Luas wilayah Kota Purwokerto adalah 3.585,34 ha, terdiri dari tanah
sawah kering, perkebunan negara/ swasta/ perorangan dan lain-lain
termasuk sungai, jalan dan kuburan.
Wilayah kota Purwokerto saat ini terdiri atas 28 kelurahan yang terbagi
dalam 4 wilayah kecamatan. Kecamatan Purwokerto Utara terdiri atas 7
kelurahan, kecamatan Purwokerto Selatan ada 7 kelurahan, kecamatan
Purwokerto Barat ada 7 kelurahan juga dan kecamatan Purwokerto Timar
juga ada 7 kelurahan.
Sedangkan batas wilayah kota Purwokerto yaitu; sebelah barat berbatasan
dengan Kecamatan Karang Lewas, sebelah utara dengan Kecamatan Sumbang
dan Kecamatan Baturraden, sebelah timur berbatasan dengan Kecamatan
Sumbang dan Kecamatan Sokaraja dan sebelah selatan berbatasan dengan
Kecamatan Patikraja dan Kecamatan Sokaraja.
Wilayah kota Purwokerto terletak di bagian selatan Propinsi Jawa Tengah,
terdiri atas 4 kecamatan dan 28 kelurahan berpenduduk sekitar 208.160
jiwa. Adanya jalur regional yang menghubungkan kota-kota di Jawa Barat,
Jawa Tengah dan Jawa Timur yang melalui Kota Purwokerto yang menyebabkan
kota ini menjadi pusat simpul jalur transportasi dan distribusi.
Sedangkan menurut sistem perkotaan di Jawa Tengah, peranan dan fungsi
kota Purwokerto adalah sebagai pusat utama wilayah pembangunan poros
Cilacap.
Berdasarkan letak geografis, wilayah kota Purwokerto dibagi dalam tiga kawasan, yaitu :
Lingkungan rural (daerah pedesaan atau pinggiran) yang meliputi sebagian Kecamatan Purwokerto Utara dan Purwokerto Selatan.
Lingkungan urban (perkotaan) yaitu sebagian Purwokerto Utara dan Purwokerto Timur.
Lingkungan transisi, yaitu kecamatan Purwokerto Barat.
Fasilitas perekonomian yang ada meliputi perusahaan, bengkel, pasar,
hotel supermarket/ pertokoan dan home industri. Di bidang pendidikan,
sosial dan budaya terdapat sarana pendidikan mulai dari TK sampai
perguruan Tinggi dan beberapa lembaga pendidikan lain. Pemeliharaan
keamanan dan ketertiban di wilayah Purwokerto menggunakan sistem
keamanan lingkungan secara terpadu.
Secara umum Purwokerto sesuai dengan fungsinya terdapat 4 jenis lingkungan kota, yaitu :
Lingkungan perdagangan dan perkantoran, berlokasi di daerah pusat kota,
sepanjang jalan regional dan berkembang lancar sepanjang beberapa jalan
arteri.
Pada bagian tengah kota, penggunaan lahannya untuk perumahan, berkembang konsentris terhadap pusat kota.
Fasilitas pendidikan dasar dan menengah menyebar di beberapa bagian kota dan masih berlokasi di sekitar wilayah pusat kota.
fasilitas sosial yang paling menonjol adalah fasilitas kesehatan
berlokasi di beberapa pusat kota, ada yang di wilayah bagian barat,
timur dan utara.
Kota Purwokerto dalam menyelenggarakan pemerintahan, menggerakan
pembangunan dan dalam membina masyarakat selalu bertolak dari kondisi,
potensi dan kemungkinan pengembangannya di masa yang akan datang. Adapun
potensi yang dimiliki Kota Purwokerto dapat dikelompokkan dalam 2 aspek
yaitu sumber daya manusia dan sumber daya alam. Sumber daya manusia
merupakan motor penggerak lajunya pembangunan, sehingga selalu
diupayakan pembinaanya, baik dalam segi kualitas maupun kuantitas.
Potensi sumber daya alam secara geografis di samping memiliki letak
strategis sebagai kota sentral terhadap kota-kota lain dalam wilayah
kabupaten Banyumas, dilaluinya jalur regional yang menghubungkan
kota-kota di Jawa Tengah juga memiliki peran sebagai jasa koleksi dan
distribusi hasil-hasil pertanian dan industri kecil.
Dengan Surat Keputusan Bupati Kepala daerah Tingkat II nomor
130/1207/1988, pada waktu itu Bupati Djoko Sudantoko, telah ditetapkan
motto Kota Purwokerto/ Kabupaten Banyumas. Motto diperlukan sebagai
motivasi memacu jalannya pembangunan. Karena itu, dipilih motto kota
‘SATRIA’ yang dirasa tepat untuk Kabupaten Banyumas yang beribu kota di
Purwokerto. Satria di sini mengandung dua pengertian. Pertama, Satria
adalah singkatan atau akronim dari Sejahtera, Adil, Tertib, Rapi, Indah
dan Aman. Motto yang terkandung dalam ungkapan Satria ini sejalan dengan
usaha-usaha pembangunan yang sedang dan terus dilaksanakan pemerintah
daerah. Peran Satria sebagai motto, etos kerja bagi aparat dan
masyarakat juga sebagai sasaran atau arah pembangunan. Kedua, Satria
mempunyai pengertian sifat masyarakat Banyumas yang “cablaka”. Artinya
Jujur, terbuka (terus terang), tulus ikhlas, mempunyai loyalitas,
dedikasi yang tinggi dan berani sebagai watak seorang ksatria. Sosok
Bawor sebagai tokoh wayang khas Banyumas menjadi trade mark.
Dari segi historis, Banyumas memang banyak melahirkan satria, baik dari
zaman perjuangan maupun zaman pembangunan dewasa ini. Di barisan
militer , Banyumas memang gudangnya, seperti Panglima Besar Jenderal
Sudirman, Jendral gatot Subroto, dan Letjen Suprapto. Di bidang
kesehatan, tercatat Prof. Dr. Margono Sukaryo sebagai ahli bedah pertama
di Indonesia. Kini nama nya diabadikan sebagai nama rumah sakit umum
Purwokerto. Di bidang koperasi, perintisnya adalah R A. Wiria Atmaja,
patih Banyumas saat itu. K.H. Abu Dardiri perintis berdirinya
Departemen agama. Dunia Perbangkan yang kini tumbuh menjamur, ternyata
perintis pertamanya juga putra Banyumas yaitu Margono Joyohadikusumo
(ayah Prof. Sumitro Djojohadikusumo).
Arah yang ingin dicapai dari slogan atau motto Purwokerto kota Satria adalah :
1. Sejahtera : Kondisi masyarakat yang sejahtera lahir dan batin.
2. Adil : Kesejahteraan yang merata dalam arti seluruh wilayahnya.
3. Tertib : Situasi masyarakat yang serba tertib dalam kehidupannya.
4. Rapi : Keadaan tertata sebagai dampak lanjut dari ketertiban.
5. Indah : Dalam arti enak dilihat dan nyaman
6. Aman : Suasana tentram dan tenang sehingga pembangunan lancar.
Pertumbuhan ekonomi nasional dewasa ini telah berlangsung cukup
significan dan dampaknya berpengaruh langsung terhadap perkembangan
daerah perkotaan, yang biasanya diiringi pula dengan laju pertumbuhan
penduduk yang lebih cepat dari lajunya secara alamiah. Didukung oleh
pesatnya industrialisasi dan perdagangan, maka daerah perkotaan, dalam
hal ini Purwokerto mempunyai peranan yang semakin besar dalam kegiatan
ekonomi nasional. Dengan demikian cita-cita Kota Satria akan segera
terwujud yaitu masyarakat Banyumas atau Purwokerto yang didam-idamkan
yaitu masyarakat yang Gemah Ripah Loh Jinawi Tata Tentrem Kerta Raharja.
Purwokerto adalah kota kecil yang cukup berkembang dan berkualitas.
Banyak tokoh yang jadi pahlawan serta jadi pengharum nama Bangsa yang
lahir dari kota ini.
Pada awalnya Purwokerto adalah sebuah hutan dan mulai ada perkampungan
sejak pertengahan abad 18M. Purwokerto awalnya didirikan di sebelah
utara pasar Wage. Makam Kyai Purwo sebagai bukti sejarah awal berdirinya
Purwokerto.
Asal usul kota Purwokerto
Ketika terjadi pemberontakan Cina yang sering disebut geger Pacinan pada
tahun 1742M, banyak pembesar Kraton Kartasura lari meninggalkan kraton.
Sebagian lari ke arah timur. Konon Sunan Pakubuwono termasuk yang lari
ke arah timur.
Sesampai di sebuah desa beliau beristirahat di bawah pohon mangga sambil
makan buah mangga, Ketika beristirahat Sang Sunan bersabda kepada para
pengikutnya : Saksikanlah, suatu ketika tempat ini diberi nama Pelem
Wulung. Pelem artinya mangga dan Wulung adalah jenis suatu mangga.
Sampai kini desa itu bernama Premulung yang asalnya Pelemwulung.
Sebagian lagi lari ke arah barat, mencari keselamatan masing-masing.
Untuk mencari tempat yang aman, para pengungsi sebagian lari terus ke
arah barat. Sekitar dua puluh lima orang telah sampai di daerah
Kadipaten Banyumas. Dan terus menuju utara ke arah Gunung Slamet. Dan
sampai lah rombongan yang di pimpin oleh Kyai Kartisara sampai di sebuah
tempat yang cukup datar.
Keadaannya waktu itu masih hutan rimba. Merasa sudah sampai daerah yang
dianggap aman mereka mulai membabat hutan. Tempat itu dijadikan
pekarangan dan ladang serta perkebunan. Rumah-rumah pun dibuat secara
gotong royong untuk tempat tinggal mereka.
Daerah yang tadinya hutan, banyak dihuni binatang liar dan mahluk-mahluk
halus serta menyeramkan, kini menjadi suatu desa yang aman dan makmur.
disamping pertanian, sebagian juga ada yang memiliki keahlian lain
dagang, pertukangan dan ada yang pandai dalam ilmu kekebalan ataupun
ilmu gaib
Di antara mereka yang dianggap mempunyai ngelmu bernama Kyai Kartisara.
Kyai Kartisara sangat disegani dan dihormati orang-orang di tempat itu.
Karena itu dia dianggap sebagai "sesepuh"nya. Lama-kelamaan daerah
pinggiran gunung Slamet bagian selatan yang tadinya hutan itu menjadi
suatu desa yang aman. Namun desa itu belum mempunyai nama.
Karena itu Kyai Kartisara mengusulkan agar desa itu diberi nama
Purwakerta. Purwa artinya awal mula; Kerta artinya aman atau damai. Jadi
Purwakerta artinya awal mula yang damai.
Nama itu disepakati oleh semua penduduknya. Dan Kyai Kartisara pun di panggil dengan sebutan Kyai Purwo (Mbah Purwo)
Rumah-rumah bertambah, hutan-hutan pun banyak berubah, banyak ladang dan
sawah. Banyak orang-orang dari kampung lain yang singgah, ada juga yang
pindah. Sehingga desa itu semakin ramai dan indah.
Kyai Kartisara mempunyai seorang putera bernama Kendang Gumulung.
Kendang Gumulung juga menuruni bakat ayahnya. Sehingga, setelah Kyai
Kartisara meninggal dia menggantikan kedudukan sang ayah. Kemudian
Kendang Gumulung yang memiliki ilmu kesaktian seperti ayahnya berpindah
tempat. Di tempat ini pun banyak orang yang berguru padanya. Orang-orang
yang mau belajar atau berguru ke tempat tinggal Kendang Gumulung
menyebutnya kepeguron. Peguron artinya tempat berguru.
Dari kata Peguron lama kelamaan menjadi Peguwon. Di kemudian hari tempat
ini disebut orang desa Peguwon. Setelah meninggal Kendang Gemulung
dimakamkan di desa peguwon. Hingga kini orang menyebutnya makam kyai
Kendang Gemulung.
Demikianlah riwayat asal mula kota purwokerto. Orang Banyumas sendiri
menyebut purwokerto dalam dialek Banyumas Purwakerta atau puraketa.
Kepeloporan Kyai Patih Wirjaatmadja
Selama ini kita hanya mengenal BRI sebagai lembaga perkeriditan rakyat
yang ada Di negri ini dan sedikit yang tau siapa sebenarnya pencetus
Perkeriditan tersebut. Akan saya tulis sejarah sang Maestro Perkeriditan
yang dari Purwokerto tersebut.
Suatu hari, dalam tahun 1894, seorang guru penduduk Banyumas mengadakan
pesta tayuban secara besar-besaran dalam rangka menghitankan anaknya.
Seorang patih banyumas, Raden Bei Aria Wirjaatmadja (selanjutnya disebut
patih Wiraatmadja) yang menghadiri hajatan tersebut merasa heran,
mengapa seorang guru bisa mengadakan pesta begitu besar dan meriah.
Menurutnya tidak mungkin gaji guru (saat itu) cukup untuk membiayai
pesta tersebut.
Setelah pesta khitanan selesai Patih Wiraatmadja mendekati guru itu dan secara halus menanyakan sumber biaya pestanya.
Ternyata guru tersebut berhutang kepada seorang Tionghoa untuk membiayai
pestanya dengan bunga yang sangat tinggi. Bahkan, kemudian diketahui
bahwa beban bunga pelunasan hutang tersebut benar-benar di luar
kemampuan guru itu. Patih Wirjaatmadja lantas menawaarkan bantuannya.
Dia menawarkan untuk memberikan pinjaman dengan bunga rendah guna
melunasi hutang guru tersebut. Jangka waktu pelunasannya pun cukup
panjang, yakni 20 bulan, sehingga cicilan bulanannya sangat ringan dan
terjangkau oleh kemampuan sang guru. Dengan senang hati guru itu
menyutujui tawaran Patih Wirjaatmadja. Patih Wirjaatmadja pun
menggunakan uang pribadinya untuk melunasi hutang guru tersebut,
sehingga hutangnya beralih kepada sang Patih. Dengan uluran tangan ini,
sang guru terbebas dari jeratan pelepas utang.
Patih Wirjaatmaadja menduga tidak hanya guru tersebut yang terjerat
hutang kepada pelepas uang dan ia tidak ingin hanya menolong guru itu
saja. Setelah melakukan penelitian secara seksama, terlihat kenyataan
yang memprihatinkan. Banyak di antara pejabat pangreh praja atau pegawai
negeri bamgsa Indonesia yang terlibat hutang dengan bunga tinggi dan
menghadapi kesulitan dalam pengangsurannya.
Karena dikenal sebagai pegawai dan ahli keuangan yang baik, maka Patih
Wirjaatmadja mendapat kepercayaan untuk mengelola uang kas masjid yang
jumlahnya pada bulan April 1894 mencapai F,4000.,-(empat ribu
gulden/nilai uang Belanda).
Dengan seizin atasannya, E.Sieburg,Patih Wirjaatmadja memperluas
penggunaan kas masjid itu untuk pinjaman kepada para pegawai negeri,
para petani, dan tukang yang terjerat hutang.
Untuk menampung angsuran dari para peminjam uang kas masjid itu, Patih
Wirjaatmadja membentuk lembaga semacam bank yang diberi nama " DE
POERWOKERTOSCHE HULPEN SPAARBANK DER INLANDSCHE HOOFDEN " (Bank Bantuan
dan Simpanan Milik Pribumi Purwokerto). Dengan demikian uluran tangan
Patih Wirjaatmadja berupa pemberian pinjaman pribadi dan kas masjid
dengan angsuran ringan tersebut mulai menampakkan bentuknya sebagai
kegiatan perbankan dan menjadi awal kegiatan "Bank Perkreditan Rakyat"
di Indonesia.
Atasan E.Siburgh belakangan mengetahui penggunaan uang kas masjid
tersebut. Dengan alasan uang kas masjid hanya boleh digunakan untuk
kepentingan masjid, turunlah surat perintah bertanggal 21 April 1894
agar uang kas masjid tersebut segera dikembalikan. Sieburgh yang
mengetahui maksud baik dan kejujuran. Patih Wirjaatmadja, segera turun
tangan. Dia menyebarkan surat edaran untuk mengumpulkan "dana penolong"
dan dalam waktu yang tidak begitu lama terkumpullah dana lebih dari
F.400,-.
Selain untuk mengembalikan uang kas masjid, dana yang terkumpul dari
masyarakat Purwokerto (termasuk orang-orang Eropa) tersebut, juga
dimanfaatkan untuk meneruskan "kegiatan bank" yang telah dirintis oleh
Patih Wirjaatmadja. Dengan modal dana ini, ditambah uang hasil angsuran
para peminjam uang kas masjid, maka pada tanggal 16 Desember 1895,
didirikanlah secara resmi bank perkreditan rakyat pertma di Indonesia
dengan nama " HULP EN SPAARBANK DER INLANDSCHE BESTUURS AMBTENAREN "
(Bank Bantuan dan Simpinan Milik Pegawai Pangreh Praja Berkebangsaan
Pribumi). Bank tersebut kemudian kemudian manjadi Bank Rakyat Indonesia
(BRI), dan tanggal 16 Desember 1895 dijadikan sebagai hari kelahiran
BRI. Atas jasa-jasanya tersebut di atas, maka patih Wirjaatmadja dikenal
sebagai "Bapak Perkreditan Rakyat".
Patih Wirjaatdja pensiun setelah selama lebih dari 40 tahun
menyumbangkan tenaga dan pikiran kepada pemerintah secara patuh dan
jujur. Pada usia enam puluh tahun dianugrahi sebutan "Rangga" dan
kemudian "aria". Sedangkan di kalangan masyarakat luas ia dikenal dengan
sebutan "Kyai Patih".
Dalam perkembangan selanjutnya, berkat jasa-jasa Patih Wirjaatdadja di
bidang perkoperasian, pada tanggal 12-08-1989 ia mendapat penghargaan
"HATTA NUGRAHA" dari DEKOPIN besama-sama dengan tokoh koperasi lainnya
yaitu Margono Djojokoesoemo almarhum. Yang mendirikan BNI yang sama sama
Putra Banyumas.