MUSLIM MUHAMMAD KHOLIFAH
Alias : Kyai Mojo
Lahir : Mojo, Pajang, Jawa Tengah
Orangtua : Iman Abdul Ngarip
Menggantikan: Sultan Ageng Tirtayasa
Daerah da’wah: Pulau Jawa dan Sulawesi Utara
Wafat : 1848 M
Makam : Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara
Kyai Modjo lahir sekitar tahun 1764 dan kemudian menjadi guru agama
(ulama) yang sangat berpengaruh daerah Pajang dekat Delanggu, Surakarta.
Nama sebenarnya adalah Muslim Mochammad Khalifah.
Masa Kecil
Ayah Kyai Modjo bernama Iman Abdul Arif, yang merupakan seorang ulama
terkenal pada masa itu di dusun Baderan dan Modjo, kedua dusun tersebut
berada dekat Pajang dan merupakan tanah pemberian (perdikan / swatantra)
Raja Surakarta kepada beliau. Belum diketahui latar belakang keluarga
beliau, Iman Abdul Ngarip memiliki alur keturunan dari kerajaan Pajang.
Sedangkan ibu Kyai Modjo adalah saudara perempuan HB III, dan dengan
demikian ditinjau dari hubungan kekerabatan Kyai Modjo adalah kemenakan
Pangeran Diponegoro karena ibu Kyai Modjo (R.A Mursilah bersepupu dengan
Pangeran Diponegoro).
Meskipun ibunya seorang ningrat kraton, Kyai Modjo dibesarkan di luar
kraton. Setelah menunaikan ibadah haji ke Mekah dan menetap di sana
selama beberapa waktu Kyai Modjo kemudian memimpin satu pesantren di
negeri Modjo .
Pernikahan
Kyai modjo menikah dengan R.A Mangkubumi janda cerai dari Pangeran
Mangkubumi - paman Pangeran Diponegoro dan karena perkawinan ini
Pangeran Diponegoro memanggil Kyai Modjo dengan sebutan “paman”,
meskipun dari garis ayah Kyai modjo adalah “kemenakan” Pangeran
Diponegoro (ibu Kyai modjo (R.A Mursilah) adalah sepupu Pangeran
Diponegoro).
Karier
Kyai Mojo mempelajari agama Islam dengan berguru kepada Kyai Syarifudin
di Gading Santren Klaten. Setelah dewasa, ia berguru kepada kyai di
Ponorogo. Disinilah Kyai Mojo mendapatkan pengajaran tentang ilmu
kanuragan. Sejak saat itulah beliau terkenal akan kesaktiannya, di
samping terkenal akan pendidikan agama dan pesantrennya. Ia termasuk
salah seorang kepercayaan Ingkang Sinuhun Kangjeng Susuhunan Paku Buwono
VI (PB VI).
Sepeninggal ayahnya, Kyai Modjo melanjutkan tugas ayahnya sebagai guru
agama di (pesantren) Modjo di mana banyak putra dan putri dari Kraton
Solo belajar di pesantrennya di Modjo. Kelak nama Muslim Mochammad
Khalifah menjadi terkenal sebagai Kyai Modjo. Keulamaannya dan ada
pertalian darah dengan Kraton Yogyakarta (baca Pangeran Diponegoro)
kemungkinan membuat Pangeran Diponegoro memilih Kyai Modjo sebagai
penasehat agamanya sekaligus panglima perangnya.
Dekadensi moral yang terjadi di kraton kemudian berimbas pada kehidupan
masyarakat luas semakin menderita, telah menjadi sebab keluarga Iman
Abdul Ngarip, khususnya Muhammad Muslim (Kyai Modjo) beserta
saudara-saudaranya (Kyai Khasan Mochammad, Kyai Khasan Besari, dan Kyai
Baderan) dan masyarakat luas mengangkat senjata menentang Belanda.
Wasiat Jihad Kyai Mojo Muhammad Al Jawad dalam mengobarkan semangat Jihad Laskar Mataram
Den sira para satria nagari mentaram, nagari jawi heng dodotira
sumimpen, watak wantune sayyidina ngali, sumimpen kawacaksane sayyidina
ngali, sumimpen kawacaksane sayyidina kasan, sumimpen kakendale
sayyidina kusen, den seksana hing wanci suro landa bakal den sira
sirnaake saka tanah jawa, krana sinurung pangribawaning para satrianing
muhammad yaitu ngali, kasan, kusen. Sira padha lumaksananna yudha
kairing takbir lan shalawat, yen sira gugur hing bantala, cinandra,
guguring sakabate sayyidina kusen hing Nainawa,sira kang wicaksana hing
yudha,pinates tampa sesilih ali basya
Terjemahan sbb: Wahai kalian satria mataram, negara jawa tersimpan dalam
pemahaman kalian. Pada kalian tersimpan Watak prilaku, kebijaksanaan
sayyidina ali dan sayyidina hasan. Tersimpan keberanian al husain,
perhatikanlah pada waktu suro belanda akan kalian hilangkan dr tanah
jawa, krn terdorong kekuatan para satria muhammad yaitu ali,hasan dan
husain. Berperanglah teriring takbir dan shalawat, jika kalian syahid
maka akan tercatat spt syahid nya para sahabat al husain di
Nainawa
Engkau yang bijaksana dalam peperangan, pantas mendapat julukan Ali Basya
Hingga akhirnya terjadi "penangkapan" oleh Belanda pada tanggal 17
November 1828 di dusun Kembang Arum, Jawa Tengah. Kyai Modjo dibawa ke
Batavia dan selanjutnya diasingkan ke Tondano, Minahasa, Sulawesi Utara.
Beliau wafat di tempat pengasingan itu, pada tanggal 20 Desember 1849M
Satu putranya (Gazaly), 5 orang kerabat dekat (Tumenggung Reksonegoro
Kyai Pulukadang, Tumenggung Zess Pajang, Ilyas Zess, Wiso/Ngiso
Pulukadang, dan Kyai Baderan/Kyai Sepuh) serta lebih dari 50 orang
pengikut lainnya yang semuanya laki-laki ikut dalam pengasingan
tersebut.
Baru setahun kemudian, istri beliau menyusul ke Tondano. Kyai Modjo
merupakan pendiri Kampung Jawa Tondano di Minahasa dan menjadi cikal
bakal masuknya Agama Islam di Minahasa. Di Tondano beliau menyalurkan
ilmu kesaktiannya yaitu ilmu kanugaran yang dipelajarinya di Ponorogo,
kepada pengikutnya dalam bentuk ilmu bela diri. Dari situlah, yang
kemudian menjadi cikal bakal pencak silat.
Kampung Jawa disebut juga Kampung Jawa Tondano, merupakan salah
satukelurahan yang berada di kecamatanTondano Utara, Kabupaten Minahasa,
provinsi Sulawesi Utara, Indonesia. Tempat ini berada di sebelah utara
Danau Tondanodan berjarak sekitar 40 km arah selatan dari kota Manado
sekitar 60 menit perjalanan menggunakan mobil, atau berjarak 2 km dari
kota Tondano. dengan populasi yang semuanya Muslim
Kyai Mojo merupakan salah seorang pahlawan penentang kolonial, pengikut
setia Pangeran Diponegoro bahkan salah satu pilar utama penyokong
perjuangan Sang Pangeran. Mengenai Kyai Mojo ini tercatat dalam sejarah
sebagai beikut :
Tertangkap sekitar Nopember 1928. VOC merencanakan
bahwa jalur pengamanan yang akan dipakai adalah Semarang – Batavia –
Ambon – Manado. Proses evakuasi menggunakan kapal perang De Belona
kemudian dipindahkan ke kapal Mercury. Rombongan ini terbagi menjadi
dua. Kyai Mojo sangat dihormati oleh VOC sehingga dibuatkan sebuah rumah
tahanan baru yang terpisah. Tinggal di Batavia.
Pemberangkatan ke Ambon dibagi menjadi dua tahap, menggunakan kapal
Thalia. Rombongan pertama berjumlah sekitar 48 orang, rombongan kedua 25
orang: Kyai Mojo disertakan dalam rombongan kedua. Rombongan Kyai Mojo
dikirim ke Ambon sekitar awal Februari 1830. Jumlah pengikut yang ikut
dikirim ke Ambon hanya 25 orang, sisanya tinggal di Batavia. Rombongan
ini akhirnya tiba di Manado sekitar bulan Mei 1830. Selanjutnya beliau
diasingkan di Tondano.
Istri Kyai Mojo ditangkap setelah perang usai ( Februari 1831 ?) dan
dikirim ke Manado. Istri Kyai Mojo adalah mantan istri Pangeran
Mangkubumi (?). Di Tondano beliau dikenal sebagai “mbah wedok”.
Di Tondano, Kyai Mojo dan 63 orang pengikutnya membangun mesjid yang
dikenal sebagai Masjid Al-Falah, di tengah pemukiman yang kini
disebutKampung Jawa Tondano.
Komplek makam Kyai Mojo berada di desa Wulauan, Kecamatan Tolimambot,
Minahasa. Kompleks makam dibagi menjadi dua bagian yaitu makam tanpa
cungkup dan makam bercungkup.
Bangunan bercungkup pertama, berada di bagian tengah yaitu bagian
tertinggi di areal kompleks, ada sebelas makam. Bangunan cungkup kedua,
terletak di sebelah timur area cungkup pertama, begitu juga bangunan
cungkup ketiga.
Sisanya di areal kompleks makam tersebut adalah makam tanpa cungkup.
Makam-makam tersebut dapat dibedakan dari undaknya yaitu :
Makam berundak sembilan, hanya ada satu yaitu makam Kyai Mojo.
Makam berundak tiga berjumlah 47 buah, tanpa cungkup, tercatat nama-nama
Mbah Rivai, Usman Wonggo, Ratep Suratinoyo, Mbah Rumbayan, dll.
Makam berundak dua berjumlah 60 buah, beberapa diantaranya bercungkup, tercatat nama Kyai Sepoh Baderan.
Makam berundak satu berjumlah 58 buah.
Makam tanpa undakan mencatatkan nama-nama Mbah Ranges, Usman Wonggo,
Tumenggung Wayang, Ahmad Nurhamiddin, anak keturunan Kyai Pajang, jumlah
tidak tercatat.
Cukup sulit untuk membuat kategori tentang kompleks makam ini. Apa
bedanya yang bercungkup dan tidak? Apa maksudnya undak-undakan dibedakan
menjadi dua, tiga dan seterusnya? Hanya ada satu yang istimewa yaitu
makam Kyai Mojo (bercungkup dan berundak sembilan!).
Mengingat jumlah pengikut Kyai Mojo yang ikut dibuang ‘hanya’ 63 orang
dan jumlah makam di kompleks tersebut lebih dari 100, maka ada
kemungkinan terdapat pejuang yang lain yang turut dibuang di wilayah ini
yang tidak tercatat oleh administrasi VOC (?).
Adakah kemungkinan lain? Bisa jadi telah terjadi perkawinan antara para
pengikut Kyai Mojo dengan masyarakat asli Tondano yang membuat
masyarakat berkembang dan bertambah populasinya, sehingga tidak hanya
Kyai Mojo dan pengikutnya saja yang dimakamkan di kompleks ini,
melainkan juga anak keturunannya.
Satu hal yang pasti adalah, seluruh makam menunjukkan ciri makam Jawa – Islam.
Catatan Tambahan :
Komplek Pemakaman Kyai Mojo tetap terjaga hingga kini oleh anak
keturunan para pengikut Kyai Mojo. Sungguh amat kontras dengan junjungan
Kyai Mojo sendiri… Pangeran Diponegoro.
Selain Kampung Jawa Tondano Sendiri, Terjadi Penyebaran penduduk keluar
daerah Tondano, dan mendirikan Kampung Jawa juga. Paling Banyak berada
di Gorontalo, diantaranya :
Yosonegoro, berada di Kecamatan Limboto Barat, Kabupaten Gorontalo,Provinsi Gorontalo
Reksonegoro, berada di Kecamatan Tibawa, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo
Kaliyoso, berada di Kecamatan Bongomeme, Kabupaten Gorontalo,Provinsi Gorontalo
Mulyonegoro, berada di Kecamatan Pulubala, Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo
Rejonegoro, berada di , Kabupaten Gorontalo, Provinsi Gorontalo
Salilama, berada di Kecamatan Mananggu , Kabupaten Boalemo,Provinsi Gorontalo
Bandungredjo, berada di Kecamatan Boliyohuto, Kabupaten Gorontalo,Provinsi Gorontalo
Bojonegoro, berada di Kecamatan maesaan, Kabupaten Minahasa Selatan,Provinsi Sulawesi Utara
Ikhwan, berada di Kecamatan Dumoga barat, Kabupaten Bolaang Mongondow Provinsi Sulawesi Utara.