Salah satu cuplikan karya sastra tembang "Sinom" dalam "Serat Kalatido" bab.8, seperti di bawah ini :
Amenangi jaman edan ewuh aya ing pambudi
melu edan ora tahan
yen tan melu anglakoni boya kaduman melik
kaliren wekasanipun
Dillalah karsaning Allah
Sakbeja-bejane wong kang lali
luwih beja kang eling lan waspada..
Apabila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia kurang lebih berbunyi :
Mengalami jaman gila, serba repot dalam bertindak,
ikut gila tidak tahan
jika tidak ikut berbuat gila tidak memperoleh bagian hak milik,
akhirnya menjadi ketaparan.
Namun dari kehendak Allah,
seuntung untungnya orang yang lupa diri,
masih lebih babagia orang yang ingat dan waspada.
Kemudian gubahan ini diakhiri dengan sebaris gatra yang bersandiasma,
berbunyi "bo-RONG ang-GA sa-WAR-ga me-SI mar-TA-ya". Mengandung arti
rasa berserah diri kehadapan Yang Maha Esa yang rnenguasai alam sorga,
tempat yang memuat kehidupan langgeng sejati.
Masyarakat Jawa tidak akan gampang melupakan sastrawan dan pujangga
besar bernama Raden Ngabehi (R. Ng.) Ronggowarsito. Tokoh yang hidup
pada masa ke-emasan Keraton Surakarta tersebut adalah pujangga besar
yang telah meninggalkan ‘warisan tak terharga’ berupa puluhan serat yang
mempunyai nilai dan capaian estika menakjubkan. Ketekunannya pada
sastra, budaya, teologi serta ditunjang bakat, mendudukkan ia sebagai
pujangga terakhir Keraton Surakarta.
Nama Raden Ngabehi Ronggowarsito memang sudah tidak asing lagi. Dia
adalah seorang pejangga keraton Solo yang hidup pada 1802-1873. Tepatnya
lahir hari Senin Legi 15 Maret 1802, dan wafat 15 Desember 1873, pada
hari Rabu Pon. Pujangga yang dibesarkan di lingkungan kraton Surakarta
ini namanya terkenal karena dialah yang menggubah Jangka Jayabaya yang
tersohor hingga ke mancanegara itu. Hingga sekarang kitab ramalan ini
masih menimbulkan kontroversi.
R. Ng. Ronggowarsito adalah bangsawan keturunan Pajang, dengan silsilah sebagai berikut :
- P. Hadiwijoyo (Joko Tingkir)
- P. Benowo, putera Emas (Panembahan Radin)
- P. Haryo Wiromenggolo (Kajoran)
- P. Adipati Wiromenggolo (Cengkalsewu)
- P.A. Danuupoyo, KRT Padmonegoro (Bupati Pekalongan)
- R.Ng. Yosodipuro (Pujangga keraton Solo)
R. Ng.Yosodipuro alias Bagus Burhan adalah R.Ng.Ronggowarsito yang kita
kenal. Semasa kecil hingga remaja dia memang lebih dikenal dengan nama
Bagus Burhan, dan pernah menuntut ilmu di Pesantren Tegalsari atau
Gebang Tinatar.
Dari jalur ibundanya, R.Ng.Ronggowarsito merupakan seorang bangsawan berdarah Demak, dengan silsilah sebagai berikut:
- R. Trenggono (Sultan Demak ke III)
- R.A. Mangkurat
- R.T. Sujonoputero (Pujangga keraton Pajang)
- K.A. Wongsotruno
- K.A. Noyomenggolo (Demang Palar)
- R. Ng. Surodirjo I
- R.Ng. Ronggowarsito/Bagus Burhan
Karena ayahandanya wafat sewaktu sang pujangga belum cukup dewasa, Bagus
Burhan kemudian ikut dengan kakeknya, yaitu R. Tumenggung Sastronegoro,
yang juga seorang bangsawan keraton Solo.
Dikisahkan, pada saat dirawat oleh kakeknya inilah Bagus Burhan hidup
dengan penuh kemanjaan, sehingga bakatnya sebagai seorang pujangga sama
sekali belum terlihat. Bahkan, kesukaannya di masa muda adalah sering
menyabung jago, dan bertaruh uang. Bermacam-macam kesukaan yang
menghambur-hamburkan uang seakan menjadi cirri khasnya kala itu.
R. Ng. Ronggowarsito terlahir dengan nama kecil Bagus Burhan pada tahun
1728 J atau 1802 M, putra dari RM. Ng. Pajangsworo. Kakeknya, R.T.
Sastronagoro yang pertama kali menemukan satu jiwa yang teguh dan bakat
yang besar di balik kenakalan Burham kecil yang memang terkenal bengal.
Sastronagoro kemudian mengambil inisiatif untuk mengirimnya nyantri ke
Pesantren Gebang Tinatar di Ponorogo asuhan Kyai Kasan Besari.
Sebagai putra bangsawan Burham mempunyai seorang emban bernama Ki
Tanujoyo sebagai guru mistiknya. Ternyata, Ronggowarsito enggan belajar
ilmu agama. Ia lebih suka berkawan dengan para warok, dan mempelajari
ilmu kesaktian.
Dihukum Makan Pisang
MELIHAT kecenderungan itu, Tanujoyo mengajari Ronggowarsito berbagai
ngelmu. Santri lain jadi tertarik, dan Kasan Besari marah besar.
Keduanya diusir dari pesantren.
Mereka lalu berkelana di kawasan Jawa Timur. Kepergian Ronggowarsito dan
Tanujoyo membikin bingung Kasan Besari. Ia lalu mengutus muridnya
bernama Kromoleyo.
Kromoleyo punya akal untuk menemukan Ronggowarsito. Yaitu dengan main
rodat, kesenian tradisional berupa sendratari. Benar juga: di sebuah
pasar di Madiun, ia bertemu Ronggowarsito. Ketiganya lalu balik ke
pesantren Kasan Besari. Sang kiai lalu mendidiknya dengan keras. Dalam
Babad Ronggowarsito dinukilkan, Kiai Kasan Besari menghukum
Ronggowarsito dengan duduk di atas sebatang bambu di atas telaga dekat
pesantren selama 40 hari. Sehari-harinya hanya makan sebuah pisang.
Setelah hukumannya selesai, barulah Ronggowarsito diberi ilmu agama.
Tanda- tanda ia akan jadi orang hebat mulai tampak. Ronggowarsito sampai
diangkat sebagai badal, atau wakil Kasan Besari di pesantren. Pada
1815, Ronggowarsito pulang ke rumah, yang dua tahun ditinggalkannya. Ia
langsung dikhitan.
Bekal ilmu dari Kasan Besari itu kemudian ditambahi kakeknya,
Sastronegoro, dengan ilmu sastra, serta bahasa Jawa kuno dan Kawi. Dari
Panembahan Buminoto, Ronggowarsito juga mereguk ilmu spiritual. Melihat
kepandaian sang anak didik, Panembahan Buminoto mengusulkan kepada Paku
Buwono V, agar Ronggowarsito, 19 tahun ketika itu, diberi pekerjaan
layak di keraton.
Usul itu ditolak. Ronggowarsito sendiri pada saat itu sudah menikah
dengan Raden Ayu Gombak. Karena tak punya pekerjaan, Ronggowarsito
mengajak Tanujoyo mengembara lagi, dan meninggalkan istrinya. Sampai ke
Bali, di setiap daerah yang punya"orang sakti'' Ronggowarsito tak lupa
berguru. Setelah pemerintahan dipegang Paku Buwono VI, Ronggowarsito
diminta kembali ke keraton sebagai juru tulis, pada 1822.
Tak lama kemudian berkecamuklah Perang Diponegoro, 1825-1830.
Ronggowarsito berpihak pada Pangeran Diponegoro. Ketegangan politik
muncul antara Belanda dan Paku Buwono VI, yang dianggap pro-Diponegoro.
Sampai akhirnya Paku Buwono VI dibuang ke Ambon, dan wafat di sana pada
1849. Nasib yang kurang lebih sama dialami ayah Ronggowarsito, yaitu
Ronggowarsito II.
Di masa kematangannya sebagai pujangga, Ronggowarsito dengan gamblang
dan wijang mampu menuangkan suara jaman dalam serat-serat yang
ditulisnya. Ronggowarsito memulai karirnya sebagai sastrawan dengan
menulisSerat Jayengbaya ketika masih menjadi mantri carik di Kadipaten
Anom dengan sebutan M. Ng. Sorotoko. Dalam serat ini dia berhasil
menampilkan tokoh seorang pengangguran bernama Jayengboyo yang konyol
dan lincah bermain-main dengan khayalannya tentang pekerjaan. Sebagai
seorang intelektual, Ronggowarsito menulis banyak hal tentang sisi
kehidupan. Pemikirannya tentang dunia tasawuf tertuang diantaranya dalam
Serat Wirid Hidayatjati, pengamatan sosialnya termuat dalamSerat
Kalatidha, dan kelebihan beliau dalam dunia ramalan terdapat dalam Serat
Jaka Lodhang, bahkan pada Serat Sabda Jati terdapat sebuah ramalan
tentang saat kematiannya sendiri.
Pertama mengabdi pada keraton Surakarta Hadiningrat dengan pangkat
Jajar. Pangkat ini meembuatnya menyandang nama Mas Panjangswara., adalah
putra sulung Raden Mas Tumenggung Sastranegara, pujangga kraton
Surakarta.. Semasa kecil beliau diasuh oleh abdi yang amat kasih bernama
Ki Tanudjaja. Hubungan dan pergaulan keduanya membuat Ranggawaraita
memiliki jiwa cinta kasih dengan orang-orang kecil (wong cilik). Ki
Tanudjaja mempengaruhi kepribadian Ranggawarsita dalam penghargaannya
kepada wong cilik dan berkemampuan terbatas. Karena pergaulan itu, maka
dikemudian hari, watak Bagus Burham berkembang menjadi semakin
bijaksana.
Menjelang dewasa (1813 Masehi), ia pergi berguru kepada Kyai Imam Besari
dipondok Gebang Tinatar. Tanggung jawab selama berguru itu sepenuhnya
diserahkan pada Ki Tanudjaja. Ternyata telah lebih dua bulan, tidak
maju-rnaju, dan ia sangat ketinggalan dengan teman seangkatannya.
Disamping itu, Bagus Burham di Panaraga mempunyai tabiat buruk yang
berupa kesukaan berjudi. Dalam tempo kurang satu tahun bekal 500 reyal
habis bahkan 2 (dua) kudanyapun telah dijual. Sedangkan kemajuannya
dalam belajar belum nampak., Kyai Imam Besari menyalahkan Ki Tanudjaja
sebagai pamong yang selalu menuruti kehendak Bagus Burham yang kurang
baik itu. Akhirnya Bagus Burham dan Ki Tanudjaja dengan diam-diam
menghilang dari Pondok Gebang Tinatar menuju ke Mara. Disini mereka
tinggal di rumah Ki ngasan Ngali saudara sepupu Ki Tanudjaja. Menurut
rencana, dari Mara mereka akan menuju ke Kediri, untuk menghadap Bupati
Kediri Pangeran Adipati cakraningrat. Namun atas petunjuk Ki Ngasan
Nga1i, mereka berdua tidak perlu ke Kediri, melainkan cukup menunggu
kehadiran Sang Adipati Cakraningrat di Madiun saja, karena sang Adi pati
akan mampir di Madiun dalam rangka menghadap ke Kraton Surakarta.
Selama menunggu kehadiran Adipati Cakraningrat itu, Bagus Burhan dan Ki
Tanudjaja berjualan 'klitikan' (barang bekas yang bermacam-macam yang
mungkin masih bisa digunakan). Di pasar inilah Bagus Burham berjumpa
dengan Raden kanjeng Gombak, putri Adipati Cakraningrat, yang kelak
menjadi isterinya.
Kemudian Burham dan Ki Tanudjaja meninggalkan Madiun. Kyai Imam Besari
melaporkan peristiwa kepergian Bagus Burhan dan Ki Tanudjaja kepada
ayahanda serta neneknya di Solo/Surakarta. Raden Tumenggung Sastranegara
memahami perihal itu, dan meminta kepada Kyai Imam Besari untuk ikut
serta mencarinya. Selanjutnya Ki Jasana dan Ki Kramaleya diperintahkan
mencarinya. Kedua utusan itu akhirnya berhasil menemukan Burham dan Ki
Tanudjaja, lalu diajaknyalah mereka kembali ke Pondok Gebang Tinatar,
untuk melanjutkan berguru kepada Kyai Imam Besari.
Ketika kembali ke Pondok, kenakalan Bagus Burhan tidak mereda. Karena
kejengkelannya, maka Kyai Imam Besari memarahi Bagus Burham. Akhirnya
Bagus Burham menyesali perbuatannya dan sungguh-sungguh menyesal atas
tindakannya yang kurang baik itu. Melalui proses kesadaran dan
penghayatan terhadap kenyataan hidupnya itu, Bagus Burham menyadari
perbuatannya dan menyesalkan hal itu. Dengan kesadarannya, ia lalu
berusaha keras untuk menebus ketinggalannya dan berjanji tidak
mengulangi kesalahannya, ia juga berusaha untuk memperhatikan keadaan
sekitarnya, yang pada akhirnya justru mendorongnya untuk mengejar
ketinggalan dalam belajar. Dengan demikian muncul kesadaran baru untuk
berbuat baik dan luhur, sesuai dengan kemampuannya.
Sejak saat itu, Bagus Burhan belajar dengan lancar dan cepat, sehingga
Kyai Imam Besari dan teman-teman Bagus Burhan menjadi heran atas
kemajuan Bagus Burham itu. Dalam waktu singkat, Bagus Burhan mampu
melebihi kawan-kawannya. Setelah di Pondok Gebang Tinatar dirasa cukup,
lalu kembali ke Surakarta, dan dididik oleh neneknya sendiri, yaitu
Raden Tumenggung Sastranegara. Neneknya mendidik dengan berbagai ilmu
pengetahuan yang amat berguna baginya. Setelah dikhitan pada tanggal 21
Mei l8l5 Masehi, Bagus Burham diserahkan kepada Gusti Panembahan
Buminata, untuk mempelajari bidang Jaya-kawijayan (kepandajan untuk
menolak suatu perbuatan jahat atau membuat diri seseorang merniliki
suatu kemampuan yang melebihi orang kebanyakan), kecerdas-an dan
kemampuan jiwani.Setelah tamat berguru, Bagus Burhan dipanggil oleh Sri
Paduka PB.IV dan dianugerahi restu, yang terdiri dari tiga tingkatan,
yaitu :
Pertama : Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi
pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang
didasari oleh cinta kasih dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa
halus, teguh dan berkemauan keras. Pendidikan dan pembentukan
kepribadian untuk mengatasi pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan
pendidikan Kyai Imam Besari, yang didasari oleh cinta kasih dan
mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa halus, teguh dan berkemauan
keras. Pendidikan dan pembentukan kepribadian untuk mengatasi
pubersitas. Hal ini dibuktikan dengan pendidikan Kyai Imam Besari, yang
didasari oleh cinta kasih dan mengakibatkan Bagus Burham memiliki jiwa
halus, teguh dan berkemauan keras.
Kedua : Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden Tumenggung
Sastranagara, seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal
pendidikan, RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana Sunu
dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan dasar-dasar
tentang sastra Jawa.Pembentukan jiwa seni oleh neneknya sendiri, Raden
Tumenggung Sastranagara, seorang pujangga berpengetahuan luas. Dalam hal
pendidikan, RT. Sastranagara amat terkenal dengan gubahannya Sasana
Sunu dan Dasanama Jarwa. Dari neneknya, Bagus Burham mendapatkan
dasar-dasar tentang sastra Jawa.
Ketiga : Pembentukan rasa harga diri, kepercayaan diri dan keteguhan
iman diperoleh dari Gusti Pangeran Harya Buminata. Dari pangeran ini,
diperoleh pula ilmu Jaya-kawijayan, kesaktian dan kanuragan. Proses
inilah proses pendewasaan diri, agar siap dalam terjun kemasyarakat. dan
siap menghadapai segala macam percobaan dan dinamika kehidupan.Bagus
Burham secara kontinyu mendapat pendidikan lahir batin yang sesuai
dengan perkembangan sifat-sifat kodratiahnya, bahkan ditambah dengan
pengalamannya terjun mengembara ketempat-tempat yang dapat menggernbleng
pribadinya. Seperti pengalaman ke Ngadiluwih, Ragajambi dan tanah Bali.
Disamping gemblengan orang-orang tersebut diatas, terdapat pula
bangsawan keraton yang juga memberi dorongan kuat untuk meningkatkan
kemampuannya, sehingga karier dan martabatnya semakin meningkat. Tanggal
28 Oktober 1818, ia diangkat menjadi pegawai keraton dengan jabatan
Carik Kaliwon di Kadipaten Anom, dengan gelar Rangga Pujangga Anom, atau
lazimnya disebut dengan Rangga Panjanganom.
Bersamaan dengan itu, Mas Rangga Panjanganom melaksanakan pernikahan
dengan Raden Ajeng Gombak dan diambil anak angkat oleh Gusti panembahan
Buminata. Perkawinan dilaksanakan di Buminata. Saat itu usia Bagus
Burham 21 tahun. Setelah selapan (35 hari) perkawinan, keduanya
berkunjung ke Kediri, dalam hal ini Ki Tanudjaja ikut serta. Setelah
berbakti kepada mertua, kemudianBagus Burham mohon untuk berguru ke Bali
yang sebelumnya ke Surabaya. Demikian juga berguru kepada Kyai
Tunggulwulung di Ngadiluwih, Kyai Ajar Wirakanta di Ragajambi dan Kyai
Ajar Sidalaku di Tabanan-Bali. Dalam kesempatan berharga itu, beliau
berhasil membawa pulang beberapa catatan peringatan perjalanan dan
kumpulan kropak-kropak serta peninggalan lama dari Bali dan Kediri ke
Surakarta.
Sekembali dari berguru, ia tinggal di Surakarta melaksanakan tugas
sebagai abdi dalem keraton. Kemudian ia dianugerahi pangkat Mantri Carik
dengan gelar Mas ngabehi Sarataka, pada tahun 1822. Ketika terjadi
perang Diponegoro (th.1825-1830), yaitu ketika jaman Sri Paduka PB VI,
ia diangkat menjadi pegawai keraton sebagai Penewu Carik Kadipaten Anom
dengan gelar Raden Ngabehi Ranggawarsita, yang selanjutnya bertempat
tinggal di Pasar Kliwon. Dalam kesempatan itu, banyak sekali
siswa-siswanya yang terdiri orang-orang asing, seperti C.F Winter, Jonas
Portier, CH Dowing, Jansen dan lainnya. Dengan CF.Winter, Ranggawarsita
membantu menyusun kitab Paramasastra Jawa dengan judulParamasastra
Jawi. Dengan Jonas Portier ia membantu penerbitan majalah Bramartani,
dalam kedudukannya sebagai redaktur.Majalah ini pada jaman PB VIII
dirubah namanya menjadi Juru Martani. Namun pada jaman PB IX kembali
dirubah menjadi Bramartani.
Setelah neneknya RT. Sastranegara wafat pada tanggal 21 April 1844,
R.Ng. Ranggawarsita diangkat menjadi Kaliwon Kadipaten Anom dan
menduduki jabatan sebagai Pujangga keraton Surakarta Hadiningrat pada
tahun 1845. Pada tahun ini juga, Ranggawarsita kawin lagi dengan putri
RMP. Jayengmarjasa. Ranggawarsita wafat pada tahun 1873 bulan Desember
hari Rabu pon tanggal 24. Inalilahi waina ilahi rojiun.*
Ranggawarsita dan Zaman Edan
Istilah Zaman Edan konon pertama kali diperkenalkan oleh Ranggawarsita
dalam Serat Kalatida, yang terdiri atas 12 bait tembang Sinom. Salah
satu bait yang paling terkenal adalah:
amenangi zaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun,
ndilalah kersa Allah,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling klawan waspada.
yang terjemahannya sebagai berikut:
menyaksikan zaman gila,
serba susah dalam bertindak,
ikut gila tidak akan tahan,
tapi kalau tidak mengikuti (gila),
tidak akan mendapat bagian,
kelaparan pada akhirnya,
namun telah menjadi kehendak Allah,
sebahagia-bahagianya orang yang lalai,
akan lebih bahagia orang yang tetap ingat dan waspada.
Syair di atas menurut analisis seorang penulis bernama Ki Sumidi
Adisasmito adalah ungkapan kekesalan hati pada masa pemerintahan
Pakubuwono IX yang dikelilingi para penjilat yang gemar mencari
keuntungan pribadi. Syair tersebut masih relevan hingga zaman modern ini
di mana banyak dijumpai para pejabat yang suka mencari keutungan
pribadi tanpa memedulikan kerugian pihak lain.
Karya Sastra
Karya sastra tulisan Ranggawarsita antara lain,
Bambang Dwihastha : cariyos Ringgit Purwa
Bausastra Kawi atau Kamus Kawi – Jawa, beserta C.F. Winter sr.
Sajarah Pandhawa lan Korawa : miturut Mahabharata, beserta C.F. Winter sr.
Sapta dharma
Serat Aji Pamasa
Serat Candrarini
Serat Cemporet
Serat Jaka Lodang
Serat Jayengbaya
Serat Kalatidha
Serat Panitisastra
Serat Pandji Jayeng Tilam
Serat Paramasastra
Serat Paramayoga
Serat Pawarsakan
Serat Pustaka Raja
Suluk Saloka Jiwa
Serat Wedaraga
Serat Witaradya
Sri Kresna Barata
Wirid Hidayat Jati
Wirid Ma'lumat Jati
Serat Sabda Jati
Ramalan tentang Kemerdekaan Indonesia
Ranggawarsita hidup pada masa penjajahan Belanda. Ia menyaksikan sendiri
bagaimana penderitaan rakyat Jawa, terutama ketika program Tanam Paksa
dijalankan pasca Perang Diponegoro. Dalam suasana serba memprihatinkan
itu, Ranggawarsita meramalkan datangnya kemerdekaan, yaitu kelak pada
tahun Wiku Sapta Ngesthi Janma.
Kalimat yang terdiri atas empat kata tersebut terdapat dalam Serat Jaka
Lodang, dan merupakan kalimat Suryasengkala yang jika ditafsirkan akan
diperoleh angka 7-7-8-1. Pembacaan Suryasengkala adalah dibalik dari
belakang ke depan, yaitu 1877 Saka, yang bertepatan dengan 1945 Masehi,
yaitu tahun kemerdekan Republik Indonesia.
Pengalaman pribadi Presiden Soekarno pada masa penjajahan adalah ketika
berjumpa dengan para petani miskin yang tetap bersemangat di dalam
penderitaan, karena mereka yakin pada kebenaran ramalan Ranggawarsita
tentang datangnya kemerdekaan di kemudian hari.
Misteri Kematian Sang Pujangga
Pada akhir sekitar rentang 1979, kematian R.Ng. Ronggowarsito alias
Bagus Burhan memang sempat menjadi bahan polemik. Pokok pangkal polemik
tersebut adalah sekitar kematian Ronggowarsito yang telah diketahui
sebelumnya oleh dirinya sendiri. Ya, delapan hari sebelum ajal
menjemputnya sang pujangga telah menulis berita kematian tersebit dalam
Serat Sabda Jati. Demikian cuplikannya dalam susunan kalimat asli:
"Amung kurang wolu ari kadulu, tamating pati patitis. Wus katon neng
lobil makpul, antarane luhur, selaning tahun Jumakir, toluhu madyaning
janggur. Sengara winduning pati, netepi ngumpul sakenggon."
Artinya kurang lebih bahwa dirinya akan meninggal pada tanggal 5
Dulkaidah 1802 atau tanggal 24 Desember 1873 pada hari Rabu Pon.
Tulisan tersebut memang sempat melahirkan kontroversi berkepanjangan.
Ada yang menilai bahwa Ronggowarsito meninggal bukan secara alami, akan
tetapi dibunuh atas perintah persekongkolan Raja Paku Buwono IX yang
mendapat desakan Belanda. Ketika itu Belanda merasa resah karena melihat
kelebihan dan kemampuannya. Karena itulah Belanda berkepentingan
menghabisinya. Apalagi, ayahanda Ronggowarsito ternyata juga telah
diculik Belanda hingga akhirnya tutup usia di Jakarta.
Keinginan Belanda itub rupanya sejalan dengan Paku Buwono IX. Sang raja
juha merasakan adanya sesuatu yang kurang berkenan dengan sepak terjang
Ronggowarsito yang ketika itu namanya sangat terkenal mengingat
karya-karyanya. Maka kuat dugaan, konspirasi menyikirkan Ronggowarsito
akhirnya berjalan sempurna.
Apakah keraguan ini benar? Memang, sampai sekarang hal tersebut tetap
menjadi misteri. Di satu pihak menganggap bahwa dengan kelinuwihannya
Ronggowarsito memang mampu mengetahui saat-saat kematiannya, meski
kematian adalah rahasia Tuhan. Namun di pihak lain menduga bahwa tidak
menutup kemungkinan ada tangan-tangan lain yang merekayasa kematian
tersebut, sekaliggus merekayasa kalimat ramalan pada Serat Sabda Jati
sebagaimana dinukuli di atas.
Memang, banyak kalangan ahli yang beranggapan, bahwa bait-bait
sebagaimana kami nukilkan itu merupakan tambahan dari orang lain. Hal
ini jika mengingat dari sekitar 50 buku tulisan karya Ronggowarsito
tidak terlalu nyata, mana tulisan murni karyanya, dan mana yang ditulis
bersama-sama dengan orang lain, maupun yang merupakan terjemahan. Hal
ini mudah dimaklumi, mengingat pada waktu itu belum ada perlindungan hak
cipta. Apalagi sewaktu Ronggowarsito bertugas di keraton Solo kerajaan
dalam kondisi tidak menentu, terpengaruh dengan perseteruan keluarga
raja dan campur tangan kaum penjajah Belanda yang ingin mengail d iair
keruh. Bagaimana yang sebenarnya, hanya Tuhan yang Maha Tahu.
Sumur Tua Bernuansa Mistis
Beberapa waktu yang lalu kami berziarah ke makam pujangga agung Tanah
Jawa ini. Yang menarik, di bagian utara komplek makam, terdapat sebuah
sumur tua, yang konon sudah ada sejak pertama kali makam tersebut
dibangun.
Mungkin karena ketuaannya, kami memang merasakan kalau sumur ini telah
dipengaruhui oleh khodam sang pujangga yang memiliki daya linuwih
tersebut. Kekuatan khodam ini terasa sangat dominant.
Memang, menurut kepercayaan sumur ini menyimpan karomah untuk memperoleh
atau meramalkan gambaran jati diri seseorang. Caranya adalah dengan
prosesi ritual tertentu, yakni dengan memasukkan uang gobang kuno ke
dalam sumur yang saat penghujan hanya berkedalaman sekitar satu setengah
meter dari permukaan tanah tersebut.
Menurut tutur, orang yang melakukan ritual akan memperoleh gambaran yang
dapat terlihat, yang melambangkan nasib atau peruntungannya. Contohnya,
jika terlihat gambaran payung, maka diyakini akan memperoleh jabatan
tinggi. Contoh lainnya, bila si pelaku ritual melihat gambaran buku,
maka diyakini dia akan menjadi penulis atau pengarang terkenal yang
buku-bukunya laris.
Masih banyak gambaran lain yang bisa diperoleh peziarah, yang tentu saja untuk membacanya kita perlu minta petunjuk juru kunci.
"Sumur ini ada yang menyebutnya Sumur Tiban. Menurut penerawangan, sumur
itu ditunggu oleh sejenis jin yang berwujud seorang puteri.Namanya
Sekar Lara Gadung Melati," demikian tutur Bu Bambang, 55 tahun, isteri
juru kunci yang sering diminta tolong mengantarkan tamu, apabila
suaminya tidak sedangg ada di tempuh karena keperluan yang tak dapat
ditinggalkan.
Ketika kami berkunjung ke tempat ini, maih terlihat batang-batang hio
bekas para peziarah. Juga terlihat di sana sini tersebar kembang dari
para peziarah yang belum sempat dibersihkan.
"Hampir setiap hari ada tamu yang ritual di sini. Tetapi yang paling banyak di hari Kamis malam Jum’at Kliwon," tambahnya pula.
Kompleks makam Ronggowarsito ini dibangun hingga mencapai bentuknya yang
sekarang sekitar 1955 oleh Dinas P & K kala ini. Yang terasa unik,
di luar cungkup pujangga terlihat makam Carel Prederick Winters
(1799-1859), berikut isterinya, Jacoma Hendrika Logeman (1828). Maka ini
memang dipindahkan dari makam Kerkop di Jebres Solo sekitar 1985.
Tak jauh dari maka sang pujangga juga ada makam Bagus Tlogo dan Bagus
Gumyur. Mereka disebut sebagai cikal bakal makam, yang merupakan pemuda
kembar yang hingga kini masih masih paling diangap wingit.
Sementara itu, terlepas dari mana yang benar tentang peristiwa wafatnya
sang pujangga, tulisan-tulisan karyanya telah memberikan andil dalam
kesusteraan kita. Khususnya sastrawan bahasa Jawa. Tanpa Ronggowarsito,
mungkin terlampau sedikit kajian sastra-sastra Jawa yang dapat
dimanfaatkan.
Ramalan Jangka Jayabaya, misalnya, sangat besar andilnya bagi masyarakat
Jawa khususnya, dan Indonesia pada umumnya. Terlebih, apabila kondisi
bangsa sedang terpuruk, biasanya ada secercah harapan, bahwa di suatu
saat nanti cobaan akan berakhir setelah munculnya seorang pemimpin
sejati, yang disenangi rakyat, yaitu Satrio Piningit atau Ratu Adil,
yang akan mengentaskan kita dari keterpurukan keadaan.
Sebagai contoh, pada zaman pemberontakan Dipenogoro (1825-1830),
pengikut sang pangeran mengira bahwa beliaulah Ratu adil yang
ditunggu-tunggu, yang akan mampu melepaskan mereka dari derita akibat
ulah penjajah Belanda. Demikian pula ketika Jepang mencengkramkan
kuku-kuku penjajahannya di Indonesia.
Demikian juga ketika negara kita dilanda oleh krisis multi dimensi,
harga-harga mahal, kesulitan hidup mencekik leher seperti sekarang ini.
Dengan adanya wacana akan datangnya sang Ratu Adil, maka rakyat tetap
memiliki rasa optimis. Setidaknya, mereka masih punya harapan bahwa di
suatu waktu nanti keadaan ini akan berakhir, dan kejayaan bangsa akan
pulih, bahkan melebihi kejayaan masa lampau.
Kapan itu? Kita sama-sama menunggu. "Bayang-bayang hanya setinggi
badan." Demikian kata pepatah., yang artinya cobaan dari Tuhan sebatas
kita mampu menanggungnya. Mungkin, kita memang mungkin harus bersabar.