Pendidikan anak merupakan kewajiban orang tua. Allah Ta'ala telah
memerintahkan dalam Al-Quran, begitupula Rasululllah shallallahu alaihi
wa sallam dalam haditsnya.
Firman Allah Ta'ala,
يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم وأهليكم ناراً وقودها الناس والحجارة عليها
ملائكة غلاظ شداد لا يعصون الله ما أمرهم ويفعلون ما يؤمرون (سورة
التحريم: 6)
"Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu; penjaganya
malaikat-malaikat yang kasar, keras, dan tidak mendurhakai Allah
terhadap apa yang diperintahkan-Nya kepada mereka dan selalu mengerjakan
apa yang diperintahkan." (QS. At-Tahrim: 6)
Imam Ath-Thabari dalam tafsirnya tentang ayat ini berkata,
"Wahai orang yang benar keimanannya terhadap Allah dan Rasul-Nya,
'Peliharalah diri kalian,' Hendaklah satu sama lain saling mengajarkan
sesuatu yang membuat kalian dapat berlindung dan terhindar dari neraka,
yaitu apabila mereka beramal dalam ketaatan kepada Allah. Sedangkan
firman-Nya 'Dan (lindungi) keluarga kalian dari neraka.' Maksudnya
adalah ajarkan keluarga kalian amal ketaatan kepada Allah yang dapat
melindungi mereka dari api neraka.
(Tafsir Ath-Thabari, 28/165)
Al-Qurthubi berkata,
"Muqatil berkata, ini merupakan hak yang menjadi kewajiban terhadap
dirinya, anaknya, keluarganya dan budaknya. Ilkia berkata, 'Kita wajib
mengajakan agama dan kebaikan terhadap anak-anak kita, atau adab apa
saja yang tidak dapat mereka tinggalkan. Sebagaimana firman Allah
Ta'ala,
وأْمُر أهلك بالصلاة واصطبر عليها (سورة طه: 132)
"Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya." (QS. Thaha: 132)
Atau juga sebagaimana firman Allah Ta'ala kepada Nabi shallallahu alaihi wa sallam,
وأنذر عشيرتك الأقربين (سورة الشعراء: 214)
"Dan berilah peringatan kepada kerabat-kerabatmu yang terdekat," (QS. Asy-Syuara: 214)
Juga terdapat dalam hadits
مروهم بالصلاة وهم أبناء سبع
"Perintahkan mereka (anak-anak kalian) untuk melaksanakan shalat saat mereka berusia tujuh tahun."
(Tafsir Al-Qurthubi, 18/196)
Seorang muslim, siapapun dia, adalah orang yang mengajak kepada jalan
Allah Ta'ala, maka jadikanlah orang yang pertama mendapatkan dakwahnya
adalah anak-anak dan keluarganya, kemudian orang-orang berikutnya. Allah
Ta'ala, saat menugaskan Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam untuk
berdakwah, Dia berfirman kepadanya, "Dan berilah peringatan kepada
kerabat-kerabatmu yang terdekat," (QS. Asy-Syuara: 214), karena mereka
adalah orang yang paling berhak mendapatkan kebaikan dan kasih
sayangnya.
وجعل الرسول صلى الله عليه وسلم مسؤولية رعاية الأولاد على الوالدين وطالبهم بذلك :
Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam juga menjadikan perawatan anak
sebagai tanggung jawab orang tua dan menuntut mereka untuk itu.
Dari Abdullah bin Umar, dia berkata, "Aku mendengar Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
" كلكم راع وكلكم مسئول عن رعيته الإمام راع ومسئول عن رعيته والرجل راع في
أهله وهو مسئول عن رعيته والمرأة راعية في بيت زوجها ومسئولة عن رعيتها
والخادم راع في مال سيده ومسئول عن رعيته قال وحسبت أن قد قال والرجل راع
في مال أبيه ومسئول عن رعيته وكلكم راع ومسئول عن رعيته " . رواه البخاري (
853 ) ومسلم ( 1829 )
"Semua kalian adalah pemimpin dan kalian akan ditanya tentang
orang-orang yang kalian pimpin. Kepala negara adalah pemimpin, dan akan
ditanya tentang kepemimpinannya, seorang bapak pemimpin dalam
keluarganya, dan dia akan ditanya tentang yang dipimpinnya. Seorang ibu
pemimpin di rumah suaminya. Pembantu pemimpin terhadap harta masjiannya
dan akan ditanya akan kepemipinannya. Dan saya mengira telah mengatakan,
seseorang peminpin terhadap harta ayahnya dan akan ditanya terhadap
kepemimpinannya. Masing-masing kalian adalah pemimpin dan akan ditanya
terhadap kepemimpinannya" (HR. Bukhari, no. 853, Muslim, 1829)
Berkata Imam Asy Syaukani Rahimahullah dalam Kitab Fathul Qadir:
"يا أيها الذين آمنوا قوا أنفسكم" بفعل ما أمركم به وترك ما نهاكم عنه "وأهليكم" بأمرهم بطاعة الله ونهيهم عن معاصيه
“Wahai Oang-orang yang beriman, peliharalah dirimu” maksudnya dengan
melaksanakan apa-apa yang telah diperintahkan kepadamu dan meninggalkan
apa-apa yang telah dilarang untukmu. “Dan keluargamu” maksudnya dengan
memerintahkan mereka untuk tat kepada Allah dan mencegah mereka dari
maksiat kepadaNya. (Imam Asy Syaukani, Fathul Qadir)
Imam Muqatil bin Sulaiman berkata, “Peliharalah dirimu dan keluargamu
dari api neraka,” yakni memelihara dengan adab yang shalih (baik).
Imam Mujahid dan Imam Muqatil juga berkata, “Peliharalah dirimu dengan
amal perbuatanmu, dan peliharalah keluargamu dengan wasiat-wasiatmu.”
Imam Ibnu Jarir berkata, “Wajib bagi kita mengajarkan anak-anak kita
tentang agama dan kebaikan, beserta perkara adab yang dibutuhkannya.”
(Lihat Tafsir ini semua dalam kitab Fathul Qadir)
Anak merupakan tanggung jawab kedua orang tuanya, baik bapak atau ibu,
teristimewa lagi bapak, sebab ia kepala rumah tangga yang tanggung jawab
dunia akhiratnya lebih besar. Sesuai dengan hadits: Kullukum ra’in wa
kullukum mas’ulun ‘an ra’iyatihi (Setiap kalian adalah pemimpin, dan
setiap pemimpin akan diminta pertanggungjawaban atas kepemimpinannya).
Maka sangat wajar bila seorang ahli hikmah mengatakan, “Perhatikanlah
anakmu, sebab surga atau neraka bagimu, tergantung sikapmu terhadap
anak.”
Berikut ini adalah rincian cara Islam dalam mendidik anak.
Memberikan kabar gembira atas kelahiran anak
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
“ Maka kami beri dia (Nabi Ibrahim) kabar gembira dengan (lahirnya)
seorang anak yang amat sabar (yakni Nabi Ismail)” (QS. Ash Shafat: 101)
Dalam ayat lain:
“Hai Zakaria, Sesungguhnya kami memberi kabar gembira kepadamu akan
(beroleh) seorang anak yang namanya Yahya, yang sebelumnya kami belum
pernah menciptakan orang yang serupa dengan dia.” (QS. Maryam: 7)
Sudah selayaknya orang tua bergembira dengan kelahiran anak, baik bayi
laki-laki atau perempuan, baik anak pertama atau selanjutnya, dengan
tanpa pembedaan dan pilih kasih sebagai wujud rasa syukur kita kepada
Allah Ta’ala. Kegembiraan ini diharapkan menjadi awal yang baik dan
memiliki pengaruh bagi jiwa anak, agar dalam perkembangannya ia mudah
diarahkan dan dididik sesuai adab Islam.
Menasabkan bayi itu kepada orang tuanya (bapak)
Ini merupakan kewajiban selanjutnya yang dilakukan orang tua kepada anaknya. Sesuai firmanNya:
“Panggil-lah mereka (anak-anak angkatmu) dengan memakai nama bapak-bapak
mereka, hal itu lebih adil di sisi Allah.” (QS. Al AHzab: 5)
Ayat ini berkenan tentang anak angkat, kita wajib memanggil dan
menasabkan mereka dengan bapak kandungnya sendiri (bapak biologis).
Apalagi, dengan anak kita sendiri tentu lebih wajib menasabkan kepada
orang tua sendiri.
Bahkan Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam mencela orang yang
mengingkari atau tidak mengakui anaknya sendiri. Atau, mengklaim anak
orang lain sebagai anak kandung.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam bersabda:
“Kufur hukumnya, orang yang mengklaim nasab yang tidak diketahuinya,
atau mengingkari nasab walau masih samar.” (HR. Ibnu Majah no.2744,
Ahmad II/215, dengan sanad hasan)
Ada kebiasaan di sebagian masyarakat kita, menyandarkan nama anak
(perempuan) dengan nama suaminya, tentunya hal itu bertent angan dengan
cara Islam. Misal, seorang bapak sebut saja namanya Muhammad mempunyai
anak wanita bernama Fatimah, nikah bersuamikan Ali, maka dimasyarakat ia
akan dipanggil ‘Bu Ali’ atau dibelakang namanya tertulis Fatimah Ali.
Itu keliru, seharusnya ia tetap dinasabkan kepada bapaknya, misal
Fatimah binti Muhammad.
Mendoakannya dengan Doa perlindungan
Hal ini dicontohkan dalam Al Qur’an, yakni ketika isteri dari seorang
shalih bernama Imran (ada juga yang menyebutnya sebagai nabi), akan
melahirkan bayi perempuan yang kelak dinamakan Maryam. Saat itu Istri
Imran mendoakan bayi perempuannya (Maryam).
Allah Ta’ala berfirman:
“Maka tatkala isteri 'Imran melahirkan anaknya, diapun berkata: "Ya
Tuhanku, Sesunguhnya Aku melahirkannya seorang anak perempuan; dan Allah
lebih mengetahui apa yang dilahirkannya itu; dan anak laki-laki
tidaklah seperti anak perempuan. Sesungguhnya Aku Telah menamai dia
Maryam dan Aku mohon perlindungan untuknya serta anak-anak keturunannya
kepada (pemeliharaan) Engkau daripada syaitan yang terkutuk." (QS. Ali
Imran : 36)
Imam Ibnu Katsir berkata: “Yaitu aku mohon perlindungan Allah untuknya,
serta untuk anak keturunannya, yaitu Isa dari kejahatan syetan. Maka
Allah kabulkan permohonan itu.” Lalu Imam Ibnu Katsir menyebutkn sebuah
hadits dari Abdurrazaq dari Ma’mar, dari Az Zuhry, dari Said bin
Musayyib, dari Abu Hurairah, dari Rasulullah, bahwa Ia bersabda:
“Tidaklah satupun bayi ketika dilahirkan melainkan syetan mengganggunya,
sehingga menjeritlah bayi itu. Kecuali Maryam dan anaknya, Isa.” (Imam
Ibnu Katsir, Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, Jilid 1, hal. 479)
Jadi, menurut keterangan ini, hanya dua bayi yang tidak mengalami gangguan syetan, yaitu Maryam dan anaknya, Isa.
Masih lanjutan hadits di atas, Abu Hurairah berkata, “Bacalah!” Inni
u’idzuha bika wa dzurriyataha minasy syaithanir rajim. "وإني أعيذها بك
وذريتها من الشيطان الرجيم" (Sesungguhnya Aku mohon perlindungan untuknya
serta anak-anak keturunannya kepada (pemeliharaan) Engkau, dari
gangguan syetan yang terkutuk) (HR. Bukhari no. 3431, Muslim no. 2366,
2367)
Jika anaknya laki-laki maka kata ‘ha’ diganti menjadi ‘hu’, yakni
menjadi Inni u’idzuhu bika wa dzurriyatahu minasyaithanir rajim.
Imam Al Qurthubi berkata, “Gangguan syetan merupakan upaya penguasan
terhadap bayi tersebut. Maka Allah menjaga Maryam dan anaknya dengan
berkah doa ibunya.”
Adzankan
Ini merupakan upaya merekamkan kalimat tauhid Laa Ilaha Illallah
Muhammadarrasulullah sejak dini. Sebab otak bayi laksana pita kaset yang
masih kosong, ia akan terisi oleh suara yang pertama kali tertangkap
olehnya. Semoga hal itu menjadi arahan yang lurus bagi sang bayi, yang
akan mengendalikan arah hidupnya.
Para ulama tidak sepakat dalam masalah mengadzankan dan mengqomatkan
bayi, sebagian mereka ada yang menyebut keduanya adalah bid’ah karena
tidak ada dasarnya, ada pula yang mengatakan adzan disyariatkan tetapi
iqamah tidak, ada pula yang membolehkan dan menganjurkan adzan dan
iqamah sekaligus. Adapun kami lebih cenderung mengikuti pendapat yang
mengatakan bahwa adzan disyariatkan, sedangkan iqamah tidak. Sebab
seluruh hadits tentang iqamah untuk bayi tak ada satu pun yang shahih
atau hasan dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam. Demikianlah,
wallahu a’lam.
Dari Abu Rafi’, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah adzan seperti adzan
shalat di telinga Al hasan ketika dilahirkan oleh Fathimah.” (HR. Ahmad,
VI/9,391,392. Abu Daud no. 5105. At Tirmidzi I/286)
Syaikh al Albany –ahli hadits abad ini- berkata tentang status hadits ini, “Hasan, Insya Allah!” (Irwa’ al Ghalil, IV/400)
Sedangkan hadits tentang iqamah, adalah sebagai berikut:
"Siapa yang kelahiran anak lalu ia mengadzankannya pada telinga kanan
dan iqamah pada telinga kiri maka Ummu Shibyan (jin yang suka mengganggu
anak kecil, -pent) tidak akan membahayakannya".
(Dikeluarkan oleh Al-Baihaqi dalam Syu'abul Iman (6/390) dan Ibnu Sunni
dalam Amalul Yaum wal Lailah (no. 623) dan Al-Haitsami membawakannya
dalam Majma' Zawaid (4/59) dan ia berkata : Hadits ini diriwayatkan oleh
Abu Ya'la dan dalam sanadnya ada Marwan bin Salim Al-Ghifari , ia
matruk (haditsnya ditinggalkan)".
Kami katakan hadits ini diriwayatkan Abu Ya'la dengan nomor (6780).
Berkata Muhaqqiq (peneliti hadits)nya : "Isnadnya rusak dan Yahya bin
Al-Ala tertuduh memalsukan hadits". Nah, dari keterangan ini jelaslah
bahwa hadits tentang qamat untuk bayi tidak bisa dijadikan landasan
untuk mengamalkannya, karena cacatnya yang parah.
Tahnik
Disunahkan memberikan tahnik kepada bayi dengan menggunakan kurma atau
sejenisnya, seperti madu dan lain-lain. Dengan cara mengunyah kurma
hingga lembut dan halus, lalu dimasukkan ke dalam mulut bayi tersebut.
Ini merupakan upaya persiapan agar bayi nantinya mudah untuk merasakan
manisnya air susu ibu. Hal ini didasarkan pada sebuah hadits:
Dari Abu Musa al Asy’ary beliau berkata: Dilahirkan bagiku bayi
laki-laki, kemudian aku bawa kepada Rasulullah. Lalu Rasulullah
menamakan bayi itu Ibrahim dan mentahniknya dengan korma serta mendoakan
keberkatan atasnya, lalu menyerahkan kembali kepadaku. Dan dia
(Ibrahim) merupakan anak Abu Musa yang paling besar (sulung).(HR.
Bukhari no. 5467, Muslim III/1690, Ahmad IV/339)
Dari hadits ini ada tiga pelajaran lain selain tahnik, yaitu pertama,
hendaknya yang mentahnik adalah orang shalih atau ahli ilmu. Boleh saja
orang tuanya sendiri, apalagi ia juga seorang shalih atau ahli ilmu.
Kedua, meminta diberikan atau dicarikan nama yang baik bagi si bayi oleh
orang shalih atau ahli ilmu. Ketiga, mendoakan bayi ketika ditahnik
dengan doa yang mengandung keberkahan bagi bayi. Namun, tidak ada
rincian seperti apakah lafal doa tersebut, karena dalam hadits tersebut
tidak sebutkan teks doanya.
Jika mau, boleh diucapkan doa yang mengandung permohonan keberkahan
seperti: Allahumma barik lahu, atau Allahumma barik ‘alaih, atau
Allahumma barik fih. Secara bahasa doa-doa ini memiliki maksud yang sama
yakni agar bayi tersebut diberkahi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Pemberian Nama
Penamaan pada hari ketujuh, bukanlah keharusan, melainkan hanya
keutamaan saja (afdhaliyah). Boleh saja memberikan nama sebelum hari
ketujuh, sebab Rasulullah pernah menamakan anaknya yang baru lahir
dengan nama Ibrahim.
Dari Anas bin Malik beliau berkata, bahwa Rasulullah besabda: “Semalam
telah dilahirkan seorang bayi laki-laki bagiku. Saya namakan dia dengan
nama bapakku (maksudnya nenek moyangnya) yaitu Ibrahim.” (HR. Muslim no.
2355, Abu Daud no. 3126, dan Baihaqi IX/589)
Begitu pula beberapa sahabat seperti Abu Musa al Asy’ary, Abu Thalhah,
dan Zubeir bin Awwam, anak mereka dinamakan sebelum hari ketujuh.
Memberikan nama-nama yang baik
Hendaknya para orang tua memberikan nama-nama yang baik, dan jangan
terpengaruh oleh ucapan tokoh kafir Barat William Shakespare yang
mengatakan What is a name? (Apalah arti sebuah nama?) sebab dalam Islam
nama bukan sekadar label, tetapi juga doa, citra diri, dan identitas
seorang muslim.
Nama-nama yang disukai oleh Allah Ta’ala adalah nama-nama yang
menunjukkan sikap penghambaan seperti Abdullah, Abdurrahman, Abdul Aziz,
yang secara makna adalah sama yaitu hamba Allah.
Dari Ibnu Umar beliau berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Sesungguhnya
nama yang paling dicintai Allah adallah Abdullah dan Abdurrahman.” (HR.
Muslim III/1683, Tirmidzi V/132, Abu Daud IV/287, dan Ahmad II/24)
Bagus juga memberikan nama anak dengan nama para Nabi, seperti Ibrahim,
Yusuf, dan lain-lain. Sebagaimana yang Rasulullah contohkan ketika
menamakan anaknya dan anak Abu Musa dengan nama Ibrahim.
Dari Yusuf bin Abdullah bin Salam, dia berkata: “Rasulullah menamakan
saya Yusuf.” (Riwayat Bukhari dalam kitab Adabul Mufrad, hal. 249)
Nama-nama yang dibenci
Ada nama-nama yang dibenci (makruh) seperti barakah (mengandung berkah),
ya’la (yang tinggi), aflah (yang menang), yassar (yang mudah), nafi’
(yang bermanfaat). Nama-nama ini dibenci Karena mengandung makna
mengunggulkan diri (tazkiyatun nafs).
Dari Jabir bin Abdullah, beliau berkata: Rasulullah berkehendak melarang
penamaan dengan nama-nama seperti Ya’la, Barakah, Aflah, Yassar, Nafi’,
dan semisalnya. .. (HR. Muslim, XIII/1686)
Atau nama yang melambangkan kesombongan seperti Maha Raja, Raja Diraja, atau Syahhansyah. Hal ini didasrkan pada hadits:
Dari Abu Hurairah beliau berkata, bahwa Rasulullah bersabda: “Nama yang
paling buruk/keji di sisi Allah pada hari kiamat nanti adalah seseorang
yang bernama Malikul Amlak (Raja Diraja/Rajanya para raja).” (HR.
Bukhari, X/604, no. 6205)
Juga dibenci menamakan anak dengan nama-nama yang tidak jelas seperti
Juventus, atau nama yang mengandung kekufuran seperti musyrikah (wanita
musyrik), Jarimah (Kejahatan), atau Farji (kemaluan). Atau nama-nama
neraka seperti jahanam, wail, saqar. Atau nama-nama tokoh kafir Barat,
atau nama para ahli maksiat seperti artis dan lain-lain. Diharamkan pula
dengan nama Abdul Masih (Hamba al Masih), Abdul Uzza (hamba dewa uzza),
dan seluruh nama yang berarti penghambaan kepada selain Allah Ta’ala.
Dianjurkan Ganti Nama jika Terlanjur memiliki nama yang Buruk
Ini dicontohkan langsung oleh Rasulullah ketika ia memberikan nama-nama
para sahabatnya yang baru memeluk Islam. Boleh juga menggunakan nama
kun-yah, yaitu nama sandaran yang menjelaskan nasab. Contoh ada orang
bernama Abdullah atau apa saja, ia memiliki anak bernama Ahmad, maka ia
dipanggil Abu Ahmad (Bapaknya si Ahmad). Atau seorang anak bernama Ahmad
punya bapak bernama Abdullah, maka ia dipanggil Ibnu Abdillah (Anaknya
si Abdullah).
Mendidik Anak sejak Usia Dini
Sejak dini anak ditanamkan nilai-nilai tauhidullah (keesaan Allah).
Ma’rifatullah (mengenal Allah) adalah tema pertama yang kita ajarkan
kepada anak-anak, tentu dengan bahasa dan contoh-contoh yang sederhana.
Agar terpatri dalam ruang pikirnya, siapa penciptanya, siapa pemberi
rizki, siapa pengatur hidup, siapa penguasa alam, siapa yang pantas
disembah, siapa yang menghidupkan dan mematikan, dll. Agar ia tidak
mudah ternoda oleh kepercayaan yang sifatnya tahayul, mitos, dan
khurafat, yang biasanya berkembang dan sangat melekat di masyarakat.
Sejak dini juga ditanamkan pendidikan ma’rifaturrasul (mengenal
Rasulullah), agar ia memiliki teladan yang mampu menjadi pemandu
hidupnya, dan tidak salah pilih idola. Apalagi, saat ini banyak para
artis, atau tokoh-tokoh khayalan dan rekaan yang mencoba merebut hati
para anak-anak kita, baik cerita rakyat seperti Gatot Kaca atau dari
Barat seperti Superman, Batman, Satria Baja Hitam, Power Rangers.
Sekadar tahu tokoh-tokoh ini tidak ada masalah, namun jadi masalah jika
anak menjadikan mereka sebagai teladan hidupnya, dan melupakan
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam.
Sejak dini juga ditanamkan tarbiyah akhlaqiyah wa sulukiyah (pembinaan
akhlak dan perilaku). Agar anak menghormati orang tua dan yang lebih
tua, atau menyayanyi yang lebih muda. Agar anak tahu adab makan, minum,
berjalan, berpakaian, dan berbicara, serta adab-adab lainnya. Supaya
mereka menyayangi sahabat dan memaafkan musuh. Agar mereka tahu juga
batasan-batasan pergaulan dengan lawan jenis, agar tidak terjadi fitnah
dikemudian hari.
Sejak dini juga diperkenalkan dengan tokoh-tokoh Islam, mulai para
sahabat nabi, para Imam dan ulama, para pahlawan dan mujahidin Islam,
baik dalam atau luar negeri. Bukan justru memperkenalkan mereka dengan
bintang film, penyanyi, pemain sepak bola, atau penghibur yang
membuatnya jauh dari Allah dan kewajiban-kewajiban agama.
Hendaknya dirumah sering diperdengarkan ayat-ayat Allah, lantunan ayat
suci Al Qur’an baik dibaca sendiri oleh orang tua, atau melalui
kaset-kaset muratal para Imam Mesjid di Timur Tengah. Ini lebih baik dan
sangat baik demi keberkahan rumah dan turunnya rahmat Allah. Paling
tidak, syair-syair Islam seperti nasyid-nasyid Islami yang tidak
melampui batas dan tidak melalaikan.
Terakhir, sediakanlah anak-anak kita buku-buku bacaan yang mendidik,
yang mampu menambah pengetahuan agama dan akademik, serta iman mereka.
Seperti buku-buku kisah tentang para nabi, sahabat, atau buku-buku doa
sederhana, hadits-hadits, atau majalah Islam anak-anak. Dampingilah
mereka untuk membantu memahaminya, sebagaimana kita dampingi mereka
ketika nonton televisi agar bisa menjauhi tontonan yang tidak pantas.
(Sebagusnya cegah mereka dari televisi, hingga saatnya nanti mereka bisa
membedakan mana baik mana buruk).
Jika ini sudah kita lakukan, berdoalah mudah-mudahan anak kita terbentuk
oleh kebiasaan Islami, yang akan mewarnai dan membentuk kehidupannya
setelah dewasa nanti. Sebagaimana kata pepatah Arab:
Man syabba fii syai’iin syaaba ‘alaih (Barang siapa yang dididik dengan
sesuatu, maka sesuatu itulah yang akan membentuk dirinya hingga dewasa
nanti)
Di antara kewajiban anda menumbuhkan sejak dini kecintaan terhadap Allah
dan Rasul-Nya serta mencintai ajaran Islam. Hendaknya anda kabarkan
bahwa Allah memiliki neraka dan surga. Neraka Allah sangat panas, bahan
bakarnya dari manusia dan batu.
Berikut ini sebuah kisah yang memiliki pelajaran;
Ibnu Al-Jauzi berkata,
"Ada seorang raja yang memiliki banyak harta. Dia memiliki anak tunggal
wanita, tidak ada lagi anak selainnya, karenanya dia sangat mencintainya
dan sangat memanjakannya dengan berbagai mainan. Hal tersebut
berlangsung sekian lama. Suatu saat ada seorang ahli ibadah yang
bermalam di rumah sang raja. Maka di malam hari dia membaca Al-Quran
dengan suara keras, dia membaca, "Wahai orang beriman, peliharalah diri
kalian dan keluarga kalian dari neraka, bahan bakarnya dari manusia dan
batu." Sang puteri mendengar bacaannya, lalu dia berkata kepada para
pembantunya, 'Hentikan dia.' Tapi para pembantunya tidak menghentikannya
sehingga orang tersebut terus mengulang-ulang bacanya. Maka dia
masukkan tangannya ke bajunya dan merobeknya. Lalu para pembantunya
melaporkan kejadian tersebut kepada sang bapak. Maka sang bapak
menemuinya seraya berkata dan memeluknya, "Apa yang engkau alami malam
ini anakku sayang." Sang anak berkata, "Aku bertanya kepadamu demi Allah
wahai ayah, apakah Allah Azza wa Jalla memiliki neraka yang bahan
bakarnya manusia dan batu?" Dia berkata, "Ya," Maka sang anak berkata,
"Apa yang menghalangimu untuk memberitahu aku hal ini. Demi Allah, aku
tidak akan memakan makanan lezat dan tidur di tempat yang empuk sebelum
aku mengetahui dimana tempatku, di surga atau neraka."
(Shofwatu Ash-Shafwah, 4/437-438)
Selayaknya anda menjauhkan mereka dari tempat-tempat keburukan dan
kelalaian. Jangan biarkan mereka dididik dengan cara yang buruk, baik
melalui televisi atau selainnya dan kemudian anda mengharapkan
kesalehannya. Orang yang menanam duri tidak akan memanen anggur.
Hendaknya pendidikan tersebut telah ditanam sejak kecil agar mudah
baginya ketika dia sudah besar untuk memerintah dan melarangnya, dan
mudah baginya untuk mentaati anda.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash radhiallahu anhuma, dia berkata,
Rasulullah shallallah alaihi wa sallam bersabda, "Perintahkan anak
kalian untuk melakukan shalat saat mereka berusia tujuh tahun, dan
pukullah mereka apabila berusia sepuluh tahun, lalu pisahkan ranjang di
antara mereka." (HR. Abu Daud, no. 495, dishahihkan oleh Al-Albany dalam
Shahih Al-Jami, no. 5868)
Akan tetapi hendaknya bagi pendidik untuk bersikap lembut dan santun,
memudahkan dan akrab, tidak berkata kasar, berlaku keras dan
mendiskusikan dengan cara yang baik. Hindari celaan dan caci maki hingga
pukulan. Kecuali jika sang anak durhaka dan menganggap remeh perintah
bapaknya, meninggalkan perkara yang diwajibkan dan melakukan perkara
yang diharamkan. Ketika itu diutamakan bersikap namun tidak sampai
menimbulkan bahaya.
Al-Manawi berkata,
"Seseorang yang mendidik anaknya ketika dia berusia balig dan telah
berakal dengan pendidikan yang dapat mengantarkannya pada akhlak
orang-orang saleh dan melindunginya agar tidak bergaul dengan
orang-orang rusak, kemudian mengajarkannya Al-Quran, adab, bahasa Arab,
kemudian dia memperdengarkan sang anak kisah-kisah dan ucapan para
salaf, lalu mengajarkannya ajaran agama yang tidak boleh ditinggalkan,
kemudian dia mengancam memukulnya apabila sang anak tidak shalat, semua
itu lebih baik baginya daripada dia bersadaqah satu sha'. Karena jika
dia mendidiknya, maka perbuatannya termasuk shadaqah jariyah, sementara
sadaqah satu sha', pahalanya akan terputus. Sementara yang pertama tetap
terus mengalir selama sang anak masih ada. Dan adab adalah makanan jiwa
dan pendidikannya untuk akhirat kelak ‘Jagalah diri kamu semua dan
keluargamu dari api neraka.’ SQ. At-Tahrim: 6.
Penjagaan anda dan anak anda diantaranya dengan menashati dan
mengingatkan api neraka. Meluruskan adabnya dengan berbagai macam
pendidikan. Diantara adanya adalah memberi nasehat, hukuman, ancaman,
pukulan, menyendirikan, memberikan pemberian, hadian dan kebaikan.
Sehingga pendidikan jiwa agar menjadi (jiwa) yang bersih dan mulia bukan
mendidik jiwa yang tidak disuka lagi tercela. ‘Faidul Qadir, 5/257.’
Pukulan hanyalah sarana agar anak istiqamah, dia bukan merupakan tujuan,
akan tetapi hanya digunakan jika sang anak terus menerus membandel dan
menentangnya.
Syariat telah menetapkan peraturan sanksi dalam Islam, dan hal itu
banyak dalam Islam, seperti hukum zina, mencuri, menuduh berzina (tanpa
bukti) dan sebagainya. Semuanya itu disyariatkan agar manusia istiqamah
dan menghindari perbuatan buruk.
Dalam hal inilah Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam berpesan untuk mengajarkan seorang bapak agar anak menurutinya.
Dari Ibnu Abbas, dari Rasulullah shallallahu alaihi wa sallam bersabda,
" علقوا السوط حيث يراه أهل البيت ، فإنه أدب لهم " . رواه الطبراني ( 10 /
248 ) . والحديث : حسّن إسنادَه الهيثمي في " مجمع الزوائد " ( 8 / 106 ) .
"Gantungkan pecut di tempat yang dapat dilihat keluarga, karena itu merupakan pendidik bagi mereka." (HR. Thabrani, 10/248)
Hadits ini dinyatakan hasan oleh Al-Haitsami dalam Majma Zawaid (8/106)
Al-Albany menyatakan dalam shahih Al-Jami, no. 4022, hadits ini hasan.
Pendidikan anak hendaknya berimbang antara anjuran dan peringatan. Yang
lebih penting dari itu semua adalah memperbaiki lingkungan tempat anak
tinggal dengan mewujudkan sebab-sebab hidayah bagi mereka, yaitu dengan
komitmennya pendidik dan pengasuh mereka yang tak lain adalah kedua
orang tua mereka.
Diantara metoda sukses para pendidik dalam mendidik anaknya adalah
dengan mempergunakan alat rekaman untuk mendengarkan nasehat, kaset
Al-Qur’an, khutbah, pelajaran para ulama’ dimana hal banyak sekali.
Pendidikan anak adalah perkara yang sangat penting di dalam Islam. Di
dalam Al-Quran kita dapati bagaimana Allah menceritakan petuah-petuah
Luqman yang merupakan bentuk pendidikan bagi anak-anaknya. Begitu pula
dalam hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kita temui
banyak juga bentuk-bentuk pendidikan terhadap anak, baik dari perintah
maupun perbuatan beliau mendidik anak secara langsung.
Seorang pendidik, baik orangtua maupun guru hendaknya mengetahui betapa
besarnya tanggung-jawab mereka di hadapan Allah ‘azza wa jalla terhadap
pendidikan putra-putri islam.
Tentang perkara ini, Allah azza wa jalla berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا قُوا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيكُمْ نَارًا وَقُودُهَا النَّاسُ وَالْحِجَارَةُ
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari
api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu”. (At-Tahrim: 6)
Dan di dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Al-Bukhari dan
Al-Imam Muslim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
كُلُّكُمْ رَاعٍ وَمَسْئُوْلٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ
“Setiap di antara kalian adalah pemimpin dan akan dimintai pertanggungjawaban”
Untuk itu -tidak bisa tidak-, seorang guru atau orang tua harus tahu apa
saja yang harus diajarkan kepada seorang anak serta bagaimana metode
yang telah dituntunkan oleh junjungan umat ini, Rasulullah Muhammad
shallallahu ‘alaihi wasallam. Beberapa tuntunan tersebut antara lain:
Menanamkan Tauhid dan Aqidah yang Benar kepada Anak
Suatu hal yang tidak bisa dipungkiri bahwa tauhid merupakan landasan
Islam. Apabila seseorang benar tauhidnya, maka dia akan mendapatkan
keselamatan di dunia dan akhirat. Sebaliknya, tanpa tauhid dia pasti
terjatuh ke dalam kesyirikan dan akan menemui kecelakaan di dunia serta
kekekalan di dalam adzab neraka. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman:
إِنَّ اللَّهَ لَا يَغْفِرُ أَنْ يُشْرَكَ بِهِ وَيَغْفِرُ مَا دُونَ ذَلِكَ لِمَنْ يَشَاءُ
“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan mengampuni
yang lebih ringan daripada itu bagi orang-orang yang Allah kehendaki”
(An- Nisa: 48)
Oleh karena itu, di dalam Al-Quran pula Allah kisahkan nasehat Luqman kepada anaknya. Salah satunya berbunyi,
يَا بُنَيَّ لَا تُشْرِكْ بِاللَّهِ إِنَّ الشِّرْكَ لَظُلْمٌ عَظِيمٌ
“Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya
mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezhaliman yang
besar”.(Luqman: 13)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri telah memberikan contoh
penanaman aqidah yang kokoh ini ketika beliau mengajari anak paman
beliau, Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma dalam sebuah hadits yang
diriwayatkan oleh Al-Imam At-Tirmidzi dengan sanad yang hasan.
Ibnu Abbas bercerita,
“Pada suatu hari aku pernah berboncengan di belakang Nabi (di atas
kendaraan), beliau berkata kepadaku: “Wahai anak, aku akan mengajari
engkau beberapa kalimat: Jagalah Allah, niscaya Allah akan menjagamu.
Jagalah Allah, niscaya engkau akan dapati Allah di hadapanmu. Jika
engkau memohon, mohonlah kepada Allah. Jika engkau meminta tolong, minta
tolonglah kepada Allah. Ketahuilah. kalaupun seluruh umat (jin dan
manusia) berkumpul untuk memberikan satu pemberian yang bermanfaat
kepadamu, tidak akan bermanfaat hal itu bagimu, kecuali jika itu telah
ditetapkan Allah (akan bermanfaat bagimu). Ketahuilah. kalaupun seluruh
umat (jin dan manusia)berkumpul untuk mencelakakan kamu, tidak akan
mampu mencelakakanmu sedikitpun, kecuali jika itu telah ditetapkan Allah
(akan sampai dan mencelakakanmu). Pena telah diangkat, dan telah kering
lembaran-lembaran”.
Perkara-perkara yang diajarkan oleh Rasulllah shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Ibnu Abbas di atas adalah perkara tauhid.
Termasuk aqidah yang perlu ditanamkan kepada anak sejak dini adalah
tentang di mana Allah berada. Ini sangat penting, karena banyak kaum
muslimin yang salah dalam perkara ini. Sebagian mengatakan bahwa Allah
ada dimana-mana. Sebagian lagi mengatakan bahwa Allah ada di hati kita,
dan beragam pendapat lainnya. Padahal dalil-dalil menunjukkan bahwa
Allah itu berada di atas arsy, yaitu di atas langit. Dalilnya antara
lain,
“Ar-Rahman beristiwa di atas ‘Arsy” (Thaha: 5)
Makna istiwa adalah tinggi dan meninggi sebagaimana di dalam riwayat Al-Bukhari dari tabi’in.
Adapun dari hadits,
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya kepada seorang budak
wanita, “Dimana Allah?”. Budak tersebut menjawab, “Allah di langit”.
Beliau bertanya pula, “Siapa aku?” budak itu menjawab, “Engkau
Rasulullah”. Rasulllah kemudian bersabda, “Bebaskan dia, karena
sesungguhnya dia adalah wanita mu’minah”. (HR. Muslim dan Abu Daud).
Mengajari Anak untuk Melaksanakan Ibadah
Hendaknya sejak kecil putra-putri kita diajarkan bagaimana beribadah
dengan benar sesuai dengan tuntunan Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam. Mulai dari tata cara bersuci, shalat, puasa serta beragam
ibadah lainnya.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
صَلُّوا كَمَا رَأَيْتُمُونِي أُصَلِّي
“Shalatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku shalat” (HR. Al-Bukhari).
“Ajarilah anak-anak kalian untuk shalat ketika mereka berusia tujuh
tahun, dan pukullah mereka ketika mereka berusia sepuluh tahun (bila
tidak mau shalat-pen)” (Shahih. Lihat Shahih Shahihil Jami’ karya
Al-Albani).
Bila mereka telah bisa menjaga ketertiban dalam shalat, maka ajak pula
mereka untuk menghadiri shalat berjama’ah di masjid. Dengan melatih
mereka dari dini, insya Allah ketika dewasa, mereka sudah terbiasa
dengan ibadah-ibadah tersebut.
Mengajarkan Al-Quran, Hadits serta Doa dan Dzikir yang Ringan kepada Anak-anak
Dimulai dengan surat Al-Fathihah dan surat-surat yang pendek serta doa
tahiyat untuk shalat. Dan menyediakan guru khusus bagi mereka yang
mengajari tajwid, menghapal Al-Quran serta hadits. Begitu pula dengan
doa dan dzikir sehari-hari. Hendaknya mereka mulai menghapalkannya,
seperti doa ketika makan, keluar masuk WC dan lain-lain.
Mendidik Anak dengan Berbagai Adab dan Akhlaq yang Mulia
Ajarilah anak dengan berbagai adab Islami seperti makan dengan tangan
kanan, mengucapkan basmalah sebelum makan, menjaga kebersihan,
mengucapkan salam, dll.
Begitu pula dengan akhlak. Tanamkan kepada mereka akhlaq-akhlaq mulia
seperti berkata dan bersikap jujur, berbakti kepada orang tua, dermawan,
menghormati yang lebih tua dan sayang kepada yang lebih muda, serta
beragam akhlaq lainnya.
Melarang Anak dari Berbagai Perbuatan yang Diharamkan
Hendaknya anak sedini mungkin diperingatkan dari beragam perbuatan yang
tidak baik atau bahkan diharamkan, seperti merokok, judi, minum khamr,
mencuri, mengambil hak orang lain, zhalim, durhaka kepada orang tua dan
segenap perbuatan haram lainnya.
Termasuk ke dalam permasalahan ini adalah musik dan gambar makhluk
bernyawa. Banyak orangtua dan guru yang tidak mengetahui keharaman dua
perkara ini, sehingga mereka membiarkan anak-anak bermain-main
dengannya. Bahkan lebih dari itu –kita berlindung kepada Allah-,
sebagian mereka menjadikan dua perkara ini sebagai metode pembelajaran
bagi anak, dan memuji-mujinya sebagai cara belajar yang baik!
Padahal Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bersabda tentang musik,
لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ اَلْحِرَ وَالْحَرِيْرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ
“Sungguh akan ada dari umatku yang menghalalkan zina, sutra, khamr dan
al-ma’azif (alat-alat musik)”. (Shahih, HR. Al-Bukhari dan Abu Daud).
Maknanya: Akan datang dari muslimin kaum-kaum yang meyakini bahwa
perzinahan, mengenakan sutra asli (bagi laki-laki), minum khamar dan
musik sebagai perkara yang halal, padahal perkara tersebut adalah haram.
Bahkan lonceng juga, karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda,
“Lonceng itu serulingnya syaithan”. (HR. Muslim).
Adapun tentang gambar, guru terbaik umat ini (Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam) telah bersabda,
كُلُّ مُصَوِّرٍ فِي النَّارِ، يَجْعَلُ لَهُ بِكُلِّ صُوْرَةٍ صَوَّرَهَا نَفْسًا فَتُعَذِّبُهُ فِي جَهَنَّمَ
“Seluruh tukang gambar (mahluk hidup) di neraka, maka kelak Allah akan
jadikan pada setiap gambar-gambarnya menjadi hidup, kemudian
gambar-gambar itu akan mengadzab dia di neraka jahannam”(HR. Muslim).
إِنِّ أَشَدَّ النَّاسِ عَذَاباً عِنْدَ اللهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ اَلْمُصَوِّرُوْنَ
“Sesungguhnya orang-orang yang paling keras siksanya di sisi Allah pada hari kiamat adalah para tukang gambar.” (HR. Muslim).
Oleh karena itu hendaknya kita melarang anak-anak kita dari menggambar
mahkluk hidup. Adapun gambar pemandangan, mobil, pesawat dan yang
semacamnya maka ini tidaklah mengapa selama tidak ada gambar makhluk
hidupnya.
Menanamkan Cinta Jihad serta Keberanian
Bacakanlah kepada mereka kisah-kisah keberanian Nabi dan para sahabatnya
dalam peperangan untuk menegakkan Islam agar mereka mengetahui bahwa
beliau adalah sosok yang pemberani, dan sahabat-sahabat beliau seperti
Abu Bakr, Umar, Utsman, Ali dan serta para tokoh pemberani lain yang
telah membebaskan negeri-negeri.
Didiklah mereka agar berani beramar ma’ruf nahi munkar, dan hendaknya
mereka tidaklah takut melainkan hanya kepada Allah. Dan tidak boleh
menakut-nakuti mereka dengan cerita-cerita bohong, horor serta menakuti
mereka dengan gelap.
Membiasakan Anak dengan Pakaian yang Syar’i
Hendaknya anak-anak dibiasakan menggunakan pakaian sesuai dengan jenis
kelaminnya. Anak laki-laki menggunakan pakaian laki-laki dan anak
perempuan menggunakan pakaian perempuan. Jauhkan anak-anak dari
model-model pakaian barat yang tidak syar’i, bahkan ketat dan
menunjukkan aurat.
Tentang hal ini, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang meniru sebuah kaum, maka dia termasuk mereka.” (Shahih, HR. Abu Daud)
Untuk anak-anak perempuan, biasakanlah agar mereka mengenakan kerudung
penutup kepala sehingga ketika dewasa mereka akan mudah untuk mengenakan
jilbab yang syar’i.
Demikianlah beberapa tuntunan dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam dalam mendidik anak. Hendaknya para orang tua dan pendidik bisa
merealisasikannya dalam pendidikan mereka terhadap anak-anak. Dan
hendaknya pula mereka ingat, untuk selalu bersabar, menasehati
putra-putri Islam dengan lembut dan penuh kasih sayang. Jangan membentak
atau mencela mereka, apalagi sampai mengumbar-umbar kesalahan mereka.
Membimbingnya dalam Memilih Jodoh jika sudah pada saatnya
Jodoh memang rahasia Allah Ta’ala, selaku orang beriman kita wajib
meyakininya. Namun selaku orang berakal, kita dituntut mempersiapkannya
secara rasional sejauh yang kita mampu. Hendaknya orang tua tidak lepas
tangan dengan masalah jodoh anak-anaknya. Anak memiliki hak untuk
menentukan calon pendamping hidupnya, tetapi orang tua berkewajiban
mengarahkan, memberi pertimbangan, dan masukan, walau akhirnya anak juga
yang memutuskan.
Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam telah memberikan arahan bagi umatnya urusan pernikahan ini, sabdanya:
“Wanita dinikahkan karena empat hal, karena kecantikannya, hartanya,
keturunannya, dan agamanya. Pilihlah karena agamanya, niscaya kau akan
beruntung.”(HR. Bukhari dan Muslim)
Maksud dari ‘pilihlah karena agamanya’ adalah pilihlah karena
keshalihannya, sebagaimana hadits: “Dunia adalah perhiasan, dan
sebaik-baik perhiasan dunia adalah isteri yang shalihah.”
Berkata Umar bin al Khathab, “Nikahilah anak gadis kalian dengan
laki-laki shalih, sebab jika ia (laki-laki shalih) sedang marah, ia
tidak akan berbuat zalim, jika ia ridha ia akan amat menjaga.”
Hendaknya orang tua mempermudah urusan pernikahan, sebab memang
pernikahan dalam Islam adalah perkara agung yang simple. Namun, tradisi
dan adatlah yang membuatnya menjadi rumit dan njelimet (susah). Harus
ini, harus itu, begini dan begitu, yang sebenarnya tidak ada dasarnya
dalam Islam. Namun, anehnya itulah yang menjadi pedoman bagi pernikahan
mereka, bukan berpedoman kepada Al Qur’an dan As Sunnah.
Semoga bisa bermanfaat, terutama bagi orangtua dan para pendidik.