GELAR PANEMBAHAN BODHO ORA ATEGES BODHO TANPA NGELMU, ANANGING PINTER
RUMONGSO KANTHI ANDAP ASOR, TANPA PAMRIH BONDHO LAN PANGUWOSO
Panembahan Bodo oleh masyarakat dianggap sebagai cikal bakal mereka
sehingga sangat dihormati. Panembahan Bodo menurut cerita yang beredar
di masyarakat merupakan tokoh keturunan bangsawan Majapahit , beliau
merupakan cicit Prabu Brawijaya V .Raden Trenggono merupakan putra Raden
Kusen , seorang adipati Terung . Raden Kusen putra Raden Aryo Damar
dengan Dorowati seorang putri cina yang cantik jelita , sedang Raden
Aryo Damar merupakan putra Prabu Brawijaya V , Raja Majapahit.
Diceritakan pada suatu hari Raden Trenggono mendapat sindiran dari
kerabatnya agar ia segera mempersiapkan diri untuk menggayuh kemuliaan
dan keluhuran untuk mencapai kaswargan . Ada pula yang memberikan
nasehat seperti diatas secara terang - terangan .
Pada suatu hari Raden Trenggono berjalan menelusuri sungai hingga
sampailah pada sebuah hutan wijen dan bertemu dengan seorang yang gagah
dan tampan. Melihat sosok orang tersebut Raden Trenggono timbullah
keinginannya agar dapat menatap dan berbicara dengannya , namun karena
begitu saktinya orang tersebut menyelinap dan menghilang dari pandangan
Raden Trenggono ,orang tersebut tidak lain adalah Sunan Qadle atau Sunan
Kalijaga.
Karena Raden Trenggono berkeinginan mempunyai kesaktian dan ilmu seperti
Sunan Kalijaga , maka ia mengabdi kepada Ki Ageng Gribig di Temanggung .
Di Temanggung Raden Trenggono semakin tinggi tekadnya untuk mempelajari
dan mendalami ilmu agama Islam. Akhirnya ia diambil menantu oleh Ki
Ageng Gribig dan mendapat tugas untuk menyiarkan agama Islam .
Asal mula sebutan KI Bodho, pada awal perjuangan syiar agama, pada waktu
itu di pulau jawa baru mengalami ancaman penjajahan portugis, sehingga
beredar kabar akan ada penyerangan lewat pantai selatan. Bagi Raden
Trenggono penyerangan diawali dengan suara gemuruh (jlegur-jlegur) dari
sura meriam, dimana sebenarnya suara utu adalah suara ombak laut di
pantai selatan.
Keadaan tersebut memaksa Raden trenggono untuk bersiap-siap menghadapi
serangan portugis sehingga kemudian membangun pos penjagaan di wilayah
pantai selatan.
Pada saat itu, Sunan kalijaga datang di nanggulan, sehingga mengetahui
apa yang dikerjakan Raden Trenggono. Sunan Kalijaga memahami bahwa
ternyata Raden Trenggono masih Bodho dan kurang berpengalaman. Oleh
karena kebodohannya itu Raden Trenggono mempunyai sebutan KI BODHO
Pada awal kekuasaan panembahan senopati, Kerajaan mataram masih
bersengketa dengan sultan pajang. Sultan Pajang berkeinginan untuk
menarik kembali apa yang telah di tetapkan sebelumnya dengan ki ageng
pamanahan tentang tanah untuk mataram.
Dari keinginannya itu Sultan pajang berupaya untuk senantiasa
meningkatkan kemampuan dan kesaktiannya untuk merebut kembali tanah
Pajang yang telah dikuasai mataram.
Sultan Pajang mengetahui sejarah eyang Raden Trenggono (Adipati Terung
I) dimana mempunyai kesaktian yang luar biasa dan Sultan pajang berpikir
kesaktian itu telah diwarisi oleh cucunya yaitu raden Trenggono.
Berangkat dari pemikiran itu maka sultan pajang ingin berguru dan
mewarisi kesaktian Raden Trenggono tersebut dengan menjajikan hadiah
yang menarik , namun Raden trenggono ingat dan menjunjung tinggi wasiat “
Tobat Turun pitu” dari eyangnya yaitu menghindari dan tidak ikut campur
dalam perebutan kekuasaan atau urusan politik dengan sikap “tumbak waru
ora melu-melu”, maka permohonan sultan pajang tidak dapat dipenuhi.
Dengan sangat kecewa Sultan pajang pulang tanpa membawa hasil dari
keinginannya. Kepulangann sultan pajang yang kecewa tersebut senantiasa
sambil bergumam bahwa raden trenggono itu KYAI Bodho.
Di masa akhir hayat KI BODHO terjadi peralihan kekuasaan dari Terung
dan Pajang ke mataram. Panembahan senopati yang mulai berkuasa pada saat
itu baru saja menyelesaikan permasalahan dengan ki ageng mangir dimana
wilayahnya dekat dengan pijenan.
Panembahan Senopati tidak menginginkan adanya pengaruh ki Ageng mangir
terhadap Ki Bodho. Dalam usaha panembahan senopati menjaga agar tidak
ada pengaruh dari bekas hulubalang ki ageng mangir, serta rasa hormat
dan segan beliau terhadap pewaris dan keturunan adipati Terung
tersebut,maka Ki Bodho diberi rumah pemukiman di sebelah barat keraton
Mataram dan diberi nama kampung BODHON.
Disamping itu, akhirnya panembahan senopati memberi penghargaan lain
yang lebih tinggi pada KI Bodho yakni diberi ganti wilayah Terung yang
telah di kuasai Mataram, sebuah tanah perdikan dengan wilayah bekas
kekuasan mangir yang letaknya disebelah timur sungai PROGO ke utara
sampai kaki gunung merapi. KI BODHO diberi kedudukan sebagai penguasa
Tanah perdikan tersebut dan diberi gelar PANEMBAHAN, sehingga lebih
dikenal dengan sebutan PANEMBAHAN BODHO
Akhirnya beliau meninggal dunia dan dimakamkan di Pasarean Sewu atau
Makam Sewu yang letaknya di desa WIJIREJO,PANDAK BANTUL YOGYAKARTA.
Di pesarean Makam Sewu, setiap tahun diadakan acara yang telah turun
temurun sebagai warisan budaya adiluhung para pendahulu yakni acara “
nyadran Makam sewu” acara ini diadakan para ahli waris dan anak
keturunan, sebagai wujud rasa hormat dan baktinya pada Panembahan Bodho.
Maksud dan tujuan nyadran
Kegiatan upacara ini dimaksudkan untuk mendapat menghormati para leluhur
yang sudah meninggal dan mendoakan agar dosa – dosanya diampuni Tuhan
sehingga tempat disisinya , disamping itu agar yang ditinggalkan selalu
mendapat keselamatan , murah rejeki dan sandang pangan.
Pelaksanaan Nyadran
Waktu pelaksanaan kegiatan ini dilaksanakan di makam Sewu setelah
tanggal 20 ruwah . Bertepatan dengan tanggal Wafatnya Panembahan Bodo.
Upacara Sadranan dilaksanakan sebanyak tiga kali , upacara pertama
dilaksanakan pada hari minggu dimulai pukul 20.30 WIB di
Los makam Sewu , upacara kedua pada hari senin pukul 08.00 Wib di dalam
cungkup Panembahan Bodo , upacara ketiga pada hari senin siang pukul 14.00 WIB yang merupakan puncak acara Sadranan . Kegiatan ini dilaksanakan di Pendopo / Bangsal Panembahan Bodo.
Perlengkapan Upacara
Pada upacara pertama dan kedua hidangan yang disediakan hanya konsumsi
biasa sedangkan pada upacara ketiga berupa tumpeng , nasi wuduk dan nasi
ambeng yang masing – masing beserta rangkaiannya .
Adapun rangkaian perlengkapan sebagai berikut
:
a. Tumpeng : Nasi putih berbentuk kerucut ( gunung ) tanpa lauk pauk ,
melambangkan sebuah pengharapan kepada Tuhan supaya permohonannya terkabul.
b. Nasi Gurih / Wuduk : Nasi putih diberi santan , garam dan
daun salam sehingga rasanya gurih , nasi ini juga disebut nasi rasul
karena nasi ini merupakan simbol permohonan keselamatan dan
kesejahteraan Nabi Muhammad SAW , para sahabat dan bagi penyelenggara
dan peserta upacara
c. Nasi Ambeng : Nasi ambeng ini disertai lauk pauk , dan
dibungkus dengan daun pisang . Nasi ini disediakan oleh warga
masyarakat.
d. Ingkung : Ayam yang dimasak secara utuh diberi mumbu tidak pedas dan
santan . Ingkung melambangkan manusia ketika masih bayi belum mempunyai
kesalahan atau masih suci . Ingkung juga melambangkan kepasrahan kepada
Tuhan.
e. Bunga : Bunga terdiri dari bunga mawar , melati dan kenanga . Bunga ini
melambangkan keharuman doa yang keluar dari hati yang tulus , kecuali itu bau harum mempunyai makna kemuliaan.
f. Pisang Raja : Melambangkan suatu harapan agar kelak
kemudian hari warga masyarakat desa Wijirejo hidupnya selalu bahagia
seperti raja.
g. Jajan Pasar : Sesaji yang terdiri dari bermacam – macam
makanan yang dibeli dari pasar , bermakna suatu harapan agar warga
masyarakat desa Wijirejo selalu memperoleh berkah dari Tuhan sehingga
hidupnya selalu mendapatkan kelimpahan dalam mengerjakan sawahnya
h. Ketan : Berasal dari kata Khotan yang artinya kesalahan
i. Kolak : Berasal dari Qala yang artinya mengucapkan
j. Apem : Berasal dari kata Aquwam yang berarti ampun . Ketan , kolak
dan apem ini merupakan satu rangkaian yang bila diartikan secara
keseluruhan berarti jika merasa salah cepat – cepatlah mengucapkan
mohon ampun
Makam Istri Panembahan Bodho
Makam Nyai Brintik secara administratif terletak di Dusun Karang,
Kalurahan Wijirejo, Kecamatan Pandak, Kabupaten Bantul, Propinsi DIY.
Letak makam Nyai Brintik ini tepatnya berada di sisi barat Pasar Pijenan
pada jarak sekitar 1,5 kilometer.
Kondisi Fisik pemakaman
Makam Nyai Brintik berada di sisi utara dari kompleks makam Dusun
Karang. Makam ini telah dilengkapi cungkup. Cungkup terbuat dari
bangunan tembok. Ukuran cungkup sekitar 4 m x 6 m.
Cungkup memiliki satu pintu menghadap ke selatan. Nisan makam Nyai
Brintik terbuat dari batu putih (tufa) dengan ukuran panjang sekitar 125
Cm, lebar 40 Cm, dan tinggi hingga kepala jirat 50 Cm.Cungkup makam
Nyai Brintik juga dilengkapi dengan teras. Di teras ini diletakkan
beberapa nisan dari sesepuh dusun setempat. Sementara di sisi nisan dari
Nyai Brintik juga terdapat nisan lain yakni nisan dari Nyai Brintik
yang bernama Joko Lelono. Nisan dari Joko Lelono berukuran panjang
sekitar 100 Cm, lebar 40 Cm, dan tinggi 40 Cm. Nisan Joko Lelono juga
terbuat dari batu putih.
Pada bagian tengah agak ke selatan dari kompleks makam di Dusun Karang
ini juga terdapat nisan lain, yakni nisan dari putra Nyai Brintik, yakni
nisan dari Kyai Gading Condrokusumo. Di sebelah nisan Gading
Condrokusumo juga terdapat nisan lain yakni nisan dari Nyai Gading
Condrokusumo yang tidak lain merupakan istri dari Kyai Gading Condro
Kusumo. Nisan keduanya diletakkan dalam sebuah cungkup dengan dinding
terbuka. Artinya, nisan tersebut hanya diberi atap yang terbuat dari
seng yang disangga tiang dari cor beton di keempat sudutnya. Nisan dari
Kyai dan Nyai Gading Condro Kusumo terbuat dari keramik warna merah.
Panjang Nisan keduanya adalah 125 Cm dan lebarnya 50 Cm. Sedangkan
tingginya 40 Cm.
Latar Belakang
Nyai Brintik merupakan istri dari Panembahan Bodo atau sering dikenal
juga dengan nama Raden Trenggono atau Syeh Sewu. Makam dari Panembahan
Bodo ini berada di Dusun Pijenan, Wijirejo, Pandak, Bantul, yakni di
sisi utara dari kompleks makam Dusun Karang pada jarak sekitar 2
kilometer.
Sumber setempat menyebutkan bahwa Nyai Brintik adalah salah satu putri
dari Sunan Kalijaga. Namun versi lain menyatakan bahwa Nyai Brintik
adalah putra dari Kyai Santri dari Muntilan. Versi ketiga menyatakan
bahwa Nyai Brintik adalah salah satu anak didik (santriwati) dari Sunan
Kalijaga.
Nyai Brintik dulunya tinggal di Dusun Kauman bersama suaminya yang
bernama Panembahan Bodo. Dusun Kauman ini terletak di timur Dusun
Karang.
Disebutkan bahwa Nyai Brintik ini pernah membuat bedug yang kemudian
digunakan di sebuah masjid peninggalan Sunan Kalijogo di Kalibawang,
Kulon Progo yang terkenal dengan nama Masjid Kedondong. Cara membawa
bedug teresebut menurut cerita tutur setempat dilakukan dengan cara
digendong oleh Nyai Brintik. Cerita tutur setempat juga menyebutkan
bahwa Nyai Brintik juga memiliki ilmu kanuragan berlebih dibandingkan
orang awam.
Ketika meninggal Nyai Brintik hendak dimakamkan di Makam Sewu di
Pijenan. Rencananya akan dimakamkan di sisi makam suaminya, Panembahan
Bodo. Akan tetapi ketika rombongan pembawa jenazah akan menyeberang
Sungai Bedog sungai tersebut sedang banjir besar. Sungai Bedog ini
menjadi pemisah antara Dusun Pijenan dengan Dusun Kauman dan Dusun
Karang.
Rombongan pembawa jenazah ini tidak bisa melanjutkan perjalanan menuju
Makam Sewu karena waktu itu belum ada jembatan yang menghubungkan kedua
wilayah tersebut. Pemakaman jenazah pun ditunda. Penundaan berlangsung
beberapa hari karena banjir Sungai Bedog tidak segera surut. Oleh karena
banjir tidak segera surut, maka jenazah Nyai Brintik pun akhirnya
dimakamkan di Dusun Karang.