Desa Pekuncen, sekarang terletak di Kecamatan Patianrowo (Sekitar 6 Km
arah utara Kota Kertosono saat ini), hanya berpenduduk 43 KK atau 201
Jiwa, dan mempunyai keluasan wilayah 11,170 Ha, berupa sawah bonorowo
2,5 Ha, sedangkan selebihnya berupa tanah tegalan dan pekarangan,
seperti lazimnya kawasan tanah desa pada umumnya.
Dilihat dari jumlah penduduk, desa ini tidak memenuhi syarat sebagai
desa, sesuai Peraturan Mendagri No.4 Tahun 1981 (bahwa pembentukan desa
setidak-tidaknya memiliki 500 KK atau sedikitnya memiliki penduduk
sejumlah 2.500 jiwa, red). Namun dengan berbagai pertimbangan, Pakuncen
tetap dianggap sebagai desa yang sejajar dengan desa lainnya.
Asal Mula Desa Pakuncen dan Kadipaten Posono.
Tahun 1651M, Nur Jalipah bersama 2 orang saudaranya (yang diyakini murid
dari pesantren Sunan Drajat) membuka lahan dengan babat alas untuk
sebagai pemukiman seluas kurang lebih 10 Ha. Nur Jalipah ini seorang
santri sekaligus petani yang ulet, yang mempunyai ilmu agama Islam dan
ilmu kesaktian yang tinggi. Dengan niat untuk makin menyebarkan agama
Islam yang telah dipelajarinya, maka didirikanlah masjid di tempat yang
baru dibuka itu. Masjid yang didirikan tersebut kala itu atap dan
dindingnya terbuat dari kayu.
Bangunan masjid ini kemudian dipergunakan untuk sentral
kegiatan-kegiatan siar agama Islam di daerah itu. Murid-muridnya banyak
dari daerah lain, sehingga desa baru ini semakin ramai, dan berkembang
menjadi pondok pesantren yang besar, dan semenjak itu daerah baru ini
mendapat julukan desa Kauman.
Pada tahun 1700 M, datanglah orang utusan dari Mataram dipimpin oleh
Raden Tumenggung Purwodiningrat, yang ditugasi oleh Kanjeng Sunan
Pakubuwono I untuk menyebarkan agama Islam juga dan mendirikan kota
kepatihan yang letaknya di tepi sungai Brantas, di antara Madiun dengan
Surabaya. Sehubungan daerah tersebut juga telah menganut agaa Islam,
maka R.T. Purwodiningrat kemudian mengadakan pendekatan serta berunding
dengan Nur Jalipah untuk melaksanakan tugas yang diembannya untuk
membangun sebuah Kadipaten di daerah itu.
Menimbang pentingnya amanah tersebut untuk tonggak pengembangan daerah
itu di masa selanjutnya, disertai dukungan dari para santri-santrinya
serta masyarakat sekitar, maka tercapailah kata sepakat antara Nur
Jalipah dengan RT Purwodiningrat. Dengan dukungan dari berbagai pihak,
maka berdirilah Kota kepatihan baru yang diberi nama Kadipaten Posono
(arti sansekerta dari tempat/istana), dengan Adipati pertamanya adalah
RT. Purwodiningrat. Letak Kadipaten tersebut masih di desa Kauman atau
desa Pakuncen saat ini.
Atas jasa-jasa Nur Jalipah dalam keberhasilan berdirinya Kadipaten
Posono, serta melihat kebijaksanaan dan kepandaiannya, maka Nur Jalipah
selanjutnya diangkat menjadi Talang Pati (Senopati) di Kadipaten Posono
tersebut, dan merangkap menjadi Demang. Saat permaisuri RAT
Purwodiningrat wafat, timbul masalah di mana nantinya jenasah
permaisuri itu harus dimakamkan. Sebab yang meninggal masih kerabat
dekat keraton Mataram. Akhirnya atas saran dan ijin Raja Mataram saat
itu Kanjeng Sunan Pakubuwono I, jenasah RAT Purwodiningrat tersebut
dikebumikan di desa Kauman, yang letaknya di belakang masjid Kauman.
Karena tanah milik keluarga Nur Jalipah digunakan untuk tempat makam
keluarga dari Kanjeng Sunan Pakubuwono I, maka kemudian atas petunjuk
Raja diadakan perjanjian antara Keraton Mataram dengan Nur Jalipah yang
isinya :
Tanah Nur Jalipah seluas ± 10 Ha dibebaskan dari pembayaran pajak (menjadi tanah perdikan).
Nur Jalipah diangkat menjadi Juru Kunci yang pertama untuk menjaga dan
mengawasi makam keluarga RT Purwodiningrat beserta melanjutkan
programnya yang harus dilaksanakan secara rutin dan turun temurun.
Dusun Kauman diganti dengan Pakuncen (tempatnya Juru Kunci), penyerahan
kunci cungkup/makam pesareyan keluarga RT Purwodiningrat menjadi
tanggung jawab Nur Jalipah.
Untuk melaksanakan tanggung jawab tersebut, Nur Jalipah mengambil kebijaksanaan sebagai berikut :
Pakuncen hanya boleh dihuni keluarga Nur Jalipah, bahkan keluargapun
bila tidak mematuhi peraturan, diusir dari bumi Pakuncen. Peraturan ini
dibudayakan dan menjadi adat sampai saat ini.
Pesareyan dibagi menjadi dua pintu gerbang :
Gerbang 1 : Makam keluarga Nur Jalipah,
Gerbang 2 : Makam keluarga RT Purwodiningrat.
Adapun orang-orang dari desa lain seperti masyarakat Rowomarto
dibenarkan dikebumikan di Pakuncen, sebab sudah ada perjanjian antara
Nur Jalipah dengan rakyat Rowomarto dengan ditukar bumi, sama dengan
cara yang dibuat dari keluarga Yogjakarta untuk menjadikan desa
Perdikan.
Bergesernya Pusat Pemerintahan Kadipaten Posono
RT Purwodiningrat sepeninggal isterinya, kemudian dipanggil ke Mataram,
dan selanjutnya kemudian menjadi Tumenggung di Magetan. Kedudukan
Tumenggung Posono kemudian digantikan oleh RM Sosrodiningrat yang juga
masih keturunan darah Mataram. Isteri RM Sosrodiningrat juga wafat dan
dimakamkan di pemakaman Pakuncen, seperti halnya RAT Purwodiningrat.
RM Sosrodiningrat sepeninggal istrinya juga dipanggil ke Mataram . Hanya
saja belum diketahui pasti selanjutnya menjadi pejabat di daerah mana.
Kedudukan Tumenggung selanjutnya dijabat oleh Raden Tumenggung
Wiryonegoro. Sejak itu ibukota Kadipaten Posono dipindah ke selatan
(Kertosono sekarang). RT. Wiryonegoro, merupakan pejabat Tumenggung yang
terakhir di Kertosono, dan ketika beliau wafat dimakamkan di Besuk,
Patianrowo, dekat Pabrik Gula Lestari.
Seiring dengan perluasan kekuasaan penjajah Belanda di kisaran abad 18,
bersamaan dengan berkembangnya Revolusi Industri di Eropa pada
1750-1850, pemerintahan Hindia Belanda mengembangkan sarana transportasi
kereta api antar kota-kota besar untuk memperlancar transportasi orang
maupun barang. Termasuk di antaranya yang di Jawa Timur adalah untuk
jalur Madiun-Kediri-Surabaya. Dengan Kertosono dijadikan sebagai stasiun
besar persilangan antara Madiun-Kediri dan Kediri-Surabaya. Stasiun
besar ini juga menjadi depo/bengkel dan pengisian logistik untuk
lokomotifnya. Dengan Kertosono sebagai stasiun besar persilangan,
pemerintah Hindia Belanda bisa menghemat hanya cukup membangun satu
jembatan besar saja di atas sungai Brantas.
Dengan munculnya stasiun kereta api tersebut, maka semakin banyak
penduduk Posono yang bermigrasi ke Kertosono, bahkan Kertosono menjadi
kota yang padat penduduk, ramai dan lebih maju daripada daerah sekitar.
Kertosono juga berkembang menjadi pusat perdagangan dan transportasi
penduduk Kertosono dan sekitarnya. Sebaliknya, Posono menjadi kota yang
sunyi, sepi dan jarang penduduknya karena hampir semua penduduk Posono
pindah ke Kertosono. Terlebih lagi wilayah tersebut sangat rawan banjir
besar.
Pada era pemerintahan Hindia Belanda, kekuasaan Keraton Mataram baik
Jogja maupun Solo semakin dibatasi. Di antaranya adalah wilayah yang
menjadi otoritas Sultan Mataram saat itu hanya meliputi daerah-daerah
sekitar kota praja. Sedangkan yang di luar wilayah kota praja menjadi
negara manca, yang pelaksanaan pemerintahannya di bawah kekuasaan
pemerintahan Hindia Belanda. Kadipaten Kertosono termasuk di antaranya,
berubah menjadi Kabupaten Kertosono, yang lebih lanjut di tahun-tahun
berikutnya semakin dikecilkan menjadi kawedanan.
Pada masa awalnya Kabupaten Nganjuk yang sekarang ini di sekitar tahun
1811 , berdasarkan peta Jawa Tengah dan Jawa Timur dalam buku tulisan
Peter Carry, pada saat itu terdiri dari 4(empat) wilayah Kabupaten yaitu
:
Kabupaten Berbek ;
Kabupaten Godean ;
Kabupaten Nganjuk ; dan
Kabupaten Kertosono.
Dalam perkembangan selanjutnya, berdasarkan dokumen-dokumen
konstitusional Pemerintah Hindia Belanda, dari keempat Kabupaten
tersebut, yang tercatat hanya ada tiga Kabupaten yaitu : Kabupaten
Nganjuk ; Kabupaten Berbek ; dan Kabupaten Kertosono. Mungkin sekali
berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tertentu, Kabupaten Godean dihapus
dan bekas wilayahnya dijadikan satu dengan Kabupaten Berbek.
Tercatat dalam naskah Resolusi Pemerintah Hindia Belanda Nomor 10
tanggal 31 Desember 1830, yang merupakan tindak lanjut dari perjanjian
antara Pemerintah Hindia Belanda dengan Kesultanan Yogyakarta dan
Kasunanan Surakarta tanggal 3 Juli 1830 di Pendopo Sepreh ; bahwa yang
tersebut hanyalah Kabupaten Nganjuk ; Kabupaten Berbek ; dan Kabupaten
Kertosono (termasuk dalam wilayah Residensi Kedirie). Sedangkan
Kabupaten Godean tidak disebutkan lagi.
Dipandang perlu untuk dijelaskan bahwa, perjanjian Sepreh antara lain
berisi penyerahan kekuasaan dan pengawasan atas daerah-daerah
Monconegoro Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan Surakarta kepada
Nederlandsch Gouvernement, yang tidak lain adalah hasil dari politik
Devide et Impera Pemerintah Hindia Belanda. Dengan demikian setelah
penandatanganan naskah perjanjian Sepreh tersebut, praktis seluruh
Kabupaten bekas daerah Monconegoro Kesultanan Yogyakarta dan Kesunanan
Surakarta, termasuk Nganjuk, Berbek dan Kertosono tunduk dibawah
kekuasaan dan pengawasan Pemerintah Hindia Belanda.
Berdasarkan Akte Komisaris Daerah-Daerah Keraton yang telah diambil alih
dan ditanda tangani pada tanggal 16 Juni 1831 di Semarang oleh Van
Lawick Van Pabst, yang ditunjuk untuk menjabat Bupati di ketiga
kabupaten tersebut adalah :
– R. Toemenggoeng Sosro Koesoemo sebagai Bupati Berbek ;
– R. Toemenggoeng Brotodikoro sebagai Bupati Nganjuk ; dan
– R. Toemenggoeng Soemodipoero sebagai Bupati Kertosono.
Pada kurun waktu berikutnya ketiga Kabupaten tersebut digabungkan
menjadi satu dengan Kabupaten Berbek. Tentang waktu tepatnya
penggabungan tersebut secara explisit sangat sulit dicarikan data
autentiknya. Namun secara implisit dapat dilihat dalam Surat Residen
Kedirie yang pertama, tanggal 20 September 1852, tentang
pertimbangan-pertimbangan pengangkatan PRINGGODIKDO sebagai Bupati
Berbek menggantikan KRT SOSROKOESOEMO II, yang antara lain menyebutkan
bahwa, Kabupaten Berbek telah sangat luas yang meliputi 8 Distrik.
Distrik-distrik ini tidak lain adalah :
– 2 (dua) Distrik bekas wilayah Kabupaten Nganjuk ;
– 3 (tiga) Distrik bekas wilayah Kabupaten Kertosono ; dan
– 3 (tiga) Distrik dari Kabupaten Berbek sendiri.
Namun, karena kekuasaan pemerintah Kolonial Belanda semakin kuat,
kekuasaan kerajaan Mataram di Kertosono semakin dipersempit. Hingga pada
suatu saat kekuasaan kerajaan Mataram di kota Kertosono hanya sebatas
kekuasaan kepatihan dengan patih pertama yang bernama Mangun Praja
(Raden Mas Ngabei Mangun Praja). Kemudian karena semakin hari kedudukan
pemerintah kolonial Belanda di Indonesia semakin kuat, kekuasaan
kepatihan diganti dengan kekuasaan Kawedanan.
Dalam masa pemerintahan Republik Indonesia sendiri, sekarang kawedanan
Kertosono sudah dihapuskan dan hanya menyisakan kecamatan Kertosono.
Juru Kunci Desa Pakuncen
Tiga hal dalam isi perjanjian Nur Jalipah dengan Kesultanan Mataram
(Ngayogyokarto), oleh keturunan Nur Jalipah tetap dilaksanakan hingga
sekarang, sehingga jabatan juru kunci yang merangkap sebagai Kepala Desa
selalu dijabat oleh Keturunan langsung Nur Jalipah. Hal ini berlangsung
sampai sat ini mulai dari:
Nur Jalipah,
Marsongko,
Kertosari,
Keromosari,
Martojo,
Keromorejo,
H. Nursalam,
Mashuri,
Khoiri.
Desa Pekuncen yang unik ini sampai saat ini tidak memiliki Sekdes dan
perangkat desa lain, semua tugas perangkat desa dari Kepala Desa sampai
modin dijabat satu orang. Keadaan seperti ini tentu aneh, namun
Pemerintah Daerah menyadari keunikan desa Pekuncen ini, sehingga sampai
sekarang tidak dituntut harus memiliki/melengkapi pejabat perangkat
desanya.
Tahun 1990, Mashuri meninggal dunia dalam usia yang relatif muda (43
tahun), timbul kesulitan untuk mencari pengganti dari keturunan langsung
Nur Jalipah yang mampu mengemban tugas sebagai kepala desa. Untuk
mengisi kekosongan jabatan kepala desa Pakuncen, pada tahun 1990
diadakan pemilihaan secara demokratis. Dari hasil pemilihan tersebut
yang berhasil meraih suara terbanyak adalah Munandar yang bukan
keturunan langsung Nur Jalipah.
Berdasarkan kesepakatan antara Kepala Desa terpilih dengan pihak
keluarga Nur Jalipah ditetapkan bahwa sebagai Juru Kunci, Perawat Makam
dan Masjid peninggalan Nur Jalipah tetap diserahkan kepada keturunan
langsung Nur Jalipah, yaitu Khoiri (Kakak Mashuri).
Peninggalan Bersejarah.
Di desa Pakuncen bagian utara terdapat Masjid Kuno dan kompleks makam
(sehingga orang disitu memberi nama masjid MAKAM), yang dibangun oleh
Nur Jalipah pada pertengahan abad ke 17. Masjid kuno ini semula terbuat
dari kayu (tiang dan atap dari kayu), namun dalam perkembangannya Masjid
ini telah mengalami perbaikan. Atas prakarsa Menteri Penerangan saat
itu, H Harmoko yang juga merupakan warga desa Patianrowo, kemudian
dilaksanakan perbaikan, atap yang semula dari kayu (sirap) kemudian
diganti genting, lantai dan penambahan serambi. Masjid kuno ini sekarang
lebih dikenal dengan nama “Baitur Rohman”.
Di belakang Masjid terdapat kompleks makam, memasuki kompleks makam
Melalui pintu sebelah selatan masjid, ditengah-tengah makam terdapat
sebuah bangunan berfungsi sebagai tempat menerima tamu, tempat selamatan
dan membaca do’a bagi yang melaksanakan nadar. Di utara bangunan
tersebut terdapat bangunan cungkup yang tertutup rapat, yang didalamnya
terdapat 22 makam.
Diantaranya terdapat 4 makam yang ditutup kelambu putih. Menurut data yang ada disitu terdapat makam :
RA. Tumenggung Purwodiningrat, isteri Tumenggung Posono I
RA. Tumenggung Sosrodiningrat, isteri Tumenggung Posono II
R. Soerjati (Kusumaningrat).
RA. Kusiyah (Kartodiningrat).
Di luar cungkup terdapat makam para bangsawan tinggi lainnya, antara
lain RT. Koesoemaningrat, mantan Bupati Ngawi, R. Mangunredjo, Patih
Kuto Lawas dan Notosari Patih Magetan. Di sebelah barat cungkup utama
terdapat makam Nur Jalipah. Sedangkan di luar kompleks cungkup terdapat
ratusan makam penduduk desa Pakuncen dan sekitarnya.
Legenda Terkait
Tumenggung Macan Kopek
Pada masa pemerintahan Patih pertama Kadipaten Posono, pasukan Belanda
telah mulai menduduki jalur-jalur perdagangan antara Madiun - Surabaya,
termasuk juga merambah ke Kadipaten Posono. Hal ini tentu saja
mendapatkan perlawanan dari pemerintahan setempat yang didukung
rakyatnya. Hingga pada suatu ketika, pasukan Belanda menyerbu ke pusat
pemerintahan Kadipaten Posono di Pakuncen, yang dihadapi oleh istri sang
patih yaitu RA. Tumenggung Purwodiningrat. Saat beliau membuka
selendangnya dan menggelarnya di tanah, bumi Pakuncen tiba-tiba hilang
dalam pandangan pasukan Belanda.
Setelah wafatnya, RA. Tumenggung Purwodiningrat selanjutnya dimakamkan
di bumi Pakuncen di belakang masjid Baitur Rochman. Pada setelah 3 hari
pemakaman beliau, tepatnya pada malam Jumat Legi, ada penampakan sosok
gaib seekor macan putih betina teteknya (payudara) besar sampai
menyentuh tanah. Dan sosok gaib tersebut diyakini masyarakat Pakuncen
adalah jelmaan dari Nyai Tumenggung Purwodiningrat ,hingga makam di
barat masjid Baitur Rohman Pakuncen tersebut dijuluki makam Tumenggung
Kopek.
Dalam kisahnya sosok gaib Mbah Tumenggung Kopek tidak pernah mengganggu
atau membuat resah rakyat Pakuncen. Justru kemunculan beliau diyakini
membawa ketentraman dan kedamaian masyarakat desa Pakuncen dan
sekitarnya.
Masjid Tiban dan Syech Zakariya
Lestari merupakan nama sebuah desa yang terletak di Kecamatan Patianrowo
Kabupaten Nganjuk. Nama Desa “Lestari” yang berartiabadi ini terdapat
sebuah masjid yang merupakan peninggalan sejarah yang ada kaitannya
dengan Kerajaan Mataram. Masjid tersebut bernama Masjid Tiban. Tentang
asal mula nama dan tahun dibangun sampai sekarang belum ada yang tahu.
Namun menurut salah satu penduduk sekitar masjid Tiban yang kita
percayai sebagai narasumber mengatakan bahwa dulu ketika Kerajaan
Mataram dijajah oleh Belanda ada salah satu prajuritnya yang menjadi
korban pelarian sampai ke Jawa Timur. Prajurit tersebut bernama Syekh
Zakariya. Syekh Zakariya datang ke desa Lestari untuk menegakkan
kebenaran dibidang agama.
Setelah pasukan Belanda menemukan keberadaan Syekh Zakariya. Pasukan
Belanda mengadakan sayembara untuk siapa saja yang menganggap dirinya
sakti dan berhasil membunuh Syekh Zakariya yang terkenal Sakti
Mandraguna. Setelah pasukan Belanda mendapatkan seseorang yang dipercaya
memiliki kesaktian diatas kesaktian Syekh Zakariya. Pasukan Belanda
mengutus orang tersebut untuk membunuh Syekh Zakariya dalam peperangan.
Dan sebagai buktinya, orang tersebut harus membawa kepala Syekh Zakariya
kepada pasukan Belanda.
Ternyata orang suruhan pasukan Belanda tersebut berhasil membunuh Syekh
Zakariya dan membawa kepala Syekh Zakariya kepada pasukan Belanda
sebagai bukti. Namun pasukan Belanda berkata apabila Syekh Zakariya ini
benar-benar sakti maka kepala Syekh Zakariya yang sudah dipenggal tadi
bisa kembali menyatu dengan badannya dan bisa kembali hidup. Dan
ternyata kepala yang sudah dipenggal itu tidak disangka bisa kembali
menyatu dengan tubuhnya dan kembali hidup lagi. Ketika Belanda
mengetahui adanya Syekh Zakariya lagi, Belanda membunuh lagi Syekh
Zakariya. Namun berulang kali Syekh Zakariya Hidup Kembali.