Tuanku Imam Bonjol (lahir di Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat 1772 – wafat
dalam pengasingan dan dimakamkan di Lotak, Pineleng, Minahasa, 6
November 1864), adalah salah seorang ulama, pemimpin dan pejuang yang
berperang melawan Belanda, peperangan itu dikenal dengan nama Perang
Padri di tahun 1803-1837.
Tuanku Imam Bonjol diangkat sebagai Pahlawan Nasional Indonesia
berdasarkan SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, tanggal 6 November
1973.
Nama dan gelar
Nama asli dari Tuanku Imam Bonjol adalah Muhammad Shahab, yang lahir di
Bonjol, Pasaman, Sumatra Barat pada tahun 1772. Sebagai ulama dan
pemimpin masyarakat setempat, ia memperoleh beberapa gelar, yaitu Peto
Syarif, Malin Basa, dan Tuanku Imam. Tuanku nan Renceh dari Kamang
sebagai salah seorang pemimpin dari Harimau nan Salapan adalah yang
menunjuknya sebagai Imam (pemimpin) bagi kaum Padri di Bonjol. Ia
akhirnya lebih dikenal dengan sebutan Tuanku Imam Bonjol.
Perang Padri
Setelah berakhirnya perang Diponegoro & pulihnya kekuatan Belanda di
Jawa, Pemerintah Hindia-Belanda kembali mencoba untuk menundukan Kaum
Padri. Hal ini sangat didasari oleh keinginan kuat untuk penguasaan
penanaman kopi yg sedang meluas di kawasan pedalaman Minangkabau
[darek].
Sampai abad ke-19, komoditas perdagangan kopi merupaken salah satu
produk andalan Belanda di Eropa. Christine Dobbin menyebutnya lebih
kepada perang dagang, hal ini seiring dengan dinamika perubahan sosial
masyarakat Minangkabau dlm liku-liku perdagangan di pedalaman &
pesisir pantai barat atau pantai timur. Sementara Belanda pada satu sisi
ingin mengambil alih atau monopoli.
Selanjutnya untuk melemahkan kekuatan lawan, Belanda melanggar
perjanjian yg telah dibuat sebelumnya dengan menyerang nagari Pandai
Sikek yg merupaken salah satu kawasan yg mampu memproduksi mesiu &
senjata api. Kemudian untuk memperkuat kedudukannya, Belanda membangun
benteng di Bukittinggi yg dikenal dengan nama Fort de Kock.
Pada awal bulan Agustus 1831 Lintau berhasil ditaklukkan, menjadikan
Luhak Tanah Datar berada dlm kendali Belanda. Namun Tuanku Lintau masih
tetap melakukan perlawanan dari kawasan Luhak Limo Puluah. Sementara
ketika Letnan Kolonel Elout melakukan berbagai serangan terhadap Kaum
Padri antara tahun 1831-1832, ia memperoleh tambahan kekuatan dari
pasukan Sentot Prawirodirdjo salah seorang panglima pasukan Pangeran
Diponegoro yg telah membelot & berdinas pada Pemerintah
Hindia-Belanda sesudah usai perang di Jawa.
Namun kemudian Letnan Kolonel Elout berpendapat, kehadiran Sentot yg
ditempatkan di Lintau justru menimbulkan masalah baru. Beberapa
dokumen-dokumen resmi Belanda membuktikan kesalahan Sentot yg telah
melakukan persekongkolan dengan Kaum Padri sehingga kemudian Sentot
& legiunnya dikembalikan ke Pulau Jawa. Di Jawa, Sentot juga tak
berhasil menghilangkan kecurigaan Belanda terhadap dirinya, &
Belanda pun juga tak ingin ia tetap berada di Jawa & mengirimnya
kembali ke Sumatera. Namun di tengah perjalanan, Sentot diturunkan &
ditahan di Bengkulu, lalu ditinggal sampai mati sebagai orang buangan.
Sedangkan pasukannya dibubarkan kemudian direkrut kembali menjadi
tentara Belanda.
Sentot Prawirodirdjo, yg diilustrasikan oleh G. Kepper.
Pada bulan Juli 1832, dari Jakarta dikirim pasukan infantri dlm jumlah
besar di bawah pimpinan Letnan Kolonel Ferdinand P. Vermeulen Krieger,
untuk mempercepat penyelesaian peperangan. Dengan tambahan pasukan
tersebut pada bulan Oktober 1832, Luhak Limo Puluah telah berada dlm
kekuasaan Belanda bersamaan dengan meninggalnya Tuanku Lintau. Kemudian
Kaum Padri terus melakukan konsolidasi & berkubu di Kamang, namun
seluruh kekuatan Kaum Padri di Luhak Agam juga dapat ditaklukkan Belanda
sesudah jatuhnya Kamang pada akhir tahun 1832, sehingga kembali Kaum
Padri terpaksa mundur dari kawasan luhak & bertahan di Bonjol.
Selanjutnya pasukan Belanda mulai melakukan penyisiran pada beberapa
kawasan yg masih menjadi basis Kaum Padri. Pada awal Januari 1833,
pasukan Belanda membangun kubu pertahanan di Padang Mantinggi, namun
sebelum mereka dapat memperkuat posisi, kubu pertahanan tersebut
diserang oleh Kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Rao yg mengakibatkan
banyak korban di pihak Belanda. Namun dlm pertempuran di Air Bangis,
pada tanggal 29 Januari 1833, Tuanku Rao menderita luka berat akibat
dihujani peluru. Kemudian ia dinaikkan ke atas kapal untuk diasingkan.
Belum lama berada di atas kapal, Tuanku Rao menemui ajalnya. Diduga
jenazahnya kemudian dibuang ke laut oleh tentara Belanda.
Lamanya penyelesaian peperangan ini, memaksa Gubernur Jenderal
Hindia-Belanda Johannes van den Bosch pada tanggal 23 Agustus 1833 pergi
ke Padang untuk melihat dari dekat proses operasi militer yg dilakukan
oleh pasukan Belanda. Sesampainya di Padang, ia melakukan perundingan
dengan Komisaris Pesisir Barat Sumatera, Mayor Jenderal Riesz &
Letnan Kolonel Elout untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol, pusat
komando pasukan Padri. Riesz & Elout menerangkan bahwa belum datang
saatnya yg baik untuk mengadakan serangan umum terhadap Benteng Bonjol,
karena kesetiaan penduduk Luhak Agam masih disangsikan & mereka
sangat mungkin akan menyerang pasukan Belanda dari belakang. Tetapi Van
den Bosch bersikeras untuk segera menaklukkan Benteng Bonjol paling
lambat tanggal 10 September 1833, kedua opsir tersebut meminta tangguh
enam hari sehingga jatuhnya Bonjol diharapkan pada tanggal 16 September
1833.
Taktik serangan gerilya yg diterapkan Kaum Padri kemudian berhasil
memperlambat gerak laju serangan Belanda ke Benteng Bonjol, bahkan dlm
beberapa perlawanan hampir semua perlengkapan perang pasukan Belanda
seperti meriam beserta perbekalannya dapat dirampas. Pasukan Belanda
hanya dapat membawa senjata & pakaian yg melekat di tangan &
badannya. Sehingga pada tanggal 21 September 1833, sebelum Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda digantikan oleh Jean Chrétien Baud, Van den
Bosch membuat laporan bahwa penyerangan ke Bonjol gagal & sedang
diusahakan untuk konsolidasi guna penyerangan selanjutnya.
Kemudian selama tahun 1834 Belanda hanya fokus pada pembuatan jalan
& jembatan yg mengarah ke Bonjol dengan mengerahkan ribuan tenaga
kerja paksa. Hal ini dilakukan untuk memudahkan mobilitas pasukannya dlm
menaklukkan Bonjol. Selain itu pihak Belanda juga terus berusaha
menanamkan pengaruhnya pada beberapa kawasan yg dekat dengan kubu
pertahanannya. Pada tanggal 16 April 1835, Belanda memutuskan untuk
kembali mengadakan serangan besar-besaran untuk menaklukkan Bonjol &
sekitarnya. Operasi militer dimulai pada tanggal 21 April 1835, pasukan
Belanda dipimpin oleh Letnan Kolonel Bauer, memecah pasukannya menuju
Masang menjadi dua bagian yg bergerak masing-masing dari Matur &
Bamban. Pasukan ini mesti menyeberangi sungai yg saat itu tengah dilanda
banjir, & terus masuk menyelusup ke dlm hutan rimba; mendaki gunung
& menuruni lembah; guna membuka jalur baru menuju Bonjol.
Pada tanggal 23 April 1835 gerakan pasukan Belanda ini telah berhasil
mencapai tepi Batang Gantiang, kemudian menyeberanginya & berkumpul
di Batusari. Dari sini hanya ada satu jalan sempit menuju Sipisang,
daerah yg masih dikuasai oleh Kaum Padri. Sesampainya di Sipisang, pecah
pertempuran sengit antara pasukan Belanda dengan Kaum Padri.
Pertempuran berlangsung selama tiga hari tiga malam tanpa henti, sampai
banyak korban di kedua belah pihak. Akhirnya dengan kekuatan yg jauh tak
sebanding, pasukan Kaum Padri terpaksa mengundurkan diri ke hutan-hutan
rimba sekitarnya. Jatuhnya daerah Sipisang ini meningkatkan moralitas
pasukan Belanda, kemudian daerah ini dijadikan sebagai kubu pertahanan
sambil menunggu pembuatan jembatan menuju Bonjol.
Walau pergerakan laju pasukan Belanda menuju Bonjol masih sangat lamban,
hampir sebulan waktu yg diperlukan untuk dapat mendekati daerah Alahan
Panjang. Sebagai front terdepan dari Alahan Panjang ialah daerah Padang
Lawas yg secara penuh masih dikuasai oleh Kaum Padri. Namun pada tanggal
8 Juni 1835 pasukan Belanda berhasil menguasai daerah ini. Selanjutnya
pada tanggal 11 Juni 1835 pasukan Belanda kembali bergerak menuju
sebelah timur Batang Alahan Panjang & membuat kubu pertahanan
disana, sementara pasukan Kaum Padri tetap bersiaga di seberangnya.
Pasukan Belanda berhasil mendekati Bonjol dlm jarak kira-kira hanya 250
langkah pada tengah malam tanggal 16 Juni 1835, kemudian mereka mencoba
membuat kubu pertahanan. Selanjutnya dengan menggunakan houwitser,
mortir & meriam, pasukan Belanda menembaki Benteng Bonjol. Namun
Kaum Padri tak tinggal diam dengan menembakkan meriam pula dari Bukit
Tajadi. Sehingga dengan posisi yg kurang menguntungkan, pasukan Belanda
banyak menjadi korban. Pada tanggal 17 Juni 1835 kembali datang bantuan
tambahan pasukan sebanyak 2000 orang yg dikirim oleh Residen Francis di
Padang & pada tanggal 21 Juni 1835, dengan kekuatan yg besar pasukan
Belanda memulai gerakan maju menuju sasaran akhir yaitu Benteng Bonjol
di Bukit Tajadi.
Melihat kokohnya Benteng Bonjol, pasukan Belanda mencoba melakukan
blokade terhadap Bonjol dengan maksud untuk melumpuhkan suplai bahan
makanan & senjata pasukan Padri. Blokade yg dilakukan ini ternyata
tak efektif, karena justru kubu-kubu pertahanan pasukan Belanda &
bahan perbekalannya yg banyak diserang oleh pasukan Kaum Padri secara
gerilya. Disaat bersamaan seluruh pasukan Kaum Padri mulai berdatangan
dari daerah-daerah yg telah ditaklukkan pasukan Belanda, yaitu dari
berbagai negeri di Minangkabau & sekitarnya. Semua bertekad bulat
untuk mempertahankan markas besar Bonjol sampai titik darah penghabisan,
hidup mulia atau mati syahid.
Usaha untuk melakukan serangan ofensif terhadap Bonjol baru dilakukan
kembali sesudah bala bantuan tentara yg terdiri dari pasukan Bugis
datang, maka pada pertengahan Agustus 1835 penyerangan mulai dilakukan
terhadap kubu-kubu pertahanan Kaum Padri yg berada di Bukit Tajadi,
& pasukan Bugis ini berada pada bagian depan pasukan Belanda dlm
merebut satu persatu kubu-kubu pertahanan strategis Kaum Padri yg berada
disekitar Bukit Tajadi. Namun sampai awal September 1835, pasukan
Belanda belum berhasil menguasai Bukit Tajadi, malah pada tanggal 5
September 1835, Kaum Padri keluar dari kubu pertahanannya menyerbu ke
luar benteng menghancurkan kubu-kubu pertahahan Belanda yg dibuat
sekitar Bukit Tajadi. Setelah serangan tersebut, pasukan Kaum Padri
segera kembali masuk ke dlm Benteng Bonjol.
Pada tanggal 9 September 1835, pasukan Belanda mencoba menyerang dari
arah Luhak Limo Puluah & Padang Bubus, namun hasilnya gagal, bahkan
banyak menyebabkan kerugian pada pasukan Belanda. Letnan Kolonel Bauer,
salah seorang komandan pasukan Belanda menderita sakit & terpaksa
dikirim ke Bukittinggi kemudian posisinya digantikan oleh Mayor Prager.
Blokade yg berlarut-larut & keberanian Kaum Padri, membangkitkan
semangat keberanian rakyat sekitarnya untuk memberontak & menyerang
pasukan Belanda, sehingga pada tanggal 11 Desember 1835 rakyat Simpang
& Alahan Mati mengangkat senjata & menyerang kubu-kubu
pertahanan Belanda. Pasukan Belanda kewalahan mengatasi perlawanan ini.
Namun sesudah datang bantuan dari serdadu-serdadu Madura yg berdinas
pada pasukan Belanda, perlawanan ini dapat diatasi.
Hampir setahun mengepung Bonjol, pada tanggal 3 Desember 1836, pasukan
Belanda kembali melakukan serangan besar-besaran terhadap Benteng
Bonjol, sebagai usaha terakhir untuk penaklukan Bonjol. Serangan dahsyat
ini mampu menjebol sebagian Benteng Bonjol, sehingga pasukan Belanda
dapat masuk menyerbu & berhasil membunuh beberapa keluarga Tuanku
Imam Bonjol. Tetapi dengan kegigihan & semangat juang yg tinggi Kaum
Padri kembali berhasil memporak-porandakan musuh sehingga Belanda
terusir & terpaksa kembali keluar dari benteng dengan meninggalkan
banyak sekali korban jiwa di masing-masing pihak.
Kegagalan penaklukan ini benar-benar memukul kebijaksanaan Gubernur
Jenderal Hindia-Belanda di Jakarta yg waktu itu telah dipegang oleh
Dominique Jacques de Eerens, kemudian pada awal tahun 1837 mengirimkan
seorang panglima perangnya yg bernama Mayor Jenderal Cochius untuk
memimpin langsung serangan besar-besaran ke Benteng Bonjol untuk
kesekian kalinya. Cochius merupaken seorang perwira tinggi Belanda yg
memiliki keahlian dlm strategi perang Benteng Stelsel.
Selanjutnya Belanda dengan intensif mengepung Bonjol dari segala jurusan
selama sekitar enam bulan [16 Maret-17 Agustus 1837] dipimpin oleh
jenderal & beberapa perwira. Pasukan gabungan ini sebagian besar
terdiri dari berbagai suku, seperti Jawa, Madura, Bugis & Ambon.
Terdapat 148 perwira Eropa, 36 perwira pribumi, 1. 103 tentara Eropa, 4.
130 tentara pribumi, termasuk didalamnya Sumenapsche hulptroepen
hieronder begrepen [pasukan pembantu Sumenap alias Madura]. Dalam daftar
nama para perwira pasukan Belanda tersebut di antaranya ialah Mayor
Jendral Cochius, Letnan Kolonel Bauer, Mayor Sous, Mayor Prager, Kapten
MacLean, Letnan Satu van der Tak, Pembantu Letnan Satu Steinmetz, &
seterusnya. Kemudian ada juga nama Inlandsche [pribumi] seperti Kapitein
Noto Prawiro, Indlandsche Luitenant Prawiro di Logo, Karto Wongso Wiro
Redjo, Prawiro Sentiko, Prawiro Brotto, Merto Poero & lainnya.
Dari Jakarta didatangkan terus tambahan kekuatan tentara Belanda, dimana
pada tanggal 20 Juli 1837 tiba dengan Kapal Perle di Padang, sejumlah
orang Eropa & Sepoys, serdadu dari Afrika yg berdinas dlm tentara
Belanda, direkrut dari Ghana & Mali, terdiri dari 1 sergeant, 4
korporaals & 112 flankeurs, serta dipimpin oleh Kapitein Sinninghe.
Serangan yg bergelombang serta bertubi-tubi & hujan peluru dari
pasukan artileri yg bersenjatakan meriam-meriam besar, selama kurang
lebih 6 bulan lamanya, serta pasukan infantri & kavaleri yg terus
berdatangan. Pada tanggal 3 Agustus 1837 dipimpin oleh Letnan Kolonel
Michiels sebagai komandan lapangan terdepan mulai sedikit demi sedikit
menguasai keadaan, & akhirnya pada tanggal tanggal 15 Agustus 1837,
Bukit Tajadi jatuh, & pada tanggal 16 Agustus 1837 Benteng Bonjol
secara keseluruhan dapat ditaklukkan. Namun Tuanku Imam Bonjol dapat
mengundurkan diri keluar dari benteng dengan didampingi oleh beberapa
pengikutnya terus menuju daerah Marapak.
Perundingan Tuanku Imam Bonjol
Dalam pelarian & persembunyiannya, Tuanku Imam Bonjol terus mencoba
mengadakan konsolidasi terhadap seluruh pasukannya yg telah
bercerai-berai & lemah, namun karena telah lebih 3 tahun bertempur
melawan Belanda secara terus menerus, ternyata hanya sedikit saja yg
tinggal & masih siap untuk bertempur kembali. Dalam kondisi seperti
ini, tiba-tiba datang surat tawaran dari Residen Francisdi Padang untuk
mengajak berunding. Kemudian Tuanku Imam Bonjol menyatakan kesediaannya
melakukan perundingan. Perundingan itu dikatakan tak boleh lebih dari 14
hari lamanya. Selama 14 hari berkibar bendera putih & gencatan
senjata berlaku.
Tuanku Imam Bonjol diminta untuk datang ke Palupuh, tempat perundingan,
tanpa membawa senjata. Tapi hal itu cuma jebakan Belanda untuk menangkap
Tuanku Imam Bonjol, peristiwa itu terjadi di bulan Oktober 1837 &
kemudian Tuanku Imam Bonjol dlm kondisi sakit langsung dibawa ke
Bukittinggi kemudian terus dibawa ke Padang, untuk selanjutnya
diasingkan. Namun pada tanggal 23 Januari 1838, ia dipindahkan ke
Cianjur, & pada akhir tahun 1838, ia kembali dipindahkan ke Ambon.
Kemudian pada tanggal 19 Januari 1839, Tuanku Imam Bonjol kembali
dipindahkan ke Menado, & di daerah inilah sesudah menjalani masa
pembuangan selama 27 tahun lamanya, pada tanggal 8 November 1864, Tuanku
Imam Bonjol menghembuskan nafas terakhirnya.
Penangkapan Tuanku Imam Bonjol
Meskipun pada tahun 1837 Benteng Bonjol dapat dikuasai Belanda, &
Tuanku Imam Bonjol berhasil ditipu & ditangkap, tetapi peperangan
ini masih berlanjut sampai akhirnya benteng terakhir Kaum Padri, di
Dalu-Dalu [Rokan Hulu], yg waktu itu telah dipimpin oleh Tuanku Tambusai
jatuh pada 28 Desember 1838. Jatuhnya benteng tersebut memaksa Tuanku
Tambusai mundur, bersama sisa-sisa pengikutnya pindah ke Negeri Sembilan
di Semenanjung Malaya, & akhirnya peperangan ini dianggap selesai
kemudian Kerajaan Pagaruyung ditetapkan menjadi bagian dari Pax
Neerlandica & wilayah Padangse Bovenlanden telah berada di bawah
pengawasan Pemerintah Hindia-Belanda.
Sikap Patriotisme Kepahlawanan
Pengaruh dari peperangan ini menumbuhkan sikap patriotisme kepahlawanan
bagi masing-masing pihak yg terlibat. Selepas jatuhnya Benteng Bonjol,
pemerintah Hindia-Belanda membangun sebuah monumen untuk mengenang kisah
peperangan ini. Kemudian sejak tahun 1913, beberapa lokasi tempat
terjadi peperangan ini ditandai dengan tugu & dimasukan sebagai
kawasan wisata di Minangkabau. Begitu juga selepas kemerdekaan
Indonesia, pemerintah setempat juga membangun museum & monumen di
Bonjol & dinamai dengan Museum & Monumen Tuanku Imam Bonjol.
Perjuangan beberapa tokoh dlm Perang Padri ini, mendorong pemerintah
Indonesia kemudian menetapkan Tuanku Imam Bonjol & Tuanku Tambusai
sebagai Pahlawan Nasional.