Ternyata, puasa bukan amalan ibadah umat Islam saja. Ia juga merupakan
amalan lazim masyarakat sebelum agama Islam diturunkan seperti Mesir
kuno, Yunani kuno, bangsa Romawi dan China kuno. Pada permulaan sejarah
manusia, diyakini oleh banyak agama puasa sebagai salah satu wasilah
mencapai keagungan spiritual dan menjadi penawar kealpaan yang bisa
menjauhkan pelakunya dari kemungkaran.
Bangsa Phoenix di Mesir, berpuasa untuk menghormati Dewi Isis. Sekitar
tahun 193 SM, bangsa Romawi kuno berpuasa selama setahun penuh dalam
setiap lima tahunan untuk menghormati Dewa Osiris. Osiris adalah Dewa
pelindung kematian, saudara sekaligus suami Dewi Isis.
Bangsa Yunani mempelajari kelebihan puasa dari bangsa Mesir kuno. Puasa,
dalam kamus militer Yunani kuno, dianggap sebagai persiapan awal
menghadapi peperangan. Bangsa Romawi pun meniru ritual puasa dari bangsa
Yunani. Mereka percaya, puasa bisa menjadi benteng diri karena
mengandung dua dimensi kekuatan baik secara fisik maupun metafisik
(ketahanan dan kesabaran). Sedangkan dalam ajaran China kuno, puasa
termasuk salah satu ajaran Budha dalam rangka menyucikan diri.
Demikian juga puasa yang diperintahkan Allah SWT pada ajaran samawi
(agama wahyu) seperti Yahudi dan Nasrani melalui para nabi yang diutus
pada mereka. Dalam Kitab Taurat dikisahkan (Surah Eksodus), Nabi Musa AS
berpuasa selama 40 hari di Gunung Sinai. Saat itulah Nabi Musa AS
diamanahkan beban kepemimpinan.
Tradisi puasa Musa As itu kemudian diteruskan bangsa Yahudi sebagai
bentuk penolak bala atas bencana yang menimpa. Mereka percaya, puasa
bisa mereda murka Tuhan dan mengampuni dosa-dosa mereka. Bangsa Yahudi
juga berpuasa untuk mengenang peristiwa kemusnahan Bandar Jerusalem di
tangan Nebucednezar II (605-562 SM) putera Nabopelessar, pendiri
kerajaan Babylon baru tahun 597 SM.
Adapun Nabi Isa As, Rasul dari bangsa Yahudi yang terakhir bersama
dengan ibunya, Maryam binti Imran, turut melaksanakan ibadah puasa pada
hari tersebut. Nabi Isa AS bersama para hawari (pengikutnya) hendak
meneruskan tradisi puasa 40 hari Nabi Musa AS. Tradisi puasa inilah
yang kemudian diteruskan dalam ajaran Kristen setiap kali merayakan hari
raya Paskah sebelum akhirnya para teolog mereka memperkenalkan model
puasa dengan tidak memakan daging, ikan, dan telur.
Ada yang berpuasa meninggalkan makan, minum, tidak bersetubuh, atau
cukup dengan tidak berkata-kata saja seperti puasanya Siti Maryam (aku
tidak akan berkata-kata dengan seorang manusiapun pada hari ini, QS
Maryam [19]: 26). Seperti nazarnya Siti Maryam, suku Aborigin di
Australia pun melakukan hal yang sama. Mereka mewajibkan puasa dari
berkata-kata bagi seorang istri yang ditinggal mati suaminya selama satu
tahun penuh.
“…sebagaimana telah diwajibkan pada umat sebelum kamu,” (QS al Baqarah [2]: 183).
Puasa dalam ajaran Islam benar-benar disesuaikan dengan fitrah dan
kemampuan manusia. Sebab, yang menjadi tujuan puasa dalam Islam bukanlah
kepedihan, penderitaan, atau untuk menyiksa diri. Melainkan, mendidik
pelakunya agar mampu mengendalikan nafsu syahwat perut dan kelamin.
Semuanya dilakukan sesuai kemampuan manusia dan kadar kekuatan manusia
dalam menahan rasa lapar. Umat Islam hanya disuruh berpuasa dari makanan
dan minuman sekira 13 jam. Mulai dari imsyak sampai waktu Maghrib
Sungguh, sesuai dengan kekuatan maskimal seorang manusia menahan rasa
lapar.
Besar atau tidaknya pahala puasa, tidak dinilai dari kuat tidaknya
seseorang menahan rasa lapar. Sekalipun seseorang kuat berpuasa sampai
waktu Isya tiba tanpa terlebih dahulu sahur misalnya, alih-alih
mendapatkan pahala yang besar yang ada malah puasanya tidak memiliki
pahala. Ini perumpamaan, betapa seseorang mesti menunaikan ibadah puasa
sesuai dengan ketentuan yang telah digariskan Allah dan Rasul-Nya.
Puasa dilakukan sebagai bukti kecintaan seseorang kepada Allah SWT
Berkat kecintaan kepada Allah SWT, seseorang menunaikan segala
titah-Nya. Memenuhi perintah Allah SWT merupakan syarat meraih ridha dan
maghfirah-Nya.
Puasa 40 hari
Apakah puasa selama 40 hari ada ajarannya dari Rasul dan bolehkah kita mengamalkannya?
Puasa 40 hari pernah dilakukan Nabi Musa a.s. sebagai persiapan untuk menerima wahyu di bukit Turisina Mesir.
Ahli tafsir Imam Qurtubi memetik pendapat As-Syaabi dan Qatadah
menerangkan, puasa 40 hari diamalkan umat Nabi Musa dan Nabi Isa.
Menurut sejarah, Nabi Musa bersama kaumnya berpuasa selama 40 hari
semasa berada di Bukit Tursina, Mesir.
Nabi Isa dan pengikut setianya mengamalkan puasa ala Nabi Musa dan
kaumnya. Dalam surah Mariam dinyatakan, Nabi Zakaria dan Mariam sering
mengamalkan puasa.
AJARAN KRISTEN
Amalam Nabi Isa tersebut kini menjadi ajaran agama Kristen. Dalam ajaran
Kristen, Yesus Kristus (Nabi Isa a.s.) menjalankan puasa 40 hari.
Kini umat Kristen melaksanakan puasa 40 hari masa pra-Paskah, namun
hanya berupa tidak memakan makanan tertentu, misalnya biasanya
sehari-hari makan daging, selama 40 hari tidak makan daging. Yang
biasanya masak dengan garam, selama 40 hari masak tidak memakai garam.
Dalam Islam, puasa 40 hari tidak dikenal atautidak disyariatkan sehingga tidak ada ajarannya dari Rasulullah Saw.
Yang ada dan jelas dalilnya, adalah IBADAH SELAMA 40 HARI (namun tidak
secara khusus menyebutkan ibadah puasa), sebagaimana hadits berikut ini:
“Barangsiapa mengikhlashkan dirinya kepada Allah (dalam beribadah)
selama 40 hari maka akan zhahir sumber-sumber hikmah daripada hati
melalui lidahnya”. (HR. Abu Dawud dan Abu Nu’man dalamAl-Hilyah).
“Barangsiapa yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjama’ah
dengan mendapatkan Takbiratul pertama (takbiratul ihramnya imam), maka
ditulis untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan
kebebasan dari sifat kemunafikan.”(HR. Tirmidzi).
“Siapa yang menekuni (menjaga dengan teratur) shalat-shalat wajib selama
40 malam, tidak pernah tertinggal satu raka’atpun maka Allah akan
mencatat untuknya dua kebebasan; yaitu terbebas dari neraka dan terbebas
dari kenifakan.” (HR. Al-Baihaqi,Syu’abul Iman). Wallahu a’lam
bish-shawab.*
Dalil Hadits rahasia Amalan 40 hari : puasa, ibadah, tawajuhhan dzikir, dakwah
Hadits riwayat Abu Dawud dan Abu Nu’man dalam kitab Al-Hilyah :
Nabi Muhammad Saw. bersabda yang maksudnya : “Barangsiapa mengikhlashkan
dirinya kepada Allah (dalam beribadah) selama 40 hari maka akan zhahir
sumber-sumber hikmah daripada hati melalui lidahnya”. (HR. Abu Dawud dan
Abu Nu’man dalam alhilyah).
– Imam at Tirmidzi meriwayatkan dari Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu,
ia mengatakan, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wassalam bersabda:
مَنْ صَلَّى لِلَّهِ أَرْبَعِينَ يَوْمًا فِي جَمَاعَةٍ يُدْرِكُ
التَّكْبِيرَةَ الْأُولَى كُتِبَتْ لَهُ بَرَاءَتَانِ بَرَاءَةٌ مِنْ
النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنْ النِّفَاقِ
“Barangsiapa yang shalat karena Allah selama 40 hari secara berjama’ah
dengan mendapatkan Takbiratul pertama (takbiratul ihramnya imam), maka
ditulis untuknya dua kebebasan, yaitu kebebasan dari api neraka dan
kebebasan dari sifat kemunafikan.” (HR. Tirmidzi, dihasankan oleh Syaikh
Al Albani (wahabi majnun) di kitab Shahih Al Jami’ II/1089, Al-Silsilah
al-Shahihah: IV/629 dan VI/314).
– hadits yang diriwayatkan Imam Al-Baihaqi dalam Syu’abul Iman, dari Anas bin Malik radliyallah ‘anhu:
مَنْ وَاظَبَ عَلَى الصَّلَوَاتِ الْمَكْتُوْبَةِ أَرْبَعِيْنَ لَيْلَةً لا
تَفُوْتُهُ رَكْعَةٌ كَتَبَ اللهُ لَهُ بِهَا بَرَاءَتَيْنِ، بَرَاءَةٌ
مِنَ النَّارِ وَبَرَاءَةٌ مِنَ النِّفَاقِ
“Siapa yang menekuni (menjaga dengan teratur) shalat-shalat wajib selama
40 malam, tidak pernah tertinggal satu raka’atpun maka Allah akan
mencatat untuknya dua kebebasan; yaitu terbebas dari neraka dan terbebas
dari kenifakan.” (HR. Al-Baihaqi, Syu’abul Iman, no. 2746)
– Dalam kitab syarah al-hikam
Nabi SAW bersabda :” Barangsiapa Yang Mengamalkan Ilmu Yang Ia Ketahui
Maka Allah Akan Memberikan Kepadanya Ilmu Yang Belum Ia Ketahui”.
– Hadits qudsy shahih Riwayat Hakim
Dari Abu Darda Ra. berkata : “Aku mendengar Rasulullah Saw. Bersabada,
“Sesungguhnya Allah Swt berfirman kepada Isa As. : “Aku akan mengirimkan
satu umat setelahmu (ummat Muhammad Saw.), yang jika Aku murah hati
pada mereka, mereka bersyukur dan bertahmid, dan jika Aku menahan diri,
mereka sabar dan tawakal tanpa [harus] mempunyai hilm
(kemurahan/kemurahan hati) dan ‘ilm (ilmu) .” Isa bertanya: “Bagaimana
mereka bisa seperti itu ya Allah, tanpa hilm dan ‘ilm?” Allah menjawab:
“Aku memberikan mereka sebagian dari hilmKu dan ‘ilmu-Ku.” [HR. Hakim.
Katanya Hadits ini shahihmenurut syarat Bukhary, tetapi ia tidak
meriwayatkannya, sedangkan adzahaby menyepakatinya”. I/348]
Keterangan : Hadits ini juga terdapat pada Muntakhab hadits
SyaikhulHadits Maulana Yusuf, Hadits No. 27, Bab ikhlash dan Juga
terdapat pada kitab Ucapan Nabi Isa as dalam kisah-kisah literature umat
islam, Tarif Khalidi.
– Dalam hadits qudsy (Kitab Futuh Mishr wa Akhbaruha, Ibn ‘Abd al-Hakam wafat 257 H).
Allah mewahyukan kepada Isa untuk mengirimkan pendakwah ke para raja di
dunia. Dia mengirimkan para muridnya. Murid-muridnya yang dikirim ke
wilayah yang dekat menyanggupinya, tetapi yang dikirim ke tempat yang
jauh berkeberatan untuk pergi dan berkata: “Saya tidak bisa berbicara
dalam bahasa dari penduduk yang engkau mengirimkan aku kepadanya.” Isa
berkata: “Ya Allah, aku telah memerintahkan murid-muridku apa yang Kau
perintahkan, tetapi mereka tidak menurut.” Allah berfirman kepada Isa:
“Aku akan mengatasi masalahmu ini.” Maka Allah membuat para murid Isa
bisa berbicara dalam bahasa tempat tujuan mereka diutus.
– Dalam hadis qudsi, Nabi Isa as. Juga bersabda:
“Isa As. berkata: “Buat kalian tidak ada gunanya mendapat ilmu yang
belum kalian ketahui, selama kalian tidak beramal dengan ilmu yang telah
kalian ketahui. Terlalu banyak ilmu hanya menumbuhkan kesombongan kalau
kalian tidak beramal sesuai dengannya.” [ Diriwayatkan oleh (Abu
‘Abdallah Ahmad bin Muhammad al-Syaibani) Ibn Hanbal (… – 241 H), Kitab
al-Zuhd, 327. Dan (Abu Hamid Muhammad bin Muhammad) Al-Ghazali (… – 505
H), Ihya’ ‘Ulum al-Din, 1:69-70].
Salah satu materi pengajian yang dibahas oleh Kyai Masyhuri di Pondok
Pesantren Al-Madinah Kecamatan Diwek Kabupaten Jombang adalah puasa
mutih selama 40 hari. Pembahasan puasa mutih menarik perhatian terutama
menyangkut nilai-nilai Islam yang telah diadaptasi dalam budaya Jawa.
Apakah pengertian puasa mutih? Puasa mutih adalah puasa yang dilakukan
dengan cara memakan makanan hanya yang berwarna putih saja. Misalnya
nasi putih, ketela pohon dan tahu direbus.
TINJAUAN PUASA MUTIH DARI ILMU BIOLOGI
Kyai Masyhuri menjelaskan puasa mutih dari sudut pandang agama Islam dan
ilmu biologi bahwa sirkulasi darah manusia berlangsung selama 40 hari.
Bila sebuah sel darah telah berumur 40 hari maka sel tersebut akan rusak
dan tugasnya digantikan oleh sel-sel darah yang baru diproduksi oleh
tulang. Hal ini senada dengan tinjauan dari ilmu Biologi yang saya
pelajari dari bangku sekolah. Itulah salah satu bukti bahwa Islam dan
ilmu pengetahuan modern telah men-sinkron-kan diri sejak lama, bahkan
sebelum para ilmuwan Barat melek aksara.
Nah, selama 40 hari pula sari-sari makanan yang masuk ke dalam tubuh
bertahan dan membentuk homeostatis tubuh. Ada yang berupa protein,
vitamin, lemak, air, dan zat-zat lain yang terkandung di dalam makanan.
Bagaimana dengan feses yang kita buang setiap hari? Yang kita keluarkan
melalui sistem ekskresi, buang air besar dan buang air kecil, hanyalah
ampas saja. Sementara sari-sari makanan akan tetap beredar di tubuh
manusia selama 40 hari.
Dalam pandangan Islam, jika makanan yang dikonsumsi seorang muslim
adalah makanan haram, maka selama 40 hari tersebut darahnya mengandung
makanan haram. Ini artinya amal ibadah manusia tersebut selama 40 hari
tidak akan diterima Allah. Dari pemikiran inilah awal mula para pelaku
ritual puasa mutih menjalankan puasa tidak makan makanan selain yang
berwarna putih. Padahal tubuh manusia membutuhkan nutrisi yang seimbang
dan lengkap setiap hari.
Dengan dasar aliran darah yang membawa sari-sari makanan bertahan di
dalam tubuh manusia selama 40 hari, maka tradisi umat Islam dari suku
Jawa mengisyaratkan pertobatan manusia dilakukan selama 40 hari dengan
menjalankan puasa mutih. Saya tidak tahu pasti siapakah wali atau ulama
yang mengajarkan puasa mutih. Namun menurut telisik beberapa sumber
sejarah, tradisi puasa mutih sudah ada sejak jaman Kanjeng Sunan Bonang
dan Kanjeng Sunan Kalijogo. Mungkin dari situlah kebiasaan puasa mutih
berawal hingga bertahan sampai sekarang.
وَإِذْ وَاعَدْنَا مُوسَى أَرْبَعِينَ لَيْلَةً ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِنْ بَعْدِهِ وَأَنْتُمْ ظَالِمُونَ (البقرة : 51 )
“Dan (ingatlah), ketika kami berjanji kepada Musa (memberikan Taurat,
sesudah) empat puluh malam, lalu kamu menjadikan anak lembu (sembahan)
sepeninggalnya dan kamu adalah orang-orang yang zalim”
Ayat ini merupakan uraian yang ketiga dari nikmat Allah swt yang
diberikan kepada Bani Israil. Peletakan ayat ini beriringan dengan ayat
sebelumnya mengisyaratkan adanya korelasi integratif (hubungan kesatuan
yang tidak terpisahkan) diantara keduanya. Dimana pada ayat sebelumnya,
Allah swt mengkisahkan penyelamatan Bani Israil dari pengejaran Fir’aun
dan kaumnya yang merupakan nikmat penyelamatan jasmani.
Sedang pada ayat ini, Allah swt mengungkapkan janji-Nya memenuhi harapan
Bani Israil untuk memiliki kitab suci sebagai pedoman hidup, sesuai
dengan permintaan mereka, yang merupakan nikmat penyelamatan ruhani.
Dalam hal janji untuk menurunkan kitab suci Taurat kepada Nabi Musa as
sebagai pedoman kehidupannya dan kehidupan umatnya (Bani Israil),
Allah swt menuntut tamhid (introduksi/upaya pendahuluan) kepada Nabi
Musa as dalam bentuk keharusan melaksanakan munajat (menghadapkan diri)
lebih dulu selama waktu yang ditentukan, yakni selama 40 (empat puluh)
malam. Hal ini sesuai dengan isyarat penggunaan kata kerja‘fi’il’ yang
menunjuk arti ‘janji’ pada ayat di atas ‘waa’adna’ dalam bentuk
mufa’alah yang berfaedah musyarakah (persekutuan dua fihak dalam satu
pekerjaan).
Secara sederhana dapat diilustrasikan, seakan-akan Allah swt berfirman :
“Wahai Musa! Aku berkenan memberimu Taurat, kitab suci yang engkau
inginkan buat pedoman hidupmu dan umatmu, dengan catatan engkau
laksanakan lebih dulu munajat kepada-Ku selama empat puluh malam”.
Mengapa bargaining munajat untuk memperoleh kitab suci dilakukan selama
empat puluh hari ‘arba’in’ ? Dan mengapa pula pelaksanaannya pada malam
hari ‘lailatan’ ?
Angka empat puluh ‘arba’in’ adalah angka yang menunjukkan kesempurnaan
dalam banyak hal, sebagaimana disebutkan pada teks-teks keagamaan baik
dalam al-Quran maupun al-Hadis.
Diantaranya adalah:
Pertama; Proses penciptaan manusia pertama (Adam as) – diungkapkan hadis
riwayat Ibn Mas’ud ra dalam Tafsir Ibn Katsir – peniupan ruh ke
kerangka jasad berselang waktu 40 tahun.
Kedua; Fase (tahapan) penciptaan manusia dalam rahim ibunya, dari fase
nuthfah (sperma), ‘alaqah (gumpalan darah yang menempel di dinding
rahim), mudhghah (sekerat daging) hingga ke peniupan ruh, masing-masing
berlangsung selama 40 hari. ‘Inna ahadakum yujma’u khalqahu fi bathni
ummihi arba’ina yauman tsumma takunu ‘alaqatan mitsla dzalik tsumma
takunu mudghatan mitsla dzalik’
Ketiga; Akal manusia pada umumnya mencapai tingkat kesempurnaan
potensinya pada usia 40 tahun. ‘Hatta idza balagha asyuddahu wa balagha
arba’ina sanah’ (al-Ahqaf : 15).
Karena itu junjungan kita Nabi Muhammad saw pun dinyatakan sebagai rasul pada saat beliau telah berusia 40 tahun.
Keempat; Orang yang menghafal dan mengamalkan kandungan 40 hadis akan
dibangkitkan bersama para ulama. ‘Man hafidza ‘ala ummati arba’ina
haditsan fi ma yanfa’uhum min amri dinihim ba’atsahul-Lahu
yaumal-qiyamati minal-‘ulama’
Kelima; Orang yang mengamalkan shalat 40 waktu di masjid Nabawi akan
selamat dan terbebas dari siksa api neraka serta terbebas dari nifaq.
‘Man shalla fi masjidi arba’ina shalatan la yafutuhu shalatun kutibat
lahu baraatun minan-nar wa najatun minl-‘adzab wa bari-a minan-nifaq’ .
Alhasil angka 40 bukan hanya sekedar menunjuk kwantitas (jumlah) semata,
melainkan dibaliknya terdapat rahasia. Yakni ketika melewati kurun
waktu 40 hari kondisi ruhani Nabi Musa as telah berada dalam keadaan
yang sempurna dan benar-benar telah siap untuk menerima kitab yang
mulia. Karena itu tidak heran jika dikalangan Para Salikin (orang-orang
yang merambah jalan menuju Allah swt) dikenal maqamat (stasiun-stasiun
persinggahan ruhani) sejumlah 40, seperti yang dilakukan oleh Tokoh Sufi
Jawa, Sultan Hadiwijaya yang masyhur dengan sebutan Joko Tingkir, yang
divisualisasikan lewat kisah penaklukannya terhadap 40 ekor buaya.
Dikalangan para kyai pun angka 40 kerap digunakan untuk meriyadlah
(melatih) jiwa santri-santrinya, seperti anjuran berjama’ah selama 40
hari berturut-turut, dan melakukan amalan-amalan wirid atau puasa selama
40 hari lamanya.
Selanjutnya disebutkannya waktu malam hari ‘lailatan’, paling tidak dilatar belakangi dua alasan.
Pertama; malam hari adalah waktu yang paling baik digunakan untuk
bermunajat (menghadapkan diri) kepada Allah swt, oleh karena
suasanananya yang gelap dan hening serta tidak adanya aktifitasapapun,
sehingga dapat membantu melahirkan ketenangan batin dan kekhusukan jiwa
dalam menghadap kepada Allah swt.
Kedua; malam hari adalah waktu dimana orang-orang yang sore hari
lumrahnya melakukan maksiat, kelelahan dan tertidur tanpa lebih dulu
menjalani tobat. Maka jika pada saat yang sama, ada hamba-Nya yang
bermunajat, Allah swt tentu akan lebih bermurah hati mencurahkan rahmat.
Karena itulah maka Allah swt dalam beberapa firman-Nya menganjurkan
manusia untuk menghadapkan diri pada malam hari.
Bahkan Rasulullah saw pun secara lugas menyatakan dalam sabdanya :
ينزل ربنا تبارك وتعالى في كل ليلة إلى السماء الدنيا حين يبقى ثلث الليل
الآخر فيقول : من يدعوني فأستجيب لَه من يسألني فأعطيه من يستغفرني فأغفر
لَه
“Tuhan turun ke langit dunia pada setiap malam di sepertiga malam
terakhir, kemudian berfirman : Siapakah yang berdoa kepada-Ku, maka Aku
kabulkan. Siapakah yang memohon kepada-Ku, Aku penuhi permohonannya.
Siapakah yang meminta ampunan kepada-Ku, Aku ampuni dirinya”
Pelajaran dari yat ini, adalah : Jika Nabi Musa as saja yang berpredikat
sebagai kalimul-Lah dan salah seorang ulul-azmi, untuk mendapatkan
keinginannya melakukan bargaining bermunajat kepada Allah swt selama 40
hari.
Wajarkah bila kita menginginkan sesuatu hanya dengan bermodalkan topang dagu?
Istafti qalbak!. Ya ayyuhal insan