Asoka yang Agung (juga Ashoka, Aśoka, dilafazkan sebagai Asyoka) adalah
penguasa Kekaisaran Gupta dari 273 SM sampai 232 SM. Seorang penganut
agama Buddha, Asoka menguasai sebagian besar anak benua India, dari apa
yang sekarang disebut Afganistan sampai Bangladesh dan di selatan sampai
sejauh Mysore.
Nama "Asoka" berarti 'tanpa duka' dalam bahasa Sanskerta (a – tanpa,
soka – duka). Asoka adalah pemimpin pertama Bharata (India) Kuno,
setelah para pemimpin Mahabharata yang termasyhur, yang menyatukan
wilayah yang sangat luas ini di bawah kekaisarannya, yang bahkan
melampaui batas-batas wilayah kedaulatan negara India dewasa ini.
Sang penulis Britania H. G. Wells menulis tentang Asoka: "Dalam sejarah
dunia, ada ribuan raja dan kaisar yang menyebut diri mereka sendiri
‘Yang Agung’, ‘Yang Mulia’ dan ‘Yang Sangat Mulia’ dan sebagainya.
Mereka bersinar selama suatu waktu singkat, dan kemudian cepat
menghilang. Tetapi Asoka tetap bersinar dan bersinar cemerlang seperti
sebuah bintang cemerlang bahkan sampai hari ini" (Aslinya dalam bahasa
Inggris: "In the history of the world there have been thousands of kings
and emperors who called themselves 'Their Highnesses', 'Their
Majesties' and 'Their Exalted Majesties' and so on. They shone for a
brief moment, and as quickly disappeared. But Ashoka shines and shines
brightly like a bright star, even unto this day").
MASA MUDA RAJA ASOKA
Sejarah Kerajaan Magadha
Pada zaman dahulu di lembah sungai Gangga terdapatlah sebuah kerajaan
yang berpengaruh bernama Magadha. Saat itu penguasa kerajaan Magadha
adalah Raja Bimbisara yang bertahta di Rajagaha. Kemudian putra Raja
Bimbisara, Pangeran Ajatasattu, karena hasutan dari Bhikkhu Devadatta,
seorang murid Buddha Gotama yang jahat, membunuh ayahnya dan merebut
tahta kerajaan.
Menjelang wafatnya Sang Buddha pernah berkunjung ke sebuah desa di
pertemuan sungai Gangga dan sungai Sona bernama Pataligama. Saat itu
perdana menteri kerajaan Magadha, Sunidha dan Vassakara, sedang
membangun benteng di sana sebagai pertahanan terhadap suku Vajji. Saat
melihat pembangunan benteng tersebut, Sang Buddha berkata kepada Ananda,
salah satu murid sekaligus pelayan pribadi-Nya:
“Ananda, selama bangsa Ariya berkembang dan lalu lintas perdagangan
menjadi lebih ramai, daerah ini akan menjadi kota yang terkemuka dan
pusat perdagangan, Pataliputta. Tetapi Pataliputta, Ananda, dapat
terkena tiga jenis bencana, yaitu api, air dan perselisihan.”
Putra Raja Ajatasattu, Udayabhaddaka, membunuh ayahnya dan menjadi raja
Magadha. Raja Udayabhaddaka memindahkan ibukota kerajaan ke Pataligama.
Putra Raja Udayabhaddaka, Mahamundika, membunuh ayahnya dan kemudian
menjadi raja; Pangeran Anuruddha, putra Raja Mahamundika, menjadi raja
setelah membunuh ayahnya; Pangeran Nagadasa, putra Raja Anuruddha,
menjadi raja setelah membunuh ayahnya.
Para penduduk Magadha menjadi gusar atas pergantian raja mereka yang
selalu dinodai dengan pembunuhan orang tua oleh anaknya. Mereka
menurunkan Raja Nagadasa dari tahtanya dan mengangkat Sisunaga, seorang
menteri yang dianggap layak, menjadi raja mereka. Raja Sisunaga
memindahkan istananya ke Girivraja kemudian ke Vesali.
Kemudian Raja Kalasoka menggantikan ayahnya, Raja Sisunaga. Ia
memindahkan kembali ibukota kerajaan ke Pataliputta. Pada akhir tahun
kesepuluh pemerintahan Raja Kalasoka, seratus tahun telah berlalu sejak
Parinibbana Sang Buddha.
Dinasti Sisunaga berakhir ketika Mahapadma Nanda merebut tahta kerajaan
Magadha dan mendirikan Dinasti Nanda. Pada periode yang sama Alexander
Agung dari Macedonia menguasai kerajaan Persia dan ingin memperluas
kekuasaannya ke daerah lembah sungai Indus di India bagian barat laut.
Ia menyeberangi sungai Indus dan menyerang Punjab sampai dengan sungai
Hyphasis, namun para pasukannya memberontak dan menolak untuk melakukan
penyerangan lebih jauh. Ia pun terpaksa kembali ke Persia.
Berdirinya Dinasti Moriya
Seorang pemuda bernama Candagutta (Chandragupta) dari suku Moriya
(Maurya) berhasil menghimpun kekuatan dan mengusir garnisun Macedonia
dari lembah sungai Indus. Kemudian ia berhasil mengalahkan Dhanananda,
raja terakhir dari Dinasti Nanda, dan menguasai kerajaan Magadha dari
ibukotanya, Pataliputta. Dengan bantuan Brahmana Canakka (Chanakya atau
Kautilya) yang pandai mengatur ketatanegaraan, Candagutta menjadi raja
pertama yang berhasil menguasai daerah India bagian utara yang
terbentang dari Teluk Benggala sampai dengan Laut Arab. Penerus
Alexander, Seleukos I dari Siria, berusaha merebut kembali Punjab dari
orang-orang India, namun menderita kekalahan dalam melawan pasukan Raja
Candagutta.
Akhirnya, Seleukos I dengan senang hati mengadakan perjanjian damai
dengan Raja Candagutta dan memberikan putrinya untuk dinikahi serta
memberikan semua daerah di sebelah utara Hindu Kush, termasuk
Baluchistan dan Afghanistan, sebagai alat tukar untuk lima ratus gajah
perang. Seleukos juga mengirimkan duta besarnya, Magasthenes, ke
Pataliputta. Berdasarkan catatan yang dibuat Magasthenes, kerajaan
Magadha saat itu memiliki kekuatan armada perang yang sangat besar.
Raja Candagutta digantikan oleh putranya, Pangeran Bindusara. Raja
Bindusara memperluas kekuasaannya hingga meliputi seluruh India bagian
selatan di mana ia berbagi kekuasaan dengan penguasa Tamil yang
bersahabat dengannya.
Kelahiran Asoka
Seorang brahmana dari Campa memiliki seorang putri yang sangat cantik
bernama Dhamma atau Subhadrangi. Diramalkan bahwa ia akan menikah dengan
seorang raja dan memiliki seorang putra yang akan menjadi penguasa
seluruh India. Setelah putrinya dewasa, sang brahmana mempercantik
Dhamma dengan berbagai perhiasan dan memberikannya untuk dinikahi oleh
Raja Bindusara. Raja menerimanya ke dalam istananya.
Kecantikan Dhamma menimbulkan kecemburuan para permaisuri lainnya. Takut
jika raja akan lebih menyukai sang gadis, para permaisuri mengajarkan
keterampilan mencukur dan mengirimkannya untuk merawat rambut dan
janggut raja. Ia sangat terampil dalam pekerjaannya sehingga raja dapat
bersantai dan tertidur pulas selama rambut dan janggutnya dirawat oleh
Dhamma.
Sangat puas dengan pekerjaannya, Raja Bindusara suatu hari menanyakan
kepada Dhamma apa yang ia inginkan. Dhamma meminta anak dari sang raja.
Raja terkejut dan berseru, “Tetapi bagaimana mungkin aku, seorang
penguasa dari kasta ksatria, menikahi seorang gadis tukang cukur!”
“Yang Mulia,” sang gadis menjawab, “Saya bukan gadis tukang cukur,
tetapi putri seorang brahmana. Ayah saya telah memberikan saya kepada
Yang Mulia sebagai istri.”
Mengetahui bahwa ia telah diajarkan keterampilan mencukur, raja
memerintahkan agar ia tidak melakukan hal tersebut lagi. Raja juga
mengangkat Dhamma sebagai permaisuri utama.
Kemudian Ratu Dhamma melahirkan seorang putra. Ketika ditanyakan apa
nama yang diberikan kepada putranya, ia berkata, “Ketika anak ini
dilahirkan, aku tidak mengalami penderitaan apa pun.” Demikianlah, sang
anak diberi nama Asoka yang berarti “tanpa penderitaan”.
Sebagai putra raja, Pangeran Asoka tumbuh tidak hanya menjadi anak yang
gesit, tetapi juga nakal. Ia juga seorang pemburu yang cekatan. Sejak
masa Raja Candagutta berburu merupakan kebiasaan dan hobi para anggota
keluarga kerajaan.
Tidak ada pangeran lain yang melebihi Pangeran Asoka dalam hal
keberanian, harga diri, kecintaan akan petualangan, dan kemampuan dalam
administrasi. Oleh sebab itu, walaupun hanya sebagai pangeran, ia
disukai dan dihormati oleh pengikutnya dan para menteri.
Perebutan Tahta
Raja Bindusara memiliki seratus satu orang putra yang lahir dari enam
belas istrinya. Diantara semuanya, Pangeran Sumana (Susima) adalah putra
yang tertua dan diharapkan dapat mewarisi tahta kerajaan. Ia dipercaya
untuk menjadi raja muda di Takkasila, sedangkan Pangeran Asoka diangkat
sebagai raja muda di Avanti dengan ibukotanya di Ujjeni.
Ketika Pangeran Asoka dalam perjalanan menuju Ujjeni untuk memerintah di
sana, ia berhenti di kota Vedisa di mana ia bertemu dengan seorang
gadis bernama Devi, putri seorang pedagang. Ia jatuh cinta kepadanya dan
menikahinya; dari pernikahan ini lahirlah seorang putra bernama Mahinda
dan, berselang dua tahun kemudian, seorang putri bernama Sanghamitta.
Walaupun telah menikah dengan seorang anggota keluarga kerajaan, Devi
tidak mengikuti suaminya untuk tinggal di istana. Ia tetap tinggal di
Vedisa.
Dengan menangani administrasi pemerintahan Avanti, Pangeran Asoka
menjadi seorang negarawan yang ulung. Hal ini menyebabkan Pangeran Asoka
menjadi orang yang berpengaruh dalam pemerintahan dan popularitasnya
semakin menanjak. Pangeran Sumana dan para pangeran lainnya menjadi
khawatir apabila Pangeran Asoka disukai oleh raja untuk menjadi pewaris
tahta.
Tak lama berselang penduduk Takkasila mengadakan pemberontakan terhadap
pemerintah. Pangeran Sumana tidak dapat menangani pemberontakan tersebut
dan mendesak raja untuk mengirimkan Pangeran Asoka untuk mengatasinya.
Raja mengutus Pangeran Asoka disertai dengan armada pasukan yang terdiri
atas pasukan berkuda, pasukan penunggang gajah, kereta perang, dan
pasukan pejalan kaki, tetapi raja tidak membekali mereka dengan
persenjataan.
Para pelayan berlari mendatangi Pangeran Asoka dan memberitahukannya,
“Tuanku, kami tidak memiliki persenjataan untuk berperang. Bagaimana
kami dapat bertempur?”
Pangeran Asoka menjawab, “Jika jasa kebajikanku sedemikian rupa sehingga
aku dapat menjadi raja, semoga persenjataan perang muncul di
hadapanku!” Seraya sang pangeran berkata demikian, bumi terbelah dua dan
para dewa muncul dari dalam bumi membawakan persenjataan untuk pasukan
Pangeran Asoka.
Ketika penduduk Takkasila mendengar pasukan Pangeran Asoka mendekat,
mereka menghias jalan sepanjang beberapa mil dan pergi menyambutnya
dengan pot-pot yang penuh dengan persembahan. “O Pangeran,” mereka
berseru, “Kami tidak berniat untuk memberontak terhadap Tuanku ataupun
Baginda Raja. Namun para menteri yang jahat menindas kami dan kisah
penderitaan kami tidak pernah sampai ke Pataliputta. Oleh karena itu,
kami harus mengangkat senjata dan menyingkirkan wakil raja yang jahat
tersebut.”
Pangeran Asoka memahami situasi yang sebenarnya dan menghukum mereka
yang menyebabkan pemberontakan tersebut. Ia tinggal di sana selama
beberapa hari dan memberikan nasehat kepada orang-orang dalam kata-kata
yang sederhana dan indah. Ketika kedamaian telah ditegakkan di kota
Takkasila, Pangeran Asoka kembali ke kota Ujjeni.
Maka sementara ia berkembang menjadi seorang prajurit ulung yang
sempurna dan seorang negarawan lihai, Asoka memimpin beberapa regimen
tentara Maurya. Popularitasnya yang naik di seluruh wilayah kekaisaran
membuat kakak-kakaknya menjadi cemburu karena mereka cemas ia bisa
dipilih Bindusara menjadi maharaja selanjutnya. Kakaknya yang tertua,
pangeran Susima, putra mahkota pertama, membujuk Bindusara untuk
mengirim Asoka mengatasi sebuah pemberontakan di kota Taxila, di
provinsi barat laut Sindhu, di mana pangeran Susima adalah gubernurnya.
Taxila adalah sebuah daerah yang bergejolak karena penduduknya adalah
sukubangsa Yunani-India yang suka berperang dan juga karena pemerintahan
kakaknya, pangeran Susima kacau. Oleh karena itu dalam daerah ini
banyak terbentuk milisi-milisi yang mengacau keamanan. Asoka setuju dan
bertolak ke daerah yang sedang dilanda huru-hara. Maka ketika berita
bahwa Asoka akan datang menjenguk mereka dengan pasukannya, ia disambut
dengan hormat oleh para milisi yang memberontak dan pemberontakan bisa
diakhiri tanpa pertumpahan darah. (Provinsi ini di kemudian hari
memberontak lagi ketika Asoka memerintah, namun kemudian ditumpas dengan
tangan besi).
Keberhasilan Asoka membuat kakak-kakaknya semakin cemas akan maksudnya
menjadi maharaja penerus, maka hasutan-hasutan Susima kepada Bindusara
membuatnya membuang Asoka. Asoka kemudian pergi ke Kalinga dan
menyembunyikan jatidirinya. Di sana ia bertemu dengan seorang nelayan
wanita bernama Karubaki, dan ia jatuh cinta. Prasasti-prasasti yang baru
ditemukan menunjukkan bahwa ia kelak menjadi permaisuri selirnya yang
kedua atau ketiga.
Sementara itu, ada sebuah pemberontakan lagi, kali ini di Ujjayani
(Ujjain). Maharaja Bindusara mengundang Asoka kembali setelah dibuang
selama dua tahun. Asoka pergi ke Ujjayani dan pada pertempuran di sana
terluka, tetapi para hulubalangnya berhasil menumpas pemberontakan.
Asoka kemudian diobati secara diam-diam sehingga para pengikut setia
pangeran Susima tidak bisa melukainya. Ia diurusi oleh para bhiksu dan
bhiksuni beragamaBuddha. Di sinilah ia pertama kalinya berkenalan dengan
ajaran Buddha, dan di sini pula ia berjumpa dengan Dewi, yang merupakan
perawat pribadinya dan putri seorang saudagar bernama Widisha. Maka
setelah pulih, ia menikahinya. Hal ini tidak bisa diterima oleh
Bindusara bahwa salah seorang putranya menikah dengan seorang penganut
Buddha, maka dia tidak memperbolehkannya tinggal di Pataliputra, tetapi
mengirimnya kembali ke Ujjayani dan membuat menjadi seorang gubernur.
Tahun selanjutnya berjalan cukup tenang untuknya dan Dewi akan
melahirkan putranya yang pertama. Sementara itu maharaja Bindusara
mangkat. Sementara berita putra mahkota yang belum lahir menyebar,
Pangeran Susima berniat untuk membunuhnya; namun si pembunuh justru
membunuh ibunya. Menurut legenda, dalam keadaan murka, pangeran Asoka
menyerang Pataliputra (sekarang Patna), dan memenggal kepala
kakak-kakaknya semua termasuk Susima, dan membuangnya di sebuah sumur di
Pataliputra. Pada saat tersebut banyak orang yang menyebutnya Canda
Asoka yang artinya adalah Asoka si pembunuh dan tak kenal kasih.
Sementara Asoka naik takhta, ia memperluas wilayah kekaisarannya dalam
kurun waktu delapan tahun kemudian dari perbatasan daerah yang sekarang
disebutBangladesh dan Assam di India di timur sampai daerah-daerah di
Iran danAfganistan di barat; dari Palmir Knots sampai hampir di ujung
jazirah India di sebelah selatan India.
Tahun demi tahun telah berlalu. Raja Bindusara semakin tua dan
kesehatannya mulai memburuk. Raja dan para menterinya mulai berpikir
tentang masa depan kerajaan. Sesuai dengan kebiasaan, yang paling berhak
menjadi raja berikutnya adalah Pangeran Sumana. Namun pemberontakan
Takkasila menyiratkan kelemahan sang pangeran.
Selain itu, ia mulai bertindak dengan kesombongan. Suatu ketika Pangeran
Sumana sepulang dari berkuda bertemu dengan perdana menteri. Bersenda
gurau ia menempeleng kepala sang perdana menteri yang botak dan berlalu
begitu saja. Tetapi sang perdana menteri berpikir, “Hari ini ia
menempelengku dengan tangannya. Ketika menjadi raja, ia akan menjatuhkan
pedangnya kepadaku. Aku harus memastikan ia tidak mewarisi kerajaan
ini.”
Kemudian perdana menteri memanggil para menteri dan berkata kepada
mereka, “Telah diramalkan oleh pertapa suci bahwa Pangeran Asoka akan
menjadi raja yang menguasai salah satu dari empat benua. Ketika waktunya
tiba, marilah kita menempatkannya pada tahta kerajaan.” Para menteri
menyetujui hal ini.
(Menurut geografi India kuno, bumi terdiri atas empat benua besar, yaitu
Jambudipa di sebelah selatan, Aparayojana di sebelah barat, Uttarakuru
di sebelah utara, dan Pubbavideha di sebelah timur. Jambudipa juga
merupakan nama kuno untuk India).
Ketika penyakit yang diderita raja semakin parah dan kelihatan tidak ada
harapan lagi, para menteri mengirimkan pesan kepada Pangeran Asoka
bahwa ayahnya jatuh sakit dan ia harus segera kembali ke istana
kerajaan. Sang pangeran pun segera kembali ke Pataliputta untuk
menjenguk ayahnya.
Terbaring lemah di ranjangnya, Raja Bindusara bermaksud untuk mengangkat
putra tertuanya sebagai penerus kerajaan dan memerintahkan Pangeran
Asoka untuk berangkat ke Takkasila. Namun para menteri menghalangi
rencana ini. Mereka melumuri tubuh Pangeran Asoka dengan kunyit,
mendidihkan lak merah dalam wadah tembaga, dan mengatakan kepada raja
bahwa sang pangeran sedang sakit sehingga ia tidak dapat bangkit dari
tempat tidur.
Ketika kondisi raja memburuk, para menteri membawa Pangeran Asoka ke
hadapan raja dalam pakaian dan perhiasan yang mewah dan mendesak raja,
“Nobatkan Pangeran Asoka untuk saat ini dan kami akan melantik Pangeran
Sumana sebagai raja ketika ia kembali.”
Raja Bindusara menggelengkan kepala dengan lemah menandakan ia tidak
menyetujuinya. Maka Pangeran Asoka berkata, “Jika tahta kerajaan menjadi
hakku berdasarkan ketetapan takdir, semoga para dewa memahkotai aku
dengan mahkota kerajaan!” Seketika para dewa muncul dan menaruh mahkota
kerajaan pada kepala Pangeran Asoka.
Ketika Raja Bindusara menyaksikan kejadian ini, ia muntah darah dan
meninggal dunia. Ketika Pangeran Asoka mendapatkan mahkota kerajaan, dua
ratus delapan belas tahun telah berlalu sejak wafatnya Sang Buddha.
Berita wafatnya Raja Bindusara dan naiknya Pangeran Asoka menjadi raja
sampai ke telinga Pangeran Sumana. Merasa bahwa mahkota kerajaan
seharusnya miliknya, Pangeran Sumana mempersiapkan armada pasukannya
untuk bertempur melawan Pangeran Asoka guna memperebutkan tahta. Perang
saudara yang berlangsung hingga empat tahun tersebut berakhir dengan
kematian Pangeran Sumana di tangan Radhagupta, putra perdana menteri
pada masa Raja Bindusara.
Dikisahkan juga bahwa untuk mencapai tujuannya Pangeran Asoka membunuh
semua saudara tirinya. Karena kekejamannya ini, ia kemudian dikenal
dengan nama Candasoka (Asoka yang kejam).
(Sulit untuk mengetahui kebenaran kisah ini karena menurut prasasti yang
ditinggalkan Raja Asoka, ia memiliki banyak saudara laki-laki dan
perempuan yang masih hidup ketika prasasti tersebut ditulis).
Penobatan Raja Asoka
Pada hari di mana akan diadakan penobatan raja baru, kota Pataliputta
dihiasi dengan mewah dan meriah. Ketika waktu penobatan hampir tiba,
alunan musik yang merdu bergema di lingkungan istana. Raja Asoka dengan
wajah yang berseri-seri memasuki ruangan dengan dikelilingi oleh para
pengawal. Sang pewaris tahta membungkukkan badannya di hadapan tahta
kerajaan lalu menaikinya. Seraya para brahmana melantunkan
mantra-mantra, Raja Asoka dipakaikan simbol-simbol seorang raja dan
mahkota kerajaan Magadha diletakan di atas kepalanya.
Setelah resmi dinobatkan sebagai raja ketiga Dinasti Moriya, Raja Asoka
menggunakan nama Devanampiya Piyadassi (Devanampiya = “Dicintai oleh
para dewa”, Piyadassi = “Ia yang melihat dengan penuh kasih sayang”). Ia
juga mengangkat Radhagupta sebagai perdana menteri dan Pangeran Tissa,
adiknya yang lahir dari ibu yang sama, sebagai penasehat kerajaan.
Seketika setelah penobatannya, titah Raja Asoka membentang sejauh satu
yojana (16 km) ke atas angkasa dan satu yojana ke bawah bumi. Setiap
hari para dewa membawakan air sebanyak muatan delapan orang manusia dari
danau Anotatta dan raja membagikan air ini kepada semua rakyatnya. Dari
Himalaya para dewa juga membawakan ranting dari tumbuhan tertentu untuk
membersihkan gigi, buah-buahan yang menyehatkan, myrobalan, terminalia,
serta buah mangga yang sempurna dalam warna, bau, dan rasanya. Para
makhluk halus (yakkha) dari angkasa membawakan pakaian dalam lima warna,
bahan tertentu yang berwarna kuning sebagai serbet, dan minuman dewata
dari danau Chaddanta.
Para naga membawakan pakaian yang berwarna seperti bunga melati dan
tanpa garis jahitan, bunga teratai surgawi, collyrium, dan obat luka.
Burung-burung nuri setiap hari membawakan padi sebanyak sembilan puluh
ribu kereta dari danau Chaddanta. Tikus-tikus tanpa henti mengubah
padi-padi ini menjadi butiran beras tanpa sekam ataupun bubuk padi dan
ini menjadi makanan bagi keluarga kerajaan. Lebah-lebah madu tanpa henti
menyediakan madu untuk raja. Di tempat penempaan besi para beruang
mengayunkan palu. Burung-burung karavika yang bersuara lembut dan merdu
berdatangan dan mengalunkan nyanyian untuk raja.
Penaklukan Kalingga
Sementara tahap-tahap awal kepemimpinan Asoka terbukti cukup haus darah,
ia kemudian menjadi pengikut ajaran Buddha setelah menaklukkan
Kalingga, daerah yang sekarang adalah negeri bagian India Orissa.
Kalingga adalah sebuah negeri yang bangga akan kemerdekaan dan
demokrasinya; dengan demokrasi monarki dan parlementernya, negeri ini
bisa dikatakan sebuah pengecualian di Bharata Kuna, karena di sana ada
konsep Rajadharma, yang berarti kewajiban para pemimpin, yang secara
dasar bersatu-padu dengan konsep keberanian dan Ksatriyadharma.
Asal mula Perang Kalingga (265 SM atau263 SM) tidak jelas. Salah satu
saudara Susima kemungkinan melarikan diri ke Kalingga dan mendapat suaka
secara resmi di sana. Hal ini sangat membuat murka Asoka. Ia diberi
saran oleh para menterinya menyerang Kalingga untuk tindakan
pengkhianatan ini. Asoka kemudian meminta Kalingga untuk tunduk kepada
kekuasaannya. Ketika mereka menolak diktatnya, Asoka mengirimkan salah
seorang panglima perangnya supaya mereka tunduk.
Sang panglima perang dan pasukannya kalah dan melarikan diri berkat
kepandaian panglima perang Kalingga. Asoka yang tercengang akan
kekalahan ini, menyerang dengan sebuah pasukan terbesar yang belum
pernah ada dalam sejarah India sampai saat itu. Kalingga melawan dengan
sengit tetapi mereka bukan padanan pasukan perang Asoka yang sangat
kuat. Seluruh wilayah Kalingga dijarah dan dihancurkan: piagam-piagam
Asoka di kemudian hari menyebutkan bahwa di sisi Kalingga kurang lebih
100.000 jiwa tewas sedangkan jumlah prajurit Asoka yang tewas kurang
lebih 10.000. Ribuan pria dan wanita dibuang pula.
RAJA ASOKA MENGENAL AGAMA BUDDHA
Raja Bindusara semasa hidupnya merupakan pengikut ajaran para brahmana.
Setiap hari ia memberikan dana kepada enam puluh ribu brahmana. Pada
mulanya Raja Asoka juga mengikuti kebiasaan ayahnya ini selama tiga
tahun masa pemerintahannya.
Namun ketika melihat pengendalian diri yang buruk dari para brahmana
tersebut saat pembagian dana makanan, Raja Asoka memerintahkan para
menterinya untuk memanggil para pertapa dari ajaran-ajaran lain yang ada
saat itu. Para pun menteri memanggil para pertapa Ajivaka, Nigantha
(Jain), dan Paribbajaka (Parivrajaka). Raja menguji tingkah laku mereka,
memberi mereka dana makanan, dan mempersilahkan mereka meninggalkan
istana setelah ia mengadakan perjamuan makan dengan mereka.
Suatu hari ketika sedang berdiri di dekat jendela, ia melihat seorang
pertapa muda berjubah kuning yang tenang penampilannya melewati jalan.
Pertapa tersebut tak lain adalah Samanera Nigrodha, putra Pangeran
Sumana. Tidak mengetahui jati diri samanera tersebut yang sebenarnya,
Raja Asoka seketika itu merasa tertarik pada sang pertapa dan
menyukainya.
Saat Pangeran Sumana terbunuh, istrinya yang juga bernama Sumana sedang
mengandung. Ia menyelamatkan diri melewati gerbang timur ke sebuah desa
candala dan di sana seorang dewa penunggu pohon nigrodha membuatkan
sebuah gubuk untuknya. Pada waktunya ia melahirkan seorang anak
laki-laki yang tampan dan diberi nama Nigrodha untuk menghargai
perlindungan dari dewa pohon tersebut. Kemudian kepala desa candala yang
merasa kasihan atas nasib sang ibu merawat keduanya sebagaimana istri
dan anaknya sendiri selama tujuh tahun. Suatu hari seorang bhikkhu
bernama Mahavaruna melihat bahwa Nigrodha dapat mencapai tingkat
kesucian Arahat pada kehidupan sekarang. Sang bhikkhu lalu menahbiskan
Nigrodha yang berusia tujuh tahun tersebut sebagai samanera setelah
mendapatkan izin dari ibunya. Dalam ruangan di mana para bhikkhu
mencukur rambutnya, Samanera Nigrodha langsung mencapai tingkat Arahat.
Saat itu sang samanera sedang dalam perjalanan untuk mengunjungi ibunya.
Ia memasuki kota dari gerbang selatan dan ketika melalui jalan yang
menuju desanya, ia melewati istana raja. Raja tertarik pada sang
samanera karena pembawaannya yang tenang saat berjalan dan berdiri,
tetapi perasaan menyukai timbul karena pada kehidupan lampau mereka
pernah berhubungan sebagai saudara.
Raja memanggil sang samanera ke hadapannya; sang samanera berjalan
dengan tenang ke hadapan raja. Raja mempersilahkan samanera itu untuk
duduk pada singgasana kerajaan. Ketika sang samanera melangkah menuju
singgasana, raja berpikir, “Hari ini samanera ini akan menjadi tuan di
rumahku.” Bersandar pada tangan raja, Samanera Nigrodha menaiki
singgasana dan mengambil tempat duduk pada singgasana di bawah payung
putih.
Setelah memberikan makanan keras maupun lembut, Raja Asoka menanyakan
sang samanera tentang ajaran Sang Buddha. Maka sang samanera membabarkan
Appamadavagga kepada raja. Raja sangat bergembira atas pembabaran
Dhamma ini dan berkata, “Yang Mulia, saya mendanakan kepada anda delapan
jenis persediaan makanan.”
Samanera Nigrodha menjawab, “Ini akan saya berikan kepada guru saya.”
Ketika delapan jenis persediaan makanan lagi didanakan kepadanya, ia
memberikannya kepada gurunya; ketika delapan lagi didanakan, ia
memberikannya kepada Sangha; akhirnya, ketika delapan lagi didanakan
kepadanya, ia menerimanya untuk dirinya sendiri.
Pada hari berikutnya ia datang bersama dengan tiga puluh dua orang
bhikkhu. Setelah dilayani oleh raja dengan tangannya sendiri dan
membabarkan Dhamma kepada raja, ia memperkuat keyakinan raja dengan
memberikan Tisarana dan pelatihan Pancasila.
Setiap hari Raja Asoka mendanakan lima ratus ribu dari kekayaannya
dengan rincian sebagai berikut: seratus ribu didanakan untuk Samanera
Nigrodha untuk digunakan sesukanya, seratus ribu untuk persembahan
wewangian dan bunga pada stupa-stupa Sang Buddha, seratus ribu untuk
pembabaran Dhamma, seratus ribu untuk empat kebutuhan para anggota
Sangha, dan sisanya untuk pengobatan orang sakit. Sebagai tambahan, raja
juga mendanakan sejumlah jubah yang ditempatkan di atas punggung gajah
dan dihiasi dengan rangkaian bunga tiga kali sehari kepada Samanera
Nigrodha. Sang samanera memberikan jubah-jubah ini kepada para bhikkhu
lainnya.
Perbuatan Lampau Raja Asoka
Jauh sebelum kemunculan Buddha Gotama hiduplah tiga orang bersaudara
yang merupakan pedagang madu; salah seorang menjual madu, sedangkan yang
lainnya mengambil madu. Seorang Pacceka Buddha tertentu menderita luka
dan seorang Pacceka Buddha lainnya datang ke kota guna mencarikan madu
untuk menyembuhkan luka temannya tersebut. Ia melalui jalan yang biasa
ia lalui saat berpindapatta.
Seorang gadis sedang berjalan mengambil air ke tepi sungai. Ketika ia
mengetahui tujuan sang Pacceka Buddha, gadis itu menunjuk ke arah
tertentu dengan mengulurkan tangannya dan berkata, “Di sebelah sana ada
toko madu, Yang Mulia. Pergilah ke sana.”
Sang pedagang madu dengan hati yang yakin mendanakan semangkuk penuh
madu kepada Pacceka Buddha yang datang meminta madu. Ketika melihat madu
yang mengisi mangkuk dan mengalir keluar dari tepi kemudian tumpah ke
tanah, ia berharap, “Semoga saya, karena dana ini, memperoleh kekuasaan
tertinggi yang tidak terbagi atas Jambudipa dan semoga titahku
menjangkau satu yojana ke atas angkasa dan satu yojana ke bawah bumi.”
Kepada saudara-saudaranya ketika mereka datang, ia berkata, “Kepada
orang tersebut telah kuberikan madu; setujuilah dana ini karena madu itu
juga milik kalian.”
Sang kakak tertua berkata dengan tidak rela, “Ia pasti seorang candala
karena candala biasanya memakai pakaian kuning.” Orang kedua berkata,
“Menjauhlah dengan Pacceka Buddha-mu ke seberang lautan.” Tetapi ketika
mereka mendengar janji saudara mereka untuk berbagi manfaat dari dana
tersebut, mereka pun menyetujuinya.
Kemudian sang gadis yang menunjukkan toko madu tersebut berharap ia
dapat menjadi istri sang pedagang dan memiliki tubuh yang menarik dengan
bentuk anggota tubuh yang sempurna.
Pedagang madu yang memberikan madu tak lain adalah Raja Asoka yang
menguasai seluruh India (Jambudipa); gadis yang menunjukkan toko madu
adalah Ratu Asandhimitta, permaisuri utama Raja Asoka. Orang mengucapkan
kata “candala” adalah Nigrodha yang tinggal di desa candala, tetapi
karena mengharapkan pembebasan, ia dapat menjadi Arahat bahkan saat
masih berusia tujuh tahun. Orang terakhir yang menginginkan sang
pedagang menjauh ke seberang lautan adalah Denampiya Tissa, raja Sri
Lanka yang bersahabat dengan Raja Asoka.
Setelah sang pedagang madu meninggal dunia, ia terlahir kembali di alam
surga. Setelah beberapa lama di surga, ia terlahir kembali di alam
manusia sebagai seorang anak bernama Jaya di kota Rajagaha pada masa
Buddha Gotama.
Pada saat itu Sang Buddha sedang berdiam di Kalandakanivapa di Veluvana
dekat Rajagaha. Suatu pagi Beliau memakai jubah-Nya, membawa
mangkuk-Nya, dan disertai oleh para bhikkhu berjalan menuju Rajagaha
untuk berpindapatta. Setelah memasuki gerbang kota, Sang Buddha melewati
jalan utama dan melihat dua orang anak laki-laki sedang bermain
membangun rumah-rumahan dari tanah lumpur. Salah seorang anak yang
berasal dari keluarga yang makmur bernama Jaya dan yang lain dari
keluarga yang kurang mampu bernama Vijaya.
Kedua anak ini melihat Sang Buddha dan sangat terkesan dengan
penampilan-Nya yang mulia dan gemilang, tubuh-Nya yang dihiasi dengan
tiga puluh dua ciri manusia agung. Jaya berpikir, “Aku akan memberikan
Ia makanan dari tanah” dan memasukkan segenggam tanah ke dalam mangkuk
Sang Buddha. Vijaya beranjali dengan melipat kedua tangannya.
Setelah memberikan persembahan ini, Jaya membuat tekad: “Dengan
kebajikan dari pemberian ini, semoga aku menjadi seorang raja dan
setelah menempatkan Jambudipa dalam satu payung kekuasaan, aku akan
memberikan penghormatan kepada Sang Buddha.”
Sang Buddha, yang memahami sifat pembawaan Jaya dan tekadnya serta
mengetahui ketulusan hatinya, menerima pemberian segenggam tanah
tersebut dan tersenyum. Senyum Sang Buddha kemudian diikuti oleh cahaya
biru, kuning, merah, putih, jingga, kristal, dan perak yang
mengelilingi-nya tiga kali dan memasuki telapak tangan kiri-nya.
Ananda yang melihat pemandangan ini berkata, “Tidak pernah para
Tathagata tersenyum tanpa alasan. Hilangkanlah keraguan kami, O Yang
teragung di antara manusia yang ucapan-nya bagaikan halilintar, dan
ungkapkanlah apakah yang akan menjadi buah dari pemberian tanah ini.”
Sang Buddha menjawab, “Dua ratus delapan belas tahun setelah kematian-Ku
akan muncul seorang raja bernama Asoka di Pataliputta. Ia akan
menguasai salah satu dari empat benua dan menghiasi Jambudipa dengan
relik-relik tubuh-Ku dengan membangun delapan puluh empat ribu stupa
untuk kemakmuran orang banyak. Ia akan membuat stupa-stupa ini dihormati
oleh para dewa dan manusia. Nama besarnya akan tersebar luas.
Persembahan berjasanya hanyalah segenggam tanah yang dimasukkan Jaya ke
dalam mangkuk Sang Tathagata.”
Jaya kemudian terlahir kembali sebagai Raja Asoka, sedangkan Vijaya terlahir kembali sebagai Perdana Menteri Radhagupta.
Kematian dan Warisannya
Maharaja Asoka memerintah selama 41 tahun, dan setelah mangkatnya,
dinasti Maurya masih bertahan selama lebih dari 50 tahun. Asoka memiliki
banyak selir dan anak, namun nama-nama mereka tidaklah diketahui.
Mahinda dan Sanghamittaadalah anak kembar yang dilahirkan istri
pertamanya, Dewi di kota Ujjayini. Ia mempercayai mereka untuk
menyebarkan agama Buddha di dunia yang dikenal dan tak dikenal. Mahinda
dan Sanghamittapergi ke Sri Lanka dan memasukkan Raja, Ratu dan
rakyatnya agama Buddha. Mereka lalu berkeliling dunia sampai keMesir
dunia Helenistik (Yunani). Sehingga mereka tidak bisa melaksanakan
kewajiban pemerintahan. Beberapa arsip langka membicarakan penerus Asoka
bernama Kunal, yang merupakan putra Asoka dari istri terakhirnya.
Masa kepemimpinan maharaja Asoka bisa saja mudah menghilang dalam
sejarah, dengan berselangnya abad, jika ia tidak meninggalkan arsip
sejarah apa-apa. Kesaksian maharaja ini ditemukan dalam bentuk
pilar-pilar dan batu-batu karang besar yang dipahati secara megah
menjadi prasasti. Isinya adalah ajaran-ajaran dan tindakan-tindakan yang
ingin ia sebar luaskan. Selain itu Asoka juga mewariskan kita bahasa
tertulis pertama di India setelah kota kuna Harrapa. Namun berbeda
dengan di Harrapa, teks-teks Asoka bisa kita pahami. Bahasa yang dipakai
Asoka dalam menuliskan teks-teks prasastinya adalah sebuah bentuk
bahasa rakyat ataubahasa Prakerta/Prakrit dan bukan bahasa Sanskerta.
Pada tahun 185 SM, kurang lebih 50 tahun setelah mangkatnya Asoka,
penguasa Maurya terakhir, Brhadrata, dibunuh secara keji oleh panglima
perang Maurya,Pusyamitra Sunga, saat ia sedang menginspeksi pasukannya.
Pusyamitra Sunga lalu mendirikan dinasti Sunga (185 SM-78 SM) dan hanya
memerintah sebagian wilayah Kekaisaran Maurya yang telah runtuh.
Baru hampir 2.000 tahun kemudian di bawah kepemimpinan Akbar yang
Agungdan cicitnya (buyutnya) Aurangzeb, sebuah bagian besar anak benua
India yang pernah diperintah Asoka, dipersatukan lagi di bawah satu
kepemimpinan. Tetapi akhirnya, orang Inggris di bawah Kekaisaran
Britania Indialah yang menyatukan anak benua yang terpecah-belah ini
menjadi sebuah satuan politik dan merintis jalan menuju munculnya
kembali negara Bharata modern yang sembari memakai lambang Asoka,
diilhami oleh ajarannya yang penuh dengan rasa kepemimpinan kuat dan
saling mengasihi sesama.