Buah-buah perjuangan Islam mulai tampak di Madinah. Inilah Mush’ab bin
Umair radhiyAllahu ‘anhu dikerubungi sejumlah pemuda Yatsrib yang
menjadi kota yang baik dan bersinar, tidak seperti sebelumnya, buruk dan
gelap. Lebih-lebih menjadi kota Rasulullah ShallAllahu ‘alaihi
wasallam.
Disekitar Mush’ab, duduklah Khallad, Mu’adz, dan Mu’awwadz, anak-anak
‘Amr bin Al-Jamuh, tuan bani Salamah. Diantara mereka juga terdapat
Mu’adz bin Jabal radhiyAllahu ‘anhu. Mereka mendengarkan Mush’ab bin
Umair mengajarkan agama Islam dan membaca Alquran. Akan tetapi,
anak-anak ‘Amr bin Al-Jamuh merasa sedih karena ayah mereka (‘Amr bin
Al-Jamuh), tuan bani Salamah, masih berada dalam kekafirannya. Ia
menyembah berhala yang dinamakannyya Manaf. Ia tidak hanya mencintai
berhalanya bahkan sangat perhatian kepadanya. Ia menjadikan temapat
khusus baginya di salah satu pojok rumah. Tidak boleh ada yang masuk
tempat khusus itu, kecuali dirinya sendiri.
Setiap ingin melakukan sesuatu ia masuk di tempat khusus tersebut, bersujud dan meminta berkah darinya.
Melihat keadaanya seperti itu, .anak-anaknnya ingin menunjukkannya jalan
yang benar dan mengajaknya masuk agama Islam. Ibu mereka sebenarnya
telah masuk Islam, namun secara sembunyi-sembunyi: dan Allah mengabulkan
keinginan mereka ini, namun dengan cara yang lembut, indah, dan
menakjubkan.
‘Amr bin Al-Jamuh adalah tuan diantara sejumlah tuan di Yatsrib yang
masih kafir. Anak-anak dan istrinya merahasiakan Islam yang telah mereka
pegang. ‘Amr mendengar apa yng dikatakan Mush’ab dan yang di
dakwahkannya, maka ‘Amr mengutus seseorang untuk bertanya kepada Mush’ab
: “ Apa yang kamu bawa kepada kami?”
Mush’ab berkata : “ Jika kamu mau, maka kami akan datang kepadamu dan
memperdengarkan kepadamu.” Mereka pun membuat perjanjian untuk bertemu
pada suatu hari.
Pertemuan antara Mush’ab dan ‘Amr pada awalnya tampak kering dan keras.
Akan tetapi, Mush’ab bersabar, karena ia hanya berniat menunjukkan
manusia pada jalan yang lurus. Mush’ab membaca surat Yusuf :
“ Alif lam ra. Ini adalah ayat-ayat kitab (Alquran) yang nyata (dari
Allah). Sesungguhnya Kami menurunkannya berupa Alquran dengan berbahasa
Arab, agar kamu memahaminya.”(QS. Yusuf [12]: 1-2)
Ayat ini membuat ‘Amr bin Al-Jamuh takjub. Akan tetapi, ia masih
mencintai berhalanya dan tidak memutuskan suatu perkara pun tanpa
terlepas darinya. Oleh karena itu, Mush’ab berkata : “Sesungguhnya aku
memiliki cara yang tepat untuk membuatnya takluk pada Islam.”
‘Amr bin Al-Jamuh kembali pada berhalanya, lalu bersujud kepadanya. Ia
berkata : “ Wahai Manaf, kamu mengetahui apa yang diinginkan
orang-orang terhadapku, apakah kamu menolaknya?”
‘Amr bin Al-Jamuh meletakkan pedangnya di atas berhalanya. Kemudian
meninggalkannya. Mu’adz, anaknya mengambil pedang tersebut dan
menyembunnyikannya. Tujuannya agar ayahnya mengetahui bahwa berhala ini
itdak menimbulkan manfaat atau mudharat, tidak juga menguasai dirinya
sendiri.
‘Amr bin Al-Jamuh datang. Setelah melihat pedang tidak ada, ia berkata :
“ Dimanakah pedangku, wahai Manaf ? Celaka kamu! Kambing yang lemah
saja mampu membela dirinya.”
Selanjutnya ia berkata lagi : “Sesungguhnya aku besok akan pergi untuk
melihat hartakku yang berada Alya, Madinah.” Ia berpesan kepada
keluarganya agar memperlakukan berhalanya dengan baik.
Ia pun pergi ke Alya, maka anak-anaknya mendatangi berhala. Mereka
mengikatnya dengan tali dan meletakkanya di lobang tanah yang digunakann
penduduk Yatsrib sebagai tempat sampah dan kotoran mereka.
Beberapa lama kemudian ‘Amr bin Al-Jamuh pulang. Ia menuju berhalanya.
Akan tetapi, betapa terkejutnya ketika berhala tersebut tidak
ditemukannya, maka ia berteriak kepada keluarganya : “ Dimana Manaf ?
Dimana Tuhanku yang aku cintai?”Namun tidak ada seorang pun yang
menjawabnya.
‘Amr bersungguh-sungguh mencari berhalanya yang raib. Setiap sudut rumah
dan tempat yang dicurigainya diamatinya dengan baik. Tidak ketinggalan
juga rumah-rumah disekitarnya. Ia selalu menanyakan orang
disekelilingnya : “ Tahukah kamu, dimana berhalaku? “Akhirnya, ia
menemukan sesembahannya itu tergeletak di tempat sampah. Baginya ini
adalah hal yang tragis dan sangat menyedihkan.
Ia mengambilnya, memandikannya, dan mengembalikannya ke tempat semula.
Setelah itu ia bersujud kepadanya seraya berkata : “ Jika aku tahu orang
yang melakukan perbuatan ini, maka aku akan membunuhnya.”
Pada malam ketiga, anak-anaknya mendatangi lagi berhala tersebut. Mereka
mengikatnya dengan tali-tali pada bangkai anjing dan melemparkannya di
sumur Bani Salamah yang menjadi tempat pembuangan kotoran dan sampah
mereka. Untuk ketiga kalinya, ‘Amr bertanya kepada anak-anaknya : “
Bagaimana keadaan kalian ?”
Mereka menjawab : “ Baik, Allah telah meluaskan rumah kami dan mensucikannya dari kotoran.”
Selanjutnya, ‘Amr bin Al-Jamuh mendatangi berhalanya, namun dijumpai berhalanya tidak ada, lalu ia bertanya : “Dimanakah ia?”
Merka menjawab : “ Ia berada disana. Lihatlah di dalam sumur itu.”
‘Amr bin Al-Jamuh melihat berhalanya terlumuri kotoran lagi dan tidak
mampu menolak gangguan terhadap dirinya, maka ‘Amr bin Al-Jamuh pun
yakin bahwa berhalanya hanyalah batu yang tidak dapat mendatangkan
manfaat atau menolak mudharat. Ia menjadi tahu bahwa keimanan lebih baik
daripada kekufuran.
Ia berkata kepada anak-anaknya : “Apakah kalian bersamaku ?”
Mereka menjawab :” Ya, engkau adalah tuan kami.”
‘Amr berkata : “ Sesungguhnya aku bersaksi di hadapan kalian bahwa aku
beriman dengan apa yang diturunkan kepada Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wassallam.”
Lalu ia membaca syair :
Segala puji bagi Allah Yang Maha tinggi dan memiliki karunia
Sang Pemberi karunia dan rizqi
Dan Sang Pemilik agama ini
Dialah Yang menyelamatkanku
Sebelum aku berada dalam gelapnya kuburan
Demi Allah jika kamu Tuhan, kamu tidak akan mungkin tergeletak bersama anjing di dalam sumur bertahun-tahun
Setelah berada di Madinanh, Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi
wasallammenngetahui ‘Amr sebagai orang yang terhormat dan punya pendapat
yang baik. Pada suatu hari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda : “Wahai Bani Salamah, siapakah tuanmu ?”
Mereka menjawab : “ Jadd bin Qais, tetapi kami melihatnya seorang yang kikir.”
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Penyakit apakah yang
lebih buruk daripada kikir ? Tuanmu adalah orang yang putih, ‘Amr bin
Al-Jamuh. Sesungguhnya sebaik-baik manusia dalam jahiliyah adalah
sebaik-baik manusia dalam Islam.” Dengan demikian, ‘Amr bin Al-Jamuh
radhiyallahu ‘anhu telah menjadi seorang tuan, baik sebelum maupun
setelah masuk Islam.
‘Amr bin Al-Jamuh adalah seorang yang pincang. Karena itu, ia tidak
dapat hadir dalam perang Badar bersama RasulullahShallallahu ‘alaihi
wasallam. Setelah pasukan Islam kembali dari perang, maka kisah-kisah
kepahlawanan menambah kerinduan yang meluap-luap dalam hati orang-orang
Islam untuk berperang. Orang-orang yang tidak ikut perang Badar ingin
menambal ketertinggalannya itu, maka perang Uhud adalah tempat mereka
memperoleh ganti apa yang sebelumnya mereka terlewatkan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallamberseru kepada kaum muslimin :
“Bangkitlah menuju surga yang luasnya seluas langit dan bumi, disediakan
untuk orang-orang yang bertaqwa.”
‘Amr ingin keluar dalam perang Uhud, namun anak-anaknya melarang. Mereka berkata : “ Allah memaafkanmu.”
‘Amr datang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan berkata
kepadanya : “Sesungguhnya anak-anakku menahanku agar aku tidak keluar
berrsamamu dalam perang. Demi Allah, aku ingin menginjak surga dengan
kepincanganku ini.”
Rasulullah Shallllahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Adapun kamu, maka Allah telah memaafkan: tiada kewajiban jihad bagimu.”
Karena permintaan yang terus menerus dari ‘Amr, Rasulullah Shallallahu
‘alaihi wasallam pun bersabda kepada anak-anaknya : “ Tidak ada alasan
bagi kalian untuk menghalanginya, karena barangkali Allah akan
mengaruniakannya mati syahid. Karenanya, tinggalkan ia.”
Sementara itu istrinya, Hindun binti ‘Amr bin Hizam, berkata : “ Sungguh
ia telah mengambil perisainya, kemudian berdoa kepada Allah : “ Ya
Allah,, janganlah Engkau kembalikan aku dalam keluargaku.”
Demikian ‘Amr bin Al-Jamuh berangkat bersama dengan saudara kandung
istrinya, ‘Abdullah bin ‘Amr bin Haram. Ikut bersama mereka berdua
Khallad bin ‘Amr bin Al-Jamuh.
Pada awal perang, medan perang dikuasai pasukan Islam karena mereka taat
pada perintah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam dan perintah
pemimpin pasukan mereka, ‘Abdullah bin Jubair. Akan tetapi, para pemanah
tidak menaati Rasulullah dan ‘Abddullah bin Jubair, sehingga pasukan
Islam terdesak dan barisan Islam pun menjadi kacau tak terkendali.
Ketika itu ‘Amr bin Al-Jamuh berteriak : “Demi Allah, sungguh aku rindu
kepada surga.” Ia bersama anaknya, Khallad, ikut menceburkan diri dalam
peperangan yang hebat hingga keduanya mati syahid.
‘Amr bin Al-Jamuh menginjak surga dengan kepincangannya seperti yang
dia inginkan. Ia tidak kembali kepada keluarganya sebagaimana yang telah
ia mohon dari Allah sebelumnya dan Allah pun kini mengabulkannya.
Setelah perang, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam melihatnya mati
syahid dan tergeletak disamping jasad ‘Abdullah bin ‘Amr bin Hizam.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “ Kuburlah ;Amr bin
Al-Jamuh bersama ‘Abdullah bin ‘Amr, karena keduanya telah salimg
mencintai dengan tulus di dunia.”
Suatu saat pada masa pemerintahan Muawiyah, ada banjir bandang yang
merusak kubur ‘Amr bin Al-Jamuh dan ‘Abdullah bin ‘Amr, maka orang-orang
membuat kubur lain agar keduanya ditempatkan disitu. Jabir bin
‘Abdillah bin ‘Amr bin Hizam datang untuk melihat kedua mayat itu. Ia
melihatnya seolah ‘Amr bin Al-Jamuh dan ‘Abdullah bin ‘Amr baru
meninggal kemarin. Jasadnya tidak berubah sama sekali. Salah satu
diantara keduanya ketika meninggal dalam keadaan terluka, sehingga
tangannya menutupi lukanya dan dikuburkan dalam keadaan yang seperti
itu. Ketika tangan tersebut diangkat, tangan itu kembali lagi seperti
semula menutupi luka di tubuh layaknya tangan orang yang masih hidup,
padahal jarak antara perang Uhud dan waktu kejadian ini adalah empat
puluh enam tahun.
Sesungguhnya kejadian di atas
adalah fakta, bukan ilusi. Jasad orang-orang yang mati syahid tidak di
makan tanah. Mereka hidup dan mendapatkan rizqi disisi Tuhannya.