Agama Islam telah menyebar ke seluruh daerah Jawa. Meski penyebarannya
ada yang langsung bisa diterima Masyarakat, ada yang mengalami
perlawanan dari masyarakat setempat. Demikian juga peran para wali dalam
bersyiar di pelosok-pelosok Desa. Sunan Bonang di Tuban, Bonang dan
Sekitarnya, Sunan Kali Jaga, Sunan Cirebon, Sunan Kudus, Sunan Muria.
Ada di berbagai tempat, mereka menyebarkan agama dengan mencoba
menggabungkan unsur-unsur budaya yang berkembang di daerah setempat.
Nama Sunan biasanya disesuaikan dengan tempat ketika ia mengajarkan
agama. selain sebagai kepala agama juga sebagai kepala pemerintahan.
Sehingga penggantinya tetap menggunakan nama Sunan ataupun Ki Ageng
Demikian juga dengan Sunan Muria yang mengadakan syiar agama Islam.
Disekitar Muria yaitu pantai utara daerah Jepara, Tayu, Pati, Juana,
Kudus dan lereng-lereng Gunung Muria. Dalam menyebarkan agama Islam
seringkali bersinggungan dengan penguasa2 setempat. Penyebaran Islam
telah memasuki sekitar wilayah Pati, Juana, Tayu.
Pada suatu hari diadakan Syukuran di rumah Ki Ageng Ngerang untuk
mensyukuri kenikmatan yang telah diberikan oleh Tuhan kepada hambanya
yang ada di muka bumi terutama wilayah lereng Muria. Perhelatan dimulai
dengan khidmatnya. Tamu dari jauh dan dekat telah lengkap datang.
Ki Ageng Ngerang sebagai orang yang paling dituakan karena kearifan,
kepandaiannya, sehingga banyak yang hadir dalam perjamuan tersebut.
Terutama para muridnya Sunan Ngerang, antara lain termasuk Sunan Kudus,
Sunan Muria, Adipati Pathak Warak dari Pulau Mandalika Jepara, Kapa dan
adiknya Gentiri dan lain-lainnya.
Ketika anak Ki Ageng Ngerang, Roroyono bersama adiknya, Roro Pujiwati ke
luar untuk menghidangkan minuman dan makanan, banyak tamu yang hadir
terpesona dan memuji keduanya, tak disangka bahwa Ki Ageng Ngerang
memiliki dua putri yang sangat cantik-cantik. Adipati Pathak Warak
matanya tak berkedip memandanginya. Detak Jantungnya berdebar seperti
beduk, badannya menggigil, panas dingin, kedua bibirnya berdeming,
melihat keanggunan Roroyono. Terasa ada sinar bulan terang yang
menerangi kenduri malam itu. Roroyono menjadi menjadi pusat perhatian,
sebagai Gadis yang paling cantik di malam itu
Adipati Pathak Warak tak bisa menahan nafsu, melihat gadis jelita.
Matanya tak berkedip, jangkunnya naik turun menelan ludah, kata-katanya
sudah tak terkontrol lagi.
“Mau tidak jadi istriku, rayi!” sambil mencolek pantatnya. prilakunya,
sudah tidak mengindahkan lagi adat ketimuran maupun tatananan agama.
“Jangan begitu kakang, banyak orang jaga kehormatan kakang”
Tentu saja Roroyono merasa terhinadiperlakukan kelewat batas. Alangkah
malunya dia tercolak-colek dihadapan banyak tamu-tamu Ki Ageng. Minuman
yang dibawa Roroyono itu tumpah mengguyur baju Pathak Warak. Sehingga
Wajah sangar itu merah padam, merasa dibuat malu oleh Roroyono.
“Jangan gitu Kakang Pathak Warak, Roroyono gak mau orang yang kasar, maunya yang halus budinya” ejek Kapa
Para tamu yang hadir menertawakan Pathak Warak. Dalam hati Adipati
berkata, seandainya bukan puterinya Kanjeng sunan Ngerang, Gurunya,
tentulah telah ditampar mukanya. Seperti yang pernah dilakukanpada
musuh-musuhnya. Patak Warak merupakan salah satu jawara yang lalu lalang
di Lereng Muria, karena kesaktiannya ia memiliki ilmu kanuragan yang
sangat tinggi.
Malam semakin larut, semua tamu yang hadir berangsur-angsur pulang
meninggalkan kediaman Ki Ageng Ngerang. Sementara para tamu jauh
termasuk Adipati Pathak warak, masih berada di rumah Ki Ageng, mereka
bermalam di ruang tamu. Pada tengah malam yang dingin, dan hanya suara
jangkrik, suara kodok berpadu dengan semilir angin yang dihembuskan
pucuk-pucuk bambu. Semua telah tertidur pulas. Kecuali Adipati Pathak
warak yang masih terngiang-ngiang kata-kata Roroyono, dan malunya ketika
segelas air mengguyur bajunya. Ia memikirkan bagaimana caranya agar
bisa membuat malu Roroyono, sekaligus bisa segera melampiaskan nafsu
birahinya. Ia mengidam-idamkan agar dapat memperistri Roroyono.
Adipati Pathak Warak mondar-mandir didepan pintu sambil tangannya
menggaruk-garuk kepalanya. Timbul niat jahat dibenaknya, ia mau menculik
Roroyono. mulutnya komat-kamit membaca mantra, keluarkan mendung tebal
untuk menyirep seluruh penghuni rumah Ki Ageng Ngerang. Ia
mengendap-ngendap masuk kamar Roroyono, membekap mulut Roroyono kemudian
digendong dibawa lari menuju hutan belantara. dibawa lari ke Pulau
Mandalika, Keling.
Keesokan harinya gemparlah rumah Ki Ageng, semua sibuk mencari
keberadaan Dewi Roroyono, Ki Ageng Ngerang mengumpulkan semua orang ke
teras rumah, satu persatu ditanyai namun semuanya tidak tahu keberadaan
Dewi Roroyono, para murid padepokan yang dibantu masyarakat setempat
mencari di sekitar rumah sampai ke seluruh kampung, namun hasilnya
nihil. Mereka pulang dengan kekecewaan.
Para murid-murid Ki Ageng kumpul untuk membicarakan tentang raibnya Dewi
Roroyono, mereka satu persatu memberikan analisa dan dugaan tentang
sebab-musabab hilangnya putri Ki Ageng. Semua ikut urun rembuk kecuali
salah satu murid yang tidak kelihatan batang hidungnya. mereka tidak
menjumpai Patahak warak
“Kalau begitu yang membawa lari Roroyono adalah Patahak Warak!” Ki Ageng
Ngerang berkesimpulan bahwa Patahak Warak mau membalas sakit hatinya
karena dipermalukan Dewi Roroyono di depan umum. Ia termenung lesu
diteras rumahnya, memikirkan nasib anaknya. Demikian langit membawa
mendung hitam seakan paham hati Ki Ageng yang sedang gundah gulana.
“Akan dibawa kemana Anakku Roroyono?” rintik hujan senja hari semakin
membuat perasaan Ki Ageng teriris-iris. Murid-muridnya juga was-was bila
nanti sampai gurunya sakit memikirkannya. Ki Ageng Ngerang kemudian
memanggil Sunan Muria untuk meminta pendapatnya, sebab Ia yang akan
dijodohkan dengan Dewi Roroyono, selain itu Sunan muria merupakan murid
kesayangannya
“Bagaimana Nak mas Sunan Muria, tindakan apa yang harus aku ambil?”
sorot mata lelaki tua yang tengah bersedih menatap iba Sunan Muria.
Mereka berdua berdiskusi bagaimana langkah baiknya menghadapi persoalan
ini.
Ki Ageng mengumumkan sayembara, barang siapa yang dapat merebut kembali
puterinya dari tangan Patak Warak, dan membawa kembali Dewi Roroyono ke
Ngerang, bila lelaki akan nikahkan dengan Roroyono, bila perempuan akan
dijadikan saudara
Setelah sayembara diumumkan, semua muridnya Sunan Ngerang terdiam tidak
ada yang berani tunjuk jari, mengajukan diri. Mereka tidak berani
melawan Adipati Patak Warak. Di samping karena ia sakti juga Patak warak
dikenal sebagai Raja tega. Siapapun yang menghalang-halangi maksudnya
akan dibabad habis. Hanya Sunan Murialah yang mengacungkan tangannya, ia
sanggup mengejar Adipati Pathakwarak dan merebut kembali Roroyono. Ia
pamit langsung menuju ke arah utara, ia diikuti oleh beberapa murid
Sunan Muria, selang beberapa saat Kapa dan Gentiri juga mohon diri mau
menyusul Sunan Muria.
Sunan Muria keluar masuk Hutan belukar yang belum pernah dijamah manusia
pun ia melewati perjalanan demi membuktikan rasa hormatnya kepada
Gurunya Ki Ageng Ngerang. Namun dalam perjalanan ke Mandoliko, ditengah
jalan ia bertemu dengan kappa dan gentiri. mereka bertiga saling
berangkulan, Dalam pembicaran tersebut terjadilah kesepakatan, bahwa
Kapa dan Gentirilah yang akan menunaikan tugas, menjalani sayembara
merebut Roroyono ke Mandaliko. Adapun bila nanti berhasil dalam tugas
yang berhak memiliki Dewi Roroyono adalah kanjeng Sunan Muria.
Kesepakatan tersebut disepakati ketiga murid Ki Ageng Ngerang. Hal ini
disepakati karena Kapa dan Gentiri adalah muritnya Sunan Ngerang yang
termuda. Dan keduanya bersedia berbuat demikian karena menghormati Sunan
Muria, sebagai murid yang senior, berwibawa dan terhormat dimata
masyarakat seantero jagat..
Berangkatlah Kapa dan Gentiri menyeberang Ke Pulau Mandaliko. Sementara
Sunan Muria kembali ke padepokan Muria Ia Pasrah dan mempercayakan penuh
nasib Dewi Roroyono kepada keduanya. Dari kejauhan Kapa dan Gentiri
diawasi oleh Anak buah Patak Warak, mereka melaporkan bahwa dua orang
yang mencurigakan memasuki kawasan Pulau Mandaliko. Patak warak menyuruh
anak buahnya membiarkan kedua orang itu. Patak Warak tahu bahwa yang
datang adalah adik seperguannya.
“Suruh mereka kesini, dia adalah adik seperguan saya” pinta Patak warak.
Mereka masuk pintu gerbang padepokan Mandaliko dan dipersilahkan duduk
di teras rumah, kemudian keluarlah Patak Warak.
“ada apa di, Kok janur gunung (tumben) mau singgah ke Padepokanku?”
“Iya, kami kesini mau menikmati keindahan Pulau Mondoliko” Kilah Kapa
dan Gentiri. Namun Patak Warak mencium bau tidak beres pada kedua adik
perguruannya. Ia mempersilahkan keduanya untuk masuk ke dalam rumah.
Kapa dan Gentiri melihat-lihat seisi rumah ternyata tidak diketemukan
keberadaan Dewi Roroyono. Mereka terus menyelidiki Padepokan Mondoliko.
Karena kelehan dan setengah putus asa, ia menunda penyelidikannya. Ia
beristirahat di bawah pohon Setigi (Dewa ndaru).
Ditengah ia tertidur, Kapa mendengar suara merintih dari rumah Patak
warak bagian belakang. Ia membangunkan adiknya untuk segera menyelidiki
arah suara tersebut. Dari celah-celah tembok bambu mereka melihat
Roroyono yang sedang disekap di kamar belakang. Patak Warak mencoba
merayu Roroyono agar mau dijadikan istri, ia memberontak melepaskan
tangan kekar Patak warak. Jeritan minta tolong itulah yang membuat
Gentiri tergerak hatinya untuk mendobrak pintu dan menyambar tubuh
Roroyono dibawa kabur. Sementara Kapa menghadapi Patak Warak.
“kakang sudah kelewat batas, tidak mengenal belas kasihan sama sekali, beraninya sama wanita”
“kamu jangan ikut campur urusan ini, kembalikan Roroyono padaku!” bentak
Patak Warak memecah keheningan malam. Mereka berdua bertempur di
belakang rumah, sementara Gentiri yang menggendong Roroyono berlari
masuk hutan.
Kapa kalah dalam kanuragan, posisinya terdesak, anak buah Patak warak
juga ikut mengepung. Dalam keadaan tersudut ia berjongkok mengambil
segengam Pasir kemudian ditaburkan di mata Patak Warak dan anak buahnya.
Kapa lari mengejar Gentiri, di pinggir laut, akhirnya ketemu di
pelabuhan penyebrangan. mereka melihat perahu yang ditumpangi saudagar
bernama Lodhang Datuk. Ia meminta bantuan agar boleh ikut naik parahu
menuju ke Pulau Jawa.
“Kenapa kamu tergesa-gesa Ki sanak” Lodang Datuk menarik tangan Roroyono ke atas perahu.
“Saya di kejar-kejar Patak warak yang mau merampok dan memperkosa saya” rengek Roroyono meminta pertolongan.
Lodang Datuk seorang saudagar yang tidak senang bila ada kesewenang-wenangan menindas rakyat kecil.
Dalam memperebutkan Roroyono dari tangan Adipati Pathak warak itu Kapa
dan Gentiri mendapat bantuan dari seorang Wiku Lodang datuk di pulau
seprapat, Juana. Ia menyuruh anak buahnya membawa mereka bertiga ke
Pulau Jawa, sementara ia menghadapi Patak warak dengan perahu kecil.
Berlangsunglah pertempuran ditengah laut antara Lodang datuk ditengah
lautan. Sampai menuju daratan Jawa. Akhirnya Patak Warak tewas.
Kemudiaan Lodak Datuk menyusul menuju Pulau Sprapat.
Maka berhasilah Kapa dan Gentiri membawa kembali sang Dewi Roroyono ke
Ngerang. Untuk menghargai jasa dari Maling Kapa dan Maling Gentiri,
mereka mendapat hadiah dari Ki Ageng Ngerang, berupa wilayah di Buntar,
yang mana keduanya orang itu menjadi penguasa tanah tersebut. sedangkan
Dewi Roroyono jadi diambil istri Sunan Muria.
Hidup manusia selalu berputar, Demikianlah hati Gentiri. Dahulu yang
dengan relanya menyerahkan tenaganya demi menghormati kesenioran dan
kewibawaan Sunan Muria, Gentiri membopong Roroyono sampai ke Ngerang.
Gejolak Hati, bersemi laksana kuncup tersirami hingga tumbuh menjadi
bunga-bunga cinta. Alur hidup tak selurus anak panah, tetapi setiap saat
berubah. Tentu saja perubahan itu terkadang menyimpang di tengah
perjalanan.
Perasaan Gentiri dipenuhi dengan bunga hati dan perasaanya sekarang
hanyalah Dewi Roroyono, seorang gadis yang mempesona, yang selalu
menghias mimpi-mimpinya, Kisah cinta gayung bersambut antara Gentiri
dengan Roroyono,namun keadaanlah yang membuat lain. Ia harus rela
melepas Roroyono kepada Sunan Muria. Siang malam selalu terbayang wajah
cantik Roroyono, sehingga mengganggu tidurnya disetiap malam dan
mengganggu kerja disetiap saat.
Gentiri tak mampu membendung rasa rindunya kepada Roroyono, ia akan
merebut Roroyono dari Sunan Muria. Sudah barang tentu tindakan ini
adalah suatu pengkhinatan janji dan sumpah pada Ki Ageng Ngerang. Dan
mengkhianati persaudaran dengan Sunan Muria. Namun apa mau dikata bila
niat jahat telah mengalahkan pertimbangan batin yang bening. Keinginan
nafsu yang amat besar untuk dapat memiliki Roroyono.
Ketika sore mulai merembang, burung-burung pulang ke sarang hanya desau
angin yang mengitari puisi hati, berangkatlah Gentiri menemuai sang
pujaan hati di Padepokan Muria. Ia Memakai baju hitam, dan memakai cadar
agar tidak dikenali sama Murid Padepokan Muria.
Ketika tengah malam Gentri mengendap-endap memasuki taman kaputren. Di ketuknya daun pintu pelan-pelan.
“Diajeng..Roroyono..ini Kakang Gentiri!”
Roroyono terbangun setelah mendengar panggilan Gentiri dari luar
kamarnya. Mereka bertemu sambil menggemgam jemari dua insan yang tengah
dilanda asmara. Namun tangan Roroyono buru-buru dilepaskan takut
ketahuan Sunan Muria.
“Sudahlah kakang..kita cukup sampai disini saja, saya sudah milik orang
lain aku tidak mau gara-gara saya, Romo marah. Terus persahabatan kakang
dengan Sunan Muria rusak.”
“aku tidak peduli, aku tidak bisa hidup tanpamu, diajeng!”
“bukan kakang sudah tahu bagaimana sakitnya bila dikhianati, kenapa
kakang harus mengkhianati persabatan yang telah kakang bangun lama
sekali, hanya karena saya kakang harus bermusuhan dengan Romo dan Kakang
Sunan Muria. Apakah itu bagus kakang! Aku tidak mau jadi durhaka sama
Romo, aku juga tak mau menyakiti hati Kakang Sunan Muria.”
Putus sudah harapan Gentiri, kini ia dihadapkan pada dua dilemma yang
harus dipilih, lari dengan Roroyono tapi harus berperang melawan Sunan
Muria dan Ki Ageng Ngerang, atau mengalah membiarkan Roroyono bersama
Sunan Muria, namun batin kecilnya memberontak. Gentiri bersikukuh
memilih pilihan pertama, melarikan Roroyono, namun baru keluar pintu
kaputren ia dipergoki oleh Pengawal kaputren Sunan Muria. Terjadilah
perang tanding, Gentiri dikroyok oleh ratusan murid-murid Sunan Muria.
Tewaslah Gintiri di padepokan Muria.
Berita kematian maling (pencuri) berkerodok yang ketangkap di Padepokan
Muria. Ia mati diadili oleh massa, setelah dibuka cadarnya ternyata
Gentiri murid dari Kia Ageng Ngerang. Hal ini membuat Maling Kapa
berang, Gentiri adalah adik seperguruan dan adik kandung Kapa, ia tidak
terima bila adiknya diperlakukan seperti itu.
Maling Kapa terus berangkat ke Muria dengan tujuan ingin membalas
kematian adiknya. Selain itu Ia juga akan mencuri Dewi Roroyono. Dan
kali ini berhasil. Roroyono dibopong di pundak Kapa yang kekar. Ia
dibawa lari ke Pulau Seprapat. Murid- murid padepokan Muria mengejar
sampai ke lereng Muria sampai ke Desa Juana, mereka mau menyebrang ke
Pulau Sprapat.
Maling Kapa mau menyembunyikan Roroyono ke Lodhang datuk. Namun Lodhang
datuk bersikap arif dan bijaksana. keputusan yang adil dari wiku lodhang
datuk itu tidak diterima baik oleh kapa.bahkan Kapa mencaci Sang Wiku,
yang sudah dianggap gurunya sendiri. Ia potes atas perlakuan tidak adil
terhadap Maling Gentiri.
Ketika itu m,urid-murid Padepokan telah sampai di Pulau Seperapat.salah
seorang murid Sunan Muria menantang Maling Kapa. Sehingga terjadilah
pergulatan antara kedua kesatria tersebut, dan matilah Kapa yang menjadi
Maling (pencuri) itu. Akhirnya Lodang datuk menyerahkan Dewi Roroyono
kepada Ki Ageng Ngerang. Oleh Ki Ageng Dewi Roroyono diserahkan kembali
ke Padepokan Muria dengan selamat, ia berkumpul lagi dengan suaminya
kanjeng Sunan Muria.
RIWAYAT GERBANG MAJAPAHIT
Pada sebuah desa yang terpencil hiduplah Seorang janda bernama Randasari
yang memiliki anak laki-laki yang tampan, trampil dan gesit. pemuda
enerjik ini juga memiliki ilmu kanuragan. Ia sangat menonjol diantara
teman-temanya. Ia bernama Kebo Anabrang. Ia suka menolong bila
teman-temannya mendapat kesusahan. Namun balas budi yang seharusnya
diterima oleh Kebonabrang tidak pernah didapatkan. Meski Kebonabrang
tulus dan tidak pamrih dalam membantu masyarakat sekitarnya.
Masyarakat selalu mencemooh Kebonabrang sebagai anak lampoar, anak
jadaah yang tidak diketahui bapaknya. Kebonbrang menghadapi dengan
tambah, karena pesan ibunya Rondhosari untuk tidak melawan orang yang
mencemoohnya,
“biarkan saja semua menghinamu Nger! Nanti juga mereka capek sendiri.”
Pada awalnya Kebonabrang menuruti semua pesan Ibunya, namun lama
kelamaan hatinya tak kuat juga. Kebonabrang marah ketika seorang pemuda
mengatakan bahwa dirinya adalah anak hubungan gelap yang tidak pernah
dikehendaki oleh kedua orang tuanya. Panaslah kuping Kebonabrang,
bergegas pulang ke rumah, daun pintu ditendang hingga roboh.
Nyai Rondhosari yang tengah di dalam rumah bergegas keluar, mendengar suara keras pintu yang roboh.
“Ada apa Ngger, sabar..sabar!” bujuk Nyai Rondosari dengan memegangi kedua tangannya.
“saya ini anak siapa?, saya ngak mau kalau biyung bohong lagi, saya mau biyung jujur mengatakan sebenarnya!”
“sekarang kamu sudah dewasa dan sudah saatnya kamu tahu sebenarnya siapa
dirimu Ngger! Sebenarnya kamu adalah Putra dari Sunan Muria” Nyai
Rondosari menerangkan sedetail-detailnya asal-usulnya Kebonabrang.
Berbekal cerita yang diperoleh dari Nyai Rondhosari maka berangkatlah
Kebonabrang ke Padepokan Muria. dengan sopannya ia menghadap Kanjeng
Sunan Muria. Ia mengaku sebagai anak dari Kanjeng Sunan Muria. Dan ia
mau berguru kepada Kanjeng Sunan.
Sejak kecil memang dia tidak pernah melihat ayahhandanya karena
dirahasiakan oleh Nyai Rondosari, baru setelah dewasa ini dia diberitahu
oleh ibunya bahwa ayahnya adalah seorang Sunan, yakni Sunan Muria. Akan
tetapi pengakuan sang pemuda itu ditolak keras oleh Sunan Muria. Beliau
berkata bahwa beliau tidak merasa mempunyai anak yang bernama
Kebonabrang. Sebab Ia hanya memiliki seorang anak dari Dewi Roroyono.
Meskipun Sunan Muria menolak pengakuan sang pemuda, Kebonabrang tetap
diperbolehkan berguru di Padepokan Muria. Hal ini menjadi kesempatan
yang bagus untuk meyakinkan Kanjeng Sunan Muria. Walaupun Kebonabrang
mambawa bukti-bukti yang dibekalkan ibunya, kanjeng Sunan masih tetap
ragu bahwa dia benar-benar adalah putranya.
Kebonabrang terus menerus mendesak, maka Sunan Muria akhirnya bersedia
mengakui bahwa Kebonabrang adalah puteranya, asalkan dia dapat memenuhi
syarat. Syaratnya adalah Kebonabrang harus dapat memindahkan salah
sebuah pintu Gerbang yang ada di kerajaan Majapahit ke gunung Muria
dalam waktu satu malam saja
“andai kamu bisa memenuhi syarat itu, kamu saya akui sebagai putraku!”
Kebonabrang bersungguh-sungguh untuk mendapatkan pengakuan anak oleh
Sunan Muria. Berangkatlah ia ke majapahit untuk mendapatkan sebuah pintu
gerbang, setelah ia berkeliling di bekas reruntuhan Majapahit, akhirnya
dia menemukan sebuah pintu. Ia akan diambilnya sendiri dengan kukuatan
sakti yang dimiliki sejak lahir. Ia tengah mempersiapkan.mantra-mantra
dan juga doa kepada tuhan agar segera dapat mengakat pintu Majapahit
Bersamaan dengan itu di Juana, sebelah timur Pati, diadakan sayembara
untuk dapat mempersunting Roro Pujiwati dengan syarat dapat membawa
Pintu Majapahit ke wilayah Ngerang. Hal ini diikuti oleh para pemuda
yang ada di daerah Ngerang, namun semunya tak sanggup. ada juga seorang
pemuda bernama Raden Ronggo adalah putra Kanjeng Sunan Muria dari ibunya
Dewi Roroyono. Sunan Ngerang juga mempunyai seorang puteri lagi,
adiknya Dewi Roroyono, bernama Roro Pujiwati.
Ia sedang menuju ke wilayah reruntuhan Kerajaan Majapahit dalam rangka
mengikuti sayambara memindahkan pintu Gerbang Majapahit. Sayembara
tersebut untuk memperebutkan seorang puteri cantik bernama Roro
Pujiwati, putrinya Kyai Ageng Ngerang (Sunan Ngerang) Juana.
Raden Ronggo sangat mencintai Roro Pujiwati, kisah cintanya ini
diketahui oleh Ki Ageng Ngerang dan Sunan Muria sehingga mereka berdua
bersepakat untuk membuat sayembara yang sekiranya tidak dapat dipenuhi
oleh Raden Ranggo. Padahal Roro Pujiwati ini adalah bibinya Raden Ronggo
sendiri, karena Roro Pujiwati itu adalah adiknya Raden Ayu Roroyono
(ibunya Raden Ronggo).
Kehendak Raden Ronggo untuk mempersunting Roro Pujiwati itu ditolak,
karena di dalam agama tidak diporbolehkan keponakan menikahi bibinya. Ki
Ageng Ngerang dan Sunan Muria berunding Bagaimana cara menolaknya,
akhirnya ditemukan cara yaitu dengan mengajukan syarat yang harus
dipenuhi, yakni memindahkan sebuah pintu Gerbang Majapahit ke tempatnya
Roro Pujiwati di Ngerang, Juana.
Setelah sampai di Majapahit, Raden Ronggo kaget sebab telah ada yang mau
membawa pintu Majapahit, Ia kecewa karena dia mengetahui bahwa ada
seorang pemuda dari Muria yang membawa lari sebuah pintu gerbang.
“Apakah itu suruhannya Romo untuk menggagalkan syembara ini atau dia
juga berkompetisi untuk ikut syembara mempersunting Roro Pujiwati.”
Raden Ronggo tertegun, ia mengawasinya dari belakang, Dengan hati
berdebar dia kembali mengejar pemuda yang telah mendahuluinya (yakni
Kebonabrang). Ia akan merebut bila sudah dekat dengan Ngerang.
Kebonabrang sangat gesit sehingga membuat Raden Ronggo keteteran. Raden
ronggo melesat lebih cepat lagi untuk mengejar karena Kebokenongo sudah
melewati Ngerang, Raden Ronggo berhenti sebentar mengambil Palang pintu
yang terjatuh, ia melesat lagi mengejar Kebonabrang, ia mengira pasti
ini usaha romonya untuk menggagalkan syembara.
Raden Ronggo akhirnya dapat mengejarnya setelah Kebonabrang sedang bingung mencari palang pintu gerbang yang terjatuh.
“kamu mencari aoa Kisanak, apa yang hilang?” Kebokenongo melihat Raden Ronggo yang sedang memegang Palang pintu.
“Berikan Palang pintu itu Raden!, saya gak ada waktu, cepat berikan!” bentak Kebonabrang.
Terjadilah kejar mengejar dan bertempur sangat hebat, pergulatan adu
kekuatan antara Raden Ranggo dengan murid Sunan Muria memeperebutkan
pintu Majapahit, Raden Ronggo ingin merebut pintu itu agar dapat
mempersunting Roro Pujiwati, sedangkan Kebonabrang agar dapat diakui
sebagai putra kanjeng Sunan Muria.
Pertengkaran antara keduanya diketahui oleh Suro Benggol, sehingga ia
harus turun gunung untuk melerai perselisihan ini, tempat ini dianamakan
Towelo (cetho welo-welo).
Akhirnya Suro Benggol mampu meredakan pertempuran perang saudara antara
sesama Sunan Muria. Dalam kesapakatan itu Raden Ronggo hanya memperoleh
sebatang kayu Pathok, atas saran Suro Benggol agar Raden Ronggo mau
membawa pulang palang pintu itu ke Ngerang. Tetapi Roro Pujiwati menolak
karena syarat yang diminta adalah pintu Gerbangnya. Karena cintanya
ditolak, maka Raden Ronggo marah. Roro Pujiwati dipukul dengan kayu
pathok dan lenyaplah Roro Pujiwati di tempat itu. Raden Ronggo tidak mau
pulang ke Muria atau Ngerang, ia lebih senang mengembara untuk
menghibur hati yang sedang sakit.
Kemudian Suro Benggol memperintahkan Kebonabrang untuk segera membawa
pintu gerbang Majapahit ke gunung Muria. Karena hari mulai fajar. Segera
Kebonabrang bersiap-siap akanTetapi baru saja diangkat pintunya ayam
jantan berkokok bersautan, pertanda hari sudah tiba. Padahal syarat yang
harus diminta adalah pintu majapahit harus sudah sampai ke Padepokan
Muria sebelum pagi datang. Dan oleh Sunan Muria maka Kebonabrang disuruh
untuk menunggu di Pintu Majapahit ini.
Legenda Pulau Seprapat
Pulau Seprapat adalah pulau yang terdapat di Kabupaten Pati tepatnya di
daerah Juwana. Kata Seprapat (Bahasa Jawa yang artinya seperempat),
Pulau ini diberi nama Pulau Seprapat karena menurut cerita Dampo Awang
meninggalkan seprempat hartanya di Pulau seprapat.
Pemandangan di Pulau Seprapat sangat indah nan alami dengan pohon tua
yang cukup rindang, sehingga cocok bagi tempat rekreasi bersama keluarga
dan sanak saudara. Sedangkan di tengah-tengahnya Pulau Seprapat
terdapat sebuah makam berbentuk mushala yang dibangun oleh warga
setempat.
Pada zaman Majapahit ada seseorang yang tidak dikenal. Oleh karena
penderitaan yang dialaminya, orang itu pergi merantau dan mengasingkan
diri di pulau yang sekarang bernama Pulau Seprapat. Di pulau itu dia
menjalankan pertapaan. Setelah beberapa lama menjalankan pertapaan itu,
ia berhasil mendapat pusaka yang sangat berkasiat. Adapun khasiatnya
adalah dapat menyembuhkan atau mengembalikan segala sesuatu yang telah
terpisah. Untuk membuktikan kasiat benda tersebut, ular dipotong menjadi
dua, kemudian meletakkan pusaka di atas badan ular yang terpotong.
Seketika ular tersebut dapat tersambung dan hidup. Setelah kakak
perempuannya mencari kian kemari, akhirnya menjumpainya di dalam Pulau
Seprapat itu. Ia diajak pulang, tetapi tidak mau. Bahkan ia menceritakan
kejadian-kejadian yang telah dialami selama di Pulau Seprapat.
Untuk membuktikan hasil pertapaan adiknya benda yang tajam itu hujamkan
pada badan adiknya. Pada percobaan pertama setelah dipotong lehernya
dapat dipulihkan kembali dengan kesaktian benda tesebut. Karena belum
percaya dengan kejadian itu maka dibuktikan sekali lagi pada sang adik.
Tetapi pecobaan kedua mengalami kegagalan karena setelah dipenggal
ternyata bagian kepala adiknya menghilang. Oleh karena itu, Sang kakak
mencari kepala adiknya. Namun, tidak ketemu. Sang kakak menggunakan
kepala kera sebagai ganti kepala adiknya. Dengan menggunakan kesaktian
benda tersebut. Kepala kera dapat tersambung ke badannya. Dan adiknya
dapat kembali hidup. Akan tetapi berkepala kera. Adiknya yang berkepala
kera tadi tinggal di Pulau Seprapat.
Setelah kembali, kakaknya menceritakan kejadian-kejadian itu kepada
tetangga. Ia mengatakan bahwa adiknya di sana tidak hanya berkepala kera
saja, tetapi juga penjaga pulau tersebut. Di samping itu, adiknya juga
menjaga harta benda Dampo Awang yang masih berada di sana yang banyaknya
seperempat dari harta bendanya yang ada. Ketika dia kalah dalam
pengadaan jago. Kakak perempuannya juga mengatakan kepada penduduk bahwa
harta benda Dampo Awang itu boleh dimiliki siapa saja ia mau menjadi
warga Pulau Seprapat itu.
Dengan keterangan-keterangan itu, maka banyak warga datang ke Pulau
Seprapat untuk menuruti cita-citanya. Bahkan, disinyalir sampai
sekarang. Karena tebalnya kepercayaan, maka menurut berita-berita :
“Apabila orang yang ingin kaya itu telah mencapai dan sampai ajalnya,
maka orang-orang itu matinya menjadi keluarga di Pulau Seprapat”. Dan
menurut kenyataannya apabila yang terlaksana kekayaannya ada yang
tembong ada yang guwing (bahasa Jawa).
Setelah orang-orang itu meninggal, kera yang di sana dalam keadaan tembong dan guwing.
Pulau Seprapat merupakan tempat bersejarah bagi warga Juwana yang sudah
lama dikenal oleh para pengalap berkah dengan sebutan Pulau Seprapat,
dan menjadi bagian dari luas wilayah Desa Bendar, Kecamatan Juwana,
Kabupaten Pati. Pulau dengan pohon tua cukup rindang itu, di
tengah-tengahnya terdapat sebuah makam berbentuk mushala yang dibangun
oleh warga setempat. Jauh sebelum itu, cungkup makam dari kayu tersebut
cukup tua, dan tak terawat. Di balik cungkup itulah, menurut cerita
tutur dimakamkan seorang tokoh yang disegani pada masa berkembangnya
agama Islam di daerah pesisir Pantai Utara Jawa, yakni Mbah Datuk
Lodang.
Oleh warga, sejak pulau tersebut tidak lagi digunakan untuk ngalap
berkah, namanya diubah menjadi Syekh Datuk Lodang Wali Joko. Karena itu,
tiap tahun sekali pada bulan Syawal, atau bersamaan dengan perayaan
tradisional nelayan yang dikenal dengan Sedekah Laut, dilangsungkan pula
peringatan atas tokoh tersebut. Di pulau itu diselenggarakan acara
ziarah dan dilanjutkan dengan pengajian.
Tentang siapa, Mbah Datuk Lodang, konon menurut cerita tutur tinular,
hidup pada masa Juwana, dimana sudah berdiri padepokan Ngerang sebagai
pusat penyebaran agama Islam dengan tokoh pemukanya, Ki Ageng Ngerang.
Letak tepatnya di Dukuh Ngerang Desa Trimulyo, berbatasan dengan Bendar,
keduanya di Kecamatan Juwana. Karena semasa hidupnya tak pernah
menikah, kecuali hanya mengembleng ilmu jaya kawijayan murid-muridnya,
maka warga memberinya nama tambahan Wali Joko.
Akan tetapi ada salah satu murid yang mencemarkan nama perguruan Pulau
Seprapat, yakni Maling Kopo yang nama aslinya Joko Pilang, anak Maling
Pekuwon. Maling Kopo, diam-diam berhasil membaca kitab milik gurunya
yang berizi tentang kelemahan semua murid Panti Ngerang. Satu di
antaranya, adalah Adipati Mondoliko, Pathak Warak yang membawa kabur
putri Ki Ageng Ngerang, Roroyono yang sudah dijodohkan dengan murid
seperguruan, Said Kusumastuti atau Sunan Muria. Dengan pusaka milik
gurunya yang juga dicuri, Maling Kopo berhasil membunuh Pathak Warak,
dan mengembalikan Roroyono ke Panti Ngerang. Dia disuruh memilih, antara
dijodohkan dengan Roroyono atau diberi kekuasaan sebagai Adipati
Buntar, atau nama lain yang sekarang sebagai Bendar. Kendati Maling Kopo
awalnya memilih sebagai penguasa di Buntar, tapi belakangan juga
tertarik untuk mempersunting Roroyono yang sudah dinikahkan dengan Sunan
Muria. Karena itu, cara sebagai maling pun dilakukan, yaitu menculik
Roroyono dan disembunyikan di Pulau Seprapat.
Akibatnya dia harus berhadapan dengan murid Ngerang lainnya, yaitu
Adipati Tunjungpuro, Cokrojoyo. Akhir cerita tutur tersebut, Maling Kopo
pun harus mati di tangan Adipati Cokrojoyo.