Dalam penulisan sejarah sering terjadi Simpang siur tentang riwayat masa lalu. Diantara nya mengenai Ki Ageng Banyubiru.
Maka dari itu di sini penulis akan mencoba menulis dua sejarah yang berbeda mengenai Ki Ageng Banyubiru.
1- Ki Ageng Banyubiru (Ki Kebo Kanigoro)
Tersebutlah pada zaman Kerajaan Islam Pajang-Mataram seorang kyai agung
yang gemar laku tapa brata bernama Kyai Ageng Purwoto Sidik (yang lebih
dikenal dengan julukan Kyai Ageng Banyubiru). Kyai Ageng Purwoto Sidik
adalah guru spiritual dari Jaka Tingkir (Raden Mas Karebet) pendiri
Kerajaan Islam Pajang yang menggantikan dinasti Kerajaan Demak Bintoro.
Selain berguru kepada Kyai Ageng Purwoto Sidik (Kyai Ageng Banyubiru),
maka Jaka Tingkir (Raden Mas Karebet) juga berguru kepada Sunan Kalijaga
(Wali Agung Tanah Jawa) dan Syaikh Siti Jenar (yang juga dikenal dengan
Syaikh Ali Hasan atau Syaikh Lemah Abang). Dalam kehidupan
spiritualnya, Kyai Ageng Purwoto Sidik sering mengembara dan
berpindah-pindah dari daerah satu ke daerah yang lain. Maka tak heran
bila dalam pengembaraan tersebut, Kyai Ageng Purwoto Sidik banyak
meninggalkan“Petilasan-Petilasan” (untuk bertapa brata atau tempat
bermukim yang beliau tinggalkan).
Setelah sekitar tujuh tahun Kyai Ageng Purwoto Sidik mengembara di
Purwokerto, beliau kemudian hijrah ke Rejosari, Semin, Gunungkidul.
Ditempat itu beliau hidup di tengah hutan Kali Goyang. Setelah beliau
hidup di tengah hutan Kali Goyang cukup lama, lalu beliau meneruskan
pengembaraan sampai di Jatingarang, Sukoharjo (dulu bernama hutan
Wonogung). Ditempat baru ini Kyai Ageng Purwoto Sidik melakukan “Tapa
Kungkum” di sendang setempat. Konon karena pancaran dari energi
spiritual Kyai Ageng Purwoto Sidik, maka air Sendang Wonogung mendadak
berubah berwarna biru. Hingga, sendang itu pun seiring berjalannya waktu
kemudian dinamakan“Sendang Banyubiru”. Berdasarkan peristiwa ini pula,
Kyai Ageng Purwoto Sidik diberi julukan “Kyai Ageng Banyubiru”. Pada era
selanjutnya, julukan “Kyai Ageng Banyubiru”digunakan pula oleh
murid-murid dan orang-orang sesudah beliau yang memang cinta pada sosok
ketokohan beliau.
Perlu diketahui bahwa dusun Banyubiru berada di Selatan kota Solo (Jawa
Tengah), yang disebut-sebut sebagai tempat Jaka Tingkir (Sultan Kerajaan
Pajang) berguru (menimba ilmu). Setelah Jaka Tingkir berguru kepada
Kyai Ageng Banyubiru, beliau kemudian melakukan perjalanan ke Gunung
Majasto, selanjutnya ke Pajang. Jalur gethek-nya menjadi dasar penamaan
dusun-dusun di wilayah itu, yakni: Watu Kelir, Toh Saji, Pengkol, Kedung
Apon dan Kedung Srengenge. Selain Sendang Banyubiru, ada “Delapan
Sendang” lain sebagai Petilasan Kyai Ageng Purwoto Sidik (Kyai Ageng
Banyubiru), yakni: Sendang Margomulyo, Sendang Krapyak, Sendang
Margojati, Sendang Bendo, Sendang Gupak Warak, Sendang Danumulyo,
Sendang Siluwih dan Sendang Sepanjang. Sendang Gupak Warak berada di
Wonogiri, dan sendang lainnya tersebar di Weru, Sukoharjo. Semua sendang
itu kini airnya telah menyusut. Bahkan Sendang Banyubiru sudah tidak
lagi mengeluarkan air, dan dibiarkan menjadi kolam kering penampung air
hujan, dan di atasnya dibangun sebuah “masjid”.
Dalam kehidupannya, Kyai Ageng Purwoto Sidik (Kyai Ageng Banyubiru atau
Ki Kebo Kanigoro) beristrikan Nyai Gadhung Melati dan mempunyai anak
bernama Nyai Roro Tenggok (Sekar Rinonce). Tersebutlah di
dusunSekardangan (Kec. Kanigoro Kab. Blitar) seorang tokoh yang terkenal
mendirikan dusun bernama Nyai Gadhung Melati. Karena perpolitikan jaman
Demak-Pajang-Mataram, mereka sempat berpisah dan menjadi pengembara.
Sehingga dari pengembaraannya, Nyai Gadhung Melati juga banyak
meninggalkan beberapa petilasan diberbagai daerah seperti: di
Sekardangan, Kademangan, Maliran, Kanigoro,Dayu dan lain-lain. Wal
khasil, di dusun Banyubiru tersebut, Kyai Ageng Purwoto Sidik menetap
hingga tutup usia. Beliau dimakamkan di utara Sendang Banyubiru
([Sarehan] Selatan kota Solo, Jawa Tengah), bersama istrinya yang
bernama Nyai Gadhung Melati dan putri tercintanya yang bernama Roro
Tenggok (Sekar Rinonce).
Makam Ki Ageng Banyubiru terletak di Desa Jatingarang Kecamatan Weru Kabupaten Sukoharjo ± 24 Km dari Kota Kabupaten Sukoharjo.
2- Ki Ageng Banyubiru (Kyai Ageng Gajah Sora)
Desa Banyubiru merupakan salah satu desa yang terletak di Kecamatan
Banyubiru, Kabupaten Semarang, Provinsi Jawa Tengah. Desa Banyubiru
adalah desa agraris, baik pertanian basah maupun pertanian kering.
Selain itu, Desa Banyubiru juga memiliki sektor unggulan lainnya, berupa
sektor peternakan. Sektor peternakan yang dikembangkan di desa ini, di
antaranya sapi potong, itik, kambing dan beberapa ternak lainnya.
Berdasarkan data administrasi pemerintahan Desa Banyubiru tahun 2010,
jumlah penduduknya adalah 8.451 orang dengan luas wilayah sekitar
677.087 hektar, yang terdiri atas 9 dusun, yaitu Dusun Krajan, Dusun
Kampung Rapet, Dusun Randusari, Dusun Tegalwuni, Dusun Cerbonan, Dusun
Demakan, Dusun Pancuran, dan Dusun Dangkel. Sebagian besar penduduknya
bermatapencaharian sebagai petani yang didukung oleh lingkungan alam
yang menopang pertanian.
Jarak tempuh Desa Banyubiru ke ibu kota Kecamatan Banyubiru yaitu
sekitar 0,4 kilometer. Sedang jarak ke ibu kota Kabupaten Semarang
adalah sekitar 30 kilometer.
Secara administratif, Desa Banyubiru dibatasi oleh wilayah desa-desa
tetangga. Di sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Pojok Sari. Di
sebelah barat berbatasan dengan Desa Rapah dan Desa Brongkol. Di sisi
selatan berbatasan dengan Desa Wirogomo, sedangkan di sisi timur
berbatasan dengan Desa Kebondowo.
Dalam Profil Desa Banyubiru, Kecamatan Banyubiru, Kabupaten Semarang,
yang disusun oleh Tim Perumus Rencana Pembangunan Jangka Menengah Desa
(RPJM Des) Tahun 2010 – 2014, diceriterakan bahwaDesa Banyubiru adalah
salah satu desa penyangga Kecamatan Banyubiru yang keberadaannya sudah
ada sejak zaman Kerajaan Islam Demak, Kerajaan Pajang hingga Mataram.
Memang tidak ada bukti tertulis seperti piagam atau prasasti secara
implisit, namun dilihat dari beberapa peninggalan situs sejarah yang ada
menunjukkan bahwa kala itu eksistensi Desa Banyubiru memang ada.
Berdasarkan babad yang berkembang di sana, Desa Banyubiru pernah
mendapat sebutan ”Tanah Perdikan Banyubiru” dari Kerajaan Demak. Tanah
perdikan merupakan sebidang tanah yang diberi hak istimewa dengan tidak
di punguti pajak. Biasanya, tanah perdikan diberikan kepada orang-orang
yang berjasa kepada sang raja yang memerintah, atau juga biasa diberikan
kepada para pendeta-pendeta Hindu pada saat itu. Daerah tanah perdikan
yang diberikan kepada pendeta-pendeta Hindu biasanya dibangun candi atau
lingga. Masyarakat di sekitar candi diberikan keistimewaan untuk tidak
membayar pajak dengan syarat, mereka harus menjaga dan merawat candi
tersebut. Namun, kalau untuk Desa Banyubiru menjadi tanah perdikan,
disebabkan karena pendiri Banyubiru yaitu Ki Ageng Sora Dipoyono adalah
seorang panglima perang di bawah Adipati Pati Unus atau Pangeran Sabrang
Lor pada waktu perang Malaka mengusir penjajah Portugis, sehingga
mendapatkan penghargaan memimpin suatu daerah, yaitu Tanah Banyubiru
dengan status tanah perdikan karena pengabdian yang luar biasa pada
Kerajaan Demak pada saat itu. Tanah perdikan ini biasanya dikenal dengan
istilah sima di kala Kerajaan Hindu masih eksis.
Sejarah Ki Ageng Banyu Biru (Kyai Ageng Gajah Sora)
Ki Ageng Banyu Biru adalah pemimpin sebuah padepokan ( Sampai sekarang
saya tidak mengetahui pasti dimana letak Padepokan Banyu Biru). Banyak
para siswa yang berguru kepada beliau.
Ki Ageng Banyu Biru memiliki dua orang adik laki-laki. Ki Mas Wila dan
Ki Mas Wuragil. Disana, sudah beberapa waktu yang lama, telah menetap
dan berguru seorang pemuda keturunan Prabhu Brawijaya V, Ki Mas Manca.
Ki Mas Manca adalah keturunan Arya Jambuleka II. Sedangkan Arya
Jambuleka II adalah putra Arya Jambuleka I. Dan Arya Jambuleka I adalah
putra selir Prabhu Brawijaya V.
Ki Ageng Banyu Biru yang waskita batinnya, pagi itu memerintahkan para
siswa membersihkan Padepokan. Tak ada yang mengetahui apa maksud beliau.
Hanya Ki Mas Manca yang diberitahu bahwasanya sore hari nanti, akan
datang seorang tamu keturunan Prabhu Brawijaya V yang hendak berguru ke
padepokan tersebut.
Dan benar, menjelang selesai sandhya sore atau sembahyang sore, seorang
pemuda nampak memasuki Padepokan serta meminta ijin kepada seorang
cantrik (siswa) untuk bertemu dengan Ki Ageng Banyu Biru.
Cantrik tersebut segera menghadap Ki Ageng. Dan Ki Ageng serta merta
memerintahkan Ki Mas Manca untuk menyambut kedatangan pemuda tersebut
yang tak lain adalah Jaka Tingkir!
Jaka Tingkir terkejut juga mendapati kedatangannya disambut sedemikian
rupa oleh Ki Ageng. Rupanya beliau sudah tahu pasti bahwa pada sore hari
itu, dia akan datang kesana. Didepan Ki Ageng Banyu Biru, Jaka Tingkir
menceritakan apa sebabnya hingga dirinya sampai ke Padepokan Banyu Biru.
Berhari-hari Jaka Tingkir berusaha mencari letak padepokan tersebut,
dan pada akhirnya berkat Hyang Widdhi, dia sampai juga dan bisa bertemu
langsung dengan Ki Ageng Banyu Biru.
Ki Ageng Banyu Biru memperkenalkan Ki Mas Manca kepada Jaka Tingkir.
Kedua pemuda keturunan Majapahit itu saling berpelukan bahagia. Bahkan,
Ki Mas Manca sedemikian bahagianya sampai-sampai menitikkan air mata.
Ki Ageng Banyu Biru memerintahkan Jaka Tingkir berdiam di Padepokan
untuk sementara waktu. Dengan ditemani Ki Mas Manca, Jaka Tingkir
mempelajari berbagai macam ilmu dari Ki Ageng Banyu Biru. Kini, Jaka
Tingkir lebih mendalami Ilmu Kesempurnaan yang berasal dari butir-butir
Upanishad Weda. Jaka Tingkir benar-benar mendalami Ilmu tinggi tersebut.
Berbulan-bulan Jaka Tingkir digembleng dengan Tapa, Brata, Yoga dan
Samadhi. Kecerdasaan dan kesungguhan Jaka Tingkir membuat Ki Ageng
sangat menyayanginya. Berbagai lontar-lontar rahasia Shiwa Buddha dengan
mudah dikuasai Jaka Tingkir. Hanya dalam beberapa bulan, kemajuan
spiritual Jaka Tingkir sudah sedemikian pesatnya. Jaka Tingkir yang dulu
lebih mumpuni dalam Olah Kanuragan, kini, Kesadaran spiritual-nya
benar-benar terasah tajam berkat Ki Ageng Banyu Biru.
Ki Ageng Banyu Biru bangga melihat perkembangan Jaka Tingkir.
Dan manakala sudah dirasa cukup, Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan
Jaka Tingkir untuk turun dari Padepokan. Konon, dari Ki Ageng Banyu
Biru, Jaka Tingkir mendapatkan Aji Lembu Sekilan, yaitu sebuah ilmu
kesaktian yang langka, yang berguna untuk melindungi tubuh dari berbagai
serangan dalam batas satu jengkal jari ( satu jengkal jari dalam bahasa
Jawa adalah sekilan ). Konon pula, ilmu ini menyerap energi Lembu
Andini, seorang Atma Suci yang berwujud seekor Lembu dan menjadi
tunggangan Shiwa Mahadewa.
Ki Ageng Banyu Biru-pun memerintahkan Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki
Mas Wuragil untuk menemani Jaka Tingkir. Sebelum meninggalkan padepokan,
Ki Ageng memberikan sebuah taktik jitu kepada Jaka Tingkir agar dapat
kembali diterima oleh Sultan Trenggana.
Pada setiap musim penghujan, Sultan Trenggana pasti meninggalkan ibu
kota Demak dan berdiam diri di Pegunungan Prawata. Banjir seringkali
melanda ibu kota Demak. Dan tidak banyak yang tahu bahwasanya Sultan
kerapkali berdiam diri di Pegunungan Prawata tiap kali musim banjir
tiba. Hanya para Pasukan Pengawal Sultan saja yang mengetahuinya.
Untuk kembali mendapatkan kepercayaan Sultan Trenggana, Ki Ageng Banyu
Biru menyarankan kepada Jaka Tingkir membuat sebuah keonaran dengan
meminta bantuan beberapa gerilyawan Majapahit. Keonaran tersebut harus
mampu mengancam keselamatan Sultan Trenggana yang tengah bermukin di
Pegunungan Prawata. Dapat dipastikan, tidak bakalan banyak prajurid
angkatan bersenjata Demak yang berada disana.
Sebelum pasukan bantuan Demak datang dari Demak menuju Pegunungan
Prawata, Jaka Tingkirharus secepatnya tampil menjadi sosok penyelamat.
Dengan demikian, Sultan pasti akan kembali menaruh kepercayaan kepada
Jaka Tingkir.
Pada hari yang ditentukan, Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan
Ki Mas Wuragil-pun berangkat. Tujuan mereka adalah Pegunungan Prawata.
Arya Bahureksa.
Untuk mempersingkat perjalanan dari Banyu Biru ke Pegunungan Prawata,
keempat pemuda ini memilih menghindari jalur darat. Mereka memilih
menggunakan jalur suingai.
Rakit-pun dibuat. Setelah rampung membuat rakit yg kokoh, keempatnya segera menaiki rakit.
Disuatu tempat, karena waktu telah menjelang sore hari, keempatnya
memutuskan untuk menepi dan mencari tempat bermalam dipinggir sungai.
Kebetulan, tak jauh dari tepi sungai, waktu itu banyak para gadis tengah
mencuci pakaian. Melihat kehadiran keempat orang asing yang tak
dikenal, para gadis seketika menyingkir ketakutan.
Dasar Jaka Tingkir dan Ki Mas Manca yang memang masih belia, salah
seorang gadis tercantik diantara sekawanan gadis lain, sempat digoda
oleh keduanya. Gadis tersebut marah dan pulang dengan hati mendongkol.
Tak ada yang menyangka jika menjelang malam menanjak, tempat dimana
keempat pemuda ini bermalam seadanya tiba-tiba dikepung oleh orang-orang
tak dikenal dengan senjata lengkap! Perselisihan terjadi. Apa daya
empat orang melawan sebegitu banyak manusia, pada akhirnya keempatnya
menuruti keinginan segerombolan orang-orang tak dikenal tersebut.
Akhirnya, Jaka Tingkir dan ketiga temannya tahu duduk permasalahan
sebenarnya setelah mereka dibawa ke tempat hunian ditengah hutan, sarang
para gerombolan.
Tempat dimana mereka bermalam ternyata adalah wilayah hunian para
gerombolan gerilyawan Majapahit. Dan salah seorang gadis cantik yang
sore tadi mereka goda adalah anak perempuan sang pemimpin gerombolan.
Untung, begitu Jaka Tingkir memperkenalkan siapa dirinya, para
gerombolan gerilyawan langsung berbalik menghormatinya. Tiga hari tiga
malam keempat pemuda dari Banyu Bitu ini dijamu disana.Arya Bahureksa,
sang pemimpin, sangat-sangat bersuka cita bisa bertemu dengan putra Ki
Ageng Pengging.
(Dalam Babad Tanah Jawa dikisahkan, manakala rakit yang dinaiki Jaka
Tingkir hendak menepi, mereka melihat seorang gadis cantik dipinggiran
sungai. Jaka Tingkir dan Ki Mas Manca menggodanya. Gadis marah dan serta
merta menghilang. Disusul rakit berputar sendiri dan hujan seketika
turun rintik-rintik. Lebih mengagetkan lagi, mendadak banyak buaya
bermunculan ditempat itu! Keempat orang pemuda terpaksa bertempur dengan
gerombolan buaya dan akhirnya berhasil menaklukkan mereka. Arya
Bahureksa, pemimpin para buaya menjamu mereka di Istana Buaya selama
tiga hari tiga malam)
Dari Arya Bahureksa, Jaka Tingkir mendapatkan bantuan pasukan
gerilyawan. Arya Bahureksa juga menyarankan kepada Jaka Tingkir untuk
menemui Kebo Andanu, seorang pemimpin gerilyawan yang bermukim disekitar
Pegunungan Prawata.
Jaka Tingkir sangat-sangat berterima kasih atas semua bantuan Arya Bahureksa.
Setelah tiga hari tiga malam tinggal dipusat pemukiman para gerilyawan,
Jaka Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil-pun
melanjutkan perjalanannya ke Pegunungan Prawata.
Kini perjalanan mereka diiringi oleh sebagian gerombolan gerilyawan yang
hendak membantu. Dalam Babad Tanah Jawa, iring-iringan rakit rombongan
Jaka Tingkir ini digambarkan dalam tembang Megatruh sebagai berikut :
Sigra milir, Sang Gethek sinangga bajul,
Kawan dasa kang njageni,
Ing ngarsa miwah ing pungkur,
Tanampi ing kanan kering,
Sang Gethek lampahnya alon.
(Segeralah berjalan, Sang Rakit dengan disangga para buaya,
Empat puluh buaya pilihan yang menjaga,
Berada didepan dan dibelakang,
Begitu juga berada di kanan dan kiri,
Sang Rakit-pun berjalan pelan.)
(Megatruh adalah tembang yang menyiratkan situasi genting. Megat berarti
: Pegat, Ruh berarti Nyawa/Atma. Megatruh berarti situasi yang mampu
memisahkan Ruh dan Jasad. Perjalanan Jaka Tingkir ke Pegunungan Prawata
dituangkan dalam tembang Megatruh menyiratkan bahwa perjalanan ini
adalah perjalanan menujui situasi genting yang bisa memisahkan Ruh dan
Jasad)
Empat puluh prajurid pilihan, ditambah para prajurid yang lain, mengiringi Jaka Tingkir.
Perjalanan mereka-pun akhirnya terhenti manakala senja telah menjelang.
Jaka Tingkir beserta para lasykar gerilyawan Majapahit ini akhirnya
menepi untuk mencari tempat bermalam.
Wahyu Keprabhon berpindah.
Tepat waktu itu, mereka berhenti di wilayah pedukuhan Butuh, dimana Ki
Ageng Butuh adalah pemimpin padukuhan dengan pangkat Bekel.
(Ingatkah anda dengan Ki Ageng Butuh? Ki Ageng Butuh adalah sahabat
karib Ki Ageng Pengging. Beliau bersama Ki Ageng Ngerang dan Ki Ageng
Tingkir sempat berguru kepada Syeh Lemah Abang. Baca catatan saya KI
AGENG PENGGING).
Malam itu Ki Ageng Butuh tidak dapat tidur. Beliau duduk di Pendhopo
rumah. Tepat menjelang tengah malam, diatas langit nampak seberkas
cahaya kebiru-biruan meluncur dari arah utara. Cahaya itu melintasi
langit Butuh!
Ki Ageng Butuh terkesiap. Cahaya ini adalah Wahyu Keprabhon. Yaitu Wahyu
seorang Raja. Berasal dari utara, tak lain dari Demak Bintara. Dan
wahyu ini tengah berpindah tempat! Dimana wahyu ini jatuh, maka
disanalah orang pilihan tersebut dapat dipastikan akan tampil menjadi
seorang Raja!
Sontak Ki Ageng Butuh menghambur menuju Gedhogan ( Kandang Kuda ) dan
menyambar seekor kuda. Ditengah malam buta, Ki Ageng Butuh memacu
kudanya mengikuti gerak cahaya kebiru-biruan yang nampak melintas di
atas langit menuju ke pinggir pedukuhan, jauh ke pinggir sungai!
Ki Ageng Butuh terus mengikuti pergerakan cahaya tersebut.
Dan tepat dipinggiran sungai, cahaya itu meluncur ke bawah dan raib! Ki Ageng terus memacu kudanya.
Dan kudanya terhenti nyalang manakala beberapa orang bersenjata tengah menghadangnya tiba-tiba!
Ki Ageng memincingkan matanya melihat ada sekitar lima orang bersenjata
terhunus tengah menghalangi laju kudanya. Sejenak Ki Ageng ditanya
siapakah beliau. Ki Ageng-pun memperkenalkan dirinya sebagai penguasa
wilayah tersebut. Dan giliran Ki Ageng yang balik bertanya siapakah
mereka.
Para penghadang Ki Ageng Butuh tak lain adalah para gerilyawan yang
mengiringi Jaka Tingkir. Mereka tengah mendapat giliran jaga malam.
Mendengar nama Jaka Tingkir disebut-sebut, Ki Ageng Butuh terkejut.
Cepat dia meminta kepada kelima orang tersebut untuk menunjukkan dimana
Jaka Tingkir kini tengah berada. Kelima orang itu nampak enggan dan
curiga. Namun manakala mendengar penuturan Ki Ageng bahwa beliau melihat
wahyu keprabhon jatuh ditempat itu, sontak mereka segera mengantarkan
Ki Ageng Butuh ketempat dimana Jaka Tingkir tengah beristirahat.
Disaksikan kelima orang gerilyawan berikut Ki Ageng Butuh, disana sebuah kejadian yang memukau mata tengah terjadi!
Diatas kepala seorang pemuda yang tengah tertidur, nampak seberkas
cahaya tengah mengambang, berwarna biru cerah. Keenam orang yang
menyaksikan hal itu tercengang. Wajah sang pemuda nampak jelas terlihat
tersinari cahaya tersebut.
Ki Ageng Butuh tidak sangsi lagi dengan Mas Karebet, putra sahabatnya,
Ki Ageng Pengging! Pemuda yang kini tengah tertidur dengan cahaya
mengambang diatas kepalanya itu adalah Mas Karebet, karena wajahnya
mirip dengan Ki Ageng Pengging!
Dan Jaka Tingkir mendadak terjaga dari tidurnya! Bersamaan dengan itu, cahaya kebiru-biruan yang terang diatas kepalanya lenyap!
Jaka Tingkir terjaga karena dalam tidurnya dia mendengar suara-suara aneh tengah memanggil-manggil namanya berulang-ulang!
Begitu dia sadar, dia nampak kebingungan manakala tak jauh dari
tempatnya tidur, ada enam orang tengah memperhatikannya dengan tatapan
takjub!
Belum reda keheranan Jaka Tingkir, salah seorang dari enam orang yg
tengah tercengang melihatnya menghambur dan memeluknya. Keheranan Jaka
Tingkir semakin bertambah-tambah. Namun begitu sosok itu memperkenalkan
didinya sebagai Ki Ageng Butuh, sahabat karib ayahandanya Ki Ageng
Pengging, Jaka Tingkir sedikit banyak memahami situasi yg serba
mengherankan tersebut.
Ki Ageng Butuh menjelaskan bahwasanya Jaka Tingkir kini telah terpilih
sebagai Raja Tanah Jawa. Sesaat lalu, kala Jaka Tingkir tertidur, cahaya
wahyu keprabhon telah jatuh diatas kepalanya. Jaka Tingkir kembali
dicekam rasa heran. Antara percaya tidak percaya. Namun melihat
keseriusan Ki Ageng Butuh, keraguan Jaka Tingkir luruh juga.
Malam itu, Ki Ageng Butuh banyak memberikan wejangan-wejangan yang
sangat berguna bagi Jaka Tingkir. Satu hal yg beliau tekankan, agar Jaka
Tingkir mentauladani ayahandanya Ki Ageng Pengging yang terkenal sabar
dan legowo. Jika kelak Jaka Tingkir benar-benar berhasil menduduki tahta
dan menjadi penguasa Tanah Jawa, sikap ini harus dikedepankan.
Menjelang pagi, Ki Ageng Butuh-pun melepas kepergian Jaka Tingkir dan rombongan dengan doa-doa keselamatan.
Rombongan Jaka Tingkir, kini melanjutkan perjalanan melalui jalur darat.
Pegunungan Prawata
Dan perjalanan rombongan Jaka Tingkir-pun sampai juga di pegunungan
Prawata. Walau agak lambat dikarenakan mereka memilih jalur-jalur sepi
dengan menerobos hutan belukar demi meghindari kecurigaan orang banyak,
pada akhirnya mereka tiba juga.
Dengan bantuan gerilyawan anak buah Arya Bahu Reksa, Jaka Tingkir bisa
bertemu dengan Kebo Andanu, pemimpin gerilyawan yang bermukim disekitar
Pegunungan Prawata.
Jumlah personil anak buah Kebo Andanu ternyata cukup banyak juga. Dengan
bantuan mereka yang sudah cukup hafal medan Pegunungan Prawata, apa
yang akan direncanakan Jaka Tingkir akan bisa dijalankan dengan mudah.
Jaka Tingkir dan Kebo Andanu segera merndingkan rencana secara matang.
Setelah bkesepakatan dicapai, Jaka Tingkir menjanjikan, kelak apabila
dia berhasil menduduki tahta Demak dan berhasil mendirikan Kerajaan
baru, Kebo Andanu akan diberikan wilayah otonomi khusus didaerah
Pegunungan Prawata dan sekitarnya. Kebo Andanu dijanjikan akan diangkat
sebagai penguasa setingkat Adipati atau Raja Bawahan.
Untuk sementara waktu, Jaka Tingkir berserta rombongan beristirahat
beberapa hari dipusat hunian para gerilyawan pimpinan Kebo Andanu. Jaka
Tingkir menanti hari yang tepat untuk menjalankan rencananya.
Dan pada hari yang ditentukan, gerilyawan gabungan ini bergerak
menduduki tempat-tempat yang sudah direncanakan. Tempat-tempat yang
mendekati posisi Pesanggrahan dimana Sultan Trenggana berada.
Dengan ditemani Ki Mas Manca, Jaka Tingkir menyamar sebagai seorang
tukang rumput. Mereka berdua lebih mendekat ke pusat Pesanggrahan. Jaka
Tingkir ingin lebih memastikan dengan mata kepala sendiri bahwa Sultan
Trenggana memang benar-benar berdiam disana. Selain itu, Jaka Tingkir
juga tengah mencari target beberapa orang Prajurid Pengawal Sultan yang
sama-sama saling kenal dengan dirinya.
Dari hasil pengamatan Jaka Tingkir, dia bisa memastikan bahwa Sultan
Trenggana memang berdiam disana. Jaka Tingkir yakin setelah mengamati
seharian kondisi dan situasi Pesanggrahan. Sebagai mantan Lurah Prajurid
Pengawal Sultan, Jaka Tingkir tahu bahwa memang Raja Demak itu sedang
berada di Pesanggrahan Pegunungan Prawata.
Pada malam harinya, kembali Jaka Tingkir, ditemani Ki Mas Manca dan
beberapa gerilyawan pilihan mendekati lokasi Pesanggrahan. Jaka Tingkir
tengah mengincar beberapa orang prajurid jaga. Yaitu Prajurid Pengawal
Sultan yang dikenalinya.
Setelah mendapatkan sasaran yang tepat, ditambah situasi yang dirasa
cukup memadai, Ki Mas Manca dan Jaka Tingkir menyergap dua orang
prajurid yang sudah diincar semenjak sore. Dibantu beberapa gerilyawan
yang lain, dua orang prajurid ini berhasil dilumpuhkan dan dibawa
menjauhi areal Pesanggrahan menuju ke tempat persembunyian para
gerilyawan.
Sesampainya ditempat persembunyian para gerilyawan, kedua prajurid
pengawal tersebut langsung ditemui sendiri oleh Jaka Tingkir. Betapa
terkejut mereka mengetahui siapa yang tengah menemui mereka berdua.
Keduanya tidak bakalan lupa dengan Jaka Tingkir, mantan Lurah Prajurid
Pengawal mereka.
Oleh Jaka Tingkir, kedua prajurid ini ditawari jabatan tinggi jika
mereka mau membantu gerakan yang direncanakan Jaka Tingkir. Dan keduanya
tergiur. Mereka akhirnya menerima tawaran tersebut. Tugas mereka
hanyalah mengabarkan kepada Sultan Trengana bahwa mereka melihat sosok
Jaka Tingkir tegah bertapa disekitar Pegunungan Prawata.
Kabar tersebut harus disampaikan kepada Sultan Demak keesokan hari
manakala Pesanggrahan sudah diserang oleh pere gerilyawan. Ditengah
situasi genting dan sangat mengancam keselamatyan Sultan, disaat itulah
kedua prajurid ini harus menghadap Sultan dan menyampaikan berita
tersebut.
Selanjutnya mereka harus bisa memberi masukan agar Sultan meminta
bantuan Jaka Tingkir untuk mengusir gerombolan liar yang mengancam
beliau.
Jika Sultan setuju, secepatnya mereka harus kembali menemui Jaka
Tingkir. Jika Sultan tidak setuju, mereka tidak usah kembali lagi.
Menjelang pagti hari, seluruh gerilyawan telah siap pada pos
masing-masing. Dan bersamaan dengan bunyi burung hutan buatan yang
disuarakan oleh Ki Mas Manca, serentak mereka keluar dari persembunyian
dan menyerang Pesanggrahan dimana Sultan Trenggana berada!
Pagi baru menjelangt. Embun masih juga belum mengering. Matahari masih
menyembul malu-malu. Seluruh Prajurid Pengawal Sultan Demak dikejutkan
dengan serangan mendadak dari gerombolan gerilyawan Majapahit!
Bende (Gong kecil) seketka nyalang dipukul! Dari satu tempat, menyusul
suara bende terdengar ditempat lain! Berkumadnatg memekakkan telinga!
Bunyi pukulan bertylu-talu tersebut berbaur dengan suara
teriakan-teriakan beringas dari para gerilyawan dan suara kepanikan para
prajurid Demak!
Dipagi buta itu, dimana mata mereka juga belum sepenuhnya jernih, para
Prajurid Pengawal Sultan segera menyambar senjata dan tameng
masing-masing! Riuh rendak suaranya! Bentakan-bentakan komando terdengar
disana-sini!!
Dan pertempuran pecah sudah! Senjata-senjata berkilat-kilat ditimpa
cahaya mentari yang baru saja mengintip mayapada! Disana-sini, suara
denting senjata terdengar memekakkan telinga dibarengi teriakan-teriakan
marah dari mereka yang tengah mengadu nyawa!!
Belum reda kekacauan yang tengah terjadi, para prajurid Demak dikejutkan
pekikan keras dari sisi lain. Pekikan yang berbunyi : JAYA MAJAPAHIT!!
berulang-ulang dan disusul suara gemuruh sahutan : JAYA!!. Disana, dari
sisi lain, sepasukan gerilyawan datang menyerang dan meleburkan diri
dalam pertempuran yang sudah terjadi!!!
Kepanikan melanda para Prajurid Pengawal Sultan! Mereka tidak
menyangka-nyangka, hari ini para gerilyawan berani menyerang
Pesanggrahan Pegunungan Prawata!! Kepanikan semakin bertambah-tambah
manakala disela-sela pertempuran terdengar teriakan berulang-ulang
:PATENI WONG DEMAK!!! (BUNUH ORANG DEMAK!!). Teriakan ini
bersahut-sahutan. Para prajurid Demak sedikit menciut nyalinya.
Dan satu demi satu, mayat-pun bergelimpangan bermandikan darah!!!
Kebo Andanu terlihat memacu kuda ditengah-tengah pertempuran sembari
terus berteriak-teriak : JAYA MAJAPAHIT!!Dia membawa bendera bergambar
Surya Majapahit, simbol kebesaran Majapahit ditangan kirinya ,sedangkan
tangan kanannya terus mengayunkan senjata dengan lincahnya!! Satu dua
prajurid Demak terpapas ayunan senjatanya! Jerit kesakitan terdengar
diiringi tumbangnya tubuh itu dengan bermandikan darah segar!
Para Prajurid Pengawal Sultan terdesak! Tubuh-tubuh prajurid Demak
tumbang satu persatu. Gerilyawan liar ini sangat terlihat sangat ganas!
Gerakan peyerangan mereka yang tidak kenal takut terlihat sarat dengan
penumpahan dendam dan kebencian!!
Dan beberapa pasukan gerilyawan telah naik memasuki Pesangrahan dimana
Sultan Trenggana tengah berada! Jerit ketakutan dari para dayang wanita
dan beberapa selir yang kebetulan ikut ditempat tersebut terdengar!
Mereka ketakutan melihat gerombolan gerilyawan Majapahit memasuki
Pesanggrahan tanpa ada satupun pasukan Demak yang bisa menahannya!
Kegaduhan, kepanikan, ketakutan terlihat disana-sini!
Pergerakan pasukan gerilyawa sudah tidak dapat dikontrol lagi. Penyeragan mereka semakin liar dan ganas!!!
Melihat situasi seperti itu, Jaka Tingkir segera memerintahkan dua orang
prajurid Demak yang semalam diculiknya untuk segera menjalankan tugas!
Kedua prajurid ini langsung bergerak menyusup, mencari jalan aman menuju
Pesanggrahan. Sebuah tanda khusus yang mereka kenakan dileher membuat
para gerilyawan yang kebetulan melihat mereka segera memberikan jalan!!
Dua orang prajurid ini sampai di Pesanggrahan! Situasi sangat kacau
balau!! Mereka telah hapal jalan menuju ruang dalam Pesanggrahan. Dan
mereka bergerak ke ruang rahasia dimana mereka pastikan Sultan pasti
tengah mengamankan dirinya disana!!
Kedatangan mereka yang tergopoh-gopoh membuat beberapa prajurid pengawal
yang masih menjaga Sultan terkejut!! Ditengah kepanikan dan ketakutan,
ditengah kebingungan mereka mencari celah membawa lari Sultan keluar
dari medan tempur, kedatangan dua orang prajurid ini hampir saja
menimbulkan pertikaian!!
Namun melihat yang datang adalah sesama anggota prajurid pengawal,
mereka-pun segera menanyakan ada berita penting apakah yang hendak
disampaikan? Dua orang prajurid ini meminta ijin untuk bertemu Sultan
Trenggana langsung!
Dalam suasana mencekam, para prajurid yabg menjaga Sultan mengantarkan
dua orang suruhan menemui Sultan Trenggana! Didalam bilik, nampak Sultan
tengah berdiri tegang sembari menggenggam keris. Melihat kedatangan dua
orang prajurid tersebut, Sultan langsung menyambut dan menanyakan apa
yang hendak mereka sampaikan.
Tanpa menungu waktu lama, dua orang prajurid ini langsung mengabarkan
bahwa mereka melihat Jaka Tingkir. Jaka Tingkir tengah berada disekitar
Pegunungan Prawata. Dia tengah menjalankan Tapa Brata. Jika Sultan
berkenan, Jaka Tingkir mau turun tangan saat ini juga!!
Dalam kondisi panik, Sultan Treggana tidak bisa berfikir panjang lagi.
Beliau langsung memerintahkan dua prajurid ini untuk menemui Jaka
Tingkir. Sultan Trenggana memerintahkan Jaka Tingkir mengatasi kekacauan
dan Sultan akan mengampuni segala kesalahannya!
Kedua prajurid ini bergegas mohon undur. Keduanya segera keluar dari Pesangrahan, kembali menemui Jaka Tingkir!
Mendengar Sultan Trenggana tengah panik dan meminta bantuannya, Jaka
Tingkir, Ki Mas Manca, Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil segera bergerak!
Ki Mas Manca segera memperdengarkan suara burung hutan tiruan
bersahut-sahutan! Disusul kemudian suara serupa terdengar! Suara yang
dibuat oleh para gerilyawan yang lain begitu mendengar suara burung
hutan tiruan yang diperdengarkan oleh Ki Mas Manca!
Jika suara ini terdengar, maka menandakan bahwasanya Jaka Tingkir sudah waktunya tampil ke medan laga
Namun seharusnya, begitu mendengar isyarat suara yang dibunykan beberapa
gerilyawan dari garis belakang, Kebo Andanu harus memberikan isyarat
penghentian setengah penyerangan dengan menurunkn bendera Surya
Majapahit! Hanya pemimpin gerilyawan anak buah Arya Bahureksa saja yang
melakukannya. Gerakn penyerangan setengah terhenti dari sisi lain.
Beberaga gerilyawan dibaris depan berbalik arah mundur pelahan
bergelombang!
Namun tidak dengan pasukan yang dipimpi Kebo Andanu! Mereka terus
merangsak maju. Mereka tidak melihat bendera Surya Majapahit ditangan
Kebo Andanu diturunkan!
Situasi yang tak terduga ini membuat beberapa gerilyawan kebingungan.
Dan Jaka Tingkir-pun melihat itu! Kebo Andanu tidak menuruti
perintahnya! Kebo Andanu tidak menjalankan rencana yang telah
disepakati! Dan gerakan pasukan Kebo Andanu telah merambah Pesanggrahan.
Beberapa bangunan Pesanggrahan telah dibakar!
Jaka Tingkir cepat bertindak! Dia mengambil sekor kuda dan cepat naik
keatas pelana. Kuda langsung digebrak nyalang, langsung melaju ke garis
depan! Ki Mas Manca, Ki Wila dan Ki Wuragil tidak tinggal diam! Mereka
segera meggebrak kuda masing-masing menyusul Jaka Tingkir!
Melihat kedatangan empat penunggang kuda yang menerobos medan
pertempuran, dan yang paling depan terlihat adalah Jaka Tingkir, Kebo
Andanu tidak menggubris! Bendera Surya Majapahit kini semakin dia angkat
tinggi-tinggi!
Jaka Tingkir bertindak cepat, dia memacu kuda mendekati Kebo Andanu.
Manakala jarak mereka sudah teramat dekat, Jaka Tingkir langsung
melompat dari atas kudanya, menubruk tubuh Kebo Andanu! Karuan saja,
Kebo Andany jatuh terguling ditimpa tubuh Jaka Tingkir. Bendera Surya
Majapahit terlempar dari genggamannya!
Cepat bendera itu diraih Jaka Tingkir dan dilemparkan kearah Ki Mas
Manca yang tengah memacu kuda kearahnya! Ki Mas Manca sigap menerima
lemparan tersebut! Dengan terus memacu kuda ke garis paling depan,
diiringi Ki Mas Wila dan Ki Mas Wuragil, Ki Mas Manca mengangkat
tinggi-tinggi bendera Surya Majapahit, lantas digerakkannya turun sambil
berteriak :
“Munduuuuuuuuur!!!!”
Mendengar teriakan komando dari Ki Mas Manca dan melihat bendera Surya
Majapahit ditangannya bergerak turun, beberapa pemimpin gerilyawan yang
membawa bendera serupa segera melakukan hal yang sama dan berteriak :
“Munduuuuuuur!! Munduuuuuuuuur!!”
Gerakan merangsak maju dari anak buah Kebo Andanu segera tertahan. Kini pelahan mereka mundur ke belakang bergelombang!
Beberapa prajurid Demak yang hampir kehilangan nyawa bersyukur manakala para gerilyawan itu seketika mundur kebelakang!
Di lain tempat, Kebo Andanu tengah berhadapan dengan Jaka Tingkir!
“Paman, mengapa tidak mengikuti rencana semula?!”
Suara Jaka Tingkir tertahan. Jarak mereka teramat dekat, cukup untuk
didengar oleh Kebo Andanu. Kebo Andanu mendengus! Matanya
berkilat-kilat!
“Kehormatan bagiku membunuh keturunan Patah itu dengan tanganku, Raden!”
Suara Kebo Andanu terdengar bergetar menahan amarah!
Jaka Tingkir mendesis :
“Pasukan Demak dalam jumlah besar sebentar lagi datang! Percuma hanya
membunuh Sultan-nya! Sultan baru akan segera diangkat menggantikan!
Ikuti rencana semula, paman! Tahta Demak bisa kita rebut dari dalam!!”
Namun Kebo Andanu tidak mau mendengar. Kini dia malah menaiki kudanya, menghunus keris dan berkata :
“Bunuhlah aku, Raden! Hanya dengan cara itu Raden bisa menghentikan aku memenggal kepala Trenggana!!”
Kuda digebrak! Sesaat meringkik! Lantas berlari ke arah Pesanggrahan!
Jaka Tingkir tidak tinggal diam! Dia berlari menghampiri kudanya dan
segera meyusul Kebo Andanu!
Aksi kejar-kejaran terlihat jelas karena pertempuran pelahan mulai
mereda. Seluruh yang hadir menyaksikan itu semua. Para gerilyawan
menduga-duga apa yang tengah terjadi! Dan pada akhirnya mereka
masing-masing bisa menyimpulkan bahwa Kebo Andanu tengah melanggar
rencana semula!
Di pihak pasukan Demak, beberapa prajurid senior bisa melihat dengan
jelas dan mengenali bahwa sosok penunggang kuda yang tengah mengejar
pemimpin gerilyawan itu tak lain adalah Jaka Tingkir, mantan Lurah
Prajurid Pengawal Sultan! Berbagai dugaan merebak dibenak mereka! Namun,
aksi kejar-kejaran yang tengah berlangsung lebih menyita perhatian
mereka!!
Dan kembali Jaka Tingkir lebih tangkas memapas laju kuda Kebo Andanu!!
Kuda Jaka Tingkir mendahului laju kuda Kebo Andanu dan dengan berani
bergerak melintang didepannya! Karuan Kuda Kebo Andanu terkejut dan
sigap berlari memutar!!!
Kedua kuda berlari berputar arah, lantas bertemu berhadap-hadapan! Koua
melonjak-lonjak sesaat! Mendengus-dengus!! Jaka Tingkir dan Kebo Andanu
kini kembali berhadapan!!
“Hentikan, paman!!”
Kebo Andanu tersenyum anyir!! Dia menggeleng!!
“Membunuh Trenggana atau mati ditangan pewaris tahta Majapahit adalah kehormatan bagiku!”
Nyaring suara Kebo Andanu! Hampir semua orang mendengar suaranya! Kini,
baik pasukan Demak maupun para gerilyawan mendadak terkesiap diam!!
Hanya ringkikan-ringkikan kuda sesekali terdengar disana-sini! Mereka
yang hadir menantikan dengan tegang apa yang bakal terjadi!
Dan, kembali Kebo Andanu memutar kudanya! Jaka Tingkir sigap! Dia
menubruk tubuh Kebo Andanu sekali lagi! Keduanya terguling-guling
ditanah! Dan keduanyapun cepat bangkit berdiri!! Kebo Andanu beringas!
Ia tusukkan keris ke tubuh Jaka Tingkir!!
Jaka Tingkir menghindar! Jaka Tingkir tetap bersikeras mengingatkkan
Kebo Andanu! Namun serangan Kebo Andanu semakin ganas!! Pertempuran
terjadi! Disaksikan oleh para prajurid Demak dan para gerilyawan, dua
sosok harimau Majapahit itu kini tengah bertempur satu lawan satu!
Belum lama pertempuran terjadi, suasana tegang tiba-tiba dipecahkan oleh
suara hentakan kendang dan alunan gamelan!! Suara irama pertempuran!!
Bunyi itu berasal dari arah Pendhopo Pesanggrahan. Seluruh yang hadir
melihat, disana, Sultan Trenggana nampak tengah berdiri menyaksikan duel
maut dua harimau Majapahit!! Sultan-lah yang memerintahkan beberapa
Pangrawit Keraton ( Pemusik Istana ) yang juga ikut serta dalam
rombongan Sultan di Pegunungan Prawata, untuk membunyikan gamelan
bernada perang!! Bunyi gamelan mengiringi adu kesaktian Jaka Tingkir dan
Kebo Andanu!!
Kendang menghentak-hentak nyalang! Indah didengar!! Seiring gerakan dua
orang yang tengah mengadu nyawa! Hentakan kendang, dibarengi teriakan
dari para prajurid Demak!!!
Para gerilyawan diam ditempat masing-masing! Mereka tidak mengira
situasi berubah secepat itu! Namun mereka tidak bisa berbuat apa-apa!
Semua hanya bisa mengamati dengan dada berdebar! Kedua orang yang tengah
bertempur adalah para pemimpi mereka!
Namun tidak demikian dipihak pasukan Demak! Setiap kali Jaka Tingkir
menyarangkan serangan, kendang dipukul keras!! Dan teriakan para
prajurid mengiringinya!!! Disuatu saat, manakala posisi keduaya merapat,
Jaka Tingkir menggeram :
“Hentikan!!”
Kebo Andanu mendengus :
“Bunuh aku, Raden! Atau aku akan memenggal kepala Trenggana!”
Dan pertempuran berjalan a lot! Masing-masing sangat tangguh dan
terampil bermain keris! Namun disuatu ketika, keris Jaka Tingkir
berhasil melukai lambung Kebo Andanu! Kendang menghentak!!! Gemuruh
suara prajurid membahana!!
Kebo Andanu semakin nekad!! Dan disuatu saat, ketika Jaka Tingkir
berhasil membalikkan serangan keris Kebo Andanu, ujung keris meluncur
tak terarah lagi mengarah dada sang pemimpin gerilyawan!! Jaka Tingkir
kaget tapi terlambat!! Keris menancap dalam!! Tepat didada Kebo Andanu!!
Kebo Andanu menggeram!! Darah memancar dari dadanya!! Sesaat dia hendak
bergerak kedepan, namun tubuhnya luruh, dia jatuh terduduk.....!!!
Tangan kirinya mendekap dada yang telah basah oleh darah segar!! Tangan
kanannya yang tenngah memegang keris diangkat tinggi-tinggi. Kebo Andanu
berteriak :
“Jaya Majapahittt!!!”
Jaka Tingkir terkesima! Tubuhnya bagai terpancang kuat kedasar bumi!!
Sesaat sebelum Kebo Andanu tersungkur, dia melihat ksatria Majapahit itu
terseyum kepadanya!!!
Bunyi gamelan kemenangan kini terdengar!! Sorak sorai para prajurid Demak bergema! Ditempat lain para gerilyawan geger!!
Namun Ki Mas Manca berhasil menenangkan mereka!!
Ki Mas Manca memerintahkan dua orang gerilyawan maju kedepan. Jaka
Tingkir tanggap, dia membiarkan dua orang gerilyawan itu membawa jenazah
Kebo Andanu! Jaka Tingkir sempat berkata lirih, cukup didengar dua
orang gerilyawan :
“Lakukan upacara kematian yang layak!”
Dan, Ki Mas Manca memerintahkan seluruh gerilyawan meninggalkan pesangrahan Pegunungan Prawata saat itu juga!
(Peristiwa memilukan ini diceritakan secara simbolis dalam Babad Tanah
Jawa. Konon, sesampainya di Pegunungan Prawata, Jaka Tingkir menemukan
seekor kerbau liar yang bernama Kebo Andanu. Kerbau tersebut ditangkap
oleh Jaka Tingkir, lantas disalah satu telinganya dimasukkannya
segenggam tanah yang dibawa dari Banyu Biru. Kerbau liar tersebut
berubah semakin liar, lalu dilepaskan ke arah Pesanggrahan Sultan
Trenggana! Kerbau mengamuk! Para prajurid pengawal tidak ada yang mampu
menaklukkan amukan Kebo Andanu. Bahkan banyak para prajurid yangtewas
terkena amukannya! Pesanggrahan Pegunungan Prawata porak poranda oleh
olah Kebo Andanu! Sultan Trenggana panik! Lantas, dua orang prajurid
menghadap Sultan dan mengabarkan bahwa mereka melihat Jaka Tingkir.
Seyogyanya Sultan meminta pertolongan Jaka Tingkir untuk menaklukkan
Kebo Andanu. Sultan menyetujui. Jaka Tingkir akhirnya turun tangan. Jaka
Tingkir bertempur dengan Kebo Andanu! Kerbau dipegang, namun tidak
menurut dan semakin liar! Terpaksa Jaka Tingkir mengeluarkan tanah yang
dia masukkan ke telinga kerbau, lalu Jaka Tingkir memukul kepala kerbau!
Kepala Kerbau pecah! Kebo Andanu tewas seketika! Sultan Trenggana
selamat dari amukan Kebo Andanu. Tanah yang disimbolkan dalam Babad
Tanah Jawa tal lain adalah daerah kekuasaan yang sempat dijanjikan
kepada Kebo Andanu. Namun daerah kekuasaan tersebut tidak jadi dimiliki
Kebo Andanu karena dia telah membangkang perintah Jaka Tingkir
Atas kebanggaannya terhadap Joko Tingkir, Sultan Trenggono menjodohkan
putri keempatnya, Retno Ayu Ratu Mas Cepaka dengan Joko Tingkir atas
persetujuan Sunan Kalijaga. Hal ini dikarenakan istri Sultan adalah
putri anggota Wali Songo yang paling menonjol tersebut.
Joko Tingkir diberi tanah Pajang dengan gelar Hadiwijaya Adipati
Pajang. Dia bangun daerah baru sebelah barat daya Dusun Butuh itu
menjadi besar dan ramai. Hadiwijaya menjadi seorang adipati yang
dicintai rakyatnya berkat kebijaksanaannya.
Untuk membalas budi atas jasa-jasa para gurunya, Joko Tingkir mengangkat
anak-turunan gurunya menjadi bagian dari istana Pajang. Tiga murid Ki
Ageng Banyubiru; Mas Manca diangkat sebagai patih dengan gelar
Tumenggung Mancanegara. Ki Wila dan Ki Wuragil dijadikan sebagai bupati.
Ki Ageng Ngenis, anak bungsu Ki Ageng Selo diangkat sebagai priyayi di
Lawiyan. Anak dan keponakan Ki Ageng Ngenis, Ki Pamanahan dan Ki Penjawi
diangkat sebagai lurah tamtama. Ipar Ki Pamanahan, Ki Juru Martani
diangkat sebagai priyayi. Sedangkan anak Pamanahan, Raden Bagus atau
Sutawijaya dijadikan sebagai anak angkat Adipati Pajang dengan gelar
Raden Ngabehi Loring Pasar.
Anak Ki Ageng Butuh diberi gelar Pangeran Wenang Wulan, sedangkan Ki
Ageng Banyubiru dan Ki Ageng Majasta dijadikan sebagai
pepunden/junjungan Pajang.
Dalam era ini pula Sultan Trenggono memimpin ekspansi untuk menaklukkan
Pasuruan, Singosari dan Blambangan yang masih belum mau tunduk pada
Kasultanan Demak. Namun sayang, di tengah perang sebelum negeri-negeri
di Jawa Timur tersebut ditaklukkan, Sultan wafat. Sengketa tahta mulai
terkuak, apalagi anggota Wali Songo juga terbelah dalam posisi
dukung-mendukung terhadap kandidatnya masing-masing. Sunan Kudus
mendukung Aryo Penangsang, Adipati Jipang Panolan. Sunan Kalijaga
mendukung Joko Tingkir –Adipati Pajang, sedangkan Sunan Giri merestui
Sunan Prawoto (Pangeran Suroyoto)
Intrik-intrik dalam istana mulai terjadi. Aryo Penangsang melakukan
balas dendam. Sunan Kudus yang membeberkan cerita bahwa sesungguhnya
pembunuh ayahnya, Pangeran Sekar Seda Ing Lepen adalah Pangeran Prawata,
putra Sultan Trenggono membuatnya menuntut balas. Ia merasa haknya
sebagai pewaris sah tahta kasultanan Demak pasca Pati Unus wafat,
dirampas. Dibunuhlah Prawata melalui tangan Rangkud, utusannya. Demak
kembali vacuum of power. Adik Prawata, Ratu Kalinyamat yang menikah
dengan Pangeran Hadiri dari Jepara pergi ke Kudus mencoba untuk meminta
keadilan dari Sunan Kudus. Tapi mereka kecewa karena Sunan Kudus membela
Aryo Penangsang. Sepulang dari Kudus mereka dicegat pasukan Aryo
Penangsang. Semua dibunuh kecuali Ratu Kalinyamat. Melihat kenyataan
pahit tersebut, Ratu Kalinyamat melakukan tapa telanjang di bukit
Danaraja dan mengucapkan sumpah: “Aku tidak akan mengenakan pakaian
kembali seumur hidupku hingga Aryo Penangsang mati! Siapapun juga yang
mampu menewaskan Aryo Penangsang, ia akan menerima pengabdianku dan
seluruh harta kekayaanku”
Agar keinginan menjadi Sultan Demak terlaksana, Sunan Kudus selaku
penasehat politik Aryo Penangsang menyarankan untuk melenyapkan Joko
Tingkir sebagai satu-satunya penghalang. Mengingat kesaktian Joko
Tingkir, maka Aryo Penangsang mengirim empat pembunuh bayaran;
Singaprana, Wanengpati, Jagasatru dan Kartijaya. Untuk memuluskan
rencana, mereka dibekali oleh pusaka Aryo Penangsang, keris Kiai Setan
Kober.
Para pembunuh pembayaran itu dengan mudahnya masuk istana Pajang dengan
ajian sirep. Namun sayang, tubuh Joko Tingkir yang sedang tidur tidak
mempan dengan hujaman keris Aryo Penangsang. Karena gaduh, Joko Tingkir
terbangun. Kibasan selimutnya merobohkan tiga pembunuh hinga pingsan,
sedangkan Wanengpati yang masih selamat berhasil dilumpuhkan oleh Ki
Pamanahan. Dengan kebijaksanaannya, keempat pembunuh bayaran tersebut
diampuni dan diberi hadiah oleh Joko Tingkir, disuruh kembali untuk
melapor ke Aryo Penangsang.
Aryo Penangsang merasa terhina dengan perbuatan Joko Tingkir tersebut.
Maka dibuatlah siasat berikutnya untuk menjebak Joko Tingkir. Kali ini,
dengan mengatasnamakan Sunan Kudus, Aryo Penangsang mengundang Joko
Tingkir ke Kudus untuk musyawarah ilmu. Ki Pamanahan yang ahli strategi
curiga atas undangan tersebut. Biasanya, undangan musyawarah ilmu itu
otoritasnya Sunan Giri, sedangkan Sunan Kudus biasanya mengundang soal
pembahasan strategi perang. Atas kejanggalan ini, maka atas saran
Pamanahan, Joko Tingkir tetap ke Kudus tapi dengan membawa pasukan
terbaik.
Sesampai di pendopo Kudus, Joko Tingkir dan Aryo Penangsang duduk
berhadapan. Dengan tipu muslihat Aryo Penangsang meminjam keris pusaka
Joko Tingkir dengan segala pujian. Keris itu dikeluarkan dari
warangkanya. Melihat gelagat kurang baik, Ki Pamanahan menepuk bahu Joko
Tingkir yang menjadikannya tersadar lalu sesegera mungkin mengeluarkan
keris pusakanya yang lain; Kiai Cerubuk.
Kedua pangeran dengan keris terhunus saling pamer kekuatan. Sunan Kudus
yang melihat ketegangan tersebut mencoba untuk melerai. Keduanya
diminta untuk menyarungkan kembali kerisnya. Joko Tingkir memasukkan
keris Kiai Cerubuk ke warangkanya, diikui Aryo Penangsang. Joko Tingkir
mengundurkan diri.
Sunan Kudus menyalahkan Aryo Penangsang yang tidak menghujamkan keris
Joko Tingkir yang dipinjamnya tatkala Joko Tingkir sudah menyarungkan
Kiai Cerubuk terlebih dahulu. Kata-kata Sunan Kudus, “sarungkan kerismu”
yang sebenarnya dimaksudkan untuk membunuh Joko Tingkir, dipahami Aryo
Penangsang dengan menyarungkan keris Joko Tingkir itu ke warangkanya.
Aryo Penangsang menyadari ketidakcerdasannya. Hilang lagi kesempatannya
untuk melenyapkan Joko Tingkir.
Hawa permusuhan semakin panas. Jipang Panolan yang berada di sebelah
timur Bengawan Sore versus pasukan Pajang di sebelah barat. Dalam
kondisi ini peran Ki Pamanahan yang ahli strategi sangat dominan.
Walaupun hanya sebatas lurah tamtama Pajang, saran dan nasehatnya sangat
didengar oleh Joko Tingkir.
Ingat akan sumpah Ratu Kalinyamat, Pamanahan pergi ke bukit Danaraja. Ia
melobi Kalinyamat agar Joko Tingkir diberi kesempatan mengambil
sayembara itu. Agar Joko Tingkir teguh semangatnya, Pamanahan
menyarankan agar Kalinyamat menawarkan dua dayang cantik yang
menjaganya. Setelah sepakat, Pamanahan kembali ke Bengawan Sore, tempat
markas pasukan Pajang untuk melaporkan hasil pertemuannya dengan
Kalinyamat.
Joko Tingkir setuju atas laporan Pamanahan, maka berangkatlah ia menuju
Danaraja. Sesuai dengan sumpahnya, Kalinyamat akan menyerahkan harta dan
kekayaannya jika Joko Tingkir sanggup membunuh Aryo Penangsang. Dua
dayang cantik dimunculkan, maka terpesonalah Joko Tingkir. Akhirnya dia
menyanggupi menjawab sumpah Ratu Kalinyamat. Agar tidak terjadi masalah
di kemudian hari, maka Raden Pangiri (putra Pangeran Prawata) yang masih
bocah dijodohkan dengan putri sulung Joko Tingkir. Hal ini dilakukan
untuk mengatasi problem kekosongan kekuasaan Demak.
Menjadi aneh, ketika para keturunan Ki Ageng Selo (Ki Pamanahan, Ki
Penjawi dan Ki Juru Martani) justru menyarankan agar yang melenyapkan
Aryo Penangsang bukan Joko Tingkir langsung, tapi disayembarakan saja
dengan hadiah tanah Pati dan hutan Mataram. Endingnya, mereka juga yang
mengambil sayembara tersebut (saran dari Ki Juru Martani). Sejarah ini
perlu ditela’ah kembali bagaimana Pamanahan cs memberi ide sekaligus
mengambil ide tersebut.
Joko Tingkir bangga karena Pamanahan cs menunjukkan keberaniannya.
Sutawijaya, anak Pamanahan juga ingin ikut dalam rencana itu. Karenanya,
Joko Tingkir memberinya tombak Kiai Plered kepadanya untuk menghadapi
Aryo Penangsang. Tombak pusaka tersebut merupakan pemberian Ki Ageng
Selo yang tak lain buyut dari Sutawijaya sendiri.
Ki Juru Martani mulai mengatur siasat. Bersama dua ratus orang Selo
mereka menuju ke sebelah barat Bengawan Sore. Di sana, mereka memotong
telinga kiri seorang pekatik (pencari rumput) kudanya Aryo Penangsang
yang sengaja menjadi telik sandi untuk memata-matai gerak pasukan Selo.
Disuruhlah si pekatik itu pulang ke Jipang dengan sepucuk surat
tantangan atas nama Hadiwijaya diikatkan di telinga kanan dan diberinya
uang secukupnya untuk pengobatan.
Dengan penuh darah yang bercecer, si pekatik menghadap Aryo Penangsang.
Murkalah cucu Raden Patah itu. Nasehat Patih Mentaun dan Arya Mataram
–adiknya- tidak digubrisnya. Dipacunya Gagak Rimang menuju Bengawan
Sore.
Juru Martani memancing emosi agar Aryo Penangsang mau menyeberang
bengawan. Konon, menurut riwayat; barang siapa pada saat berperang yang
melewati bengawan itu akan mengalami kekalahan. Dengan tombak Kiai
Dandang Mungsuh, Aryo Penangsang menyeberang dengan amarahnya. Sesampai
di tepi barat bengawan dia dikeroyok ratusan warga Selo, tapi tidak
mempan. Orang Selo dibuatnya kocar-kacir. Melihat gelagat demikian, Juru
Martani kembali mengatur strategi. Dilepaslah seekor kuda betina untuk
mengalihkan konsentrasi Gagak Rimang. Ia terpancing, kuda itu
meronta-ronta tidak bisa dikendalikan tuannya. Pada saat Aryo Penangsang
lengah, tombak Kiai Plered menghujam dada Aryo Penangsang dari tangan
Sutawijaya. Usus Aryo Penangsang terburai, meskipun demikian Adipati
Jipang itu masih perkasa melakukan perlawanan. Disampirkanlah ususnya ke
gagang keris. Sutawijaya kembali menyerang. Tombak Kiai Plered kembali
mementalkan tombak Kiai Dandang Mungsuh hingga terjatuh. Aryo Penangsang
mencabut kerisnya. Tapi dia lupa, ususnya pun putus oleh pusakanya
sendiri. Tewaslah Aryo Penangsang.
Juru Martani kembali melakukan siasat. Laporan yang masuk ke Joko
Tingkir menyebutkan yang membunuh Aryo Penangsang adalah Ki Pamanahan
dan Ki Penjawi, bukan Sutawijaya. Ini sebagai strategi agar hadiah
sayembara dari Joko Tingkir tetap bisa didapatkan, karena kalau Joko
Tingkir tahu yang membunuh Aryo Penangsang adalah Sutawijaya yang
notabene anak angkatnya, tentu dia tidak akan memberikan hadiah tanah
Pati dan hutam Mataram, tapi hanya hadiah biasa saja.
Joko Tingkir bangga akan keberhasilan keturunan Ki Ageng Selo. Ki
Penjawi diberinya (dan memilih) tanah Pati, sedangkan hutan Mataram akan
diserahkan ke Pamanahan sehabis dia diutus melapor ke Ratu Kalinyamat
di bukit Danaraja. Lagi-lagi Pamanahan berbohong tentang siapa pembunuh
Aryo Penangsang (sesuai yang dilaporkannya juga ke Joko Tingkir). Karena
jasanya, Ratu Kalinyamat menyerahkan wilayah Kalinyamat dan Prawata ke
Pamanahan, tapi dia menolak hadiah sayembara tersebut.
Ratu Kalinyamat merestui gelar sultan untuk Hadiwijaya; Sultan
Hadiwijaya Kerajaan Pajang. Ratu juga memberi hadiah harta kekayaan
untuk Pamanahan, tapi sekali lagi ditolak. Pamanahan hanya minta pusaka
saja. Ratu Kalinyamat akhirnya memberinya 2 cincin pusaka; cincin mirah
delima “Menjangan Bang” dan cincin pusaka intan “Si Celuk” dengan
perjanjian tanpa sepengetahuan Joko Tingkir.
Sepulang dari Danaraja, Pamanahan bukannya ke Pajang tapi mampir ke
kampungnya dulu di Selo. Dia mengajak kerabatnya untuk pindah dan
membabat hutan Mataram sebagai sebuah daerah perdikan Pajang. Sehabis
dari hutan Mataram barulah ia ke Pajang.
Lagi-lagi Joko Tingkir menunda hadiah sayembara hutan Mataram. Janjinya,
hadiah itu akan diberikan kepada Pamanahan saat “Penghadapan Agung” di
Giri, Gresik. Di acara pengukuhan Joko Tingkir sebagai sultan Tanah Jawa
oleh Sunan Giri itulah hadiah akan diberikannya. Pamanahan mulai
memendam kecewa.
Joko Tingkir sepertinya takut akan ramalan guru sekaligus kakek
menantunya, Sunan Kalijaga yang telah meramalkan akan muncul kerajaan
besar dari hutan Mataram. Karenanya, hadiah tersebut dia pending. Hanya
atas bantuan Sunan Kalijogo pula akhirnya Joko Tingkir mau menyerahkan
hutan Mataram ke Ki Pamanahan. Syaratnya, Pamanahan harus mengikat
tunduk-setia pada Pajang. Pamanahan berikrar setia tapi hanya untuk
dirinya sendiri. Dia tidak mengikrarkan setia untuk anak dan turunannya.
Dan kelak memang benar, muncullah Sutawijaya yang tak lain anak angkat
Joko Tingkir dengan gelar Panembahan Senopati sebagai raja pertama
Kerajaan Mataram. Dia memerintah hingga 32 tahun lamanya. Dengan
munculnya Mataram Baru, maka berakhirlah riwayat kerajaan Pajang yang
hanya mampu berumur 1 raja saja, yakni Joko Tingkir itu sendiri.
Akhirnya tercapailah harapan Ki Ageng Selo; bahwa anak-keturunannya
akhirnya bisa menjadi raja Jawa.
Sejarah Pusaka Timang Kyai Bajulgiling
Menurut Babad Jawi dan Babad Sengkala, timang atau kepala ikat pinggang
Kyai Bajulgiling adalah timang sakti milik Kyai Buyut dari Banyubiru
yang kemudian diberikan kepada Jaka Tingkir atau Mas Karebet. Timang
Kyai Bajulgiling ’bersama ikat pinggangnya yang terbuat dari kulit buaya
itu diberikan Kyai Buyut dari Banyubiru kepada Jaka Tingkir sebagai
piandel dalam pengabdiannya ke Kerajaan Demak Bintoro yang kemungkinan
akan mengalami banyak hambatan, baik selama di perjalanan maupun setelah
berada di Demak Bintaro.
Diceritakan dalam Babad Pengging, konon Timang Kyai Bajulgiling dibuat
oleh Kyai Banyubiru dari bijih baja murni yang diambil dari dalam
gumpalan magma lahar Gunung Merapi. Dengan kekuatan gaibnya, bijih baja
murni itu oleh Kyai Banyubiru dibuat menjadi dua pusaka. Satu berbentuk
sebilah keris luk tujuh yang dikenal dengan nama Kyai Jalakpupon dan
satunya lagi berbentuk timang (kepala ikat pinggang) yang kemudian
dikenal dengan nama Kyai Bajulgiling, karena bentuk mata timang yang
seperti buaya giling dengan kepala sedikit terangkat, mulut terkatup
tapi kedua matanya terbuka lebar.
Kekuatan gaib yang dimiliki oleh Timang Kyai Bajulgiling ialah, barang
siapa yang memakai ikat pinggang Timang Kyai Bajulgiling ini, maka dia
akan kebal dari segala macam senjata tajam dan ditakuti semua binatang
buas. Hal ini selain kekuatan alami yang dimiliki oleh inti bijih baja
murni itu sendiri, juga karena adanya kekuatan rajah berkekuatan gaib
yang diguratkan Kyai Banyubiru di seputar timang tersebut. Kemudian
kekuatan ikat pinggang ber-Timang Kyai Bajulgiling beberapa kali dialami
dan dibuktikan sendiri oleh JakaTingkir.
Mengenai hal ini Babad Tanah Jawi menceritkan sebagai berikut:
Jaka Tingkir konon lahir di Pengging yang penuh rahasia, yang tentunya
sebuah negeri kecil yang berdiri sendiri. Di sana terdapat beberapa
benda kuno dari zaman Hindu, juga sebuah makam keramat yang dinyatakan
sebagai tempat peristirahatan ayah Jaka Tingkir yang bernama Kebo
Kenanga putra Prabu Handayaningrat. Karena ia lahir sewaktu ada
pertunjukkan wayang Beber (juga dinamakan wayang Karebet), maka ia pun
dinamakan Mas Karebet.
Tetapi Jaka Tingkir tidak dibesarkan di Pengging, namun di Tingkir,
sebab Sunan Kudus, raja pendeta diplomat jendral Demak, telah membunuh
ayahnya karena fitnah pembangkangan, dan tidak lama setelah itu ibunya
pun meninggal. Keluarganya kemudian membawanya ke Tingkir, dan disana ia
diasuh oleh seorang janda kaya, sahabat ayahnya. Karena itulah ia
diberi nama Jaka Tingkir, pemuda dari Tingkir.
Mengikuti saran Ki Ageng Selo, gurunya dan Sunan Kalijaga, Jaka Tingkir
pergi ke Demak untuk bekerja mengabdikan diri pada Sultan Demak, dan
melamar sebagai pengawal pribadi. Keberhasilannya meloncati kolam masjid
dengan lompatan ke belakang tanpa sengaja, karena sekonyong-konyong ia
harus menghindari Sultan dan para pengiringnya memperlihatkan bahwa
dialah orang yang tepat sebagai tamtama, dan diapun dijadikan sebagai
kepala.
Beberapa waktu kemudian satuan itu menuntut perluasan. Seorang calon
yang tak berwajah tampan (buruk rupa), bersikap tidak menyenangkan bagi
panglima muda ini. Karenanya calon itu tidak diuji seperti bisa, yaitu
menghancurkan kepala banteng dengan tangan telanjang, melainkan diuji
kekebalannya yang disetujui pula oleh yang bersangkutan. Dan hanya
dengan sebuah tusuk konde Jaka Tingkir mampu menembus jantungnya.
Alangkah hebat kesaktiannya. Tapi seketika itu juga, hal ini
mengakibatkan ia dipecat dan dibuang.
Kepergiannya menimbulkan rasa sedih yang mendalam pada kawan-kawannya.
Dengan rasa putus asa Jaka Tingkir pulang kembali dan ingin mati saja.
Dua orang pertapa, Ki Ageng Butuh dan Ki Ageng Ngerang (suami dari putri
Bondan Kejawen atau adik Ki Ageng Getas Pendawa, kakek buyut Panembahan
Senopati) tidak hanya memberi pelajaran, tetapi juga memberi semangat
kepadanya. Ketika Jaka Tingkir berziarah di malam hari di makam ayahnya
di Pengging, terdengarlah suara yang menyuruhnya pergi ke tokoh-tokoh
keramat lain, antara lain Kyai Buyut dari Banyubiru yang selanjutnya
menjadi gurunya. Demikianlah Kyai ini memberikan kepadanya azimat agar
ia mendapat perkenan kembali dari Sultan. Azimat pemberian Kyai Buyut
dari Banyubiru itu berupa sebuah ikat pinggang dengan timang yang
matanya berwujud buaya, yang diyakini sebagai Timang Kyai Bajulgiling.
Perjalanan kembali Jaka Tingkir ke Demak dilakukan dengan getek (rakit
yang hanya terdiri dari susunan beberapa batang bambu). Saat akan
melewati Kedung Srengenge, Jaka Tingkir menghadapi hambatan karena
adanya sekawanan buaya, kurang lebih berjumlah 40 ekor, yang menjadi
penghuni dan penjaga kedung tersebut. Percaya dengan kekuatan gaib dari
Timang ikat pinggang pemberian Kyai Buyut Banyubiru, Jaka Tingkir nekad
mengayuhkan geteknya memasuki kawasan Kedung Srengenge.
Bahaya pun mengancam ketika sekawanan buaya menghadang dan mengitari
rakitnya. Namun berkat kekuatan gaib dari Timang Kyai Bajulgiling,
buaya-buaya yang semula buas beringas seketika menjadi lemah dan
akhirnya tunduk pada Jaka Tingkir. Bahkan keempat puluh buaya ekor buaya
itu menjadi pengawal perjalanan Jaka Tingkir selama menyebrangi Kedung
Srengenge dengan berenang di kiri-kanan, depan dan belakang rakitnya.
Di wilayah Demak azimat pemberian Kyai Buyut Banyubiru diterapkannya
kembali. Seekor lembu liar dibuatnya menjadi gila, sehingga tiga hari
tiga malam para tamtama pun tidak dapat menghancurkan kepalanya, dan
bahkan dengan malu terpaksa mengaku kalah. Hanya Jaka Tingkir yang
berhasil membunuh kerbau itu, yakni hanya dengan mengeluarkan azimat
yang telah dimasukkan ke dalam mulut hewan itu sebelumnya. Setelah itu
ia mendapatkan kembali kedudukannya yang lama.
Beberapa waktu kemudian ia menikah dengan putri ke -5 Raja (Sultan
Trenggono) dan menjadi Bupati Pajang dengan daerah seluas 4.000 bahu.
Tiga tahun ia harus menghadap ke Demak, tetapi negerinya berkembang
dengan baik sekali dan di sanalah dibangunnya sebuah istana….
Demikianlah sekilah kisah tentang Jaka Tingkir atau Sultan Hadiwijaya,
gelar setelah menjadi Raja di Pajang. Setelah dia wafat, lalu dimanakah
keberadaan ikat pinggang dan Timang Kyai Bajulgiling azimat pemberian
Kyai Buyut Banyubiru itu? Sebab setelah meninggalnya Jaka Tingkir, tak
satu pun dari anak, menantu dan kerabat dekat Sultan Hadiwijaya seperti
Pangeran Benowo, Pangeran Pangiri dan juga Sutawijaya atau Senopati
pernah menyimpan Timang Kyai Bajulgiling? Demikian juga halnya dengan
dua sahabat dekatnya dari Pengging, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu.
Menurut cerita, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling itu
tertinggal di depan makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat (masuk
wilayah Kabupaten Klaten, Jawa Tengah), lupa terbawa oleh Sultan
Hadiwijaya yang mengakibatkan ia terjatuh dari gajah yang dinaikinya
dalam perjalanan pulang dari Tembayat ke Pajang.
Seperti diceritakan dalam Serat Kanda. Kedatangan iparnya Tumenggung
Mayang memberi kesempatan kepada Senopati untuk mendapat pengikut lebih
banyak lagi dari Pajang. Fakta-fakta ini pada suatu hari dalam
persidangan agung di Pajang disodorkan oleh para menantu raja
(Tumenggung Tuban dan Tumenggung Demak) kepada raja agar diperhatikan
karena mereka berpendapat perlu segera menggempur Mataram. Meskipun
sadar akan jatuhnya Pajang nanti, Sultan tidak bisa bertahan atas
desakan itu, dan memerintahkan untuk mengangkat senjata. Para tumenggung
menyatakan bersedia, asalkan Sultan turut serta, meskipun berada di
belakang barisan.
Lebih kurang 10.000 orang prajurit dipersiapkan. Pangeran Benowo naik
kuda di belakang ayahnya yang duduk di atas gajah. Di Prambanan mereka
berhenti dan memperkuat pertahanan dengan meriam.
Kyai Adipati Mandaraka (Juru Mertani), yang melihat akan terjadinya
pertempuran besar, mendesak Senopati agar pergi ke Gua Langse (Gua Rara
Kidul) sedangkan ia sendiri akan ke Gunung Merapi untuk meminta bantuan.
Setelah kembali dari Gua Langse Senopati mengumpulkan 1.000 orang
prajurit, dan 300 orang di antaranya ditempatkan di sebelah selatan
Prambanan. Mereka mendapat perintah, begitu terdengar suara letusan
keluar dari Gunung Merapi, harus segera memukul canang Kyai Bicak dan
berteriak-teriak. Sebagai panglima diangkat Tumenggung Mayang.
Pertempuran terjadi di dua tempat. Pasukan Mataram pura-pura melarikan
diri. Tetapi orang-orang Pajang yang mengejarnya tiba-tiba diserang oleh
pasukan Matram dari dua arah dan dicerai-beraikan. Gelap malam
menghentikan pertempuran itu. Kedua belah pihak kembali ke kubu
pertahanan masing-masing.
Hari itu pukul tujuh pagi, Gunung Merapi meletus di tengah-tengah
kegelapan. Hujan lebat, hujan debu, gempa bumi, banjir dan gejala alam
lain yang menyeramkan. Orang-orang Mataram memukul Canang Kyai Bicak.
Banjir menggenangi kubu panjang yang memaksa mereka melarikan diri dalam
kebingungan. Sultan terseret dalam kekacauan itu.
Selanjutnya diceritakan dalam Serat Babad Tanah Jawi. Sultan, dalam hal
ini Sultan Hadiwijaya atau Jaka Tingkir, yang malang dan terpaksa
melarikan diri itu ingin berdoa di makam Tembayat, tetapi pintu makam
tidak dapat dibuka. Raja tidak mampu membukanya sehingga ia berlutut
saja di luar. Juru kunci memberikan penjelasan yang sangat buruk tentang
kejadian itu. Rupanya Allah tidak lagi memberinya izin menjadi raja.
Hal ini amat mengguncangkan jiwa sang raja. Pada malam hari ia tidur
dalam bale kencur yang dikelilingi air, yang sangat menyegarkan.
Esok harinya perjalanan dilanjutkan, tetapi raja terjatuh dari gajahnya
dan menjadi sakit karenanya. Setelah itu ia dinaikkan di atas tandu,
begitulah perjalanan pulang ke Pajang amat lambat dan raja duduk
terguncang-guncang di atas tandu.
Pangeran Benowo, Pangeran Pengiri, Tumenggung Wirakerti dan Suratanu
yang menolong raja saat jatuh dari gajah, segera mengetahui, mengapa
Sultan tidak bisa lagi mengendalikan gajah yang tiba-tiba menjadi galak,
karena tidak lagi adanya ikat pinggang azimat dari Kyai Buyut Banyubiru
di pinggangnya. Suratanu ingat, Sultan melepaskan ikat pinggang itu
dari tubuhnya dan meletakkan di sampingnya saat berdoa di depan makam
Sunan Tembayat. Suratanu meyakini ikat pinggang itu pasti lupa terbawa
oleh Sultan dan masih tertinggal di depan pintu makam di Tembayat.
Dengan cepat Suratanu menggebrak kudanya kembali ke makam Sunan
Tambayat. Tapi ikat pinggang itu sudah tidak ada di tempatnya. Menurut
juru kunci, hilangnya ikat pinggang Sultan memberi pertanda akan
berakhirnya masa kejayaannya, karena ikat pinggang itulah yang telah
mengantarnya mendapatkan harkat dan martabat yang terhormat.
Banyak kisah tentang hilangnya dan keberadaan ikat pinggang bertimang
Kyai Bajulgiling yang bertuah itu. Ada sebagian kisah menceritakan, ikat
pinggang yang tertinggal di depan pintu makam Sunan Tembayat itu
diambil dan disimpan oleh juru kunci makam. Tetapi ada pula yang
mempercayai ikat pinggang itu hilang secara gaib, yang hilangnya azimat
itu juga diketahui dan disadari oleh Sultan.
Namun yang jelas, ikat pinggang dengan Timang Kyai Bajulgiling azimat
buatan Kyai Buyut Banyubiru itu secara gaib masih tersimpan di seputar
makam Sunan Tembayat di Gunung Jabalkat. Karena itu tak heran bila sejak
dahulu sampai sekarang banyak orang pintar yang berusaha mengambilnya
dari alam gaib, baik untuk dirinya sendiri atau untuk kepentingan orang
lain. Hal ini karena adanya kepercayaan, akan kekuatan gaib yang
terkandung dalam Timang Kyai Bajulgiling yang dapat mengangkat derajat,
harkat dan martabat pemilik atau pemakainya.
Meski sudah banyak sekali orang pintar yang memburu kepala ikat pinggang
sakti milik Jaka Tingkir itu, namun hingga kini belum diperoleh
informasi apakah sudah ada di antara mereka yang berhasil mendapatkan
benda keramat dari alam gaib itu.
Saat Misteri berkunjung ke lokasi Makam Sunan Tembayat di Gunung
Jabalkat beberapa waktu silam, yang kebetulan ditemani oleh Mbah Diran,
seorang paranormal asal dusun setempat, tidak berhasil mendapatkan
gambaran gaib mengenai benda ini.
”Sepertinya ada kekuatan gaib yang sangat hebat menutupi keberadaan
Timang Kyai Bajulgiling, sehingga Mbah sulat untuk melacak posisinya.
Mungkin, faka ini juga yang membuat banyak orang yang memburunya sulit
mendapatkan pusaka sakti ini,”
Sedikit ulasan sejarah Kyai Ageng Banyubiru yang menjadi guru Djoko
Tingkir dan sekaligus sang dalang politik suksesi Djoko Tingkir di
Demak.