Kurang lebih pada tahun 1300 M ada utusan ( Mubaligh ) dari Arab yaitu
Syeh Jumadil Kubro (Jamaluddin Akbar) beliau mempunyai putri bernama
Thobiroh dan Thobiroh mempunyai putra Syeh Maulana Maghribi. Pada saat
itu beliau mendapat perintah untuk mengembangkan Syiar agama Islam di
Tanah Jawa, karena pada saat itu orang-orang jawa masih memeluk agam
Budha serta pada saat itu juga orang-orang jawa masih ahli dalam bertapa
dalam hal mendekatkan diri dengan Sang Pencipta, sehingga orang-orang
Tanah Jawa banyak yang istilah jawa disebut “ Ora Tedhas Papak Palu ning
Pande “ ( Kebal kulitnya terhadap senjata apapun ).
Kemudian Syeh Maulana Maghribi mulai memasukkan syariat Islam di
tengah-tengah masyarakat Jawa dalam berKhalwat untuk mendekatkan diri
kepada ALLAH dengan cara bertapa pula sehingga seperti budaya masyarakat
Jawa yang masih beragama budha dengan maksud untuk menarik perhatian
masyarakat jawa untuk bias memeluk agama Islam. Namun cara bertapa yang
dilakukan oleh Syeh Maulana Maghribi lain dengan cara yang dilakukan
oleh masyarakat Jawa umumnya, Syeh Maulana Maghribi dalam bertapa dengan
cara naik ke atas pohon dengan menggelantungkan badannya seperti
kelelawar cara seperti ini oleh masyarakat Jawa disebut dengan bertapa
Ngalong ( Kalong ) kemudian dalam bertapa Syeh Maulana Maghribi bertemu
dengan putrid Bupati Tuban I yang bernama DEWI RETNO ROSO WULAN adik
perempuan R. Sahid ( Sunan Kalijaga ). Yang saat itu Dewi Retno Roso
Wulan diperintah oleh Ayahandanya Adipati Wilotikto untuk melakukan
bertapa Ngidang dengan cara masuk hutan selama 7 tahun tidah boleh
pulang dan tidak boleh makan kecuali makan daun-daun yang berada di
hutan.
Perintah bertapa ini dilakukan oleh Dewi Retno Roso Wulan agar supaya
cita-citanya untuk bertemu dengan kakaknya Raden Sahid dapat terwujud.
Namun dalam proses pencarian R. Sahid berjalan ia bertemu dengan Syeh
Maulana Maghribi, pertemuan ini terjadi pada saat masih menjalankan
bertapa, dan dari pertemuannya ini mereka terjalin rasa saling mencintai
dan saling ada kecocokan yang akhirnya menjadi suami istri . Pertemuan
keduanya yang sudah menjadi suami istri, dilanjutkan dengan pulang ke
Adipati Tuban untuk menghadap Ayahandanya, tetapi Dewi Retno Roso Wulan
yang sudah dalam keadaan hamil pulang seorang diri dan tidak bersama
suaminya Syeh Maulana Maghribi. Sesampainya di Kadipaten Tuban Dewi
Retno Roso Wulan ditanya oleh Ayahandanya “ Siapa Suamimu, sehingga kamu
pulang dalam keadaan hamil? “ Saat ditanya Dewi Retno Roso Wulan diam
tidak menjawab karena rasa takutnya kepada ayahandanya, akhirnya Dewi
Retno Roso Wulan kembali ke hiutan untuk mencari suaminya yaitu Syeh
Maulana Maghribi ayah dari anak yang dikandungnya itu. Ditengah
perjalanannya Dewi Retno Roso Wulan melahirkan seorang bayi laki-laki
yang keliahatan lucu, tempat dimana Dewi Retno Roso Wulan melahirkan
bayi itu sampai sekarang diberi nama Desa BABAR.
Setelah si Jabang bayi lahir niat untuk mencari Syeh Maulana Maghribi
ayah dari bayi itu oleh Dewi Retno Roso Wulan tetap dilanjutkan dan saat
mencari ayah si bayi Dewi Retno Roso Wulan masih dalam keadaan bertapa.
Kemudian bayi di letakkan di Sendang ( Mata Air) dekat Syeh Maulana
Maghribi bertapa diatas pohon Giyanti. Setelah melihat istrinya datang
dengan bayinya Syeh Maulana Maghribi turun dari pertapaannya untuk
menimang bayi yang putranya sendiri hasil pernikahannya dengan Dewi
Retno Roso Wulan, entah ada rahasia apa yang kemudian bayi itu dibuatkan
tempat yang sangat indah dan terbuat dari emas yang disebut BOKOR
KENCONO.
Sementara itu Dewi Kasihan ditinggal wafat suami tercintanya yang
bernama Aryo Pananggungan dan belum dikaruniai keturunan, karena
sayangnya Dewi Kasihan terhadap suaminya walau sudah wafat setiap malam
ia selalu menengok makam suaminya. Pada saat itu Syeh Maulan Maghribi
membawa putranya yang telah dimasukkan ke Bokor Kencono kemudian
diletakkan didekat makam Aryo Pananggungan tersebut.
Di malam itu juga kebetulan Dewi Kasihan keluar dari rumah menengok arah
makam suaminya, ternyata didekat makam suaminya ada Bokor Kencono yang
sangat indah tersebut dan ternyata didalamnya ada bayi yang sangat
mungil dan sangat lucu. Serta ada tulisan bahwa bayi itu bernama Nur
Rohmat dan siapapun yang merawat hendaknya memberikan Nama Julukan agar
anak tersebut berkembang dengan baik.
Disaat itu pula Dewi Kasian sangat terperanjat hatinya ketika melihat si
jabang bayi, lalu diambilnya jabang bayi itu lalu dibawa pulang. Kabar
mengenai orang meninggal bias memberikan anak pada istri jandanya telah
tersiar sampai kepelosok negeri.
Masyarakat berbondong-bondong ingin melihat kebenaran berita tersebut.
Akhirnya Dewi Kasihan yang semula tidak memiliki harta benda namun
dengan adanya kabar tersebut yang bisa mendatangkan banyak orang dan
banyak memberikan uluran tangan kepada Dewi Kasihan sehingga lambat laun
Dewi Kasihan menjadi kaya rayaberkat uluran tangan dari orang-orang
yang dating melihat bayi tersebut. Jabang bayi tersebut oleh Dewi
Kasihan diberi nama JOKO TARUB.
Nama JOKO TARUB diambil dari kata TARUBAN yang diatas makam suaminya,
karena saat jabang bayi diambil Dewi Kasihan berada diatas makam ARYA
PENANGGUNGAN atau suaminya, dimana makam tersebut dibuat bangunan
TARUBAN.
Pada usia kanak-kanak JOKO TARUB mempunyai kegemaran menangkap kupu-kupu
di lading, setelah dewasa JOKO TARUB mulai berani masuk hutan untuk
mencari burung-burung dihutan pada suatu saat Joko Tarub sedang mencari
burung dihutan Joko Tarub bertemu dengan orang tua (Syaikh Maghribi Sang
Ayahandanya) yang memberikan bimbingan ilmu Agama dan diberi aji-aji
dan Pusaka yang diberi nama “ TULUP TUNJUNG LANANG “.
Diwaktu mendapat pusaka berupa tulup tersebut JokoTarub langsung
bergegas pulang untuk menyampaikan berita tersebut kepada ibu asuhnya
yakni Dewi Kasian,selain itu juga Joko Tarub bercerita bahwa di tengah
hutan Joko Tarub telah berjumpa dengan orang yang sudah sangat tua,
dalam pertemuannya itulah Joko Tarub diberi Pusaka berupa sebuah TULUP (
Sumpit. Red ) yang diberi nama “ TULUP TUNJUNG LANANG “, mengingat rasa
sayangnya kepada Joko Tarub anak satu-satunya Dewi Kasihan tidak
memperbolehkan lagi Joko Tarub pergi ke hutan untuk mencari burung,
mereka khawatir kalua anak satu-satunya ini diterkam binatang buas atau
dibunuh orang yang tidak senang dengan Joko Tarub. Namun Joko Tarub
tidak takut lebih-lebih sekarang dia telah memiliki bekal pusaka Tulup
Tunjung Lanang, maka Joko Tarub masih saja senang masuk hutan untuk
berburukususnya burung-burung.
Kebiasaan berburu burung tetap saja dilakukan oleh Joko Tarub sehingga
pada suatu ketika saat Joko Tarub sampai di atas pegunungan, dia
mendengar suara burung perkutut yang sangat indah sekali suaranya.
Kemudian pelan-pelan Joko Tarub mendekati arah suara burung perkutut itu
berada, setelah menemukannya langsung Joko Tarub melepaskan anak tulup
itu kearah burung tersebut, namun usahanya gagal. Dan kegagalannya itu
membuat si Joko Tarub berfiki dan beranggapan bahwa burung Perkutut itu
pasti bukan sembarang burung atau bukan burung Perkutut biasa.
Usaha berburu burung dilanjutkan hingga terdengar lagi suara burung dari
arah selatan, kemudian dia dekati lagi dengan sangat pelan-pelan lalu
dilepaskannya lagi anak tulup kearah burung tersebut, akan tetapi tidak
mengenainya lagi dan ternyata anak tulup justru mengenai dahan pohon
jati dimana burung perkutut itu hinggap dan bersuara. Dan tempat yang
ditinggalkan burung perkutut tadi sekarang diberi nama “ KARANG GETAS “.
Usaha berburu burung selalu gagal sehingga Joko Tarub merasa sedih,
karena kesedihannya maka Joko Tarub memberinya nama “ DUKUH SEDAH “.
Kemudian terdengar lagi suara burung dari arah yang sama didekati dengan
pelan-pelan dan pada posisi yang strategis dan burung dalam keadaan
terpojok, maka anak Tulup pun kembali dilepaskan namun tidak kena lagi
dan burung pun terbang kea rah selatan lagi, dan tempat tersebut diberi
nama “ DUKUH POJOK “. Akan tetapi Si Joko Tarub pemuda yang tidah mudah
putus asa maka upaya memburu burung perkutut tadi terus saja dilakukan.
Burung perkutut yang dia buru tadi terbang kea rah selatan terus dan
hinggap di sebuah pohon asam, Joko Tarub selalu berusaha melepaskan anak
tulupnya kearah burung tersebut akan tetapi usahanya selalu gagal dan
burung itu terbang lagi menuju arah selatan terus. Dan tempat burung
perkutut hinggap di pohon asam tadi dan tempat yang ditinggalkan diberi
nama “ DUKUH KARANGASEM “
Sambil mengejar burung perkutut yang selaluterbang menuju arah selatan
Joko tarub sambil merenungi burung tersebut, dalam ucapannya mengatakan
ini burung yang wajar ataukah burung yang merupakan godaan? Dan tempat
Joko Tarub merenungkan burung tersebut maka diberi nama “ DUKUH GODAN”.
Setelah merenung sesaat lantas Joko Tarub kembali bergegas untuk
mengejar burung buruannya tadi yang menuju kea rah selatan dan terus
keselatan, dan tempat melihat burung terbang menuju arah selatan Joko
Tarub memberikan nama “ DUKUH JENTIR”.
Karena kemauannya yang keras Joko Tarub terus berusaha mengejar dan
melacak kea rah selatan dimana burung perkutut tadi terbang, ketika saat
pencariannya Joko Tarub tiba disuatu tempat yakni SENDANG TELOGO dan di
tepi sendang itu Joko Tarub Menancapkan Tulup Pusakanya, karena saat
itu tiba waktunya Sholat Dzuhur, sambil istirahat Joko Tarub menuju
kearah sendang untuk mengambil air wudlu untuk Sholat Dzuhur. Disaat
Joko Tarub berwudlu tiba-tiba datanglah bidadari untuk mandi, saat itu
pula ada salah satu pakain dari bidadari yng diletakkan diatas Tulup
Pusaka Joko Tarub yang sedang ditancapkan ditepi sendang, setelah habis
wudlu dan sholat dzuhur Joko Tarub langsung pulang tanpa membawa buah
hasil buruannya kemudian sesampainya dirumah Joko tarub laporan kepada
ibunya sambil berkata “ Ibunda saya berburu hari ini tidak mendapatkan
satu burung pun, akantetapi saya hanya mendapatkan pakain perempuan yang
ditaruh diatas tulup saya dan dia sedang mandi di SENDANG TELAGA……”
Tanpa banyak bertanya sang Ibu langsung menyimpan pakaian tersebut di
ruang kusus untuk menumpuk padi ( Lumbung.red ), kemudian Joko Tarub
bergegas kembali lagi ke sendang dengan membawa pakaina ibunya, setelah
sampai di dekat sendang ternyata para bidadari sudah terbang, dan masih
ada yang tertinggal satu bidadari yang masih berada di tepi sendang
Telogo dengan menangis sedih sambil berkata “ Sopo sing biso nulung aku,
yen wadon dadi sedulur sinoro wedi, yen kakung tak dadekke bojoku “
artinya “ Barang siapa yang bis menolong aku jika dia perempuan aku
jadikan saudaraku dan jika dia laki-laki maka akan saya jadikan suami”
disaat itu Joko Tarub mendekat di bawah pohon sambil melontarkan pakaian
ibunya tadi, setelah berpakaian bidadari itu langsung diajak pulang ke
rumah ibunya dan disampaikan kepada ibunya bahwa putrid ini adalah putri
Sendang Telogo.
Sesuai dengan Ikrar atau janji sang bidadari yang menyatakan “ Sopo sing
biso nulung aku, yen wadon dadi sedulur sinoro wedi, yen kakung tak
dadekke bojoku “, akhirnya Joko Tarub menikah dengan bidadari yang
bernama DEWI NAWANG WULAN. Adapun sendang yang digunakan untuk mandi
bidadari diberi nama “ SENDANG TELOGO BIDADARI “ yang berada di DUKUH
SREMAN desa POJOK Kecamatan Tawangharjo Kabupaten Grobogan.
Tanah Sendang Telaga Bidadari tersebut milik Keraton SURAKARTA
HAININGRAT atau disebut TANAH PERDIKAN, dan sampai saat ini lokasi
Sendang Bidadari oleh masyarakat masih dikeramatkan kususnya pada malam
10 Muharam.
Setelah Joko Tarub menikah dengan Dewi Nawang Wulan mendapat gelar KI
AGENG atau SUNAN TARUB, beliau menyebarkan Agama islam untuk meneruskan
perjuangan ayahandanya yakni Syekh Maulana Maghribi. Dalam pernikahannya
beliau dikaruniai seorang keturunan yang diberi nama DEWI NAWANGSIH.
Nilai-Nilai yang terkandung dalam legenda “Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan”.
1. Nilai Moral,
Setelah membaca legenda “Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan” dapat diambil
nilai-nilai moral yang tekandung didalamnya. Seperti, kita harus
berlaku jujur dengan tindakan-tindakan kita. Ketidakterusterangan Nawang
Wulan kepada Joko Tarub bahwa dia adalah seorang bidadari, dan
kedustaan Joko Tarub yang sebenarnya telah mencuri pakaian dan selendang
Nawang Wulan berakibat mereka harus berpisah. Nawang Wulan harus
kembali ke kahyangan walaupun ia sangat mencintai suaminya. Dalam
legenda ini diajarkan bahwa sebaik-baiknya kita menyimpan kebohongan
akan ketahuan juga pada akhirnya.
Perilaku yang baik akan ditunjukkan dengan memegang amanah yang
dipercayakan kepada kita. Amanah Nawang Wulan untuk tidak melihat
sesuatu yang ditanak olehnya, dilanggar oleh Joko Tarub karena sifat
manusia yang selau ingin tahu.
Ini merupakan tantangan yang berat bagi setiap manusia. Berlaku jujur
dan terbuka. Serta menjaga kepercayaan yang begitu sulit dilaksanakan
oleh manusia.
2. Nilai Sosial,
Nilai-nilai lain yang tersirat dari legenda ini adalah nilai sosial.
Nilai sosial merupakan nilai yang terkandung dalam menjalani hidup
bermasyarakat atau bergaul dengan orang lain disekitar kita.
Nilai sosial dalam legenda “Joko Tarub dan Dewi Nawang Wulan”
ditunjukkan ketika rekan-rekan dari Nawang Wulan meninggalkan dirinya
sendirian di telaga. Ini tidak menunjukkan kesetiakawanan yang selama
ini mereka bina. Mereka bertujuh selalu bersama-sama. Namun, ketika
salah seorang teman mereka mengalami kesulitan tidak ada yang membantu
Nawang Wulan. Nawang Wulan justru malah ditinggalkan sendirian di bumi
yang asing bagi mereka.
Sebaiknya kita sebagai sesama makhluk Tuhan harus saling tolong menolong
dan membantu dalam keadaan apapun. Walaupun hasilnya akan nihil,
setidaknya kita berusaha membantu semaksimal mungkin.
3. Nilai Etika,
Nilai etika merupakan nilai-nilai kesopanan yang tersirat dari sebuah
peristiwa. Seperti nilai etika yang terkandung dalam legenda “Joko Tarub
dan Dewi Nawang Wulan” dalam cerita di atas. Nilai-nilai kesopanan yang
terlihat adalah ketika Joko Tarub mengintip ke tujuh bidadari yang
sedang mandi di telaga, apalagi sampai menyembunyikan salah satu pakaian
dari bidadari tersebut di dalam lumbung padi rumahnya. Pada akhirnya
perbuatan ini menimbulkan prahara dalam biduk rumah tangga Joko Tarub.
Tindakan seperti ini sungguh tidak terpuji. Apalagi setting tempat
legenda ini berasal dari daerah jawa. Terkenal dengan tata krama dan
kesopanan yang maha tinggi. Sungguh tidak mencerminkan budaya jawa.
Sifat-sifat seperti itu hendaknya untuk ditinggalkan dengan memperteguh iman dan taqwa kepada Tuhan.
4. Nilai Estetika,
Nilai estetika atau nilai keindahan pada legenda “Joko Tarub dan Dewi
Nawang Wulan” adalah cara menggambarkan kecantikan dan keelokan ke tujuh
bidadari yang sedang mandi di telaga. Kecantikan Nawang Wulan yang
akhirnya menjadi penguaasa laut selatan juga memiliki nilai estetika
sendiri. Selain itu juga perasaan cinta yang dimiliki oleh sepasang
makhluk Tuhan yang saling mencintai menggambarkan suasana yang indah.
Maka, setiap keelokan yang sedap dipandang mata dan enak dirasa pada
setiap penikmatnya akan menimbulkan kesan keindahan yang mendalam.
5. Nilai Budaya,
Nilai-nilai budaya yang terdapat dalam legenda “Joko Tarub dan Dewi
Nawang Wulan” adalah budaya yang sejak dulu terjaga sampai saat ini
yaitu kepercayaan tentang adanya Nyi Roro Kidul di pesisir pantai
selatan. Pada setiap waktunya warga pesisir memberikan sesajen kepada
ratu penguasa laut selatan tersebut, sebagai wujud terima kasih telah
menjaga laut kidul dari bencana dan marabahaya.
6. Nilai Religi.
Nilai-nilai religi yang dapat dijumpai pada legenda “Joko Tarub dan Dewi
Nawang Wulan” adalah terdapat dewa-dewi, bidadari dan roh halus yang
ada pada cerita di atas. Ini menunjukka ada kepercayaan animisme, atau
percaya pada roh halus atau roh nenek moyang. Kepercayaan tentang adanya
roh halus yang disembah juga merupakan salah satu bentuk animisme
meskipun sekarang tingkat kekentalan animismenya berkurang karena telah
bergeser dengan adanya agama. Roh halus sudah tidak dijadikan
sesembahyang lagi tetapi sudah menjadi legenda terutama di kawasan
pesisir selatan.
Menurut beberapa catatan dan keterangan dari berbagai sumber, termasuk
dari Keraton Surakarta Hadiningrat, bahwa Kyaii Ageng Ngerang mempunyai
nama asli Siti Rohmah Roro Kasihan, setelah menikah dengan Ki Ageng
ngerang, nama beliau berubah menjadi Nyai Ageng Ngerang. Beliau
mempunyai tali lahir maupun batin dengan sultan – sultan dan guru besar
agama yang bersambung pada Raja Brawijaya V, raja majapahit Prabu
Kertabumi,
Beliau diberikan nama dengan sebutan Nyai Ageng Ngerang dan makamnya ada
didusun Ngerang Kecamatan Tambakromo Kabupaten Pati, ada beberapa versi
yang mengatakan, beliau senang membantu orang yang sedang di ganggu
demit dan termasuk didusun Ngerang juga banyak demit yang pating
sliwerang, kemudian dikalahkan dan diusir oleh beliau dari dusun itu,
maka oleh karena itu beliau disebut Nyai Ageng Ngerang.
Dilihat dari silsilah beliau kebawah dan seterusnya. Nyai Ageng Ngerang
yang makamnya di Ngerang Tambakromo Pati adalah Nyai Ageng Ngerang, Siti
rohmah Roro Kasihan. Beliau di peristri Ki Ageng Ngerang I.Ki Ageng
Ngerang I Putra dari Syaihk Maulana Malik Ibrahim. Dan atas perkawinan
Nyai Ageng Ngerang dan Ki Ageng Ngerang I, beliau mempunyai dua orang
Putra, Pertama adalah seorang putri dan belum diketahui dan dijelaskan
namanya didalam buku – buku maupun sumber lain.
Putri Beliau yang pertama diperistri oleh Ki Ageng Selo. Dan Ki Ageng
Selo adalah putra dari Ki Ageng Getas Pendawa. Putra yang kedua beliau
adalah Ki Ageng Ngerang II yang disebut Ki Ageng Pati, makamnya sekarang
berada di Ngerang Pakuan Juana, Ki Ageng Ngerang II mempunyai empat
putra yaitu Ki Ageng ngerang III, Ki Ageng Ngerang IV, Ki Ageng Ngerang V
dan Pangeran Kalijenar.
Sedangkan Ki Ageng Ngerang III, Makamnya sekarang ada di Laweyan solo
Jawa Tengah. Ki Ageng Ngerang III ini yang telah menurunkan Ki Ageng
Penjawi. Ki Ageng Penjawi, orang yang pernah menjadi Adipati Kadipaten
pati setelah gugurnya Arya Penangsang, Arya Penangsang adalah adipati
Jipang Panolan dan Arya penagnsang adalah putra Pangeran Sedalepen.
Ki Ageng Penjawi sangat berjasa dalam menumpas pemberontakan yang
dilakukan oleh laskar Soreng yang dpimpin oleh Arya Penangsang, untuk
membunuh semua keturunan Sultan Trenggono, karena iri hati. Sedangkan Ki
Ageng Penjawi sebagai panglima perang bersama Danang Sutawijaya, Ki
Juru Mertani, Ki Pemanahan ( tiga Serangkai ) akhirnya dapat mengalahkan
Arya Penangsang beserta bala tentaranya.
Dari silsilah Nyai Ageng Ngerang keatas, beliau menjadi Putri bungsu
Raden Bondan Kejawan, Lembu Peteng, atas pernikahanya dengan Dewi
Nawangsih. Dan Raden Bondan Kejawan sendiri merupakan Putra dari Raja
Brawijaya V, Raja majapahit, Prabu Kertabumi. Raja Brawijaya bertahta
pada tahun 1468 – 1478 M.
Ayah Nyai Ageng Ngerang masih saudara Raden Patah. Raden Patah adalah
orang yang pertama kali menjadi Sultan pada Kerajaan Islam pertama di
pulau jawa, yaitu Kasultanan Demak Bintoro. Kerajaan islam pertama
dijawa yang didirikan oleh Raden Patah dan Raden Patah bergelar “Akbar
Alfatt” Raden Patah juga Putra Raja Brawijaya V dengan ibu keturunan
Champa, daerah yang sekarang adalah perbatasan Kamboja dan Vietnam.
Hubungan Nyai Ageng Ngerang dengan Jaka Tarub/Kidang Telangkas/ Nur Rohmat
Jaka tarub mempunyai istri bernama Nawang Wulan. Nawang Wulan dan Ki
Jaka Tarub mempunyai Putri Nawangsih dan Nawangsih diperistri Raden
Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan
dan Nawangsih, telah menurunkan tiga putra, pertama Syaikh Ngabdullah
yang sekarang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Wanasaba, dan putra kedua
adalah Syaikh Abdullah yang terkenal dengan sebutan Ki Ageng Getas
Pandawa dan yang bungsu adalah Siti Rohmah Roro Kasihan yang terkenal
dengan sebutan Nyai Ageng Ngerang.
SAUDARA – SAUDARA BELIAU
Seperti yang disebutkan diatas. Diceritakan bahwa pada sekitar tahun
1468 – 1478 M. ada seorang Prabu Kertabumi yang bertahta, raja Brawijaya
V. kerajaan Majapahit yang menikah dengan seorang putri yang bernama
Dewi Wandan Kuning. Atas pernikahan itu menurunkan putra bernama Raden
Bondan Kejawan, Lembu Peteng. Dan dari perkawinan Raden Bondan Kejawan
dan Dewi Nawangsih yang menjadi putri Ki Ageng Jaka Tarub dan
Nawangwulan. Pernikahan Raden Bondan Kejawan dan Dewi Nawangsih
mempunyai tiga orang Putra yaitu : 1.Ki Ageng Wanasaba (Abdullah)
2.Ki Ageng Getas Pendawa
3.Nyai Ageng Ngerang / Roro Kasihan
1. Ki Ageng Wanasaba Yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Ngabdullah
merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang pertama / sulung, yang
sekarang makamnya ada di daerah yang bernama kabupaten Wonosobo,
tepatnya di desa Plobangan Selo merto. Dalam masa hidupnya, Ki Ageng
Wanasaba juga sebagai seorang Pemimpin yang yang hebat dan karismatik.
Ki Ageng Wanasaba dikenal juga dengan julukan Ki Ageng Dukuh, akan
tetapi desa Plobangan lebih dikenal dengan Ki wanu / Ki wanusebo.
Perbedaan nama tersebut disebabkan dialek daerah Wanasaba tersebut
terpengaruh oleh dialek Banyumas.
Ki Ageng Wanasaba dipercaya dan diyakini sebagai waliyullah, yang telah
melanglang buana keberbagai tempat dalam rangka mencari ilmu sekaligus
menyiarkan agama Islam. Ki Ageng Wanasaba merupakan cucu dari Prabu
Brawijaya V, Raja Majapahit dan merupakan putra Raden Bondan
Kejawan/Lembu Peteng , putra Brawijaya V yang menikah dengan Nawangsih,
dan Nawangsih sendiri putri dari Kyai Ageng Tarub yang menikah dengan
Dewi Nawang wulan.
Ki Ageng Wanasaba mempunyai Putra yaitu Pangeran Made Pandan, nama lain
dari Ki Ageng Pandanaran. Pangeran Made Pandan mempunyai putra Ki Ageng
Pakiringan yang mempunyai istri bernama Rara Janten. Dari pasangan ini
mempunyai empat Putra yaitu Nyai Ageng Laweh, Nyai Ageng Manggar, Putri
dan Ki juru Mertani.
Situs makam Ki Ageng Wanasaba saat ini dipugar, dikeramatkan dan dijaga
dengan baik oleh warga sekitar. Lokasi situs ini sangat dihormati oleh
masyarakat, karena KI Ageng Wanasaba merupakan tokoh penyebar agama
islam dan sekaligus cikal bakal dari desa Plobangan Selomerto kabupaten
wonosobo. Di sekitar makam Ki Ageng Wanasaba terdapat tiga makam kuno.
Konon tiga makam itu juga merupakan pendahulu, seorang ulama yang
sejaman dengan Ki Ageng Wanasaba.
2. Ki Ageng Getas Pendawa, Yang nama aslinya adalah Kyai Ageng Abdullah
atau yang disebut Raden Depok adalah saudara kandung beliau, Ki Ageng
Getas Pendawa merupakan kakak kandung Nyai Ageng Ngerang yang kedua. Ki
Ageng Getas Pendawa juga seorang yang hebat, berwibawa dan karismatik
serta sangat sederhana dalam hidup dan kehidupan manusia.
Beliau juga seorang pemimpin yang tegas dan berwibawa, oleh karena itu
beliau disebut Ki Ageng Getas Pendawa. Beliau sangat tangguh dan konon
sangat kuat dalam riyadhoh / tirakat, mengolah batin untuk mendekatkan
diri kepada Allah, dengan harapan bisa menenangkan diri dan dapat
menyebarkan agama islam dengan ikhlas, tulus dan berhasil. Makam beliau
juga dikeramatkan oleh warga sekitar. Makam Ki Ageng Getas Pandawa ada
di desa Kuripan Purwodadi, Grobogan.
Ki Ageng Getas Pendawa mempunyai putra yang bernama Ki Ageng Sela, Nyai
Ageng Pakis, Ki Ageng Purna. Ki Ageng Kare, Ki Ageng wanglu, Ki Ageng
Bokong dan Ki Ageng Adibaya. Sedangkan Ki Ageng Sela mempunyai Putra KI
Ageng Enis dan Ki Ageng Enis menurunkan putra yang bernama Ki Ageng
Pemanahan.
Legenda lain Syaikh Maghribi
Sapa ta Syekh Maulana Maghribi iku? Adhedhasar Babad Demak panjenengane
iku sawijine wong Arab kang mumpuni ilmu agama Islam. Asale saka tanah
Pasai. Critane isih tedhak turune Kangjeng Nabi Muhammad SAW, lan klebu
golongan wali ing tanah Jawa. Anggone angejawa mbarengi adege karaton
Demak. Panjenengane mula kagungan ancas tujuwan ngislamake wong Jawa.
Sabedhahe kraton Majapait ganti kraton Demak kang disengkuyung dening
para wali. Sawise tentrem negarane para wali andum gawe nyebarake agama
Islam. Syekh Maulana kawitan ditugasi ana ing Blambangan. Ana kana
dipundhut mantu dening sang adipati. Nanging durung nganti taunan nuli
ditundhung, sebabe apa ora kecrita. Saoncate saka Blambangan banjur
menyang Tuban, menyang panggonane kanca akrabe lan padha-padha saka
Pasai, tunggale Sunan Bejagung karo Syekh Siti Jenar. Saka kono Syekh
Maulana banjur lelana tabligh menyang Mancingan.
Nalika tabligh ana Mancingan iki Syekh Maulana sejatine wis peputra
kakung asma Jaka Tarub (utawa Kidang Telangkas) saka garwa asma Rasa
Wulan, ya rayine Sunan Kalijaga (R. Sahid). Wektu ditinggal ramane lunga
Kidang Telangkas isih bayi. Kawuningana nalika oncat saka Blambangan
sejatine Syekh Maulana uga ninggal wetengan kang mbabar kakung,
diparingi asma Jaka Samudra. Ing tembe Jaka Samudra jumeneng waliyullah
ana Giri, ajejuluk Prabu Satmata utawa Sunan Giri.
Nalika Syekh Maulana tekan Mancingan ing kana wis ana sawijine pendhita
Budha kang limpad, asmane Kyai Selaening. Daleme ana sawetane
Parangwedang. Dene papan pamujane kyai iki karo murid-muride ana candhi
kang didegake ana sadhuwure gunung Sentana. Sakawit Syekh Maulana
ethok-ethok meguru karo Kyai Selaening. Ana bebrayan umum Syekh Maulana
kadhangkala sok ngatonake pangeram-eram. Suwe-suwe Kyai Selaening
midhanget bab iki. Syekh Maulana ditimbali lan dipundhuti priksa apa
anane. Ya ing kono iku Syekh Maulana ngyakinake Kyai Selaening bab ilmu
agama kang sanyata. Wong loro iku banjur bebantahan ilmu.
Nanging Kyai Selaening ora keconggah nandhingi ilmune Syekh Maulana.
Mulane panjenengane genti meguru marang Syekh Maulana. Panjenengane
banjur ngrasuk agama Islam. Wektu iku ing padepokane Kyai Selaening wis
ana putra loro playon saka Majapait kang ngayom ana kono, asmane Raden
Dhandhun lan Raden Dhandher, karo-karone putrane Prabu Brawijaya V saka
Majapait. Bareng Kyai Selaening mlebu Islam putra Majapait iku uga
banjur dadi Islam, asmane diganti dadi Syekh Bela-Belu lan Kyai Gagang
(Dami) Aking.
Syekh Maulana ora enggal-enggal jengkar saka Mancingan nanging sawatara
taun angasrama ana kana, mulang agama marang warga-warga desa. Daleme
ana padepokan ing sadhuwure Gunung Sentana, cedhak karo candhi. Candhi
iki baka sethithik diilangi sipate. Kyai Selaening isih tetep ana
padhepokan sawetane Parangwedang nganti tekan ajale. Welinge marang anak
putune, aja pisan-pisan kuburane dimulyakake. Makame iki lagi taun
1950-an dipugar karo sedulur saka Daengan. Banjur ing taun 1961 dipugar
luwih apik maneh dening sawijine pengusaha saka kutha. Bareng wis
dianggep cukup anggone syiar agama Syekh Maulana banjur jengkar saka
Mancingan lan meling supaya tilas padhepokane iku diapik-apik kayadene
nalika wong-wong padha mbecikake candi.
Ya ing padhepokan iku wong-wong banjur yasa kijing. Sapa sing kepengin
nyuwun berkahe Syekh Maulana cukup ana ngarep kijing iki, kayadene
ngadhep karo panjenengane. Syekh Maulana Maghribi utawa Syekh Maulana
Malik Ibrahim sawise saka Mancingan nerusake tindake syiar agama ana ing
Jawa Timur. Bareng seda jenazahe disarekake ana makam Gapura, wilayah
Gresik. Syekh Maulana Maghribi nurunake ratu-ratu trah Mataram.
Urutane silsilah: Bupati Tuban-Dewi Rasa Wulan (nggarwa Syekh
Maulana)-Jaka Tarub (nggarwa Dewi Nawangwulan)-Nawangsih (nggarwa Radhen
Bondhan Kejawan)-Kyai Ageng Getas Pendhawa-Kyai Ageng Sela-Kyai Ageng
Anis/Henis-Kyai Ageng Pemanahan (Kyai Ageng Mataram)-Kanjeng Panembahan
Senapati-Kanjeng Susuhunan Seda Krapyak-Kanjeng Sultan Agung
Anyakrakusuma-Kanjeng Susuhunan Prabu Amangkurat (Seda
Tegalarum)-Kanjeng Susuhunan Paku Buwana I-Kanjeng Susuhunan Mangkurat
Jawi-ratu-ratu karaton Surakarta, Yogyakarta, Pakualaman, lan
Mangkunegaran.
Masiya makame Syekh Maulana ing Gunung Sentana dudu pasareyan sing
sabenere, nanging saben ana rombongan ziarah Wali Sanga mesthi merlokake
ziarah ana pasareyan Syekh Maulana ing Parangtritis. Panggonan liya
sing mesthi dadi jujugane ziarah Wali Sanga yaiku makam Gunung Pring,
Muntilan (pasareyane Kyai Santri) lan makam Bayat. Kayadene makam
pepundhen kraton liyane, saben wulan Ruwah makame Syekh Maulana uga
nampa kiriman dhuwit lan ubarampe “kuthamara” saka kraton Yogyakarta.
Saben tanggal 25 Ruwah ing makam iki diadani wilujengan sadranan.
Sedikit sejarah tentang Kyai Ageng Tarub (Sayid Nur Rohmat / Raden
Kidang Telangkas) Putra Syaikh Maghribi dengan Dewi Roro wulan.