Wonogiri, (Bahasa Jawa: wanagiri, secara harfiah "Hutan di Gunung"),
adalah sebuah daerah kabupaten di Jawa Tengah. Secara geografis Wonogiri
berlokasi di bagian tenggara Provinsi Jawa Tengah. Bagian utara
berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan Kabupaten Sukoharjo, bagian
selatan langsung di bibir Pantai Selatan, bagian barat berbatasan dengan
Gunung Kidul di Provinsi Yogyakarta, Bagian timur berbatasan langsung
dengan Provinsi Jawa Timur, yaitu Kabupaten Ponorogo, Kabupaten Magetan
dan Kabupaten Pacitan. Ibu kotanya terletak di Kecamatan Wonogiri. Luas
kabupaten ini 1.822,37 km² dengan populasi 1,5 juta jiwa
Sejarah asal usul Nama Wono Giri
Pada zaman Kerajaan Demak ada seorang pertapa sakti bernama Ki Ageng Sidik Wacono.
Dia tinggal menyendiri di salah satu gua yang termasuk dalam jajaran
Pegunungan Seribu. Pegunungan ini dikelilingi hutan yang penuh dengan
pepohonan lebat dan alam yang indah. Tidak heran jika penguasa Demak
pada waktu itu menjadikan sebagai hutan wisata raja dan tempat perburuan
binatang.
Pada waktu-waktu tertentu, datanglah rombongan Raja dengan pengiring dan
senopatinya. Mereka berburu binatang, terutama Rusa. Sebagian hasil
dari perburuan itu ada yang dihabiskan di tempat dan sebagian lagi
biasanya dibawa kembali ke istana. Bekas tempat pesta pora itu pada
akhirnya menjadi sebuah desa yang sekarang dinamakan Desa Senang, yang
berarti tempat untuk bersenang-senang. Sampai sekarang desa itu masih
ada.
Pada suatu ketika Raja Demak mengirimkan seorang utusan bernama Raden
Panji untuk menemui pertapa Ki Ageng Sidik Wacono Melalui utusannya,
Raja meminta kepada Ki Ageng untuk membawa beberapa ekor rusa untuk
dijadikan sebagai binatang peliharaan di Istananya. Ki Sidik Wacono pun
menyanggupi permintaan Raja.
Dengan kesaktiannya KI Ageng Sidik Wacono memasukkan rusa-rusa itu dalam
bumbung, rongga pada ruas pohon bambu petung dan kemudian disumbat.
Bumbung tersebut kemudian diserahkan kepada Raden Panji disertai dengan
pesan khusus.
"Raden Panji, bumbung ini berisi rusa-rusa yang dikehendaki oleh sang
Prabu. Sengaja aku masukkan ke dalam bumbung ini supaya Raden Panji
mudah membawanya. Lagi pula perjalanan dari sini ke Keraton cukup jauh.
Namun ingat pesanku, jangan coba-coba sekalipun membuka isi dari bumbung
tersebut sampai bumbung tersebut telah ada di hadapan Raja."
"Terima kasih Kyai Ageng, saya akan selalu ingat pesan itu" kata Raden Panji dengan penuh hormat.
Dalam perjalanan pulang kembali ke Demak, pikiran Raden Panji dipenuhi
oleh berbagai macam pertanyaan yang tidak bisa terjawab oleh Raden Panji
sendiri. Menurut dia tidaklah masuk akal rusa-rusa yang diminta oleh
sang Prabu dimasukkan ke bumbung ini. Ini sangat tidak logis.
Meskipun begitu, Raden Panji tetap ingat pesan Ki Ageng Sidik Wacono
untuk tidak membuka bumbung itu sampai di hadapan Raja. Raden Panji pun
akhirnya membatalkan keinginannya untuk membuka bumbung tersebut.
Dalam perjalanan pulang, karena lelah Raden Panji singgah sebentar di
sebuah hutan jati yang lebat. Saat melepas lelah, pandangan Raden Panji
terus memandang bumbung tersebut dengan perasaan heran. Karena terus
memandang bumbung tersebut, akhirnya Raden Panji membuka bumbung
tersebut untuk mengetahui isinya.
Namun ketika sumbat bumbung dibuka, Raden Panji kaget bukan kepalang
melihat kejadian aneh. Dalam keadaaan yang masih terbengong, tiba-tiba
dari bumbung tersebut keluar hewan kecil yang makin lama makin membesar.
Ternyata hewan-hewan itu adalah rusa-rusa yang berjumlah 16 ekor atau 8
pasang. Dan kesemuanya dengan cepat segera masuk ke hutan kembali.
Raden Panji yang segera sadar dari kekagetannya itu, langsung segera
berlari cepat ke hutan untuk mengejar rusa-rusa itu sampai kopiahnya
jatuh ke tanah. Namun beliau tidak menghiraukan kejadian tersebut. Walau
usahanya untuk mengejar rusa-rusa itu sia-sia.
Bukan main sedih dan menyesal hati Raden Panji akibat kecerobohannya
itu. Raden Panji hanya bisa jatuh tertunduk malu dan lesu. Tidak tahu
apa yang harus diperbuatnya. Mau balik ke Demak takut terken murka Raja.
Mau kembali tempat pertapaan Ki Ageng Sidik Wacono takut terkena
makian.
Untunglah Ki Ageng Sidik Wacono yang sakti dapat segera mengetahui
peristiwa itu. Oleh karena itu Ki Ageng segera menyusulnya. Dalam
perjalanan menyusul Raden Panji, Ki Ageng sempat menemukan kopiah Raden
Panji yang terjatuh. Pertapa sakti itu pun berkata, wahai bumi dan
langit saksikanlah bahwa tempat ini sejak saat ini aku beri nama Wana
Kethu. Jadilah tempat itu sampai sekarang bernama Wana Kethu. 'Wana'
berarti hutan dan 'Kethu' artinya kopiah.
Tidak berapa lama Ki Ageng Sidik Wacono segera menemukan tempat Raden
Panji. Melihat kehadiran Ki Ageng, Raden Panji pun sangat kaget.
"Mohon ampun Kyai Ageng hamba telah berbuat lancang membuka sumbat
bumbung itu dan mengakibatkan hewan-hewan yang ada di dalam bumbung itu
keluar semua. Sekarang hamba pasrah menerima hukuman dari Kyai Ageng"
kata Raden Panji bersedih.
Mendengar pengakuan Raden Panji, sang pertapa merasa kasihan tetapi yang bersalah tetap harus menerima hukuman.
"Raden Panji, ketahuilah bahwa sesungguhnya kamu adalah utusan raja yang
telah diberi amanat. Sayang sekali kamu tidak dapat melaksanakan amanat
itu. Oleh karena itu kamu tetap mendapat hukuman. Mulai sekarang,
janganlah kamu berwujud manusia, tetapi jadilah kamu seekor Rusa Wulung
penunggu hutan jati ini" kata Kyai Ageng
Begitu selesai ucapan bapak pertapa itu, seketiak tiba-tiba dunia
menjadi gelap gulita dan di langit terdengar suara petir
menyambar-nyambar. Semua seakan menjadi saksi atas segala ucapan Kyai
Ageng Sidik Wacono yang Sakti.
Memang benar keadaanya. Secara mendadak Raden Panji yang asalnya manusia
berubah menjadi rusa jantan yang sangat gagah dengan bulu wulungnya.
Raden Panji yang sudah berubah menjadi rusa itu menangis dan bersimpuh
di hadapan pertapa sakti tersebut.
"Hukuman ini terlampau berat bagi Hamba, Ki Ageng. Mohon Ki Ageng sudi mencabutnya," ratap rusa wulung penjelmaan Raden Panji.
Namun penyeselana tinggal penyesalan, Raden Panji harus mengalami
kehidupan baru sebagai pemimpin pasangan rusa yang dahulu dilepasnya di
Wana Kethu.
Sesudah peristiwa di Wana Kethu itu, Ki Ageng Sidik Wacono naik ke atas
bukit kecil tak jauh dari situ. Sesampai di puncak bukit itu, ia
berhenti sesaat untuk mengagumi keindahahan alam di bawahnya.
"Bukit ini begitu indah. Besok kalau ada keadaan zaman sudah ramai,
bukit ini aku namai dengan Gunung Giri. sedangkan sungai yang mengalir
dibawahnya aku namakan Sungai Wahyu. kata Ki Ageng Sidik Wacono.
Sekarang nama sungai ini adalah Bengawan Solo.
Pada suatu ketika dalam kesempatan yang lain, Sunan Giri dalam
pengembaraanya sampai di tempat yang dahulu dikunjungi Ki Ageng Sidik
Wacono. Sama dengan Ki Ageng, Sunan Giri juga mengagumi keindahan alam
hutan yang sangat luas dengan alamnya yang berbukit-bukit. Sunan Giri
pun berkata "Besok kalau ada keramaian zaman, tempat ini aku namai
Wonogiri".
Wono atau Wana berarti 'hutan', sedangkan Giri berarti 'Gunung'.
Demikianlah tempat yang berhutan lebat dan bergunung-gunung itu sampai
sekarang bernama Wonogiri yang terletak di Propinsi Jawa Tengah.
Sejarah berdirinya Kabupaten Wonogiri
Dimulai dari embrio "kerajaan kecil" di bumi Nglaroh Desa Pule Kecamatan
Selogiri. Di daerah inilah dimulainya penyusunan bentuk organisasi
pemerintahan yang masih sangat terbatas dan sangat sederhana, yang
dikemudian hari menjadi simbol semangat pemersatu perjuangan rakyat.
Inisiatif untuk menjadikan Wonogiri (Nglaroh) sebagai basis perjuangan
Raden Mas Said, adalah dari rakyat Wonogiri sendiri (Wiradiwangsa) yang
kemudian didukung oleh penduduk Wonogiri pada saat itu.
Mulai saat itulah Nglaroh menjadi daerah yang sangat penting, yang
melahirkan peristiwa-peristiwa bersejarah di kemudian hari. Tepatnya
pada hari Rabu Kliwon tanggal 3 Rabi'ul awal (Mulud) Tahun Jumakir ,
Windu Senggoro : Angrasa retu ngoyang jagad atau 1666, dan apabila
mengikuti perhitungan masehi maka menjadi hari Rabu Kliwon tanggal 19
Mei 1741 ( Kahutaman Sumbering Giri Linuwih), Ngalaroh telah menjadi
kerajaan kecil yang dikuatkan dengan dibentuknya kepala punggawa dan
patih sebagai perlengkapan (institusi pemerintah) suatu kerajaan
walaupun masih sangat sederhana.
Masyarakat Wonogiri dengan pimpinan Raden Mas Said selama penjajajahan
Belanda telah pula menunjukkan reaksinya menentang kolonial.
Jerih payah pengeran Samber Nyawa (Raden Mas Said) ini berakhir dengan
hasil sukses terbukti beliau dapat menjadi Adipati di Mangkunegaran dan
Bergelar Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Arya ( KGPAA) Mangkunegoro I.
Peristiwa tersebut diteladani hingga sekarang karena berkat sikap dan
sifat kahutaman ( keberanian dan keluhuran budi ) perjuangan pemimpin,
pemuka masyarakat yang selalu didukung semangat kerja sama seluruh
rakyat di Wilayah Kabupaten Wonogiri.
Alas Donoloyo
Belantara hutan jati di Desa Watusono, Kecamatan Slogohimo, 40 kilometer
dari kota Wonogiri, Jawa Tengah, ternyata menyimpan sebuah kisah
sejarah. Di dalam hutan jati yang disebut dengan Alas Donoloyo ini
terdapat sisa-sisa pohon jati yang tumbuh pada masa Kerajaan Majapahit,
700 tahun yang lalu.
Jati Donoloyo, rata-rata mempunyai panjang sepuluh meter, dengan garis
tengah satu meter, sehingga dinilai sebagai kayu jati dengan kualitas
terbaik yang pernah ada. Tak heran jika Masjid Demak serta Keratonan
Surakarta, dibangun dari kayu jati Donoloyo.
Nama Donoloyo merupakan nama pendiri desa di kawasan tersebut, yakni Ki
Ageng Donoloyo, anggota laskar Kerajaan Majapahit saat dipimpin
Brawijaya Karena ingin mengabdi pada Kerajaan Majapahit, Ki Ageng
Donoloyo yang tertinggal ketika mengikuti perjalanan Raja Brawijaya,
memutuskan untuk menetap di tempat itu, serta menanam pohon jati, yang
ia niatkan bisa dimanfaatkan Kerajaan Majapahit. Hingga saat ini, Alas
Donoloyo masih dikeramatkan masyarakat sekitar, khususnya Kawasan
Punden, letak pohon jati pertama ditanam dan dipotong untuk pembangunan
Masjid Demak.
Konon, banyak peristiwa aneh terjadi menyangkut Alas Donoloyo. Seperti
cerita awal mula digunakannya jati Donoloyo untuk pembangunan Masjid
Demak, yakni akibat bayang-bayang ujung pohon jati Donoloyo yang
kelihatan di Demak, meskipun jaraknya mencapai puluhan kilometer. Ki
Ageng Donoloyo sendiri, dipercaya masih berada di Alas Donoloyo. Karena
dari dulu hingga kini, belum diketahui dimana letak makam sang laskar
setia majapahit ini.
Sekian ratus tahun berlalu, kini kelestarian Alas Donoloyo masih dijaga
oleh keturunan Ki Ageng Donoloyo. Setiap hari, Dikromo, sang juru kunci
hutan, ditemani istrinya, membersihkan kawasan tersebut, khususnya areal
Punden. Apalagi menjelang Hari Jumat Pon dan Jumat Kliwon, karena pada
hari itu banyak masyarakat datang memberikan sesajen. Alas Donoloyo
dipercaya bisa membantu mengabulkan setiap permintaan seseorang, jika
memang mereka melakukan ritual di tempat ini.
Sebagai juru kunci, Dikromo tidak mendapatkan gaji. Namun kadang-kadang
pria berumur 71 tahun ini, menerima uang dari pengunjung Alas Donoloyo,
ala kadarnya. Pada saat-saat tertentu, seperti pada hari Jumat Kliwon,
Dikromo mengaku bisa menerima uang hingga 50 ribu rupiah. Untuk
mempertahankan kelangsungan hidupnya sekeluarga, ayah 6 orang anak ini
bercocok tanam. Namun, baginya, profesi juru kunci yang ia lakoni selama
10 tahunan, adalah sebuah kebanggaan, bentuk tanggung jawab sebagai
keturunan Ki Ageng Donoloyo.
Saat ini dengan areal seluas lima hektar, alas Jati Donoloyo mulai
menunjukkan tanda-tanda kepunahan. Kayu-kayu jati yang terlihat kokoh,
sesungguhnya sudah lapuk dimakan zaman. Bahkan, di sebelah barat Alas
Donoloyo, kayu jati yang dulunya tumbuh lebat, telah menjadi lahan
pertanian. Pohon jati peninggalan Ki Ageng Donoloyo, hanya tersisa di
areal Punden. Kelihatannya, tinggal menunggu waktu, Alas Donoloyo yang
menjadi bukti kesetiaan seorang laskar di era Kerajaan Majapahit, kelak
hanya tinggal legenda tak berbekas.
Plintheng Semar
Di jantung kota Wonogiri terdapat taman Plintheng Semar. Plintheng Semar
adalah nama yang biasa digunakan untuk menyebut sebuah batu besar yang
terdapat di taman tersebut. Batu besar ini, uniknya bersandar di
sebatang Pohon Asem Jawa sejak dahulu. Plinteng Semar tepatnya terletak
di kawasan Taman Selopadi, Kel. Giripurwo, Kec. Wonogiri yang berjarak
200m dari pusat Kota Wonogiri.
Batu besar tersebut diperkirakan memiliki berat sekitar 25 ton dan
bersandar pada sebatang Pohon Asem Jawa yang sangat besar. Kawasan Taman
Selopadi ini berada pada ketinggian, dimana di bawahnya terdapat
jajaran ruko, halte, dan jalan raya utama Wonogiri – Solo. Di seberang
Timur taman, pada ketinggian yang lebih rendah juga terdapat rumah –
rumah penduduk sementara di sisi Barat taman pada ketinggian yang lebih
tinggi juga terdapat rumah penduduk.
Konon menurut legenda, batu itu berasal dari batu katapel (plintheng,
dalam bahasa Jawa) milik Semar. Oleh karena itu di Taman Selopadi juga
ada patung Semar dengan kalung katapel. Plinteng Semar, mengisahkan
tentang perjuangan semar melawan Raksasa Penghuni grojogan sewu. Disaat
sudah hampir kewalahan, Semar mempunyai ide untuk melempari raksasa itu
dengan sebuah plinteng. Setelah tiba saatnya plinteng itu diisi dengan
batu yang besarnya tiga kali besar seekor gajah. Akhirnya raksasa itu
hancur berkeping-keping. Kemudian batu itu diberi nama dengan batu
plinteng semar.
Dongeng diatas mengajarkan kepada kita agar senantiasa memerangi
kejahatan. Apa pun bentuknya kejahatan akan membawa kerusakan dan
kesengsaraan. Konon menurut cerita batu ini merupakan batu yang
diketapel oleh semar dan nyangkut di pohon di tengah kota wonogiri,
makanya dinamakan “Plintheng Semar”.
Bayangkan segede apa ketapelnya ya kalo batunya aja segede ini . Batu
itu selama puluhan tahun atau mungkin ratusan tahun sudah ada dan
bersandar di pohon di tengah kota, sementara di bawahnya ada ruko2 dan
jalanan. Kalo pohonnya tumbang, so pasti batu seberat puluhan ton ini
akan menimpa ruko2 di bawahnya batu ini ada di pinggir jalan raya utama
di kota Wonogiri, jadi kalo setiap yg lewat di pusat kota Wonogiri
pasti akan melihatnya.
Plinteng Semar merupakan daya tarik utama pada Taman Selopadi yang
merupakan tempat bersantai bagi masyarakat. Dari taman seluas 0,5 hektar
ini, pengunjung dapat menikmati panorama Kota Wonogiri dari ketinggian
taman tersebut. Plintheng Semar dapat menjadi salah satu landmark Kota
Wonogiri, karena lokasinya yang terletak di pinggir jalan raya utama
Wonogiri – Solo. Untuk Pengembangnnya, kawasan Plintheng Semar dan Taman
Selopadi tersebut dapat menjadi taman kota dan arena bermain anak.
Beberapa tahun yang lalu, di kawasan Plintheng Semar masih ramai orang –
orang yang bersantai dan terkadang untuk tamasya anak-anak TK, selain
itu juga terdapat beberapa pedagang kaki lima yang berjualan di sana.
Namun sekarang, kawasan plintheng semar tersebut sepi, hanya terdapat
satu atau dua orang saja yang duduk – duduk di taman selopadi dan sudah
tidak ada pedagang kaki lima yang berjualan di sana.
Batu Plintheng Semar sudah mulai terdapat coretan-coretan sehingga
menurunkan daya tariknya sebagai obyek wisata yang murah. Kawasan taman
kurang dirawat dengan baik pihak pengelola. Seharusnya ini menjadi
perhatian pemerintah mengingat taman Plinteng Semar ini berada di
Jantung Kota Wonogiri.