Kabupaten Blora, adalah sebuah kabupaten di Provinsi Jawa Tengah.
Ibukotanya adalah Blora, sekitar 127 km sebelah timur Semarang. Berada
di bagian timur Jawa Tengah, Kabupaten Blora berbatasan langsung dengan
Provinsi Jawa Timur.
Kabupaten ini berbatasan dengan Kabupaten Rembang dan Kabupaten Pati di
utara, Kabupaten Tuban dan Kabupaten Bojonegoro (Jawa Timur) di sebelah
timur, Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) di selatan, serta Kabupaten Grobogan
di barat.
Blok Cepu, daerah penghasil minyak bumi paling utama di Pulau Jawa, terdapat di bagian timur Kabupaten Blora.
Asal Usul Nama Blora
Menurut cerita rakyat Blora berasal dari kata BELOR yang berarti lumpur,
kemudian berkembang menjadi mbeloran yang akhirnya sampai sekarang
lebih dikenal dengan nama BLORA.
Secara etimologi Blora berasal dari kata WAI + LORAH. Wai berarti air, dan Lorah berarti jurang atau tanah rendah.
Dalam bahasa Jawa sering terjadi pergantian atau pertukaran huruf W
dengan huruf B, tanpa menyebabkan perubahan arti kata. Sehingga seiring
dengan perkembangan zaman kata WAILORAH menjadi BAILORAH, dari BAILORAH
menjadi BALORA dan kata BALORA akhirnya menjadi BLORA.
Jadi nama BLORA berarti tanah rendah berair, ini dekat sekali dengan pengertian tanah berlumpur.
Blora Era Kerajaan di bawah Kadipaten Jipang
Blora di bawah Pemerintahan Kadipaten Jipang pada abad XVI, yang pada
saat itu masih di bawah pemerintahan Demak. Adipati Jipang pada saat itu
bernama Aryo Penangsang, yang lebih dikenal dengan nama Aria Jipang.
Daerah kekuasaan meliputi:
Pati, Lasem, Blora, dan Jipang sendiri. Akan tetapi setelah Jaka Tingkir
(Hadiwijaya) mewarisi takhta Demak, pusat pemerintahan dipindah ke
Pajang. Dengan demikian Blora masuk Kerajaan Pajang.
Blora di bawah Kerajaan Mataram
Kerajaan Pajang tidak lama memerintah, karena direbut oleh Kerajaan
Mataram yang berpusat di Kotagede Yogyakarta. Blora termasuk wilayah
Mataram bagian Timur atau daerah Bang Wetan.
Pada masa pemerintahan Paku Buwana I (1704-1719) daerah Blora diberikan
kepada putranya yang bernama Pangeran Blitar dan diberi gelar Adipati.
Luas Blora pada saat itu 3.000 karya (1 karya = ¾ hektar). Pada tahun
1719-1727 Kerajaan Mataram dipimpin oleh Amangkurat IV, sehingga sejak
saat itu Blora berada di bawah pemerintahan Amangkurat IV.
Blora di Zaman Perang Mangkubumi (tahun 1727–1755)
Pada saat Mataram di bawah Paku Buwana II (1727-1749), terjadi
pemberontakan yang dipimpin oleh Mangku Bumi dan Mas Sahid, Mangku Bumi
berhasil menguasai Sukawati, Grobogan, Demak, Blora, dan Yogyakarta.
Akhirnya Mangku Bumi diangkat oleh rakyatnya menjadi raja di Yogyakarta.
Berita dari Babad Giyanti dan Serat Kuntharatama menyatakan bahwa Mangku
Bumi menjadi raja pada tanggal 1 Sura tahun Alib 1675, atau 11 Desember
1749.
Bersamaan dengan diangkatnya Mangku Bumi menjadi raja, maka diangkat
pula para pejabat yang lain, di antaranya adalah pemimpin prajurit
Mangkubumen, Wilatikta, menjadi Bupati Blora.
Blora di bawah Kasultanan Perang Mangku Bumi diakhiri dengan perjanjian
Giyanti, tahun 1755, yang terkenal dengan nama 'palihan negari', karena
dengan perjanjian tersebut Mataram terbagi menjadi dua kerajaan, yaitu
Kerajaan Surakarta di bawah Paku Buwana III, sedangkan Yogyakarta di
bawah Sultan Hamengku Buwana I.
Di dalam Palihan Negari itu, Blora menjadi wilayah Kasunanan sebagai
bagian dari daerah Mancanegara Timur, Kasunanan Surakarta. Akan tetapi
Bupati Wilatikta tidak setuju masuk menjadi daerah Kasunanan, sehingga
beliau pilih mundur dari jabatannya
Blora sebagai Kabupaten
Sejak zaman Pajang sampai dengan zaman Mataram, Kabupaten Blora
merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini karena
Blora terkenal dengan hutan jatinya.
merupakan daerah penting bagi Pemerintahan Pusat Kerajaan, hal ini karena
Blora terkenal dengan hutan jatinya.
Blora mulai berubah statusnya dari apanage menjadi daerah kabupaten pada
hari Kamis Kliwon, tanggal 2 Sura tahun Alib 1675, atau tanggal 11
Desember 1749 Masehi, yang sampai sekarang dikenal dengan HARI JADI
KABUPATEN BLORA. Adapun Bupati pertamanya adalah WILATIKTA.
Para Adipati / Bupati Blora
Latar belakang yang dilakukan Tumenggung Wilatikta melepaskan diri dari jabatan Bupati Blora, di duga karena ia tak mau bekerja sama dengan pemerintah penjajah Belanda. Konon pemerintahan Mataram di bawah Mangkubumi dikenal tidak menyukai kerjasama dengan Belanda. Lain dengan Kasunanan yang mau bekerjasama dengan Belanda. Menilik tindakan Wilatikta dapat dikatakan ia adalah seorang figur Bupati Blora pertama, yang tidak sudi bekerjasama dengan penjajah Belanda.
Silsilah dan Bupati Blora dari berdiri sampai sebelum kemerdekaan adalah :
Tumenggung Wilatikta ( 1749-1755 )
RT. Djayeng Tirtonoto ( 1762-1782 )
RT. Tirtokusumo ( 1782-1812 )
RT. Prawiro Yudho (1812-1823 )
RT. Tirto Nagoro ( 1823-1842 )
RT. Aryo Cokronagoro I ( 1842 )
RT. Tirto Nagoro ( 1843-1847 )
RT. Panji Noto Nagoro ( 1847-1857 )
RT. Tjokro Nagoro II ( 1873-1886 )
RMT. Tjokro Nagoro III ( 1986-1912 )
RM. Said Abdulkadir Jaelani ( 1912-1926 )
RM. Tjakraningrat ( 1926-1938 )
R. Muryono Joyodigdo ( 1938-1942 )
RM. Sudjono ( 1942-1945 )
Secara resmi Pembentukan Kabupaten Blora didasarkan pada Undang - undang No. 13/1950 tanggal 8 Agustus 1950 tentang Pembentukan Daerah Kabupaten di Wilayah Propinsi Jawa Tengah. Bupati Blora dari 1945-2010 adalah :
Mr. Iskandar ( 1945-1948 )
R. Wibisono ( 1948-1949 )
R. Siswadi Joyosurono ( 1949-1952 )
R. Sudjono ( 1952-1957 )
R. Sunartyo ( 1957-1960 )
R. Sukirno Sastro Dimejo ( 1960-1967 )
Srinardi ( 1967-1973 )
Supadhi Yudhodarmo ( 1973-1979 )
H. Soemarno ( 1979-1989 )
H. Soekardi Hardjoprawiro, MBA.MM ( 1989 -1999 )
Ir. Basuki Widodo ( 2000-2007 )
Drs. RM. Yudi Sancoyo, MM ( 2007-2010 )
Joko Nugroho ( 2010 -..........)
Perjuangan Rakyat Blora menentang Penjajahan
Perlawanan Rakyat Blora yang dipelopori petani muncul pada akhir abad
ke-19 dan awal abad ke-20. Perlawanan petani ini tak lepas dari makin
memburuknya kondisi sosial dan ekonomi penduduk pedesaan pada waktu itu.
Pada tahun 1882 pajak kepala yang diterapkan oleh Pemerintah Penjajah
sangat memberatkan bagi pemilik tanah (petani). Di daerah-daerah lain di
Jawa, kenaikan pajak telah menimbulkan pemberontakan petani, seperti
peristiwa Cilegon pada tahun 1888. Selang dua tahun kemudian seorang
petani dari Blora mengawali perlawanan terhadap pemerintahan penjajah
yang dipelopori oleh Samin Surosentiko.
Gerakan Samin sebagai gerakan petani antikolonial lebih cenderung
mempergunakan metode protes pasif, yaitu suatu gerakan yang tidak
merupakan pemberontakan radikal bersenjata.
Beberapa indikator penyebab adanya pemberontakan untuk menentang kolonial penjajah Belanda antara lain:
Berbagai macam pajak diimplementasikan di daerah Blora
Perubahan pola pemakaian tanah komunal
Pembatasan dan pengawasan oleh Belanda mengenai penggunaan hasil hutan oleh penduduk.
Indikator-indikator ini mempunyai hubungan langsung dengan gerakan
protes petani di daerah Blora. Gerakan ini mempunyai corak MILLINARISME,
yaitu gerakan yang menentang ketidakadilan dan mengharapkan zaman emas
yang makmur.
Situs-Situs Kuno
Situs Fosil Fauna Purba
Lokasi situs fosil hewan purba terletak di Dukuh Kawung dan Singget,
Desa Menden dan Dukuh Sunggun, Desa Medalem, Kecamatan Kradenan,
Kabupaten Blora.
Lokasinya berada di tepian daerah aliran sungai Bengawan Solo dan
berjarak kurang lebih 65 km arah selatan dari Kota Blora. Di Lokasi ini
telah ditemukan fosil Kepala kerbau purba, kura-kura purba, dan Gajah
Purba. Diperkirakan umur fosil antara 200.000-300.000 tahun. Fosil ini
awalnya ditemukan oleh penduduk kemudian diamankan oleh Yayasan
Mahameru. Sekarang sedang diteliti oleh ahli antropologi dari Bandung,
Fahrul Azis dan tim dari Wolongong University, Australia, yang dipimpin
Gertz Vandenburg.
Situs Wura-Wari
Lokasi Situs Wura-wari ini terletak di Desa Ngloram, Kecamatan Cepu,
Kabupaten Blora. Haji Wura-Wari adalah penguasa bawahan (vasal) yang
pada tahun 1017 Masehi menyerang Kerajaan Mataram Hindu (semasa Raja
Darmawangsa Teguh).
Saat itu Kerajaan Mataram Hindu berpusat di daerah yang sekarang dikenal
dengan Maospati, Magetan, Jawa Timur. Serangan dilakukan ketika pesta
pernikahan putri Raja Darmawangsa Teguh dengan Airlangga, yang juga
keponakan raja, sedang dilangsungkan. Membalas dendam atas kematian
istri, mertua, dan kerabatnya, Airlangga yang lolos dari penyerangan dan
tinggal di Wanagiri (di daerah perbatasan Jombang-Lamongan), akhirnya
balik menghancurkan Haji Wura-Wari. Namun, sebelumnya Haji Wura-Wari
terlebih dahulu menyerang Airlangga sehingga dia terpaksa mengungsi dan
keluar dari keratonnya di Wattan Mas (sekarang Kecamatan Ngoro,
Pasuruan, Jawa Timur).
Serangan balik Airlangga, yang ketika itu sudah dinobatkan menggantikan
Darmawangsa Teguh, ditulis dalam Prasasti Pucangan (abad XI) yang
terjadi pada tahun 1032 M. Serangan itu pula yang memperkuat dugaan batu
bata kuno berserakan di sekitar situs tersebut. Situs yang ditemukan
tim ekspedisi berada di tengah tegalan, di tepi persawahan, berupa
tumpukan batu bata kuno berlumut yang kini dijadikan areal pemakaman.
Sejak tahun 2000, telah dikumpulkan serpihan batu bata kuno berukuran 20
x 30 sentimeter dengan tebal sekitar 4 cm, serpihan keramik, serta
serpihan perunggu yang kini disimpan di Museum Mahameru. Temuan di situs
itu memperkuat isi Prasasti Pucangan bertarikh Saka 963 (1041/1042
Masehi) yang pernah diuraikan ahli huruf kuno (epigraf) "Haji Wura-Wari
mijil sangke Lwaram". Mijil mempunyai arti keluar (muncul dari). Hasil
analisis toponimi (nama tempat), kemungkinan nama Lwaram berubah menjadi
Desa Ngloram sekarang. “Pelesapan konsonan ’w’, penyengauan di awal
kata, dan perubahan vokal ’a’ menjadi ’o’ menjadikan nama lama Lwaram
menjadi Ngloram sekarang.
Penjelasan seperti itu pula yang membantah berbagai pendapat terdahulu
yang menyebutkan Haji Wura-Wari berasal dari daerah Indocina atau
Sumatera sebagai koalisi Sriwijaya. Cepu memiliki data arkeologis,
toponimi, dan geografis kuat untuk melokasikannya di tepian Bengawan
Solo di Desa Ngloram.
Petilasan Kadipaten Jipang Panolan
Petilasan Kadipaten Jipang Panolan berada di Desa Jipang, sekitar 8
kilometer dari Kota Cepu. Petilasannya berwujud makam Gedong Ageng yang
dahulu merupakan pusat pemerintahan dan bandar perdagangan Kadipaten
Jipang. Di tempat tersebut juga terlihat Petilasan Siti Hinggil,
Petilasan Semayam Kaputren, Petilasan Bengawan Sore, dan Petilasan
Masjid. Ada juga makam kerabat kerajaan, antara lain makam R. Bagus
Sumantri, R. Bagus Sosrokusumo, R. A. Sekar Winangkrong, dan Tumenggung
Ronggo Atmojo. Di sebelah utara Makam Gedong Ageng, terdapat Makam
Santri Songo.
Disebut demikian karena di situ ada sembilan makam santri dari Kerajaan
Pajang yang dibunuh oleh prajurit Jipang karena dicurigai sebagai telik
sandi atau mata-mata Sultan Hadiwijaya.
Makam Purwo Suci Ngraho Kedungtuban
Makam Purwo Suci terletak di Dukuh Kedinding, Desa Ngraho, Kecamatan
Kedungtuban lebih kurang 43 km kearah tenggara dari Kota Blora, mudah
dijangkau dengan kendaraan roda dua maupun roda empat sampai ke jalan
desa kemudian untuk mencapai makam dolanjutkan dengan berjalan kaki
lebih kurang 500 m sambil menikmati pemandangan alam, karena letaknya
berada di puncak perbukitan dengan luas areal bangunan makam lebih
kurang 49 persegi. Menurut informasi atau cerita dari masyarakat
setempat Makam Purwo Suci adalah makam seorang Adipati Penolan sesudah
Haryo Penangsang bernama Pangeran Adipati Notowijoyo.
Di dalam halaman makam tersebut juga terdapat Makam Nyai Tumenggung Noto
Wijoyo, karena jasa-jasanya, sampai saat ini makam tersebut masih
banyak dikunjungi oleh masyarakat untuk tujuan tertentu, bahkan pernah
dipugar oleh Bupati Blora pada tahun 1864 dengan memakai sandi sengkolo,
Karenya Guna Saliro Aji ( tahun 1864 ). Menurut ceritera yang panjang,
makam ini cocok dikunjungi oleh wisatawan yang senang akan olah roso dan
olah kebatinan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Makam Maling Gentiri
Makam Maling Gentiri terletak di Desa Kawengan, Kecamatan Jepon, lebih
kurang 12 km kearah Timur dari Kota Blora, mudah dijangkau dengan
kendaraan roda dua maupun roda empat. Gentiri adalah putra dari Kyai
Ageng Pancuran yang saat hidupnya mempunyai kesaktian tinggi ( sakti
mondroguna ), suka menolong kepada orang yang sedang kesusahan, orang
yang tidak mampu dan sebagainya, suka mencuri ( maling ) namun bukan
untuk dirinya sendiri melainkan untuk orang lain yang sedang kesusahan.
Maling Gentiri dijuluki Ratu Adil yang dianggap sebagai tokoh yang suka
mengentaskan rakyat dari kemiskinan. Dengan perjalanan sejarah yang
panjang akhirnya Maling Gentiri sadar dan semua perbuatan yang melanggar
hukum dia tinggalkan, hingga akhirnya dia meninggal dan dimakamkan di
Ds. Kawengan, Kecamatan Jepon. Karena jasa-jasanya banyak, masyarakat
setempat atau dari daerah lain yang datang ke makam tersebut karena
masih dianggap keramat (Karomah), baik untuk berziarah maupun untuk
tujuan tertentu.
Makam Jati Kusumo dan Jati Swara
Makam Jati Kusumo dan Jati Swara terletak di Desa Janjang, Kecamatan
Jiken lebih kurang 31 km kearah Tenggara dari Kota Blora atau lebih
kurang 10 km dari Kecamatan Jiken, mudah dijangkau dengan kendaraan roda
dua maupun roda empat. Dengan luas areal lebih kurang 1 Ha yang
didalamnya terdapat Makam Jati Kusumo dan Jati Swara, makam Rondo Kuning
( putri yang tergila-gila ingin diperistri oleh kedua bangsawan
tersebut ), empat makam sahabat , Bangsal sesaji, Guci berisi air (
dianggap punya karomah ), Batu Pasujudan, dan juga bangsal untuk
pertunjukan Wayang Krucil.
Menurut ceritera rakyat setempat Pangeran Jati Kusumo dan Jati Swara
adalah dua bersaudara kakak beradik putra dari Sultan Pajang, Mempunyai
kesaktian yang tinggi, suka menolong orang lain, suka mengembara
kemana-mana dengan tujuan untuk menyebarkan Agama Islam. Terbukti dengan
adanya bangunan masjid disana karena jasa-jasanya.