambung kedua gagak itu. “Akarnya, batangnya, dan rantingnya sebagai
tumbal bencana alam, dan bahaya lain. Sehelai daunnya saja, bisa
menyembuhkan berbagai penyakit dan sgt ampuh daya sembuhnya. Bunganya
juga dapat untuk kekebalan pemiliknya” “Hai, sakti amat!” “Nah,
kewajibanmu sekarang adalah menjaga pohon itu serta bagianya. Berjagalah
dengan disiplin atas segala gangguan dan ancaman,baik dari luar atau
dari dalam kerajaan. waspadalah selalu ke udara,ke laut atau ke darat.
Jika ada mahluk asing yg mencurigakan, segeralah hubungi dan lapor pd
penjaga istana” Kedua pohon gagak itu tidak menjawab, hanya
memperhatikan dengan seksama instruksi-instruksi Ratunya. Betapa berat
tugas yg dipikulnya. Namun mereka cukup bangga karena mendapat
kepercayaan dan kehormatan dari Tuannya.
Hingga pada suatu hari, burung gagak menjumpai seorang pemuda buta yang
sedang tertatih-tatih dan berusaha mencari obat demi kesembuhan kesua
matanya. Melihat hal yang demikian sang gagak merasa iba dan kasihan
kepada pemuda tersebut dan melanggar janji mereka kepada ratu jin.
“wahai pemuda buta, ambil daun pohon besar ini dan usapkan ke kedua
matamu yang buta. Maka kau akan dapat melihat lagi”, kata gagak kepada
pemuda buta tersebut. Akhirnya pemuda itu mnuruti perinah si gagak dan
pemuda itu langsung sembuh, kedua matanya dapat melihat secara normal.
Ratu jin mendengar berita tersebut kemudian marah lalu mencabut pohon
besar dan sakti yang berada di tengah-tengah Pulau bawean itu. Bekas
dari cabutan pohon besar itulah kemudian menjadi sumber dan membentuk
danau. Hingga saat ini danau itu masih asri, rindang dan tentunya masih
ada kesan mistisnya. Danau itu terkenal dengan nama Danau Kastoba.