Grobogan tidak bisa dipisahkan dengan sejarah Mataram. Dan bahkan
Pendiri Mataram masih Keturunan Dari para sesepuh Grobogan diantaranya
Kyai Ageng Tarub. Dan ini sejarahnya
Timbulnya kerajaan Mataram bukanlah karena kepercayaan adanya riwayat,
kaol, ramalan atau kepercayaan akan adanya wahyu keraton, yang ditujukan
untuk memuliakan keturunan Ki Ageng Sela atau atas diri Sutowijaya,
akan tetapi sangat diwarnai oleh adanya pertentangan paham kepercayaan
yang membutuhkan perpindahan pusat kerajaaan dari Demak ke Pajang dan Ke
Mataram.
Mula-mula, Mataram hanyalah sebuah "petinggen" dengan petingginya Ki
Ageng Pamanahan dengan sebutannya Ki Ageng Mataram. Daerah ini diperoleh
sebagai hadiah dari Sultan Pajang karena dapat membunuh Harya
Panangsang dari Jipang. Selanjutnya Ki Ageng mataram digantikan oleh
Putranya Sutowijoyo atau mas Ngabehi Loring Pasar, dengan pangkat
Bupati.
Desa Mataram di Kutha Gede segera dibangun menjadi sebuah kota
berbenteng yang kuat. Daerah Sela, Tarub, Getas, warung dan sekitarnya
menjadi daerah "pamijen" Mataram.
Perbuatan Senopati ini menimbulkan amarah Sultan Hadiwijaya, sebab sudah
begitu besar kasih kepadanya, tetapi pembalasannya sangat tidak
seimbang.
Di lain pihak, tindakan Sutowijoyo (Senopati) menimbulkan rasa iri pada
Harya Pangiri, Putera Sunan Prawata dan menantu Sultan yang merasa kalah
berebut kasih dari Sultan. Padahal Sutowijoyo hanyalah keturunan "wong
cilik" dari Sela. Dilain pihak pula tindakan Sutowijoyo juga membuat
tidak senangnya Bupati Tuban, menantu Sultan Hadiwijaya yang lain,
karena Sutowijoyo menciptakan saingan terhadap Pajang, Jipang dan Tuban.
Gelagat yang tidak baik ini juga dirasakan oleh Sultan. Sebagai orang
tua, sedapat mungkin Sultan berusaha mencegah timbulnya perselisihan.
Tetapi perselisihan tetap terjadi setelah terjadinya peristiwa
Tumenggung Mayang, menantu Ki Ageng Pamanahan serta pembunuhan seorang
utusan dari Banten oleh Raden Rangga, putera Sutowijoyo di Mataram.
Akhirnya mataram diserbu oleh pasukan gabungan Pajang, Jipang dan Tuban. Tetapi serbuan tersebut tidak berhasil.
Setelah penyerbuan tersebut, Sultan jatuh sakit, kemudian mangkat dan makamkan di desa Butuh Kuyang tahun 1582
Dengan kemangkatan Sultan Hadiwijoyo, keadaan politik Jawa semakin
tegang. Antara Sutowijoyo dengan pangeran Benowo, putera Sultan di satu
pihak, berhadapan dengan Harya Pangiri dan Bupati Tuban di pihak lain.
Mataram memperoleh dukungan dari para Buyut, Ki Ageng serta Sunan
Kalijogo dan tokoh-tokoh pedalaman yang lain, sedang Harya Pangiri dan
bupati Tuban mendapatkan dukungan dari para wali yang lain serta
penguasa pantai.
Selanjutnya keputusan Panembahan Kudus Harya Pangiri menggantikan
kedudukan Sultan sebagai raja Pajang. Tahun 1586 dia dihancurkan oleh
pangeran Benowo dengan bantuan Sutowijoyo.
Jadi Harya Pangiri berkuasa di Pajang selama empat tahun (1562-1586).
Kemudian dia dikembalikan ke Demak sebagai Bupati yang berada di bawah perintah Pajang/Mataram.
Selanjutnya atas kerelaan Benowo, kekuasaan Pajang diserahkan kepada Sutowijoyo di Mataram.
Dengan demikian Pajang berada di bawah kuasa Mataram. Maka berakhirlah Kesultanan Pajang.
Dengan demikian daerah-daerah Jipang, Sela, Teras Karas, Wirasari,
Santenan (Cengkal Sewu), Demak, Kedu, dan Grobogan menjadi daerah
Mataram.
Beberapa waktu kemudian Sutowijoyo sebagai penguasa Mataram menggunakan
gelar Panembahan Senopati ing Alaga Ngabdurrachman Sayidin Panatagama
Khalifatullah. Daerahnya diperluas ke Madiun, Ponorogo, Kediri,
Surabaya, Begelen, Blora, Lasem, dan beberapa daerah di Bojonegoro
(Jipang).
Terhadap Pati, Panembahan Senopati mengangkat Adipati Pragola atau
Adipati Joyokusumo sebagai bupati. Adipati Pragola adalah anak Ki Ageng
Panjawi, cucu Ki Ageng Ngerang.
Tetapi ketika Senopati beristerikan puteri Retnodumilah, putera
Panembahan Ronggo Jumeno Adipati Madiun, Adipati Pragola tidak senang
hatinya.
Sebab isteri pertama Panembahan Senopati adalah kakak Adipati Pragola
Dewi Waskitojawi dan sudah berputera Mas Jolang, sebagai Putera
Mahkota.
Dia khawatir, jangan-jangan Senopati akan mencabut hak putra mahkota itu
bila Retnodumilah berputera. Oleh karena itu Adipati Pragola pulang ke
Pati dan melakukan pemberontakan. Daerah Santenan, Cengkal Sewu, Warung,
Blora, Jipang dan Grobogan diserbu dan dijadikan daerah Pati. Tetapi
pemberontakan tersebut segera dapat ditindas oleh Senopati, dan Pati
dijadikan daerah Mataram.
Pada masa pemerintahan Sultan Agung Hanyakrakusuma (1613-1645), Adipati
Pragola II dari Pati berontak pula kepada Mataram. Dia dihasut oleh T.
Endranata. Tetapi gagal. Adipati Pragola gugur dibunuh oleh Ng.
Nayadrana. Sedang T. Endranata ditangkap dan dibunuh.
Kemudian untuk daerah Pati ditempatkan T. Mangunoneng sebagai Bupati
yang menguasai daerah-daerah Pati, Santenan, Sela, Jipang, Blora,
Warung, Grobogan, dan Demak.
Sultan Agung digantikan oleh Sunan (Amangkurat I : 1645-1676). Tahun
1646 Sunan Amangkurat mengadakan perjanjian dengan Kumpeni belanda.
Tindakan Sunan inilah yang menjadi awal mula Mataram secara
berangsur-angsur jatuh di bawah kuasa Kumpeni Belanda.
Maka banyak bangsawan yantg tidak senang. Kemudian mereka melakukan
pemberontakan di bawah pimpinan Panembahan Kajoran, dan Raden Trunojoyo
seorang pemuda dari Madura. Dalam penyerbuannya R Trunojoyo dapat
menduduki istana Plered.
Dalam penyerbuan tersebut, R. Trunojoyo mendapatkan bantuan dari pasukan
Bugis-Makasar di bawah pimpinan Karaeng Galengsong dan Raja Galengsong,
serta Bupati Pasisir. Dalam penyerbuan itu pasukan dibagi dua: separoh
pimpinan T. Mangkuyuda yang memimpin orang-orang Mancanagari dan
orang-orang pasisir melalui Grobogan, Sukawati, Pajang dan menuju
Kajoran. Dia dibantu oleh T. Dandang Wacana dan Daeng Marewa. Sebagian
lagi melalui Semarang, Kedu, Trayem sampai di Mataram sebelah Barat di
bawah pimpinan T. Wangsaprana dan Daeng Warewa. Desa-desa yang terletak
di sepanjang jalan yang dilalui oleh barisan tersebut dirusak dan
dirampok. Kota Plered dikepung dari arah barat, utara dan timur kota.
Dalam pertempuran tersebut Sunan tidak mau melawan. Dia beserta putera
mahkota dan keluarganya meloloskan diri dari istana, dan pergi ke arah
barat. Tujuannya hendak ke Batavia minta bantuan kepada Kumpeni Belanda.
Peristiwa ini terjadi pada malam Minggu, 18 Sapar, Tahun Be, 1600 atau
1677 Masehi, dengan demikian pasukan Trunojoyo dengan mudah dapat
menduduki istana Plered. Tetapi tidak lama kemudian keraton Plered dapat
direbut kembali oleh P. Puger, salah seorang putera Sunan.
Karena dikabarkan Putera Mahkota tidak mau menjadi raja dan akan naik
haji ke Mekkah, maka P. puger mengangkat diri menjadi raja Mataram
dengan gelar : Susuhunan Ngalaga ing Mataram
Kenyataan putera Mahkota tidak naik haji ke Mekah, tetapi dia diangkat
menjadi Sunan Amangkurat II di Mataram. Maka di Mataram ada dua orang
raja. Sunan Amangkurat II tidak senang bertempat tinggal di Plered. Dia
ingin mendirikan istana di tempat yang baru, maka dipilihlah Wanakerta
sebagai istana di tempat yang baru tersebut diberi nama Kartasura
Adiningrat.
Dengan Kumpeni diadakan perjanjian yang dikenal dengan sebutan Kontrak
Kendeng tahun 1976. Isinya pantai utara Jawa digadaikan kepada Kumpeni
Belanda dan juga beberapa daerah Mancanegari seperti Blora, Jipang,
Grobogan, dan Cengkal Sewu. Susuhunan Ngalaga tidak senang terhadap
tindakan Sunan Amangkurat tersebut.
Maka dia bersiap-siap menyerbu Kartosuro.
Kabupaten Grobogan Pada Masa Kartosuro dan Surakarta Pada masa pemberontakan Trunojoyo, keraton Plered berhasil diduduki musuh.
Menurut kepercayaan Jawa, istana yang telah diduduki musuh akan hilang
kesaktiannya dan kesuciannya. Maka Sunan Amangkurat II tidak mau
menempati istana Plered lagi. Dia ingin mendirikan istana baru di tempat
lain. Ada yang mengusulkan di Tingkir, di Logender, dan di Wonokerto.
Adipati Urawan mengusulkan agar pindah ke Wonokerto dengan alasan :
tanahnya datar, subur, dan strategis, serta menetapi "wisik" yang
diterima oleh P. Pekik ketika berada di Butuh Kuyang: Ki Pekik,
wruhananmu, kowe besuk duwe putu lanang, jumeneng ratu gedhe, kedhatone
ana ing Wonokerto, kaprenah sakuloning Pajang, abebala bacingah, jejuluk
Sunan Mangkurat.
Selanjutnya persiapan pembangunan istana baru dilakukan. Adipati
Nrangkusuma memimpin penebasan hutan Wonokerto. Sesudah pembangunan
istana selesai, pada hari Rabu Pon, 27 Ruwah, Tahun Alip, 1603, Sunan
Amangkurat II pindah istana ke Wonokerto dan nama Wonokerto di ganti
menjadi Kartosuro Adiningrat.
Pertentangan antara Sunan Ngalaga dengan Sunan Amangkurat II segera
dapat diselesaikan setelah keduanya mengetahui duduk perkaranya. Sunan
Ngalaga kembali menjadi P. Puger dan bertempat tinggal di Kartosuro
dengan mendapatkan "lungguh" 4000 karya.
Pada tahun 1703 Sunan Amangkurat II (Sunan Amral) mangkat dan diganti
oleh Putera Mahkota Pangeran Adipati Anom dengan gelar Susuhunan
Amangkurat III atau Susuhunan Amangkurat Emas. Raja yang masih muda ini
selalu berbeda pendapat dengan P. Puger. Akhirnya pada Tahun 1708 P.
Puger pergi ke Semarang tujuan minta bantuan kepada Kumpeni Belanda agar
diangkat menjadi Sunan Kartosuro.
Oleh Kumpeni permintaan tersebut dikabulkan dan P. Puger diangkat
menjadi Sunan Kartosuro dengan gelar : Susuhunan Paku Buwono I.
Sebagai upah dari pengangkatan tersebut, daerah-daerah Demak, Grobogan,
Sela dan daerah sekitar Semarang sampai Ungaran diambil oleh Kumpeni
sebagai wilayah Kumpeni.
Sementara itu pasukan Sunan Kartasura yang ingin menyerbu ke Semarang
dapat di tahan oleh pasukan gabungan Sunan Paku Buwono I dan Kumpeni,
sehingga terpaksa kembali ke Kartosuro. Peristiwa ini terjadi pada 19
Juni 1708. Tidak lama setelah pengangkatan itu, Sunan Paku Buwono I
menyerbu ke Kartosuro. Sunan Amangkurat gugur dalam pertempuran dan
Sunan Paku Buwono I menjadi raja di Kartosuro (1709-1719).
Tahun 1719 Sunan Paku Buwono mangkat, digantikan oleh Susuhunan
Amangkurat IV atau Susuhunan Amangkurat Jawi. Pada masa Sunan Paku
Buwono I, yaitu pada tahun 1709 diadakan perjanjian dengan Kumpeni. Isi
pokok perjanjian tersebut antara lain daerah Semarang dan sekitarnya
digadaikan kepada Kumpeni, termasuk didalamnya daerah-daerah Demak,
kudus, Blora, Jepara, Pati, Grobogan, Kendal.
Pada masa Amangkurat IV terdapat seorang abdi pekatik yang sangat dekat
dengan raja bernama Wongso Dipo. Karena jasanya dapat menyelamatkan jiwa
Sunan ketika terjadi perang dengan Pangeran Blitar dan P. Purboyo di
Mataram, akhirnya dia diangkat menjadi Bupati Grobogan dengan gelar T.
Martopuro. Hanya daerahnya tidak jelas dan dia masih harus tetap tinggal
di Kartosuro.
Peristiwa ini terjadi pada hari Senin, 21 Jumadilakir, tahun Jimakir,
1650 atau 4 Maret 1726. Dalam pengangkatan tersebut tidak disebutkan
daerah-daerah yang menjadi wilayah kekuasaan Kabupaten Grobogan, adalah :
Sela, Teras Karas, Wirosari, Grobogan, Santenan, dan beberapa daerah di
Sukowati bagian utara Bengawan Sala.
Kemudian beberapa bulan berikutnya Sunan Amangkurat IV mangkat dan
digantikan oleh Sunan Paku Buwono II (1727-1749). Karena Sunan ini masih
terlalu muda (baru berumur 16 tahun) maka sebagai penasehat ditunjuk
Patih Danurejo, sehingga pengaruh Patih ini terhadap raja sangat besar.
Patih ini sangat benci kepada Belanda. Dia mendapatkan dukungan dari Ibu
suri raja Ratu Amangkurat, dan T. Martopuro, Bupati Grobogan.
Secara diam-diam ketiganya dapat mempengaruhi hati Sunan pun benci
kepada Belanda. Untuk mempersiapkan segala sesuatunya, T. Martopuro
meminta kepada Bupati Demak. T. Joyoningrat menyusun kekuatan mengusir
Belanda dari Semarang. Usaha ini kelihatan berhasil. T. Joyoningrat
melaporkan bahwa mereka telah bersepakat dengan para Bupati pesisir, dan
orang-orang Tionghoa itu telah mengangkat seorang Kapten bernama Kapten
Sinseh sebagai pemimpin mereka. Mereka mengkoordinasi kekuatan Tionghua
di daerah Demak, Pati, Santenan dan Grobogan. Ini terjadi pada tahun
1731.
Namun hati Sunan yang masih muda itu sering berubah-ubah. Dia khawatir
akan pengaruh Patih Danurejo yang semakin besar, maka akhirnya sikap
Danurejo dilaporkan kepada Belanda, .
Akibatnya patih Danurejo ditangkap dan diasingkan ke Sailan. T.
Martopuro tidak senang hatinya dengan tindakan Sunan tersebut, Diam-diam
dia menyusun kekuatan di daerah Grobogan.
Sebagai pengganti Patih maka diangkat Adipati Notokusumo, seorang yang
juga anti kepada Belanda. Di bawah tanah dia bekerja dengan Demang
Urawan (putera P Purboyo yang kemudian di tawan dan mati di Batavia) dan
T. martopuro
Untuk membulatkan tekad dan pendapat, maka T. Martopuro mengadakan
rapat. Dalam rapat diiputuskan, bahwa mereka harus mempengaruhi hati
Sunan agar menyerbu ke Semarang dan membantu China.
Sunan dapat dipengaruhi. Hasilnya: Adipati Notokusumo diperintahkan
menyerbu Semarang dengan dibantu oleh Bupati-bupati Pasisir: Demak,
Pati, Juana, Grobogan, dan pasukan Tionghoa. Peristiwa ini terjadi pada
tahun 1741
Ketika terjadi pemberontakan Cina di Batavia 1740 sikap Sunan tidak
tegas, tetapi setelah dapat dipengaruhi oleh Adipati Jayaningrat dengan
kawan-kawannya, sikap Sunan jelas membantu China. Keadaan ini segara
berubah, setelah usaha Adipati Notokusumo menyerbu Semarang gagal
(November 1741). Sikap Sunan berubah sama sekali. Dia berpihak kepada
Belanda. Bahkan Adipati Notokusumo ditangkap ditangkap dan dibuang ke
Sailan. Melihat gelagat yang tidak menguntungkan ini, T. Martopuro tidak
enak hatinya, maka dia pulang ke Grobogan. Di Grobogan, dia mengangkat
diri sebagai Adipati Puger dan bekerja sama dengan orang-orang Tionghoa
di Kartosuro.
Sementara itu tindakan Sunan semakin kejam. Pangeran Teposono dibunuh
tanpa dosa. P. Haryo Mangkunegoro, kakak iparnya dibuang ke Afrika
Selatan, tanpa dosa, dan beberapa sentana serta abdi dalem yang lain
diturunkan pangkat dan dan jabatannya. Sudah barang tentu keadaan ini
memberi angin baik kepada orang-orang Tionghoa untuk menghancurkan
Kartosuro yang rajanya tidak tetap pendiriannya itu.
Demikian juga dengan terang-terangan Adipati Puger atau Adipati
Martopuro membantu orang-orang Tionghoa. Atas dorongan dan bantuan
Kapitan Sepanjang, Bupati Pati, T. Mangunoneng, dan Bupati Grobogan:
Adipati Martopuro Puger, maka Raden Mas Garendi, putera P. Teposono, dan
salah seorang cucu Sunan Amangkurat III, diangkat menjadi raja
Kartosuro dengan gelar Susuhunan Kuning.
Raden Mas Garendi inggih punika putranipun Pangeran Teposono ingkang
dipun uyun-uyun dening Cina, kajumenengan nata ajejuluk Sunan Kuning,
dipun aturi nggepuk kartosuro. Adipati Martopuro anggenipun gadhah
pikajeng makaten wau, boten melikaken dhateng karaton, namung kabekto
saking kakening manahipun, ngantos kawedal wicantenipun dhateng Cina,
"Ratu kang cidra iku mangsa amalatana, getaken wae, amesthi kabur". Ing
ngriku Adipati Martopuro sampun sagolong kaliyan Cina, sumedya mbedah
nagari Kartosuro.
Keraton Kartosuro diserbu dan 30 Juni 1742 istana dapat diduduki. Sunan
Paku Buwono II terpaksa menyingkir ke Lawiyan kemudian terus ke Ponorogo
dengan diikuti oleh para pangeran yang masih setia kepada Sunan,
Pangeran Adipati Anom, dan kapten Hogendorp. Lolosnya Sunan dari istana
ditandai dengan sengkalan, "Swara karungu Obahing Bumi" (1667 Jawa =
1742 M)
Dalam pelarian itu Sunan membuat kontrak Ponorogo. Isi kontrak antara
lain; Seluruh pantai utara Jawa menjadi milik Kumpeni Belanda; dan
pemilihan serta pengangkatan Patih harus mendapatkan persetujuan Kumpeni
Belanda. Sebagai imbalannya Kumpeni harus dapat mengembalikan takhta
Kartosuro kepada Sunan.
Akhirnya atas bantuan pasukan Cakraningrat dari Madura, Kartosuro dapat
direbut kembali (Desember 1742). dan pada tanggal 24 Desember 1742 Sunan
Paku Buwono II kembali ke Kartosuro dan menduduki takhta kerajaan
kembali. Sunan Kuning melarikan diri ke timur dan akhirnya menyerah di
Surabaya (Oktober 1743).
Perlawanan diteruskan oleh kaum pemberontak yang tidak mau berdamai
dengan Sunan maupun Kumpeni Belanda. Mereka itu ialah : Adipati
Martopuro di Grobogan; RM Sahid atau RM Suryokusumo di Nglaroh; P.
Singosari di Keduwang, P. Buminoto di Wiraka dan lain-lain.
Karena Kartosuro sudah tidak aman lagi, maka Sunan ingin pindah dari
Kartosuro. Ada yang mengusulkan di desa Kadipolo, di desa Sonosewu, dan
di desa Sala.
Yang terpilih adalah desa Sala. Setelah pembangunan istana selesai, maka
Sunan pindah ke Sala, dan digantinya namanya menjadi Surakarta
Hadiningrat.
Pemetaan calon istana dan kota serta pengukurannya dilakukan oleh Mayor
Hogendrorp, Patih R A Pringgoloyo, Kyai T. Pusponegoro, Kyai T
Honggowongso, Kyai Y. Mangkuyudo, Kyai T Tirtowiguno, Pangeran Wijil,
Kyai Khalifah Buyut, Kyai Ng. Yosodipuro I serta Kyai Tohjoyo.Desa Sala
yang terpilih menjadi istana diratakan.
Pembangunan istana dilakukan oleh: Undagi Kyai Prabasena dibantu oleh
Kyai Kartosono, Kyai Rajegpuro, Kyai Srikuning ditambah tenaga dari
mancanagari. Awal pembangunan ini ditandai dengan sengkalan "Jalma Sapta
Amayang Bhuwana" (1670 Jawa = 1744 M). Setelah selesai maka keraton
kartosuro dipindah ke Sala atau Surakarta Hadiningrat yang ditandai
sengkalan "Kombuling Puja Aryarsa ing Ratu (1670 jawa = 1745 M) pada
hari Rabu Pahing, 17 Sura, Je, 1670.
Walaupun keraton sudah dipindahkan ke Surakarta Hadiningrat, negara
masih tetap dalam keadaan kacau. Pemberontakan masih tetap merajalela.
Para pemberontak itu ialah : Pangeran Haryo Buminoto di Sembuyan (Adik
Sunan). Pangeran Singosari di Kaduwang (Adik Sunan). Pangeran
Parangwadono (P. Suryokusumo atau RM Said) di Nglaroh. Adipati Martopuro
atau Adipati Puger di Grobogan Sukawati.
Para pemberontak itu bergabung menjadi satu dan berpusat di
Sukawati-Grobogan. Hanya Pangeran Haryo Buminoto sajalah yang tidak mau
bergabung. Ketika mereka berada di Sukowati, Adipati Martopuro
mengangkat P. Prangwadana menjadi Pangeran Adipati Anom Hamangkunagoro,
Senapati ing Ngalaga Sudibyaning Prang. Sedang Adipati Martopuro atau T.
Sujonopuro berganti nama menjadi Panembahan Puger. Waktu itu mereka
berpusat di Majarata, Sukawati.
Dalam keadaan kacau itu, adik Sunan yang lain, yaitu P. Mangkubumi,
karena dihina oleh Patih Pringgoloyo, juga keluar dari istana dan
melakukan pemberontakan.
Sabibaripun pasowanan B PH mangkubumi lajeng tata-tata badhe nilar
praja, kados ingkang sampun nate kalampahan. Lolosipun nyarengi
mantukipun Tuwan Gouvenur General Baron van Imhoof, inggih punika ing
dinten Sabtu Kliwon malem Ngahat legi, kaping 4 Jumadilawal, tahun Dai,
1971 (1745 Masehi).
Selanjutnya P. Mangkubuni membentuk pusat pertahanan di desa Pandak
Karangnongko, daerah Sukowati, sedang Panembahan Puger berpusat di desa
Glagah, daerah Grobogan. Pada suatu saat, pasukan Panembahan Puger
mendapatkan serbuan hebat dari pasukan gabungan Kumpeni dan Sunan.
Dalam pertempuran itu pasukan Puger mendapatkan kekalahan hebat.
Pasukannya kacau balau. Bahkan dia sendiri melarikan diri ke Semarang.
Di semarang dia menyamar sebagai kuli sambil menjual burung dara.
Hidupnya terlunta-terlunta. Dalam hati dia memohon kepada Tuhan agar dia
memperoleh kebahagiaan di akhir nanti.
Awit saking sangeting prihatosipun, nuju satunggaling dalu, adipati
Martopuro supena. Katingalipun ing salebeting pasupenan kados dene
pinuju mara tamu jagong ing Kapatihan Natakusuman (Kartosuro), tamunipun
para putra tuwin para bupati, tetingalipun ringgit wacucal. Sareng
wiwit jejer, P. Mangkubumi katingal jumeneng mendhet balencong kebekta
lumajeng. Tamu lajeng bibaran. Tumunten katingal malih, RM Sahid ngrebat
kempol, ugi lajeng kabekta lumajeng. Adipati Martopuro nututi ngodol
saking wingking tindakipun P.Mangkubumi, purugipun mangetan, minggah ing
redi Lawu. Adipati Martopuro taksih dherekaken, sareng dumugi nginggil
kaget byar lajeng tangi.
Setelah mengalami peristiwa tersebut, Adipati Martopuro segera pergi ke
Surakarta mencari kabar tentang P. Mangkubumi. Dia menemui menantunya:
T. Joyopuspito atau T. Honggokusumo. Setelah ketemu, mereka berdua
ditambah anaknya Suwandi (Suryonagoro) pergi ke Sukowati. Dari T.
Joyopuspito dia mengetahui bahwa P. Mangkubumi juga melakukan
pemberontakan dan sekarang berada di desa Pandak Karangnongko, maka
mereka segera pergi menyusul P. Mangkubumi. mereka hendak mengabdi.
Setelah dapat menghadap, pengabdianya diterima. Adipati Martopuro
diangkat sebagai Puger (kembali pada namanya yang lama di Panembahan
Puger ketika berkumpul dengan P. Prangwadana di Grobogan). Sedang T.
Joyo Puspito diangkat menjadi Bupati dengan mana T. Suryonagoro.
Sementara itu pasukan P. Mangkubumi di Sembuyan sampai di Grobogan dan
bertemu dengan Adipati Puger. Mereka menghadap P. Mangkubumi di desa
Ramun, Grobogan.
Tidak lama kemudian mereka berangkat ke Sembuyan dengan membawa 1500
prajurit. Dari Sembuyan P. Mangkubumi kembali ke Jekawal, Sukowati. Dari
Jekawal terus ke Barat lewat arah Wirosari, Sela. Teras Karas,
Grobogan. Dari sini terus ke arah barat daya menyusuri lereng Merbabu
dan Merapi menuju ke Kedu. Dari Kedu terus ke Mataram.
Di desa Banaran, daerah Nanggulan, Gunung Gamping, P. Mangkubumi mengangkat diri menjadi Susuhunan kabanaran.
Ing dinten Jumuah Legi, kaping 1 Sura, tahun Alip, 1675 utawi kaping 11
Desember 1749, BPH mangkubumi lenggah dipun adep para sadherek lan para
putra punapa dene punggawa sadaya ... lajeng jumeneng jejuluk Sampeyan
Dalem Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Senopati ing Ngalaga ngabdur
Rachman Sayidin Panatagama Khalifatulah
Karena penobatan tersebut terjadi di desa Banaran, maka akhirnya Sunan
biasa disebut Sunan Banaran di Mataram. Dalam penobatan tersebut Sunan
berkata
Rehning Ratu iku mesthine nganggo Patih, saiki ingkang dadi
karsaningsun, kaki PH Mangkunagoro ingsun sengkakake ing ngaluhur dadiya
Pepatihingsun, sarta abdiningsun Jayasanta dadiya Jeksa. Apadene
Adipati Puger dadiya Bupati Grobogan angerahna: Demak, Santenan, Cengkal
Sewu, Wirosari, Sesela, Teras Karas, Blora lan Jipang. T. Suryanagara
ingsun ganjar lemah 1500 karya. Sarto anjunjung putraningsun dadi
Pangeran Adipati Anom, Jejuluk KGPHH Mangkunagoro. Apadenen maneh
kangmas BPH Hadiwijaya, adhimas GPH Singasari, adhimas BPH Rangga,
adhimas BPH Prabu Jaka; Adhimas BPH Panular salin jeneng BPH
Mangkukusuma. Sarta junjung putraningsun dadi pangeran iya iku jeneng
Pangeran Hangabehi. Kabeh wae yen ana ingkang ora ngrujuki matura ing
dina iki.
Selanjutnya peristiwa penting yang terjadi pada tahun 1749 di Kasunanan
Surakarta adalah : Sepeninggal P. Mangkubumi maka Sunan jatuh sakit.
Pada waktu sakit keras itu datanglah Hogendorp ke Surakarta dengan
membawa naskah surat perjanjian. Sunan disuruh menandatangani surat
perjanjian tersebut. Dalam keadaan sakit keras itulah Sunan Paku Buwana
II menandatangani surat perjanjian yaitu pada tanggal 11 Desember 1749.
Rikala napak asmani perjanjian nglerehaken keprabon punika kaliyan dipun
wungokaken, sarta astanipun dipun cepengi. Wondene jumenengipun (Nata)
wonten ing dinten Senen Wage, kaping 4 sura, tahun Alip, 1675 utawi 14
desember 1749 masehi, dados kaot tigang dinten kaliyan jumeneng dalem
nata BPH Mangkubumi wonten ing Mataram
Jelas bahwa pengangkatan BPH Mangkubumi sebagai Susuhunan Kabanaran
bersamaan dengan penandatanganan perjanjian antara Sunan Paku Buwono II
dengan Kumpeni Belanda yaitu tanggal 11 Desember 1749. Susuhunan
Kabanaran tidak memperdulikan isi perjanjian tersebut. Dia meneruskan
perlawanannya menentang Belanda. Desa Banaran (daerah Nanggulan, Kulon
Progo, sebelah timur Gunung Gamping) dijadikan pusat perlawanan
Mangkubumen. Dengan cepat pasukan Mangkubumen dapat menguasai
daerah-daerah pantai utara Jawa bagian Barat.
Pada tahun 1752 daerah-daerah yang dikuasai adalah daerah-daerah Kapten
Juana (asli Ternate), T. Joyoningrat di Pekalongan, T. Cokrojoyo di
Batang, T. Jayengrono dan Wiradijoyo di Brebes (Serat Perjanjian :
45-46). Sesudah penobatan itu, adipati Puger di perintahkan kembali ke
Grobogan untuk menakhlukkan daerah-daerah sekitarnya dan untuk
selanjutnya menyerbu ke Surakarta. Pada hari Ahad Legi, 22 Sura,
Jimawal, 1677 atau 12 Desember 1751, setelah selesai perang di Jenar
(Kedu), Sunan Kabanaran mengangkat Abdi Dalem Lebet pangkat mantri
bernama Ng. Prawirorono menjadi Bupati dengan nama T. Kartonadi karena
jasanya dapat membunuh Mayor Clerk dalam pertempuran di Jenar tersebut.
T. Kartonadi ini nantinya diangkat menjadi Bupati Grobogan dengan nama
T. Sosronagoro.
Dalam masa inilah Sunan Kabanaran berbintang terang. Di beberapa tempat
selalu menang perang. Ketika Sunan Kabanaran sedang di desa Semawe,
menerima utusan dari T. Suryonegoro yang disuruh menjaga daerah
Grobogan, sebab sepeninggal T. Martopuro (Adipati Puger), dia
diperintahkan untuk menaklukan daerah-daerah atau desa-desa sekitar
Grobogan. Tidak lama kemudian Sunan Kabanaran berpindah tempat ke desa
Majaramu, kemudian ke desa Kalangrambat. Di dalam menghadapi perang
Mangkubumi, Belanda melaksanakan politik pecah belah (devide et empera).
Usaha ini kelihatan hasilnya: Sunan Kabanaran dapat dipisahkan dari PA
Mangkunegoro.
Disamping itu Mayor Hogendorp melalui utusannya Syech Ibrahim dapat
membujuk Sunan Surakarta (Paku Buwono III) untuk membagi kerajaannya
untuk Sunan dan untuk Sunan Kabanaran. Untuk mengadakan persiapan
perdamaian antara Sunan, Sunan Kabanaran dan Kumpeni, maka pada hari
Ngahad Legi, 4 Besar, Dai, 1679 atau 22 September 1754, Komisaris
jendral N Hartingh menghadap Sunan Kabanaran di desa Padagangan, sebelah
barat laut kota Surakarta, wilayah Grobogan, untuk mengadakan
pembicaraan akan diadakannya perjanjian antara Sunan Surakarta dengan
Kabanaran
Selanjutnya pada hari kamis Kliwon, 29 Rabingulakir, Be, 1680 atau 13
Pebruari 1755 diadakan perjanjian di desa Giyanti, wilayah Lebak
Jatisari antara Sunan Surakarta dengan Sunan Kabanaran. Naskah
perjanjian disahkan pada 1 Sapar, Jumakir, 1682.
Dalam perjanjian tersebut Kumpeni meminta agar daerah Pesisir dan Madura
tidak dibagi, sebab sudah diserahkan kepada Kumpeni berdasarkan
perjanjian dengan Sunan Paku Buwono II (1749) dan Sunan Paku Buwono III
(1751). Daerah-daerah yang dibagi "Sigar semangka" ialah daerah-daerah
di Nagoro Agung. Sedang daerah-daerah yang dibagi sedaerah-daerah atau
sedesa-desa adalah daerah Monconagari Kilen dan Wetan. Daerah
Monconagari ada 30 daerah/kota yang dapat dibagi, tidak termasuk
daerah-daerah Pajang, Sukowati, dan Mataram bagian Selatan (Sukanto : 21
- 23; Buminata : 57 - 58; Giyanti XIII : 76-78 : Serat perjanjian Dalem
Nata : 57-58). Dari hasil pembagian daerah-daerah Monconagari ini Sunan
memperoleh 32.350 cacah (Karya) dan Sultan (Sunan Kabana¬ran)
memperoleh 33.950 cacah (karaya). Sultan mendapatkan lebih luas karena
daerahnya agak tandus, sedangkan daerah Sunan merupakan daerah subur.
Dengan demikian maka dae¬rah - daerah Salatiga, Grobogan, wilayah
Semarang, Jipang, Blora juga termasuk daerah pembagian. Menurut catatan
Hartingh (Dejonge, Opkomst, X : 374-375) hasil pembagian negara adalah
masing-masing Surakarta dan Yogjakarta memperoleh daerah seluas 53.100
cacah, yaitu berupa tanah lungguh, apanase sedesa atau sekumpulan desa
(ingkang dhawah seki lenipun Surakarta dipun palih sigar semangka)
Untuk jelasnya, maka secara garis besar pembagiannya adalah sebagai berikut .
A- Sultan mendapatkan daerah-daerah Madiun, Magetan, Caruban, saparoh
Pacitan, Kertosono, Kalangbret, Teras Karas (Ngawen), Sela, Kuwu
(Warung), Rawa (Tulung Agung), Japan (Mojokerto), Jipang (Bojonegoro),
Wirosari, Grobogan. Daerah-daerah ini sebelumnya merupakan daerah
koordinatif Bupati Pati, Caruban, dan Kediri.
Sunan mendapatkan daerah-daerah : Jagaraga, Ponorogo, separoh Pacitan,
Kediri, Blitar, Srengat, Lodoyo. Pace, Nganjuk, Brebeg, Wirosobo (Mojo
Agung), Blora, Banyumas, Kaduwang. Daerah - daerah ini sebelumnya
menjadi koordinatif Bupati Ponorogo, Madiun dan Banyumas.
B- Sultan mendapatkan daerah-daerah : Madiun, Ponorogo, Sumoroto,
Maospati, Sidoyo, Pasuruan, Pacitan, Kalangbret, dan sepanjang pesisir
Gresik. Dengan catatan bahwa daerah-daerah di Kabupaten Grobagan tetap
menajdi daerah Kesultanan. Sunan mendapatkan daerah-daerah ini
ditandatangani antara Susuhunan dan Sultan pada tanggal 26 April 1774,
dan disaksikan oleh Gubernur Jenderal Johanes Potters van den Burg.
Tindakan ini perlu dilakukan sebab perjanjian Giyanti sendiri
menenetapkan secara jelas pembagian daerah-daerah tersebut.
Selanjutnya pada tanggal 14 Pebruari 1755, Sultan mengangkat para Abdi
dalem dan para "punggawa" dengan mengikuti pola yang ada di Kasunanan
Surakarta.
1. T. Suryonagoro diangkat menjadi Bupati Miji di Grobogan menggantikan
Adipati Puger yang sudah meninggal (1753) dengan nama T. Yudonegoro.
2. T. Yudonegoro (Bupati Banyumas) yang diminta dari Sultan Hamengku
Buwono (P Mangkubumi), diangkat menjadi Patih dengan nama Raden Adipati
Danurejo.
3. T. Ronggo Wirosetiko diangkat Wedana Panumping dengan nama T. Ronggo Prawirodirjo.
4. dan lain - lain masih banyak lagi yang diangkat menjadi Punggawa dan Abdi dalem.
Selanjutnya PA Mangkunagoro juga diadakan perjanjian di Salatiga pada
hari Jumat Pon, 5 Jumadilakir, Be, Windu Adi, 1681 atau 25 Maret 1757.
Sebagai Pangeran Mijil, dia memperoleh tanah lungguh 4000 karya, yang
terdiri dari daerah-daerah : Laroh, Sembuyan, Matesih, Wiraka, Keduwang.
Ngawen, separoh kota Surakarta, Karang Anyar, Baturetno, dan beberapa
daerah kecil yang lain.
Dari penjelasan di atas jelas bahwa daerah-daerah Kasultanan di daerah
Grobogan adalah Grobogan, Sesela, Teras Karas, Warung, Wirosari. Sedang
sunan juga memiliki daerah enclave di daerah Grobogan.
Daerah enclave Sunan seluas 35000 karya di daerah Grobogan, dan beberapa
daerah lain, yang berdasarkan perjanjian antara Sunan dengan Belanda
tanggal 6 Januari 1811 dan ditanda tangani oleh Patih Raden Adipati
Cokronegoro, diambil oleh Kumpeni belanda (Zaman Daendels). Juga
daerah-daerah Jepara, Semarang, Demak Selatan (Cengkal Sewu), Salatiga,
Blora, Jipang, dan Kedu Utara sampai perbatasan Kendal, diambil oleh
Kumpeni Belanda.
Prakawis 2 Kangjeng Gupermen Walandi samangke dipun sukani tatah Kedu
kang kabawah Kangjeng Susuhunan, punika plajengipun meh dumugi ing tanah
pesisiran kang ler. Prakawis 4 Kalih Kangjeng Gupermen Walandi dipun
sukani siti ingkang bawah Kangjeng Susuhunan, siti becik ingkang wonten
ing Semawis lan ing Demak, punapa dene siti kang saupami (enclave)
wonten ing Landresan, Jepanten, utawi ing liyanipun punapa malih siti
kang saupami (enclave) wonten Grobogan lan tanah ing Salatiga. Prakawis 5
Kangjeng Gupermen Walandi dipun sukani siti ing Blora kang wonten
saklering pungkasaning wates ing Grobogan lan tanah ing Jipang.
Kemudian berdasarkan perjanjian dengan pemerintah Inggris, pada hari
sabtu, 1 Agustus 1812 daerah-daerah enclave di Salatiga, Demak, dan
Grobogan dikembalikan kepada Sunan, dan sebagai gantinya Inggris
mengambil seluruh kota pelabuhan, pasar-pasar, sarang burung, juga Kedu,
Wirasaba, Blora, Jombang, dan Pacitan. Sebagai gantinya Sunan
mendapatkan pajak pelabuhan, pasar, dan lain-lain tersebut sebesar
120.000 ringgit tiap tahun..
Pada 22 Juni 1830 antara Sunan Pakubuwono dengan Belanda diadakan
perjanjian, yang isinya antara lain : daerah Sela, Kuwu, dan Kradenan
dimasukkan ke dalam wilayah Sukowati. Daerah ini pada tahun 1829
persetujuan Sultan diambil oleh Sunan.
Wondene siti ing Sela tuwin ing distrik Kuwu, ing Kradenan, punika
taksih tumut golonganipun siti Sukowati, sanes siti Mancanegari. Mila
siti ing Kuwu lan ing Sela, saha siti ing bawah Mataram ing Imogiri, ing
Kitha Ageng bawah Surakarta taksih tetep dados kagungan Dalem Kraton
Surakarta.
Oleh karena pada saat itu Kartasura masih dalam keadaan kacau, maka
pengawasan terhadap daerah Grobogan diserahkan kepada kemenakan
sekaligus menantunya bernama yaitu RT Suryonagoro (Suwandi) dan RT
Martopuro sendiri masih tetap di Kartasura.
Tugas RT Suryonagoro adalah menciptakan struktur pemerintahan kabupaten
pangreh praja, seperti adanya bupati, patih, kaliwon, pamewu, mantri,
dan seterusnya sampai jabatan bekel di desa – desa Ibu kota kabupaten
pada saat itu di Grobogan, tetapi pada tahun 1864 ibukota kabupaten
pindah ke Purwodadi. Sampai dengan tahun 1903, yaitu sebelum
dikeluarkannya Decentralisatie Besluit oleh Pemerintah Penjahan Belanda,
Indonesia yang waktu itu namanya masih Nederland Indie (Hindia Belanda)
dibagi dalam beberapa Gewesten yang bersifat administratif yang
kemudian dibagi-bagi lagi dalam Regentschap. Regentschap Grobogan saat
itu berada dalam lingkungan Semarang Gewest.
Setelah diberlakukannya Decentralisatie Besluit tahun 1905, regentschap
diberi hak-hak otonomi dan untuk itu dibentuk Dewan Daerah. Regentschap
Grobogan memperoleh otonomi penuh mulai tahun 1908. Pada tahun 1928,
berdasarkan Staatbad 1928 No. 117, Kabupaten Grobogan mendapat tambahan
dua distrik dari Kabupaten Demak yaitu Distrik Manggar dengan ibukota di
Godong dan Distrik Singenkidul dengan ibukota di Gubug.
Kemudian pada tahun 1933 memperoleh tambahan Asistenan Klambu dari
Distrik Undaan Kudus. Pada masa pendudukan Jepang, terjadi perubahan
tata pemerintahan daerah, yaitu dengan Undang-undang No. 27 tahun 1942.
Menurut UU ini seluruh Jawa kecuali daerah Vorstenlanden dibagi atas :
Syuu (Karesidenen), Si (Kotapraja), Ken (Kabupaten), Gun (Distrik), Son
(Onder Distrik), dan Ku (Kelurahan/Desa). Setelah Indonesia merdeka,
berdasarkan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 18, Indonesia dibagi atas
daerah besar dan kecil dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan
dengan Undang-Undang. Dalam penjelasan pasal 18 ini, Daerah Indonesia
akan dibagi dalam Daerah Propinsi dan Daerah Propinsi dibagi lagi dalam
daerah yang lebih kecil. Tahun 1948, Pemerintah Indonesia mengeluarkan
Undang-undang No. 22 Tahun 1948 tentang Pemerintahan Daerah. Pasal 1 UU
ini menyatakan bahwa Daerah Negara Republik Indonesia tersusun dalam
tiga tingkatan, yaitu : Propinsi, Kabupaten, Desa (Kota Kecil).
Selanjutnya berdasarkan UU No. 13 Tahun 1950 dibentuklah Daerah-daerah Tingkat II di lingkungan Propinsi Jawa Tengah.
Dengan demikian UU inilah yang mendasari pembentukan Kabupaten Daerah Tingkat II Grobogan.
Dengan Perda Kabupaten Dati II Grobogan No. 11 Tahun 1991 ditetapkan
bahwa Hari Jadi Kabupaten Grobogan adalah : Hari Senin Kliwon, 21
Jumadil Akhir 1650 atau 4 Maret 1726 atau 1 Rajab 1138 H. Yaitu pada
saat diangkatnya RT. Martopuro sebagai Bupati Monconagari di Grobogan.
Sehingga RT. Martopuro inilah yang sampai sekarang dianggap sebagai
Bupati Grobogan yang pertama. Chandra sangkala : kombuling cipto
hangroso jati Surya sangkala : kridhaning hangga hambangun praja
Nama-Nama Bupati yang pernah menjabat di Kabupaten Grobogan :
A. Pada waktu Ibukota Kabupaten di Kota Grobogan
1. Adipati Martopuro atau Adipati Puger : 1726
2. RT. Suryonagoro Suwandi atau RT. Yudonagoro
3. RT. Kartodirjo : 1761- 1768, pindahan dari
4. RT. Yudonagoro : 1768 – 1775, kemudian
5. R. Ng. Sorokarti atau RT. Abinaro
6. RT. Yudokerti atau Abinarong II : 1787 – 1795
7. RM. T. Sutoyuda : 1795 – 1801
8. RT. Kartoyuda : 1801 –1815
9. RT. Sosronagoro I : 1815 – 1840
10. RT. Sosronagoro II : 1840 – 1864
B. Setelah Ibukota Kabupaten di Kota Purwodadi
11. RT. Adipati Martonagoro : 1864 – 1875
12. RM. Adipati Ario Yudonagoro : 1875 – 1902
13. RM. Adipati Ario Haryokusumo : 1902 – 1908
14. Pangeran Ario Sunarto : 1908 – 1933, Pencipta Trilogi Pedesaan yaitu
: di desa-desa harus ada Sekolah Dasar, Balai Desa, dan Lumbung Desa.
15. R. Adipati Ario Sukarman Martohadinegoro : 1933 – 1944
16. R. Sugeng : 1944 – 1946
17. R. Kaseno : 1946 – 1948, Bupati merangkap Ketua KNI
18. M. Prawoto Sudibyo : 1948 – 1949
19. R. Subroto : 1949 – 1950
20. R. Sadono : 1950 – 1954
21. Haji Andi Patopoi : 1954 – 1957, Bupati Kepala Daerah
22. H. Abdul Hamid sebagai Pejabat Bupati dan Ruslan sebagai Kepala Daerah yang memerintah sama-sama 1957 – 1958
23. R. Upoyo Prawirodilogo : Bupati Kepala Daerah merangkap Ketua DPRDGR : 1958 – 1964
24. Supangat : Bupati Kepala Daerah merangkap Ketua DPRGR : 1964 – 1967
25. R. Marjaban, Pejabat Bupati Kepala Daerah : 1067 – 1970
26. R. Umar Khasan, Pejabat Bupati Kepala Daerah : 1970 – 1977
27. Kolonel Inf. H. Soegiri , Bupati Kepala Daerah : 11 Juli 1974 s.d 11 Maret 1986
28. Kolonel H. Mulyono US : Bupati Kepala Daerah : 11 Maret 1986 s.d 11 Maret 1996
29. Kolonel Inf. Toermudi Soewito, Bupati Kepala Daerah : 11 Maret 1996 s.d 11 Maret 2001
30. Agus Supriyanto SE, Bupati Grobogan : 11 Maret 2001 s.d 2006
31. H. Bambang Pudjiono.SH , Bupati Grobogan : 2006 sampai sekarang