Mataram mencapai puncak kejayaannya pada masa Sultan Agung. Setelah
Sultan Agung digantikan dengan raja-raja berikutnya, kerajaan Mataram
banyak mengalami kemunduran.
Amangkurat I
Amangkurat I lahir sekitar tahun 1619 M dan merupakan anak kesepuluh
dari Istri kedua Sultan Agung Mataram, Ratu Kulon dari Cirebon.
Pengangkatan dirinya sebagai sultan Mataram pasca mangkatnya Sultan
Agung kemudian dianggap menandai masa awal kemunduran Kerajaan Mataram.
Sejarawan Belanda terkenal telah membuat buku khusus mengenai masa-masa
ini, dengan judul “De regering van Sunan Mangkurat I Tegal Wangi, vorst
van Mataram, 1646-1677” yang diterbitkan di Indonesia oleh penerbit
Grafitipress tahun 1987 menjadi dua buku dengan judul “Disintegrasi
Mataram di Bawah Mangkurat I” dan “Runtuhnya Istana Mataram”. Dari
judulnya, kita sudah bisa menyimpulkan bahwa keruntuhan Mataram berada
di bawah tanggung jawab sang Amangkurat I ini.
Ketika itu Raja Amangkurat I bertindak sekehendaknya sendiri, tidak
seperti biasanya. Ia sering melakukan tindak kekerasan, dan selalu
bermain siasat. Para Bupati, para mantri dan keluarga istana bertindak
semaunya dengan menyalah-gunakan kedudukan mereka. Tertib bernegara
rusak. Seluruh penduduk Mataram dirundung ketakutan. Sering terjadi
gerhadan bulan dan matahari. Hujan menyalahi musim dan buntang-berekor
terlihat setiap malam. Terjadi pula hujan abu dan gempa bumi. Banyak
pertanda jelek menampakkan diri. Ini semua petunjuk bahwa negara akan
rusak.
Sifat-sifat otoriter Amangkurat telah terlihat setelah ia terpilih jadi
Sultan Mataram tahun 1646 M. Pertama-tama ia memindahkan ibukota
kerajaan dari Kota Gede ke Plered tahun 1647 M. Kepada rakyatnya ia
memerintahkan “Kamu semua harus membuat batu bata, karena saya mau
angkat kaki dari Karta, saya ingin membangun kota di Plered” (Meinsma,
1874). Berbeda dengan keraton di Karta (Kota Gede) yang terbuat dari
kayu, kali ini sang Sultan membangun Keraton yang terbuat dari batu bata
dan dikelilingi parit besar. Pada tahun 1668, ketika utusan Belanda,
Abraham Verspreet mengunjungi keraton Plered, ia menggambarkan keraton
tersebut sebagai sebuah pulau di tengah danau. Pengasingan diri dengan
sengaja ini cocok seluruhnya dengan watak Sunan Amangkurat yang tidak
suka bergaul.
Pada tahun-tahun pertama kekuasaannya, watak buruk Amangkurat yang lain
mulai tampak. Perlu diketahui bahwa sebelum ia menjadi Sultan dan masih
menjadi putra mahkota, ia pernah terlibat skandal yang melibatkan istri
seorang abdi dalem senior, Tumenggung Wiraguna. Ketika telah berkuasa,
Amangkurat membalas dendamnya dengan cara mengirim Tumenggung Wiraguna
untuk menumpas ekspansi pasukan Bali di Blambangan. Di tempat yang jauh
dari keluarga dan para pendukungnya itu, Wiraguna dibunuh. Menurut satu
riwayat, pembunuhnya adalah “Kiai Ngabei Wirapatra, orang kesayangan
terdekat Sultan…” Tidak hanya itu, Amangkurat juga memerintahkan
pasukannya untuk membasmi semua orang yang pernah terlibat melaporkan
tindakan skandal yang dahulu dilakukannya kepada ayahnya Sultan Agung.
Perintah tersebut mengakibatkan hilangnya nyawa ribua wanita dan anak
yang tidak bersalah, termasuk keluarga Tumenggung Wiraguna.
Adik sang Sultan Amangkurat, Pangeran Alit merasa turut terancam karena
sebenarnya ia termasuk ke dalam kelompok Tumenggung Wiraguna. Ketika
seluruh teman-teman terbaiknya telah dibantai, Pangeran Alit mulai
mendekati pemuka-pemuka Islam untuk menghilangkan kecurigaan. Di saat
yang bersama ia mengumpulkan kawan-kawannya untuk melancarkan serangan
terhadap sang Kakak. Mengetahui adanya plot tersebut, Amangkurat kembali
menghabisi sebagian pendukung adiknya. Akibat dari provokasi tersebut,
Pangeran Alit beserta kekuatan sekitar 60 orang pendukungnya, menyerbu
alun-alun keraton dalam sebuah “pertarungan berdarah penghabisan” tahun
1647. Kekuatan Pangeran Alit tersebut tidak sebanding dengan pasukan
Raja yang membasmi penyerangan tersebut dengan mudah, hingga menyisakan
Pangeran Alit seorang. Menurut catatan Belanda yang dipercaya, sang
Sultan akhirnya membiarkan para Mantrinya untuk membunuh pangeran Alit
atas alasan “pembelaan diri”, dengan itu bersihlah tangan sang
Amangkurat dari darah adiknya sendiri.
Beberapa waktu kemudian sang Sultan kembali membunuh pemuka-pemuka agama
Islam yang menurutnya telah memprovokasi sang Adik untuk menyerbunya.
Menurut satu riwayat, dengan isyarat suara tembakan meriam dari Istana,
tindakan pembantaian pun dimulai, dengan korban 5 sampai 6 ribu jiwa
pemuda, anak-anak hinga wanita. Pada tahun 1659, Amangkurat kembali
melakukan pembunuhan, kali ini terhadap Mertuanya sendiri, Pangeran
Pekik beserta anggota keluarganya yang dituduh merencanakan pembunuhan
terhadap sang Sultan.
Demikianlah gambaran tindakan Amangkurat yang mempengaruhi masa
kehancuran Mataram, bahkan dalam laporan umum VOC di Batavia tanggal 16
Desember 1659, dikemukakan keyakinan bahwa apabila peperangan terjadi,
Sang Sultan “tidak akan mudah meninggalkan istana Mataram karena di luar
istana itu ia tidak merasa aman; dan ia pun tidak akan mempercayakan
sebagian kekuatan tentaranya kepada pembesar manapun, karena kelaliman
pemerintahan yang dilakukannya menjadikan ia ditakuti dan dibenci setiap
orang”.
Prediksi kompeni tersebut benar terjadi. Para penguasa lokal mulai
menunjukan ketidaksukaanya terhadap penguasa Mataram. Satu per satu
pangeran penguasa lungguh (tanah warisan) dan anggota keluarga Sunan
sendiri mulai menentang kekuasaanya. Di daerah Jawa Timur, muncul
kekuatan baru yang dipimpin Trunojoyo dari Madura menentang kekuasaan
Mataram. Kekuatan Trunojoyo bertambah kuat seiring meningkatnya
ketidakpuasan para pejabat dan masyarakat Mataram terhadap Amangkurat.
Untuk menghadapi kekuatan Trunojoyo, Amangkurat mulai mendekati VOC
untuk membantunya. VOC sendiri lebih suka berhubungan dengan Amangkurat
daripada dengan Trunojoyo yang dianggapnya berbahaya. Pada bulan
Desember 1676 VOC mengutus
Speelman ke Jepara dengan 1200 orang tentara untuk membantu angkatan
perang Amangkurat. Sebagai gantinya, Kompeni menuntut Amangkurat
mengganti kerugian perang dan memberikan sebagian daerah kekuasaanya.
Pemberontakan Trunojoyo
Singkatnya, tanggal 28 Juni 1677 pasukan Trunajaya berhasil mengalahkan
kekuatan Mataram-VOC dan memasuki keraton Plered. Namun sebelumnya, pada
malam hari Amangkurat I beserta beberapa anggota keluarga dan putranya
telah melarikan diri dari Keraton, bermaksud menuju Cirebon untuk
berlindung ke Belanda. Amangkurat kemudian wafat dalam upaya pelarian
tersebut, pada tanggal 13 Juli 1677 di desa Wanayasa, Banyumas.
Sebelumnya ia berwasiat agar anaknya, Mas Rahmat kembali bekerja sama
dengan VOC untuk merebut kembali takhta dari tangan Trunajaya. Mas
Rahmat inilah yang nantinya bergelar Amangkurat II dan mendirikan
Kasunanan Kartasura sebagai kelanjutan Kesultanan Mataram. Amangkurat I
juga berwasiat untuk dimakamkan dekat gurunya di Tegal. Karena tanah
daerah tersebut berbau harum, maka desa tempat Amangkurat I dimakamkan
kemudian disebut Tegalwangi atau Tegalarum.
Pasca kematian Amangkurat I, kekuasaan VOC semakin kuat di nusantara,
apalagi setelah keturunannya Amangkurat II berhasil membunuh Trunojoyo.
Setelah itu, VOC menuntut pembayaran atas biaya perang yang telah
dikeluarkan, maka berdasarkan perjanjian tahun 1678 jatuhlah kawasan
Priangan ke tangan Belanda dari Mataram atas alasan penggantian biaya
perang. Sejak itu juga, kekuasaan Mataram mengalami degradasi dan
perpecahan.
Amangkurat II yang juga pada tahun 1659 mendapat nama Pangeran Anom dan
dua tahun kemudian menjadi Pangeran Adipati. Amangkurat II memiliki
perangai yang buruk berkaitan dengan berahinya seperti kebiasaannya
keluar setiap setiap malam untuk memperkosa wanita dan gadis muda. Hal
ini membuat para pembesar dan rakyat kecil membencinya. Mereka pantang
mempunyai istri yang cantik karena selama lima atau enam tahun istri
mereka diminta dan digauli baru setelah itu dikembalikan kepada
suaminya. Suatu sumber menyebutkan bahwa Adipati Anom berkomplot dengan
Pangeran Purbaya untuk menyingkirkan Sunan Amangkurat I selagi ia masih
memimpin.
Pada tahun 1677 M terjadilah Perang Trunajaya yang mendapat dukungan
dari kaum ulama, bangsawan, bahkan Putra Mahkota sendiri. Hingga ibukota
Plered jatuh (28 Juni 1677) dan melarikan diri untuk mencari bantuan
VOC. Saat dalam pelarian, Amangkurat I sakit, dan kemudian wafat pada
tanggal 13 Juli 1677 M di Tegalarum.
Amangkurat II
Setelah Amangkurat I wafat, kemudian digantikan oleh Amangkurat II
(Adipati Anom) bertahta dari tahun 1677-1703. Ia sangat tunduk kepada
VOC demi mempertahankan tahtanya. Pada akhirnya Trunajaya berhasil
dibunuh oleh Amangkurat II dengan bantuan VOC dan sebagai kompensasinya
VOC menghendaki perjanjian yang berisi: Mataram harus menggadaikan
pelabuhan Semarang dan Mataram harus mengganti kerugian akibat perang.
Oleh karena keraton Kerta telah rusak, ia memindahkan kratonnya ke
Kertasura (1681 M). Kraton dilindungi oleh benteng tentara VOC. Pada
masa ini Amangkurat II berhasil menyelesaikan persoalan Pangeran Puger
(adik Amangkurat II). Namun karena tuntutan VOC kepadanya untuk membayar
ganti rugi biaya perang dalam perang Trunajaya, Mataram lantas
mengalami kesulitan keuangan. Dalam kesulitan itu ia berusaha ingkar
kepada VOC dengan cara mendukung Surapati yang menjadi musuh dan buron
VOC.
Amangkurat III vs Paku Buwana I (Pangeran Puger)
Hubungan Amangkurat II dan VOC menjadi tegang dan semakin memuncak.
Setelah Amangkurat II mangkat dan digantikan oleh putranya, Amangkurat
III. Ia juga menentang VOC, maka VOC tidak setuju dengan penobataanya
dan lantas secara sepihak mengakui Pangeran Puger sebagai raja Mataram
dengan gelar Paku Buwana I. Hal inilah yang menyebabkan terjadinya
perang saudara yang dikenal dengan sebutan Perang Perebutan Mahkota I
(1704-1708). Akhirnya Amangkurat III menyerah dan dibuang ke Sailan
ooleh VOC. Sementara Pakubuwana I harus membayar ongkos perang dengan
menyerahkan Priangan, Cirebon, dan Madura bagian Timur kepada VOC.
Amangkurat IV
Setelah Paku Buwana I meninggal pada tahun 1719. Ia digantikan oleh
putranya Sunan Prabu atau Amangkurat IV (1719-1727). Dalam masa
pemerintahannya terjadi Perang Perebutan Mahkota II (1917-1723), seperti
biasa VOC turut andil dalam konflik ini.
Paku Buwana II
Sunan Prabu meninggal pada tahun 1727 dan diganti oleh Paku Buana II
(1727-1749). Hubungan manis VOC dan Paku Buwana II menyebabkan rasa
tidak suka golongan bangsawan yang merasa terancam akan peranannya dalam
ekonomi. Hal ini menimbulkan pemberontakan Geger Patjina yang dipimpin
oleh Raden Mas Said. Untuk menyelesaikan pemberontakan ini Paku Buwana
II mengutus adiknya, Pangeran Mangkubumi dengan menjanjikan hadiah tanah
di Sukowati (Sragen sekarang). Ketika Mangkubumi berhasil, Paku Buwana
II justru mengingkarinya, sehingga Mangkubumi berdamai dengan Raden Mas
Said dan berbalik melakukan pemberontakan yang disebut sebagai Perang
Perebutan Mahkota III (1714-1755). Paku Buwana II dan VOC tak mampu
menghadapi 2 bangsawan yang didukung oleh rakyat tersebut, hingga
akhirnya Paku Buwana II jatuh sakit dan wafat pada 1749 M.
Paku Buwana III
Namun menurut pengakuan Hogendorf, wakil VOC Semarang saat sakaratul
maut Paku Buwana II menyerahkan tahtanya kepada VOC. Akhirnya VOC merasa
berdaulat penuh atas Mataram dan mengangkat putra mahkota menjadi Paku
Buwana III. Pengangkatan ini tidak menyurutkan pemberontakan, bahkan
wilayah yang dikuasai Mangkubumi mencapai Yogya, Bagelen, dan
Pekalongan. Justru saat itu terjadi perpecahan antara Mangkubumi dengan
Raden Mas Said. Hal ini menyebabkan VOC berada diatas angin. VOC lalu
mengutus seorang Arab dari Batavia untuk mengajak Mangkubumi berunding.
Ajakan itu diterima oleh Mangkubumi dan terjadilah apa yang disebut
sebagai Palihan nagari atau Perjanjian Giyanti (1755).
Paku Buwana III dan Hamengku Buwana I
Isi Perjanjian Giyanti menyebabkan Mataram dibagi menjadi 2 bagian.
Bagian Barat dibagikan kepada Pangeran Mangkubumi yang bergelar Hamengku
Buwono I yang mendirikan kraton di Yogyakarta (Kasultanan Yogyakarta).
Sedangkan bagian timur, diberikan kepada Sri Susuhunan Paku Buwana III
(Kasunanan Surakarta).
Paku Buwana III dan Mangkunegoro I
Kemudian di tahun 1757, lewat Perjanjian Salatiga, Sunan PB III pun
menyerahkan wilayah Karanganyar dan Wonogiri kepada sepupunya, Raden Mas
Said, yang memimpin pemberontakan Geger Patjina ketika Mataram
diperintah oleh PB II. Raden Mas Said kemudian menyatakan diri sebagai
Mangkunegoro I, dan memimpin Puro Mangkunegaran sampai 1795.
Hingga masa sekarang kita mengenal Kerajaan Mataram dalam wujud
pemerintahan swa-praja, yaitu Kasunanan Surakarta, Kasultanan
Yogyakarta, Puro Mangkunegaran dan Puro Pakualaman. Puro Mangkunegara
terletak di kota Solo. Sementara Puro Pakualaman terletak di wilayah
Pajang, Bagelan sebelah barat Jogja dan terletak di antara sungai Progo
dan Bogowonto, di daerah Adikarto.
Paku Buwana XIII, Hangabehi vs Tedjowulan
Konflik perebutan tahta di Kasunanan Surakarta di era 2000 bermula
ketika Pakubuwono XII mangkat pada 11 Juni 2004. Sepeninggal Pakubuwono
XII, muncul dua pihak yang mengklaim berhak untuk menduduki tahta Sunan
Surakarta Hadiningrat, yaitu KGPH Hangabehi vs KGPH Tedjowulan.
Alasannya adalah Pakubuwono XII tidak memiliki permaisuri yang puteranya
menjadi putera mahkota. Pakubuwono XII hanya memiliki enam istri selir
(garwa selir) dan 35 orang anak.
Anak tertua dari anak garwa selir, yaitu KGPH Hangabehi merasa berhak
menggantikan kedudukan sebagai Sunan Surakarta Hadiningrat. Di sisi
lain, KGPH Tedjowulanyang notabene merupakan adik KGPH Hangabehi dari
garwa selir yang lain, juga merasa berhak menggantikan kedudukan sebagai
Sunan Surakarta Hadiningrat . Bahkan penobatan Tedjowulan sengaja
mendahului, yaitu dilakukan pada 31 Agustus 2004. Sedangkan penobatan
KGPH Hangabehi dilaksanakan pada 10 September 2004.
Pada 16 Mei 2012, perjanjian damai ditandatangani kedua raja di sebuah
hotel Jakarta. Tedjowulan bersedia melepas gelar rajanya dan berganti
menjadi Kanjeng Gusti Pangeran Haryo Panembahan Agung Tedjowulan
(semacam Perdana Menteri Kraton). Tedjowulan masuk kembali di dalam
keraton setelah delapan tahun berada di luar tembok keraton karena
berkonflik dengan kakaknya.
Ontran Ontran Sabdo Dalem Sultan
Langkah Sri Sultan Hamengku Buwono X menghilangkan sebutan
"Khalifatulloh" untuk Raja Keraton Yogyakarta (Mataram) akan mengubah
prinsip kerajaan yang berdiri pada abad ke-16 itu. Kata tersebut sudah
dicabut dalam Sabdaraja atau perintah raja yang dibacakan di Siti
Hinggil Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat pada 30 April 2015.
Gelar Khalifatulloh tercantum dalam sebutan Ngarso Dalem Sampeyan Dalem
Ingkang Sinuwun Kanjeng Sultan Hamengku Buwono Senopati Ing Ngalaga
Ngabdurrakhman Sayidin Panatagama Khalifatullah Ingkang Jumeneng Kaping
Sedasa Ing Ngayogyakarta Hadiningrat. Gelar dalam bahasa Jawa ini
menjelaskan bahwa Sri Sultan Hamengku Buwono sekarang merupakan raja
yang kesepuluh pewaris Kerajaan Mataram Islam.
Penggantian Gelar Dengan membuang Kalimat Kholifatulloh serta
Abdurrohman itu sudah bertentangan dengan Angger-Angger Prodjo Mataram.
Keputusan Sri Sultan itu membingungkan masyarakat Yogyakarta. Lebih jauh
dari itu, Sabdaraja bakal memutus rantai sejarah Keraton Mataram Islam.
Sebab gelar tersebut merupakan konsep kepemimpinan politik dan
spiritual yang menjadi warisan sejarah panjang Kerajaan Mataram.
Dalam gelar Khalifatulloh, terkandung prinsip kesatuan antara nilai
budaya Jawa dan Islam yang dianut rakyat. "Kepemimpinan negara menyatu
dengan kepemimpinan agama, makanya Sultan layak disebut Khalifatulloh,"
Perubahan gelar itu telah diimplementasikan oleh Sultan dengan memberi
sebutan kepada putri sulungnya, yaitu Gusti Kanjeng Ratu (GKR) Pembayun.
Anak pertama dari empat bersaudara yang semuanya perempuan itu
dinobatkan sebagai putri mahkota sekaligus calon pengganti Sultan.
Gelarnya lengkapnya menjadi Gusti Kanjeng Ratu Mangkubumi Hamemayu
Hayuning Bawono Langgeng ing Mataram.
Raja Jogjakarta H Sultan Hamengku Bawono X - sudah berganti Bawono dari
Buwono - memang fenomenal. Kerajaan Jogjakarta Hadiningrat adalah
satu-satunya kerajaan di Nusantara yang masih memiliki kekuasaan secara
definitif. Sejarah Mataram memang penuh perubahan. Raja atau sultan
Pajang dan Mataram berhak mengubah nama. Dari zaman pendirian sampai
sejak zaman Pajang sampai sekarang warna sejarah Mataram adalah sejarah
konflik. Mari kita tengok gonjang-ganjing Kerajaan Mataram Islam ini
dengan hati jauh dari bahagia senang sentosa suka cita bahagia ceria ria
riang senantiasa.
Dua kubu HB X dan KGPH Prabukusumo berzirah ke Imogiri, makam Raja-raja
Jogjakarta. Adik Sultan Hamengku Bawono, memohon maaf kepada para
leluhur atas sikap Sultan yang mengeluarkan Sabdatama dan Titah.
Pertama, permohonan maaf itu untuk mengubah nama Raja Buwono menjadi
Bawono. Makna Buwono adalah wilayah dunia secara fisik dan spiritual.
Lalu makna Bawono adalah dunia terbatas secara spiritual. Jadi
menyempit.
Sementara permohonan maaf kedua adalah Sultan HB X membuang gelar Sultan
sebagai Sayidin Panatagama - makna sayidin panatagama adalah lelaki
yang bermartabat menjadi pembela dan pengatur keyakinan / agama. Dalam
konteks ini agama dan keyakinan umum bukan hanya Islam. Itu ‘paugeran'
atau tatanan keyakinan Kerajaan Mataram yang harus dijaga dan dipelihara
oleh Sultan dan Kerajaan Mataram. Itulah sebabnya KGPH Prabukusumo
prihatin terhadap intrik dan maneuver Sultan.
Sejak intrik pembentukan Mataram oleh tiga serangkai Ki Panjawi
keturunan Bhre Kertabhumi , Ki Ageng Pamanahan dan Ki Juru Martani,
Mataram adalah sejarah intrik kekuasaan. Pendirian Mataram pun awalnya
adalah konspirasi pembunuh Arya Penangsang. Negara Mataram yang
selanjutnya menjadi Ngayogyakarta Hadiningrat dibangun atas dasar intrik
politik dan pembunuhan. Tradisi pun membangun kekuasaan dengan kesan
dan image serta pencitraan sebagai panglima.
Langkah Sultan HB X untuk menghilangkan ‘sayidin panatagama' adalah
langkah strategis sekaligus langkah mundur Kerajaan Mataram. Strategis
artinya menyingkirkan ‘trah penguasa harus laki-laki'. Karena gelar
sayidin panatagama adalah gelar untuk laki-laki. Padahal sebenarnya bisa
juga gelar Sultan menjadi ‘Sayidah Panatagami', jika Sultan Putri
menjadi Ratu Jogjakarta. Langkah mundur adalah dengan menghilangkan
‘gelar Sayidin/Sayidah Panatagama' maka kewajiban Sultan Jogja sebagai
Pembina spiritual rakyat Mataram menjadi hilang.
Artinya, Sultan atau Ratu tidak memiliki kewajiban moral sebagai contoh
sosok religius. Ini akan mengurangi ‘kehebatan dan kesucian' Raja
Mataram. Jadi sedari awal gelar Sayidin Panatagama digunakan sebagai
spirit perjuangan seperti ditunjukkan oleh para leluhur Raja Jogjakarta
seperti Sultan Agung Hanyokrokusumo misalnya.
Langkah berikutnya, Sultan HB mengangkat Putri Mahkota Mangkubumi
berjenis kelamin perempuan GKR Pambayun nama dulunya. Putri Mahkota
Mataram ini dipersiapkan untuk suksesi menggantikan HB X. Nanti gelar
GKR Mangkubumi ketika manjadi Ratu Ngarso Dalem Sampeyan Dalem Ingkang
Sinuwun Kanjeng Ratu Hamengku Bawono Senopati Ing Ngalaga Ngabdurrakhman
Ingkang Jumeneng Kaping Sewelas Ing Ngayogyakarta Hadiningrat.
Perubahan mendasar suksesi Raja Mataram ini menimbulkan reaksi keras
para adik-adik Sultan HB X. Kini Kerajaan Mataram itu menghadapi krisis
intrik perebutan dan suksesi sekaligus revolusi untuk kali pertama
mengangkat Putri Mahkota - melanjutkan tradisi sejak Ken Arok dan
Hindu-Buddha keturunan Singasari-Majapahit - dengan menyingkirkan trah
lelaki menurut keyakinan alur patrilineal Islam. Kini ke-Hindu-Buddha-an
Majapahit dengan kesetaraan jender diangkat oleh Sultan HB X. Dengan
kesetaraan jender ini maka Sultan HB X meletakkan dasar ‘keabadian'
keturunan Sultan HB X menjadi penguasa Kerajaan Jogjakarta.
Jadi, langkah Sultan HB X yang bergelar ‘haji' dan keluar dari tradisi
Raja Mataram tidak naik haji yang tidak memiliki anak lelaki untuk (1)
menghilangkan Khalifatullah dan Sayidin Panatagama, dan (2) mengangkat
Putri Mahkota GKR Mangkubumi, sangat beralasan dan strategis sebagai
upaya melanggengkan dan meletakkan keabadian keturunan Sultan HB X
sebagai pewaris Kerajaan Mataram - bukan untuk adik-adik Sultan.
Di sisi lain, adik-adik Sultan HB X yang sebelumnya senang bukan
kepalang Sultan HB X tidak memiliki putra lelaki, menjadi kecewa.
Kenapa? Dengan sabdatama dan titah Raja Jogja, maka KGPH Prabukusumo
yang merupakan orang terdekat ke suksesi karena Sultan HB X tidak
memiliki anak lelaki, meradang. Ini babak baru intrik kekuasaan di
Mataram yang sejarahnya selalu berdarah-darah sejak intrik pendiriannya
karena pengorbanan pembunuhan terhadap Arya Penangsang.
Menurut KH Abdul Muhaimin, yang juga pengasuh Pondok Pesantren Nurul
Ummahat, berpendapat, dengan penghapusan gelar Khalifatullah, nilai
konsep kepemimpinan Keraton tereduksi. Selain memutus riwayat Keraton
Mataram Islam, kata dia, keputusan itu menurunkan derajat kewibawaan
kepemimpinan Raja Yogyakarta. “Sabdaraja ini justru akan mengkerdilkan
kedudukan Raja di mata masyarakat "
Ihwal pandangan bahwa perubahan itu merupakan hak prerogratif dan cara
Sri Sultan untuk mengangkat perempuan menjadi Raja Keraton Yogyakarta,
Muhaimin tidak sepakat. Mengorbitkan sultan perempuan, kata Muhaimin,
tidak sesuai dengan simbol pemimpin di Keraton Yogyakarta yang merujuk
pada figur laki-laki.
Rois Syuriah Nahdlatul Ulama Daerah Istimewa Yogyakarta Kiai Asyhari
Abta menganggap penggantian gelar ini merupakan wewenang Sultan Hamengku
Buwono X. Meski begitu, menurut Asyhari, penghapusan gelar
Khalifatullah memang tidak sejalan dengan konsep pemerintahan Kerajaan
Mataram Islam. "Identitas kerajaan Islam di Keraton Yogyakarta semakin
luntur," kata Asyhari sembari menambahkan, “Itu hak Sultan, kita tidak
berhak ikut mengurusi. Meski kurang enak mendengarnya."
Guru besar antropologi Universitas Gadjah Mada, Heddy Shri Ahimsa Putra,
menganggap munculnya Sabdaraja menjadi penanda penting perubahan
Keraton Yogyakarta. Penghapusan gelar Khalifatullah melenyapkan separuh
derajat keistimewaan Yogyakarta. "Masyarakat harus siap melihat Keraton
sudah berubah,"
Sabdaraja, Heddy melanjutkan, berkaitan dengan isu suksesi di Keraton
Yogyakarta yang selama ini diriuhkan dengan perdebatan keabsahan sultan
perempuan. Tapi, menurut Heddy, masalah ini hanya kelanjutan dari
pertentangan antara nilai sistem politik modern dan tradisional yang
mengiringi Keraton Yogyakarta sejak era kemerdekaan Indonesia. "Dalam
sistem politik modern, gubernur bisa laki-laki dan perempuan, kalau
tradisional, sultan harus laki-laki,"
Tak sedikit warga Yogyakarta yang mempertanyakan sabda Sultan
Hamengkubuwono X yang melepas gelar khalifatulloh. Gelar itu sudah
melekat dari zaman berdirinya Kerajaan Mataram Islam.
Salah seorang warga Yogyakarta yang tinggal di Jakarta, Brigjen Purn
Anton Tabah yang kini mengabdi sebagai anggota Komisi Hukum MUI,
menyarankan Sultan tak melepas gelar tersebut.
"Saya usul jangan hilangkan klausul khalifatulloh panotogomo tersebut.
Jika hilang akan hilang ruh sebagai kerajaan Islam Indonesia yang kini
satu-satunya yang diakui dunia. Kalau ruh itu hilang kerajaan Yogyakarta
akan tinggal puing-puing sejarah dan hilang keistimewaannya. Akan
senasib dengan Cirebon, Solo, Ternate, Aceh dll. Tentu nanti tak bisa
merangkap jabatan jadi Gubernur DIY lagi," kata Anton Tabah yang
mengikuti perkembangan isu sabda Sultan HB X, dalam siaran pers.
Anton tak ingin menerka atas dasar apa Sultan HB X melepas khalifatulloh
yang merupakan gelar untuk pemimpin umat Islam di kerajaan yang sudah
bergabung dengan NKRI ini. Namun apapun alasannya, gelar tersebut
bukanlah sembarang gelar yang melekat pada raja, tapi punya makna
historis yang sangat kuat.
"Apapun alasannya. Di sinilah dibutuhkan kebersihan hati seorang raja
dari kerajaan Islam di Indonesia satu-satunya yang diakui dunia yang
berada di Yogyakarta. Sayang kalau sampai nanti hancur karena kekeliruan
Sabda Raja,"
Entah kenapa pula gelar khalifatulloh itu dilepas bersamaan dengan sabda
Sultan mengubah nama anak pertamanya GKR Pambayun jadi GKR Mangkubumi.
Anton tak ingin berspekulasi soal politik di keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat.
"Kalau khalifatulloh panotogomo itu sebagai simbol budaya kerajaan saya
kira wanita pun bisa jadi Sultan di Yogyakarta. Maka tidak perlu
hilangkan Gelar Tersebut.