KECAMATAN Pleret dikenal memiliki banyak cagar budaya yang bertebaran di
beberapa dusun. Hal itu cukup beralasan mengingat salah satu kecamatan
di Kabupaten Bantul ini pernah menjadi pusat pemerintahan Dinasti
Mataram. Tahun 1618, Sultan Agung membangun Kerto sebagai ibu kota
kerajaan namun nampaknya tidak diikuti tindakan memindahkan ibu kota
kerajaan secara resmi.
Menurut sejarawan Belanda de Haen, dalam kunjungannya ke Mataram tahun
1623 dia menduga Sultan Agung masih menjalankan roda pemerintahannya di
Kota Gede. Lalu, tahun 1647 Amangkurat I membangun Kedaton Pleret
menjadi ibu kota kerajaan menggantikan Kota Gede dan Kerta. Kali ini
penerus Dinasti Mataram ini benar-benar ingin menjadikan Pleret sebagai
ibu kota kerajaan.
Terbukti dengan digunakannya konsep tata ruang Jawa catur gatra untuk
mengembangkan ibu kota baru ini. Dalam rangka menjadikan Pleret sebagai
ibukota kerajaan, Amangkurat I selain membangun Kraton juga membuat
Masjid Agung, Pasar dan Alun-alun. Disamping itu, penerus Sultan Agung
ini juga mendirikan cepuri (benteng kraton), saluran air dan bendungan
dan danau besar yang sekarang dikenal dengan wilayah Segoroyoso (berasal
dari kata segoro = laut; yasan = buatan).
Dengan kondisi seperti diatas dapat dimaklumi bila Pleret dan sekitarnya
sangat kaya dengan situs-situs bersejarah. Namun serangkaian peristiwa
berikutnya mengubah arah nasib wilayah Pleret. Diawali dengan penyerbuan
Trunojoyo ke Kedaton Pleret tahun 1677 yang meluluhlantakkan Kedaton
Pleret. Tahun 1800 VOC membangun pabrik gula 'Kedaton Pleret' di lokasi
bekas Kraton. Perusahaan Belanda ini membangun pabrik gula dengan
memanfaatkan berbagai material yang ada, termasuk batu bata bekas
bangunan Kraton.
Pada tahun 1826 pertempuran pasukan Pangeran Diponegoro melawan VOC juga
merambah ke kawasan ini. Selanjutnya Perang Gerilya tahun 1948 dimana
pasukan pejuang pimpinan Jendral Sudirman bertempur melawan tentara
Belanda juga menyentuh wilayah Pleret. Bahkan, pabrik gula Kedaton
Pleret yang dibangun Belanda turut hancur lebur. Namun, tidak semua
cagar budaya yang ada di Pleret luluh lantak oleh dinamika sejarah.
Masih ada satu bangunan cagar budaya yang secara fisik relatif terlihat
utuh. Baik struktur maupun arsitektur bangunan tersebut masih dapat
dinikmati dan dikagumi meskipun sudah berusia 3 abad lebih.
Situs Gunung Kelir dapat dikatakan satu-satunya bangunan cagar budaya
peninggalan Amangkurat I yang masih terlihat baik struktur dan
arsitekturnya. Bangunan ini adalah makam Ratu Malang, salah seorang
isteri Amangkurat I yang meninggal bersama anak yang sedang
dikandungnya. Bangunan makam dikerjakan tahun 1665 dan selesai tahun
1668. Makam ini memiliki luas kurang lebih 900 m2 yang dikelilingi
tembok berbahan bata putih, tinggi tembok 2 meter sedang tebal berkisat
120-155 cm. batuan andesit digunakan untuk nisan yang berada di makam
tersebut.
Dalam makam terdapat 28 nisan, 19 nisan dibagian depan makam diduga
adalah makam para niyaga (penabuh gamelan), 8 nisan berada dibagian
tengah dimana salah satunya adalah nisan Ratu Mas Malang dan satu nisan
menyendiri dibagian belakang adalah nisan Ki Dalang Panjang Mas. Di area
makam terdapat beberapa tanaman keras seperti Beringin yang akarnya
mengangkat beberapa bagian tembok bangunan makam. Selain itu dimusim
penghujan banyak lumut tumbuh disrtiap jengkal tembok bangunan yang
cepat atau lambat dapat merusak cagar budaya ini. Namun secara
keseluruhan, bila disbanding pebninggalan Amangkurat I di Kecamatan
Pleret, bangunan yang juga diberi nama Makam Antaka Pura ini masih
tergolong utuh.
Entah mengapa hiruk pikuk peperangan disetiap zaman tidak berimbas pada
kerusakan Situs Gunung Kelir. Mengapa Trunajaya tidak menghancurkan
makam ini saat melakukan bumi hangus Kedaton Pleret? Mengapa Pemerintah
Belanda tidak memanfaatkan bata putih makam ini saat membangun pabrik
gula? Apakah mereka semua masih menaruh rasa hormat pada sebuah makam?
Inilah keunikan Situs Gunung Kelir, makam Ratu Mas Malang, selir Sunan
Amangkurat I.
Situs Pasarean Gunung Kelir ini berada di Dukuh Gunung Kelir Desa Plered
Kec Plered Kabupaten Bantul, Yogyakarta turut menyimpan sebuah kisah
yang dramatis Dinasti Mataram pada masa Pemerintahan Sunan Amangkurat
I. Tersebutlah Sang Raja, Ki Dalang Panjang Mas dan Ratu Mas Malang
adalah tokoh utama dalam kisah ini.
Mungkin di zaman serba digital ini, sebagian besar orang sudah lupa
bahkan tak paham sama sekali kisah panjang Ki Dalang Panjang Mas yang
menghebohkan Negara Mataram ketika Sunan Amangkurat I berkuasa.
Apalagi sekarang ini hanya tinggal batu nisan yang berserak dalam pagar
tembok yang sudah tak utuh lagi. Maka, wajar kiranya bila hanya sedikit
orang yang datang menjenguk. Itulah Situs Makam Gunung Kelir.
Terletaknya 100 meter di atas permukaan air laut, tepatnya di bukit
kecil bernama Gunung Kelir. Secara administratif posisi situs itu berada
di Dukuh Gunung Kelir, Desa Pleret, Kecamatan Pleret, Kabupaten Bantul.
Berdasarkan Laporan Studi Teknis Arkeologis Situs Makam Ratu Mas Malang
dari Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta (27 September-12
Oktober 2004), makam ini dibangun pada tahun 1668 oleh Sunan Amangkurat
I, Raja keempat Kerajaan Mataram Islam yang bertahta pada tahun
1646-1677. Amangkurat I inilah yang memindahkan kraton dari Kerta ke
Pleret. Amangkurat I lahir pada 1619 dari permaisuri kedua Sultan Agung
yang bernama Raden Ayu Wetan.
Kondisi Situs Pemakaman
Sunan Amangkurat I menamakan makam itu Antaka Pura atau istana kematian.
Tokoh utama yang disemayamkan di makam itu bernama Ratu Mas Malang.
Ratu Mas Malang adalah salah satu garwa selir dari Amangkurat I yang
karena sayangnya kemudian diangkat menjadi permaisuri. Sebelum menjadi
istri Sang Raja, Ratu Mas Malang bersuamikan Ki Dalang Panjang Mas,
seorang dalang tersohor sekaligus penulis kraton. Namun, Ratu Mas Malang
sebenarnya bukan penghuni pertama makam itu. Sebelumnya, mantan
suaminya, Ki Dalang Panjang Mas, sudah lebih dahulu dikebumikan di situ
meski tidak berdampingan.
"Jika engkau memutar pandanganmu sedikit ke kanan, engkau akan menjumpai
lima nisan di atas tanah yang agak tinggi. Tepat di tengahnya,
bersemayam Nyai Panjang Mas, isteri ki dalang. Dia juga biasa dipanggil
Ratu Malang. Sedangkan di samping bawah nisan Ratu Malang itu, terserak
belasan nisan-nisan tanpa nama, nisan-nisan para penabuh gamelan, sinden
dan entah siapa lagi."
Bagaimana mungkin dalang, isteri dalang, sinden dan para penabuh gamelan
serta sekotak wayang bisa binasa bersama? Apakah maut begitu kompak
bekerja?
Memasuki areal luar makam, kita akan disambut dengan suasana sunyi dan
sepi. Hawa yang angker dan wingit pun begitu terasa menyelimuti lokasi
ini ketika berkunjung ke makam ini. Ditambah dengan pohon-pohon tua yang
berusia ratusan tahun seperti beringin dan kamboja tampak memayungi
batu-batu nisan yang berwarna hitam. Namun, cukup berbeda ketika
memasuki ruang makam, suasana begitu sejuk dan teduh serta cukup
menenangkan.
Kompleks makam ini dikelilingi oleh pagar yang terbuat dari susunan batu
putih dengan ketinggian sekitar 2,5 meter yang tampak sudah tak utuh
dikarenakan oleh faktor alam. Beberapa bagian nampak runtuh karena tanah
tidak stabil dan bisa jadi dikarenakan gempa bumi. Dalam kompleks makam
ini secara keseluruhan terdapat 18 nisan yang membujur, 14 diantaranya
tersusun dari batuan andesit monolith dan sisanya hanya ditandai dengan
tumpukan batu putih. Luas kompleks secara keseluruhan kurang lebih tiga
puluh kali tiga puluh meter persegi
Memang, makam itu sengaja dibuat oleh Sunan Amangkurat I untuk istrinya,
Ratu Mas Malang. Tapi, di tempat itu juga menyimpan jasad seorang
dalang legendaris, Ki Panjang Mas. Tempat peristirahatan terakhir Sang
Dalang itu berada di sudut barat laut. Nisannya diapit dua pohon
beringin tua. Posisi makam Ki Panjang Mas terpisah dengan kelompok makam
lainnya. Komposisi batu nisan Ki Panjang Mas hanya berupa onggokan batu
diplester namun kini terlihat plesteran semennya sudah mengelupas.
Gunung Kelir dinamakan demikian karena terdapatnya tembok pagar makam
yang digambari wayang dengan cara digurat atau ditatah. Gambar-gambar
wayang yang berjajar-jajar di sepanjang permukaan tembok pagar inilah
yang kemudian dianggap sebagai, atau seperti kelir wayang dalam
pementasan wayang kulit. Berawal dari situlah bukit ini kemudian
dinamakan Gunung Kelir. Pada dinding dalam dan luar tembok dihiasi
dengan relief wayang kulit, yang diambil dalam adegan cerita tertentu.
Menurut Juru Kunci Makam, Surakso Sumarno alias Slamet tidak membantah
kalau di komplek makam itu kadang muncul peristiwa ganjil. Misalnya: di
keheningan malam mendadak terdengar derap langkah kaki kuda, atau kadang
terdengar alunan gamelan yang sedang mengiringi pergelaran wayang kulit
seperti gendhing sampak. “Mau percaya tau tidak ya terserah,” ucapnya.
Di luar kompleks makam terdapat beberapa peninggalan lain, yaitu berupa
sendang atau sumber mata air. Sendang ini diberi nama “Sendang Moyo”
yang dibangun di atas batu. Sendang ini tidak akan pernah kering
walaupun musim kemarau. konon sendang ini adalah tempat yang akan
dijadikan peristirahatan terakhir Ratu Malang, namun karena setelah
digali terus keluar air, maka tempat pemakaman Ratu Mas Malang
dipindahkan ke tempat sebelah barat Sendang Moyo tersebut. Sendang ini
juga dikelilingi tembok dan di sebelah barat sendang ini berdiri sebuah
pohon besar (=Pohon Kepuh) yang sudah ratusan tahun umurnya.
Di luar tembok makam yang mengelilingi sendang ini juga ditemukan sebuah
batu berbentuk persegi panjang yang mirip peti kayu untuk menyimpan
wayang. Penduduk setempat juga percaya bahwa di dalamnya dipendam wayang
milik dalang Ki Panjang Mas. Batu persegi empat ini lebih dikenal
dengan "Watu Jonggol", konon siapa saja yang cakupan tangannya mampu
mencapai keseluruhan panjang batu ini, keinginannya akan terkabul.
Kemisteriusan terbunuhnya Kyai Dalang Mas
Ki Dalang Panjang Mas atau juga disebut Anjang Mas berasal dari
Keturunan Majapahit. Ki Panjang Mas adalah putra seorang dalang murid
Sunan Kalijaga. Hidupnya sejak masa Mataram Islam diperintah oleh
Panembahan Seda Krapyak (Panembahan Hanyokrowati) hingga masa
pemerintahan Sunan Amangkurat I, Nama aslinya Soponyono. Ki Panjang Mas
adalah seorang dalang yang termasyhur. Kisah tutur yang turun-temurun
menyuratkan bahwa nama Panjang Mas didapatnya ketika ia mementaskan
wayang di Keraton Ratu Kidul. Ia tidak mau diberi imbalan uang, sehingga
penguasa Laut Selatan memberinya baki panjang terbuat dari Emas. Nah,
dari “hadiah” itulah maka sebutannya popular menjadi Ki Dalang Panjang
Mas. Namun disamping itu, ia memang memiliki suara yang merdu,
ontowecana setiap tokoh pewayangan gamblang terdengar, dan olah nafasnya
sangat panjang sehingga suluknya tak terputus-putus.
Pada masa tenarnya Ia juga berprofesi sebagai penulis di kraton yang
membuat peraturan tentang tata cara Meruwat. Dalam upacara ruwatan , Ki
Panjang Mas menggantikan pertunjukan wayang beber dengan wayang kulit.
Selain itu, ia juga membuat aturan bahwa barang siapa yang ingin
melakukan upacara ruwatan harus memohon ijin dahulu kepadanya. Tentu
saja, sebagai dalang yang laris dan sangat dihormati, Ki Dalang Panjang
Mas memiliki rombongan pangrawit berikut pesindennya.
Salah seorang pesindennya adalah istrinya sendiri, wanita yang konon
berasal dari daerah Malang itu berparas cantik. Jika ditilik dari sisi
“katuranggan”, maka bentukan bagian-bagian tubuhnya nyaris sempurna.
Kemolekan Nyai Panjang Mas itulah yang membuat Sunan Amangkurat I
kesengsem dan cinta berat. Sang Raja tidak peduli kalau wanita itu sudah
menjadi istri Ki Panjang Mas.
Keinginannya tidak ada yang berani membendung, meski harus ada yang
dikorbankan. Suatu ketika Ki Panjang Mas diundang untuk mementaskan
wayang di balaiurung kraton. Sudah pasti, istrinya yang berperan sebagai
sinden mengikutinya.
Di tengah-tengah pergelaran wayang, tiba-tiba blencong (lampu untuk
menerangi kelir) di atas kepala Ki Panjang Mas berguncang hebat dan
padam karena terkena anak panah. Suasananya pun menjadi gelap. Bersamaan
dengan padamnya blencong, ternyata tubuh Ki Panjang Mas sudah terhunjam
anak panah. Seketika itu tewas. Siapa yang berulah? Tak ada orang yang
tahu. Namun, sejarah mencatat setelah Ki Panjang Mas terbunuh, si
waranggana alias Nyai Panjang Mas diperistri oleh Sunan Amangkurat I.
Di lain sisi, kematian Ki Panjang Mas bukan sekadar disulut persoalan
cinta dari Amangkurat I. Sebagai dalang, Ki Panjang Mas tak jarang
menyelipkan kritik terhadap situasi dan kondisi zamannya. Memang, pada
masa pemerintahan Amangkurat I lebih dekat dengan Kompeni. Hal itu
berbeda dengan Ayahandanya, Sultan Agung Hanyokrokusumo yang jelas
antikompeni. Tak pelak lagi, saat itu banyak priyayi yang tidak puas
dengan pola kepemimpinan Amangkurat I. Muncul berbagai pemberontakan.
Baru setahun bertahta, adik Amangkurat I, bernama Pangeran Alit dibantu
seorang ulama bernama Pasingsingan membrontak pada tahun 1647.
Berdasarkan catatan Bernard H.M. Vlekke yang dikutip untuk Laporan Studi
Teknis Arkeologis Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Yogyakarta,
pemberontakan Pangeran Alit dapat ditumpas dan Amangkurat I berusaha
menghabisi para ulama dan keluarganya yang berjumlah 6.000 orang.
Ada lagi kemelut di Mataram karena ulah Pengeran Adipati Anom –yang tak
lain adalah putra Amangkurat I sendiri dari istrinya putri Pangeran
Pekik dari Surabaya. Semula hanya persoalan wanita, yakni Roro Oyi,
seorang wanita simpanan Amangkurat I yang diambil istri oleh Adipati
Anom. Konflik bapak-anak ini kemudian meruncing menjadi perebutan tahta.
Belum lagi pemberontakan Trunojoyo dan Pangeran Kajoran yang dibantu
oleh Kraeng Galensung, tokoh dari Makasar yang menyeberang ke Jawa
setelah makasar jatuh ke tangan Belanda.
Tentu saja, kiprah Ki Panjang Mas tidak seberani tokoh-tokoh pembrontak
itu. Indra Tranggono dalam cerpennya tersebut di atas menyuratkan, bahwa
telinga Amangkurat I risih bila mendengar sentilan-sentilan kritis dari
Ki Panjang Mas saat mendalang. Apalagi sudah ada bumbu rasa untuk
memiliki Nyai Panjang Mas. Maka, tak ada jalan lain kecuali menghabisi
Ki Panjang Mas. Jasad Ki Panjang Mas dimakamkan di Gunung Kelir. Konon,
tak hanya Ki Panjang Mas saja yang terbunuh. Anggota rombongannya berupa
pengrawit ikut dilibas.
Sunan Amangkurat Setia Menunggui Mayat Ratu Mas Malang
Kematian Ki Dalang Panjang Mas telah memuluskan niat Sunan Amangkurat I
untuk segera mengakhiri masa janda Nyai Panjang Mas. Wanita berparas
elok itu pun dijadikan selir. Karena saking cintanya, maka Nyai Panjang
Mas pun dinaikkan derajatnya menjadi Permaisuri dengan gelar Kanjeng
Ratu Mas Malang.
Rasanya belum sepenuhnya puas luapan kasih sayang Sunan Amangkurat I
terhadap Sang Permaisuri, mendadak Ratu Mas Malang meninggal pada tahun
1665 Masehi. Kepergian yang serasa mendadak itu membuat Amangkurat I
curiga mengenai penyebab tewasnya sang istri. Setelah dilakukan
penyelidikan, diduga kematian Ratu Mas Malang karena diracuni oleh orang
sekitarnya. Kemurkaan Amangkurat I pun tak terbendung lagi, sehingga
beliau kemudian menghukum istrinya yang lain di dalam kamar tanpa diberi
makan.
Ternyata rasa cinta Sunan Amangkurat I memang tak ternilai kepada Ratu
Mas Malang. Dalam Babad Tanah Jawi dikisahkan, bahwa ketika Ratu Mas
Malang meninggal, Amangkurat I tidak segera menguburkan Jenazahnya.
Bahkan setiap malam, Sang Raja itu setia menunggui jasad kaku Ratu Mas
Malang.
Sunan Amangkurat I rela tidur bersanding mayat istrinya. Ketika dalam
tidurnya itu bahwa Amangkurat I bermimpi bahwa Ratu Mas Malang telah
berkumpul kembali dengan Ki Dalang Panjang Mas. Ketika keesokan harinya
bangun, Sang Penguasa Mataram pun tersadar dengan perbuatan yang telah
memisahkan Ratu Mas Malang dengan Ki Dalang Panjang Mas. Untuk itu,
Amangkurat I memerintahkan supaya jisim atau jasad istrinya itu
dimakamkan di Gunung Kelir meski tidak berjajar dengan Kyai Dalang
Panjang Mas.