Selasa, 19 Oktober 2021

Penjelasan Qishosh Zaman Rosululloh


Qishash, hukum hadd dan jihad fi sabilillah, seringkali dipakai kaum zindiq, munafik, dan musuh-musuh Allah Subhanahu wata’ala untuk menyudutkan Islam. Dengan syariat ini, mereka menggambarkan Islam sebagai agama yang sadis, kasar, atau tidak berperikemanusiaan.
Propaganda-propaganda tersebut membuat orang-orang yang dungu atau lemah iman mengatakan bahwa Islam adalah agama yang kejam, atau setidaknya mengatakan bahwa hukum qishash dan hukum had tidak lagi relevan di masa masa ini, serta lebih pas jika qishash dan hudud lalu diganti dengan hukuman lain, seperti denda atau kurungan.
Wahai orang yang masih sedikit memiliki akal, jawablah dengan jujur, “Seorang pembunuh yang ditegakkan qishash atasnya, yang dengan itu dirinya diampuni oleh Allah Subhanahu wata’ala, dan dengan itu keluarga korban terobati dari kezaliman, dengan itu pula terhalangi pembunuhan berikutnya, yang seperti ini lebih baik; ataukah vonis bagi pembunuh  dengan kurungan sekian tahun yang kemudian bisa diganti dengan denda, kemudian dia beraksi kembali melakukan pembunuhan, keluarga korban juga tidak terobati dari kezaliman tersebut. Jawablah dengan sisa akalmu, manakah yang lebih baik?
Sebagai jawaban, cukup kita bacakan ayat Allah Subhanahu wata’ala yang menunjukkan keindahan qishash,
وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 179)
Bagi yang beriman dengan firman Rabbul ‘Alamin ini, ia akan mendapatkan kemuliaan. Namun, siapa yang mencoba-coba menyimpangkan ayat atau mengingkarinya, bersiaplah menikmati azab Allah Subhanahu wata’ala. Berilah kabar gembira kepadanya berupa jahannam, wal ‘iyadzubillah.
Pengertian Qishash dan Dalil Pensyariatan
Secara bahasa, “qishash” ( (قِصَاصٌ berasal dari bahasa Arab yang berarti “mencari jejak”, seperti “al-qashash”. Adapun secara istilah, qishash adalah: Membalas pelaku kejahatan seperti perbuatannya,apabila ia membunuh maka dibunuh dan bila ia memotong anggota tubuh maka anggota tubuhnya juga dipotong. Hal ini ditunjukkan oleh firman Allah Subhanahu wata’ala,
Alloh Subhanahu Wata'ala Berfirman:

وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ وَالْأَنْفَ بِالْأَنْفِ وَالْأُذُنَ بِالْأُذُنِ وَالسِّنَّ بِالسِّنِّ وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ (45)

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka-luka (pun) ada qisasnya. Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya. maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS Al-Maidah Ayat 45)‎‎

Ayat ini pun termasuk cemoohan yang ditujukan kepada orang-orang Yahudi dan kecaman yang keras terhadap mereka, karena sesungguhnya di dalam nas kitab Taurat yang ada pada mereka disebutkan bahwa jiwa dibalas dengan jiwa, tetapi mereka mengingkari hukum tersebut dengan sengaja dan menentang. Mereka menghukumqisas seorang Nadir karena membunuh seorang Qurazi. tetapi mereka tidak meng-qisas seorang Qurazi karena membunuh seorang Nadir, melainkan hanya membayar diat. 

Sebagaimana mereka pun mengingkari hukum Taurat lainnya yang dinaskan pada kitab mereka sehubungan dengan hukum rajam terhadap pezina muhsan,lalu mereka menggantinya dengan hal-hal yang diperistilahkan di kalangan mereka sendiri, yaitu berupa hukum dera, pencorengan, dan dipermalukan. Karena itulah disebutkan dalam ayat sebelumnya melalui firman-Nya:

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ}

Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturun­kan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang kafir. (Al-Maidah: 44)

Karena mereka mengingkari hukum Allah dengan sengaja, menentang, dan telah direncanakan. Sedangkan dalam ayat ini disebutkan melalui firman-Nya:

{فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}

maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim.(Al-Maidah: 45)

Karena mereka tidak membela orang yang teraniaya dari orang yang aniaya dalam hal yang diperintahkan oleh Allah agar ia berlaku adil dan menyamakan hak di antara semuanya. Tetapi ternyata mereka menentang perintah Allah ini dan berbuat zalim serta sebagian dari mereka berbuat sewenang-wenang atas sebagian yang lain.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Adam, telah menceritakan kepada kami Ibnul Mubarak, dari Yunus ibnu Yazid, dari Ali ibnu Yazid (saudara Yunus ibnu Yazid), dari Az-Zuhri, dari Anas ibnu Malik, bahwa Rasulullah Saw. membacanya dengan bacaan berikut:

{وَكَتَبْنَا عَلَيْهِمْ فِيهَا أَنَّ النَّفْسَ بِالنَّفْسِ وَالْعَيْنَ بِالْعَيْنِ}

Dan kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya (At-Taurat) bahwa jiwa (dibalas) dengan jiwa, sedangkan mata (dibalas) dengan mata. (Al-Maidah: 45)

Yakni dengan me-nasab-kan lafaz on-nafs dan me-rafa'-kan lafaz al- ain. Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Abu Daud, Imam Turmuzi, dan Imam Hakim di dalam kitab Mustadrak-nya melalui hadis Abdullah ibnul Mubarak. Imam Turmuzi mengatakan bahwa hadis ini hasan garib.Imam Bukhari mengatakan, hadis ini diriwayatkan oleh Ibnul Mubarak secara munfarid.

Banyak kalangan ulama ahli usul dan ahli ilmu fiqih yang menyimpulkan dalil dari ayat ini, bahwa syariat umat sebelum kita adalah syariat kita juga apabila diulangi kisahnya dan tidak di-mansukh,seperti pendapat yang terkenal dari jumhur ulama; juga seperti apa yang diriwayatkan oleh Syekh Abi Ishaq Al-Isfirayini, dari nas Imam Syafii serta mayoritas murid-muridnya sehubungan dengan ayat ini, mengingat hukum yang berlaku di kalangan kita sesuai dengan makna ayat ini dalam masalah tindak pidana jinayah menurut semua imam.

Al-Hasan Al-Basri mengatakan, ayat ini berlaku untuk mereka (Ahli Kitab) dan untuk seluruh umat manusia pada umumnya. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Syekh Abu Zakaria An-Nawawi telah meriwayatkan tiga buah pendapat sehubungan dengan masalah ini, salah satunya mengatakan bahwa syariat Nabi Ibrahim dapat dijadikan hujah, bukan syariat nabi lainnya. Kemudian Abu Zakaria An-Nawawi membenarkan pendapat yang mengatakan tidak mengandung hujah bagi selainnya. Pendapat ini dinukil oleh Syekh Abu Ishaq Al-Isfirayini, dari Imam Syafii dan sebagian besar muridnya, Ia menguatkan pendapat yang mengatakan sebagai hujah menurut mayoritas teman-teman kami (mazhab Syafii).

Imam Abu Nasr telah meriwayatkan dari As-Sabbag di dalam ki­tab Asy-Syamil adanya kesepakatan ulama yang menjadikan hujah ayat ini menurut apa yang ditunjukkan oleh maknanya.

Semua imam telah menyimpulkan bahwa lelaki dibunuh karena membunuh wanita, karena berdasarkan keumuman makna ayat yang mulia ini. Demikian pula hal yang disebutkan di dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Nasai dan lain-lainnya yang menyebutkan bahwa Rasulullah Saw. menginstruksikan kepada Amr ibnu Hazm dalam suatu suratnya yang antara lain disebutkan padanya:

"أَنَّ الرَّجُلَ يُقْتَلُ بِالْمَرْأَةِ"

Bahwa lelaki dibunuh karena membunuh wanita.

"الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ"

Orang-orang muslim itu sepadan (kehormatan) ‎darahnya.
Demikian menurut pendapat jumhur ulama.
Telah diriwayatkan dari Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib, "Apabila seorang lelaki membunuh seorang wanita, maka ia tidak dihukum mati karenanya, terkecuali jika wali si terbunuh membayar separo diat kepada wali si pembunuh; karena diat seorang wanita adalah separo diat lelaki." Pendapat inilah yang dianut oleh Imam Ahmad, menurut suatu riwayat yang bersumberkan darinya.

Di dalam hadis lain disebutkan:
Telah diriwayatkan pula dari Al-Hasan, Ata, Usman Al-Basti, dan suatu riwayat dari Imam Ahmad, "Apabila seorang lelaki membunuh seorang wanita, ia tidak boleh dibunuh karenanya, melainkan wajib membayar diat."

Imam Abu Hanifah rahimahullah berhujah melalui keumuman makna ayat ini, bahwa seorang muslim dibunuh karena membunuh seorang kafir zimmi,dan seorang yang merdeka dibunuh karena membunuh seorang budak.

Tetapi jumhur ulama berbeda pendapat dalam kedua masalah tersebut dengan Abu Hanifah. Di dalam kitab Sahihain disebutkan dari Amirul Mu’minin Ali ibnu Abu Talib r.a. bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ"

Seorang muslim tidak boleh dibunuh karena membunuh orang kafir.

Adapun sehubungan dengan masalah budak, maka banyak asar yang beraneka ragam dari ulama Salaf menyatakan bahwa mereka tidak pernah menghukum qisas orang merdeka karena melukai budak, tidak pernah pula membunuh seorang merdeka karena membunuh seorang budak. Banyak hadis yang menerangkan tentang masalah ini, tetapi predikatnya tidak sahih. Imam Syafii telah meriwayatkan adanya kesepakatan yang bertentangan dengan pendapat mazhab Hanafi dalam masalah tersebut. Tetapi dengan adanya hal itu tidak memastikan batalnya pendapat mereka (mazhab Hanafi) kecuali berdasarkan dalil yang mentakhsis makna ayat yang mulia ini.

Apa yang dikatakan oleh Ibnus Sabbag, yaitu hujahnya dengan ayat ini, diperkuat oleh hadis yang menerangkan tentang masalah ini. seperti yang dikatakan oleh Imam Ahmad. 

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَبِي عَدِيّ، حَدَّثَنَا حُمَيْد، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ: أَنَّ الرُّبَيع عَمّة أَنَسٍ كَسَرَتْ ثَنيَّة جَارِيَةٍ، فَطَلَبُوا إِلَى الْقَوْمِ الْعَفْوَ، فَأَبَوْا، فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: "الْقِصَاصُ". فَقَالَ أَخُوهَا أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ: يَا رَسُولَ اللَّهِ تَكْسِرُ ثَنِيَّةَ فُلَانَةَ؟! فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَنَسُ، كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ". قَالَ: فَقَالَ: لَا وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ، لَا تَكْسِرُ ثَنِيَّةَ فُلَانَةَ. قَالَ: فَرَضِيَ الْقَوْمُ، فَعَفَوْا وَتَرَكُوا الْقِصَاصَ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لأبَّره".

Disebutkan bahwa telah mencerita­kan kepada kami Muhammad ibnu Abu Addi, telah menceritakan kepada kami Humaid, dari Anas ibnu Malik, bahwa Ar-Rabi' bibi Anas pernah merontokkan gigi seri seorang budak perempuan. Lalu kaum Ar-Rabi' meminta maaf kepada kaum si budak perempuan itu, tetapi mereka menolak. Kemudian kaum Ar-Rabi" datang kepada Rasulullah Saw. Maka Rasulullah Saw. bersabda, "Hukum qisas." Lalu Saudara lelaki Ar-Rabi' yaitu Anas ibnun Nadr berkata memohon grasi, "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan merontokkan gigi seri si Fulanah?" Rasulullah Saw. menjawab melalui sabdanya, "Hai Anas, Kitabullah (telah menentukan) hukum qisas." Anas ibnun Nadr berkata, "Tidak, demi Tuhan yang telah mengutus­mu dengan benar, kumohon janganlah engkau merontokkan gigi seri Fulanah." Pada akhirnya kaum si budak perempuan rela dan memaafkan serta membatalkan tuntutan hukumqisas-nya. Kemudian Rasulullah Saw. bersabda:Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat seseorang yang seandainya dia bersumpah atas nama Allah (yakni memohon dengan menyebut nama-Nya), niscaya Allah mengabulkannya.
Hadis diketengahkan oleh Syaikhain di dalam kitab ‎Sahihain.


وَقَدْ رَوَاهُ مُحَمَّدُ بْنُ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ الْمُثَنَّى الْأَنْصَارِيُّ، فِي الْجُزْءِ الْمَشْهُورِ مِنْ حَدِيثِهِ، عَنْ حُمَيْدٍ، عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ؛ أَنَّ الرُّبَيع بِنْتَ النَّضِرِ عَمَّته لَطَمَتْ جَارِيَةً فَكَسَرَتْ ثَنِيَّتَهَا فَعَرَضُوا عَلَيْهِمُ الْأَرْشَ، فَأَبَوْا فَطَلَبُوا الْأَرْشَ وَالْعَفْوَ فَأَبَوْا، فَأَتَوْا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَهُمْ بِالْقِصَاصِ، فَجَاءَ أَخُوهَا أَنَسُ بْنُ النَّضْرِ فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ أَتَكْسِرُ ثَنِيَّةَ الرَّبِيعِ؟ وَالَّذِي بَعَثَكَ بِالْحَقِّ لَا تَكْسِرْ ثَنِيَّتَهَا. فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "يَا أَنَسُ كِتَابُ اللَّهِ الْقِصَاصُ". فَعَفَا الْقَوْمُ، فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "إِنَّ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ مَنْ لَوْ أَقْسَمَ عَلَى اللَّهِ لِأَبَرَّهُ".

Muhammad ibnu Abdullah ibnul Musanna Al-Ansari telah meriwa­yatkannya di dalam bagian yang terkenal dari kitab hadisnya melalui Humaid, dari Anas ibnu Malik, bahwa Ar-Rabi' binti Nadr bibinya pernah menampar muka seorang budak perempuan sehingga merontok­kan gigi serinya. Lalu keluarga Ar-Rabi’ menawarkan diat kepada keluarga si budak, tetapi mereka menolak. Kemudian keluarga Ar-Rabi’ mengajukan pembayaran diat dan mohon maaf. tetapi mereka menolak pula. Lalu keluarga si budak datang kepada Rasulullah Saw. Maka beliau Saw. memerintahkan kepada mereka untuk melakukan hukum qisas. Kemudian datanglah saudara lelaki Ar-Rabi', yaitu Anas ibnun Nadr, yang berkata memohon grasi kepada Rasulullah Saw., "Wahai Rasulullah, apakah engkau akan merontokkan gigi seri Ar-Rabi'? Demi Tuhan Yang telah mengutusmu dengan hak, saya memohon janganlah engkau merontokkan gigi serinya." Maka Nabi Saw. bersabda: Hai Anas, ketentuan Kitabullah (Al-Qur'an) adalah hukum qisas. Tetapi akhirnya kaum si budak perempuan itu memaafkannya. Maka Rasulullah Saw. bersabda:Sesungguhnya di antara hamba-hamba Allah terdapat seseorang yang seandainya dia bersumpah dengan menyebut nama Allah, niscaya Allah memperkenankannya.

Imam Bukhari meriwayatkannya dari Al-Ansari dengan lafaz yang semisal.

حَدَّثَنَا أَحْمَدُ بْنُ حَنْبَلٍ، حَدَّثَنَا مُعَاذُ بْنُ هِشَامٍ، حَدَّثَنَا أَبِي، عَنْ قَتَادَةَ، عَنْ أَبِي نَضرة، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ حُصَيْنٍ، أَنَّ غُلَامًا لِأُنَاسٍ فُقَرَاءَ قَطَعَ أُذُنَ غُلَامٍ لِأُنَاسٍ أَغْنِيَاءَ، فَأَتَى أَهْلُهُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللَّهِ، إِنَّا أُنَاسٌ فُقَرَاءُ، فَلَمْ يَجْعَلْ عَلَيْهِ شَيْئًا.

Imam Abu Daud meriwayatkan, telah menceritakan kepada kami Ahmad ibnu Hambal, telah menceritakan kepada kami Mu'az ibnu Hisyam, telah menceritakan kepada kami ayahku, dari Qatadah. dari Abu Nadrah, dari Imran ibnu Husain, bahwa pernah ada seorang budak lelaki milik suatu kaum yang miskin memotong telinga seorang budak milik suatu kaum yang berharta. Maka keluarga budak yang melakukan tindak pidana itu datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Wahai Rasulullah, sesungguhnya kami adalah orang-orang miskin." Maka Rasulullah Saw. tidak menjatuhkan sanksi apa pun terhadapnya.

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Nasai, dari Ishaq ibnu Rahawaih, dari Mu'az ibnu Hisyam Ad-Dustuwai, dari ayahnya, dari Qatadah dengan lafaz yang sama.

Sanad hadis ini cukup kuat, dan semua perawinya adalah orang-orang yang siqah. Tetapi hadis ini masih penuh dengan teka-teki, kecuali jika dikatakan bahwa sesungguhnya pelaku tindak pidana ada­lah orang yang usianya belum mencapai balig, maka ia tidak terkena hukumqisas. Dan barangkali Nabi Saw. sendirilah yang menanggung kekurangan diat yang mampu dibayar oleh budak kaum yang miskin untuk diberikan kepada budak kaum yang hartawan, atau barangkali Nabi Saw. sendirilah yang meminta maaf kepada mereka sebagai ganti dari budak kaum yang miskin.

Firman Allah Swt.:

{وَالْجُرُوحَ قِصَاصٌ}

dan luka-luka (pun) ada qisas-nya. (Al-Maidah: 45)

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas bahwa seseorang dibunuh karena membunuh orang lain, matanya dibutakan karena membutakan mata orang lain, hidungnya dipotong karena memotong hidung orang lain, dan giginya dirontokkan karena merontokkan gigi orang lain, luka-luka pun dibalas dengan luka-luka lagi sebagai hukum qisas.

Dalam ketentuan hukum qisas ini seluruh kaum muslim yang merdeka baik yang laki-laki maupun yang wanita disamakan haknya di antara sesama mereka, jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja, baik yang menyangkut jiwa ataupun sebawahnya. Para budak itu disamakan pula, baik yang laki-laki maupun yang wanita di antara sesama mereka, jika tindak pidana dilakukan dengan sengaja, baik yang menyangkut jiwa atau sebawahnya. Demikianlah menurut apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Jarir dan Ibnu Abu Hatim.

Pelukaan adakalanya terjadi pada pergelangan. Sehubungan dengan kasus ini, maka diwajibkan adanya hukum qisas menurut ijma', seperti memotong tangan, kaki, telapak tangan atau telapak kaki, dan lain sebagainya yang bersendi.
Adapun jika pelukaan terjadi bukan pada pergelangan, melainkan pada tulang, maka menurut Imam Malik rahimahullah dalam kasus ini tetap diwajibkan adanya qisas, kecuali jika pelukaan terjadi pada tulang paha dan tulang lainnya yang serupa, karena dikhawatirkan akan membahayakan keselamatan nyawa si terpidana.

Imam Abu Hanifah dan kedua muridnya mengatakan, tidak wajib qisas dalam suatu kasus pun dari masalah pelukaan yang terjadi pada tulang, kecuali pada gigi.

Imam Syafii mengatakan, tidak wajib hukum qisas pada suatu kasus tindak pidana pelukaan apa pun yang terjadi pada tulang secara mutlak. Pendapat ini berdasarkan apa yang diriwayatkan dari Umar ibnul Khattab dan Ibnu Abbas. Hal yang sama telah dikatakan oleh Ata, Asy-Sya'bi, A]-Hasan Al-Bashri, Az-Zuhri, Ibrahim An-Nakhai', dan Umar ibnu Abdul Aziz. Pendapat ini didukung oleh Sufyan As-Sauri, Al-Lais ibnu Sa'd. dan pendapat yang terkenal dari mazhab Imam Ahmad.

Imam Abu Hanifah rahimahullah berpedoman pada hadis Ar-Rabi' bintu Nadr untuk mazhabnya. Ia menyimpulkan dalil darinya, bahwa tidak ada hukum qisas dalam masalah tulang kecuali mengenai gigi.

Tetapi hadis Ar-Rabi' tidak mengandung hujah, mengingat teksnya berbunyi “mematahkan gigi seri seorang budak wanita”. Padahal gigi  dapat tertanggalkan tanpa mengalami patah; maka dalam keadaan seperti ini hukum qisas wajib menurut kesepakatan ijma'. Mereka melengkapi dalilnya dengan apa yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui jalur Abu Bakar ibnu Ayyasy, dari Duhsyum ibnu Qiran, dari Namran ibnu Jariyah, dari ayahnya, yaitu Jariyah ibnu Zafar Al-Hanafi. 

أَنَّ رَجُلًا ضَرَبَ رَجُلًا عَلَى سَاعِدِهِ بِالسَّيْفِ مِنْ غَيْرِ الْمَفْصِلِ، فَقَطَعَهَا، فَاسْتَعْدَى النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَأَمَرَ لَهُ بِالدِّيَةِ، فَقَالَ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، أُريد الْقِصَاصَ. فَقَالَ: "خُذِ الدِّيَةَ، بَارَكَ اللَّهُ لَكَ فِيهَا". وَلَمْ يَقْضِ لَهُ بِالْقِصَاصِ.

Disebutkan bahwa pernah terjadi seorang lelaki memukul lelaki lain dengan pedang pada bagian lengannya, bukan pada pergelangannya,hingga lengannya patah. Kemudian lelaki yang terpukul mengadukan perkaranya kepada Nabi Saw. Maka Nabi Saw. memerintahkan kepadanya agar menerima diat. Tetapi ia berkata, "Wahai Rasulullah, aku menginginkan hukum qisas." Nabi Saw. bersabda, "Terimalah diat itu, semoga Allah memberkatimu padanya." Ternyata Rasulullah Saw. tidak memutuskan hukum qisas baginya.

Syekh Abu Umar ibnu Abdul Bar mengatakan, hadis ini tidak mempunyai isnad selain dari isnad ini, dan Duhsyum ibnu Qiran Al-Ukali adalah seorang Badui yang dinilai daif, hadisnya tidak dapat dijadikan sebagai pegangan hujah. Namran ibnu Jariyah pun se­orang Badui yang berpredikat d‎aif, tetapi ayahnya yaitu Jariyah ibnu Zafar disebutkan berpredikat sahabat.

Kemudian mereka mengatakan bahwa tidak boleh melakukan hukum qisas karena kasus pelukaan sebelum luka orang yang dilukai mengering (sembuh); karena jika dia melakukan hukum qisas(pembalasan) sebelum lukanya kering, kemudian ternyata lukanya itu bertambah parah, maka tidak ada hak lagi baginya untuk menuntut pelakunya.

Dalil yang menunjukkan hal tersebut ialah sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Amr ibnu Syu'aib, dari ayahnya, dari kakeknya:

أَنَّ رَجُلًا طَعَنَ رَجُلًا بِقَرْنٍ فِي رُكْبَتِهِ، فَجَاءَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ: أَقِدْنِي. فَقَالَ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: "لَا تَعْجَلْ حَتَّى يَبْرَأَ جُرْحُكَ". قَالَ: فَأَبَى الرَّجُلُ إِلَّا أَنْ يَسْتَقِيدَ، فَأَقَادَهُ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْهُ، قَالَ: فَعَرَجَ الْمُسْتَقِيدُ وَبَرَأَ الْمُسْتَقَادُ مِنْهُ، فَأَتَى الْمُسْتَقِيدُ إِلَى رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال لَهُ: يَا رَسُولَ اللَّهِ، عَرَجْتُ وَبَرَأَ صَاحِبِي. فَقَالَ: "قَدْ نَهَيْتُكَ فَعَصَيْتَنِي، فَأَبْعَدَكَ اللَّهُ وَبَطَلَ عَرَجُكَ". ثُمَّ نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُقْتَصَّ مِنْ جُرْحٍ حَتَّى يَبْرَأَ صَاحِبُهُ.

Bahwa pernah terjadi seorang lelaki menusuk lutut lelaki lain dengan tanduk. Lalu orang yang ditusuk itu datang kepada Nabi Saw. dan berkata, "Berikanlah hak qisas kepadaku." Nabi Saw. menjawab, "Tunggu sampai kamu sembuh." Kemudian ia datang lagi dan berkata, "Berilah aku hak qisas" maka Nabi Saw. memberikan hak qisaskepadanya Sesudah itu ia datang lagi dan berkata, "Wahai Rasulullah,kini aku menjadi pincang." Maka Rasulullah Saw. bersabda: Aku telah melarangmu(cepat-cepat melakukan qisas), tetapi kamu mendurhakai perintahku, maka akibatnya Allah menjauhkanmu (dari rahmat-Nya) dan membatalkan (hak qisas) kepincanganmu.Kemudian Rasulullah Saw. melarang melakukan hukum qisas karena pelukaan, kecuali bila orang yang dilukai telah sembuh dari lukanya.

Hadis diriwayatkan oleh Imam Ahmad secara ‎munfarid.

Seandainya orang yang dilukai melakukan hukumqisas terhadap orang yang melukainya, kemudian ternyata orang yang melukainya meninggal dunia karena hukum qisas itu, maka tidak ada kewajiban apapun atas orang yang dilukainya. Demikianlah menurut Imam Malik, Imam Syafii, dan Imam Ahmad ibnu Hambal. Pendapat inilah yang dikatakan oleh jumhur ulama dari kalangan sahabat dan tabi'in serta lain-lainnya. Tetapi Imam Abu Hanifah mengatakan bahwa wajib diat yang diambil dari harta si korban yang melakukan hukum qisas.

Amir, Asy-Sya'bi, Ata,Tawus; Amr ibnu Dinar, Al-Haris Al-Ukali, Ibnu Abu Laila, Hammad Ibnu Abu Sulaiman, Az-Zuhri, dan As- Sauri mengatakan, wajib diat yang dibebankan ke atas pundak keluarga orang yang melakukan hukum qisas.

Ibnu Mas'ud, Ibrahim An-Nakha'i, Al-Hakam ibnu Utaibah, dan Usman Al-Basti mengatakan bahwa digugurkan dari orang yang melakukan hukumqisas diat yang seharga dengan pelukaan yang dialaminya, sedangkan sisanya wajib dibayar dari harta benda miliknya.

Firman Allah Swt.:

{فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ}

Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)Nya,maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45)

Ali ibnu Abu Talhah telah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)Nya (Al-Maidah: 45); Bahwa barang siapa yang memaafkan pelaku tindak pidana dan melepas­kannya, maka perbuatan ini merupakan penebus dosa bagi pelaku tindak pidana dan merupakan pahala bagi si korban.

Sufyan As-Sauri meriwayatkan dari Ata ibnus Sa-ib, dari Sa'id ibnu Jubair, dari Ibnu Abbas, bahwa barang siapa yang melepaskan hak qisas-nya, hal itu merupakan kifarat bagi si pelaku tindak pidana pelukaan dan merupakan pahala bagi yang dilukai di sisi Allah Swt. Demikianlah menurut riwayat Ibnu Abu Hatim.

Kemudian Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah meriwayatkan hal yang semisal dari Khaisamah ibnu Abdur Rahman. Mujahid, Ibrahim dalam salah satu pendapatnya, Amir Asy-Sya'bi, dan Jabir Ibnu Zaid.

Jalur yang kedua diriwayatkan oleh Ibnu Abu Hatim. Disebutkan bahwa telah menceritakan kepada kami Hammad ibnu Zazan, telah menceritakan kepada kami Harami (yakni Ibnu Imarah), telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Imarah (yakni Ibnu Hafsah), dari seorang lelaki, dari Jabir ibnu Abdullah sehubungan dengan firman Allah Swt.: Barang siapa yang melepaskan(hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu(menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45); Yakni bagi orang yang dilukai. 

Telah diriwayatkan pula hal yang semisal, dari Al-Hasan Al-Basri, Ibrahim An-Nakha’i dalam salah satu penda­patnya, dan Abu Ishaq Al-Hamdani. Ibnu Jarir telah meriwayatkan hal yang semisal dari Amir Asy-Sya'bi dan Qatadah.
Ibnu Abu Hatim mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Habib, telah menceritakan kepada kami Abu Daud At-Tayalisi, telah menceritakan kepada kami Syu'bah, dari Qais (yakni Ibnu Muslim) yang telah mengatakan bahwa ia pernah mendengar Tariq ibnu Syihab menceritakan dari Al-Haisam ibnul Uryan An-Nakha'i yang telah mengatakan bahwa ia pernah melihat Abdullah ibnu Amr berada di ru­mah Mu'awiyah mengenakan pakaian merah, mirip dengan mawali (bu­dak yang telah dimerdekakan). Lalu ia bertanya kepada Abdullah ibnu Amr tentang makna firman-Nya: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi) penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45); Abdullah ibnu Amr menjawab bahwa digugurkan (dihapuskan) darinya sebagian dari dosa-dosanya yang sesuai dengan pemberian maafnya. 

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Sufyan As-Sauri, dari Qais ibnu Muslim; telah diriwayatkan pula oleh Ibnu Jarir melalui jalur Sufyan dan Syu'bah.

قَالَ ابْنُ مَرْدُويَه: حَدَّثَنِي مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيٍّ، حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّحِيمِ بْنُ مُحَمَّدٍ المُجَاشِعي، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ أَحْمَدَ بْنِ الْحَجَّاجِ الْمَهْرِيُّ، حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سُلَيْمَانَ الجُعْفي، حَدَّثَنَا مُعلَّى -يَعْنِي ابْنَ هِلَالٍ -أَنَّهُ سَمِعَ أَبَانَ بْنَ تَغْلِبَ، عَنْ أَبِي الْعُرْيَانِ الْهَيْثَمِ بْنِ الْأَسْوَدِ، عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرٍو -وَعَنْ أَبَانِ بْنِ تَغْلِبَ، عَنِ الشَّعْبِيِّ، عَنْ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي قَوْلِهِ: {فَمَنْ تَصَدَّقَ بِهِ فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ} قَالَ: هُوَ الَّذِي تُكْسَرُ سِنَّهُ، أَوْ تُقْطَعُ يَدُهُ، أَوْ يُقْطَعُ الشَّيْءُ مِنْهُ، أَوْ يُجْرَحُ فِي بَدَنِهِ فَيَعْفُو عَنْ ذَلِكَ، وَقَالَ فَيُحَطّ عَنْهُ قَدْرُ خَطَايَاهُ، فَإِنْ كَانَ رُبْعُ الدِّيَةِ فَرُبْعُ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَ الثُّلْثُ فَثُلْثُ خَطَايَاهُ، وَإِنْ كَانَتِ الدِّيَةُ حَطَّتْ عَنْهُ خَطَايَاهُ كَذَلِكَ.

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali, telah menceritakan kepada kami Abdur Rahim, ibnu Muhammad Al-Mujasyi'i, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ahmad ibnul Hajjaj Al-Mahri, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sulaiman Al-Ju'fi, telah menceritakan kepada kami Ma'la (yakni ibnu Hilal), bahwa ia pernah mendengar Aban ibnu Taglab menceritakan hadis berikut dari Al-Uryan ibnul Haisam ibnul Aswad, dari Abdullah ibnu Amr, dari Aban ibnu Taglab, dari Asy-Sya'bi, dari seorang lelaki dari kalangan Ansar, dari Nabi Saw. sehubungan dengan makna firman-Nya: Barang siapa yang melepaskan (hak qisas)nya, maka melepaskan hak itu (menjadi)penebus dosa baginya. (Al-Maidah: 45); Nabi Saw. bersabda: Dia adalah orang yang giginya dirontokkan, atau tangannya dipotong, atau sebagian dari tangannya dipotong, atau badannya dilukai lalu memaafkan hal tersebut, Maka dihapuskan darinya hal yang seimbang dengan dosa-dosanya. Jika yang dimaafkannya seperempat diat, maka yang dihapuskan seperempat dosa-dosanya: jika sepertiganya, maka yang dihapuskan sepertiga dosa-dosanya: dan jika seluruh diat. maka yang dihapuskan seluruh dosa-dosanya pula.‎

ثُمَّ قَالَ ابْنُ جَرِيرٍ: حَدَّثَنَا زَكَرِيَّا بْنُ يَحْيَى بْنِ أَبِي زَائِدَةَ، حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ، عَنْ يونس بن أبي إسحاق، عن أبي السَّفَر قَالَ: دَفَعَ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ رَجُلًا مِنَ الْأَنْصَارِ، فَانْدَقَّتْ ثَنِيَّتُهُ، فَرَفَعَهُ الْأَنْصَارِيُّ إِلَى مُعَاوِيَةَ، فَلَمَّا أَلَحَّ عَلَيْهِ الرَّجُلُ قَالَ: شَأْنُكَ وَصَاحِبُكَ. قَالَ: وَأَبُو الدَّرْدَاءِ عِنْدَ مُعَاوِيَةَ، فَقَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصَابُ بِشَيْءٍ مِنْ جَسَدِهِ، فَيَهَبُهُ، إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهِ دَرَجَةً، وَحَطَّ عَنْهُ بِهِ خَطِيئَةً". فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ: أَنْتَ سَمِعْتَهُ مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ؟ فَقَالَ: سَمِعَتْهُ أُذُنَايَ وَوَعَاهُ قَلْبِي، فَخَلَّى سَبِيلَ الْقُرَشِيِّ، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: مُرُوا لَهُ بِمَالٍ.

Kemudian Ibnu Jarir mengatakan, telah menceritakan kepada kami Zakaria ibnu Yahya ibnu Abu Zaidah, telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudail, dari Yunus ibnu Abu Ishaq, dari Abus Safar yang menceritakan bahwa seorang lelaki Quraisy mendorong seorang lelaki Ansar hingga gigi serinya ada yang patah. Maka lelaki Ansar itu melaporkannya kepada Mu'awiyah. Ketika lelaki Ansar itu terus mendesak Mu'awiyah, maka Mu'awiyah berkata, "Itu urusanmu dan temanmu." Saat itu Abu Darda ada bersama Mu'awiyah, maka Abu Darda berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seorang muslim dilukai pada salah satu dari anggota tubuhnya kemudian dia memaafkannya. melainkan Allah meninggikan satu derajat untuknya dan menghapuskan suatu dosa darinya sebab lukanya itu. Lelaki Ansar itu bertanya, "Apakah kamu benar-benar mendengar dari Rasulullah Saw.?" Abu Darda menjawab, "Aku mendengarnya dengan kedua telingaku ini dan disimpan di dalam hatiku." Maka lelaki Ansar itu memaafkan lelaki Quraisy yang melukainya. Kemudian Mu'awiyah berkata, "Berikanlah kepadanya sejumlah harta."

Ibnu Jarir pun telah meriwayatkannya, begitu pula Imam Ahmad. 

وَرَوَاهُ الْإِمَامُ أَحْمَدُ فَقَالَ: حَدَّثَنَا وَكِيع، حَدَّثَنَا يُونُسُ بْنُ أَبِي إِسْحَاقَ، عَنْ أَبِي السَّفر قَالَ: كَسَرَ رَجُلٌ مِنْ قُرَيْشٍ سِنَّ رَجُلٍ مِنَ الْأَنْصَارِ، فَاسْتَعْدَى عَلَيْهِ مُعَاوِيَةَ، فَقَالَ القرشيُّ: إِنَّ هَذَا دَقَّ سِنِّي؟ قَالَ مُعَاوِيَةُ: إِنَّا سَنُرْضِيهِ. فَأَلَحَّ الْأَنْصَارِيُّ، فَقَالَ مُعَاوِيَةُ: شَأْنُكَ بِصَاحِبِكَ، وَأَبُو الدَّرْدَاءِ جَالِسٌ، فَقَالَ أَبُو الدَّرْدَاءِ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مِنْ مُسْلِمٍ يُصَابُ بِشَيْءٍ فِي جَسَدِهِ، فَيَتَصَدَّقُ بِهِ، إِلَّا رَفَعَهُ اللَّهُ بِهِ دَرَجَةً أَوْ حَطَّ عَنْهُ بِهَا خَطِيئَةً".فَقَالَ الْأَنْصَارِيُّ: فَإِنِّي، يَعْنِي: قَدْ عَفَوْتُ.

Disebutkan bahwa Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Waki', telah menceritakan kepada kami Yunus ibnu Abu Ishaq, dari Abu Safar yang menceritakan bahwa seorang lelaki Quraisy mematahkan gigi seorang lelaki dari kalangan Ansar, kemudian Mu'awiyah membantu lelaki Quraisy, lalu ia mengatakan, "Kami mencoba untuk membujuknya agar mau memberi maaf." Tetapi lelaki Ansar itu tetap bersikeras menuntut hukum qisas, maka Mu'awiyah berkata, "Terserah padamu." Saat itu Abu Darda duduk di dalam majelis. Maka Abu Darda berkata bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seorang muslim tertimpa musibah pada salah satu dari bagian tubuhnya, lalu ia melepaskan hak qisas-nya, melainkan Allah mengangkat satu derajat untuknya dan menghapuskan suatu dosa darinya karena hal itu.Maka lelaki Ansar berkata, "Sesungguhnya aku telah memberi maaf."

Hal yang sama telah diriwayatkan oleh Imam Turmuzi melalui hadis Ibnul Mubarak, sedangkan Imam Ibnu Majah meriwayatkannya melalui Waqi'; keduanya meriwayatkan hadis ini dari Yunus ibnu Abu Ishaq dengan lafaz yang sama. Kemudian Imam Turmuzi mengatakan, "Bila ditinjau dari segi ini, hadis ini berpredikat garib. Menurutnya ia belum pernah mengetahui bahwa Abus Safar pernah mendengar dari Abu Darda. 

قَالَ [أَبُو بَكْرِ] بْنُ مَرْدَوَيْهِ: حَدَّثَنَا دَعْلَج بْنُ أَحْمَدَ، حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ عَلِيِّ بْنِ زَيْدٍ، حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ مَنْصُورٍ، حَدَّثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ عِمْرَانَ بْنِ ظَبْيَانَ، عَنْ عَدِيِّ بْنِ ثَابِتٍ؛ أَنَّ رَجُلًا هَتَم فَمَهُ رَجُلٌ، عَلَى عَهْدِ مُعَاوِيَةَ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، فأعْطِي دِيَةً، فَأَبَى إِلَّا أَنْ يَقْتَصَّ، فَأُعْطِي دِيَتَيْنِ، فَأَبَى، فَأُعْطِي ثَلَاثًا، فَأَبَى، فَحَدَّثَ رَجُلٌ مِنْ أَصْحَابِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ تَصَدَّقَ بِدَمٍ فَمَا دَوُنَهُ، فَهُوَ كَفَّارَةٌ لَهُ مِنْ يَوْمِ وُلِدَ إِلَى يَوْمِ يَمُوتُ".

Ibnu Murdawaih mengatakan, telah menceritakan kepada kami Da' laj ibnu Ahmad, telah menceritakan kepada kami Muhammad ibnu Ali ibnu Zaid, telah menceritakan kepada kami Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Imran Ibnu Zabyan, dari Addi ibnu Sabit, bahwa di masa Mu'awiyah r.a. pernah terjadi seorang lelaki melukai mulut lelaki lain. Kemudian ia diberi diat, tetapi ia menolak dan bersikeras menginginkan qisas. Lalu ia diberi dua kali lipatdiat, tetapi tetap menolak; dan diberi tiga kali diat pun tetap menolak. Lalu ada seorang lelaki dari kalangan sahabat Rasulullah Saw. Menceritakan hadis bahwa Rasulullah SAW pernah bersabda :Barang siapa yang melepaskan hak (qisas) ‎darahnya atau yang lebih kecil daripada itu, maka hal tersebut merupakan peng­hapus dosanya sejak hari ia dilahirkan sampai hari kematiannya.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا سُرَيج بْنُ النُّعْمَانِ، حَدَّثَنَا هُشَيْم، عَنِ الْمُغِيرَةِ، عَنِ الشَّعْبِيِّ؛ أَنَّ عُبَادَةَ بْنَ الصَّامِتِ قَالَ: سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ: "مَا مِنْ رَجُلٍ يُجْرَحُ مِنْ جسده جراحة، فيتصدق بِهَا، إِلَّا كَفَّرَ اللَّهُ عَنْهُ مِثْلَ مَا تَصَدَّقَ بِهِ.

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Syuraih ibnun Nu'man. telah menceritakan kepada kami Hasyim, dari Al-Mugirah, dari Asy-Sya'bi, bahwa Ubadah ibnus Samit pernah mencerita­kan bahwa ia pernah mendengar Rasulullah Saw. bersabda: Tidak sekali-kali seorang lelaki dilukai pada tubuhnya sekali luka, lalu ia melepaskan hak qisas-nya, melainkan Allah menghapuskan darinya dosa yang setimpal dengan apa yang disedekahkannya.

Imam Nasai meriwayatkannya melalui Ali ibnu Hujr, dari Jarir ibnu Abdul Hamid. Dan Ibnu Jarir meriwayatkannya dari Mahmud ibnu Khaddasy, dari Hasyim, kedua-duanya dari Al-Mugirah dengan lafaz yang sama.

قَالَ الْإِمَامُ أَحْمَدُ: حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ سَعِيدٍ الْقَطَّانُ، عَنْ مَجَالِدٍ، عَنْ عَامِرٍ، عَنِ المحرَّر بْنِ أَبِي هُرَيْرَةَ، عَنْ رَجُلٍ مِنْ أَصْحَابِ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: "مَنْ أُصِيبَ بِشَيْءٍ مِنْ جَسَدِهِ، فَتَرَكَهُ لِلَّهِ، كَانَ كَفَّارَةً لَهُ"

Imam Ahmad mengatakan, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Sa'id Al-Qattan. dari Mujalid, dari Amir, dari Al-Muharrar ibnu Abu Hurairah, dari seorang lelaki dari kalangan sahabat Nabi Saw. yang mengatakan: Barang siapa yang dilukai pada salah satu anggota badannya, lalu ia memaafkannya karena Allah, maka hal itu merupakan penghapus bagi dosa-dosanya.

Firman Allah Swt.:

{وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنزلَ اللَّهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الظَّالِمُونَ}

Barang siapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (Al-Maidah: 45)

Dalam pembahasan yang lalu telah disebutkan dari Ata dan Tawus. Keduanya mengatakan bahwa makna yang dimaksud ialah kekufuran yang masih di bawah kafir, kezaliman yang masih di bawah zalim, serta kefasikan yang masih di bawah fasik.

Qishash disyariatkan dalam al- Qur’an dan as-Sunnah, serta ijma’. Di antara dalil dari al-Qur’an adalah firman Allah Subhanahuwata’ala,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى ۖ الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالْأُنثَىٰ بِالْأُنثَىٰ ۚ فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ ۗ ذَٰلِكَ تَخْفِيفٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ ۗ فَمَنِ اعْتَدَىٰ بَعْدَ ذَٰلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ () وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ يَا أُولِي الْأَلْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ
“Wahai orang-orang yang beriman, qishash diwajibkan atasmu berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. Orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. Maka, barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik,dan hendaklah ( yang diberimaaf) membayar (diyat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Rabbmu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, baginyasiksa yang sangat pedih. Dan dalam qishash itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, wahai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.” (al-Baqarah: 178—179)
Allah Swt. berfirman, "Telah diharuskan atas kalian berbuat adil dalam hukum qisas, hai orang-orang mukmin; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita; janganlah kalian melampaui batas dan jangan pula kalian berbuat aniaya, sebagaimana orang-orang sebelum kalian berbuat kelewat batas karena mereka mengubah hukum Allah yang berkaitan dengan qisas." 

Penyebabnya ialah Bani Quraizz dan Bani Nadir. Di masa Jahiliah Bani Nadir berperang melawan Bani Quraizz dan dapat mengalahkan mereka. Tersebutlah bahwa apabila seorang dari Bani Nadir membunuh seorang dari Bani Quraizz, maka si pembunuh tidak dikenakan hukum balasan, melainkan hanya membayar tebusan berupa seratus wasaq kurma. Tetapi apabila seorang Quraizz membunuh seorang Nadir, maka tebusannya dua kali lipat, yaitu dua ratus wasaq kurma; jika tidak, ia akan dikenakan hukuman qisas (dibunuh lagi). Maka Allah memerintahkan agar keadilan ditegakkan dalam hukum qisas, tidak boleh mengikuti jalan orang-orang yang merusak lagi menyimpang dan menentang hukum-hukum Allah di kalangan mereka karena ingkar dan melampaui batas. Untuk itu Allah Swt. berfirman:

{كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى الْحُرُّ بِالْحُرِّ وَالْعَبْدُ بِالْعَبْدِ وَالأنْثَى بِالأنْثَى}

Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178)

Mengenai asbabun nuzul ayat ini, menurut riwayat Imam Abu Muhammad ibnu Abu Hatim disebutkan, telah menceritakan kepada kami Abu Zar'ah, telah menceritakan kepada kami Yahya ibnu Abdullah ibnu Bukair, telah menceritakan kepadaku Abdullah ibnu Luhai'ah, telah menceritakan kepadaku Ata ibnu Dinar, dari Sa'id ibnu Jubair sehubungan dengan firman-Nya: Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh. (Al-Baqarah: 178) Yakni jika kasus pembunuhan terjadi dengan sengaja, maka ketentuan hukumnya ialah orang merdeka dengan orang merdeka. Demikian itu karena ada dua kabilah dari kalangan orang-orang Arab saling berperang di zaman Jahiliah yang mendekati zaman Islam dalam jangka waktu yang tidak begitu lama. Dahulu di antara mereka terjadi pembunuhan dan pelukaan, yang terbunuh termasuk budak-budak dan kaum wanita. Maka sebagian dari mereka belum sempat menuntut sebagian yang lain hingga mereka masuk Islam semuanya. Salah satu dari kedua belah pihak mempunyai keunggulan atas pihak lain yang menjadi lawannya dalam hal persenjataan dan harta benda (perbekalan). Mereka bersumpah bahwa mereka tidak rela sebelum orang merdeka dari kalangan musuhnya dibunuh karena membunuh budak dari kalangan mereka, dan seorang lelaki dari kalangan musuh dibunuh karena membunuh seorang wanita dari kalangan mereka. Berkenaan dengan mereka itu turunlah firman-Nya: Orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. (Al-Baqarah: 178) Sebagian dari kandungan ayat ini ada yang di-mansukh dengan ayat yang menyatakan, "Jiwa dengan jiwa."
Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan firman-Nya: wanita (dihukum mati) karena (membunuh) wanita. (Al-Baqarah: 178) Demikian itu membuat mereka tidak menghukum mati lelaki karena membunuh wanita. Mereka hanya membunuh lelaki karena membunuh lelaki lainnya, dan wanita dibunuh karena membunuh wanita lainnya. Maka Allah Swt. menurunkan firman-Nya: Jiwa (dibalas) dengan jiwa, mata dengan mata. (Al-Maidah: 45)

Dengan demikian, orang-orang yang merdeka dijadikan sama dalam hukum qisas dalam kasus pembunuhan yang terjadi di antara sesama mereka dengan sengaja; kaum lelaki dan kaum wanitanya dalam kasus jiwa dan pelukaan diberlakukan sama, tanpa membedakan jenis kelamin. Budak-budak dijadikan sama di antara sesama mereka dalam kasus pembunuhan yang disengaja, demikian pula dalam kasus pelukaan di antara kaum lelaki dan kaum wanitanya.

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abu Malik, bahwa ayat ini di-mansukh oleh firman-Nya: jiwa (dibalas) dengan jiwa. (Al-Maidah: 45)

Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang merdeka dihukum mati karena membunuh budak, berdasarkan keumuman makna ayat surat Al-Maidah (ayat 45). Pendapat ini diikuti oleh As-Sauri, Ibnu Abu Laila, dan Daud. Pendapat inilah yang diriwayatkan dari Ali, Ibnu Mas'ud, Sa'id ibnul Musayyab, Ibrahim An-Nakha'i, Qatadah, dan Al-Hakam.

Imam Bukhari, Ali ibnul Madini, Ibrahim An-Nakha'i, dan As-Sauri menurut salah satu riwayat darinya mengatakan bahwa seorang tuan pemilik budak dihukum mati karena membunuh budaknya, karena keumuman makna hadis Al-Hasan dari Samurah yang mengatakan:

"مَنْ قَتَلَ عَبْدَهُ قَتَلْنَاهُ، وَمَنْ جَذَعَهُ جَذَعْنَاهُ، وَمَنْ خَصَاهُ خَصَيْنَاهُ"

Barang siapa yang membunuh budaknya, maka kami bunuh pula dia; dan barang siapa yang memotong hidung budaknya, maka kami potong pula hidungnya; dan barang siapa yang mengebiri budaknya, maka kami kebiri pula ia.‎

Akan tetapi, jumhur ulama berbeda pendapat dengan mereka. Jumhur ulama mengatakan bahwa orang merdeka tidak dihukum mati karena membunuh budak, karena budak kedudukannya sama dengan barang dagangan; sekiranya seorang budak dibunuh secara keliru (tidak sengaja), maka tidak wajib diat dalam kasusnya, melainkan yang wajib hanyalah membayar harga budak tersebut. Demikian pula halnya dalam kasus pemotongan anggota tubuh, tidak ada hukum balasan; terlebih lagi terhadap jiwa, tidak ada hukuman qisas bagi orang merdeka yang melakukannya.

Jumhur ulama berpendapat bahwa seorang muslim tidak dihukum mati karena membunuh orang kafir, berdasarkan sebuah hadis sahih yang diketengahkan oleh Imam Bukhari melalui sahabat Ali r.a. yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. pernah bersabda:

"لَا يُقْتَلُ مُسْلِمٌ بِكَافِرٍ"

Orang muslim tidak dihukum mati karena (membunuh) orang kafir.

Tidak ada suatu hadis atau asar sahih pun yang bertentangan dengan makna hadis ini.

Akan tetapi, Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa orang muslim tetap dihukum mati karena membunuh orang kafir, karena keumuman surat Al-Maidah ayat 45.

Al-Hasan dan Ata mengatakan bahwa seorang lelaki tidak dihukum mati karena membunuh seorang wanita, berdasarkan surat Al-Baqarah ayat 178. Berbeda dengan jumhur ulama, mereka berpendapat sebaliknya karena berdasarkan surat Al-Maidah ayat 45. Juga berdasarkan sabda Rasulullah Saw. yang mengatakan:

"الْمُسْلِمُونَ تَتَكَافَأُ دِمَاؤُهُمْ"

Orang-orang muslim itu, darah mereka sebanding (satu sama lainnya).


Al-Lais mengatakan, sekiranya seorang suami membunuh istrinya, maka si suami tidak dikenai hukuman mati hanya karena membunuh istrinya.

Mazhab keempat Imam dan jumhur ulama mengatakan bahwa sejumlah orang-orang terkena hukuman mati semuanya karena membunuh satu orang. Khalifah Umar r.a. pernah berkata dalam kasus seorang pelayan yang dibunuh oleh tujuh orang, "Seandainya semua penduduk San'a ikut mengeroyoknya, niscaya aku hukum mati mereka semuanya." Ternyata di masanya itu tidak ada seorang sahabat pun yang menentang pendapatnya; yang demikian itu sama kedudukannya dengan ijma' (kesepakatan).

Telah diriwayatkan dari Imam Ahmad sebuah riwayat yang menyatakan bahwa suatu jamaah tidak dibunuh karena hanya membunuh satu orang, dan tidaklah suatu jiwa itu dihukum mati kecuali karena membunuh satu jiwa lainnya. Pendapat ini diriwayatkan oleh Ibnul Munzir, dari Mu'az dan Ibnuz Zubair, Abdul Malik ibnu Marwan, Az-Zuhri, Ibnu Sirin, dan Habib ibnu Abu Sabit. Kemudian Ibnul Munzir mengatakan bahwa sanad riwayat ini lebih sahih, dan tidak ada hujah bagi orang yang membolehkan menghukum mati suatu jamaah karena hanya membunuh satu orang. Sesungguhnya terbukti adanya suatu riwayat dari Ibnuz Zubair yang menentang pendapat pertama tadi. Untuk itu apabila para sahabat berbeda pendapat, maka jalan keluarnya ialah mempertirnbangkannya.

Firman Allah Swt.:

{فَمَنْ عُفِيَ لَهُ مِنْ أَخِيهِ شَيْءٌ فَاتِّبَاعٌ بِالْمَعْرُوفِ وَأَدَاءٌ إِلَيْهِ بِإِحْسَانٍ}

Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang dimaafkan) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178)

Mujahid mengatakan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Yakni konsekuensi memberi maaf dalam kasus pembunuhan secara sengaja ialah menerima pembayaran diat. 

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Abul Aliyah, Abusy Sya'sa, Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Ata, Al-Hasan, Qatadah, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Ad-Dahhak meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan makna firman-Nya: Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Bahwa barang siapa yang diberi suatu pemaafan dari saudaranya, yakni saudaranya memilih mengambil diat sesudah berhak menuntut darah, yang demikian itulah yang dimaksud dengan pemaafan. Selanjutnya disebutkan: hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik. (Al-Baqarah: 178) Dengan kata lain, pihak si penuntut hendaklah mengikuti cara yang baik bila ia menerima diat, yakni jangan mempersulit dan mengada-ada. dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178) Yakni hendaklah si pembunuh membayar diat-nya tanpa membahayakan dirinya, juga tidak boleh menolak. 

Telah diriwayatkan oleh Imam Hakim melalui hadis Sufyan, dari Amr, dari Mujahid, dari Ibnu Abbas, bahwa makna yang dimaksud ialah hendaklah orang yang diberi maaf menunaikan apa yang diminta pihak si terbunuh dengan cara yang baik. Hal yang sama dikatakan pula oleh Sa'id ibnu Jubair, Abusy Sya'sa, Jabir ibnu Zaid, Al-Hasan, Qatadah, Ata Al-Khurra-sani, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Imam Malik mengatakan di dalam riwayat Ibnul Qasim darinya, yang merupakan pendapat yang terkenal di kalangan mazhabnya. Begitu pula Imam Abu Hanifah dan murid-muridnya, juga Imam Syafii dan Imam Ahmad dalam salah satu pendapatnya, bahwa pihak wali darah tidak mempunyai hak memberi maaf dengan imbalan diat, kecuali dengan kerelaan dari pihak si pembunuh. Sedangkan ulama lainnya berpendapat, pihak wali darah boleh memaafkan dengan imbalan diat, sekalipun pihak si pembunuh tidak rela.

Segolongan ulama Salaf berpendapat bahwa bagi kaum wanita tidak ada hak untuk memberi maaf. Mereka yang mengatakan demikian antara lain Al-Hasan, Qatadah, Az-Zuhri, Ibnu Syabramah, Al-Lais, dan Al-Auza'i; tetapi ulama Salaf lainnya berpendapat berbeda.

Firman Allah Swt.:

{ذَلِكَ تَخْفِيفٌ مِنْ رَبِّكُمْ وَرَحْمَةٌ}

Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian dan rahmat. (Al-Baqarah: 178)

Yakni sesungguhnya Allah mensyariatkan kepada kalian pembayaran diat dalam kasus pembunuhan sengaja tidak lain hanyalah suatu keringanan dari Allah buat kalian dan merupakan suatu rahmat bagi kalian, yang membebaskan kalian dari apa yang berlaku di kalangan umat-umat terdahulu sebelum kalian, yaitu hukuman mati atau memaafkan secara cuma-cuma. 

Seperti yang dikatakan oleh Sa'id ibnu Mansur, telah menceritakan kepada kami Sufyan, dari Amr ibnu Dinar, telah menceritakan kepadaku Mujahid, dari Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa diwajibkan atas kaum Bani Israil hukuman qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh tanpa ada pemaafan di kalangan mereka. Maka Allah berfirman kepada umat ini (umat Nabi Muhammad Saw.): Diwajibkan atas kalian qisas berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, budak dengan budak, dan wanita dengan wanita. Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya. (Al-Baqarah: 178) Pemaafan itu ialah menerima diat dalam kasus pembunuhan sengaja. Yang demikian itu merupakan keringanan ketimbang apa yang diwajibkan atas kaum Bani Israil dan umat-umat sebelum kalian. hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). (Al-Baqarah: 178)

Takwil ini telah diriwayatkan bukan hanya oleh seorang saja, melalui Amr. Diketengahkan oleh Ibnu Hibban di dalam kitab sahihnya melalui Amr ibnu Dinar; hal yang semisal diriwayatkan pula oleh Jamaah melalui Mujahid, dari Ibnu Abbas.

Qatadah mengatakan sehubungan dengan takwil firman-Nya: Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kalian. (Al-Baqarah: 178) Semoga Allah merahmati umat ini, Allah telah memperkenankan bagi mereka makan hasil diat yang belum pernah dihalalkan kepada seorang pun sebelumnya. Tersebutlah bahwa hukum yang berlaku di kalangan ahli Taurat hanyalah qisas dan pemaafan tanpa diat. Sedangkan dalam syariat ahli Injil, hanya maaf belaka yang dianjurkan kepada mereka. Maka Allah menjadikan bagi umat ini hukum qisas dan pemaafan serta diat. 

Hal yang sama diriwayatkan pula dari Sa'id ibnu Jubair, Muqatil ibnu Hayyan, dan Ar-Rabi' ibnu Anas. 

Firman Allah Swt.:

{فَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ عَذَابٌ أَلِيمٌ}

Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih. (Al-Baqarah: 178)

Dengan kata lain, barang siapa yang membunuh sesudah mengambil diat dari si terbunuh atau sesudah ia setuju dengan diat, maka baginya siksa Allah yang sangat pedih lagi menyakitkan dan sangat keras. 

Demikianlah takwil ayat menurut apa yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Mujahid, Ata, Ikrimah, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, As-Saddi, dan Muqatil ibnu Hayyan. 

Kesimpulan dari semuanya itu, yang dimaksud dengan orang yang melampaui batas ialah orang yang membunuh si pembunuh sesudah mengambil diat darinya. 

قَالَ مُحَمَّدُ بْنُ إِسْحَاقَ، عَنِ الْحَارِثِ بْنِ فُضَيْلٍ، عَنْ سُفْيَانَ بْنِ أَبِي الْعَوْجَاءِ، عَنْ أَبِي شُرَيْحٍ الْخُزَاعِيِّ: أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ:"مَنْ أُصِيبَ بِقَتْلٍ أَوْ خَبْل فَإِنَّهُ يَخْتَارُ إِحْدَى ثَلَاثٍ: إِمَّا أَنْ يَقْتَصَّ، وَإِمَّا أَنْ يَعْفُوَ، وَإِمَّا أَنْ يَأْخُذَ الدِّيَةَ؛ فَإِنْ أَرَادَ الرَّابِعَةَ فَخُذُوا عَلَى يَدَيْهِ. وَمَنِ اعْتَدَى بَعْدَ ذَلِكَ فَلَهُ نَارُ جَهَنَّمَ خَالِدًا فِيهَا"

Muhammad ibnu Ishaq meriwayatkan dari Al-Haris ibnu Fudail, dari Sufyan ibnu Abul Auja, dari Abu Syuraih Al-Khuza'i, bahwa Nabi Saw. pernah bersabda: Barang siapa yang tertimpa musibah pembunuhan atau pelukaan, maka sesungguhnya dia memilih salah satu di antara tiga perkara, yaitu: Adakalanya meng-qisas (pelakunya), adakalanya memaafnya, dan adakalanya mengambil diat. Dan jika dia menghendaki yang keempat, maka belenggulah kedua tangannya (lakukanlah qisas terhadapnya). Dan barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya neraka Jahannam, dia kekal di dalamnya. (Riwayat Imam Ahmad)

Sa'id ibnu Abu Urubah meriwayatkan dari Qatadah, dari Al-Hasan, dari Samurah yang menceritakan bahwa Rasulullah Saw. telah bersabda:

"لا أُعَافِي رَجُلًا قَتَلَ بَعْدَ أَخْذِ الدِّيَةِ -يَعْنِي: لَا أَقْبَلُ مِنْهُ الدِّيَةَ -بَلْ أَقْتُلُهُ"

Aku tidak akan memaafkan seorang lelaki yang membunuh (si pembunuh) sesudah dia mengambil diat (darinya).

Dengan kata lain, aku tidak mau menerima diat darinya melainkan kujalankan hukum qisas terhadapnya, tanpa ampun. 

Firman Allah Swt.:

{وَلَكُمْ فِي الْقِصَاصِ حَيَاةٌ}

Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian. (Al-Baqarah: 179)

Allah Swt. berfirman bahwa di dalam pen-tasyri'-an hukum qisas bagi kalian, yakni membunuh si pembunuh, terkandung hikmah yang besar, yaitu jaminan kelangsungan hidup dan terpeliharanya nyawa. Sesungguhnya seseorang itu apabila mengetahui (jika dia membunuh seseorang, maka ia akan dikenai hukuman mati), niscaya dia akan mencegah dirinya dari melakukan niatnya itu. Di dalam peraturan ini terkandung jaminan kelangsungan hidup bagi jiwa manusia.

Di dalam kitab-kitab terdahulu disebutkan bahwa hukum mati itu lebih meniadakan pembunuhan. Maka pengertian ini diungkapkan oleh Al-Qur'an dengan ungkapan yang lebih fasih, lebih mengena, dan lebih ringkas, yaitu melalui firman-Nya:  Dan dalam qisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagi kalian. (Al-Baqarah: 179)

Abul Aliyah mengatakan, Allah menjadikan hukum qisas sebagai jaminan kelangsungan hidup bagi kalian; karena berapa banyak orang dari kaum laki-laki yang hendak melakukan pembunuhan, tetapi niatnya itu dia urungkan karena takut akan terkena hukum qisas. Hal yang sama dikatakan pula oleh Mujahid, Sa'id ibnu Jubair, Abu Malik, Al-Hasan, Qatadah, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan Muqatil ibnu Hayyan.

Firman Allah Swt.: 

{يَا أُولِي الألْبَابِ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ}

hai orang-orang yang berakal, supaya kalian bertakwa. (Al-Baqarah: 179)

Allah Swt. berfirman, "Hai orang-orang yang berakal, mempunyai pengertian dan pemahaman (ditetapkan-Nya demikian itu) supaya kalian sadar dan menghentikan hal-hal yang diharamkan Allah dan semua perbuatan dosa." Takwa merupakan isim yang pengertiannya mencakup semua perbuatan taat dan menghentikan hal-hal yang mungkar.

Penjelasan Tentang Larangan Dan Kebolehan Di Masjid


Masjid adalah tempat ibadah yang suci dan sakral. Setiap muslim wajib menghormatinya, karena terkait dengan ritual ibadah yang suci.

Yang menarik, kesucian dan kesakralan masjid itu bukan merupakan hal yang dibuat-buat atau pun hasil produk budaya masyarakat tertentu.

Kalau disebut sebagai larangan, bukan segala hal yang haram hukumnya. Yang kami tulis disini adalah hal-hal yang sering dianggap sebagai larangan oleh para ulama, namun bisa saja ternyata bukan larangan dalam arti haram, melainkan makruh atau kurang disukai.

Itu pun masih dibalut lagi dengan konsep perbedaan pendapat yang merupakan salah satu karakteristik syariah Islam.

Maka bisa saja apa yang dianggap haram oleh satu ulama, ternyata tidak haram menurut ulama lain. Sebaliknya, bisa saja apa yang dikatakan makruh oleh satu mazhab, ternyata oleh madzhab lain tidak dimakruhkan dan tidak diharamkan.

Justru metode penulisan ini disusun berdasarkan ikhtilafat wa ta’addudil ara’ bainal fuqaha’ (perbedaan-perbedaan pendapat di antara para ahli fiqih). Tujuannya jauh dari kepentingan untuk membela satu pendapat dan mengecilkan pendapat yang lain. Bukan iu tujuannya.

Tujuannya justru untuk memberikan wawasan dan ruang yang lega untuk kehadiran sekian banyak pendapat dalam satu koridor bersama, yaitu menjalankan perintah Allah. Sudah terlalu lama umat Islam di belenggu dengan fanatisme perbedaan pendapat yang selalu dipompakan oleh masing-masing tokoh.

Sudah waktunya kita bisa melihat perbedaan pendapat itu sebagai bentuk kemegahan dan keistimewaan syariah Islam.

A. Larangan

Di antara larangan-larangan yang sering diungkap oleh para ulama itu antara lain :

1. Meludah

Tidak ada perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang haramnya meludah di dalam masjid. Barangkali kalau meludah di dalam masjid di masa sekarang, memang nyaris tidak mungkin.

Namun mari kita bayangkan bahwa masjid di masa Rasulullah SAW masih sangat sederhana, belum ada lantai marmer atau karpet yang menjadi alas. Alas masjid adalah tanah atau pasir. Sehingga orang-orang terbiasa shalat di dalam masjid dengan mengenakan alas kaki mereka, baik sandal atau sepatu.

Dengan keadaan masjid seperti itu, meludah di dalam masjid jadi lebih mudah untuk dibayangkan, karena masjid di masa itu hanya beralaskan tanah.

Dasar dari larangan meludah di dalam masjid adalah hadits nabi berikut ini :

الْبُصَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا

Meludah di dalam masjid adalah sebuah kesalahan, dan tebusannya adalah memendamnya. (HR. Bukhari dan Muslim)

Perhatikan hadits di atas, tebusan bagi orang yang meludah di masjid adalah dia harus memendamnya. Tidak terbayang oleh kita di masa sekarang, bagaimana memendam ludah di lantai masjid, padahal di dalam masjid tidak ada tanah? Apakah kita harus mengambil tanah dulu dari luas masjid, lalu tempat dimana ada ludahnya tidak timbun dengan tanah? Tentu malah akan tambah mengotori, bukan?

Semua terjawab kalau kita sudah tahu bahwa lantai masjid di masa Rasulullah SAW adalah tanah. Menimbun bekas ludah dengan tanah menjadi suatu hal yang masuk akal.

2. Memasukkan Najis

Masjid adalah tempat yang suci, dan orang-orang yang berada di dalamnya harus orang-orang yang suci.

Dan bukan hanya orang-orang yang suci saja, benda-benda yang hukumnya najis haram hukumnya dimasukkan ke dalam masjid. Dan bila terlanjur ada benda najis masuk ke masjid, ada kewajiban untuk membersihakn masjid itu dari najis.

Di dalam As-Sunnah An-nabawiyah beliau SAW bersabda :

عَنْ عَائِشَةَ ض قَالَتْ إِنَّ رَسُولَ اللهِ أَمَرَ بِالمَسَاجِدِ أَنْ تُبْنىَ فيِ الدُّوْر وَأَنْ تُطَهَّرُ وَتُطَيَّبُ

Dari Aisyah radhiyallahuanha berkata,”Rasulullah SAW memerintahkan untuk membangun masjid di tengah-tengah perumahan penduduk, serta memerintahkan untuk membersihkannya dan mensucikannya. (HR. Ahmad, Abu Daud dan At-Tirmizy)

Di masa Rasulullah SAW dan para shahabat, umumnya masjid belum ada karpetnya. Lantai masjid di masa itu hanya berupa tanah atau pasir tanpa alas untuk shalat. Merupakan kelaziman di masa itu, baik beliau SAW maupun para shahabatridhwanullahi ‘alaihim, untuk masuk ke masjid dengan mengenakan alas kaki, sandal atau sepatu.

Namun sebelum masjid ke dalam masjid yang harus suci itu, alas kaki mereka harus disucikan dan dibersihkan dari najis. Mengesetkan sandal atau sepatu yang terkena najis ke tanah adalah salah satu cara menghilangkan najis tanpa mencucinya. Dan hal itu dibenarkan dalam syariah Islam, sebagaimana hadits berikut ini :

عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ r صَلَّى فَخَلَعَ نَعْلَيْهِ فَخَلَعَ النَّاسُ نِعَالَهُمْ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لِمَ خَلَعْتُمْ نِعَالَكُمْ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ رَأَيْنَاكَ خَلَعْتَ فَخَلَعْنَا قَالَ إِنَّ جِبْرِيلَ أَتَانِي فَأَخْبَرَنِي أَنَّ بِهِمَا خَبَثًا فَإِذَا جَاءَ أَحَدُكُمْ الْمَسْجِدَ فَلْيَقْلِبْ نَعْلَهُ فَلْيَنْظُرْ فِيهَا فَإِنْ رَأَى بِهَا خَبَثًا فَلْيُمِسَّهُ بِالأَرْضِ ثُمَّ لِيُصَلِّ فِيهِمَا

Dari Abi Sa'id Al Khudri berkata bahwasanya Rasulullah SAWshalat kemudian melepas sandalnya dan orang-orang pun ikut melepas sandal mereka, ketika selesai beliau bertanya: "Kenapa kalian melepas sandal kalian?" mereka menjawab, "Wahai Rasulullah, kami melihat engkau melepas sandal maka kami juga melepas sandal kami, " beliau bersabda: "Sesungguhnya Jibril menemuiku dan mengabarkan bahwa ada kotoran di kedua sandalku, maka jika di antara kalian mendatangi masjid hendaknya ia membalik sandalnya lalu melihat apakah ada kotorannya, jika ia melihatnya maka hendaklah ia gosokkan kotoran itu ke tanah, setelah itu hendaknya ia shalat dengan mengenakan keduanya." (HR. Ahmad)

Di dalam hadits yang lain disebutkan juga perihal mengeset-ngesetkan sendal ke tanah sebelum shalat.

إِذَا أَصَابَ خُفَّ أَحَدِكُمْ أَوْ نَعْلَهُ أَذًى فَلْيَدْلُكْهُمَا فِي الأَْرْضِ وَلْيُصَل فِيهِمَا فَإِنَّ ذَلِكَ طَهُورٌ لَهُمَا

Bila sepatu atau sandal kalian terkena najis maka keset-kesetkan ke tanah dan shalatlah dengan memakai sendal itu. Karena hal itu sudah mensucikan (HR. Abu Daud)

Suatu ketika masuk seorang Arab dusun ke dalam masjid Nabawi dan buang air kecil di dalamnya. Maka hal itu membuat para shahabat marah dan ingin menghukum orang tersebut. Namun beliau mencegah mereka dan menasehati baik-baik orang itu, dan yang beliau lakukan adalah membersihkan bekas air kencing itu dengan seember air.

قَامَ أَعْرَابيِّ فَبَالَ فيِ المَسْجِدِ فَقَامَ إِلَيْهِ النَّاسُ لِيَقَعُوا بِهِ فَقَالَ النَّبِيُّ دَعُوْهُ وَأَرِيْقُوا عَلىَ بَوْلِهِ سِجْلاً مِنْ مَاءٍ أَوْ ذَنُوبًا مِنْ مَاءٍ

Seorang Arab dusun telah masuk masjid dan kencing di dalamnya. Orang-orang berdiri untuk menindaknya namun Rasulullah SAW bersabda,”Biarkan saja dulu, siramilah di atas tempat kencingnya itu seember air”. (HR. Bukhari)

3. Berjual-beli

Secara umum ada larangan untuk melakukan jual-beli di dalam masjid, sebagaimana disebutkan di dalam hadits-hadits berikut ini :

جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُم وَمَجَانِيْنَكُمْ وَشِرَاءَكُمْ وَبَيْعَكُمْ

Dari Watsilah bin Asqa’ radhiyallahuanhu dari Rasulullah SAW : Jauhkanlah masjid-masjidmu dari anak-anak, orang gila, jual-beli, pertengkaran, tingginya suara dan pelaksanaan hukum hudud.

عَنْ عَمْرُو بْنِ شُعَيْبٍ عَنْ أَبِيْهِ عَنْ جَدِّهِ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ص نَهَى عَنِ الشِّرَاءِ وَالَبْيعِ فيِ المَسْجِدِ وَأَنْ تُنْشَدَ فِيهِ ضَالَّةٌ وَأَنْ يُنْشَدَ فِيهِ شِعْرٌ

Dari Amru bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya bahwa Rasulullah SAW melarang jual beli di dalam masjid, mengumumkan ternak hilang dan membacakan syiir. (HR. Abu Daud dan Tirmizy). ‎

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعَ أَوْ يَبْتَاعَ فيِ المَسْجِدِ فَقُولُوا : لاَ أَرْبَحَ الله تِجَارَتكَ

Apabila kamu melihat orang yang menjual atau membeli di dalam masjid, maka ucapkanlah : “Semoga Allah tidak memberi keuntungan dalam jual-beli kalian”. (HR. Tirmizy)‎

Dengan nash-nash di atas, Al-Hanafiyah dan Al-Hanabilah memakruhkan jual beli di dalam masjid secara umum. Tetapi khusus buat orang yang sedang beri’tikaf dan harus tetap berada di dalam masjid, boleh atas mereka untuk membeli suatu kebutuhan dalam rangka i’tikafnya.

Mazhab Al-Malikiyah membolehkan buat orang yang sedang beri’tkaf untuk membeli sesuatu kebutuhan, asalkan lewat perantara (simsarah).

Pengecualian

Namun bila jual beli itu dilakukan di luar area suci dari masjid, maka larangan itu tidak berlaku. Mengingat tidak semua area masjid merupakan wilayah yang berlaku hukum-hukum masjid.

Keadaannya berbeda di masa lalu dengan di masa sekarang. Halaman masjid secara status memang milik masjid, tetapi secara hukum syar’i terkait dengan larangan-larangan tertentu, tentu tidak bisa dimasukkan.

Misalnya, sudah menjadi kelaziman di negeri kita bahwa tiap masjid dilengkapi dengan wc dan kamar mandi. Tentunya keduanya tempat najis. Tetapi kita tidak mungkin mengatakan bahwa pengurus atau panitia pembangunan masjid telah berdosa gara-gara mengotori masjid dengan najis.

Sebab wc dan kamar mandi itu diposisikan di luar area suci dari masjid, meski masih merupakan aset masjid. Dan nyaris mustahil membangun masjid tanpa kamar mandi dan wc.

Di masjid Al-Haram Mekkah sejak dahulu dilakukan eksekusi pemotongan tangan pencuri atau pemenggalan kepala orang yang dihukum qishash. Tentunya darah akan berceceran mengalir dari luka-luka itu. Kenapa hal ini tidak dilarang?

Karena eksekusi itu tidak dilakukan di ruang shalat, melainkan di luar bangunan masjid, yaitu di halaman depan pintu masjid Al-Haram. Secara hak kepemilikan tanah, pastinya tanah itu masih merupakan aset masjid Al-haram, tetapi secara fungsi, tanah itu tidak diikrarkan sebagai aera suci masjid.

Demikian juga hukum jual-beli masih diperbolehkan di ruang-ruang yang merupakan aset masjid, asalkan bukan di aera suci dari masjid.

4. Mengumumkan Kehilang‎an

Larangan atas pengumuman barang yang hilang disebutkan dalam hadits-hadits berikut ini.

إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يُنْشِدُ فِيهِ ضَالَّةً فَقُولُوا : لاَ رَدَّهَا اللهُ عَلَيْكَ

Apabila kamu melihat orang yang mengumumkan kehilangan di dalamnya (masjid), maka ucapkanlah,”Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu”. (HR. )

مَنْ سَمِعَ رَجُلاً يُنْشِدُ ضَالَّةً فيِ المَسْجِدِ فَلْيَقُلْ : لاَ رَدَّها اللهُ عَلَيْكَ فَإِنَّ المَسَاجِدَ لَمْ تُبْنَ لِهَذَا

Siapa yang mendengar orang yang mengumumkan kehilangannya di dalam masjid, katakanlah,”Semoga Allah tidak mengembalikanya kepadamu. Karena masjid tidak dibangun untuk hal seperti itu. (HR. Muslim)

Dalam bab luqathah, disebutkan tentang keharusan untuk mengumumkan barang yang ditemukan itu selama kurun satu tahun. Dan pengumuman itu dilakukan di pintu-pintu masjid. Mengapa di pintu masjid?

Karena pintu masjid bukan termasuk area suci masjid yang terlarang untuk mengumumkan barang hilang. Namun secara fungsi, pintu masjid merupakan tempat yang paling strategis, karena sehari semalam ada lima kali orang-orang melewatinya.

Penulis pernah ditanya oleh pengurus masjid tentang hal ditemukannya barang milik salah satu jamaah di sudut masjid. Bagaimana hukumnya bagi pengurus bila mengumumkan barang yang ditemukan?

Jawabnya, silahkan diumumkan tetapi bukan dengan dibacakan di depan shaf shalat. Teknisnya, bisa meniru cara yang dilakukan oleh para salafush-shalih yang mengumumkannya di pintu masjid.

Secara teknis, bisa dipasang pengeras suara khusus di luar area suci, dimana pengurus bebas menyiarkan berita kehilangan. Khususnya pengumuman itu disampaikan pada saat jamaah shalat masuk atau keluar dari masjid. Yang pasti bukan di dalam aera suci masjid, karena adanya larangan dari nash-nash yang kita temui dalam sunnah nabawiyah.

Atau bisa juga dalam bentuk tulisan, yaitu papan pengumuman, yang posisinya juga di luar area shalat. Bukankah di banyak masjid sering kita dapati papan-papan pengumuman seperti itu di luar area shalat?

5. Membuat Kegaduhan

Suatu hari ada dua orang dari luar kota Madinah, tepatnya dari Thaif yang masuk ke dalam masjid nabawi membikin kegaduhan dengan meninggikan suara mereka. Melihat hal itu, Umar bin Al-Khattab radhiyallahuanhu lantas sigap bertindak. Di dekati kedua orang yang tidak dikenalnya sebagai penduduk Madinah, dan ditanyakan identitas mereka. “Kalian berasal dari mana?”, tanya Umar. “Kami dari Thaif”, jawab keduanya.”Demi Allah yang jiwaku berada di tangan-Nya, seandainya kalian ini asli orang Madinah, pastilah telah kupukul kalian berdua ini”, ancam Umar.

Peristiwa ini memberi banyak pelajaran kepada kita, salah satunya yang paling utama adalah dilarang hukumnya membuat kegaduhan di dalam masjid. Untung saja kedua orang itu bukan penduduk Madinah, sehingga Umar bisa memaklumi keawaman kualitas agama dan pemahaman mereka dalam hukum-hukum masjid.

Sebagian kalangan ada yang menganjurkan agar anak-anak yang masih kecil selalu diajak ke masjid. Tujuannya agar sejak dini telah mengenalkan masjid dan ibadah shalat kepada mereka.

Namun ide ini mendapat tentangan dari banyak pihak dengan beberapa alasan yang juga berdasarkan nash-nash syariah. Khususnya bila anak-anak yang dimaksud adalah mereka yang masih di usia bawah tujuh tahun.

Bagi mereka, mengajak anak-anak ke masjid memang bagian dari pendidikan agama sejak usia dini, namun usia mereka setidaknya sudah cukup, sekitar usia tujuh tahun. Mereka anak-anak yang belum cukup matang usianya, kalau diajak ke masjid, bukanya menjadi pendidikan buat mereka, justru yang terjadi malah menggangu jamaah yang lain.

6. Pengadilan dalam Masjid

Di antara perbuatan yang terlarang hukumnya untuk dikerjakan di dalam masjid adalah menggelar pengadilan atas orang-orang yang berseteru atau bersengketa.

7. Eksekusi Hudud dan Ta’zir

Para ulama sepakat bahwa di dalam ruang suci masjid tidak boleh dilaksanakan eksekusi hukum hudud atau pun ta’zir.

أَنَّ رَسُولَ r نَهَى أَنْ تُقاَمُ الحُدُودَ فيِ المَسْجِدِ أو يُسْتَقَادُ فِيْهِ

Bahwa Rasulullah SAW melarang dilaksanakannya hukum hudud di dalam masjid

Sebab bentuk hukuman itu dikhawatirkan akan menodai masjid dengan najis.

Mengingat ada hukuman untuk pencuri berupa potong tangan, sebagaimana yang disebutkan dalam Al-Quran.

وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُواْ أَيْدِيَهُمَا جَزَاء بِمَا كَسَبَا نَكَالاً مِّنَ اللّهِ وَاللّهُ عَزِيزٌ حَكِيمٌ

Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.(QS. Al-Maidah : 38)

Demikian juga dengan hukum qishash dalam hal pembunuhan yang tidak hak. Dalam syariat Islam, apabila ada orang membunuh orang lain dengan tidak hak, maka hukumannya adalah dibunuh juga. Eksekusi itu wajib dilaksanakan oleh kepala pemerintahan yang diberi amanah oleh rakyat, namun lokasi eksekusinya tidak boleh dilakukan di dalam ruang suci dari masjid.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الْقِصَاصُ فِي الْقَتْلَى

Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba, dan wanita dengan wanita. (QS. Al-Baqarah : 178)

Begitu juga ada hukum hudud, dimana nyawa dibayar dengan nyawa, luka dibayar dengan luka dan seterusnya.

Dan Kami telah tetapkan terhadap mereka di dalamnya bahwasanya jiwa dengan jiwa, mata dengan mata, hidung dengan hidung, telinga dengan telinga, gigi dengan gigi, dan luka luka ada kisasnya. Barangsiapa yang melepaskan nya, maka melepaskan hak itu penebus dosa baginya. Barangsiapa tidak memutuskan perkara menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Maidah : 45)

Selain karena alasan takut terkena najis, pelaksanaan eksekusi hukum hudud dan ta’zir di dalam masjid memang dilarang lewat lisan Rasulullah SAW langsung.

عَنْ وَاثِلَةَ بْنِ الأَسْقَع ض عَنْ رَسُولِ اللهِ ص : جَنِّبُوا مَسَاجِدَكُمْ صِبْيَانَكُم وَمَجَانِيْنَكُمْ وَشِرَاءَكُمْ وَبَيْعَكُمْ وَخُصُومَاتِكُمْ وَرَفْعَ أَصْوَاتِكُمْ وَإِقَامَةَ حُدُودِكُمْ

Dari Watsilah bin Asqa’ radhiyallahuanhu dari Rasulullah SAW : Jauhkanlah masjid-masjidmu dari anak-anak, orang gila, jual-beli, pertengkaran, tingginya suara dan pelaksanaan hukum hudud.

Sedangkan praktek eksekusi hukum hudud yang dulu kita pernah dengar di Masjid Al-Haram Mekkah‎, sesungguhnya bukan tepat di dalam masjid. Tetapi eksekusi itu dilakukan di halaman masjid, di luar area suci.

Kenapa dilakukan di luar masjid?

Jawabnya agar eksekusi itu tetap bisa diperlihatkan kepada khalayak, yang diharapkan bisa melahirkan shock terapi, hingga pada gilirannya akan tercipta di tengah masyarakat efek jera. Dan tempat berkumpulnya masyarakat adalah masjid.

Tetapi karena masjid merupakan tempat suci, maka eksekusi itu dilakukan di halaman masjid, yang tidak mengapa bila terkena darah orang-orang yang dieksekusi.

B. Kebolehan

1. Makan Minum di Masjid

Para ulama punya pendapat yang berbeda dengan hukum makan dan minum di masjid, serta menetapkan keadaan-keadaan maupun rincian syarat yang berbeda-beda pula.
Pertama, Syafiiyah dan hambali berpendapat, boleh makan di masjid.

Dibolehkan makan dan minum dalam masjid selama tidak menyebabkan kotor masjid dan hendaknya makanan yang dimakan itu bukan makanan yang berbau tidak sedap seperti bawang dan lain-lain. Berikut keterangan ulama serta dalilnya mengenai hukum makan minum dalam mesjid, antara lain : 

Berkata Zarkasyi :
“Boleh makan roti, buah-buahan, semangka dan lainnya dalam mesjid”.
Dalam pendalilian keterangan beliau ini, Zarkasyi menyebut hadits riwayat Ibnu Majah dari Abdullah bin al-Harts bin Juz’i al- Zubaidy , beliau berkata : 
كنا نأكل على عهد النبي صلعم في المسجد الخبز واللحم

Pada masa Nabi SAW, kami sering makan roti dan daging dalam masjid (H.R. Ibnu Majah)2 

Disebut dalam al-Fatawa al-Nawawi : 
“ Masalah : makan roti, semangka, buah-buahan dan lainnya dalam masjid, apakah boleh ataukah terlarang ? Jawab : boleh dan tidak terlarang. Tetapi seyoqyanya menghamparkan sesuatu dan memelihara masjid serta memelihara jatuh serpihan-serpihan kecil, buah-buahan dan lain-lain dalam masjid. Yang kami sebutkan ini adalah pada makanan yang tidak ada bau yang keji seperti bawang putih, bawang merah dan kucai dan masakan-masakan yang tidak ada padanya bau. Yang demikian itu dan seumpamanya (yang tidak ada bau yang keji), jika ada padanya sesuatu yang demikan, maka makruh makan dalam masjid. Dan dilarang memakannya dalam masjid sehingga hilang baunya. Apabila orang tersebut masuk masjid, maka dikeluarkan darinya, karena ada hadits shahih yang masyhur. Ini semua disaat ada bau. Maka jika hilang baunya dengan sebab dimasak, maka tidak terlarang memakannya dalam masjid dan boleh memakannya dalam masjid.wallahu a’lam.”  

Hadits yang dimaksud Imam an-Nawawi di atas adalah hadits riwayat Baihaqi dari Sa’id al-Khudry, beliau berkata : 
لم نعد إن فتحت خيبر وقمنا في تلك البقلة يعني الثوم فأكلنا منها أكلا شديدا وناس جياع ثم رحنا إلى المسجد فوجد رسول الله صلى الله عليه و سلم الريح فقال من أكل من هذه الشجرة الخبيثه شيئا فلا يقربنا في المسجد فقال الناس حرمت حرمت فبلغ ذلك النبي صلى الله عليه و سلم فقال أيها الناس إنه ليس بي تحريم ما أحل الله ولكنها شجرة أكره ريحها رواه مسلم في الصحيح عن عمرو الناقد عن إسماعيل بن علية 

Kami tidak kembali ketika penaklukan Khaibar dan berhenti disuatu kebun yaitu bawang putih, kami memakannya banyak sekali. Saat itu manusia lapar sekali. Kemudian kami beristirahat di masjid, rupanya Rasulullah SAW mencium baunya, maka beliau bersabda : “Barang siapa yang memakan sedikit dari pohon kayu yang keji ini, maka jangan mendekati kami dalam masjid. Kemudian ada manusia yang berkata : “Diharamkan ?, Diharamkan ?, maka sampailah berita itu kepada Nabi SAW. Rasulullah SAW bersabda : “Hai manusia !, Tidaklah aku mengharamkan sesuatu yang halal, tetapi bawang putih itu adalah pohon kayu yang dibenci baunya. (H.R. Baihaqi. Hadits ini diriwayat oleh Muslim dalam al-Shahih dari Amr al-Naqid dari Ismail bin Aliyah) 
An-Nawawi – ulama syafiiyah – mengatakan,
لا بأس بالأكل والشرب في المسجد ووضع المائدة فيه وغسل اليد فيه

”Tidak mengapa makan dan minum di masjid, meletakkan makanan di masjid, dan mencuci tangan di masjid.” (al-Majmu’ Syarh Muhadzab, 2/174).

Al-Buhuti – ulama hambali – (w. 1051 H) mengatakan,

لا بأس (بالأكل فيه) أي: في المسجد للمعتكف وغيره لقول عبد الله بن الحارث: « كُنَّا نَأْكُلُ عَلَى عَهْدِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي الْمَسْجِدِ الْخُبْزَ وَاللَّحْمَ » رواه ابن ماجه

”Tidak masalah makan di dalamnya, yaitu di masjid, bagi orang yang i’tikaf dan yang lainnya. Berdasarkan hadis dari Abdullah bin Harits radhiyallahu ‘anhu, ’Kami makan roti dan daging di dalam masjid, di zaman Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.” riwayat Ibnu Majah. (Kasyaf al-Qana’, 2/371).

Kedua, Malikiyah membedakan antara makan ringan kering dengan makanan yang lainnya. Mereka membolehkan makan di masjid untuk makanan yang ringan dan kering, seperti kurma atau yang lainnya. Sementara makanan yang lebih berat dari pada itu, tidak boleh dimakan di masjid, kecuali dalam keadaan darurat.

Imam Al-Baji – ulama Malikiyah – (w. 474 H.) mengatakan,

وَأَمَّا الْأَكْلُ فِي الْمَسْجِدِ فَفِي الْمَبْسُوطِ كَانَ مَالِكٌ يَكْرَهُ أَكْلَ الْأَطْعِمَةِ اللَّحْمِ وَنَحْوِهِ فِي الْمَسْجِدِ، زَادَ ابْنُ الْقَاسِمِ فِي الْعُتْبِيَّةِ: أَوْ رِحَابِهِ، وَأَمَّا الصَّائِمُ يَأْتِيهِ مِنْ دَارِهِ السَّوِيقُ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ، قَالَ ابْنُ الْقَاسِمِ: أَوْ الطَّعَامُ الْخَفِيفُ فَلَا بَأْسَ بِهِ.

Makan di masjid, dijelaskan dalam kitab al-Mabsuth, bahwa Imam Malik membenci makan daging atau semacamnya di masjid. Ibnul Qosim menambahkan dalam al-Uthbiyah: ’Termasuk juga makan di teras masjid. Sedangkan orang yang puasa, yang dia diberi Sawiq (adonan kurma dan tepung) atau semacamnya, atau semua makanan ringan, hukumnya tidak masalah.’ (al-Muntaqa Syarh al-Muwatha, 1/311).

Ibnul Haj – ulama Malikiyah – (w. 737 H.) menukil keterangan At-Thurrhusi mengatakan,

سئل مالك – رحمه الله – عن الأكل في المسجد فقال: أما الشيء الخفيف مثل السويق ويسير الطعام فأرجو أن يكون خفيفا، ولو خرج إلى باب المسجد كان أعجب إلي وأما الكثير فلا يعجبني ولا في رحابه

Imam Malik ditanya tentang makan di masjid. Beliau menjawab,

“Jika itu makanan ringan, seperti sawing atau makanan kecil, saya berharap tidak masalah. Jika dia keluar pintu, itu lebih saya sukai. Sedangkan makanan berat, saya tidak menyukainya, meskipun di teras masjid.” (al-Madkhal Ibnul Haj, 2/230)

Mengadakan Perjamuan Selamatan di Masjid 

Di kalangan warga nahdliyyin berkembang beberapa budaya yang sering dilakukan, seperti halnya selamatan, tasyakuran dalam rangka memperingati maulid nabi Muhammad Saw. (mauludan) atau acara-acara yang lain. Dalam hal ini masjid sering dipilih sebagai tempat untuk melaksanakan acara tersebut, sehingga setelah acara selesai, para jama’ah menyajikan makanan dan minuman lalu mereka menyantapnya di dalam masjid. Bagaimanakah hukum makan dan minum di dalam masjid?

a. Tidak boleh, apabila berkeyakinan atau mempunyai perkiraan akan mengotori masjid.
b. Boleh, dengan syarat tidak sampai mengotori masjid.

واَلتَّضَيُّفُ فِى الْمَسْجِدِ الْباَدِيَةِ يَكُوْنُ بِاِطْعاَمِ الطَّعَامِ النَّاشِفِ كَالتَّمْرِ لاَ اِنْ كَانَ مُقَذِّرًا كَالطَّبْحِ وَالبِطِّيْحِ وَاِلاَّ حَرُمَ اِلاَّ بِنَحْوِ سُفْرَةٍ تُجْعَلُ تَحْتَ اْلاِنَاءِ بِحَيْثُ يَغْلِبُ عَلَى الظَّنِّ عَدَمُ التَّقْذِيْرِ فَالظَّاهِرُ اَنَّهُ يَقُوْمُ مَقَامَ النَّاشِفِ (فتاوى العلامة الشيخ حسين ابراهيم المقري فى فصل أحكام المساجد )

Penjamuan dalam masjid di pedesaan dengan menyuguhkan makanan kering seperti kurma hukumnya boleh, dan diharamkan jika bisa mengotori masjid seperti makanan basah semisal semangka, kecuali jika menggunakan alas (bejana) yang sekiranya kuat dugaan tidak akan mengotori masjid. Dalam hal ini sama dengan makanan yang kering (hukumnya boleh). (Fatawi al-Allamah al-Syaikh Husain Ibrahim al-Muqarri dalam Fasal Ahkami al-Masajidi)

2. Akad Nikah dan Pesta Walimah

Ada dua hal yang berbeda dalam hal ini. Pertama, hukum akad nikah di dalam masjid. Kedua, hukum melangsungkan pesta penikahan di dalam masjid.

a. Akad Nikah

Banyak ulama yang berpendapat bahwa melangsungkan akad nikah di dalam masjid termasuk hal yang mustahab (dicintai), untuk mendapatkan keberkahan.

Sebagian dari mereka mendasar pendapat mereka adalah hadits berikut ini :

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ : قَال رَسُول اللَّهِ r: أَعْلِنُوا هَذَا النِّكَاحَ وَاجْعَلُوهُ فِي الْمَسَاجِدِ وَاضْرِبُوا عَلَيْهِ بِالدُّفُوفِ

Dari Aisyah radhiyallahuanha bahwa Rasulullah SAW bersabda,”Umumkanlah pernikahan ini dan jadikanlah tempatnya di masjid, dan pukulkan duf untuknya. (HR. At-Tirmizy)

Namun ini oleh Ibnu Hajar Al-Asqalani di dalam Fathul Bari, bahwa hadits ini tergolong hadits dhaif (lemah). ‎Kalau memang lemah, maka tidak boleh berfatwa dengan dasar hadits ini.

Sebagian ulama yang lain tidak mendasarkan pendapat mereka dengan hadits ini karena kedhaifannya, tetapi mereka mendasarkan pada argumentasi yang bersifat umum, bahwa masjid adalah tempat yang paling diberkahi. Maka akan lebih baik bila akad nikah dilaksanakan di tempat yang paling diberkahi.

Itulah barangkali kenapa banyak orang yang berlomba-lomba untuk dapat melaksanakan akad nikah di depan Ka’bah, di masjid Al-Haram Mekkah.

b. Pesta Pernikahan

Adapun pesta walimah adalah acara yang karakternya sangat jauh berbeda dengan akad nikah. Sehingga umumnya para ulama tidak menyukai bila pesta seperti ini dilangsungkan di dalam masjid, dalam arti di ruang ibadah yang seharusnya suci dari hal-hal yang tidak diperkenankan.

Padahal sebuah pesta penikahan yang digelar, amat jarang yang bisa terlepas dari suara gaduh, alat musik yang dimainkan, nyanyian, tawa, canda, dan suara-suara yang dikeraskan.

Oleh karena itulah maka para ulama memakruhkan pesta walimah kalau digelar di dalam masjid. Mazhab Al-Malikiyah menyebutkan bahwa kemustahaban menikah di dalam masjid terbatas hanya pada urusan akad nikah atau ijab dan kabul saja. Sedangkan berpanjang-panjang kalam di dalam masjid di luar urusan ijab dan kabul justru tidak disukai (makruh).

Sedangkan Al-Hanafiyah mengatakan bahwa pesta zafaf di dalam masjid tidak mengapa, asalkan tidak mengandung mafsadat (kerusakan) yang bersifat diniyah.‎

Aula Masjid

Untuk itulah biasanya tempat akad nikah biasa dilangsungkan di dalam ruang ibadah yang suci di dalam masjid, sedangkan pestanya dilakukan di luar area suci ibadah, tapi tetap masih di komplek yang masih merupakan aset milik masjid.

Biasanya yang sering terjadi, ada pemisahan ruang ibadah dan ruang pesta pernikahan. Ruang pesta pernikahan biasanya memanfaatkan ruang pertemuan yang sering disebut sebagai aula. Kadang gedungnya terpisah, tapi yang sering terjadi adalah pembedaan lantai. Kadang lantai dasar untuk aula dan lantai atas untuk masjid, namun tidak jarang malah sebaliknya, lantai dasar untuk masjid dan lantai atas untuk pesta.

Namun pemisahan seperti ini kadang masih menimbulkan kendala di lapangan. Misalnya masih ‘bocor’nya suara sound system dari arena pesta ke ruang ibadah. Hal itu menurut pengamatan Penulis terjadi karena ruang pesta itu dibuat terbuka pintunya, dan bahkan seringkali speaker yang besar-besar di letakkan di area yang terbuka. Sehingga suara bising speaker jelas-jelas mengganggu ibadah di masjid, bahkan di area seputar aula, termasuk mengganggu tetangga di sekitar.

Maka idealnya aula harus didesain di dalam ruang yang tertutup rapat kedap suara, seperti umumnya bioskop atau cineplex. Dengan demikian, meski ada beberapa acara pesta walimah yang digelar, satu dengan yang lain tidak saling mengganggu, seperti bioskop yang memainkan 4 film yang berbeda tapi tidak saling mengganggu.

Tentu ini sebuah tantangan tersendiri buat para desainer masjid, bagaimana menciptakan karya-karya yang bukan hanya indah, tetapi dari segi manfaat memang benar-benar seusai dengan kebutuhan.

3. Tidur di dalam Masjid

Para ulama punya fatwa yang berbeda-beda dalam masalah tidur di dalam masjid. Namun umumnya mereka membolehkan musafir dan mu’takif untuk tidur dan beristirahat di dalam masjid.

Mazhab Al-Hanafiyah memakruhkan tidur di dalam masjid, namun buat musafir yang tidak punya tempat singgah, tidak dimakruhkan untuk tidur dan beristirahat di dalam masjid.

Demikian juga buat mereka yang beri’tikaf, mazhab ini membolehkan tidur di dalam masjid. Karena dalam i’tikafnya, Rasulullah SAW pun tidur di dalam masjid. Dan selama i’tikaf tidak perlu keluar dari masjid untuk urusan tidur. 

‎Mazhab Al-Malikiyah membolehkan membolehkan buat mereka yang tidak punya rumah atau musafir untuk tidur di masjid, baik tidur di siang hari atau pun di malam hari. ‎

Bahkan buat mereka yang sedang beri’tikaf, mazhab ini mewajibkan para mu’takifin tidur di dalam masjid. Bila orang yang beri’tikaf tidak sampai tidur di dalam masjid, maka dalam mazhab ini dipandang bahwa i’’tikafnya itu tidak sah. ‎

Mazhab Asy-Syafi’iyah tidak mengharamkan tidur di dalam masjid. Dasarnya karena para shahabat banyak yang tidur di dalam masjid, bahkan mereka tinggal dan menetap di dalam masjid.

Di dalam kitab Al-Umm karya besar Al-Imam Asy-syafi’i rahimahullah disebutkan lewat riwayat Nafi’ bahwa Abdullah bin Umar bin Al-Khattabradhiyallahuanhu ketika masih bujangan juga termasuk pemuda penghuni masjid, dimana beliau tidur di dalam masjid. ‎

Amr bin Dinar mengatakan,”Kami menginap di dalam masjid di zaman Ibnu Az-Zubair. Dan bahwa Said bin Al-Musayyib, Hasan Al-Bashri, Atha’ dan Asy-Syafi’i memberikan rukhshah (keringanan) dalam masalah ini”.‎

4. Menyanyi dan Bernas‎yid di dalam Masjid seperti saat Pembacaan Maulid‎

5. Shalat Ied dalam Masjid

Sebagian kalangan beranggapan bahwa shalat Ied tidak boleh dilakukan di dalam masjid. Shalat Ied dalam pandangan mereka harus di lapangan. Sikap ini dalam beberapa kasus menimbulkan resitensi dari kalangan lain, yang menilai bahwa shalat Ied di lapangan itu tidak dianjurkan, mengingat tidak ada yang bisa menjamin kesucian lapangan itu dari najis. Mereka bersikeras untuk menjalankan shalat Ied di dalam masjid.

Di negeri kita, kalangan Muhammadyiah biasanya mempelopori shalat Ied di lapangan. Meski ada masjid yang tersedia, namun shalat Ied tetap digelar di lapangan atau halaman masjid. Masjid Agung Al-Azhar Kebayoran baru di Jakarta malah memindahkan podium masjid ke jalanan di depan masjid, sehingga masjidnya kosong saat pelaksanaan shalat Ied.

Sebaliknya, kalangan Nahdhiyyin lebih mengutamakan shalat Ied di masjid. Mereka tidak mau shalat di tanah lapang, atau di jalanan sebagaimana saudara mereka yang dari kalangan Muhammadiyah.

Lalu bagaimana sesungguhnya duduk persoalannya? Bagaimana sesungguhnya dalil-dalil yang ada dan bagaimana pendapat para ulama dalam memahami dalil-dalil itu?

Kita menemukan di dalam sunnah nabawiyah beberapa nash, misalnya :

9. Membunuh Hewan

عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِيَّ r أَمَرَ بِقَتْلِ الأَسْودَيْنِ فيِ الصَّلاَةِ العَقْرَبِ وَالحَيَّةِ - رواه أحمد والترمذي وابن خُزَيمة وابن ماجة.

Dari Abi Hurairah radhiyallahuanhu bahwa Nabi SAW memerintahkan untuk membunuh dua hewan hitam, yaitu kalajengking dan ular. (HR. Ahmad, At-Tirmizy, Ibnu Khuzaimah dan Ibnu Majah)

اُقْتُلُوا الأَسْودَينِ - رواه أبو داود والبيهقي

Bunuhlah dua hewan hitam (kalajengking dan ular). (HR. Abu Daud dan Al-Baihaqi)‎

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...