Terputus nya Bali Dengan Nusa Jawa
Kebanyakan orang-orang menduga, bahwa pulau Bali dengan pulau Jawa asal
mulanya menjadi satu daratan. Akan tetapi kapan putusnya kedua pulau itu
, sehingga sekarang terdapat Selat Bali, para achli tiada dapat
menentukannya.
Bali pertama kali diperkenalkan oleh seorang pertapa dari Gunung Raung
di Jawa Timur yang bernama Maha Rsi Markandeya dari Kalingga (Dieng)
pada abad ke – 8. Dalam doanya beliau mendapat wahyu untuk pindah
kepulau Dawa, sebuah pulau yang panjang. Dengan membawa 800 orang
pengikut mereka memulai perjalanan hingga akhirnya tiba diwilayah Bali
Barat. Namun dalam perjalanan ini ¾ pengikutnya meninggal dunia dimakan
harimau dan ular besar dihutan sehingga mereka memutuskan untuk kembali
ke Gunung Raung.
Setelah mendapatkan pengikut baru dan melakukan ritual menanam Panca
Dhatu yang terdiri dari 5 jenis logam sebagai penolak bala akhirnya
mereka kembali ke Pulau Dawa dan berhenti di kaki Gunung Agung tepatnya
Besakih. Agama hindu yang lebih tepat disebut adama Bali mulai
diperkenalkan dan mereka menyembah Sanghyang Widhi 3 kali sehari dengan
menggunakan sesajen atau bebali yang mengandung 3 unsur yaitu air, api
dan bunga yang harum.
Jadi penamaan Bali berasal dari kata bebali yang artinya sesajen.
Kisah perjalanannya rombongan Maharesi Markandeya ketika melakukan
perpindahan dari Jawa ke Bali, sama sekali tiada menyebutkan tentang
perjalanan mereka itu mempergunakan alat-alat pengangkutan dilaut untuk
menyeberang. Hal itu mempertebal kepercayaan orang-orang, bahwa kedua
pulau itu bekas menjadi satu daratan, sehingga memungkinkan orang-orang
Bali Aga itu berjalan kaki menuju ketempat tanah-tanah yang dibukanya
itu.
Menurut uraian sebuah kitab bernama “Usana Bali” , bahwa putusnya pulau
Jawa dengan pulau Bali, adalah disebabkan kesaktian seorang Pendita
bernama Mpu Sidhimantra. Pendita itu bertempat tinggal; di Jawa Timur,
kersahabat karib dengan seekor ular besar yang bernama “NAGA BASUKIH “
Naga itu berliang didesa Besakih yang terletak dikaki Gunung Agung,
merupakan sebuah goa besar yang dianggap suci. Karena persahabatan itu
Mpu Sidhimantra tiap-tiap bulan purnama raya, selalu datang ke
Besakihmendapatkan Naga Basukih dengan membawa madu, susu dan mentega,
untuk sahabatnya itu.
Mpu Sidhimantra mempunyai seorang anak laki-laki bernama Ida Manik
Angkeran. Anaknya itu gemar berhudi, tiada menghiraukan nasehat ayahnya
Oleh karena dalam perjudian itu sering kalah, sehingga menimbulkan
ingatannya yang jahat. Pada suatu ketika menjelang bulan purnama raya,
Mpu Sidhimantra kebetulan sakit, tiada sanggup mendapatkan sahabatnya
pergi ke Bali. Kesempatan itu dipergunakan oleh Ida Manik Angkeran untuk
memuaskan nafsunya mencari modal untuk berjudi. Sebuah “ bajra”
kepunyaan ayahnya lalu diambilnya dengan diam-diam, tanpa ijin orang
tuanya ia lalu pergi ke Bali mendapatkan Naga Basukih sahabat ayahnya
itu. Sampai disana ia lalu duduk bersila sambil membunyikan “bajra”
yang dibawanya itu sehingga Naga Basukih keluar dari liangnya.
Atas pertanyaan ular besar itu, Ida Manik Angkeran lalu menerangkan,
bahwa ayahnya masih sakit, oleh karena itu ia menjadi wakilnya membawa
pasuguh berupa madu, susu dan mentega, yang biasa dihidangkan oleh
ayahnya tiap-tiap bulan. Pemberian Ida Manik Angkeran itu diterima oleh
Naga Basukih dengan senang hati, kemudian ditanyakan kepadanya, apa yang
dikehendakinya untuk bekalnya pulang kembali ke Jawa. Ida Manik
Angkeran menjawab, bahwa ia tiada minta apa-apa, seraya dipersilakannya
Naga Basukih supaya masuk kegoanya, sebelum ia mohon diri.
Naga Basukih lalu masuk kegoanya, sedang ekornya yang begitu panjang
sebagian masih berada diluar. Ida Manik Angkeran kagum melihat sebuah
batu permata besar yang melekat pada ujung ekor Naga Basukih itu,
sehingga menimbulkan hasratnya hendak mengambil batu permata yang
tiada ternilai harganya itu. Terpikir olehnya, bahwa batu permata itu
cukup nanti dipakainya berjudi seumur hidup. Sejenak berpikir demikian,
ekor Naga Basukih itu lalu dipenggalnya batu permata itu lalu dibawanya
lari.
Akan tetapi baru ia sampai dihutan “Camara Geseng” tiba-tiba ia mati
hangus terbakar, karena bekas jejak kakinya dapat dijilat oleh Naga
Basukih yang sedang marah itu. Sekarang tersebutlah Mpu Sidhimantra ,
cemas mengenangkan nasib anaknya sudah lama tiada pulang-pulang,
sedang “bajra” pusakanya telah hilang.Ia lalu pergi mendapatkan
sahabatnya itu, seraya menanyakan keadaan anaknya yang sudah lama tidak
pernah pulang.
Naga Basukih lalu menerangkan kepada sahabatnya itu, bahwa Ida Manik
Angkeran sudah mati, lantaran keberaniannya memenggal ekornya yang
berisi batu permata. Mpu Sidhimantra menyesali perbuatan anaknya itu,
seraya bermohon kepada sahabatnya itu supaya dosa anaknya itu suka
diampuninya. Ia berjanji kepada sahabatnya itu, apabila anaknya itu
dapat dihidupkan kembali, biarlah Ida Manik Angkeran selama hidupnya
tinggal di Bali untuk menjadi abdipura Besakih sebagai “Pemangku”
(penyelenggara upacara di pura). Permintaan Mpu Sidhimantra diluluskan,
maka Ida Manik Angkeran lalu hidup kembali berkat kesaktian Naga
Basukih itu.
Maka semenjak itulah Ida Manik Angkeran disuruh oleh ayahnya supaya
bertempat tinggal di Bali, tiada dibolehkan lagi pulang ke Jawa. Mpu
Sidhimantra pulang kembali ke Jawa, setelah anaknya hidup lagi sebagai
sediakala. Maka untuk mencegah kemungkinan anaknya itu akan menyusul
perjalanannya , lalu digoreskanlah tongkatnya, sehingga daratan pulau
Bali dengan pulau Jawa menjadi putus karenanya. Demikianlah
ceriteranya, asal mulanya ada Selat Bali yang disebut “SEGARA RUPEK”
Ceritera kitab itu merupakan dongeng dan tachyul, tetapi kenyataannya
sukar dibantah. Keturunan Ida Manik Angkeran itu disebut “Ngurah
Sidemen” ternyata sampai kini berkewajiban menjadi “Pemangku” di Pura
Besakih.
Penulis bangsa Eropah bernama Raffles , Hageman dan R. Van Eck,
sama-sama membenarkan, bahwa Bali dan Jawa bekasnya menjadi satu
daratan, oleh bencana alam yang disebabkan meletusnya sebuah gunung
berapi, maka terjadilah gempa bumi besar, sehingga daratan kedua pulau
itu menjadi putus.
Mereka menerangkan, bahwa peristiwa itu terjadi di alam abad ke XIII *).
Akan tetapi sayang keterangan mereka itu kurang jelas, gunung mana yang
dikirakan meletus oleh mereka itu. Hasil penyelidikan menyatakan, bahwa
sepanjang pantai Selat Bali itu, sekarang banyak terdapat mata air
panas berbau belerang. Kemungkinan disana dahulu terdapat sebuah gunung
berapi yang sudah meletus.Diantara mata air panas itu sebuah disebut :
Banyu Wedang, artinya air panas.
Sementara itu terdapat sebuah kitab bernama : Nagara-Kertagama karangan
Prapanca, menerangkan bahwa putusnya pulau Jawa dengan pulau Madura
terjadi dalam tahun Úaka 124. Bilangan tahun Úaka itu mempergunakan
perhitungan “candra-sangkala” yaitu dengn perkataan yang berbunyi “
samudra nanggung bumi “ Keterangan kitab itu sesuai dengan pernyataan
sebuah kitab bernama : “Wawatekan” yang menerangkan bahwa “segara
rupek” itu , ialah “segara nanggung bumi”. Baik “samudra” maupun
“sagara” sama artinya dengan lautan atau selat. Kedua perkataan itu
sama dengan angka 4, menurut perhitungan tahun Candra-sangkala.
Perkataan “nanggung” sama dengan angka 2. Sedang perkataan “bumi” sama
dengan angka 1. Oleh karena caranya menghitung angka-angka itu harus
berbalik, maka terjadilah bilangan tahun saka 124, atau tahun Masehi
202.
Meskipun kitab-kitab itu sudah menerangkan demikian, namun pernyataan
itu tiada dapat dipakai pegangan yang kuat, untuk mnentukan putusnya
Pulau Bali dengan Pulau Jawa memang terjadi semasa itu. Mustahil
Prapanca tiada menyebutkan dalam kitab karangannya itu, bahwa putusnya
Pulau Bali dengan Pulau Jawa bersamaan waktunya, apabila memang benar
demikian halnya.
Dalam pada itu seorang penulis bernama C.W. Laedbeater menerangkan
didalam sebuah kitab karangannya bernama: “The Occult History of Java”
bahwa putusnya Pulau Jawa dengan Pulau Sumatra terjadi dalam tahun
Masehi 915 (meletusnya Gunung Krakatau), yang menyebabkan putus kedua
pulau tersebut. Dapatlah keterangan penulis itu dipakai sandaran untuk
menyatakan, bahwa putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa terjadi pada
waktu itu? Memang jikalau ditilik dari letak ketiga pulau itu
(Sumatera, Jawa dan Bali) seakan-akan berangkai hanya dipisahkan oleh
selat-selat yang sempit, tidaklah mustahil kejadian di Selat Sunda dapat
dipengaruhi keadaan di Selat Bali.
Sementara kitab-kitab itu tiada memberi ketegasan waktu mana kiranya
putusnya Pulau Jawa dengan Pulau Bali terjadi, maka pendapat umum lebih
condong mempercayai theori ilmu bumi. Pada zaman dahulu sebagian besar
kepulauan Indonesia belum ada, masih bersatu dengan benua Asia, maka
pada suatu ketika yaitu pada achir zaman es, konon katanya
gunung-gunung es yang terdapat dikutub Utara dan dikutub Selatan
menjadi cair, sehingga permukaan laut naik dan merendam daerah-daerah
yang rendah.
Oleh karena itu terjadilah lautan Tiongkok Selatan, laut Jawa, dan
Selat Malaka. Kemungkinan ketika itulah terjadinya Selat Bali itu,
lantaran dataran disana rendah, turut terendam air laut yang sedang
pasang itu. Jika memang demikian halnya, sudah tentu putusnya Pulau
Bali dengan Pulau Jawa itu terjadi beberapa ratus abad sebelum tarich
Masehi.
Demikianlah keterangan-keterangan yang diperoleh mengenai hal ichwal
putusnya Pulau Bali dengan Pulau Jawa itu, namun para achli belum ada
yang berani menerangkan, kapan sebenarnya peristiwa itu terjadi. Baiklah
hal itu dipakai sebagai gambaran saja, untuk meraba-raba , bahwa kedua
pulau itu pada suatu masa kiranya memang benar mula-mula menjadi satu
daratan -
Sejarah Kerajaan
Kerajaan Bali terletak di sebuah pulau yang tidak jauh dari daerah Jawa
Timur, tepatnya di sebelah timur Pulau Jawa, maka dalam perkembangan
sejarahnya, Bali mempunyai hubungan yang sangat erat dengan Pulau Jawa.
Ketika kerajaan Majapahit runtuh, banyak dari rakyat Majapahit yang
melarikan diri kemudian menentap di Bali. Sehingga sampai saat ini masih
ada kepercayaan bahwa sebagian dari masyarakat Bali adalah pewaris
tradisi Majapahit.
Sumber Sejarah
Sumber sejarah Kerajaan Bali didapat dari beberapa berita dari Jawa dan juga prasasti-prasasti di Bali.
1. Prasasti Sanur menunjukkan adanya kekuasaan raja-raja dari Wangsa atau Dinasti Warmadewa.
2. Prasasti Calcuta, India (1042) dalam prasasti ini dikemukakan tentang
asal-usul Raja Airlangga yang merupakan keturunan raja-raja Bali,
Dinasti Warmadewa. Raja Airlangga lahir dari hasil perkawinan Raja
Udayana dari Kerajaan Bali dengan Mahendradata (putri Kerajaan Medang
Kamulan adik raja Dharmawangsa) Selain itu, komplek Candi Gunung Kawi
(Tampak Siring) merupakan makam dari raja-raja Bali. Komplek candi
tersebut dibangun pada masa pemerintahan Raja Anak Wungsu.
Kehidupan Politik
Karena kurangnya sumber-sumber dan bukti dari adanya kerajaan Bali,
menyebabkan sistem dan bentuk pemerintahan raja-raja Bali kuno tidak
dapat diketahui dengan jelas, namun raja-raja yang pernah berkuasa
diantaranya: 1.
Raja Sri Kesari Warmadewa yang memiliki istana di Singhadwala. Buktinya terdapat pada prasasti Sanur (913 M).
1.Dalam prasasti itu disebutkan bahwa Raja Sri Kesari Warmadewa berhasil
mengalahkan musuh-musuhnya di daerah pedalaman. Raja Sri Kesari
Warmadewa adalah raja pertama dan merupakan pendiri Dinasti Warmadewa.
2.Raja Urganesa yang memerintah daritahun 915 M-942 M. Memerintah
Kerajaan Bali untuk menggantikan Raja Sri Kesari Warmadewa. Pusat
pemerintahannya terdapat di Singhadwala. Masa pemerintahan Raja Urganesa
meninggalkan 9 buah prasasti yang ditemukan di Babahan, Sembiran,
Pentogan, dan Batunhya. Dalam prasasti-prasasti itu berisi tentang
pembebasan pajak terhadap daerah-daerah tertentu dalam kekuasaannya dan
menunjukkan bahwa otoritasnya meliputi area yang cukup luas. Selain itu
juga terdapat prasasti yang berisi tentang pembangunan tempat-tempat
suci. Sistem dan bentuk pemerintahan pada masa pemerintahan Raja
Urganesa telah teratur terutama tentang pemberian tugas kepada
pejabat-pejabat istana.
3.Raja Tabanendra Warmadewa yang menggantikan Raja Urganesa sebagai raja
Kerajaan Bali selanjutnya. Raja Tabanendra Warmadewa memerintah bersama
permaisurinya yang bernama sang Ratu Luhur Sri Subhadrika Dharadewi.
Keadaan pada masa pemerintahan Raja Tabanendra Warmadewa tidak dapat
diketahui karena kurangnya berita-berita dan sumber-sumber dari
prasasti.
4.Raja Jayasingha Warmadewa atau Raja Sri Candrabhayasingha Warmadewa.
Masa pemerintahannya tidak dapat diketahui karena tidak adanya sumber
yang terkait dengannya.
5.Raja Jayasandhu Warmadewa. Masa kekuasaan dan pemerintahannya juga tidak dapat diketahui dengan pasti.
6.Sri Maharaja Sri Wijaya Mahadewi memerintah pada tahun 983. Kerajaan
Bali pada masa ini diperintah oleh seorang raja putri. Beberapa ahli
menafsirkan bahwa dia raja putri ini adalah putri dari Mpu Sindok
(Dinasti Isyana).
7.Dharma Udayana Warmadewa memerintah setelah masa pemerintahan Sri
Maharaja Sri Wijaya Mahadewi. Masa pemerintahan Udayana 989-1022 M. Dia
memerintah bersama permaisurinya yang bernama Mahendradata (Gunapria
Dharmapadni) yang merupakan putri dari Raja Jawa Timur
Makutawamsawardhana, dan karena hal tersebut, hubungan Kerajaan Bali
dengan kerajaan-kerajaan di Jawa Timur berjalan dengan baik dan pada
masa ini penulisan prasasti-prasasti dengan menggunakan huruf dan bahasa
Jawa Kuno dimulai. Udayana dan Mahendradata dikaruniai tiga orang anak
lelaki, yaitu Airlangga, Dharmawangsa, dan Anak Wungsu.
8.Raja Marakata kemudian menggantikan Udayana setelah kematiannya. Namun dia hanya memerintah sebentar hingga tahun 1025.
9.Raja Anak Wungsu adalah Raja Bali yang memerintah setelah Marakata.
Dan Anak Wungsu adalah Raja Bali yang berhasil mempersatukan seluruh
wilayah Bali. Pada masa pemerintahannya, kehidupan rakyat Bali aman dan
sejahtera. Rakyat Bali pada masa itu sudah mulai bervariasi, mereka
hidup dari bercocok tanam, pande besi, tukang kayu, dan pedagang. Raja
Anak Wungsu juga memberikan perhatian besar pada masalah-masalah
keagamaan dengan jalan menjamin kesejahteraan para pertapa. Anak Wungsu
menjadi raja termasyur karena pada masa pemerintahannya, dibangun
kompleks candi-candi dan gua-gua meditasi di tebing-tebing jurang sungai
Pakerisan dan situs Gunung Kawi.
10. Raja Jaya Sakti yang kemudian memerintah Bali adalah keturunan dari
Airlangga yang pada masa itu Airlangga telah menjadi penguasa Jawa Timur.
11.Raja Bedahulu adalah Raja Bali yang terakhir memerintah pada tahun
1343 M. Raja Bedahulu juga dikenal dengan sebutan Sri Astasura Ratna
Bhumi Banten.
Kerajaan Mengwi
Kerajaan Mengwi adalah sebuah kerajaan di Bali yang dahulu diceritakan
diperintah oleh raja-raja dengan dinasti yang berbeda-beda secara turun
temurun yaitu :
Sekitar tahun 1408 M, pemerintahan dikendalikan oleh Dinasti Tegeh Kori
yang sebagaimana disebutkan Babad Mengwi dalam sejarah Puri Pemecutan,
raja-raja yang memerintah yaitu :
Kyai Made Tegeh yang kemudian bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi I
Kyai Gede Tegal sebagai Kyai Agung Anglurah Mengwi II.
Kyai Ngurah Pemayun yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi III.
Kyai Ngurah Agung yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi IV.
Kyai Ngurah Tegeh yang bergelar Kyai Agung Anglurah Mengwi V.
Kyai Ngurah Gede Agung yang bergelar Kyai Agung Mengwi VI
bersama Ngurah Cemenggon Beringkit beserta Ngurah Ngui { Petandakan }
menyerahkan kerajaan serta mandat kekuasaan kepada Gusti Agung Putu yang yang ketika itu berada di Puri Belayu.
Selanjutnya sekitar tahun 1686 M, kekuasaan atas Mengwi dipegang oleh
Dinasti I Gusti Agung Putu, putra dari I Gusti Agung Marutiyang dahulu
sebagai penguasa Kerajaan Gelgel. Dalam Cikal Bakal Raja - Raja
Mengwidiceritakan I Gusti Agung Putu sebagai Raja I Mengwi dengan pusat
ibu kotanya disebut dengan Kawyapura yang perluasan kekuasaannya
meliputi :
Kaba-kaba (yang dahulu dalam Babad Kaba-Kaba disebutkan wilayah tersebut dikuasai oleh Arya Belog)
Marga selatan, Bukit Jimbaran sampai Uluwatu,
ke Utara sampai gunung Beratan,
ke Timur sampai sungai Petanu, termasuk daerah Sukawati.
ke Barat sampai sungai Yeh Panah dll
Kini diceritakan perluasan wilayah kerajaan pada tahun 1736 – 1767 yang dalam Babad Blambangan sebagaimana disebutkan :
Wilayah Blambangan berada di bawah kekuasaan Kerajaan Mengwi sejak tahun
1736, dan menempatkan Pangeran Menak Jingga/Pangeran Danuningrat
sebagai raja bawahan.
Serangan Badung ke Mengwi pada 1891. penyerangan ini diceritakan dibawah
perintahan Nararya Agung Ngurah Alit Pemecutan (1860 – 1901) sebagai
raja Badung (dinasti Denpasar ke-V), yaitu kakanda dari Nararya Agung
Made Ngurah Pemecutan (Ida Tjokorde Ratu Made Agung Gede Ngurah
Pamecutan 1876 – 1906 alias Bethara Mur ring Rana) yang menciptakan
Perang Puputan Badung 1906 itu;
Penyerangan kerajaan Badung ke kerajaan Mengwi tidak dalam bentuk perang
besar, sehingga tidak banyak korban baik manusia maupun harta benda.
Kondisi Kerajaan Mengwi saat itu dalam kondisi paling lemah sebagai
akibat dari banyaknya perang yang telah dilakukan, disamping adanya
pembelotan keluarga kerajaan Mengwi di kawasan Timur, sehingga ketika
itu Mengwi lebih memilih takluk lebih dahulu daripada harus menumpahkan
darah.
Setelah kerajaan Mengwi takluk maka sebagian besar daerah kekuasaannya
diserahkan kepada Badung mencakup Desa Kapal, Munggu, terus ke selatan
hingga ke daerah Bukit (termasuk Pura Luhur Uluwatu) dan ada sedikit
bukti, bahwa Banyak penduduk Gulingan hingga Penarungan dan sekitarnya
merupakan laskar Badung yang ditugaskan menetap di sana.
Kerajaan Badung juga menempatkan keturunan Puri Belaluan di daerah
Kapal, Gaji, Abian Base, untuk mencegah bangkitnya kembali Kerajaan
Mengwi.
Karenanya, banyak penduduk di sana yang kawitannya ada di Badung.
Setelah runtuhnya Kerajaan Mengwi disebutkan dimana perang antara Badung
dengan Mengwi berakhir maka tiga serangkai Raja Tabanan, Raja Badung
Pemecutan dan Raja Gianyar sepakat untuk mengadakan perjanjian kerjasama
di bidang pertahanan.
Sebagai tambahan, Kerajaan Mengwi dalam beberapa Babad juga diceritakan :
Dalam Babad Puri Andhul Jembrana, juga diceritakan, putra Ki Gusti
Blambang Murti yang bernama Gusti Gede Giri, setelah Kerajaan Jembrana
ditaklukan oleh Mengwi, sangat tunduk dan bakti terhadap Mengwi dan
sering menghadap bersama putranya. Sangat berbahagia dan sejahtera.