Kabupaten Rembang, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.
Ibukotanya adalah Rembang. Kabupaten ini berbatasan dengan Teluk Rembang
(Laut Jawa) di utara, Kabupaten Tuban (Jawa Timur) di timur, Kabupaten
Blora di selatan, serta Kabupaten Pati di barat.
Makam pahlawan pergerakan emansipasi wanita Indonesia, R. A. Kartini,
terdapat di Kabupaten Rembang, yakni di jalur Rembang-Blora (Mantingan).
Asal usul Nama Rembang
Dahulu kala ada seorang saudagar kaya yang bernama Dampo Awang. Dia
berasal dari Negara Cina. Dia ingin pergi kesuatu tempat untuk
mengajarkan ajaran Kong Hu Cu dengan cara mengarungi samudera bersama
para pengawal setianya. Suatu hari dia sampai di tanah jawa bagian
timur.
Dampo Awang sangat senang akan daerah itu sehingga dia bermaksud untuk
berlabuh disana dan menetap sambil mengembangkan ajaran yang dibawanya.
Suatu saat Dampo Awang bertemu dengan Sunan Bonang, Sunan Bonang adalah
salah satu dari 9 wali yang menyebarkan agama islam di tanah jawa.
Pada saat pertemuan pertama kali itu, Dampo Awang sudah memperlihatkan
sikap kurang baik pada Sunan Bonang. Dampo Awang takut jika ajaran yang
selama ini dia ajarkan akan hilang dan digantikan dengan ajaran agama
islam. Perlu diketahui bahwa Dampo Awang sudah terbiasa dengan orang
awam di jawa sehingga dia dapat berbahasa dengan baik.Saat Sunan Bonang
mau mendirikan Salat Ashar. Dampo Awang berfikir untuk mecelekai Sunan
Bonang. Dia menyuruh pengawalnya untuk menaruh racun ke air putih dalam
kendi yang berada diatas meja. Setelah selesai shalat Sunan Bonang
menuju ke meja makan. Dampo Awang mengira bahwa Sunan Bonang akan
meminum air dalam kendi tersebut.
Tetapi dugaan Dampo Awang keliru, sebenarnya Sunan Bonang mau mengaji.
Hari demi hari telah berlalu, setiap waktu shalat Sunan Bonang
mengumandangkan adzan dan shalat, setelah shalat Sunan Bonang mengaji
diteras rumahnya. Setiap orang – orang yang lewat di depan rumahnya dan
mendengar suara Sunan Bonang saat mengaji dan adzan menjadi kagum akan
ayat – ayat alllah. Kemudian banyak penduduk menjadi pemeluk agama
islam. Lama – kelamaan pengikut sunan semakin banyak.
Tidak lama kemudian Dampo Awang mendengar peristiwa tersebut dia sangat
marah karena pengikutnya semakin berkurang lalu Dampo Awang mengirim
pengawalnya untuk menjemput Sunan Bonang . Mula – mula Sunan Bonang
menolak tetapi karena dia merasa kasihan akan pengawal – pengawal Dampo
Awang, jika Sunan Bonang tidak ikut mereka akan dihukum pancung.
Akhirnya Sunan Bonang bersedia untuk datang ke kediaman Dampo Awang.
Saat Sunan Bonang tiba di kediaman Dampo Awang, Dampo Awang menyambutnya
dengan ramah. Namun dibelakang dari keramahan tersebut Dampo Awang
telah merencanakan sesuatu. Dampo Awang menyuguhi Sunan Bonang dengan
buah – buahan segar, makanan enak, minuman lezat, dll. Sunan Bonang
tidak menaruh curiga sedikitpun kepada Dampo Awang, padahal Dampo Awang
berniat mencelakainya. Saat ditengah perjamuan, tiba – tiba Dampo Awang
meminta agar Sunan Bonang meninggalkan daerah itu. Tetapi Sunan Bonang
menolak karena dia sudah berniat untuk mengajarkan agama islam di daerah
itu.
Dampo Awang sangat marah mendengar ucapan Sunan Bonang yang baru saja
diucapkannya tadi. Lalu Dampo Awang menyuruh pengawalnya untuk menyerang
Sunan Bonang tetapi dengan waktu yang sangat singkat Sunan Bonang dapat
mengalahkan pengawal – pengawal Dampo Awang. Dampo Awang tidak terima
akan kekalahannya. Dia kembali ke negaranya untuk menyusun stategi dan
kekuataan baru.
Setelah beberapa tahun Dampo Awang kembali lagi ke tanah jawa sambil
membawa pasukan yang lebih banyak dari sebelumnya. Pada saat sampai di
tanah jawa dia sangat kaget sekali karena semua penduduk didaerah itu
sudah menganut agama islam. Dampo Awang marah lalu mencari Sunan Bonang.
Dampo Awang tidak bisa menahan amarahnya ketika dia sudah bertemu
dengan Sunan Bonang sehingga dia langsung menyerang Sunan Bonang lebih
dulu tetapi dengan singkat Sunan bisa mengalahkan Dampo Awang dan
pengawalnya.
Kemudian Dampo Awang diikat didalam kapalnya setelah itu Sunan Bonang
menendang kapalnya sehingga seluruh bagian kapal tersebar kemana – mana.
Setelah itu sebagian kapal terapung di laut. Dampo Awang menyebutnya “
Kerem ( Tenggelam ) “ sedangkan Sunan Bonang menyebutnya “ Kemambang (
Terapung ) “. Kemudian lama – kelamaan masyarakat mengucapkan Rembang
yang berasal dari kata Kerem dan Kemambang.
Akhirnya di daerah itu dinamakan Rembang yang sekarang menjadi salah
satu Kabupaten yang ada di Jawa Tengah.Jangkarnya sekarang ada di Taman
Kartini sedangkan Layar kapal berada dibatu atau biasanya sering disebut
“ Watu Layar “ dan kapalnya dikabarkan menjadi Gunung Bugel yang ada di
kecamatan Pancur karena bentuknya menyerupai sebuah kapal besar dan
diatas Gunung ada sebuah makam konon disana merupakan makam Dampo Awang.
Perlu diingat asal – usul kota rembang banyak versinya sehingga tidak
setiap orang mengetahui asal – usul kota Rembang yang sama versinya.
Perjuangan Raden Panji
(Asal-usul Desa Gedug, Karangasem, Ngatoko, Telogo, Tapaan, Kasingan)
Pada tahun 1440-1490 Kadipaten Lasem diperintahkan oleh Prabu Santi
Puspo. Prabu Santi Puspo anak Prabu Santi Bodro. Prabu Santi Bodro anak
Prabu Bodro Nolo dengan Puteri Cempo. Prabu Bodro Nolo anak Prabu Wijoyo
Bodro. Prabu Wijoyo Bodro anak Prabu Bodro Wardono. Prabu Bodro Wardono
anak Dewi Indu/ Dewi Purnomo Wulan/ Prabu Puteri Maharani dengan Rajasa
Wardana. Dewi Indu adalah saudara sepupu Prabu Hayam Wuruk Wilotikto.
Dewi Indu pernah menjadi ratu di Kadipaten Lasem. Jadi Prabu Santi Puspo
masih keturunan raja-raja Majapahit.
Pada masa pemerintahan Prabu Santi Puspo, Kadipaten Lasem mencapai
keadilan dan kemakmuran. Rakyat hidup serba kecukupan tidak kurang suatu
apapun. Prabu Santi Puspo seorang dermawan, suka memberi pertolongan
kepada yang membutuhkan. Pada suatu saat Prabu Santi Puspo
berangan-angan ingin memperluas wilayah kadipatennya. Keinginan beliau
sangat kuat, maka dipanggillah Raden Panji Singopatoko untuk
melaksanakan tugas membuka hutan atau babat alas di sebelah selatan Desa
Kabongan terus ke selatan.
Pada hari yang ditentukan, berangkatlah Raden Panji Singopatoko
melaksanakan tugas. Raden Panji Singopatoko dibantu beberapa orang
pilihan yang loyal kepada pemerintah Kadipaten Lasem dan didampingi oleh
dua orang prajurit yaitu Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo. Rombongan
dibagi menjadi dua kelompok. Sebelah barat dipimpin oleh Ki Suro Gino,
sedang sebelah timur oleh Ki Suro Gendogo.
Ketika mereka mulai membuka hutan, banyak sekali rintangan diantaranya
adalah gangguan yang dibuat oleh orang-orang yang tidak senang kepada
pemerintah Prabu Santi Puspo. Banyak prajurit yang terserang penyakit.
Gangguan itu juga datang dari binatang buas dan hewan berbisa. Gangguan
dan rintangan itu dihadapi oleh Raden Panji Singipatoko dan
prajurit-prajuritnya yang dipimpin Ki Suro Gino dan Ki Suro Gendogo
dengan tabah serta tekad dan semangat yang menyala-nyala, meski banyak
yang menjadi korban. Akhirnya semua rintangan dapat diatasi dan
pekerjaan terselesaikan dengan memuaskan. Hutan yang dibuka itu menjadi
desa yang sekarang disebut Desa Kunir dan Desa Sulang.
Raden Panji Singopatoko beserta rombongan meneruskan tugasnya membuka
hutan lagi, dari Sulang menuju ke barat daya. Dalam perjalanannya itu
Raden Panji pun telah siap siaga untuk menyerang dan membunuh harimau
itu. Keduanya terlibat dalam pergumulan yang seru. Raden Panji
Singopatoko tidak mau surut walau selangkah, terus maju pantang
menyerah. Raden Panji Singopatoko adalah seorang yang sakti mandraguna.
Akhirnya harimau itu lari dan tidak berhasil dibunuh oleh Raden Panji
beserta teman-temannya.
Raden panji Singopatoko beserta rombongannya merasa sangat lelah setelah
bertempur melawan harimau. Kemudian mereka beristirahat dan membuat
rumah untuk tempat peristirahatan. Di sela-sela istirahatnya, Raden
Panji berfikir memikirkan pelaksanaan tugasnya itu. Sebenarnya beliau
merasa belum dapat melaksanakan tugasnya dengan baik, beliau kecewa.
Karena sebagai orang yang dipercaya oleh Prabu Santi Puspo untuk menjadi
pemimpin atau' "gegedug" (istilah zaman kerajaan) mestinya harus dapat
menyelesaikan setiap masalah yang dihadapi.
Sudah menjadi kebiasaan orang-orang zaman dahulu apabila menghadapi atau
mengalami suatu masalah atau kejadian yang mengesankan dan penting,
maka diabadikan dengan suatu simbul atau ditengarai dengan tanda-tanda
yang dapat dikenang sepanjang masa. Oleh karena itu, untuk mengenang apa
yang sedang dipikirkan oleh Raden Panji Singopatoko itu, beliau
berkata, "Besuk kalau ada ramainya zaman dan tempat ini menjadi desa,
aku beri nama Desa "Gedug". Maka jadilah desa itu disebut Desa
Gedug,sekarang disebut Desa Sumbermulyo.
Setelah beberapa saat mereka beristirahat, lalu mereka melanjutkan
perjalanan ke selatan untuk membuka hutan. Pengalaman membuka hutan yang
kemarin ternyata terulang disini. Banyak rintangan dan gangguan yang
dihadapi. Diantara mereka ada yang meninggal karena terserang penyakit.
Ada yang digigit binatang buas atau binatang berbisa.
Raden Panji Singopatoko beserta rombongan bekerja dengan giat membuka
hutan. Setelah lama bekerja, mereka merasa lelah, lalu beristirahat di
bawah pohon asam yang besar. Ketika badan mereka sudah terasa segar, dan
hilang kelelahannya serta tenaga mereka telah pulih kembali. Raden
Panji bangkit sambil menoleh ke kanan dan ke kiri, lalu beliau berkata, "
Karena setelah kita beristirahat di tempat ini badan kita terasa segar
sekali dan disini tumbuh banyak pohon asam, maka kalau besuk ada
ramainya zaman, dan tempat ini menjadi desa aku beri nama Desa
Karangasem."
Dari Karangasem, Raden Panji Singopatoko melanjutkan tugasnya membuka
hutan ke arah tenggara di sebuah hutan yang masih banyak harimaunya.
Pada suatu hari, Ki Suro Gendogo menemukan goa yang cukup dalam. Di atas
goa ada seekor harimau betina. Ketika Ki Suro Gendogo mendekati goa,
harimau itu diam saja, tidak menyerang dan juga tidak pergi. Ki Suro
Gendogo lalu berfikir dan berkata dalam hati,
"Ada apa dengan harimau ini?".
Lalu Ki Suro Gendogo melihat ke dalam goa. Ternyata di dalam goa ada
seekor anak harimau yang jatuh ke dalam goa dan tidak dapat naik. Ki
Suro Gendogo berkata kepada harimau betina yang ada diatas goa itu, "Aku
mau menolong anakmu, tetapi anakmu aku minta dan akan aku pelihara
dengan baik." Akhirnya anak harimau itu diambil oleh Ki Suro Gendogo.
Oleh karena itu Ki Suro Gendogo menjadi terkenal kemana-mana karena
memelihara anak harimau itu. Setiap hari Jum'at, induk harimau itu
datang ke rumah Ki Suro Gendogo untuk memberi makan anaknya. Pagi
harinya pasti di luar rumah ada hewan yang mati, misalnya kijang, kera
dan sebagainya, karena dimangsa induk harimau itu. Desa tempat Ki Suro
Gendogo itu menjadi daerah yang ramai tumbuh menjadi pedukuhan, dan oleh
Raden Panji Singopatoko diberi nama Dukuh Ngatoko.
Setiap ada orang yang berniat jahat di Dukuh Ngatoko, tiba-tiba
didatangi seekor harimau. Sehingga niat jahatnya gagal. Setiap Raden
Panji Singopatoko memberi bimbingan dan nasehat serta tuntunan kepada
Panji Singopatoko, sehingga penduduk Ngatoko taat dan setia kepada Raden
Panji Singopatoko. Di bawah pimpinan Raden Panji, penduduk Ngatoko
hidup dengan aman, damai, tentram, dan sejahtera atas berkah Allah SWT.
Raden Panji Singopatoko juga tidak lupa mengajak rakyatnya untuk
menjalankan ajaran Agama Islam. Ki Suro Gendogo dan Ki Suro Gino tinggal
di Dukuh Ngatoko. Ki Suro Gendogo di Ngatoko Timur, sedang Ki Suro Gino
tinggal di Ngatoko Barat. Demikianlah kehidupan masyarakat Ngatoko
terus berjalan dengan tentram dan damai. Dan Raden Panji Singopatoko
akhirnya menjadi Kyai Ageng Ngatoko dan terkenal dengan sebutan KYAI
ABDUL RAHMAN
Pada suatu saat Raden Panji Singopatoko menginginkan suatu kehidupan
yang lebih tentram. Sejalan dengan usianya yang sudah mulai udzur,
beliau ingin mengurangi keterlibatannya dalam hiruk pikuknya kehidupan
duniawi ini. Beliau ingin bertapa di atas gunung atau punthuk di dekat
mata air atau telaga, guna merenungi dan tafakur tentang hakekat hidup
dan kehidupan serta lebih bertaqqarub kepada Allah SWT.
Di sekitar tempat Kyai Abdul Rahman bertapa, sekarang menjadi
perkampungan yang ramai, banyak orang yang bermukim di sini. Oleh Raden
Panji Singopatoko atau Kyai Abdul Rahman, kawasan itu diberi nama Dukuh
Telogo yang sekarang masuk di wilayah Desa Karangasem, Kecamatan Bulu.
Di dekat tempat pertapaan itu dibangun sebuah masjid lengkap dengan
kolahnya. Sampai sekarang bekas kolah tersebut masih dapat dilihat
berupa batu merah yang masih tersusun dengan baik. Daerah ini tidak
pernah kekurangan air karena ada telaga yang bagus sumbernya, bahkan
sumber air telaga ini disalurkan dengan pipa besar untuk memenuhi
kebutuhan penduduk Desa Telogo dan Karangasem.
Prabu Santi Puspo (Adipati Lasem), merasa berhutang budi kepada Raden
Panji Singopatoko, karena berkat perjuangan Raden Panji Singopatoko
wilayah Kadipaten Lasem bertambah luas, dan keadaannya aman dan tentram.
Sebagai balas budi Prabu Santi Puspo atas jasa-jasa raden Panji
Singopatoko beliau ingin mengambil Raden Panji Singopatoko sebagai adik
iparnya. Raden Panji dinikahkan dengan adik Prabu Santi Puspo yang
bernama Dewi Sulanjari. Maka dipanggillah Raden Singopatoko menghadap
Sang Prabu.
Setelah Raden Panji menghadap Sang Prabu, maka Sang Prabu menyampaikan
maksudnya. Raden Panji tidak dapat berbuat apa-apa dihadapan Sang Prabu.
Kecuali hanya menerima saja tawaran Sang Prabu. Akhirnya Raden Panji
Singopatoko menikah dengan adik Prabu Santi Puspo yaitu Dewi Sulanjari.
Pernikahannya dilaksanakan di rumah Raden Panji Singopatoko di Desa
Gedug (Sumbermulyo). Pada tahun 1472 Raden Panji Singopatoko dipanggil
lagi oleh Prabu Santi Puspo untuk menerima tugas baru yaitu membuka
hutan di sebelah barat daya Dukuh Kabongan. Raden Panji Singopatoko
segera melaksanakan tugasnya tersebut dan dibantu para prajurit yang
lain.
Berbulan-bulan lamanya Raden Panji Singopatoko membuka hutan ini.
Akhirnya berhasil dibuka dan tumbuh menjadi sebuah desa. Oleh Raden
Panji Singopatoko diberi nama Desa Kasingan. Raden Panji Singopatoko
memang seorang pemimpin yang arif bijaksana.
Beliau mencintai masyarakatnya, demikian juga masyarakatnya mencintai
dan mentaati pemimpinnya. Rakyat hidup rukun, damai, tentram dan
sejahtera. Atas pembinaan dan kepemimpinan Raden Panji Singopatoko,
rakyat yang tinggal di daerah-daerah yang telah dibuka oleh Raden Panji
Singopatoko dapat disatukan yang jumlahnya mencapai seribu orang. Oleh
karena Raden Panji Singopatoko dapat mempersatukan orang-orang lebih
dari seribu maka beliau dianugerahi oleh Prabu Santi Puspo, Adipati
Lasem jabatan sebagai penewu pada tahun 1485.
Pada tahun 1492 Raden Panji Singopatoko alias Kyai Ageng Ngatoko alias
Kyai Abdul Rahman, wafat. Sebelum wafat, beliau telah berpesan kepada
keluarganya, kalau beliau meninggal supaya dimakamkan didekat masjid
atau Tapakan Telogo Desa Karangasem yaitu Punthuk dekat Desa Watu
Lintang, sebelah barat daya Goa Watu Gilang.
Setelah Raden Panji Singopatoko wafat, jabatan Penewu digantikan oleh
putera beliau yang bernama Raden Panji Singonagoro. Sebagai penghargaan
dan penghormatan masyarakat Dukuh Telogo dan masyarakat Desa Karangasem
kepada Raden Panji Singopatoko alias Kyai Abdul Rahman, setiap tanggal
12 Bakda Maulud masyarakat menyelenggarakan peringatan wafat beliau atau
haul bertempat di makam Kyai abdul Rahman di Tapaan Dukuh Telogo Desa
Karangasem.
Kesimpulan
Dari cerita di atas sampailah kita kepada kesimpulan dari beberapa
alternatif tentang sejarah asal-usul Desa Gedug, Karangasem, Ngatoko,
Telogo, Tapaan, Kasingan. Adanya fakta-fakta sejarah seperti pembentukan
pemukiman awal yang kemudian tumbuh menjadi kota, adanya tokoh penguasa
daerah dan adanya wilayah kekuasaan.
Sedangkan dulu ternyata pusat kabupaten Rembang atau malah mungkin
sebelum terbentuk kabupaten Rembang pusatnya berada di Lasem atau lebih
tepatnya kadipaten Lasem, tapi seiring berjalannya waktu akhirnya
sekarang berpindah ke kota Rembang sendiri dan jarak antara Lasem dengan
kota Rembang kurang lebih 20 KM.
Berdasarkan sumber di atas penguasa pada saat itu yang tinggal di
Kadipaten Lasem masih keturunan kerajaan Majapahit mulai dari Prabu
Santi Puspo anak Prabu Santi Bodro. Prabu Santi Bodro anak Prabu Bodro
Nolo dengan Puteri Cempo. Prabu Bodro Nolo anak Prabu Wijoyo Bodro.
Prabu Wijoyo Bodro anak Prabu Bodro Wardono. Prabu Bodro Wardono anak
Dewi Indu/ Dewi Purnomo Wulan/ Prabu Puteri Maharani dengan Rajasa
Wardana. Dewi Indu adalah saudara sepupu Prabu Hayam Wuruk Wilotikto.
Dewi Indu pernah menjadi ratu di Kadipaten Lasem. Jadi Prabu Santi Puspo
masih keturunan raja-raja Majapahit. Menurut sumber lain juga
mengatakan bahwa kabupaten Rembang keseluruhannya dulu juga daerah
kekuasaan Majapahit yang terkenal sangat luas.
Pariwisata
Wana Wisata Kartini Mantingan
Tempat Rekreasi wanawisata yang dikelola oleh Perum Perhutani ini
terletak di desa Mantingan Kecamatan Bulu Rembang, berdekatan dengan
Makam R.A. Kartini. Fasilitasnya:
Konservasi tanaman
Kolam renang
Bumi Perkemahan
Koleksi satwa
Arena olahraga
Bumi Perkemahan Karangsari Park
Terletak di Desa Karangsari. Bumi Perkemahan ini pernah digunakan untuk
menggelar Jambore Daerah Gerakan Pramuka Kwarda Jawa Tengah pada tahun
2007.
Sumber Semen
Merupakan hutan wisata yang dikelola oleh Perum Perhutani yang terletak
di Kecamatan Sale Rembang. Tempat wisata yang terletak di tengah-tengah
hutan lindung ini mempunyai fasilitas antara lain:
Pemandian/Kolam renang
Taman bermain anak
Bumi Perkemahan
Puncak Argopuro
Merupakan puncak tertinggi di Gunung Lasem dengan ketinggian 806 meter
diatas permukaan laut. Tempat ini banyak dikunjungi oleh para pecinta
alam dan penyuka kegiatan outdoor dari Rembang, Pati, Tuban dan lainnya.
Jalur pendakian yang sering dilalui adalah melalui Nyode Pancur.
Pasujudan Sunan Bonang
Konon merupakan tempat berdakwah Sunan Bonang. Dan di tempat ini pulalah
Sunan Bonang dimakamkan sebelum akhirnya mayatnya dicuri dan dipindah
ke Tuban oleh murid beliau. Lokasinya terletak di Desa Bonang Kecamatan
Lasem, tepat di atas bukit di sisi jalan Pantura. Setiap bulan
Dzulqaidah diadakan acara haul.
Obyek-obyek lainnya di sini adalah:
Batu bekas tempat bersujud Sunan Bonang
Bekas kediaman Sunan Bonang
Joran Pancing milik Sunan Bonang
Makam-makam kuno lainnya
Bukit Kajar dan sejarah nya
Konong merupakan sebuah Kadipaten yang dipimpin oleh Rasemi pada masa kerajaan Majapahit.
Desa Kajar terletak di lereng Gunung Kajar, salah satu bagian dari
Pegunungan Lasem. Dari kota tua Lasem atau jalan pantai utara Lasem,
desa dengan sumber air yang melimpah itu berjarak sekitar 7 kilometer ke
arah selatan.
Desa Kajar mempunyai empat peninggalan Kerajaan Majapahit. Peninggalan
itu berupa batu tapak kaki Raja Majapahit yang dikenal dengan watu
tapak, goa tinatah, kursi kajar, dan lingga kajar. Peninggalan itu tidak
mengumpul di satu tempat, tetapi tersebar di sejumlah titik Gunung
Kajar.
Kisah di balik peninggalan itu tidak terlepas dari sejarah Kadipaten
Lasem pada masa Kerajaan Majapahit. Berdasarkan laporan ”Rekonstruksi
Sejarah Kadipaten Lasem” garapan MSI Kabupaten Rembang, Kadipaten Lasem
muncul setelah Tribuwana Wijayatunggadewi membentuk Dewan Pertimbangan
Agung atau Bathara Sapta Prabu pada 1351.
Salah satu anggota Dewan Pertimbangan Agung adalah Dyah Duhitendu Dewi,
adik kandung Hayam Wuruk. Setelah menikah dengan anggota Dewan
Pertimbangan Agung yang lain, Rajasawardana, Dewi Indu tinggal dan
menjadi penguasa di Lasem dengan gelar Putri Indu Dewi Purnamawulan,
yang kemudian dikenal sebagai Bhre Lasem.
Dalam Nagarakertagama kisah Dewi Indu dan Rajasawardana tercatat di
terjemahan Negarakertagama Pupuh V dan VI. Dalam Pupuh V Ayat 1
disebutkan, ”Adinda Baginda raja di Wilwatikta: Puteri jelita,
bersemayam di Lasem Puteri jelita Daha, cantik ternama Indudewi Puteri
Wijayarajasa”.
Begitu pula dalam Pupuh VI Ayat 1, ”Telah dinobatkan sebagai raja tepat
menurut rencana Laki tangkas rani Lasem bagai raja daerah Matahun
Bergelar Rajasawardana sangat bagus lagi putus dalam naya Raja dan rani
terpuji laksana Asmara dengan Pinggala”.
Dalam pupuh yang sama pada Ayat 3 disebutkan, ”Bhre Lasem Menurunkan
puteri jelita Nagarawardani Bersemayam sebagai permaisuri pangeran di
Wirabumi Rani Pajang menurunkan Bhre Mataram Sri Wikramawardana Bagaikan
titisan Hyang Kumara, wakil utama Sri Narendra”.
Desa Kajar, merupakan salah satu daerah terpenting Kerajaan Majapahit.
Desa Kajar merupakan tempat memberikan pengetahuan serta ajaran agama
dan moral kepada para pejabat, panglima, dan prajurit Kerajaan
Majapahit.
”Kajar merupakan kependekan dari ’ka’ yang berarti kaweruh (pengetahuan) dan ’jar’ yang berarti ajaran,”
Bukan hal yang mengherankan jika pada 1354 Hayam Wuruk berkunjung ke
Lasem dan Desa Kajar. Untuk mengenang kunjungan itu sekaligus sebagai
prasasti tanda daerah kekuasaan Majapahit, Bhre Lasem membuat ukiran
telapak kaki Hayam Wuruk di sebuah batu andesit di lereng Gunung Kajar.
Hingga kini, ukiran telapak kaki itu masih ada dan warga Desa Kajar
meyakini ukiran itu sebagai bekas telapak kaki Hayam Wuruk. Warga kerap
menyebut batu telapak kaki itu sebagai watu tapak.
Peninggalan-peninggalan lain Majapahit, seperti goa tinatah, kursi
kajar, dan lingga kajar, juga menunjukkan peran penting Desa Kajar
selama Majapahit berkuasa. Goa tinatah merupakan dua goa yang terletak
di Gunung Kajar.
Goa pertama merupakan tempat menyepi pejabat atau panglima Majapahit.
Goa itu hanya muat untuk satu orang. Goa kedua merupakan tempat para
prajurit yang dibawa pejabat atau panglima Majapahit itu berjaga-jaga.
Goa kedua itu dapat memuat sekitar 15 orang.
Setelah menyepi selama beberapa waktu di goa tinatah, pejabat atau
panglima Majapahit itu disucikan dengan air Kajar. Dia duduk di
sebongkah batu yang mirip kursi. Warga kerap menyebut kursi itu sebagai
kursi kajar.
Selain itu, untuk menghargai Desa Kajar sebagai tempat yang membawa
kesuburan bagi daerah lain karena banyak sumber mata air, Bhre Lasem
membuat lingga berhuruf palawa di dekat lingga pada zaman batu dan salah
satu mata air Kajar.
”Lantaran tidak terawat, huruf palawa di lingga itu sulit dibaca lagi.
Begitu pula peninggalan-peninggalan Majapahit lain, misalnya kajar
kursi, juga tidak terperhatikan. Batu itu tidak lagi menyerupai kursi
karena telah hancur sebagian.