Sabtu, 06 November 2021

Bukti Keilmuan Sayyidina Abu Bakar Pada Saat Dimintai Jadi Imam Shalat


Kedudukan menjadi imam/pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa adalah sebuah keutamaan besar. Bahkan ia adalah do’a orang-orang yang sholeh. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla,

وَالَّذِينَ يَقُولُونَ رَبَّنَا هَبْ لَنَا مِنْ أَزْوَاجِنَا وَذُرِّيَّاتِنَا قُرَّةَ أَعْيُنٍ وَاجْعَلْنَا لِلْمُتَّقِينَ إِمَامًا

“Dan orang orang yang berkata: “Ya Tuhan kami, anugrahkanlah kepada kami isteri-isteri kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami imam bagi orang-orang yang bertakwa”. [QS. Al Furqon (25) : 74]

Menjadi imam dalam sholat adalah merupakan salah satu cakupan dari ayat di atas. Namun sebagian orang –Allahu a’lam- karena terlalu bersemangat dalam meraih kedudukan yang mulia ini, mereka tidak segan-segan meraih posisi ini padahal ia tidaklah layak untuk itu dan masih ada orang yang layak untuk itu.

Abu Bakar adalah sahabat yang paling percaya dengan Nabi Muhammad. Ia meyakini semua yang disampaikan Muhammad adalah sesuatu yang benar (haq), tidak ada kebatilan sedikit pun di dalamnya. Ketika Islam didakwahkan kepadanya, Abu Bakar langsung memeluk Islam tanpa ada keraguan sedikit pun di hatinya.

Ketika banyak umat Islam saat itu yang tidak percaya dengan Isra’ Mi’raj, Abu Bakar adalah orang pertama yang percaya. Maka tidak salah, jika Nabi Muhammad memberikan julukan as-Shiddiq (jujur) kepada Abu Bakar. Kejujuran, kejernihan pikiran, dan ketulusan hati Muhammad lah yang membuat Abu Bakar tidak memiliki rasa ragu sedikitpun terhadap Islam.

Abu Bakar merupakan sahabat nabi yang memiliki sifat lemah lembut, tenang, serta tidak mudah terpancing hawa nafsu dan emosi. Saking lembut hatinya, Abu Bakar kerap kali menangis manakala membaca surat Al-Qur’an saat menjadi imam shalat.

Dia merupakan ‘antitesa’ dari Umar bin Khattab yang terkenal ‘galak’, tegas, keras, dan tidak sungkan untuk marah. Hanya sedikit sekali riwayat yang menceritakan tentang kemarahan Abu Bakar.

Abu Bakar adalah lelaki yang lemah lembut, namun dalam hal memerangi orang yang murtad, beliau memiliki pendirian yang kokoh. Bahkan lebih tegas dan keras daripada Umar bin Khattab yang terkenal akan keras dan tegasnya beliau dalam pembelaan terhadap Allah.

Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits Abu Hurairah Radhiallahu’anhu:

لما توفى النبي صلى الله عليه وسلم واستُخلف أبو بكر وكفر من كفر من العرب قال عمر : يا أبا بكر كيف تقاتل الناس وقد قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : أمِرت أن أقاتل الناس حتى يقولوا لا إله إلا الله ، فمن قال لا إله إلا الله عصم مني ماله ونفسه إلا بحقه وحسابه على الله ؟ قال أبو بكر : والله لأقاتلن من فرق بين الصلاة والزكاة ، فإن الزكاة حق المال ، والله لو منعوني عناقا كانوا يؤدونها إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم لقاتلتهم على منعها . قال عمر : فو الله ما هو إلا أن رأيت أن قد شرح الله صدر أبي بكر للقتال فعرفت أنه الحق

“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam wafat, dan Abu Bakar menggantikannya, banyak orang yang kafir dari bangsa Arab. Umar berkata: ‘Wahai Abu Bakar, bisa-bisanya engkau memerangi manusia padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, aku diperintah untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa ilaaha illallah, barangsiapa yang mengucapkannya telah haram darah dan jiwanya, kecuali dengan hak (jalan yang benar). Adapun hisabnya diserahkan kepada Allah?’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah akan kuperangi orang yang membedakan antara shalat dengan zakat. Karena zakat adalah hak Allah atas harta. Demi Allah jika ada orang yang enggan membayar zakat di masaku, padahal mereka menunaikannya di masa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, akan ku perangi dia’. Umar berkata: ‘Demi Allah, setelah itu tidaklah aku melihat kecuali Allah telah melapangkan dadanya untuk memerangi orang-orang tersebut, dan aku yakin ia di atas kebenaran‘”

Begitu tegas dan kerasnya sikap beliau sampai-sampai para ulama berkata:

نصر الله الإسلام بأبي بكر يوم الردّة ، وبأحمد يوم الفتنة

“Allah menolong Islam melalui Abu Bakar di hari ketika banyak orang murtad, dan melalui Ahmad (bin Hambal) di hari ketika terjadi fitnah (khalqul Qur’an)”

Alloh mempersaksikan bahwa Abu Bakar adalah orang yang ikhlas dalam mengamalkan ajaran Islam. Allah Ta’ala berfirman,

وَسَيُجَنَّبُهَا الْأَتْقَى. الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّىٰ. وَمَا لِأَحَدٍ عِنْدَهُ مِنْ نِعْمَةٍ تُجْزَىٰ. إِلَّا ابْتِغَاءَ وَجْهِ رَبِّهِ الْأَعْلَىٰ. وَلَسَوْفَ يَرْضَىٰ

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan” (QS. Al Lail: 17-21)

Diriwayatkan oleh Bukhari dalam Shahihnya

حَدَّثَنَا إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْمُنْذِرِ قَالَ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ عِيَاضٍ عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ عَنْ نَافِعٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ قَالَ لَمَّا قَدِمَ الْمُهَاجِرُونَ الْأَوَّلُونَ الْعُصْبَةَ مَوْضِعٌ بِقُبَاءٍ قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ وَكَانَ أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا

Telah menceritakan kepada kami Ibrahim bin Mundzir yang berkata telah menceritakan kepada kami Anas bin ‘Iyadh dari Ubaidillah dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar yang berkata “Ketika kaum Muhajirin yang pertama tiba di ‘Ushbah sebuah tempat di Quba sebelum kedatangan Rasulullah SAW, mereka diimami oleh Salim maula Abu Hudzaifah dan dia adalah orang yang paling banyak hafalan Al Qur’annya. [Shahih Bukhari 1/140 no 692]

حَدَّثَنَا عُثْمَانُ بْنُ صَالِحٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي ابْنُ جُرَيْجٍ أَنَّ نَافِعًا أَخْبَرَهُ أَنَّ ابْنَ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَخْبَرَهُ قَالَ كَانَ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ يَؤُمُّ الْمُهَاجِرِينَ الْأَوَّلِينَ وَأَصْحَابَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي مَسْجِدِ قُبَاءٍ فِيهِمْ أَبُو بَكْرٍ وَعُمَرُ وَأَبُو سَلَمَةَ وَزَيْدٌ وَعَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ

Telah menceritakan kepada kami Utsman bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb yang mengabarkan kepadaku Ibnu Juraij bahwa Nafi’ mengabarkan kepadanya bahwa Ibnu Umar mengabarkan kepadanya yang berkata “Salim maula Abu Hudzaifah mengimami Muhajirin yang pertama dan para sahabat Nabi SAW di masjid Quba dandiantara mereka terdapat Abu Bakar, Umar, Abu Salamah, Zaid dan Amir bin Rabi’ah.[Shahih Bukhari 9/71 no 7175]

Apakah sekarang salafiyun mau mengatakan kalau Abu Bakar lebih rendah keilmuannya dari Salim maula Abu Hudzaifah?. Ataukah akan dikatakan bahwa para sahabat lebih mendahulukan Salim daripada Abu Bakar?.

Pernah pula diriwayatkan bahwa Abdurrahman bin Auf menjadi Imam shalat kaum muslimin di saat Perang Tabuk dimana Abu Bakar ikut didalamnya. Bahkan dalam riwayat tersebut disebutkan pula bahwa Rasulullah SAW juga bermakmum kepada Abdurrahman bin Auf. Diriwayatkan Abu Dawud dalam Sunannya

حدثنا أحمد بن صالح ثنا عبد الله بن وهب أخبرني يونس بن يزيد عن ابن شهاب حدثني عباد بن زياد أن عروة بن المغيرة بن شعبة أخبره أنه سمع أباه المغيرة يقول عدل رسول الله صلى الله عليه و سلم وأنا معه في غزوة تبوك قبل الفجر فعدلت معه فأناخ النبي صلى الله عليه و سلم فتبرز ثم جاء فسكبت على يده من الإداوة فغسل كفيه ثم غسل وجهه ثم حسر عن ذراعيه فضاق كما جبته فأدخل يديه فأخرجهما من تحت الجبة فغسلهما إلى المرفق ومسح برأسه ثم توضأ على خفيه ثم ركب فأقبلنا نسير حتى نجد الناس في الصلاة قد قدموا عبد الرحمن بن عوف فصلى بهم حين كان وقت الصلاة ووجدنا عبد الرحمنن وقد ركع بهم ركعة من صلاة الفجر فقام رسول الله صلى الله عليه و سلم فصف مع المسلمين فصلى وراء عبد الرحمن بن عوف الركعة الثانية ثم سلم عبد الرحمن فقام رسول الله صلى الله عليه و سلم في صلاته ففزع المسلمون فأكثروا التسبيح لأنهم سبقوا النبي صلى الله عليه و سلم بالصلاة فلما سلم رسول الله صلى الله عليه و سلم قال لهم ” قد أصبتم ” أو ” قد أحسنتم

Telah menceritakan kepada kami Ahmad bin Shalih yang berkata telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Wahb yang berkata telah mengabarkan kepadaku Yunus bin Yazid dari Ibnu Syihab yang berkata telah menceritakan kepadaku Abbad bin Ziyad bahwa Urwah bin Mughirah bin Syu’bah mengabarkan kepadanya yang mendengar dari ayahnya Mughirah yang berkata “Pada waktu perang Tabuk sebelum fajar Rasulullah SAW pernah menyimpang dari jalan maka aku turut menyimpang dari jalan menyertai beliau. Lalu Nabi SAW menghentikan kendaraan beliau, lalu beliau buang hajat. Setelah selesai, aku tuangkan ke tangan beliau air dari bejana. Beliau membasuh kedua telapak tangannya lalu mencuci muka. Kemudian beliau menyingsingkan kedua lengan jubah beliau yang terbuka dan terasa sempit, maka beliau memasukkan keduanya kembali kemudian mengeluarkan keduanya dari bawah jubah, lantas beliau membasuh kedua tangan sampai ke siku, dan mengusap kepala, lalu mengusap bagian atas khuf beliau. Setelah itu beliau naik kendaraan, dan kami meneruskan perjalanan, hingga kami mendapati orang-orang tengah mengerjakan shalat, mereka mengangkat Abdurrahman bin Auf sebagai imam, dia mengerjakan shalat bersama mereka pada awal waktunya dan kami mendapatkan Abdurrahman bin Auf telah mengerjakan satu rakaat Shalat Shubuh bersama mereka. Maka Rasulullah SAW datang dan masuk ke dalam barisan (shaf) bersama kaum Muslimin dan mengerjakan shalat di belakang Abdurrahman bin Auf untuk rakaat yang kedua. Setelah Abdurrahman salam, Nabi SAW berdiri menyempurnakan shalat. Maka tiba-tiba kaum Muslimin terkejut, kemudian mereka membaca “Subhaanallah”, karena mereka telah mendahului Nabi SAW dalam shalat.Setelah Rasulullah SAW shalat, beliau bersabda kepada mereka, “Kalian telah melakukan yang benar” atau “Kalian telah melakukan yang baik.” [Sunan Abu Dawud 1/85 no 149 dinyatakan shahih oleh Syaikh Al Albani, diriwayatkan pula dalam Musnad Ahmad 4/244 no 18159, 4/274 no 18185, 4/294 no 18200  dinyatakan shahih oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth]

Hadis di atas menunjukkan bahwa saat Perang Tabuk, Abdurrahman bin Auf pernah menjadi Imam shalat bagi kaum muslimin dan tidak diragukan lagi bahwa Abu Bakar termasuk orang yang ikut dalam Perang Tabuk. Sepertinya para sahabat lebih mengutamakan Abdurrahman bin Auf sebagai Imam daripada Abu Bakar. Sehingga dalam hal ini Abu Bakar telah berimam kepada Abdurrahman bin Auf. Apakah ini berarti Abdurrahman bin Auf lebih mulia  atau lebih berilmu dari Abu Bakar?. Kemudian hal yang patut diperhatikan adalah Rasulullah SAW menjadi makmum di belakang Abdurrahman bin Auf dan beliau SAW tidak mengingkari perbuatan para sahabat yang lebih mengutamakan Abdurrahman bin Auf dari Abu Bakar, bahkan Beliau SAW mengatakan apa yang dilakukan sahabat itu sudah baik atau benar. Mari kita kembali bertanya kepada salafiyun, Apakah dalam hal ini keilmuan Rasulullah SAW lebih rendah dari Abdurrahman bin Auf?. Naudzubillah

Abu Bakar Ash Shiddiq adalah manusia terbaik setelah Nabi Muhammad Shallallahu’alaihi Wasallam dari golongan umat beliau

Ibnu ‘Umar Radhiallahu’anhu berkata:

كنا نخيّر بين الناس في زمن النبي صلى الله عليه وسلم ، فنخيّر أبا بكر ، ثم عمر بن الخطاب ، ثم عثمان بن عفان رضي الله عنهم

“Kami pernah memilih orang terbaik di masa Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Kami pun memilih Abu Bakar, setelah itu Umar bin Khattab, lalu ‘Utsman bin Affan Radhiallahu’anhu” (HR. Bukhari)

Dari Abu Darda Radhiallahu’anhu, ia berkata:

كنت جالسا عند النبي صلى الله عليه وسلم إذ أقبل أبو بكر آخذا بطرف ثوبه حتى أبدى عن ركبته فقال النبي صلى الله عليه وسلم : أما صاحبكم فقد غامر . وقال : إني كان بيني وبين ابن الخطاب شيء ، فأسرعت إليه ثم ندمت فسألته أن يغفر لي فأبى عليّ ، فأقبلت إليك فقال : يغفر الله لك يا أبا بكر – ثلاثا – ثم إن عمر ندم فأتى منزل أبي بكر فسأل : أثَـمّ أبو بكر ؟ فقالوا : لا ، فأتى إلى النبي فجعل وجه النبي صلى الله عليه وسلم يتمعّر ، حتى أشفق أبو بكر فجثا على ركبتيه فقال : يا رسول الله والله أنا كنت أظلم – مرتين – فقال النبي صلى الله عليه وسلم : إن الله بعثني إليكم فقلتم : كذبت ، وقال أبو بكر : صَدَق ، وواساني بنفسه وماله ، فهل أنتم تاركو لي صاحبي – مرتين – فما أوذي بعدها

“Aku pernah duduk di sebelah Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam. Tiba-tiba datanglah Abu Bakar menghadap Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sambil menjinjing ujung pakaiannya hingga terlihat lututnya. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam berkata: ‘Sesungguhnya teman kalian ini sedang gundah‘. Lalu Abu Bakar berkata, “Wahai Rasulullah, antara aku dan Ibnul Khattab terjadi perselisihan, aku pun segera mendatanginya untuk meminta maaf, kumohon padanya agar memaafkan aku namun dia enggan memaafkanku, karena itu aku datang menghadapmu sekarang’. Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam lalu berkata: ‘“Semoga Allah mengampunimu wahai Abu Bakar‘. Sebanyak tiga kali, tak lama setelah itu Umar menyesal atas perbuatannya, dan mendatangi rumah Abu Bakar sambil bertanya, “Apakah di dalam ada Abu Bakar?” Namun keluarganya menjawab, tidak. Umar segera mendatangi RasulullahShallallahu’alaihi Wasallam. Sementara wajah Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam terlihat memerah karena marah, hingga Abu Bakar merasa kasihan kepada Umar dan memohon sambil duduk di atas kedua lututnya, “Wahai Rasulullah Demi Allah sebenarnya akulah yang bersalah”, sebanyak dua kali. Maka Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, ‘Sesungguhnya ketika aku diutus Allah kepada kalian, ketika itu kalian mengatakan, ”Engkau pendusta wahai Muhammad”, Sementara Abu Bakar berkata, ”Engkau benar wahai Muhammad”. Setelah itu dia membelaku dengan seluruh jiwa dan hartanya. Lalu apakah kalian tidak jera menyakiti sahabatku?‘ sebanyak dua kali. Setelah itu Abu Bakar tidak pernah disakiti” (HR. Bukhari)

Beliau juga orang yang paling pertama beriman kepada Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam, menemani Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan membenarkan perkataannya. Hal ini terus berlanjut selama Rasulullah tinggal di Mekkah, walaupun banyak gangguan yang datang. Abu Bakar juga menemani Rasulullah ketika hijrah.

Oleh karena itu ketika masa pemerintahan Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu ada sebagian orang yang menganggap Umar lebih utama dari Abu Bakar, maka Umar Radhiallahu’anhupun berkata:

والله لليلة من أبي بكر خير من آل عمر ، وليوم من أبي بكر خير من آل عمر ، لقد خرج رسول الله صلى الله عليه وسلم لينطلق إلى الغار ومعه أبو بكر ، فجعل يمشي ساعة بين يديه وساعة خلفه ، حتى فطن له رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال : يا أبا بكر مالك تمشي ساعة بين يدي وساعة خلفي ؟ فقال : يا رسول الله أذكر الطلب فأمشي خلفك ، ثم أذكر الرصد فأمشي بين يديك . فقال :يا أبا بكر لو كان شيء أحببت أن يكون بك دوني ؟ قال : نعم والذي بعثك بالحق ما كانت لتكون من مُلمّة إلا أن تكون بي دونك ، فلما انتهيا إلى الغار قال أبو بكر : مكانك يا رسول الله حتى استبرئ الجحرة ، فدخل واستبرأ ، قم قال : انزل يا رسول الله ، فنزل . فقال عمر : والذي نفسي بيده لتلك الليلة خير من آل عمر

“Demi Allah,  satu malamnya Abu Bakar lebih baik dari satu malamnya keluarga Umar, satu harinya Abu Bakar masih lebih baik dari seharinya keluarga Umar. Abu Bakar bersama Rasulullah pergi ke dalam gua. Ketika berjalan, dia terkadang berada di depan Rasulullah dan terkadang di belakangnya. Sampai-sampai Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam heran dan berkata: ‘Wahai Abu Bakar mengapa engkau berjalan terkadang di depan dan terkadang di belakang?’. Abu Bakar berkata: ‘Ya Rasulullah, ketika saya sadar kita sedang dikejar, saya berjalan di belakang. Ketika saya sadar bahwa kita sedang mengintai, maka saya berjalan di depan’. Rasulullah lalu berkata: ‘Wahai Abu Bakar, kalau ada sesuatu yang aku suka engkau saja yang melakukannya tanpa aku?’ Abu Bakar berkata: ‘Demi Allah, tidak ada yang lebih tepat melainkan hal itu aku saja yang melakukan tanpa dirimu’. Ketika mereka berdua sampai di gua, Abu Bakar berkata: ‘Ya Rasulullah aku akan berada di tempatmu sampai memasuki gua. Kemudian mereka masuk, Abu Bakar berkata: Turunlah wahai Rasulullah. Kemudian mereka turun. Umar berkata: ‘Demi Allah, satu malamnya Abu Bakar lebih baik dari satu malamnya keluarga Umar’‘” (HR. Al Hakim, Al Baihaqi dalam Dalail An Nubuwwah)

Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sakit keras, beliau memerintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam shalat berjama’ah. Dalam Shahihain, dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha ia berkata:

لما مَرِضَ النبيّ صلى الله عليه وسلم مرَضَهُ الذي ماتَ فيه أَتاهُ بلالٌ يُؤْذِنهُ بالصلاةِ فقال : مُروا أَبا بكرٍ فلْيُصَلّ . قلتُ : إنّ أبا بكرٍ رجلٌ أَسِيفٌ [ وفي رواية : رجل رقيق ] إن يَقُمْ مَقامَكَ يبكي فلا يقدِرُ عَلَى القِراءَةِ . قال : مُروا أَبا بكرٍ فلْيُصلّ . فقلتُ مثلَهُ : فقال في الثالثةِ – أَوِ الرابعةِ – : إِنّكنّ صَواحبُ يوسفَ ! مُروا أَبا بكرٍ فلْيُصلّ ، فصلّى

“Ketika Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam sakit menjelang wafat, Bilal datang meminta idzin untuk memulai shalat. Rasulullah bersabda: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah berkata: ‘Abu Bakar itu orang yang terlalu lembut, kalau ia mengimami shalat, ia mudah menangis. Jika ia menggantikan posisimu, ia akan mudah menangis sehingga sulit menyelesaikan bacaan Qur’an. Nabi tetap berkata: ‘Perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’. ‘Aisyah lalu berkata hal yang sama, Rasulullah pun mengatakan hal yang sama lagi, sampai ketiga atau keempat kalinya Rasulullah berkata: ‘Sesungguhnya kalian itu (wanita) seperti para wanita pada kisah Yusuf, perintahkan Abu Bakar untuk menjadi imam dan shalatlah’”

Oleh karena itu Umar bin Khattab Radhiallahu’anhu berkata:

أفلا نرضى لدنيانا من رضيه رسول الله صلى الله عليه وسلم لديننا

“Apakah kalian tidak ridha kepada Abu Bakar dalam masalah dunia, padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam telah ridha kepadanya dalam masalah agama?”

Juga diriwayatkan dari ‘Aisyah Radhiallahu’anha, ia berkata:

قال لي رسول الله صلى الله عليه وسلم في مرضه : ادعي لي أبا بكر وأخاك حتى اكتب كتابا ، فإني أخاف أن يتمنى متمنٍّ ويقول قائل : أنا أولى ، ويأبى الله والمؤمنون إلا أبا بكر وجاءت امرأة إلى النبي صلى الله عليه وسلم فكلمته في شيء فأمرها بأمر ، فقالت : أرأيت يا رسول الله إن لم أجدك ؟ قال : إن لم تجديني فأتي أبا بكر

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkata kepadaku ketika beliau sakit, panggilah Abu Bakar dan saudaramu agar aku dapat menulis surat. Karena aku khawatir akan ada orang yang berkeinginan lain (dalam masalah khilafah) sehingga ia berkata: ‘Aku lebih berhak’. Padahal Allah dan kaum mu’minin menginginkan Abu Bakar (yang menjadi khalifah). Kemudian datang seorang perempuan kepada Nabi Shallallahu’alaihi Wasallam mengatakan sesuatu, lalu Nabi memerintahkan sesuatu kepadanya. Apa pendapatmu wahai Rasulullah kalau aku tidak menemuimu? Nabi menjawab: ‘Kalau kau tidak menemuiku, Abu Bakar akan datang’” (HR. Bukhari-Muslim)

Imam Al Bukhari dan Muslim meriwayatkan hadits dari Abu Sa’id Al Khudri Radhiallahu’anhu, ia berkata:

خطب رسول الله صلى الله عليه وسلم الناس وقال : إن الله خير عبدا بين الدنيا وبين ما عنده فاختار ذلك العبد ما عند الله . قال : فبكى أبو بكر ، فعجبنا لبكائه أن يخبر رسول الله صلى الله عليه وسلم عن عبد خير ، فكان رسول الله صلى الله عليه وسلم هو المخير ، وكان أبو بكر أعلمنا . فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : إن مِن أمَنّ الناس عليّ في صحبته وماله أبا بكر ، ولو كنت متخذاً خليلاً غير ربي لاتخذت أبا بكر ، ولكن أخوة الإسلام ومودته ، لا يبقين في المسجد باب إلا سُـدّ إلا باب أبي بكر

“Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam berkhutbah kepada manusia, beliau berkata: ‘Sesungguhnya Allah Ta’ala memilih hamba di antara dunia dan apa yang ada di dalamnya. Namun hamba tersebut hanya dapat memilih apa yang Allah tentukan’. Lalu Abu Bakar menangis. Kami pun heran dengan tangisan beliau itu, hanya karena Rasulullah mengabarkan tentang hamba pilihan. Padahal Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam lah orangnya, dan Abu Bakar lebih paham dari kami. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda: ‘Sesungguhnya orang yang sangat besar jasanya padaku dalam kedekatan dan kerelaan mengeluarkan harta, ialah Abu Bakar. Andai saja aku diperbolehkan mengangkat seorang kekasihku selain Rabbku pastilah aku akan memilih Abu Bakar, namun cukuplah persaudaraan se-Islam dan kecintaan karenanya. Maka jangan ditinggalkan pintu kecil di masjid selain pintu Abu Bakar saja’”

Allah Ta’ala mensucikan Abu Bakar Ash Shiddiq

Allah Ta’ala berfirman:

وَسَيُجَنَّبُهَا الأَتْقَى * الَّذِي يُؤْتِي مَالَهُ يَتَزَكَّى * وَمَا لأَحَدٍ عِندَهُ مِن نِّعْمَةٍ تُجْزَى * إِلا ابْتِغَاء وَجْهِ رَبِّهِ الأَعْلَى * وَلَسَوْفَ يَرْضَى

“Dan kelak akan dijauhkan orang yang paling takwa dari neraka itu, Yang menafkahkan hartanya (di jalan Allah) untuk membersihkannya, Padahal tidak ada seorang pun memberikan suatu nikmat kepadanya yang harus dibalasnya, Tetapi (dia memberikan itu semata-mata) karena mencari keridaan Tuhannya Yang Maha Tinggi. Dan kelak dia benar-benar mendapat kepuasan” (QS. Al Lail: 17-21)

Ayat ini turun berkenaan dengan Abu Bakar Ash Shiddiq. Selain itu beliau juga termasuk as sabiquunal awwalun, dan Allah Ta’ala berfirman:

وَالسَّابِقُونَ الأَوَّلُونَ مِنَ الْمُهَاجِرِينَ وَالأَنصَارِ وَالَّذِينَ اتَّبَعُوهُم بِإِحْسَانٍ رَّضِيَ اللّهُ عَنْهُمْ وَرَضُواْ عَنْهُ وَأَعَدَّ لَهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي تَحْتَهَا الأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا أَبَدًا ذَلِكَ الْفَوْزُ الْعَظِيمُ

“Orang-orang yang terdahulu lagi yang pertama-tama (masuk Islam) di antara orang-orang muhajirin dan Ansar dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik, Allah rida kepada mereka dan mereka pun rida kepada Allah dan Allah menyediakan bagi mereka surga-surga yang mengalir sungai-sungai di dalamnya; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya.  Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At Taubah: 100)

Taqiyah Sayyidina Hasan Dan Sayyidina Husain Berbeda Dengan Syi'ah


Jika kata at-taqiyyah itu diambil dari kata al-wiqayah (perlindungan) dari kejahatan, pengertiannya dalam AI-Qur’an dan sunah adalah menampakkan (sikap) kekafiran dan menyembunyikan keimanan, atau memperlihatkan yang batil dan menyembunyikan yang benar. Apabila seperti itu pengertiannya, taqiyah berlawanan dengan kemunafikan seperti halnya keimanan berlawanan dengan kekafiran. Sebab, kemunafikan adalah lawannya. Kemunafikan adalah menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran, serta memperlihatkan yang benar dan menyembunyikan yang batil. Karena ada kontradiksi di antara arti kedua kata tersebut, maka taqiyah tidak dapat dipandang sebagai cabang dari kemunafikan.

Benar, barangsiapa yang menafsirkan kemunafikan itu sebagai mutlak pertentangan yang tampak terhadap yang tersembunyi, dan memandang taqiyah – yang disebutkan dalam Al-Qur’an dan sunah-sebagai salah satu cabanghya, ia telah menafsirkannya dengan pengertian yang lehih luas dari pengertian yang sebenarnya dalam Al-Qur’an. la te1ah mendefinisikan orang-orang munafik sebagai orang-orang yang menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekafiran.

Al-Imaam Ibnu Sa’d rahimahullah berkata :

أَخْبَرَنَا الْفَضْلُ بْنُ دُكَيْنٍ، قَالَ: حَدَّثَنَا أَبُو إِسْرَائِيلَ، عَنِ الْحَكَمِ، عَنْ أَبِي جَعْفَرٍ، قَالَ: " إِنَّا لَنُصَلِّي خَلْفَهُمْ فِي غَيْرِ تَقِيَّةٍ، وَأَشْهَدُ عَلَى عَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ أَنَّهُ كَانَ يُصَلِّي خَلْفَهُمْ فِي غَيْرِ تَقِيَّةٍ "

Telah mengkhabarkan kepada kami Al-Fadhl bin Dukain, ia berkata : Telah menceritakan kepada kami Abu Israaiil, dari Al-Hakam, dari Abu Ja’far, ia berkata : “Sesungguhnya kami benar-benar shalat di belakang mereka (penguasa) tanpa taqiyyah. Dan aku bersaksi atas diri ‘Aliy bin Al-Husain bahwasannya ia juga shalat di belakang mereka tanpa taqiyyah” [Ath-Thabaqaat, 5/110].

Al-Fadhl bin Dukain, tsiqah lagi tsabat. Abu Israaiil (Ismaa’iil bin Khaliifah Al-‘Absiy); shaduuq, namun jelek hapalannya. Al-Hakam bin ‘Utaibah Al-Kindiy; tsiqah lagi tsabat, namun kadang melakukan tadlis.

Riwayat ini dikuatkan oleh :

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، ثَنَا بَسَّامٌ، قَالَ: سَأَلْتُ أَبَا جَعْفَرٍ عَنِ الصَّلَاةِ مَعَ الْأُمَرَاءِ؟ فَقَالَ: صَلِّ مَعَهُمْ، فَإِنَّا نُصَلِّي مَعَهُمْ. قَدْ كَانَ الْحَسَنُ، وَالْحُسَيْنُ يَبْتَدِرَانِ الصَّلَاةَ خَلْفَ مَرْوَانَ " قَالَ: فَقُلْتُ: النَّاسُ يَزْعُمُونَ أَنَّ ذَلِكَ تُقْيَةٌ ؟ قَالَ: وَكَيْفَ ؛ إِنْ كَانَ الْحَسَنُ بْنُ عَلِيٍّ، يَسُبُّ مَرْوَانَ فِي وَجْهِهِ، وَهُوَ عَلَى الْمِنْبَرِ حَتَّى يُوَلَّى "

Telah menceritakan kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami Bassaam, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu Ja’far tentang shalat bersama para penguasa (umaraa’), lalu ia menjawab : “Shalatlah bersama mereka, karena sesungguhnya kami pun shalat bersama mereka. Al-Hasan dan Al-Husain saling mendahului shalat di belakang Marwaan”. Aku berkata : “Orang-orang mengatakan bahwa hal itu dilakukan karena taqiyyah”. Ia menjawab : “Bagaimana bisa, padahal Al-Hasan bin ‘Aliy mencela/menghardik Marwaan di depannya langsung saat berada di atas mimbar, hingga ia berpaling” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah 2/378-379 no. 7650; shahih].

Tentang shalatnya Al-Hasan dan Al-Husain di belakang Marwaan, maka mereka berdua tidak mengulangnya ketika sampai di rumah, sebagaimana riwayat :

حَدَّثَنَا حَاتِمُ بْنُ إِسْمَاعِيلَ، عَنْ جَعْفَرِ بْنِ مُحَمَّدٍ، عَنْ أَبِيهِ " أَنَّ الْحَسَنَ، وَالْحُسَيْنَ كَانَا يُصَلِّيَانِ خَلْفَ مَرْوَانَ، قَالَ: فَقَالَ: مَا كَانَا يُصَلِّيَانِ إِذَا رَجَعَا إِلَى مَنَازِلِهِمَا؟ فَقَالَ: لا وَاللَّهِ، مَا كَانَا يَزِيدَانِ عَلَى صَلاةِ الأَئِمَّةِ "

Telah menceritakan kepada kami Haatim bin Ismaa’iil, dari Ja’far bin Muhammad, dari ayahnya : Bahwasannya Al-Hasan dan Al-Husain shalat di belakang Marwaan. Ada yang berkata : “Tidakkah keduanya mengulangi shalatnya saat kembali ke tempat kediamannya ?”. Muhammad bin ‘Aliy berkata : “Tidak demi Allah, keduanya tidak menambah shalat yang telah mereka lakukan bersama para pemimpin/penguasa” [Diriwayatkan oleh Asy-Syaafi’iy dalam Al-Musnad no. 298; shahih].

Atsar ini diriwayatkan juga oleh Ibnu Abi Syaibah 2/378 no. 7642, Asy-Syaafi’iy dalam Al-Umm 1/175, ‘Abdurrazzaaq no. 3801, Al-Bukhaariy dalam Al-Ausath no. 417, Ad-Duulabiy dalam Al-Kunaa 1/417, serta Al-Baihaqiy dalam Al-Kubraa 3/122 dan dalam Al-Ma’rifah 2/399-400 no. 1541.

Inilah madzhab Ahlul-Bait. Tetap shalat di belakang penguasa tanpa taqiyyah, tanpa mengulang. Artinya, shalat mereka adalah sah karena imam mereka adalah imam muslim.

Tentu saja kenyataan ini berbeda dengan kelakukan mengada-ada dari Syi’ah Raafidlah. Mereka (Syi’ah Raafidlah) mengkafirkan Bani Umayyah dan kaum muslimin pada umumnya yang tidak sehaluan dengan agama rusak mereka. [Jika memang Bani Umayyah itu kafir, bukankah menjadi kelaziman shalat yang dilakukan Al-Hasan dan Al-Husain itu tidak sah ?]. Keyakinan rusak itu terwariskan hingga detik ini dimana mereka (Syi’ah Raafidlah) mengharamkan shalat di belakang Ahlus-Sunnah, kecuali karena alasan taqiyyah. Ada riwayat menarik yang perlu kita cermati :

حَدَّثَنَا وَكِيعٌ، ثَنَا سُفْيَانُ، عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ أَبِي حَفْصَةَ، قَالَ: " قُلْتُ لِعَلِيِّ بْنِ حُسَيْنٍ: إِنَّ أَبَا حَمْزَةَ الثُّمَالِيَّ، وَكَانَ فِيهِ غُلُوٌّ، يَقُولُ: لَا نُصَلِّي خَلْفَ الْأَئِمَّةِ، وَلَا نُنَاكِحُ إِلَّا مَنْ يَرَى مثل مَا رَأَيْنَا؟ فَقَالَ عَلِيُّ بْنُ حُسَيْنٍ بَلْ نُصَلِّي خَلْفَهُمْ، وَنُنَاكِحُهُمْ بِالسُّنَّةِ "

Telah menceritakan kepada kami Wakii’ : Telah menceritakan kepada kami Sufyaan, dari Ibraahiim bin Abi Hafshah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada ‘Aliy bin Al-Husain : “Sesungguhnya Abu Hamzah Ats-Tsamaliy – ia adalah orang yang berlebih-lebihan terhadapnya (‘Aliy bin Al-Husain) – berkata : ‘Kami tidak shalat bersama para penguasa, dan kami tidak mengadakan pernikahan kecuali dengan orang yang sependapat dengan kami”. Maka ‘Aliy bin Al-Husain berkata : “Bahkan kami shalat di belakang mereka, dan kami mengadakan pernikahan dengan mereka dengan sunnah” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah, 2/379 no. 7651; shahih].

Ibraahiim bin Abi Hafshah adalah seorang yang tsiqah [Mishbaahul-Ariib, 1/27 no. 276].

Al-Hasan dan Al-Husain adalah dua orang pemimpin pemuda ahli surga yang tidak takut celaan orang yang mencela. Berkata dan berbuat sesuai dengan apa yang ada di dalam hati mereka berupa kebenaran. Tidak berperilaku seperti orang-orang munafik yang bertopeng kedustaan dimana perkataan dan perbuatan mereka tidak sesuai dengan apa yang ada dalam hati mereka. Mereka (Ahlul-Bait) tetap berani menampakkan kebenaran, bersikap tegas, dan siap mengkritik/mengkoreksi jika melihat kekeliruan, siapapun orangnya. Apakah ia penguasa ataupun sekedar rakyat jelata.

Sifat Al-Hasan dan Al-Husain itulah yang diwarisi oleh anak cucu mereka dari kalangan Ahlul-Bait yang shaalih; namun tidak diwarisi oleh kaum yang mengaku-aku mencintai mereka, Syi’ah Raafidlah.

Para Pembaca dapat membandingkannya berbagai intrik taqiyyah ala Syi’ah. Bahkan, banyak kasus yang tidak dapat kita mengerti mengapa taqiyyah mesti dilakukan. Misalnya :

وعن سماعة قال: قلت لأبي عبدالله عليه السلام في المغرب: انا ربما صلينا ونحن نخاف ان تكون الشمس خلف الجبل أو قد سترها الجبل فقال: ليس عليك صعود الجبل

Dari Samaa’ah, ia berkata : Aku pernah bertanya kepada Abu ‘Abdillah ‘alaihis-salaam tentang Maghrib : “Sesungguhnya kami seringkali khawatir apabila matahari masih di belakang gunung atau tertutup gunung (yaitu belum masuk waktu Maghrib)”. Maka ia menjawab : “Tidak wajib bagimu untuk memanjat/menaiki gunung (untuk melihat matahari apakah telah tenggelam)”.

Al-Majlisiy dan Al-‘Aamiliy berkata : “Lebih patut membawa khabar tersebut pada taqiyyah” [Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 83/85 dan Wasaailusy-Syii’ah oleh Al-Hurr Al-‘Aamiliy 4/198].

Apa perlunya taqiyyah dalam keadaan itu ?

وعن أبي العرندس انه رأي الكاظم في رمضان حين قال المؤذن: الله أكبر صب له غلامه فناوله وشرب.

Dari Abul-‘Arandas : Bahwasannya ia pernah melihat Al-Kaadhim dalam bulan Ramadlaan saat muadzdzin mengumandangkan : ‘Allaahu Akbar’, budaknya menuangkan air minum dan memberikan kepadanya, dan ia pun meminumnya”.

Al-Majlisiy berkata : “Dimungkinkan membawa khabar tersebut pada taqiyyah” [Bihaarul-Anwaar, 83/62].

Apa kepentingan taqiyyah dalam keadaan tersebut ? Apa yang ditakuti ? Apakah hal itu dilakukan hanya untuk ‘menutupi kekeliruan’ imam yang minum setelah adzan berkumandang ?.

عن الرضا أنه نهى عن قراءة المعوذتين في صلاة الفريضة، ولا بأس في النوافل، لأنها من الرقية ليستا من القرآن ادخلوها في القرآن، قال المجلسي: النهي عن قراءة المعوذتين في الفريضة محمول على التقية

Dari Ar-Ridlaa : “Bahwasannya ia melarang membaca surat Al-Mu’awwidzatain dalam shalat fardlu, namun tidak mengapa dalam shalat sunnah. Karena surat tersebut termasuk ruqyah yang bukan termasuk bagian dari Al-Qur’an, namun dimasukkan ke dalam Al-Qur’an”.

Al-Majlisiy berkata : “Larangan untuk membaca Al-Mu’awwidzatain dalam shalat fardlu dibawa pada taqiyyah” [Bihaarul-Anwaar, 85/42].

Apa urusannya taqiyyah dalam melarang membaca surat Al-Mu’awwidzatain dalam shalat fardlu ?. Apa yang ia takutkan dari ‘musuh mereka’ (yaitu Ahlus-Sunnah), padahal mereka (Ahlus-Sunnah) membolehkan membacanya dalam shalat apapun ?. Ketakutan dan kekhawatiran macam apa yang mengharuskan taqiyyah ?.

عن الصادق قال: قال الله عزوجل لموسى عليه السلام: فأخلع نعليك، لأنها كانت من جلد حمار ميت،

Dari Ash-Shaadiq, ia berkata : Allah ‘azza wa jalla berfirman kepada Musa ‘alaihis-salaam : “Lepaskan kedua sandalmu, karena ia terbuat dari (kulit) bangkai keledai”.

Al-Majlisiy berkata : “Nampak bahwa khabar dibawa padataqiyyah”. Hal yang sama dikatakan oleh Al-‘Aamiliy [Bihaarul-Anwaar oleh Al-Majlisiy 83/237 dan Wasaailusy-Syii’ah oleh Al-Hurr Al-‘Aamiliy 4/344].

Jika Pembaca merasa bingung dalam memikirkan alasan taqiyyah dalam riwayat sebelumnya, niscaya akan lebih bingung memikirkan riwayat ini. Siapakah yang menjadi subjek yang melakukan taqiyyah ?. Allah ? Musa ? atau Ash-Shaadiq ?. Seandainya itu dinisbatkan kepada Ash-Shaadiq, ancaman apa kira-kira yang membuatnya bertaqiyyah sehingga berani berdusta atas nama Allah dan Musa ?.

عن علي عليهم السلام قال : ((حرم رسول الله صلى الله عليه وآله يوم خيبر لحوم الحمر الأهلية ونكاح المتعة)).

Dari ‘Aliy ‘alaihis-salaam, ia berkata : “Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa aalihi telah mengharamkan pada hari Khaibar daging keledai kampung/jinak dan nikah mut’ah” [Tahdziibul-Ahkaam oleh Ath-Thuusiy, 7/251].

Ath-Thuusiy berkata : “Pemahaman terhadap atas riwayat ini adalah kami membawanya sebagai satu taqiyyah karena riwayat tersebut berkesesuaian dengan madzhabnya orang-orang awam (baca : Ahlus-Sunnah)” [Al-Ibtishaar 3/142 dan Tahdziibul-Ahkaam 7/251].

Jadi, dalam kasus ini, klaim taqiyyah ini semata-mata hanya karena perkataan ‘Aliy itu kebetulan cocok dengan perkataan Ahlus-Sunnah.

Taqiyah, Rukun Penting dalam Agama Syiah

Taqiyah menjadi ajaran penting dalam agama Syi’ah. Para tokoh syiah membuat berbagai riwayat dusta atas nama ahlul bait, untuk memotivasi umat Syiah agar melakukan taqiyah. Taqiyah mereka jadikan prinsip hidup yang tidak terpisahkan dalam ajaran syiah. Berikut beberapa riwayat dusta atas nama ahlul bait, tentang pentingnya Taqiyah,

Pertama, taqiyah bagian dari agama

Keterangan Al-Kulaini, tokoh syiah ini meriwayatkan dari Ja’far As-Shadiq,

التقية من ديني ودين آبائي ولا إيمان لمن لا تقية له

“Taqiyah bagian dari agamaku dan agama bapak-bapakku. Tidak ada iman bagi orang yang tidak melakukan taqiyah.”

Dia juga meriwayatkan dari Abdullah bin Ja’far,

إن تسعة أعشار الدين في التقية , ولا دين لمن لا تقية له

“Sesungguhnya sembilan persepuluh (90%) bagian agama adalah taqiyah. Tidak ada agama bagi orang yang tidak melakukan taqiyah.”

[Ushul Al-Kafi 2/217, Biharul Anwar 75/423, dan Wasail Syiah 11/460].

Kedua, taqiyah merupakan akhlak paling mulia

Keterangan At-Thusi. Dalam bukunya Al-Amali, dia meriwayatkan dari Ja’far,

ليس منا من لم يلزم التقية , ويصوننا عن سفلة الرعية

“Bukan bagian dariku, orang yang tidak menekuni taqiyah, dan tidak melindungi kami dari rakyat jelata.”

Kemudian dalam Al-Ushul Al-Ashliyah, At-Thusi juga meriwayatkan dari Imam Al-Baqir, bahwa beliau ditanya, ‘Siapakah manusia yang paling sempurna?’ Jawab Imam Al-Baqir,

أعلمهم بالتقية … وأقضاهم لحقوق إخوانه

“Orang yang paling tahu tentang taqiyah.. dan yang paling sempurna dalam menunaikan hak saudaranya.”

Juga diriwayatkan dari Al-Baqir,

أشرف أخلاق الأئمة والفاضلين من شيعتنا استعمال التقية

“Akhlak paling mulia dari para imam dan orang-orang penting dari kelompok kami adalah melakukan taqiyah.”

Kemudian, dalam kitab Al-Mahasin, dari Habib bin Basyir, dari Abu Abdillah,

لا والله ما على الأرض شيء أحب إلي من التقية، يا حبيب إنه من له تقية رفعه الله يا حبيب من لم يكن له تقية وضعه الله

“Demi Allah, tidak ada di muka bumi ini, sesuatu yang lebih aku cintai melebihi taqiyah. Wahai Habib, orang yang melakukan taqiyah, Allah akan angkat derajatnya. Wahai Habib, siapa yang tidak melakukan taqiyah, akan Allah rendahkan.”

Ketiga, taqiyah hukumnya wajib, meninggalkan taqiyah = meninggalkan shalat

Tokoh Syiah Ibnu Babawaih mengatakan,

اعتقادنا في التقية أنها واجبة من تركها بمنزلة من ترك الصلاة

“Keyakinan kami tentang taqiyah, bahwa taqiyah itu wajib. Siapa yang meninggalkan taqiyah, seperti orang yang meninggalkan shalat.” (Al-I’tiqadat, hlm. 114).

Untuk mendukung keterangannya, dia tidak malu untuk berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dengan menyantumkan hadis palsu,

تارك التقية كتارك الصلاة

“Orang yang meninggalkan taqiyah, sama dengan orang yang meninggalkan shalat.”
[Simak Jami’ Al-Akhbar, hlm. 110 dan Bihar Al-Anwar, 75/412]

Dalam bukunya Al-Makasib Al-Muharramah, Khomaini mengatakan,

فلا شبهة في عدم احترامهم، بل هو من ضروري المذهب كما قال المحققون، بل الناظر في الأخبار الكثيرة في الأبواب المتفرقة لا يرتاب في جواز هتكهم والوقيعة فيهم، بل الأئمة المعصومون أكثروا في الطعن واللعن عليهم، وذكر مساويهم… والظاهر منها جواز الافتراء والقذف عليهم.

“Tidak ada lagi keraguan, bahwa mereka (ahlus sunah), tidak memiliki kehormatan. Bahkan itu bagian prinsip penting dalam madzhab syiah, sebagaimana yang disampaikan ulama. Orang yang mempelajari berbagai riwayat yang banyak dalam berbagai kajian yang berbeda, tidak akan ragu tentang bolehnya merusak mereka dan menyakiti mereka. Bahkan para imam maksum, sangat sering mencela, melaknat, serta menghina mereka (ahlus sunah)….dan yang zahir, boleh membuat kedustaan dan melemparkan kedustaan kepada mereka”
[Al-Makasib Al-Muharramah, Al-Khumaini, Muassasah Ismailiyan, cet. Ketiga, 1410 H. Jilid 1, hlm. 251 – 252].

Hal yang sama juga disampaikan Al-Khou’i – salah satu tokoh syiah yang sangat membenci ahlus sunah,

… وأما هجو المخالفين أو المبدعين في الدين فلا شبهة في جوازه؛ لأنه قد تقدم في مبحث الغيبة، أن المراد بالمؤمن هو القائل بإمرة الإثني عشر (عليهم السلام)، … ومن الواضح أن ما دل على حرمة الهجو مختص بالمؤمن من الشيعة، فيخرج غيرهم عن حدود حرمة الهجو موضوعاً…. أنه قد تقتضي المصلحة الملزمة جواز بهتهم والإزراء عليهم، وذكرهم بما ليس فيهم افتضاحاً لهم، والمصلحة في ذلك استبانة شؤونهم لضعفاء المؤمنين، حتى لا يغتروا بآرائهم الخبيثة

“Menghina kaum yang menyimpang atau para pelaku bid’ah dalam agama (ahlus sunah), tidak samarnya, hukumnya boleh. Sebagaimana pembahasan ghibah yang telah lewat, bahwa yang dimaksud orang mukmin adalah mereka yang mengikuti prinsip kepemimpinan imam dua belas ‘alaihimus salam,… dan sangat jelas, dalil yang menunjukkan larangan menghina, hanya tertuju kepada orang syiah yang beriman. Sehingga tidak termasuk selain syiah, mereka di luar batas larangan penghinaan.… Berdasarkan tuntutan kemaslahatan yang kuat, boleh memfitnah mereka, melemparkan kedustaan kepada mereka, menyebutkan kesalahan yang tidak mereka lakukan, untuk mempermalukan mereka. Bentuk maslahat dalam hal ini adalah membeberkan keadaan buruk mereka, mengingat kaum muskminin (baca: Syiah) masih lemah. Sehingga syiah yang lemah iman ini tidak tertipu dengan pemikiran buruk mereka…”
[Misbah Al-Faqahah, Al-Khou’i, penerbit Al-Ilmiah, Qom, cet. Pertama, jilid 1, hlm. 700 – 701].

Allahul musta’an, seperti itulah kebencian mereka terhadap kaum muslimin. Berlindunglah kepada Allah, agar anda tidak menjadi salah satu korban kekejaman mereka.

Para Pembaca dapat lihat bagaimana praktek taqiyyah orang-orang Syi’ah. Masih banyak lagi riwayat yang dapat disebutkan, namun saya rasa sedikit contoh di atas cukup memberikan keterangan bagi mereka yang masih sehat akalnya.

NB : Kita tidak pernah menafikkan keberadaan taqiyyah, karena ia disyari’atkan dalam kondisi-kondisi tertentu. Taqiyyah menurut legalitas syari’at bermakna menyembunyikan keimanan karena tidak mampu menampakkannya ditengah-tengah orang kafir dalam rangka menjaga jiwa, kehormatan dan hartanya dari kejahatan mereka.

Iman Adalah Perbuatan


Termaktub Dalam Hadits

حَدَّثَنَا زُهَيْرُ بْنُ حَرْبٍ حَدَّثَنَا جَرِيرٌ عَنْ سُهَيْلٍ عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ دِينَارٍ عَنْ أَبِي صَالِحٍ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ

Telah menceritakan kepada kami Zuhair bin Harb : Telah menceritakan kepada kami Jariir bin Suhail, dari ‘Abdullah bin Diinaar dari Abu Shaalih, dari Abu Hurairah, ia berkata : Telah bersabda Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam : “Iman itu ada tujuh puluh, atau enam puluh lebih cabang. Yang paling utama adalah perkataan : Laa ilaha illallaah (Tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah). Dan yang paling rendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan malu itu adalah salah satu cabang dari iman” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 35].

Hadits di atas menjelaskan bahwa cabang-cabang atau bagian-bagian iman itu tidaklah berada dalam satu tingkatan. Sebagian lebih utama daripada sebagian yang lain. Dan termasuk ‘aqidah Ahlus-Sunnah adalah bahwa iman terbagi menjadi pokok (al-ashl) dan cabang (al-far’u).

Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :

وقال جمهور أهل الإرجاء الإيمان هو فعل القلب واللسان جميعا
 وقالت الخوارج الإيمان فعل الطاعات المفترضة كلها بالقلب واللسان وسائر الجوارح
وقال أهل الجماعة الإيمان هي الطاعات كلها بالقلب واللسان وسائر الجوارح غير أن له أصلا وفرعا

“Dan jumhur orang Murji’ah berkata : iman itu perbuatan hati dan lisan seluruhnya. Orang-orang Khawarij berkata : iman itu semua perbuatan ketaatan yang diwajibkan, dengan hati, lisan, dan anggota tubuh (jawaarih). ...... Dan Ahlus-Sunnah berkata : iman itu seluruh ketaatan yang dilakukan oleh hati, lisan, dan seluruh anggota badan, dimana ia mempunyai pokok (al-ashl) dan cabang (al-far’)” [Al-Iimaan, 1/331].

Apa yang dimaksud ashlul-iimaan ??

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

قالَ تعالى ثُمَّ أَوْرَثْنَا الْكِتَابَ الَّذِينَ اصْطَفَيْنَا مِنْ عِبَادِنَا فَمِنْهُمْ ظَالِمٌ لِنَفْسِهِ وَمِنْهُمْ مُقْتَصِدٌ وَمِنْهُمْ سَابِقٌ بِالْخَيْرَاتِ بِإِذْنِ اللَّهِ ذَلِكَ هُوَ الْفَضْلُ الْكَبِيرُ [فاطر : 32] ، فالمسلمُ الّذي لم يقمْ بواجبِ الإيمانِ هوَ الظّالمُ لنفسِه ، والمقتصدُ هوَ المؤمنُ المُطلقُ الّذي أدّى الواجبَ وتركَ المحرّم ، والسابقُ بالخيراتِ هوَ المُحسِنُ الّذي عبَدَ اللهَ كأنّه يراه

“Allah ta’ala berfirman : ‘Kemudian Kitab itu Kami wariskan kepada orang-orang yang Kami pilih di antara hamba-hamba Kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan di antara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. Yang demikian itu adalah karunia yang amat besar’ (QS. Faathir : 32). Muslim yang tidak menegakkan kewajiban iman, maka ia disebut orang yang dhalim terhadap dirinya sendiri. Orang yang pertengahan (al-muqtashid) adalah orang yang mempunyai keimanan mutlak (al-mu’minul-muthlaq) yang menunaikan kewajiban dan meninggalkan yang diharamkan. Adapun orang yang bersegera dalam kebaikan, ia adalah seorang muhsin yang menyembah Allah seakan-akan ia melihat-Nya” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/358].

Asy-Syaikh As-Sa’diy rahimahullah ketika menjelaskan golongan pertama (adh-dhaalimu li-nafsihi) yang disebut Syaikhul-Islaam di atas, berkata :

وهم الذين تجرءوا على بعض المحرمات ، وقصروا فيِ بعض الواجبات مع بقاء أصل الإيمان معهم

“Mereka adalah orang yang berani mengerjakan sebagian yang diharamkan dan kurang/lalai dalam mengerjakan sebagian kewajiban, bersamaan dengan keberadaan pokok iman (ashlul-iimaan) bersamanya” [At-Tanbiihaat Al-Lathiifah, hal. 92].

Al-Haafidh Ibnu Mandah rahimahullah berkata :

فأصله المعرفة بالله والتصديق له وبه وبما جاء من عنده بالقلب واللسان مع الخضوع له والحب له والخوف منه والتعظيم له مع ترك التكبر والاستنكاف والمعاندة فإذا أتى بهذا الأصل فقد دخل في الإيمان ولزمه اسمه وأحكامه ولا يكون مستكملا له حتى يأتي بفرعه وفرعه المفترض عليه أو الفرائض واجتناب المحارم

“Dan pokok iman adalah : ma’rifat kepada Allah, membenarkan-Nya dan apa-apa yang datang dari-Nya dengan hati dan lisan, dengan ketundukan kepada-Nya, mencintai-Nya, takut kepada-Nya, mengangungkan-Nya. Serta meninggalkan kesombongan, penolakan, dan penentangan. Apabila seseorang mempunyai pokok iman ini, maka ia masuk dalam (wilayah) iman, dan mengkonsekuensikan padanya akan namanya (yaitu mukmin) dan hukum-hukumnya. Dan tidak sempurna iman seseorang hingga ia mengerjakan cabangnya, dan cabangnya itu adalah hal-hal yang diwajibkan padanya, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan” [Al-Iimaan, 1/331-332].

Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :

ومعلومٌ أنّ الجنة إنما يستحقّ دخولها بالتصديق بالقلب مع شهادة اللسان، وبهما يخرجُ من يخرجُ من أهل النار فيدخلُ الجنة.

“Dan telah diketahui bahwasannya surga hanyalah berhak dimasuki dengan adanya tashdiiq (pembenaran) hati dan syahaadat lisan. Dan dengan keduanya lah dikeluarkan penduduk neraka yang kemudian masuk ke dalam surga” [Fathul-Baariy li-Ibni Rajab, 1/112].

Tashdiq dengan hati dan pengikraran syahadat dengan lisan itulah ashlul-iimaan sebagaimana perkataan para ulama di atas.

Allah ta’ala berfirman :

إِنَّ الَّذِينَ قَالُوا رَبُّنَا اللَّهُ ثُمَّ اسْتَقَامُوا فَلا خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلا هُمْ يَحْزَنُونَ

“Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: "Tuhan kami ialah Allah", kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita” [QS. Al-Ahqaaf : 13].

حَدَّثَنَا صَدَقَةُ بْنُ الْفَضْلِ، حَدَّثَنَا الْوَلِيدُ، عَنْ الْأَوْزَاعِيِّ، قَالَ: حَدَّثَنِي عُمَيْرُ بْنُ هَانِئٍ، قَالَ: حَدَّثَنِي جُنَادَةُ بْنُ أَبِي أُمَيَّةَ، عَنْ عُبَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ، عَنِ النَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ: " مَنْ شَهِدَ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيكَ لَهُ، وَأَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ، وَأَنَّ عِيسَى عَبْدُ اللَّهِ وَرَسُولُهُ وَكَلِمَتُهُ أَلْقَاهَا إِلَى مَرْيَمَ وَرُوحٌ مِنْهُ وَالْجَنَّةُ حَقٌّ وَالنَّارُ حَقٌّ أَدْخَلَهُ اللَّهُ الْجَنَّةَ عَلَى مَا كَانَ مِنَ الْعَمَلِ "

Telah menceritakan kepada kami Shadaqah bin Al-Fadhl: Telah menceritakan kepada kami Al-Waliid, dari Al-Auza’iy, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku ‘Umairah bin Haani’, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Junaadah bin Abi Umayyah, dari ‘Ubaadahradliyallaahu ‘anhu, dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda : “Barangsiapa yang bersyahadat/bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah selain Allah saja, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan Muhammad adalah utusan-Nya; dan (bersyahadat/bersaksi) bahwasannya ‘Iisaa adalah hamba dan utusan-Nya, serta kalimat-Nya yang disampaikan kepada Maryam, dan ruh daripada-Nya; dan (bersaksi) bahwasannya surga itu benar, neraka adalah benar; maka Allah akan memasukkannya ke dalam surga betapa pun amal yang telah diperbuatnya” [Diriwayatkan oleh Al-Bukhaariy no. 3435].

Dari perkataan para imam di atas – yang merupakan interpretasi ‘aqidah Ahlus-Sunnah – dapat dipahami bahwa hukum kekafiran tidaklah tetap – dari sisi meninggalkan (at-tarku) – dengan kesepakatan (ijmaa’), hingga ia meninggalkan ashlul-iimaan.

Timbul pertanyaan :

Apakah amal jawaarih (anggota badan) bukan termasuk bagian dari ashlul-imaan ?.

Menurut jumhur Ahlus-Sunnah : Tidak. Amal jawaarih termasuk bagian dari furuu’ul-iimaan, dan ia adalah penyempurnanya (kamaalul-iimaan).

Al-Imaam Al-Baihaqiy rahimahullah berkata :

ذهبَ أكثرُ أصحابِ الحديثِ إِلىَ أنّ اسمَ الإيمانِ يجمَعُ الطاعاتِ كلِّها فرضِها ونفلِها ، وأنّها عَلى ثلاثةِ أقسامٍ :
فقِسمٌ يكفُرُ بتركِه وَهُوَ اعتقادُ ما يجِبُ اعتقادُه وإقرارٌ بِما اعتقدَه .
وقِسمٌ يفسُقُ بتركِه أو يعصِي ولاَ يكفُرُ بهِ إذا لَم يجحَدْه وَهُوَ مفروضُ الطّاعاتِ كالصّلاةِ والزّكاةِ والصّيامِ والحَجّ واجتنابِ المحارِمِ .
وقِسمٌ يكونُ بتركِه مخطِئاً لِلأَفضَلِ غيرَ فاسِقٍ ولاَ كافِرٍ وَهُوَ ما يكونُ مِن العبادَاتِ تَطوّعاً

“Jumhur ahlul-hadiits berpendapat bahwa nama iman itu mengumpulkan semua ketaatan, baik yang wajib/fardlumaupun yang sunnah. Dan iman itu terbagi menjadi tiga bagian : Pertama, bagian yang mengkafirkan apabila ditinggalkan, yaitu i’tiqaad terhadap semua hal yang diwajibkan i’tiqaad-nya, serta mengikrarkan apa-apa yang di-i’tiqad-kannya itu. Kedua, bagian yang menyebabkan kefasiqan atau bermaksiat apabila ditinggalkan, namun tidak menyebabkan kekafiran apabila ia tidak mengingkarinya. Hal itu adalah ketaatan-ketaatan yang diwajibkan, seperti shalat, zakat, puasa, haji, dan menjauhi yang diharamkan. Ketiga, bagian yang bila ditinggalkan menjadikan seseorang keliru/terluput akan hal-hal yang lebih utama, tanpa menyebabkan kefasikan ataupun kekafiran. Hal itu seperti pada ibadah-ibadah tathawwu’(sunnah)” [Al-I’tiqaad, hal. 202].

Bagian pertama yang dikatakan Al-Baihaqiy adalah ashlul-imaan – sebagaimana menjadi bahasan - , karena sesuatu yang menyebabkan kafirnya seorang muslim apabila ditinggalkan hanyalah ashlul-iimaan sebagaimana telah lewat penjelasannya. Bagian kedua dan ketiga adalahfuruu’ul-iimaan yang tidak menyebabkan kekafiran jika ditinggalkan.

Al-Imaam Al-Marwadziy rahimahullah berkata :

لأن البي صلى الله عليه وسلم سمّى لإيمانَ بالأصل وبالفروع، وهو الإقرارُ، والأعمال....... فجعلَ أصلَ الإيمانِ الشهادة، وسائرَ الأعمال شُعباً، ثمّ أخبرَ أنّ الإيمان يكمل بعد أصلهِ بالأعمالِ الصّالحة....

“Karena Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menamakan iman dengan ashl (pokok) dan furuu’ (cabang); dan ia adalah iqraar dan amal-amal…… Dan beliau menjadikanashlul-iimaan syahadat, dan menjadikan seluruh amal cabang-cabang. Kemudian beliau mengkhabarkan bahwasannya iman disempurnakan setelah pokoknya dengan amal-amal shaalihah….” [Ta’dhiimu Qadrish-Shalaah, 2/711-712].

Dan telah lewat perkataan Ibnu Mandah rahimahullah :

ولا يكون مستكملا له حتى يأتي بفرعه وفرعه المفترض عليه أو الفرائض واجتناب المحارم

“Dan tidak sempurna iman seseorang hingga ia mengerjakan cabangnya, dan cabangnya itu adalah hal-hal yang diwajibkan padanya, dan menjauhi hal-hal yang diharamkan” [Al-Iimaan, 1/331-332].

Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata :

الدّينُ القائمُ بالقلبِ من الإيمانِ علماً وحالاً هو الأصل ، والأعمالُ الظّاهرةُ هي الفروعُ  ، وهي كمالُ الإيمانِ

“Agama yang tegak dengan keimanan di hati secara ilmu dan keadaannya, merupakan pokok. Dan amal-amaldhaahir merupakan cabang-cabang (iman), dan ia adalah kesempurnaan iman” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/354].

Dikuatkan pula oleh beberapa perkataan ulama yang tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan amal jawaarihsebagai berikut :

Al-Imaam Asy-Syaafi’iy berkata – sebagaimana dinukil oleh Asy-Syiiraaziy rahimahumallah - :

الإيمان هو التصديق والإقرار والعمل، فالمخلُّ بالأول وحده منافق، وبالثاني وحده كافر، وبالثالث وحده فاسق ينجو من الخلود النار ويدخل في الجنة

“Iman itu adalah tashdiiq, iqraar, dan amal. Ketiadaan hal pertama saja, maka ia munafik. Ketiadaan hal kedua saja, maka ia kafir. Dan ketiadaan hal ketiga saja, maka ia fasik yang selamat dari kekekalan neraka dan (kemudian) masuk ke dalam surga” [‘Umdatul-Qaari’, 1/175].

Tentang riwayat Al-Imaam Ahmad rahimahullah, anaknya – Shaalih bin Ahmad – berkata :

سألت أبي عمن يقول : الإيمان يزيد وينقص، ما زيادته ونقصانه ؟. فقال : زيادته بالعمل ونقصانه بترك العمل، مثل تركه : الصلاة والحج وأداء الفرائض......

Aku pernah bertanya kepada ayahku tentang orang yang berkata : ‘Iman itu bisa bertambah dan berkurang. Apakah penambahan dan pengurangannya ?’. Ia (Ahmad) menjawab : ‘Penambahannya adalah dengan amal dan pengurangannya adalah dengan meninggalkan amal. Contoh meninggalkan amal adalah : shalat, haji, dan penunaian berbagai kewajiban....” [Masaailu Al-Imaam Ahmad bi-Riwayaat Abil-Fadhl Shaalih, 2/119].

Al-Imaam Abul-Qaasim Al-Ashbahaaniy rahimahullah berkata :

الإيمان والإسلام اسمان لمعنين : فالإسلام : عبارة عن الشهادتين مع التصديق بالقلب. والإيمان : عبارة عن جميع الطاعات؛ خلافا لمن قال : الإسلام والإيمان سواء إذا حصلت معه الطمأنينة

“Iman dan Islam itu adalah dua nama untuk dua makna. Islam adalah perkataan/ungkapan dari dua kalimat syahadat bersamaan dengan pembenaran/tashdiiq dengan hati. Dan iman adalah perkataan/ungkapan dari seluruh ketaatan. Hal ini berbeda dengan orang yang mengatakan bahwa Islam dan iman itu sama (maknanya) apabila terdapat bersamanya thuma’niinah” [Al-Hujjah fii Bayaanil-Mahajjah, 1/406].

حَدَّثَنِي سُوَيْدُ بْنُ سَعِيدٍ قَالَ حَدَّثَنِي حَفْصُ بْنُ مَيْسَرَةَ عَنْ زَيْدِ بْنِ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ مرفوعا : حَتَّى إِذَا خَلَصَ الْمُؤْمِنُونَ مِنْ النَّارِ فَوَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ مَا مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ بِأَشَدَّ مُنَاشَدَةً لِلَّهِ فِي اسْتِقْصَاءِ الْحَقِّ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ لِلَّهِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لِإِخْوَانِهِمْ الَّذِينَ فِي النَّارِ يَقُولُونَ رَبَّنَا كَانُوا يَصُومُونَ مَعَنَا وَيُصَلُّونَ وَيَحُجُّونَ فَيُقَالُ لَهُمْ أَخْرِجُوا مَنْ عَرَفْتُمْ فَتُحَرَّمُ صُوَرُهُمْ عَلَى النَّارِ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا قَدْ أَخَذَتْ النَّارُ إِلَى نِصْفِ سَاقَيْهِ وَإِلَى رُكْبَتَيْهِ ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا مَا بَقِيَ فِيهَا أَحَدٌ مِمَّنْ أَمَرْتَنَا بِهِ فَيَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا أَحَدًا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ نِصْفِ دِينَارٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا مِمَّنْ أَمَرْتَنَا أَحَدًا ثُمَّ يَقُولُ ارْجِعُوا فَمَنْ وَجَدْتُمْ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ مِنْ خَيْرٍ فَأَخْرِجُوهُ فَيُخْرِجُونَ خَلْقًا كَثِيرًا ثُمَّ يَقُولُونَ رَبَّنَا لَمْ نَذَرْ فِيهَا خَيْرًا وَكَانَ أَبُو سَعِيدٍ الْخُدْرِيُّ يَقُولُ إِنْ لَمْ تُصَدِّقُونِي بِهَذَا الْحَدِيثِ فَاقْرَءُوا إِنْ شِئْتُمْ { إِنَّ اللَّهَ لَا يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ وَإِنْ تَكُ حَسَنَةً يُضَاعِفْهَا وَيُؤْتِ مِنْ لَدُنْهُ أَجْرًا عَظِيمًا } فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ شَفَعَتْ الْمَلَائِكَةُ وَشَفَعَ النَّبِيُّونَ وَشَفَعَ الْمُؤْمِنُونَ وَلَمْ يَبْقَ إِلَّا أَرْحَمُ الرَّاحِمِينَ فَيَقْبِضُ قَبْضَةً مِنْ النَّارِ فَيُخْرِجُ مِنْهَا قَوْمًالَمْ يَعْمَلُوا خَيْرًا قَطُّ قَدْ عَادُوا حُمَمًا فَيُلْقِيهِمْ فِي نَهَرٍ فِي أَفْوَاهِ الْجَنَّةِ يُقَالُ لَهُ نَهَرُ الْحَيَاةِ فَيَخْرُجُونَ كَمَا تَخْرُجُ الْحِبَّةُ فِي حَمِيلِ السَّيْلِ أَلَا تَرَوْنَهَا تَكُونُ إِلَى الْحَجَرِ أَوْ إِلَى الشَّجَرِ مَا يَكُونُ إِلَى الشَّمْسِ أُصَيْفِرُ وَأُخَيْضِرُ وَمَا يَكُونُ مِنْهَا إِلَى الظِّلِّ يَكُونُ أَبْيَضَ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَأَنَّكَ كُنْتَ تَرْعَى بِالْبَادِيَةِ قَالَ فَيَخْرُجُونَ كَاللُّؤْلُؤِ فِي رِقَابِهِمْ الْخَوَاتِمُ يَعْرِفُهُمْ أَهْلُ الْجَنَّةِ هَؤُلَاءِ عُتَقَاءُ اللَّهِ الَّذِينَ أَدْخَلَهُمْ اللَّهُ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ عَمَلٍ عَمِلُوهُ وَلَا خَيْرٍ قَدَّمُوهُثُمَّ يَقُولُ ادْخُلُوا الْجَنَّةَ فَمَا رَأَيْتُمُوهُ فَهُوَ لَكُمْ فَيَقُولُونَ رَبَّنَا أَعْطَيْتَنَا مَا لَمْ تُعْطِ أَحَدًا مِنْ الْعَالَمِينَ فَيَقُولُ لَكُمْ عِنْدِي أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُونَ يَا رَبَّنَا أَيُّ شَيْءٍ أَفْضَلُ مِنْ هَذَا فَيَقُولُ رِضَايَ فَلَا أَسْخَطُ عَلَيْكُمْ بَعْدَهُ أَبَدًا

Telah menceritakan kepadaku Suwaid bin Sa'iid, ia berkata : Telah menceritakan kepadaku Hafsh bin Maisarah, dari Zaid bin Aslam, dari 'Atha' bin Yasaar, dari Abu Sa'iid Al-Khudriy secara marfu’ : “…… Sehingga ketika orang-orang mu'min terbebas dari neraka, maka demi Dzat yang jiwaku berada ditangan-Nya, tidaklah salah seorang dari kalian yang begitu gigih memohon kepada Allah di dalam menuntut al-haq pada hari kiamat untuk saudara-saudaranya yang berada di dalam neraka. Mereka berseru : ‘Wahai Rabb kami, mereka selalu berpuasa bersama kami, shalat bersama kami, dan berhaji bersama kami.” Maka dikatakan kepada mereka; “Keluarkanlah orang-orang yang kalian ketahui.” Maka bentuk-bentuk mereka hitam kelam karena terpanggang api neraka, kemudian mereka mengeluarkan begitu banyak orang yang telah dimakan neraka sampai pada pertengahan betisnya dan sampai kedua lututnya. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, tidak tersisa lagi seseorang pun yang telah engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat dinar, maka keluarkanlah dia’. Mereka pun mengeluarkan jumlah yang begitu banyak, kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak meninggalkan di dalamnya seorangpun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka barangsiapa yang kalian temukan didalam hatinya kebaikan seberat setengah dinar, maka keluarkanlah dia’. Maka mereka pun mengeluarkan jumlah yang banyak. Kemudian mereka berkata lagi : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya seorang pun yang telah Engkau perintahkan kepada kami’. Kemudian Allah berfirman : ‘Kembalilah kalian, maka siapa saja yang kalian temukan di dalam hatinya kebaikan seberat biji jagung, keluarkanlah’. Maka merekapun kembali mengeluarkan jumlah yang begitu banyak. Kemudian mereka berkata : ‘Wahai Rabb kami, kami tidak menyisakan di dalamnya kebaikan sama sekali”. Abu Sa'iid Al-Khudriy berkata : "Jika kalian tidak mempercayai hadits ini silahkan kalian baca ayat : ‘Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah, dan jika ada kebajikan sebesar dzarrah, niscaya Allah akan melipat gandakannya dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar’ (QS. An-Nisaa’ : 40). Allah lalu berfirman : ‘Para Malaikat, Nabi, dan orang-orang yang beriman telah memberi syafa’at. Sekarang yang belum memberikan syafa’at adalah Dzat Yang Maha Pengasih’. Kemudian Allah menggenggam satu genggaman dari dalam neraka. Dari dalam tersebut Allah mengeluarkan suatu kaum yang sama sekali tidak pernah melakukan kebaikan, dan mereka pun sudah berbentuk seperti arang hitam. Allah kemudian melemparkan mereka ke dalam sungai di depan surga yang disebut dengan sungai kehidupan. Mereka kemudian keluar dari dalam sungai layaknya biji yang tumbuh di aliran sungai, tidakkah kalian lihat ia tumbuh (merambat) di bebatuan atau pepohonan mengejar (sinar) matahari. Kemudian mereka (yang tumbuh layaknya biji) ada yang berwarna kekuningan dan kehijauan, sementara yang berada di bawah bayangan akan berwarna putih". Para sahabat kemudian bertanya : "Seakan-akan engkau sedang menggembala di daerah orang-orang badui ?”. Beliau melanjutkan : "Mereka kemudian keluar seperti mutiara, sementara di lutut-lutut mereka terdapat cincin yang bisa diketahui oleh penduduk surga. Dan mereka adalah orang-orang yang Allah merdekakan dan Allah masukkan ke dalam surga tanpa amalan yang pernah mereka amalkan dan kebaikan yang mereka lakukan. Allah kemudian berfirman : ‘Masuklah kalian ke dalam surga. Apa yang kalian lihat maka itu akan kalian miliki’. Mereka pun menjawab : ‘Wahai Rabb kami, sungguh Engkau telah memberikan kepada kami sesuatu yang belum pernah Engkau berikan kepada seorang pun dari penduduk bumi’. Allah kemudian berfirman : ‘(Bahkan) apa yang telah Kami siapkan untuk kalian lebih baik dari ini semua’. Mereka kembali berkata : ‘Wahai Rabb, apa yang lebih baik dari ini semua!’. Allah menjawab : "Ridla-Ku, selamanya Aku tidak akan pernah murka kepada kalian” [Diriwayatkan oleh Muslim no. 302].

Al-Haafidh Ibnu Rajab rahimahullah berkata :

والمرادُ بقولِه «لُم يعملُوا خَيراً قَط» مِن أعمالِ الجَوارِح ، وإن كانَ أصلُ التَّوحِيد معَهُم ، ولِهذَا جاءَ في حديثِ الّذِي أمرَ أهلَه أن يحرِقوُه بعدَ موتِه بالنّارِ إنه «لم يعَمَل خَيراً قَط غيرَ التَّوحِيد»

“Dan yang dimaksudkan dengan sabda beliau : ‘tidak beramal kebaikan sedikitpun’, yaitu dari amal-amal jawaarih(anggota badan), apabila ashlut-tauhiid (pokok tauhid) ada pada mereka. Oleh karena itu ada pada hadits yang mengkisahkan seseorang yang memerintahkan keluarganya agar membakarnya dengan api setelah kematiannya, bahwasannya ia tidak beramal kebaikan sedikit pun selain tauhiid” [At-Takhwiif minan-Naar, 1/259].

Al-Qurthubiy rahimahullah berkata :

قالَ : «ثمّ هُوَ سُبحانَه بعدَ ذلِكَ يقبِضُ قَبضةً فَيُخرِجُ قوماًلمَ يعمَلُوا خَيراً قَط ، يُرِيدُ إلاّ التّوحيدَ المجرّدَ عَن الأعمَالِ

“Beliau shalallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda : ‘Kemudian setelah itu Allah menggenggam satu genggaman, lalu Allah mengeluarkan satu kaum yang belum pernah melakukan kebaikan sedikitpun’. Maksudnya : Kecuali tauhid yang kosong dari amal (jawaarih)” [Fathul-Majiid, hal. 48, Cet. 7/1377].

Al-Haafidh Ibnu Katsiir rahimahullah berkata :

فيخرجون أولا من كان في قلبه مثقال دينار من إيمان، ثم الذي يليه، ثم الذي يليه، [ثم الذي يليه] حتى يخرجوا من كان في قلبه أدنى أدنى أدنى مثقال ذرة من إيمان ثم يخرج الله من النار من قال يومًا من الدهر: "لا إله إلا الله" وإن لم يعمل خيرًا قط، ولا يبقى في النار إلا من وجب عليه الخلود، كما وردت بذلك الأحاديث الصحيحة عن رسول الله صلى الله عليه وسلم؛ ولهذا قال تعالى: { ثُمَّ نُنَجِّي الَّذِينَ اتَّقَوْا وَنَذَرُ الظَّالِمِينَ فِيهَا جِثِيًّا }

“Lalu akan keluar pertama kali (dari neraka) orang-orang yang dalam hatinya terdapat keimanan seberat dinar, kemudian orang setelahnya, kemudian orang setelahnya. Hingga keluar dari dari mereka orang yang dalam hatinya terdapat keimanan seberat dzarrah. Kemudian Allah mengeluarkan dari neraka orang yang pernah mengucapkan Laa ilaaha illallaah ketika masa hidupnya, meskipun belum pernah beramal kebaikan sedikitpun. Dan tidaklah tersisa di neraka kecuali orang yang memang diwajibkan kekal di dalamnya, sebagaimana terdapat dalam hadits shahih dari Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu Allah ta’ala berfirman : ‘Kemudian Kami akan menyelamatkan orang-orang yang bertakwa dan membiarkan orang-orang yang lalim di dalam neraka dalam keadaan berlutut’ (QS. Maryam : 72)” [Tafsiir Ibni Katsiir, 5/256-257].

Asy-Syaikh Muhammad Khaliil Harraas rahimahullah berkata ketika mengomentari perkataan Ibnu Khuzaimah dalam kitab At-Tauhiid :

لا، بل ظاهرها : أنهم لم يعملوا خيرا قط كما صرح به في بعض الروايات أنهم جاءوا بإيمان مجرد لم يضموا إليه شيئا من العمل

“Tidak, bahkan maknanya sebagaimana dhahirnya : Bahwasannya mereka tidak pernah beramal kebaikan sedikitpun sebagaimana dijelaskan dalam sebagian riwayat bahwasannya mereka datang dengan iman saja, tanpa menyertakan padanya amal sedikitpun” [Tahqiq Kitaab At-Tauhiid li-Ibni Khuzaimah, hal. 309].

Dan yang lainnya dari perkataan ulama.

حَدَّثَنَا أَبُو أُسَامَةَ، عَنْ جَرِيرِ بْنِ حَازِمٍ، ثنا عِيسَى بْنُ عَاصِمٍ، حَدَّثَنِي عَدِيُّ بْنُ عَدِيٍّ، قَالَ: كَتَبَ إِلَيَّ عُمَرُ بْنُ عَبْدِ الْعَزِيزِ: " أَمَّا بَعْدُ، فَإِنَّ الإِيمَانَ فَرَائِضُ، وَشَرَائِعُ، وَحُدُودٌ، وَسُنَنٌ، فَمَنِ اسْتَكْمَلَهَا اسْتَكْمَلَ الإِيمَانَ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَكْمِلْهَا لَمْ يَسْتَكْمِلِ الإِيمَانَ......"

Telah menceritakan kepada kami Abu Usaamah, dari Jariir bin Haazim: Telah menceritakan kepada kami ‘Iisaa bin ‘Aashim : Telah menceritakan kepadaku ‘Adiy bin ‘Adiy, ia berkata : “’Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz pernah menulis surat kepadaku : ‘Amma ba’du, sesungguhnya iman itu berupa perkara-perkara yang diwajibkan, syari’at-syari’at, huduud, dan sunnah-sunnah. Barangsiapa yang menyempurnakannya, maka sempurna imannya. Dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka tidaklah sempurna imannya......” [Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dalam Al-Iimaan no. 135; shahih].

Sisi pendalilan dari atsar ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz rahimahullah ini : Kewajiban dan syari’at-syari’at Islam dimasukkan olehnya (‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz) sebagai penyempurna iman yang barangsiapa meninggalkannya, maka imannya tidak sempurna, lagi tidak dikafirkan.

Asy-Syaikh Haafidh bin Ahmad Al-Hakamiy rahimahullah berkata :

و الفرق بين هذا و بين قول السلف الصالح أنَّ السلف لم يجعلوا كل الأعمال شرطاً في الصحة، بل جعلوا كثيراً منها شرطاً في الكمال، كما قال عمر بن عبد العزيز فيها: من استمكلها استكمل الإيمان، و من لم يستمكلها لم يستكمل الإيمان. و المعتزلة جعلوها كلها شرطاً في الصحة و الله أعلم

“Dan perbedaan antara perkatan ini dengan perkataan as-salafush-shaalih bahwasannya salaf tidak menjadikan semua amal sebagai syarat keshahihan (iman). Bahkan mereka menjadikan kebanyakan amal sebagai syarat kesempurnaan (iman), sebagaimana dikatakan ‘Umar bin ‘Abdil-‘Aziiz padanya : ‘Barangsiapa yang menyempurnakannya, maka imannya sempurna. Dan barangsiapa yang tidak menyempurnakannya, maka imannya tidak sempurna’. Adapun Mu’tazilah telah menjadikan seluruh amal sebagai syarat keshahihan iman.Wallaahu a’lam” [Ma’aarijul-Qabuul, hal. 446].

Mafhum perkataan Al-Baihaqiy di atas, bahwa ada sebagian ulama yang tidak berpendapat sebagaimana dijelaskan. Memang benar, ini tidak terlepas dari bahasan kafir tidaknya orang yang meninggalkan amal yang menjadi bagian dari rukun Islam yang empat. Para ulama berselisih pendapat tentangnya, sebagaimana dikatakan Syaikhul-Islaam Ibnu Taimiyyah rahimahullah :

وقد اتفق المسلمون على أنه من لم يأت بالشهادتين فهو كافر، وأما الأعمال الأربعة فاختلفوا في تكفير تاركها،

“Dan kaum muslimin telah sepakat bahwa barangsiapa yang tidak mengucapkan dua kalimat syahadat, maka ia kafir. Adapun amal-amal yang empat, para ulama berselisih pendapat akan pengkafiran yang meninggalkannya......” [Majmuu’ Al-Fataawaa, 7/302].

Kemudian beliau menyebutkan pendapat-pendapat tersebut, yang diantaranya beliau berkata :

وخامسة‏:‏ لا يكفر بترك شيء منهن، وهذه أقوال معروفة للسلف‏

“Pendapat kelima, beliau (Ahmad bin Hanbal) tidak mengkafirkan orang yang meninggalkan sesuatu dari keempat hal tersebut. Inilah pendapat-pendapat yang dikenal oleh salaf” [selesai].

Misalnya tentang permasalahan shalat, Abu Ismaa’iil Ash-Shaabuniy rahimahullah (373-449 H) berkata :

واختلف أهل الحديث في ترك المسلم صلاة الفرض متعمداً ؛ فكفره بذلك أحمد بن حنبل ، وجماعة من علماء السلف رحمهم الله أجمعين ، وأخرجوه به من الإسلام، للخبر الصحيح المروي عن النبي صلى الله عليه وسلم أنه قال : (بين العبد والشرك ترك الصلاة ، فمن ترك الصلاة فقد كفر).

   وذهب الشافعي ، وأصحابه، وجماعة من علماء السلف- رحمة الله عليهم أجمعين – إلى أنه لا يكفر به – ما دام معتقداً لوجوبها – وإنما يتوجب القتل كما يستوجبه المرتد عن الإسلام . وتأولوا الخبر : من ترك الصلاة جاحداً لها ؛ كما أخبر سبحانه عن يوسف عليه السلام أنه قال: (إني تركت ملة قوم لا يؤمنون بالله وهم بالآخرة هم كافرون) ، ولم يك تلبس بكفر ففارقه ؛ ولكن تركه جاحداً له.

“Ahlul-hadiits berselisih pendapat tentang keadaan seorang muslim yang meninggalkan shalat fardlu secara sengaja. Ahmad bin Hanbal dan sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – telah mengkafirkannya serta mengeluarkannya dari agama Islam. Hal itu berdasarkan hadits shahih yang diriwayatkan dari Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam : ‘Batas antara seorang hamba dengan kesyirikan adalah meninggalkan shalat. Barangsiapa yang meninggalkan shalat, maka ia telah kafir’.

Adapun Asy-Syaafi’iy dan shahabat-shahabatnya, serta sekelompok ulama salaf – semoga Allah merahmati mereka semua – berpendapat bahwa orang tersebut tidak dikafirkan dengannya, selama ia meyakini tentang kewajibannya. Hanya saja, ia wajib dibunuh (sebagai hadd) seperti halnya wajib dibunuhnya orang yang murtad dari Islam. Mereka menakwilkan hadits di atas dengan : ‘orang yang meninggalkan shalat dengan mengingkari kewajibannya’. Hal itu sebagaimana firman Allahsubhaanahu  tentang Yuusuf ‘alaihis-salaam : ‘Sesungguhnya aku telah meninggalkan agama orang-orang yang tidak beriman kepada Allah, sedang mereka ingkar kepada hari kemudian’ (QS. Yuusuf : 37). Yuusuf meninggalkan agama mereka bukan karena kekufuran yang samar, akan tetapi karena keingkaran mereka terhadap Allah dari hari kiamat” [‘Aqiidatus-Salaf wa Ashhaabul-Hadiits, hal. 84].

Maka, barangsiapa yang menghukumi/menganggap satu atau lebih amalan jawaarih dari rukun Islam yang empat yang bila ditinggalkan menyebabkan kekafiran (akbar),maka baginya amal tersebut bagian dari ashlul-imaan. Tidak sah keimanan seseorang kecuali dengannya.

Oleh karena itu tampak dari penjelasan di atas bahwa perselisihan apakah (sebagian) amal jawaarih masuk bagian dari ashlul-iimaan atau tidak, merupakan perselisihan di kalangan Ahlus-Sunnah. Bukan perselisihan antara Ahlus-Sunnah dengan Murji’ah – sebagaimana klaim sebagian orang.

Doa Nabi Sulaiman Menundukkan Hewan dan Jin

  Nabiyullah Sulaiman  'alaihissalam  (AS) merupakan Nabi dan Rasul pilihan Allah Ta'ala yang dikaruniai kerajaan yang tidak dimilik...