Keberadaan Kabupaten Sleman dapat dilacak pada Rijksblad no. 11 Tahun
1916 tanggal 15 Mei 1916 yang membagi wilayah Kasultanan Yogyakarta
dalam 3 Kabupaten, yakni Kalasan, Bantul, dan Sulaiman (yang kemudian
disebut Sleman), dengan seorang bupati sebagai kepala wilayahnya. Dalam
Rijksblad tersebut juga disebutkan bahwa kabupaten Sulaiman terdiri dari
4 distrik yakni : Distrik Mlati (terdiri 5 onderdistrik dan 46
kalurahan), Distrik Klegoeng (terdiri 6 onderdistrik dan 52 kalurahan),
Distrik Joemeneng (terdiri 6 onderdistrik dan 58 kalurahan), Distrik
Godean (terdiri 8 onderdistrik dan 55 kalurahan).
Sejarah yang tak tertulis mengatakan bahwa nama “Sleman” diambil dari
nama seorang aulia atau wali yang menyebarkan dakwah di sekitar daerah
tersebut yang susur galur nasabnya menyambung sampai kepada Rasulullah
SAW atau yang kita kenal dengan sebutan Habib atau sayyid.
Nama Sleman diambil dari nama beliau,yaitu Sayyid Sulaiman Mojoagung
(bergelar pangeran kanigara ) Bin Abdurrahman Tajudin basyaiban dan para
anak keturunannya banyak yang menjadi pejabat keraton Yogyakarta yang
kurang lebih pada masa Sri sultan Hamengkubuwono II.
Dan ini bisa dibuktikan dengan adanya makam para anak keturunannya di
komplek keraton dan beberapa lainnya tersebar di wilayah
Pekalongan,Sidoresmo dan Magelang (Tepatnya di makam Khusus Keluarga
Basyaiban di Payaman Kab.magelang dan di makam tersebut bersemayam makam
Terkenal Kepala Regent magelang pertama atau istilah sekarang adalah
Bupati Pertama Magelang yaitu Sayyid Alwi bin Ahmad Basyaiban yg
bergelar Raden Ngabei Danoeningrat I).
Mungkin kebiasaan lidah jawa maka menyebut Nama Sayyid Sulaiman dengan
sebutan “Sleman” saja hingga sekarang menjadi sebuah Kota yang ramai.
Dan Napak tilas Sayyid Sulaiman Mojoagung basyaiban ini ternyata masih
bisa kita lihat di kota Jogjakarta dengan adanya suatu wilayah atau
kecamatan Danurejan, karena nama “Danurejan” aslinya berasal dari salah
satu anak keturunan dari Sayyid Sulaiman ini yang bernama Sayyid Ahmad
bin Muhammad Said bin Abdul wahab bin Sulaiman Basyaiban yg bergelar
Pangeran Danurejo krn menjadi salah satu menantu keraton Jogjakarta.
Dan dari pangeran Danurejo atau Sayyid Ahmad Basyaiban inilah lahir
Bupati Pertama Magelang yg bergelar Raden Ngabei Danoeningrat I atau
Sayydi Alwi Basyaiban yang meninggal pada Tahun 1825.
Mungkin sudah seharusnya kalau masyarakat kota Sleman juga ikut
berterima kasih kepada Sayyid Sulaiman Mojoagung Basyaiban ini salah
satunya dengan berziarah ke MojoAgung Jawa Timur tempat beliau
dimakamkan yang tak pernah sepi peziarah dari berbagai belahan kota di
Indonesia bahkan dari mancanegara.
Apa yg saya tulis ini salah satunya karena saya juga sangat mengenal
dengan para anak keturunan Sayyid Sulaiman MojoAgung basyaiban yang
tersebar di Tiga kota besar, Yaitu Magelang,Sidoresmo dan Pekalongan
yang tergabung dalam Suatu wadah Silaturrahmi Ittihad Ansaab Basyaiban
atau disingkat IAB yang berpusat di jakarta namun ada 3 cabang di Kota
besar tersebut.
Selain itu mungkin anda juga kurang paham bahwa dulu sejarah pernah
mencatat di Pasuruan Jawa timur di masa penjajahan ada pasukan yg kita
kenal dengan “sebutan arek-arek suroboyo” ternyata mereka juga satunya
dipimpin oleh para anak keturunan dari Sayyid Sulaiman Basyaiban ini
juga.Wallohua’lam
Ternyata Ulama dulu tidak tanggung dalam melaksanakan Syiar Islam,maka
pantas saja kalau Indonesia menjadi Negara dengan penduduk Islam
terbanyak di seluruh dunia.
Berdasarkan Perda no.12 Tahun 1998, tanggal 15 Mei tahun 1916 akhirnya
ditetapkan sebagai hari jadi Kabupaten Sleman. Menurut Almanak, hari
tersebut tepat pada Hari Senin Kliwon, Tanggal 12 Rejeb Tahun Je 1846
Wuku Wayang.
Berdasar pada perhitungan tahun Masehi, Hari Jadi Kabupaten Sleman
ditandai dengan surya sengkala "Rasa Manunggal Hanggatra Negara" yang
memiliki sifat bilangan Rasa= 6, Manunggal=1, Hanggatra=9, Negara=1,
sehingga terbaca tahun 1916. Sengkalan tersebut, walaupun melambangkan
tahun, memiliki makna yang jelas bagi masyarakat Jawa, yakni dengan rasa
persatuan membentuk negara. Sedangkan dari perhitungan tahun Jawa
diperoleh candra sengkala "Anggana Catur Salira Tunggal". Anggana=6,
Catur=4, Salira=8, Tunggal=1. Dengan demikian dari candra sengkala
tersebut terbaca tahun 1846.
Beberapa tahun kemudian Kabupaten Sleman sempat diturunkan statusnya
menjadi distrik di bawah wilayah Kabupaten Yogyakarta. Dan baru pada
tanggal 8 April 1945, Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan penataan
kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei angka 2
(dua). Penataan ini menempatkan Sleman pada status semula, sebagai
wilayah Kabupaten dengan Kanjeng Raden T umenggung Pringgodiningrat
sebagai bupati. Pada masa itu, wilayah Sleman membawahi 17
Kapenewon/Kecamatan (Son) yang terdiri dari 258 Kalurahan (Ku).
Ibu kota kabupaten berada di wilayah utara, yang saat ini dikenal
sebagai desa Triharjo. Melalui Maklumat Pemerintah Provinsi Daerah
Istimewa Yogyakarta Nomor 5 tahun 1948 tentang perubahan daerah-daerah
Kelurahan, maka 258 Kelurahan di Kabupaten Sleman saling menggabungkan
diri hingga menjadi 86 kelurahan/desa. Kelurahan/Desa tersebut membawahi
12 padukuhan.
Adapun dasar-dasar pertimbangan yang digunakan adalah:
Usia penamaan yang paling tua Mampu menumbuhkan perasaan bangga dan
mempunyai keterkaitan batin yang kuat terhadap masyarakat.
Memiliki ciri khas yang mampu membawa pengaruh nilai budaya .
Bersifat Indonesia sentris, yang dapat semakin menjelaskan peranan ciri
keindonesiaan tanpa menyalahgunakan obyektivitas sejarah.
Mempunyai nilai historis yang tinggi, mengandung nilai dan bukti sejarah
yang dapat membangun semangat dan rasa kagum atas jasa dan pengorbanan
nenek moyang kita.
Merupakan peninggalan budaya Jawa yang murni, tidak terpengaruh oleh budaya kolonial
Periode 1916-1945
Secara administratif, keberadaan Kabupaten Sleman dapat dilacak pada
Rijksblad no. 11 tahun 1916 yang membagi wilayah Kasultanan Yogyakarta
(Mataram) dalam 3 Kabupaten, yakni Kalasan, Bantul, dan Sulaiman (yang
kemudian disebut Sleman), dengan seorang bupati sebagai kepala
wilayahnya. Secara hierarkhis, Kabupaten membawahi distrik yang
dikepalai seorang Panji.
Dalam Rijksblad tersebut juga disebutkan bahwa kabupaten Sulaiman
terdiri dari 4 distrik yakni : Distrik Mlati (terdiri 5 onderdistrik dan
46 kalurahan), Distrik Klegoeng (terdiri 6 onderdistrik dan 52
kalurahan), Distrik Joemeneng (terdiri 6 onderdistrik dan 58 kalurahan),
Distrik Godean (terdiri 8 onderdistrik dan 55 kalurahan).
Pada tahun yang sama, berturut-turut dikeluarkan Rijksblad no.12/1916,
yang menempatkan Gunung Kidul sebagai kabupaten keempat wilayah
Kasultanan Yogyakarta. Kemudian disusul dengan Rijksblad no. 16/1916
yang mengatur keberadaan Kabupaten Kota. Sedangkan Rijksblad 21/1916
mengatur keberadaan kabupaten Kulon Progo. Dengan demikian, pada tahun
tersebut wilayah Kasultanan Yogyakarta berkembang dari 3 kabupaten
menjadi 6 Kabupaten.
Pembagian wilayah Kesultanan Yogyakarta tersebut ternyata pada tahun
1927 mengalami penyederhanaan melalui munculnya Rijksblad no. 1/1927.
Enam Kabupaten yang terdapat di wilayah kasultanan disederhanakan
menjadi 4 kabupaten yakni: Kabupaten Yogyakarta, Kabupaten Bantul,
Kabupaten Kulon Progo dan Gunung Kidul. Dalam hal ini, Kabupaten Sleman
mengalami penurunan status menjadi distrik Kabupaten Yogyakarta.
Pada tahun 1940, wilayah Kasultanan Yogyakarta mengalami reorganisasi
dengan munculnya Rijksblad Van Jogjakarta no. 13/1940 tanggal 18 Maret
1940. Rijksblad tersebut membagi wilayah kasultanan Yogyakarta tetap
dalam 4 Kabupaten dengan pemampatan pada distrik masing-masing
kabupaten.
Kabupaten Yogyakarta, terdiri 2 (dua) distrik (Distrik Kota dan Distrik Sleman).
Kabupaten Sleman yang terdiri 4 (empat) distrik.
Kabupaten Kulon Progo terbagi 2 (dua) distrik.
Kabupaten Gunung Kidul terbagi 3 (tiga) distrik.
Pembagian wilayah tersebut tidak berlangsung lama, karena pada tahun
1942 dengan Jogjakarta Kooti, Kasultanan Yogyakarta lebih memerinci
wilayahnya sebagai berikut:
Kabupaten Yogyakarta dengan Bupati KRT. Harjodiningrat. Kabupaten Yogyakarta dibagi menjadi 3 (tiga) Kawedanan, yakni
kawedanan Sleman dengan penguasa R. Ng. Pringgo Sumadi dan
Kawedanan Kalasan dengan penguasa R. Ng. Pringgo Biyono.
Kabupaten Bantul (Ken) dengan Bupati KRT. Dirjokusumo dan wilayahnya
dibagi menjadi 4 (empat) kawedanan yakni Bantul, Kotagede, Godean dan
Pandak.
Kabupaten Gunung Kidul dengan Bupati KRT. Djojodiningrat dan wilayahnya
terbagi menjadi 3 (tiga) kawedanan yakni Wonosari, Playen dan Semanu.
Kabupaten Kulon Progo dengan Bupati KRT. Pringgohadingrat, dengan
wilayah yang terbagi menjadi 2 (dua) kawedanan yaitu Nanggulan dan
Sentolo.
Pada tanggal 8 April 1945 Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan
penataan kembali wilayah Kasultanan Yogyakarta melalui Jogjakarta Koorei
angka 2 (dua).
Dalam Koorei tersebut dinyatakan wilayah Kasultanan Yogyakarta dibagi menjadi lima Kabupaten yakni
Kabupaten Kota Yogyakarta (Yogyakarta Syi),
Kabupaten Sleman (Sleman Ken),
Kabupaten Bantul (Bantul Ken),
Kabupaten Gunung Kidul (Gunung Kidul Ken) dan
Kabupaten Kulon Progo (Kulon Progo Ken).
Penataan ini menempatkan Sleman pada status semula, sebagai wilayah Kabupaten.
Periode 1945-1947
Jogjakarta Koorei angka 2 (8 April 1945) menjadikan Sleman sebagai
pemerintahan Kabupaten untuk kedua kalinya dengan KRT Pringgodiningrat
sebagai bupati. Pada masa itu, wilayah Sleman membawahi 17 kapewon
(Son) yang terdiri dari 258 kalurahan (Ku). Ibu kota kabupaten berada di
wilayah utara, yang saat ini dikenal sebagai desa Triharjo (Kecamatan
Sleman).
Bila dibandingkan dengan pemerintahan kabupaten lainnya di tanah Jawa,
infrastruktur yang dimiliki Sleman sangat terbatas. Fasilitas yang
dimiliki adalah gedung pusat pemerintahan, pasar (yang saat ini dikenal
sebagai pasar Sleman), masjid (masjid Sleman) dan stasiun kereta api
(lokasinya sudah berubah menjadi taman segi tiga Sleman). Sedangkan
infastruktur seperti alun-alun, penjara, markas prajurit dsbnya, sebagai
syarat ibukota, tidak dimiliki.
Di era revolusi, para pegawai pemerintah meninggalkan ibukota Sleman
ikut keluar kota mengatur strategi. Dalam keadaan demikian perkantoran
pemerintahan Kabupaten Sleman menjadi sepi dan terjadi “bumi angkut”
oleh gerombolan masyarakat yang tidak bertanggungjawab. Akibatnya
gedung-gedung pemerintah tidak layak lagi menjadi tempat pelayanan
masyarakat.
Periode 1945-1947
Dalam kondisi gedung-gedung pelayanan masyarakat yang memprihatinkan,
Bupati Sleman KRT Pringgodiningrat pada tahun 1947 memindahkan pusat
pelayanan kabupaten ke Ambarukmo, di Petilasan Dalem serta bekas pusat
pendidikan perwira polisi yang pertama di Indonesia (saat ini pendopo
hotel Ambarukmo). Dalam hal ini, Ambarukmo merupakan pusat kegiatan
pelayanan pemerintahan, bukan ibukota kabupaten.
Pada tahun yang sama Bupati KRT Pringgodiningrat diganti oleh KRT
Projodiningrat. Dalam periode ini, tepatnya tahun 1948, wilayah
Kasultanan Yogyakarta mulai melaksanakan pemerintahan formal. Sesuai
dengan UU no. 22 Tahun 1948, penyebutan wilayah Kabupaten Sleman adalah
Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1950 Bupati KRT Projodiningrat digantikan oleh KRT
Dipodiningrat hingga tahun 1955. Selanjutnya, KRT Dipodiningrat
digantikan oleh KRT Prawirodiningrat, yang menjabat Bupati Sleman hingga
tahun 1959.
Pada masa itu pemerintah RI mengeluarkan UU no. 1 tahun 1957 mengenai
Pembagian Daerah Republik Indonesia dan Aturan Otonomi Daerah, maka
penyebutan Kabupaten Sleman berubah menjadi daerah Swatantra. Sebagai
implementasinya Departemen Dalam Negeri menerbitkan peraturan bahwa
selain memiliki seorang Bupati yang diangkat secara sektoral sebagai
pegawai Kementrian Dalam Negeri, Kabupaten juga harus memiliki kepala
daerah yang dipilih legislatif (DPRD).
Dengan kata lain, dalam periode pemerintahan ini, sebuah kabupaten
memiliki 2 (dua) Kepala Daerah. Terpilih sebagai Kepala Daerah Swatantra
adalah Buchori S. Pranotodiningrat. Seiring terbitnya Penetapan
Presiden no. 6 Tahun 1959 dan no. 5 Tahun 1960, untuk memberlakukan
kembali UUD 1945, pemerintahan Kabupaten Sleman kembali dikepalai
seorang Bupati/Kepala Daerah, yang dijabat oleh KRT. Murdodiningrat.
Periode 1964-1997
Pada tahun 1964, KRT Murdodiningrat memindahkan pusat pemerintahan ke
Dusun Beran, Desa Tridadi Kecamatan Sleman. Lokasinya menempati bangunan
kantor Bappeda Sleman (sekarang). Pada masa ini pula Kabupaten Daerah
Tingkat II Sleman mulai memiliki lambang daerah.
Munculnya UU no. 18 tahun 1965 mengenai Hak Otonomi Daerah
ditindaklanjuti DPRD Gotong Royong Daerah Tingkat II Sleman dengan
menerbitkan SK. no. 19/1966 yang mengubah sebutan Pemerintah Daerah
Tingkat II Sleman menjadi Pemerintah Daerah Kabupaten Sleman, dan DPRD
Gotong Royong Tingkat II Sleman menjadi DPRD Gotong Royong Kabupaten
Sleman. Pada masa tersebut ketua DPRD Gotong Royong dijabat Soekirman
Tirtoatmodjo.
Seiring berakhirnya masa keanggotaan DPRD Gotong Royong pada tahun 1971,
jabatan ketua DPRD digantikan oleh Soelanto. Selanjutnya pada tahun
1974, UU no. 18 tahun 1965 digantikan UU no. 5 Tahun 1974 tentang
Pemerintahan Daerah. Berorientasi pada Undang-undang ini pemerintahan
daerah Sleman menggunakan penyebutan Pemerintah Daerah Tingkat II
Kabupaten Sleman.
Pada tahun 1974 KRT. Murdodiningratdigantikan oleh KRT Tedjo
Hadiningrat, yang hanya menjabat selama 3 bulan. Selanjutnya posisi
bupati dijabat Drs. KRT. H. Prodjosuyoto Hadiningrat, yang menjabat 2
periode (th.1974-1985) dengan 2 kali penggantian ketua DPRD. Pada tahun
1977, posisi Soelanto sebagai ketua DPRD digantikan oleh R. Soelarjo
hingga tahun 1982, yang selanjutnya digantikan Samingan H.S.
Pada tahun 1985 Drs. KRT. H. Prodjosuyoto Hadiningrat digantikanDrs.
Samirin, yang menjabat selama satu periode (1985-1990). Pada masa
jabatannya, Drs. Samirin mengalami sekali pergantian ketua DPRD Sleman
yakni pada tahun 1987, Samingan H. S. digantikan Letkol. Sudiyono, yang
menjabat 2 periode masa jabatan (1987-1997).
Pusaka dan identitas
Kyai Turunsih
Kabupaten Sleman memiliki tombak "Kyai Turunsih Tangguh Ngayogyakarto",
pemberian dari Raja Yogyakarta, Sri Sultan Hamengku Buwono X pada Sabtu
Kliwon 15 Mei 1999 (Tanggal Jawa, 29 Sapar 1932 Ehe). Penyerahan Pusaka
tersebut kepada Bupati Sleman, dikawal 2 bergada prajurit Kraton
Yogyakarta yakni Bregada Ketanggung berbendera Cakraswandana dan Bregada
Mantrijero berbendera Purnamasidi. Pusaka itu dibawa seorang abdi
Keraton Yogyakarta, KRT Pringgohadi Seputra.
Tombak Kyai Turunsih memiliki dhapur (pangkal) cekel beluluk
Ngayogyakarta dan pamor beras wutah (wos wutah) wengkon. Pamor pusaka
itu sesuai kondisi Sleman sebagai gudang berasnya Daerah Istimewa
Yogyakarta. Tombak tersebut memiliki panjang sepanjang kurang lebih 270
cm dan pangkal sepanjang 49 cm.
Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, Tombak Kyai Turunsih
mengisyaratkanlaku ambeg paramarta, dijiwai olah rasa kasih sayang, yang
mencakup wilayah se Kabupaten Sleman sebagaimana sebuah keluarga besar
yang harmonis, mulat sarirasesuai hari jadinya 'Anggana Catur Sarira
Tunggal' yang terbaca tahun 1846 Jawa. Candra Sengkala tersebut
mengemukakan sikap kearifan tradisional di empat penjuru yang manunggal
pada jiwa kesatuan, yang menjadi unsur kasepuhannya.
Salak Pondoh
Salak Pondoh (Sallaca edulis Reinw cv Pondoh) dalam kajian ilmiah
termasuk divisi Spermatophyta (tumbuhan berbiji) dengan sub divisi
Angiospermae (berbiji tertutup). Sedangkan klasifikasi kelasnya adalah
Monocotyledoneae (biji berkeping satu), yang termasuk bangsa Arecales,
suku Arecaceae Palmae (keluarga Palem) dan marga Salacca jenis Salacca
edulis Reinw dengan anak jenis Salacca edulis Reinw cv Pondoh.
Tanaman ini dipilih menjadi flora identitas Kabupaten Sleman karena
merupakan jenis tanaman Salak khas di wilayah Sleman dan telah menjadi
kebanggaan masyarakat Sleman. Awalnya, Partodiredjo, seorang Jogoboyo
desa pada Kapanewon Tempel, pada tahun 1917 menerima kenang-kenangan
empat butir biji salak dari seorang warga negara Belanda yang akan
kembali ke negerinya karena masa tugasnya telah berakhir. Biji Salak
yang kemudian ditanam dan dibudidayakannya dengan baik ternyata
menghasilkan buah yang manis dan tidak sepat, tidak seperti buah Salak
yang selama itu dikenalnya. Pada tahun 1948-an tanaman Salak tersebut
kemudian dikembangkan lebih lanjut oleh Muhadiwinarto (putra
Partodiredjo) warga Sokobinangun, Merdikorejo, Tempel. Karena
kelebihannya dalam hal rasa, tanaman salak tersebut cepat berkembang
pesat penyebarannya.
Burung Punglor
Burung Punglor (Zootheria Citrina) yang tergolong Vertebrata marga
Zootheria, bangsa passeriformes, suku Turdidae, dan kelas Aves ini
memiliki bulu yang indah. Habitat Punglor adalah hutan sekunder dataran
rendah dan dataran yang memiliki ketinggian hingga 900 M di atas
permukaan air laut.
Di wilayah Sleman, burung yang bersuara merdu ini berhabitat kebun Salak
Pondoh. Dengan makanan utama cacing tanah dan kumbang (uret), Punglor
merupakan predator bagi hama tanaman Salak Pondoh.