Rabu, 13 Oktober 2021

Penjelasan Tentang Sholat Isyroq

 

Sedikit di antara kita yang mengetahui shalat yang satu ini. Shalat ini dikenal dengan shalat isyroq. Shalat isyroq sebenarnya termasuk shalat Dhuha, namun dikerjakan di awal waktu. Simak penjelasannya berikut ini.
Asal Penamaan Shalat Isyroq
Penyebutan shalat ini dengan shalat isyraq berdasarkan penamaan sahabat Ibnu ‘Abbas.
Dari ‘Abdullah bin Al Harits, ia berkata,
أن ابن عباس كان لا يصلي الضحى حتى أدخلناه على أم هانئ فقلت لها : أخبري ابن عباس بما أخبرتينا به ، فقالت أم هانئ : « دخل رسول الله صلى الله عليه وسلم في بيتي فصلى صلاة الضحى ثمان ركعات » فخرج ابن عباس ، وهو يقول : « لقد قرأت ما بين اللوحين فما عرفت صلاة الإشراق إلا الساعة » ( يسبحن بالعشي والإشراق) ، ثم قال ابن عباس : « هذه صلاة الإشراق »
Ibnu ‘Abbas pernah tidak shalat Dhuha sampai-sampai kami menanyakan beliau pada Ummi Hani, aku mengatakan pada Ummi Hani, “Kabarilah mengenai Ibnu ‘Abbas.” Kemudian Ummu Hani mengatakan, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah shalat Dhuha di rumahku sebanyak 8 raka’at.” Kemudian Ibnu ‘Abbas keluar, lalu ia mengatakan, “Aku telah membaca antara dua sisi mushaf, aku tidaklah mengenal shalat isyroq kecuali sesaat.” (Allah berfirman yang artinya), “Mereka pun bertasbih di petang dan waktu isyroq (waktu pagi).”‎Ibnu ‘Abbas menyebut shalat ini dengan SHALAT ISYROQ. [HR. Al Hakim. Syaikh Bazmoul dalamBughyatul Mutathowwi’ mengatakan bahwa atsar ini hasan ligoirihi (hasan dilihat dari jalur lainnya]
Keutamaan Shalat Isyroq
Dari Abu Umamah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ صَلَّى صَلاةَ الصُّبْحِ فِي مَسْجِدِ جَمَاعَةٍ يَثْبُتُ فِيهِ حَتَّى يُصَلِّيَ سُبْحَةَ الضُّحَى، كَانَ كَأَجْرِ حَاجٍّ، أَوْ مُعْتَمِرٍ تَامًّا حَجَّتُهُ وَعُمْرَتُهُ
“Barangsiapa yang mengerjakan shalat shubuh dengan berjama’ah di masjid, lalu dia tetap berdiam di masjid sampai melaksanakan shalat sunnah Dhuha, maka ia seperti mendapat pahala orang yang berhaji atau berumroh secara sempurna.” [HR. Thobroni.]
Dari Anas bin Malik, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَنْ صَلَّى الْغَدَاةَ فِى جَمَاعَةٍ ثُمَّ قَعَدَ يَذْكُرُ اللَّهَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ كَانَتْ لَهُ كَأَجْرِ حَجَّةٍ وَعُمْرَةٍ ». قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « تَامَّةٍ تَامَّةٍ تَامَّةٍ »
“Barangsiapa yang melaksanakan shalat shubuh secara berjama’ah lalu ia duduk sambil berdzikir pada Allah hingga matahari terbit, kemudian ia melaksanakan shalat dua raka’at, maka ia seperti memperoleh pahala haji dan umroh.” Beliau pun bersabda, “Pahala yang sempurna, sempurna dan sempurna.” [HR. Tirmidzi no. 586.]
Tata Cara Pelaksanaan Shalat Isyroq
Shalat isyroq dilakukan sebanyak dua raka’at. Gerakan dan bacaannya sama dengan shalat-shalat lainnya.
Berdasarkan hadits-hadits yang telah dikemukakan, shalat isyroq disyariatkan bagi orang yang melaksanakan shalat jama’ah shubuh di masjid lalu ia berdiam untuk berdzikir hingga matahari terbit, lalu ia melaksanakan shalat isyroq dua raka’at.
Ketika berdiam di masjid dianjurkan untuk berdzikir. Dzikir di sini bentuknya umum, bisa dengan membaca Al Qur’an,membaca dzikir, atau lebih khusus lagi membaca dzikir pagi.
Waktu shalat isyroq sebagaimana waktu dimulainya shalat Dhuha yaitu mulai matahari setinggi tombak, sekitar 15-20 menit setelah matahari terbit.
Tata Lengkap Cara Shalat Isyroq:‎

Sholat ini dilaksanakan sebanyak 2 roka'at dengan niat melakukan Sholat Isyroq.

أُصَلِّيْ سُنَّةَ اْلِإشْرَاقِ رَكْعَتَيْنِ لِلهِ  تَعَالَى . الله أكْبَرُ

Artinya: "Aku berniat melakukan Sholat Sunah Isyroq 2 Raka'at karena Allah Ta'ala".

Raka'at pertama setelah Al-Fatihah mambaca surat Ad-Dhuha dan raka'at kedua setelah Al-Fatihah mambaca surat Asy-insyiroh‎

Untuk tata cara sholat isyroq  sama dengan shalat sunah lain ‎

Setelah selesai sholat membaca do'a :
 
اَللَّهُمَّ يَا نُوْرَ النُّوْرِ بِالطُّوْرِ وَكِتَابٍ مَسْطُوْرٍ فِيْ رِقٍّ مَنْشُوْرٍ وَالبَيْتِ المَعْمُوْرِ أَسْأَلُكَ أَنْ تَرْزُقَنِيْ نُوْرًا أَسْتَهْدِيْ بِهِ إِلَيْكَ وَأَدُلُّ بِهِ عَلَيْكَ وَيَصْحَبُنِيْ فِيْ حَيَاتِيْ وَبَعْدَ الْاِنْتِقَالِ مِنْ ظَلاَم مِشْكَاتِيْ وَأَسْأَلُكَ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا وَنَفْسِ مَا سِوَاهَا أَنْ تَجْعَلَ شَمْسَ مَعْرِفَتِكَ مُشْرِقَةً بِيْ لَا يَحْجُبُهَا غَيْمُ الْأَوْهَامِ وَلَا يَعْتَرِيْهَا كُسُوْفُ قَمَرِ الوَاحِدِيَّةِ عِنْدَ التَّمَامِ بَلْ أَدِمْ لَهَا الْإِشْرَاقَ وَالظُهُوْرَ عَلَى مَمَرِّ الْأَيَّامِ وَالدُّهُوْرِ وَصَلِّ اللَّهُمَّ عَلَى سَيِّدِنَا مُحَمَّدٍ خَاتِمِ اْلأَنْبِيَاءِ وَالْمُرْسَلِيْنَ وَالْحَمْدُ ِللهِ رَبِّ الْعَالَمِيْنَ اللهم اغْفِرْ لَنَا وَلِوَالِدِيْنَا وَلِإِخْوَاِننَا فِي اللهِ أَحْيَاءً وَأَمْوَاتًا أَجْمَعِيْنَ
 
Artinya: "Ya Allah, Wahai Cahayanya Cahaya, dengan wasilah  bukit Thur dan Kitab yang ditulis  pada lembaran yang terbuka, dan dengan wasilah  Baitul Ma'mur, aku meminta kepadaMu  agar Engkau memberiku cahaya, yang dengannya aku dapat mencari petunjukMu, dan dengannya aku menunjukkan tentangMu. Dan yang terus-menerus mengiringiku dalam kehidupanku dan setelah berpindah (ke alam lain; bangkit dari kubur) dari kegelapan liang (kubur) ku. Dan aku meminta padaMu dengan wasilah matahari beserta cahayanya di pagi hari, dan kemulyaan yang wujud pada selain matahari, agar Engkau menjadikan matahari ma'rifat padaMu (yang ada padaku) bersinar menerangiku, tidak tertutup oleh mendung-mendung keraguan, tidak pula terlintasi gerhana pada rembulan kemaha-esaan dikala purnama. Tapi jadikanlah padanya selalu bersinar dan selalu tampak, seiring berjalannya hari dan tahun. Dan berikanlah rahmat ta'dzim Wahai Allah kepada junjungan kami Muhammad, sang pamungkas para nabi dan Rasul. Dan segala Puji hanya milik Allah tuhan penguasa alam. Ya Allah ampunilah kami, kedua Orang tua kami serta kepada saudara-saudara kami seagama seluruhnya, baik yang masih hidup ataupun yang telah meninggal".

Penjelasan Tentang Sholat Tasbih

 

Kita sering mendengar yang namanya sholat tasbih, sebagian besar umat Islam sering melakukannya, karena merupakan salah satu sholat sunnah yang mana bisa dilakukan pada malam hari. maupun pada siang hari. Imam Ghozali dalam kitabnya Ihya’ Ulumiddin mengatakan “Sholat tasbih ini adalah merupakan sholat yang pernah dilakukan oleh Rosululloh Saw, makanya kalau bisa alangkah baiknya bagi orang Islam untuk melakukannya minimal dalam seminggu sekali atau kalau tidak mampu mungkin dalam sebulan cukup sekali”. 

Adapun tendensi hadis yang digunakan oleh ulama’ yang mengatakan bahwa sholat tasbih adalah sunnah berupa hadis yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dalam kitab sholat bab sholat tasbih, Imam Turmuzi, Ibnu Majjah dalam kitab Iqoomah Assholah bab sholat tasbih, Ibnu Khuzaimah, Imam Baihaqi dalam bab sholat tasbih, Imam Thobroni dalam Mu’jam Alkabir dari Ibnu Abbas dan Abu Rofi’ bahwa dalam syarah hadis, Nabi telah menjelaskan kepada pamannya Abbas Bin Abdul Mutholib suatu amalan yang mana kalau dikerjakan oleh beliau dapat menyebabkan diampuni dosannya baik yang akan datang maupun yang telah lewat, salah satu amalan tersebut adalah sholat tasbih.

Adapun pakar hadis dalam menganalisa hadis ini melalui jalur sanad maupun matan terjadi perbedaan, diantara ulama’ ada yang mengatakan bahwa hadis ini adalah shohih, ada lagi yang mengatakan bahwa hadis ini adalah lemah, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa hadis ini sampai kederajad maudlu’.‎

Tentang shalat tasbih yang ditanyakan, nash haditsnya adalah sebagai berikut,

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ أَنَّ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَـلَّمَ قَالَ لِلْعَبَّاسِ بْنِ عَبْدِ المُطَّلِبِ يَا عَبَّاسُ يَا عَمَّاهُ أَلاَ أُعطِيْكُ أَلاَ أَمْنَحُكَ أَلاَ أَحَبُوِكَ أَلاَ أَفَعَلُ بِـكَ عَشْرَ خِصَالٍ إِذَا أَنْتَ فَعَلْـتَ ذَلِكَ غَفَرَ اللهُ لَكَ ذَنْبَكَ أَوْلَهُ وَآخِرَهُ قَدِيمـَهُ وَحَدِيْثَهُ خَطَأَهُ وَعَمْدَهُ صَغِيْرَهُ وَكَبِـيْرَهُ سِـرَّهُ وَعَلاَنِيَـتَهُ عَشْرَ خِصَالٍ أَنْ تُصَلِّيَ أَرْبـَعَ رَكَعَاتٍ تَكْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ فَاتِحَةَ الكِتَابِ وَسُورَةً فَإِذَا فَرَغْتَ مِنْ الْقِرَائَةِ فِي أَوَّلِ رَكْعَةٍ وَأَنْتَ قَائِمٌ قُلْتَ سُبْحَانَ اللهِ وَالْحَمْدُلِ لِلَّهِ وَلاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَاللهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً ثُمَّ تَرْكَعُ فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ رَاكِعٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ الرُّكُوعِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَهْوِي سَـاجِدًا فَتَقُولُهَا وَأَنْتَ سَـاجِدٌ عَشْرًا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ مِنْ السُّجُودِ فَتَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ تَسْـجُدُ فَتَقُولُهَا ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَكَ فَتَقُولُهَا عَشْرًا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ تَفْعَلُ ذَلِكَ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ إِنْ اسْتَطَعْتَ أَنْ بُصَلِّيَهَا فِي كُلِّ يَوْمٍ مَرَّةً فَافْعَلْ فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ جُمُعَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلُ فَفِي كُلِّ شَهْرٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي كُلِّ سَـنَةٍ مَرَّةً فَإِنْ لَمْ تَفْعَلْ فَفِي عُمُركَ مَرَّةً

“Dari Ibnu Abbas, bahwa Rasulullah bersabda kepada Abbas bin Abdul Muththalib, “Hai Abbas, hai pamanku, maukah engkau aku beri? Maukah engkau aku kasih? Maukah engkau aku beri hadiah? Maukah engkau aku ajari sepuluh sifat (pekerti)? Jika engkau melakukannya, Allah mengampuni dosamu: dosa yang awal dan yang akhir, dosa yang lama dan yang baru, dosa yang tidak disengaja dan yang disengaja, dosa yang kecil dan yang besar, dosa yang rahasia dan terang-terangan, sepuluh macam (dosa). Engkau shalat empat rakaat. Pada setiap rakaat engkau membaca al-Fatihah dan satu surat (al-Quran). Jika engkau telah selesai membaca (surat) pada awal rakaat, sementara engkau masih berdiri, engkau membaca, ‘Subhanallah, walhamdulillah, walaa ilaaha illa Allah, wallahu akbar’ sebanyak 15 kali. Kemudian ruku’, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari ruku’, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau turun sujud, ketika sujud engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu dari sujud, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau bersujud, lalu ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Kemudian engkau angkat kepalamu, maka engkau ucapkan (dzikir) itu sebanyak 10 kali. Maka itulah 75 (dzikir) pada setiap satu rakaat. Engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Jika engkau mampu melakukan (shalat) itu setiap hari sekali, maka lakukanlah! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) setiap bulan sekali! Jika tidak, maka (lakukan) setiap tahun sekali! Jika engkau tidak melakukannya, maka (lakukan) sekali dalam umurmu.”

[Hadits riwayat Abu Dawud 1297; Ibnu Majah, 1387; Ibnu Khuzaimah, 1216; al-Hakim dalam Mustadrak, 1233; Baihaqi dalam Sunan Kubra, 3/51-52, dan lainnya dari jalan Abdurrahman bin Bisyr bin Hakam, dari Abu Syu’aib Musa bin Abdul Aziz, dari Hakam bin Abban, dari Ikrimah, dari Ibnu Abbas. Sanad ini berderajat hasan.]‎

Hadits ini juga memiliki banyak jalan yang menguatkan, sehingga sangat banyak ulama Ahli Hadits yang menguatkannya. Dalam riwayat lain disebutkan,

عَنْ أَبِي الْجَوْزَاءِ قَالَ حَدَّثَنِي رَجُل كَانَتْ لَهُ صُحْبَةٌ يَرَوْنَ أَنَّهُ عَنَّهُ عَبْدُ اللهِ بْنُ عَمْرٍو قَالَ قَالَ لِي النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ائْتِنِي غَدًا اَحءبُوكَ وَأُثِـيْبُكَ وَأَعْطِيْكَ حَتَّى ظَنَنءتُ أَنَّهُ يُعْطِينِي عَطِيَّة قَالَ إِذَا زَالَ النَّهَارُ فَقثمْ فَصَلّ أَرْبَـعَ رَكَعَاتٍ فَذَكَرَ نَحَوَهُ قَالَ ثُمَّ تَرْفَعُ رَأْسَـكَ يَعْنِي مِنْ السَّجْدَةِ الثَّالِيَةِ فَاسْتَوِ جَالِسًا وَلاَ تَقثمْ حَتَّى تُسَبِّحَ عَشْرًا وَتَحْمَدَ عَشْرًا وَتُكَبِّرَ عَشْرًا وَتُهَلِّلَ عَشْرًا ثُمَّ تَصْنَعَ ذَلِكَ فِي الأَرْبَعِ الرَّكَعَاتِ قَالَ فَإِنَّكَ لَوْكُنْتَ أَعُظَمُ أَهْلِ الْـأَرْضِ ذَنْبًا غُفِرَ لَكَ بِذَلِكَ قُلْتُ فَإِنْ لَمْ أَسْتَطِعْ أَنْ أُصَلِّيَهَا تِلْكَ الـسَّـاعَةَ قَالَ صَلِّهَا مِنْ اللَّيْـلِ وَالنَّهَار

“Dari Abul Jauza’, dia berkata, ‘Telah bercerita kepadaku seorang laki-laki yang termasuk sahabat Nabi. Orang-orang berpendapat, dia adalah Abdullah bin Amr, dia berkata, ‘Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda kepadaku, ‘Datanglah kepadaku besok pagi. Aku akan memberimu hadiah, aku akan memberimu kebaikan, aku akan memberimu.’ Sehingga aku menyangka, bahwa beliau akan memberiku suatu pemberian. Beliau bersabda, ‘Jika siang telah hilang, berdirilah, kemudian shalatlah empat rakaat’ (Kemudian dia menyebutkan seperti hadits di atas) Beliau bersabda, ‘Kemudian engkau angkat kepalamu –yaitu dari sujud kedua-, lalu duduklah dengan sempurna, dan janganlah kamu berdiri sampai engkau bertasbih sepuluh kali, bertahmid sepuluh kali, bertakbir sepuluh kali, dan bertahlil sepuluh kali. Kemudian engkau lakukan itu dalam empat rakaat. Sesungguhnya, jika engkau adalah penduduk bumi yang paling besar dosanya, engkau diampuni dengan sabab itu.’ Aku (sahabat itu) berkata, ‘Jika aku tidak mampu melakukannya pada saat itu?’ Beliau menjawab, ‘Shalatlah di waktu malam dan siang.’” (HR. Abu Dawud, no. 1298).

Juga diriwayatkan Thabarani dan Ibnu Majah, no. 1386, pada akhir hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

فَلَوْ كَانَتْ ذُنُوْبُكَ مِثْلَ رَمْلِ عَالِجٍ غَفَرَهَا اللهُ لَكَ

“Seandainya dosa-dosamu semisal buih lautan atau pasir yang bertumpuk-tumpuk, Allah mengampunimu.” (Dishahihlan al-Albani dalam Shahih at-Targhib Wat Tarhib, 1/282).

Hadits penguat :

دَّثَنَا مُوسَى بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ أَبُو عِيسَى الْمَسْرُوقِيُّ حَدَّثَنَا زَيْدُ بْنُ الْحُبَابِ حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ عُبَيْدَةَ حَدَّثَنِي سَعِيدُ بْنُ أَبِي سَعِيدٍ مَوْلَى أَبِي بَكْرِ بْنِ عَمْرِو بْنِ حَزْمٍ عَنْ أَبِي رَافِعٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْعَبَّاسِ يَا عَمِّ أَلَا أَحْبُوكَ أَلَا أَنْفَعُكَ أَلَا أَصِلُكَ قَالَ بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَصَلِّ أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ تَقْرَأُ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ وَسُورَةٍ فَإِذَا انْقَضَتْ الْقِرَاءَةُ فَقُلْ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً قَبْلَ أَنْ تَرْكَعَ ثُمَّ ارْكَعْ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ اسْجُدْ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَك فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ اسْجُدْ فَقُلْهَا عَشْرًا ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَكَ فَقُلْهَا عَشْرًا قَبْلَ أَنْ تَقُومَ فَتِلْكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ فِي كُلِّ رَكْعَةٍ وَهِيَ ثَلَاثُ مِائَةٍ فِي أَرْبَعِ رَكَعَاتٍ فَلَوْ كَانَتْ ذُنُوبُكَ مِثْلَ رَمْلِ عَالِجٍ غَفَرَهَا اللَّهُ لَكَ قَالَ يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ يَقُولُهَا فِي يَوْمٍ قَالَ قُلْهَا فِي جُمُعَةٍ فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقُلْهَا فِي شَهْرٍ حَتَّى قَالَ فَقُلْهَا فِي سَنَةٍ

"Telah menceritakan kepada kami Musa bin 'Abdurrahman Abu Isa Al Masruqi berkata, telah menceritakan kepada kami Zaid Al Hubab berkata, telah menceritakan kepada kami Musa bin Ubaidah berkata, telah menceritakan kepadaku Sa'id bin Abu Sa'id -mantan budak Abu Bakr bin Amru bin Hazm- dari Abu Rafi' ia berkata; Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam ... See Morebersabda kepada Abbas: "Wahai paman, maukah jika aku memberimu hadiah, maukah jika aku memberikan manfaat kepadamu, maukah jika aku menyambung silaturahmi kepadamu?" ia menjawab, "Tentu, ya Rasulullah. " Beliau bersabda: "Shalatlah empat raka'at, di setiap raka'at engkau membaca Fatihatul kitab (surat Al Fatihah) dan satu surat. Apabila selesai membaca, maka ucapkanlah; "SUBHAANALLAHU WAL HAMDULILLAH WA LAA ILAAHA ILLA ALLAHU WALLAHU AKBAR (Maha Suci Allah dan Segala Puji bagi Allah, tidak ada Tuhan Yang berhak disembah kecuali Allah, Allah Maha Besar) sebanyak lima belas kali sebelum rukuk. Kemudian rukuk dan ucapkanlah bacaan itu lagi sepuluh kali. Kemudian angkatlah kepalamu dan ucapkanlah lagi sepuluh kali, kemudian sujud dan ucapkanlah lagi sepuluh kali, kemudian angkatlah kepalamu dan ucapkanlah lagi sepuluh kali, kemudian sujud dan ucapkanlah lagi sepuluh kali, kemudian angkatlah kepalamu dan ucapkanlah lagi sepuluh kali sebelum engkau bangun. Semua itu genap berjumlah tujuh puluh lima dalam setiap raka'at, dan berjumlah tiga ratus dalam empat raka'at. Sekiranya dosa-dosamu seperti pasir yang menggunung, Allah akan mengampuninya. " Abbas berkata, "Wahai Rasulullah, bagaimana dengan orang yang tidak mampu mengucapkan itu dalam sehari?" Beliau bersabda: "Lakukanlah sekali dalam seminggu, jika tidak mampu maka lakukanlah sekali dalam sebulan, " hingga beliau bersabda: "Maka Lakukanlah sekali dalam setahun. " (Diriwayatkan oleh Ibnu Majjah)
Ulama yang Melemahkan Hadits Shalat Tasbih

Sebagian ulama melemahkan hadits shalat tasbih. Di bawah ini di antara ulama yang melemahkan tersebut:

1.    Ketika mengomentari hadits shalat tasbih yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Abu Bakar Ibnul A’rabi berkata, “Hadits Abu Rafi’ ini dha’if, tidak memiliki asal di dalam (hadits) yang shahih dan yang hasan. Imam Tirmidzi menyebutkannya hanyalah untuk memberitahukannya agar orang tidak terpedaya dengannya.” (Tuhfzatul Ahwadzi Syarh Tirmidzi, al-Adzkar karya an-Nawawi, hal. 168).

2.    Abul Faraj Ibnul Jauzi rahimahullah menyebutkan hadits-hadits shalat tasbih dan jalan-jalannya, di dalam kitab beliau al-Maudhu’at, kemudian men-dha’if-kan semuanya dan menjelaskan kelemahannya.

3.    Imam adz-Dzahabi rahimahullah menganggapnya termasuk hadits munkar (Mizanul I’tidal, 4/213. Dinukil dari M‎ukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 32,tahqiq Syaikh Abdullah al-Laitsi al-Anshari).

Ulama yang Menguatkan

Namun, sejumlah ulama besar Ahli Hadits telah menguatkan menshahihkan hadits shalat tasbih, di antaranya:

1.    Ar-Ruyani rahimahullah berkata dalam kitab al-Bahr, di akhir kitab al-Janaiz, “Ketahuilah, bahwa shalat tasbih dianjurkan, disukai untuk dilakukan dengan rutin setiap waktu, dan janganlah seseorang lalai darinya.”

2.    Ibnul Mubarak. Beliau ditanya, “Jika seseorang lupa dalam shalat tasbih, apakah dia bertasbih dalam dua sujud sahwi 10, 10 (sepuluh, sepuluh)?” Beliau menjawab, “Tidak, Shalat tasbih itu hanyalah 300 (tiga ratus) tasbih.” Dalam riwayat ini, Ibnul Mubarak tidak mengingkari shalat tasbih, yang menunjukkan bila beliau membenarkannya (Al-Adzkar, hal. 169). Imam Tirmidzi rahimahullah berkata, “Ibnul Mubarak dan banyak ulama berpendapat (disyariatkannya) shalat tasbih dan mereka menyebutkan kautamaannya.” (Al-Adzkar, hal. 167).

3.    Al-Hafizh al-Mundziri (wafat 656 H) berkata, “Hadits ini telah diriwayatkan dari banyak sahabat Nabi, dan yang paling baik ialah hadits Ikrimah ini. Dan telah dishahihkan oleh sekelompok ulama, di antaranya al-Hafizh Abu Bakar al-Aajuri, Syaikh kami al-Hafizh Abul Hasan al-Maqdisi, semoga Allah merahmati mereka. Abu Bakar bin Abu Dawud berkata, “Aku mendengar bapakku berkata, ‘Tidak ada hadits shahih dalam shalat tasbih, kecuali ini’.” Muslim bin al-Hajjaj berkata, “Tidaklah diriwayatkan di dalam hadits ini sanad yang lebih baik dari ini (yakni isnad hadits Ikrimah dari Ibnu Abbas).” (Shahih at-Targhib wat Targhib, 1/281, karya al-Mundziri, tahqiqal-Albani).

4.    Imam Nawawi rahimahullah (wafat 676 H), beliau membuat satu bab, Bab: Dzikir-dzikir Shalat Tasbih, di dalam kitabnya al-Adzkar, hal. 166. Beliau juga menyebutkan perselisihan para ulama tentang hadits-hadits shalat tasbih, dan beliau termasuk ulama yang menyatakan disyariatkannya shalat tasbih.

5.    Imam Ibnu Qudamah rahimahullah (wafat 689 H) berkata, “Disukai untuk melakukan shalat tasbih.” (Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 47, tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan).

6.    Syaikh as-Sindi (wafat 1138 H) berkata, “Hadits ini (shalat tasbih) telah dibicarakan oleh huffazh (para ulama ahli hadits). Yang benar, bahwa hadits ini hadits tsabit (kuat). Sepantasnya orang-orang mengamalkannya. Orang-orang telah menyebutkannya panjang lebar, dan aku telah menyebutkan sebagian darinya dalam catatan pinggir kitab (Sunan) Abu Dawud dan catatan pinggir kitab al-Adzkar karya an-Nawawi.” (Ta’liq dalam ‎Sunan Ibnu Majah, 1/442).

7.    Syaikh al-Albani rahimahullah menshahihkan hadits shalat tasbih ini dalam kitab Shahih at-Targhib Wat Targhib, 1/281.

8.    Syaikh Ali bin Hasan al-Halabi al-Atsari berkata mengomentari perkataan Ibnu Qudamah di atas, “Banyak ulama telah menshahihkan isnad hadits shalat tasbih, dan lihatlah (kitab al-Atsar al-Marfu’ah Fil Akhbar al-Maudhu’ah, hal. 123-143, karya al-Laknawi rahimahullah. Beliau telah mengumpulkan hal itu dengan sangat banyak.” (‎Mukhtashar Minhajul Qashidin, hal. 47,tahqiq: Syaikh Ali bin Hasan).

9.    Syaikh Salim al-Hilali menshahihkan hadits shalat tasbih dalam kitab beliau Mukaffiratudz Dzunub.

10.    Syaikh Abu Ashim Abdullah ‘Athaullah berkata, “Riwayat Abu Dawud; Timidzi; Ibnu Majah; Abdur Razzaq di dalam al-Mushannaf; al-Baihaqi dalam as-Sunan; dan al-Hakim di dalam al-Mustadrak; (derajat hadits) shahih li ghairihi.” (I’lamul Baraya Bi Mukaffiratil Khathaya., hal. 40, taqdim: Syaikh Mushthafa al-Adawi).

11.    Selain para ulama di atas, yang juga termasuk menshahihkan hadits shalat tasbih ini ialah Imam Daruquthni, Ibnu Mandah, al-Khathib al-Baghdadi, Ibnu shalah, Ibnu Hajar al-Asqalani, as-Suyuthi, Syaikh Ahmad Syakir, dan lainnya.

Dari Anas bin Malik bahwasannya Ummu Sulaim berpagi-pagi menemui Nabi shallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, ajarilah saya beberapa kalimat yang saya ucapkan didalam shalatku, maka beliau bersabda,
كَبِّرِى اللَّهَ عَشْرًا وَسَبِّحِى اللَّهَ عَشْرًا وَاحْمَدِيهِ عَشْرًا ثُمَّ سَلِى مَا شِئْتِ يَقُولُ نَعَمْ نَعَمْ ». قَالَ وَفِى الْبَابِ عَنِ ابْنِ عَبَّاسٍ وَعَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو وَالْفَضْلِ بْنِ عَبَّاسٍ وَأَبِى رَافِعٍ. قَالَ أَبُو عِيسَى حَدِيثُ أَنَسٍ حَدِيثٌ حَسَنٌ غَرِيبٌ. وَقَدْ رُوِىَ عَنِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- غَيْرُ حَدِيثٍ فِى صَلاَةِ التَّسْبِيحِ وَلاَ يَصِحُّ مِنْهُ كَبِيرُ شَىْءٍ. وَقَدْ رَأَى ابْنُ الْمُبَارَكِ وَغَيْرُ وَاحِدٍ مِنْ أَهْلِ الْعِلْمِ صَلاَةَ التَّسْبِيحِ وَذَكَرُوا الْفَضْلَ فِيهِ. حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ حَدَّثَنَا أَبُو وَهْبٍ قَالَ سَأَلْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْمُبَارَكِ عَنِ الصَّلاَةِ الَّتِى يُسَبَّحُ فِيهَا فَقَالَ يُكَبِّرُ ثُمَّ يَقُولُ سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ ثُمَّ يَقُولُ خَمْسَ عَشْرَةَ مَرَّةً سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَتَعَوَّذُ وَيَقْرَأُ (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ) وَفَاتِحَةَ الْكِتَابِ وَسُورَةً ثُمَّ يَقُولُ عَشْرَ مَرَّاتٍ سُبْحَانَ اللَّهِ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ وَلاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَاللَّهُ أَكْبَرُ ثُمَّ يَرْكَعُ فَيَقُولُهَا عَشْرًا. ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ مِنَ الرُّكُوعِ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَسْجُدُ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَرْفَعُ رَأْسَهُ فَيَقُولُهَا عَشْرًا ثُمَّ يَسْجُدُ الثَّانِيَةَ فَيَقُولُهَا عَشْرًا يُصَلِّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ عَلَى هَذَا فَذَلِكَ خَمْسٌ وَسَبْعُونَ تَسْبِيحَةً فِى كُلِّ رَكْعَةٍ يَبْدَأُ فِى كُلِّ رَكْعَةٍ بِخَمْسَ عَشْرَةَ تَسْبِيحَةً ثُمَّ يَقْرَأُ ثُمَّ يُسَبِّحُ عَشْرًا فَإِنْ صَلَّى لَيْلاً فَأَحَبُّ إِلَىَّ أَنْ يُسَلِّمَ فِى الرَّكْعَتَيْنِ وَإِنْ صَلَّى نَهَارًا فَإِنْ شَاءَ سَلَّمَ وَإِنْ شَاءَ لَمْ يُسَلِّمْ. قَالَ أَبُو وَهْبٍ وَأَخْبَرَنِى عَبْدُ الْعَزِيزِ بْنُ أَبِى رِزْمَةَ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ أَنَّهُ قَالَ يَبْدَأُ فِى الرُّكُوعِ بِسُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ وَفِى السُّجُودِ بِسُبْحَانَ رَبِّىَ الأَعْلَى ثَلاَثًا ثُمَّ يُسَبِّحُ التَّسْبِيحَاتِ. قَالَ أَحْمَدُ بْنُ عَبْدَةَ وَحَدَّثَنَا وَهْبُ بْنُ زَمْعَةَ قَالَ أَخْبَرَنِى عَبْدُ الْعَزِيزِ وَهُوَ ابْنُ أَبِى رِزْمَةَ قَالَ قُلْتُ لِعَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُبَارَكِ إِنْ سَهَا فِيهَا يُسَبِّحُ فِى سَجْدَتَىِ السَّهْوِ عَشْرًا عَشْرًا قَالَ لاَ إِنَّمَا هِىَ ثَلاَثُمِائَةِ تَسْبِيحَةٍ.

“Bertakbirlah kepada Allah sebanyak sepuluh kali, bertasbihlah kepada Allah sepuluh kali dan bertahmidlah (mengucapkan alhamdulillah) sepuluh kali, kemudian memohonlah (kepada Allah) apa yang kamu kehendaki, niscaya Dia akan menjawab: ya, ya, (Aku kabulkan permintaanmu).” (perawi) berkata, dalam bab ini (ada juga riwayat -pent) dari Ibnu Abbas, Abdullah bin Amru, Al Fadll bin Abbas dan Abu Rafi’. Abu Isa berkata, hadits anas adalah hadits hasan gharib, telah diriwayatkan dari Nabi Shallahu ‘alaihi wa sallam selain hadits ini mengenai shalat tasbih, yang kebanyakan (riwayatnya) tidak shahih. Ibnu Mubarrak dan beberapa ulama lainnya berpendapat akan adanya shalat tasbih, mereka juga menyebutkan keutamaan shalat tasbih. Telah mengabarkan kepada kami Ahmad bin ‘Abdah Telah mengabarkan kepada kami Abu Wahb dia berkata, saya bertanya kepada Abdullah bin Al Mubarak tentang shalat tasbih yang didalamnya terdapat bacaan tasbihnya, dia menjawab, ia bertakbir kemudian membaca SUBHAANAKA ALLAHUMMA WA BIHAMDIKA WA TABAARAKASMUKA WA TA’ALA JADDUKA WALAA ILAAHA GHAIRUKA kemudian dia membaca SUBHAANALLAH WALHAMDULILLAH WA LAAILAAHA ILLALLAH WALLAHU AKBAR sebanyak lima belas kali, kemudian ia berta’awudz dan membaca bismillah dilanjutkan dengan membaca surat Al fatihah dan surat yang lain, kemudian ia membaca SUBHAANALLAH WALHAMDULILLAH WA LAAILAAHA ILLALLAH WALLAHU AKBAR sebanyak sepuluh kali, kemudian ruku’ dan membaca kalimat itu sepuluh kali, lalu mengangkat kepala dari ruku’ dengan membaca kalimat tersebut sepuluh kali, kemudian sujud dengan membaca kalimat tersebut sepuluh kali, lalu mengangkat kepalanya dengan membaca kalimat tersebut sepuluh kali, kemudian sujud yang kedua kali dengan membaca kalimat tersebut sepuluh kali, ia melakukan seperti itu sebanyak empat raka’at, yang setiap satu raka’atnya membaca tasbih sebanyak tujuh puluh lima kali, disetiap raka’atnnya membaca lima belas kali tasbih, kemudian membaca Al Fatehah dan surat sesudahnya serta membaca tasbih sepuluh kali-sepuluh kali, jika ia shalat malam, maka yang lebih disenagi adalah salam pada setiap dua raka’atnya. Jika ia shalat disiang hari, maka ia boleh salam (di raka’at kedua) atau tidak. Abu Wahb berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Abdul ‘Aziz bin Abu Rizmah dari Abdullah bahwa dia berkata, sewaktu ruku’ hendaknya dimulai dengan bacaan SUBHAANA RABBIYAL ‘ADZIIMI, begitu juga waktu sujud hendaknya dimulai dengan bacaan SUBHAANA RABBIYAL A’LA sebanyak tiga kali, kemudian membaca tasbih beberapa kali bacaan. Ahmad bin ‘Abdah berkata, Telah mengabarkan kepada kami Wahb bin Zam’ah dia berkata, telah mengabarkan kepadaku ‘Abdul ‘Aziz dia adalah Ibnu Abu Zirmah, dia berkata, saya bertanya kepada Abdullah bin Mubarak, jika seseorang lupa (waktu mengerjakan shalat tasbih) apakah ia harus membaca tasbih pada dua sujud sahwi sebanyak sepuluh kali-sepuluh kali? Dia menjawab, tidak, hanya saja (semua bacaan tasbih pada shalat tasbih) ada tiga ratus kali.(HR. Tirmidzi no. 481)

Intinya, shalat tasbih dilakukan dengan 4 raka’at. Ulama Syafi’iyah berpendapat bahwa shalat tasbih jumlahnya empat raka’at dan tidak boleh lebih dari itu. Jika di siang hari, maka  dilakukan dengan sekali salam. Jika di malam hari, maka dilakukan dengan dua kali salam (setiap dua raka’at salam). Shalat ini afdholnya dilakukan sehari sekali. Jika tidak bisa, maka dilakukan setiap Jum’atnya (sepekan sekali). Jika tidak bisa lagi, maka sebulan sekali. Jika tidak bisa pula, maka setahun sekali. Jika tidak bisa lagi, maka seumur hidup sekali. Demikian pendapat ulama yang menganjurkan atau membolehkan shalat tasbih.
Perselisihan Ulama Mengenai Shalat Tasbih
Para ulama berselisih pendapat mengenai disunnahkannya shalat tasbih. Sebab perselisihan mereka berasal dari shahih atau tidaknya hadits yang membicarakan shalat tersebut.
Pendapat pertama: Shalat tasbih disunnahkan. 
Pendapat ini adalah pendapat sebagian ulama Syafi’iyah. An Nawawi dalam sebagian kitabnya menyatakan bahwa shalat tasbih adalah sunnah hasanah. Lalu beliau berdalil dengan hadits yang membicarakan tentang shalat tasbih.
Pendapat kedua: Shalat tasbih tidak mengapa dilakukan, artinya dibolehkan.  
Ulama yang berpendapat seperti ini mengatakan, “Seandainya hadits tentang shalat tasbih tidaklah shahih, maka ini adalah bagian dari hadits yang membicarakan tentang fadhilah amal (keutamaan amalan), maka tidak mengapa jika menggunakan hadits dho’if.”
Pendapat ketiga: Shalat tasbih tidak disyariatkan.
An Nawawi dalam Al Majmu’ mengatakan, “Tentang disunnahkannya shalat tasbih, maka itu adalah pendapat yang kurang tepat karena haditsnya adalah hadits yang dho’if. Shalat tasbih pun adalah shalat yang berbeda dengan shalat biasanya karena tata caranya yang berbeda. Oleh karena itu, tepatnya shalat tersebut tidak berdasar dari hadits dan tidak satu pun hadits shahih yang membicarakannya.”
Sebagaimana dinukil oleh Ibnu Qudamah dalam Al Mughni, Imam Ahmad pernah berkata, “Tidak ada yang mengagumkanku (pada shalat tasbih).” Ada yang bertanya, “Mengapa engkau tidak menyukai shalat tasbih?” Beliau mengatakan, “Tidak ada satu pun hadits shahih yang benar membicarakan tentang shalat itu.” Lalu beliau berisyarat dengan tangannya, tanda mengingkari shalat tersebut.
Takhtimah

Adapun informasi bahwa sebagian ahli hadis meragukan keshahihan hadis ini dengan statemen “in Shohha Al-khobar” (jika riwayat ini shahih), maka hal ini tidak menunjukkan bahwa hadis tentang shalat Tasbih ini Dhoif, tetapi hanya menunjukkan diperlukannya lagi penelitian lebih mendalam untuk menentukan statusnya. Ibnu Hajar, telah selesai melakukannya dan hasil penelitian beliau, hadis tentang shalat Tasbih telah mencapai derajat Hasan.

Sejumlah ulama pakar hadis tercatat memandang hadis Shalat Tasbih termasuk riwayat yang bisa diterima sebagai Hujjah. Diantara mereka adalah; Abu Bakr Al-Ajurri, Abdurrahim Al-Mishri, Al-Bulqini, Al-‘Ala-i, Az-Zarkasyi, Ibnu Mandah. Al-Khathib, As-Sam’ani, Abu Musa Al-Madini, Abu Al-Hasan bin Al-Mufaddhol, Al-Mundziri, Ibnu As-Sholah, As-Subki, Ad-Dailami, Ibnu As-Sakan dan Ibnu Al-Mulaqqin. Al-Albani menyatakan dengan tegas bahwa hadis riwayat Abu dawud ini adalah hadis Shahih. Abu Dawud, Muslim bin Al-Hajjaj, dan an-Nawawi mungkin juga ditafsiri termasuk menerima meskipun statemen mereka masih memungkinkan ditafsiri lain.

Sejumlah ulama juga diketahui secara khusus mengarang kitab tersendiri yang membahas Shalat Tasbih diantara mereka adalah; Ibnu Nashiruddin Ad-Dimasyqi dalam kitabnya “At-Tarjih li Haditsi Sholati At-Tasabih” (الترجيح لحديث صلاة التسابيح), Abu Musa Al-Ashbahani dalam kitabnya “Tash-hihu Sholati At-Tasbih Min Al-Hujaj Al-Wadhihah Wa Al-Kalam Al-Fashih ” (تصحيح صلاة التسبيح من الحجج الواضحة والكلام الفصيح), As-Suyuthi dalam kitabnya “Tash-hihu Haditsi Sholati At-Tasbih ” (تصحيح حديث صلاة التسبيح), Ibnu Thulun dalam kitabnya “At-Tausyih Li Bayani Sholati At-Tasbih (التوشيح لبيان صلاة التسبيح), Al-Ghumari dalam kitabnya “At-Tarjih Li Qouli Man Shoh-haha Sholata At-Tasbih ” (الترجيح لقول من صحح صلاة التسبيح), As-Saqqof dalam kitabnya “Al-Qoulu Al-Jami’ An-Najih Fi Ahkami Sholati At-Tasbih ” (القول الجامع النجيح في أحكام صلاة التسبيح), syaikh Jasim dalam kitabnya ” At-Tanqih Lima Ja-a Fi Sholati At-Tasbih” (التنقيح لما جاء في صلاة التسبيح), Muhammad Ahmad Syah-hatah dalam kitabnya “Daqo-iq At-Taudhih Bibayani Ahwali Ruwati Sholati At-Tasbih” (دقائق التوضيح ببيان أحوال رواة صلاة التسابيح) yang diringkas menjadi “At-Tashrih Bidho’fi Ahaditsi Sholati At-Tasbih” (التصريح بضعف أحاديث صلاة التسابيح), dan Nashiruddin Al-Albani dalam kitabnya “At-Tausyih Li Bayani Sholati At-Tasbih” (التوشيح لبيان صلاة التسبيح). Termasuk pula Ad-Daruquthni, Al-Khothib Al-Baghdadi, As-Sam’ani,  As-Subki, dan Al-Barzanji.

Atas dasar ini Shalat Tasbih dengan segenap tata cara yang diterangkan dalam Nash hukumnya Sunnah karena didasarkan pada Nash yang bisa diterima sebagai Hujjah. Ibnu Al-Mulaqqin menukil riwayat dalam kitabnya Al-Badru Al-Munir bahwa Ibnu Abbas dan Abdullah bin Al-Mubarok termasuk yang membiasakan mengamalkan shalat ini. 
Dalam dunia ilmu hadits, perbedaan pendapat dalam menilai kedudukan suatu riwayat memang sangat besar kemungkinannya. Ada yang telah divonis shahih atau dhaif oleh seorang ulama, belum tentu disepakati oleh ulama lainnya.

Sebaiknya kita lebih banyak mengkaji dan membaca literatur, khususnya dalam masalah hadits ini, karena dunia ilmu hadits sangat luas dan beragam. Tidak lupa pula kita harus lebih banyak bertanya kepada para ulama yang ahli agar kita tidak terlalu mudah mengeluarkan staemen yang nantinya akan kita sesali sendiri.

Penjelasan Tentang Sholat Hajat


Di antara sekian banyak jenis shalat sunat yang tersebut di kitab-kitab dan diamalkan oleh masyarakat Islam adalah shalat sunat hajat. Shalat ini dilakukan oleh seorang muslim ketika dia memiliki suatu keinginan atau keperluan yang ingin dia capai. Namun tahukah anda ternyata shalat sunat yang masyhur ini ternyata tidaklah disyariatkan karena ia tidak memiliki landasan dalil yang shahih?
 مَنْ تَوَضَّأَ فَأَ سْبَغَ اْلوُضُوْءَ ثُمَّ صَلَّى رَكْعَتَيْنِ يُتِمُّهُمُا أَعْطَاهُ الله ُمَا سَأَلَ مُعَجِّلًا أَوْمُؤَخِّرًا . (رواه أحمد عن ابيدرداء)

"Barangsiapa berwudhu lalu menyempurnakan wudhunya kemudian melakukan shalat dua rakaat dengan sempurna, maka Allah akan memberikan kepadanya apa yang dia minta, cepat maupun lambat." (HR. Ahmad dari Abu Darada r.a.)

Segala yang ada dalam hidup ini terjadi karena sejumlah sebab (bil asbaab). Bila kita memiliki keinginan yang hendak kita realisasikan, shalat Hajat termasuk sebab penting yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.

Seperti kita ketahui, prinsip dasar agama adalah keseimbangan yang proporsional. Agama melarang kita hanya mengandalkan usaha atau hanya mengandalkan doa. Kita diperintahkan untuk mengandalkan usaha sekaligus doa. Doa dan usaha sebetulnya tidak mengenal pemisahan. Kitalah yang terkadang suka memisah-misahkannya.

Berdoa termasuk usaha dan usaha adalah bagian tak terpisahkan dari doa. Allah Swt. di dalam Al-Qur’an berjanji bahwa Dia akan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaNya. Tetapi kemudian dilanjutkan dengan ayat yang bernada mensyaratkan. Yaitu ”Hendaklah mereka itu memenuhi segala perintah-Ku dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku agar berada dalam kebenaran.” (Al-Baqarah: 186)

Shalat Hajat termasuk shalat yang diajarkan Nabi saat kita memiliki keinginan atau kebutuhan. Menurut At-Tirmidzi dari Abdillah bin Aufa, Nabi mengajarkan bahwa ketika kita punya hajat kepada Allah atau manusia, hendaknya kita melakukan shalat dua rakaat yang disebut Shalat Hajat. Sekali lagi, tentu saja ini harus dibarengi dengan usaha lahir (ikhtiar) sesuai kemampuan dan keadaan.

Ada ulama yang menganjurkan shalat hajat dan ada yang tidak. Shalat ini dilakukan ketika punya hajat pada Allah, atau pada sesama atau bahkan bisa juga meminta kesembuhan dari suatu penyakit sebagaimana penjelasan dalam hadits.
Ulama yang menganjurkan adanya shalat hajat berdalil dengan hadits dari ‘Utsman bin Hunaif sebagai berikut.

عَنْ عُثْمَانَ بْنِ حُنَيْفٍ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ أَنَّ رَجُلاً ضَرِيْرَ الْبَصَرِ أَتَى النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: اُدْعُ اللهَ أَنْ يُعَافِيْنِيْ، قَالَ: إِنْ شِئْتَ دَعَوْتُ وَإِنْ شِئْتَ صَبَرْتَ فَهُوَ خَيْرٌ لَكَ. قَالَ: فَادْعُهُ، قَالَ: فَأَمَرَهُ أَنْ يَتَوَضَّأَ فَيُحْسِنَ وُضُوْئَهُ وَيَدْعُوْهُ بِهَذَا الدُّعَاءِ: اَلَّلهُمَّ إِنِّيْ أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِنَبِيِّكَ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ، إِنِّيْ أَتَوَجَّهُ بِكَ إِلَى رَبِّيْ فِيْ حَاجَتِيْ هَذِهِ لِتَقْضَى لِيْ اَللَّهُمَّ فَشَفَعْهُ فِيْ. قَالَ: فَفَعَلَ الرَّجُلُ فَبَرَأَ.

Dari Utsman bin Hunaif, bahwasanya ada seorang laki-laki buta yang pernah datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya berkata, “Berdoalah kepada Allah agar Dia menyembuhkanku!” Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Jika engkau menginginkan demikian, saya akan doakan, tetapi jika engkau mau bersabar, itu lebih baik bagimu.” Lelaki itu menjawab, “Berdoalah!” Maka, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memerintahkannya supaya berwudhu dengan sempurna dan shalat dua rakaat lalu berdoa dengan doa ini, “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Nabi-Mu, Nabi rahmat. Sesungguhnya, saya menghadap denganmu kepada Rabbku agar terpenuhi hajatku. Ya Allah, berilah syafaat kepadanya untukku.” Dia berkata, “Lelaki itu kemudian mengerjakan (saran Nabi) lantas dia menjadi sembuh.”
 (Shahih. Diriwayatkan Ahmad dalam Musnad-nya, 4:138, Tirmidzi:3578, Ibnu Majah:1384, Ibnu Khuzaimah dalam Shahih-nya:1219, Ath-Thabrani dalam Al-Mu’jamul Kabir, 3:2, dan Al-Hakim dalamAl-Mustadrak:1221.)
Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan shahih gharib.” Abu Ishaq berkata, “Hadits ini shahih.” Al-Hakim berkata, “Sanadnya shahih,” dan hal ini disetujui oleh Adz-Dzahabi.Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa hadits ini s‎hahih‎
Adapun ulama yang meniadakan shalat hajat, mereka memaksudkan seperti yang terdapat dalam hadits berikut ini. 
عَنْ ابْنِ مَسْعُودٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، قَالَ: "اثْنَتَا عَشْرَةَ رَكْعَةً تُصَلِّيهِنَّ مِنْ لَيْلٍ أَوْ نَهَارٍ، وَتَتَشَهَّدُ بَيْنَ كُلِّ رَكْعَتَيْنِ، فَإِذَا تَشَهَّدْتُ فِي آخِرِ صَلَاتِك، فَأَثْنِ عَلَى اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ، وَصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَاقْرَأْ وَأَنْتَ سَاجِدٌ فَاتِحَةَ الْكِتَابِ سَبْعَ مَرَّاتٍ، وَآيَةَ الْكُرْسِيِّ سَبْعَ مَرَّاتٍ، وَقُلْ: لَا إلَهَ إلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ، وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ، عَشْرَ مَرَّاتٍ، ثُمَّ قُلْ: اللَّهُمَّ إنِّي أَسْأَلُك بِمَعَاقِدِ الْعِزِّ مِنْ عَرْشِك، وَمُنْتَهَى الرَّحْمَةِ مِنْ كِتَابِك، وَاسْمِك الْأَعْظَمِ، وَكَلِمَاتِك التَّامَّةِ، ثُمَّ سَلْ حَاجَتَك، ثُمَّ ارْفَعْ رَأْسَك، ثُمَّ سَلِّمْ يَمِينًا وَشِمَالًا، وَلَا تُعَلِّمُوهَا السُّفَهَاءَ، فَإِنَّهُمْ يَدْعُونَ بِهَا، فَيُسْتَجَابُ"

Artinya: “Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu meriwayatkan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dua belas rekaat kamu mengerjakannya siang dan malam hari dan duduk bersyahadat setiap dua rakaat, maka jika kamu duduk bertasyahhud dalam akhir shalatmu, pujilah Azza wa Jalla dan bershalawatlah atas nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam, bacalah ketika kamu sujud surat Al Fatihah sebanyak tujuh kali, ayat kursi sebanyak tujuh kali dan ucapkanlah:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ لَهُ الْمُلْكُ وَلَهُ الْحَمْدُ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَىْءٍ قَدِيرٌ

Sebanyak sepuluh kali, kemudian ucapkanlah:

اللهم إني أسألك بمعاقد العز من عرشك ومنتهى الرحمة من كتابك واسمك الأعظم وجدك الأعلى وكلماتك التامة

Kemudian mintalah kebutuhannmu lalu angkatlah kepalamu kemudian uacapakan salam ke kanan dan ke kiri dan tidaklah kamu ajarkan kepada orang-orang bodoh, karena sesungguhnya mereka berdoa dengannya maka akan dikabulkan.”

Hadits diriwayatkan oleh Ibnu Al Jauzi di dalam kitab Al Maudhu’at, (2/142 Asy Syamela) , Al Baihaqi di dalam kitab Ad Da’awat Al Kabir, 2/157 –“392”, dari jalan ‘Umar bin Harun Al Balkhi ia meriwayatkan dari Ibnu Juraij, ia meriwayatkan dari Daud bin Abu Ashim, ia meriwayatkan dari Abdulah bin Mas’ud radhiyallahu ‘anhu.

Derajat Hadits:  Palsu atau Sangat Lemah Sekali

Ibnu Al Jauzi rahimahullah berkata:

 هَذَا حَدِيثٌ مَوْضُوعٌ بِلَا شَكٍّ وَإِسْنَادُهُ مُخَبَّطٌ كَمَا تَرَى وَفِي إسْنَادِهِ عُمَرُ بْنُ هَارُونَ، قَالَ ابْنُ مَعِينٍ فِيهِ: كَذَّابٌ، وَقَالَ ابْنُ حِبَّانَ: يَرْوِي عَنْ الثِّقَاتِ الْمُعْضِلَاتِ، وَيَدَّعِي شُيُوخًا لَمْ يَرَهُمْ، وَقَدْ صَحَّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ النَّهْيُ عَنْ الْقِرَاءَةِ فِي السُّجُودِ، انْتَهَى كَلَامُهُ.

“Ini adalah hadits palsu tanpa diragukan, sanadnya ngawur sebagaimana yang anda lihat, di dalam sanadnya terdapat Umar bin Harun, Yahya (bin Ma’in) berkata: “Ia (Umar bin Harun) adalah tukang dusta”, Ibnu Hibban berkata: “Ia meriwayatkan dari para perawi tsiqah Al Mu’dhilat dan mengaku bertemu dengan para perawi terkemuka yang belum pernah ia lihat. Dan telah shahih dari Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam larangan membaca Al Quran ketika sujud.” Lihat kitab Al Maudhu’at, (2/143, Asy Syamela) dan lihat juga Nashb Ar Rayah, 4/273.

Hadits ini juga diriwayatkan oleh Ibnu Asakir di dalam kitab Tarikh Dimasyq (36/471) melalui jalan Al Hasan bin Yahya Al Khusani, ia meriwayatkan dari Ibnu Juraij, ia meriwayatkan dari ‘Atha’ bin Abi Rabah, ia meriwayatkan dari Abu Hurairah.

Sedangkan Al Hasan bin Yahya ini adalah seorang perawi lemah sekali, dan ia menyendiri dengan sanad ini. Lihat kitab Al Qaul Al Badi’, hal. 430.
Dari Abdullah bin Abi Aufa, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ كَانَتْ لَهُ إِلَى اللهِ حَاجَةٌ أَوْ إِلَى أَحَدٍ مِنْ بَنِي آدَمَ فَلْيَتَوَضَّأْ وَلْيُحْسِنِ الْوُضُوءَ ثُمَّ لْيُصَلِّ رَكْعَتَيْنِ ثُمَّ لْيُثْنِ عَلَى اللهِ وَلْيُصَلِّ عَلَى النَّبِيِّ ثُمَّ لْيَقُلْ: لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ وَالْغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَالسَّلاَمَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لاَ تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلاَّ قَضَيْتَهَا، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

“Barang siapa yang mempunyai kebutuhan kepada Allah atau kepada seseorang dari bani Adam, maka berwudhulah dan perbaikilah wudhunya kemudian shalatlah dua raka’at. Lalu hendaklah ia memuji Allah Ta’ala dan bershalawat kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan mengucapkan (do’a), ‘Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah yang Maha Penyantun dan Mahamulia, Mahasuci Allah Rabb Arsy yang agung, segala puji millik Allah Rabb sekalian alam, aku memohon kepada-Mu hal-hal yang menyebabkan datangnya rahmat-Mu, dan yang menyebabkan ampunan-Mu serta keuntungan dari tiap kebaikan dan keselamatan dari segala dosa. Janganlah Engkau tinggalkan pada diriku dosa kecuali Engkau ampuni, kegundahan melainkan Engkau berikan jalan keluarnya, tidak pula suatu kebutuhan yang Engkau ridhai melainkan Engkau penuhi, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang’.” (HR. Tirmidzi no. 479 dan Ibnu Majah no. 1384. Al-Hafizh Abu Thahir mengatakan bahwa sanad hadits ini dha’if jiddan) ‎Derajat Hadits: Lemah Sekali, karena sumber sanadnya ada pada Faid bin Abduirrahman dan ia adalah seorang perawi yang dituduh berdusta dalam meriwayatkan hadits.
Abu Hatim Ar Razi berkata:

"وأحاديثه عن ابن أبي أوفى بواطيل لا تكاد ترى لها أصلاً؛ كأنه لايُشْبِه حديث ابن أبي أوفى، ولو أن رجلاً حلف أن عامة حديثه كَذِبٌ لم يحنث".

“Dan hadits-haditsnya meriwayatkan dari Ibnu Abi Awfa adalah hadits-hadits yang batil, kamu tidak akan mendapatkan asal (riwayatnya), seakan-akan ia tidak menyerupai hadits Ibnu Abi Awfa, jikalau seseorang bersumpah bahwa seluruh periwayatannya adalah dusta, maka ia tidak berdusta.” Lihat Kitab Al Jarh wa At Ta’dil, 7/84.

Al Hakim berkata:

"روى عن ابن أبي أوفى أحاديث موضوعة".

“Ia (Faid) telah meriwayatkan dari Ibnu Abi Awfa hadits-hadits Palsu.” Lihat Kitab Tahdzib At Tahdzib, 8/256 dan Mizan Al I’tidal, 3/339.

Disebutkan di dalam Al Buhuts Al Islamiyyah:

قال أحمد: متروك الحديث. وقال ابن معين: ضعيف ليس بثقة، وليس بشيء. وقال أبو حاتم: ذاهب الحديث ... وأحاديثه عن ابن أبي أوفى بواطيل لا تكاد ترى لها أصلا؛ كأنه لا يشبه حديث ابن أبي أوفى، ولو أن رجلا حلف أن عامة حديثه كذب لم يحنث. وقال البخاري: منكر الحديث. وقال النسائي: ليس بثقة. ومرة قال: متروك الحديث، وقال الحاكم: روى عن ابن أبي أوفى أحاديث موضوعة. وقال ابن حبان: لا يجوز الاحتجاج به. وقال الذهبي: تركوه. وقال ابن حجر: متروك اتهموه.

Ahmad berkata: “Ia (Faid) seorang yang matrukul hadits”, Ibnu Ma’in berkata: “Ia lemah dan tidak tsiqah, tidak ada apa-apanya.” Abu Hatim: Dzahibul Hadits (haditsnya lenyap), Al Bukhari berkata: “Ia adalah mungkarul hadits (riwayatnya lemah dan menyelisihi yang kuat), An Nasai: “Tidak tsiqah”, terkadang beliau berkata: “Matrukul hadits”, dan Al Hakim berkata: “Diriwayatkan dari Ibnu Abi Awfa hadits-hadits yang palsu”, dan Ibnu Hibban berkata: “Tidak boleh berhujjah dengannya”. Adz Dzahabi berkata: “Mereka (para perawi hadits) meninggalkan (periwayatan)nya. Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Ia (seorang perwai yang) matruk dan mereka (para ahli hadits) menuduhnya memalsukan hadits.” Lihat Majalah Al Buhuts Al Islamiyyah, (84/99 Asy Syamela).

Hadits ini disebutkan oleh Ibnul Jauzi di dalam kitab Al Maudhu’at (hadits-hadits palsu), dan As Sakhawi mengomentari Ibnul Jauzi:

"وقد توسَّعَ ابنُ الجوزي فذكر هذا الحديث في الموضوعات وفي ذلك نظر... وفي الجملة هو حديثٌ ضعيفٌ جداً".

“Ibnul Jauzi terlalu luas, menyebutkan hadits ini di dalam kitab Al Maudhu’at dan di dalam hal ini terdapat koreksian…dan pada umumnya ia adalah hadits yang lemah sekali.” Lihat kitab Al Qaul Al Badi’, hal. 431.
Dalam riwayat Ibnu Majah disebutkan,
ثُمَّ يَسْأَلُ اللَّهَ مِنْ أَمْرِ الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ مَا شَاءَ فَإِنَّهُ يُقَدَّرُ
“Kemudian ia meminta pada Allah urusan dunia dan akhiratnya, maka ia akan ditetapkan.”
Hadits di atas dibawakan oleh At-Tirmidzi pada Bab “Tentang Shalat Hajat”.
Dari hadits di atas para ulama masih menyatakan adanya anjuran shalat sunnah hajat. Bahkan dikatakan dalam Ensiklopedia Fikih atau Al-Mawsu’ah Al-Fiqhiyyah 27: 211, “Para ulama sepakat bahwa shalat sunnah hajat adalah shalat yang disunnahkan.”
Ijmak (kesepakatan) ulama empat madzhab atas sunnah-nya shalat hajat. Ulama madzhab empat yang mensunnahkan/mensyariatkan shalat hajat adalah sebagai berikut:
a. Madzhab Maliki: Imam Dasuki dalam kitab Hasyiah-nya.
b. Madzhab Hanafi: Imam Najim dalam kitab Al-Bahr ar-Ra'iq dan Ibnu Abidin dalam kitab Hasyiah-nya.
c. Madzhab Syafi'i: Imam Nawawi dalam kitab Al-Majmuk Syarh al-Muhadzab
d. Madzhab Hanbali: Ibnu Qudama dalam Al-Mughni, Bahuni dalam Kasyaful Qina, Ibnu Qasim dalam Hasyiah ar-Raudh. 
Shalat hajat tersebut dua raka’at sebagaimana pendapat dari ulama Malikiyah, Hambali dan masyhur dalam pendapat Syafi’iyah. Waktu pelaksanaan shalat hajat tidak ada waktu khusus dan pelaksanaan dua raka’at sama seperti shalat sunnah lainnya, tidak ada tata cara khusus. 

CARA SHALAT HAJAT

1. Sebagaimana shalat lain, syarat utama adalah suci dari hadats kecil dan hadats besar. Kalau tidak, maka harus berwudhu (untuk hadats kecil) dan mandi junub terlebih dahulu untuk hadats besar.
2. Cara mengerjakan shalat Hajat ini sama seperti shalat sunnah biasa. Bedanya hanya pada niat, waktu, dan doa. Niat shalat Hajat itu bisa menggunakan lafadz seperti di bawah ini:

أُصَِلّي سُنَّةََََََََ الْحَاجَةِ رَكْعَتَيْنِ لله تَعَالَي

”Aku niat Shalat Hajat dua rakaat karena Allah.”

3. Lakukan shalat 2 (dua) raka'at. 
a. Rakaat pertama membaca Al-Fatihah dan surat Al-Kafirun.
b. Rakaat kedua membaca Al-Fatihah dan surat Al-Ikhlas. Dan setelah salam, baca doa di bawah.

Adapun do’a yang dibaca, bisa mengamalkan apa yang disebutkan dalam hadits di atas:
Doa pertama:

اللَّهُمَّ إِنِّي أَسْأَلُكَ وَأَتَوَجَّهُ إِلَيْكَ بِمُحَمَّدٍ نَبِيِّ الرَّحْمَةِ. يَا مُحَمَّدُ، إِنِّي قَدْ تَوَجَّهْتُ بِكَ إِلَى رَبِّي فِي حَاجَتِي هَذِهِ لِتُقْضَى. اللَّهُمَّ فَشَفِّعْهُ فِيَّ
“Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan menghadap kepada-Mu dengan Muhammad Nabiyyurrahmah. Wahai Muhammad, sesungguhnya aku menghadap kepada Rabbku denganmu dalam kebutuhanku ini agar ditunaikan. Ya Allah, terimalah syafa’atnya untukku.”
Doa kedua:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ الْحَلِيمُ الْكَرِيمُ، سُبْحَانَ اللهِ رَبِّ الْعَرْشِ الْعَظِيمِ، الْحَمْدُ لِلهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ، أَسْأَلُكَ مُوجِبَاتِ رَحْمَتِكَ وَعَزَائِمَ مَغْفِرَتِكَ وَالْغَنِيمَةَ مِنْ كُلِّ بِرٍّ وَالسَّلاَمَةَ مِنْ كُلِّ إِثْمٍ، لاَ تَدَعْ لِي ذَنْبًا إِلاَّ غَفَرْتَهُ وَلاَ هَمًّا إِلاَّ فَرَّجْتَهُ وَلاَ حَاجَةً هِيَ لَكَ رِضًا إِلاَّ قَضَيْتَهَا، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ

“Tidak ada sesembahan yang benar melainkan Allah yang Maha Penyantun dan Mahamulia, Mahasuci Allah Rabb Arsy yang agung, segala puji millik Allah Rabb sekalian alam, aku memohon kepada-Mu hal-hal yang menyebabkan datangnya rahmat-Mu, dan yang menyebabkan ampunan-Mu serta keuntungan dari tiap kebaikan dan keselamatan dari segala dosa. Janganlah Engkau tinggalkan pada diriku dosa kecuali Engkau ampuni, kegundahan melainkan Engkau berikan jalan keluarnya, tidak pula suatu kebutuhan yang Engkau ridhai melainkan Engkau penuhi, wahai Yang Maha Penyayang di antara penyayang.”

Oleh karena seorang muslim hendaknya mengamalkan amalan yang ada dalilnya dan meninggalkan amalan-amalan yang tidak ada dalilnya. Alhamdulillah disana ada cara yang lebih baik bagi kita untuk memenuhi hajat kita, yaitu dengan cara berdoa kepada Allah, terutama di waktu dan keadaan yang mustajab.

Berkata Asy-Syuqairy rahimahullah:

وأنت قد علمت ما في هذا الحديث من المقال ، فالأفضل لك والأخلص والأسلم أن تدعو الله تعالى في جوف الليل وبين الأذان والإقامة وفي أدبار الصلوات قبل التسليم ، وفي أيام الجمعات ، فإن فيها ساعة إجابة ، وعند الفطر من الصوم ، وقد قال ربكم ( أدعوني أستجب لكم ) وقال : ( وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان ) وقال : ( ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها )

“Dan anda sudah tahu bahwa hadist ini (tentang shalat hajat) ada pembicaraan (tentang kelemahannya), maka yang afdhal, lebih ikhlash, dan lebih selamat engkau berdoa kepada Allah di tengah malam, dan antara adzan dan iqamat, di akhir shalat sebelum salam, pada hari jumat karena di dalamnya ada waktu ijabah (dikabulkan doa), dan ketika berbuka puasa, Allah telah berfirman:

( أدعوني أستجب لكم )

“Berdoalah kepadaKu maka akan kabulkan.” Dan Allah juga berfirman:

( وإذا سألك عبادي عني فإني قريب أجيب دعوة الداع إذا دعان )

“Dan jika hambaKu bertanya tentang diriKu maka katakanlah bahwasanya Aku dekat, Aku akan mengabulkan doa orang yang berdoa kepadaKu.”Allah juga berfirman:

( ولله الأسماء الحسنى فادعوه بها )

“Dan bagi Allahlah nama-nama yang baik, maka berdoalah denganNya” 

Takhtimah

Sholat Hajat Bukan Bid'ah

Sholat hajat disyariatkan dan disunnahkan dengan kesepakatan seluruh ulama ( mausu'ah fiqhiyyah kuwaitiyyah ) :

 اتَّفَقَ الْفُقَهَاءُ عَلَى أَنَّ صَلاَةَ الْحَاجَةِ مُسْتَحَبَّةٌ.

 Sebab Alloh memerintahkan kita untuk meminta tolong kepada-Nya dengan wasilah mendirikan sholat

 وَاسْتَعِينُوا بِالصَّبْرِ وَالصَّلَاةِ وَإِنَّهَا لَكَبِيرَةٌ إِلَّا عَلَى الْخَاشِعِينَ [البقرة : 
45
Artinya : Jadikanlah sabar dan shalat sebagai penolongmu. dan Sesungguhnya yang demikian itu sungguh berat, kecuali bagi orang-orang yang khusyu' ( QS .AlBaqoroh :45 )

Ibnu katsier rahimahulloh berkata : Alloh memerintahkan hamba-hamba-Nya
yang ingin mendapatkan kebaikan dunia dan akhirat supaya meminta tolong ( kepada Alloh ) dengan sabar dan sholat .
Adapun yang dimaksud dengan sabar adalah shiyam sebagaimana dijelaskan oleh Imam Mujahid
                                 
Demikian juga Nabi kita shollallohu alaihi wa sallam, beliau jika mendapatkan masalah bersegera memohon kepada Alloh dengan sholat .

( عنْ حُذَيْفَةَ قَالَ : كَانَ النَّبِىُّ –صلى الله عليه وسلم- إِذَا حَزَبَهُ أَمْرٌ صَلَّى .) سنن أبى داود- (1 / 507

Dari hudzaifah radhiyallohu anhu berkata ; adalah Nabi shollallohu alaihi wa sallam jika mendapat masalah pelik beliau segera sholat ( HR.Abu Dawud, dishahihkan oleh Albany rahimahulloh ).

Juga ketika datang seorang buta meminta doa kepada Nabi shollallohu alaihi wa sallam supaya sembuh dari sakitnya maka beliau shollallohu alaihi wa sallam memerintahkannya sholat hajat .

 عن عثمان بن حنيف رضي الله عنه أن أعمى أتى إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال يا رسول الله ادع الله أن يكشف لي عن بصري قال أو أدعك قال يا رسول الله إنه قد شق علي ذهاب بصري قال فانطلق فتوضأ ثم صل ركعتين ثم قل اللهم إني أسألك وأتوجه إليك بنبيي محمد صلى الله عليه وسلم نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه إلى ربي بك أن يكشف لي عن بصري اللهم شفعه في وشفعني في نفسي ) صحيح الترغيب والترهيب - (1 / 166) 

Dari Utsman bin Hanif radhiyallohu anhu bahwa seorang buta datang kepada Nabi shollallohu alaihi wasallam dan berkata : Wahai Rasulalloh, berdoalah kepada Alloh agar Dia menyembuhkan mataku maka Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda bagaimana jika aku enggan ? maka orang itu berkata ; sungguh berat bagiku kehilangan penglihatan ini.Lalu Nabi shollallohu alaihi wa sallam bersabda : pergi dan berwudhulah lalu sholatlah dua rokaat kemudian berdoalah..( HR.Turmudzy dan Nasa’iy , dishahihkan Albany dalam shahih targhib wa tarhib )

Adapun contoh nukilan dari ulama madzhab yang empat :

1.Madzhab Hanafy

 Berkata Ibnu Nujaim alhanafy rahimahulloh : termasuk yang disunnahkan adalah sholat hajat yaitu dua rokaat

 . وَمِنْ الْمَنْدُوبَاتِ صَلَاةُ الْحَاجَةِ وَهِيَ رَكْعَتَانِ كما ذَكَرَهُ في شَرْحِ مُنْيَةِ الْمُصَلِّي مع ما قَبْلَهُ من الِاسْتِخَارَةِ وَالْأَحَادِيثُ بها مَذْكُورَةٌ في التَّرْغِيبِ والترهب )البحر الرائق - (2 / 56) .

2.Madzhab Maliki

Dalam fikih madzhab maliky sholat ini disebut dengan sholat qodho alhajat

 لما روى عبد الله بن أبي أوفى قال : قال رسول الله صلى الله عليه و سلم : ( من كانت له إلى الله حاجة أو إلى أحد من بني آدم فليتوضأ فليحسن الوضوء ثم ليصل ركعتين (فقه العبادات - مالكي - (1 / 199

(disunnahkan sholat qadha alhajat ) karena hadits yang diriwayatkan Abdulloh ibnu abi Aufa berkata ; bersabda Nabi shollalohu alaihi wa sallam ; barang siapa memiliki hajat kepada Alloh atau kepada bani adam maka hendaknya ia berwudhu dengan baik lalu sholat dua rokaat ( fiqh ibadat maliky )

3.Madzhab Syafi’iy

 منها: صلاة الاستخارة والحاجة, ولا شك في اشتراط التعيين فيهما ولم أر من تعرض لذلك, لكن قال النووي في الأذكار: الظاهر أن الاستخارة تحصل بركعتين من السنن الرواتب, وبتحية المسجد, وبغيرها من النوافل.) الأشباه والنظائر - (1 / 23

Berkata Imam Suyuthi : diantaranya adalah sholat istikhoroh dan hajat, tidak ragu bahwa disyaratkan penentuan niat.tetapi Nawawy berkata dalam al adzkar bahwa istikhoroh dapat dilakukan setelah dua rakaat sunah rawatib dan tahiyatul masjid dan selainnya dari sholat nafilah.

4.madzhab Hanbaly

Berkata Ibnu Qudamah dalam kitab almughny : Fasal ( termasuk sholat sunnah ) adalah sholat hajat dari abdulloh ibnu abi aufa berkata : bersabda Rasululloh shollallohu alkaihi wasallam barangsiapa mempunyai hajat kepada Alloh atau kepada seorang dari bani adam maka hendaknya ia berwudhu dan membaguskan wudhu lalu sholat dua rokaat..HR.Turmudzy.

 • Demikian pula yang dikatakan oleh ulama masa kini.

1. Syaikh Abdul aziz bin Abdulloh bin Baz rahimahulloh ditanya tentang sholat hajat :

 مجموع فتاوى ابن باز(30)جزءا - (25 / 165) س: هل الحديث الذي رواه أحمد في صلاة الحاجة صحيح أم لا؟ ج: نعم، روى أحمد - رحمه الله - وغيره بإسناد صحيح عن علي - رضي الله عنه - عن الصديق - رضي الله عنه - أن الرسول - عليه الصلاة والسلام - قال: « من أذنب ذنبا ثم تاب ثم تطهر وصلى ركعتين فتاب إلى الله من ذلك تاب الله عليه » (2) أو كما قال - عليه الصلاة والسلام -. هذا صحيح وثابت وهو من الأسباب المعروفة إذا أذنب وأتى شيئا مما يكرهه الله ثم تطهر وصلى ركعتين - صلاة التوبة - ثم سأل ربه واستغفره فهو حري بالتوبة كما وعده الله بذلك، وحديث صلاة الاستخارة يسمى أيضا صلاة الحاجة لأن الاستخارة في الحاجات التي تهم الإنسان فيشرع له أن يصلي ركعتين ويستخير الله في ذلك.

Soal : apakah hadits yang diriwayatkan Imam Ahmad tentang sholat hajat shahih ? atau tidak ?
Jawab : Ya, Imam Ahmad dan selainnya meriwayatkan dengan sanad shahih dari Ali radhiyallohu anhu dari Ashidieq radhiyallohu anhu bahwa Nabi shollallohu alaihi wasallam bersabda ; barang siapa terlanjur melakukan dosa lalu bertaubat dan bersuci dan sholat dua rokaat serta bertaubat kepada Alloh maka Alloh akan memberi ampunan kepada-Nya.atau sebagaimana yang beliau sabdakan.ini shahih dan tsabit dan termasuk sebab yang disyariatkan jika seorang berdosa atau melakukan sesuatu yang dibenci Alloh kemudian bersuci dan sholat dua rokaat yaitu sholat taubat kemudian meminta kepada Alloh dan memohon ampun maka ia pantas mendapat ampunan seperti yang Alloh janjikan.Dan hadits sholat istikhoroh disebut juga sholat hajat karena istikhoroh dilakukan ketika seorang mempunyai hajat sehingga disyariatkan sholat dan meminta pilihan kepada Alloh .

 2.Syaikh Abu Bakar Al Jaza’iry hafidzahulloh Beliau mengatakan ketika mentafsirkan Surat Al Hijr ; 99 :

 أيسر التفاسير للجزائري - (3 / 97)
 مشروعية صلاة الحاجة فمن حزبه أمر أو ضاق به فليصل صلاة يفرج الله تعالى بها ما به أو يقضي حاجته إن شاء وهو العليم الحكيم. .

Disyariatkan sholat hajat.Maka barangsiapa gelisah dengan suatu masalah atau merasa sempit maka hendaknya ia sholat sehingga Alloh akan memberikan kemudahan dan menyampaikan hajatnya jika Ia berkehendak dan Dia Maha Mengetahui lagi Maha bijaksana .

Sholat hajat disyariatkan dengan dalil-dalil di atas dan tidak bisa dikatakan bid’ah, bahkan pendapat demikian adalah muhdats.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...