Salah satu ikon yang terkenal di Kabupaten Kulon Progo adalah pahlawan
wanita yang bernama Nyi Ageng Serang. Nyi Ageng Serang adalah pejuang
wanita yang gigih berperang melawan penjajah didaerah Kulon Progo. Untuk
menghormatinya perjuangan beliau di buatlah monumen patung Nyi Ageng
Serang yang bertengger di pusat perlimaan jalan utama Kulon Progo.
Patung Nyi Ageng Serang sedang menaiki kuda dengan membawa tombak ber
bendera di tangannya.
Mungkin banyak yang belum tahu tentang sejarah hidup perjuangan Nyi
Ageng Serang. Tidak banyak referensi yang menceritakan tentang hidup dan
perjuangan Nyi Ageng Serang. Nyi Ageng Serang memang kalah tenar di
banding dengan pahlawan nasional wanita lainnya seperti Tjut Nya’ Dien
dan Raden Ajeng Kartini.Kisah perjuangan Tjut Nya’ Dien sudah di filmkan
dengan sutradara Eros Jarot dengan judul yang sama. Bahkan film ini
berhasil beberapa penghargaan termasuk sebagai Film Terbaik di ajang
FFI.
NYI AGENG SERANG merupakan salah satu Pahlawan Nasional Indonesia.
Bahkan di Wates sosok Nyi Ageng Serang ini dipatungkan dengan posisi
menunggang kuda dan membawa tombak. Wajahnya yang cantik-manis tidak
saja menonjolkan keunggulan sisi kewanitaannya, namun juga menonjolkan
sosok ketegasan dan sifat pemberaninya.
Nyi Ageng Serang memiliki nama lengkap Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih
Retno Edi. Tokoh ini dilahirkan di Serang, sebuah wilayah di di
Kabupaten Sragen yang merupakan batas wilayah Jawa Tengah dan Jawa
Timur. Wilayah ini berjarak sekitar 40 kilometer dari Surakarta. Ia
dilahirkan pada tahun 1762. Raden Ajeng Kustiyah Wulaningsih Retno Edi
lebih terkenal dengan sebutan Nyi Ageng Serang karena ia lahir di
wilayah tersebut.
Desa atau wilayah Serang pada kisaran abad 17-18 menjadi terkenal karena
wilayah ini dijadikan markas besar perjuangan Pangeran Natapraja atau
dikenal juga sebagai Panembahan Natapraja. Pangeran Natapraja adalah
teman seperjuangan Pangeran Mangkubumi (Sultan Hamengku Buwana I) dalam
Perang Giyanti. Bahkan disebut-sebut bahwa ia adalah salah satu panglima
dari pasukan Pangeran Mangkubumi. Disebutkan pula bahwa Pangeran
Natapraja ini kemudian juga menjadi bupati untuk wilayah Serang yang
nota bene merupakan sebuah wilayah yang sekarang termasuk kecil.
Sekalipun demikian, pada masanya Serang di bawah Panembahan Natapraja
dulu membawahi wilayah-wilayah mulai Grobogan, Purwodadi, sampai
Semarang bagian selatan.
Nyi Ageng Serang inilah yang merupakan salah satu putri bungsu dari
Pangeran Natapraja. Sesungguhnya pulalah Panembahan Natapraja ini
memiliki gelar Kanjeng Pangeran Adipati, namun ia lebih senang
menggunakan gelar panembahan karena baginya hal itu lebih bisa
mendekatkan dirinya dengan rakyat. Jika ditarik garis silsilah ke atas,
maka Nyi Ageng Serang merupakan trah atau keturunan Sunan Kalijaga.
Panembahan Natapraja sendiri merupakan keturunan ke delapan dari Sunan
Kalijaga.
Sejak usia kecilnya, beliau juga sempat mendapatkan didikan ilmu siasat dan keprajuritan. Dan beliau juga di kenal cerdas.
Meski merupakan putra bangsawan, namun sejak kecil Nyi Ageng Serang
dikenal dekat dengan rakyat. Setelah dewasa dia juga tampil sebagai
salah satu panglima perang melawan penjajah. Semangatnya untuk bangkit
selain untuk membela rakyat, juga dipicu kematian kakaknya saat membela
Pangeran Mangkubumi melawan Paku Buwana I yang dibantu Belanda.
Nyi Ageng Serang bersama ayah (Panembahan Serang) dan kakaknya (Kyai
Ageng Serang) termasuk pemberontak-pemberontak yang merobek-robek
Perjanjian Gianti (13-02-1755) dan meneruskan perlawanan bersenjata
terhadap Belanda. Belanda menyergap pasukannya di Semarang. Ayah dan
saudaranya gugur dalam pertempuran.
Setelah Perjanjian Giyanti, Nyi Ageng Serang pindah ke Jogja bersama
Pangeran Mangkubumi. Namun perjuangan melawan pasukan penjajah terus dia
lanjutkan. Saat itu Nyi Ageng Serang memimpin pasukan yang bernama
Pasukan Siluman dengan keahlian Serang yang cepat hingga membuat pasukan
musuh kerap kocar-kacir. Pasukan ini juga menjadi salah satu pasukan
yang sangat diperhitungan Belanda waktu itu.
Perkembangan pesat yang dialami oleh R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi
membuat Sultan Hamengku Buwono tertarik untuk menjadikan mantu R.A
Kustiah Wulangningsih Retno Edi tidak menolak maupun mengiyakan. Sultan
Hamengku Buwono tidak marah mengetahui hal tersebut.
Melihat kemampuan R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi, Sultan Hamengku
Buwono mengutus R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi berrtempat tinggal
di Kademangan, agar bisa mengetahui situasi dan kondisi diluar kraton,
sehingga nantinya akan menjadi masukan yang baik bagi Sultan Hamengku
Buwono dalam menentukan sikap.
Setelah lama tinggal di Kademangan, atas permintaan Sultan Hamengku
Buwono, R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi kembali ke kraton. Selama di
dalam keraton R.A Kustiah Wulangningsih Retno Edi selalu didesak untuk
menjadi istri Sultan Hamengku Buwono II.
Setelah lama selalu di desak, akhirnya R.A Kustiah Wulangningsih Retno
Edi menerima Sultan Hamengku Buwono II dengan syarat setelah menikah
tidak hidup satu atap. Ini dikarenakan beliau masih memikirkan tentang
perjuangan membebaskan rakyat dari penjajah Belanda. Atas perkawinan
tersebut beliau mendapat nama Bendoro Raden Ayu Kustiah Wulangningsih
Retno Edi.
Beberapa hari berselang akhirnya mereka berpisah dan BRA. R.A Kustiah
Wulangningsih Retno Edi memilih tinggal di bumi Serang. Setelah tinggal
disana, masyarakat memanggil beliau dengan nama Bendoro Ayu Nyi Ageng
Serang. Di bumi Serang itulah beliau selalu menyebarkan bibit-bibit
nasionalisme dengan selalu membakar semangat melawan penjajah.
Bendoro Nyi Ageng Serang akhirnya menikah lagi dengan Pangeran Mutia
Kusumawijaya dan atas persetujuan kraton beliau diangkat sebagai
Panembahan Kusumo Wijoyo (Panembahan Serang) dan mempunyai puteri
bernama R.A Kustinah.
R.A Kustinah diambil menantu oleh Sultan HB II, dijodohkan dengan B.R.M.
Mangkudiningrat dan dikaruniai seorang putera bernama Raden Papak dan
bergelar G.P.A. A. Notoprojo .
Pada masa itu di kraton Mataram sedang terjadi konflik antara Pangeran
Diponegoro dengan Belanda karena kesewenangan pihak Belanda terhadap
rakyat. Pada tanggal 20 Juli 1825, pihak Belanda mengirimkan serdadu
–serdadu dari Yogyakarta untuk menangkap Pangeran Diponegoro. Ini di
picu ketegangan antara kedua belah pihak dengan akan di bangunnya jalan
raya di dekat Tegal rejo. Segera meletus pertempuran terbuka. Tegalrejo
direbut dan dibakar, tetapi Pangeran Diponegoro berhasil meloloskan
diri. Pangeran Diponegoro lalu mencanangkan panji pemberontakan. Perang
Jawa / Diponegoro (1825 – 1830 ) pun dimulai.
Pernyataan perang terhadap Belanda tersebut tentu saja mendapat dukungan
sepenuhnya dari Nyi Ageng Serang dengan Laskar Semut Irengnya. Nyi
Ageng Serang dengan laskarnya ikut berperang melawan penjajah Belanda.
Selama perang tersebut Nyi Ageng Serang menggunakan taktik kamuflase
daun keladi atau daun lumbu. Daun lumbu wajib di bawa oleh setiap
prajurit dan rakyat yang ikut berperang yang nantinya di gunakan sebagai
payung ataupun bersembunyi. Dengan daun itu Nyi Ageng Serang
memerintahkan pasukannya melindungi kepalanya untuk penyamaran sehingga
tampak seperti kebun tanaman keladi jika di lihat dari kejauhan. Musuh
akan di serang dan di hancurkan bila sudah dekat dan dalam jarak
sasaran.
Nyi Ageng Serang berjuang di daerah Grobogan, Purwodadi, Gundih, Kudus,
Demak, Pati, Semarang, Magelang. Dalam perang gerilyanya akhirnya beliau
sampai di pinggiran sungai Progo di daerah Dekso dan bermarkas di bukit
Traju Mas. Sebuah bukit yang sekarang di namakan dengan bukit Menoreh.
Akhirnya tempat tersebut dijadikan markas komando Nyi Ageng Serang
Pasukannya semakin besar karena dibantu oleh kalangan bawah, khususnya
petani yang banyak bergabung dengan pasukannya. Nyi Ageng Serang juga
dikenal sebagai ahli siasat dan negosiasi.
Ketika pecah perang Diponegoro pada tahun 1825, Nyi Ageng Serang
kehilangan suaminya yang tewas dalam pertempuran. Nyi Ageng Serang
kemudian meneruskan perjuangan, dan meskipun sudah lanjut usianya,
ketika itu berumur 73 tahun, mendapat kepercayaan memimpin pasukan.
Pasukannya membawa Panji "Gula Kelapa" (warna Merah Putih) di daerah
Jawa Tengah bagian timur-laut.
Nyi Ageng Serang dalam pertempuran itu memprakarsai penggunaan daun Talas sebagai taktik penyamaran.
Nyi Ageng Serang, Pangeran Adi Suryo dan Pangeran Somo Negoro memimpin
perlawanan di darah pegunungan Menoreh, Kadipaten Adi Karto serta daerah
Kadipaten Kulon Progo. Pangeran Joyo Kusumo memimpin perlawanan di
daerah Kokap pegunungan Menoreh bersama Raden Mas Leksono Dewo (Ki
Sodewo) salah satu Putra Pangeran Diponegoro di daerah mata air Sendang
Clereng dan sekitar wilayah Serang Pengasih yang merupakan wilayah
Kadipaten Adi Karto.
Sementara setelah terjadi geger di Gua Selarong, Pangeran Diponegoro dan
Tumenggung Danu Kusumo serta para Kenthol Bagelen selanjutnya bergerak
ke arah barat dan memimpin perlawanan di daerah Bagelen dan Alas Abang
Somongari, wilayah purworejo kini.
Pangeran Adi Winoto dan Tumenggung Mangundipuro memimpin perlawanan di
daerah Kedu. Pangeran Sayid Abu Bakar (Putra Pangeran Diponegoro) dan
Tumenggung Joyo Mustopo memimpin perlawanan di daerah Lowano. Pangeran
Joyo Kusumo memimpin perlawanan di daerah Ngayogyakarto bagian utara.
Pangeran Suryo Negoro, Tumenggung Somodiningrat dan Tumenggung Suro
Negoro memimpin perlawanan di daerah kuta negara Mataram dan wilayah
timur Kraton Ngayogyakarto.
Pangeran Singosari dan Tumenggung Warso Kusumo memimpin perlawanan di
daerah Gunung Kidul hingga daerah Wonogiri. Tumenggung Karto Pengalasan
bersama Raden Mas Wirono Rejo dengan Laskar Prambanan memimpin
perlawanan di daerah Plered. Dan Tumenggung Mertoloyo memimpin
perlawanan di daerah Pajang, serta Tumenggung Kartodirjo memimpin
perlawanan di daerah Sukowati hingga daerah Sragen dan Sukoharjo kini.
Nyi Ageng Serang oleh Pangeran Diponegoro dianggap sesepuh dan
ahli/penasehat strategi perang. Nyi Ageng Serang bersama Pangeran
Diponegoro selain meningkatkan taktik daun keladi/lumbu juga membentuk
pasukan khusus berani mati yang dinamakan pasukan Sesabet.
Pada saat mesanggrah di Prambanan, Nyi Ageng Serang juga mengamati
perkembangan yang terjadi di Kraton Yogyakarta. Pada waktu di tempat
itulah beliau mengetahui bahwa Sultan Sepuh (Sultan Hamengku Buwono II )
sudah kembali dari pengasingan atas usaha Belanda dan diangkat menjadi
Wali Raja di Yogyakarta. Oleh sebab itu Jendral Van de Cock menggunakan
Sultan Sepuh sebagai umpan agar Pangeran Diponegoro dan Nyi Ageng Serang
berkunjung ke kraton dan mau mengadakan perjanjian damai antara Sultan
Sepuh, Pangeran Diponegoro, Nyi Ageng Serang dan Jenderal Van de Cock.
Tetapi niat tersebut tidak tercapai.
Perjuangan Nyi Ageng Serang di wilayah Kulon Progo tidak hanya melawan
Belanda saja, tetapi yang membuat Nyi Ageng Serang sangat sedih adalah
bahwa dia harus melawan antek-antek Belanda yang merupakan bangsanya
sendiri. Salah satu antek Belanda yang paling dibenci adalah Ki Simbar
Jaya, karena dia adalah antek Belanda yang sangat kejam terhadap
bangsanya sendiri. Dia tega merampas harta rakyat, adu domba, menyiksa
sampai memperkosa.
Pertempuran demi pertempuran di menangkan oleh Nyi Ageng Serang. Tetapi
sekali lagi,yang membuat sangat sedih adalah membunuh bangsanya sendiri,
sedangkan pasukan Belanda berada di belakang mereka.
Ki Simbar Jaya berhasil ditaklukkannya dengan senjata Cundrik dan
Selendang yang selalu menyertai Nyi Ageng Serang. Karena kesaktiannya
oleh masyarakat Serang, Nyi Ageng Serang dijuluki juga Djayeng Sekar.
Antek-antek Belanda lain yang berhasil di bunuhnya adalah Kyai Aras
Langu dan Kyai Penther.
Pada akhir tahun 1827, Nyi Ageng Serang sudah berusia lanjut. Atas
permintaan kraton serta bujuk rayu abdi terdekatnya akhirnya Nyi Ageng
Serang bersedia untuk kembali ke kota. Beliau lalu bertempat di
Notoprajan. Tidak banyak kegiatan yang dilakukan Nyi Ageng Serang
disana. Nyi Ageng Serang bertemu dengan Pangeran Papak cucunya. Pangeran
Papak bercerita dan meminta maaf karena dirinya sampai tertangkap oleh
musuh. Pangeran Papak menceritakan semua pengalamannya ketika di tawan
di Magelang, Salatiga, Ungaran dan Semarang. Setelah itu Nyai Ageng
bersama Pangeran Papak maju kembali ke medan Pertempuran di wilayah
Adikarto.
Dua tahun sebelum Perang Diponegoro berakhir Nyi Ageng Serang wafat
karena jatuh sakit, kemungkinan serangan wabah penyakit malaria
sebagaimana penyakit yang banyak merenggut nyawa para prajuritnya, juga
para prajurit opas Belanda di sepanjang pegunungan Menoreh.
Selanjutnya, perjuangan Nyi Ageng Serang dipimpin oleh cucunya yang
bernama Raden Mas Papak yang bergabung dengan laskar Menoreh yang
dipimpin oleh Raden Mas Singlon, salah satu putra Pangeran Diponegoro
yang bergelar Pangeran Menoreh.
Beliau dimakamkan di bukit Tajumas dusun Beku, desa Banjarharjo, Kecamatan Kalibawang, Kulon Progo (sekarang ).
Makam ini dipugar pada tahun 1983 dengan bangunan berbentuk joglo dan
telah dimakamkan disini Nyi Ageng Serang beserta abdi dalemnya. Garwo
ibu dan wayah dalem yang telah dimakamkan didesa Nglorong, kabupaten
Sragen pada waktu pemugaran makam dipindahkan ke makam ini.
Makam ini terletak di atas bukit di desa Banjarharjo, Kecamatan
Kalibawang, kurang lebih 6 kilometer dari jalan Dekso Muntilan. Jarak
dari Yogyakarta kurang lebih 32 kilometer, dari kota Wates kurang lebih
30 kilometer.
Petilasan Nyi Ageng Serang
Sendang Suruh Giri Tengah Magelang
Pada masa perang, Pangeran Diponegoro bergerilya dan singgah di
Kalitengah selama 7 bulan di rumah Nyi Ageng Serang. Pangeran Diponegoro
adalah seorang yang taat beragama. Saat beliau mencari sumber air untuk
bersuci, akhirnya menemukan Sendang Suruh dan beliau beribadah disitu.
Dahulu ada sebuah surau didekat sendang tersebut.
Hingga saat ini sendang tersebut masih ada, airnya tak pernah habis
meskipun musim kemarau. Di dekat sendang terdapat peninggalan berupa
batu yang konon ada cap kakinya. Kini batu tersebut sudah dibalik dan
dikelilingi oleh tembok setinggi 1 meter. Di sekeliling sendang terdapat
hutan kecil bernama Hutan Suruh. Banyak tumbuh pepohonan rindang, serta
beberapa pohon yang sudah sangat tua berumur ratusan tahun seperti
pohon Kecik, Wadang, dan Bendo, terletak di sebelah sendang.
Pos Mati merupakan nama sebuah puncak bukit yang terletak di sisi barat
laut Desa Giritengah, berbatasan dengan Desa Ngadiharjo. Menurut
sejarah, pada jaman perang digunakan oleh Pangeran Dipinegoro sebagai
tempat pengintaian musuh serta tempat penyimpanan benda-benda pusaka
seperti pedang, keris, tombak, dll. Di atas puncaknya terdapat 2 pohon
pinus yang hidup sampai sekarang. Dari tempat ini kita bisa melihat
sunrise di atas Candi Borobudur dan Gunung Merbabu.
Bukit Limasan
Bukit Limasan merupakan bagian dari perbukitan Menoreh yang menonjol
keluar. Bukit ini juga erat kaitannya dengan sejarah perjuangan Pangeran
Diponegoro. Di salah satu bagian bukit Limasan terdapat sebuah batu
yang dipercaya sebagai batu keramat. Batu tersebut bentuknya menyerupai
babi/celeng sehingga disebut Watu Celeng.
Bale Kambang/Bale Gedhe
Bale Kambang adalah sebuah bangunan kecil yang dulu digunakan sebagai
pos istirahat oleh Nyi Ageng Serang pada zaman Perang Diponegoro.
Dulunya bangunan ini berupa pondok bambu, kemudian dibuat permanen pada
masa kepemimpinan Bapak Lurah Sochib. Bale Kambang sampai saat ini masih
dianggap keramat oleh masyarakat sekitar.
Wasiat Nyi Ageng Serang :
" Untuk keamanan dan kesentausaan jiwa,
kita harus mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa,
Orang yang mendekatkan diri kepada Tuhan,
Tidak akan terperosok hidupnya,
Dan tidak akan takut menghadapi cobaan hidup,
Karena Tuhan akan selalu menuntun
Dan melimpahkan anugrahNya
yang tiada ternilai harganya"
Rumongso melu handerbeni (merasa ikut memiliki),
Wajib melu hangrungkebi (wajib ikut mempertahankan), dan
Mulat Sario hangroso wani (mawas diri dan berani bertanggung jawab).
Wasiat tersebut disampaikan Nyi Ageng Serang pada saat beliau
mendengarkan keluhan keprihatinan para pengikutnya dan rakyat, akibat
perlakuan kejam kaum penjajah, yakni Belanda.
Nyi Ageng Serang memang telah lama wafat, namun semangatnya masih dapat
terlihat pada bagaimana semangat serta prestasi para pewaris semangat
cita-cita perjuangan Nyi Ageng Serang di Kota Wates, Kulon Progo.
Warga Kulon Progo mengabadikan monumen beliau di proliman jalan raya
Wates-Jogja berupa patung beliau yang sedang menaiki kuda dengan gagah
berani serta memegang tombak ber bendera.