Kabupaten Pati, merupakan sebuah kabupaten yang berada di Provinsi Jawa
Tengah. Ibukotanya adalah kota Pati. Kabupaten ini berbatasan dengan
Laut Jawa di utara, Kabupaten Rembang di timur, Kabupaten Blora dan
Kabupaten Grobogan di selatan, serta Kabupaten Kudus dan Kabupaten
Jepara di barat.
Sejarah Kabupaten Pati berpangkal tolak dari beberapa gambar yang
terdapat pada Lambang Daerah Kabupaten Pati yang sudah disahkan dalam
Peraturan Daerah No. 1 Tahun 1971 yaitu Gambar yang berupa: "keris
rambut pinutung dan kuluk kanigara".
Menurut cerita rakyat dari mulut ke mulut yang terdapat juga pada kitab
Babat Pati dan kitab Babat lainnya dua pusaka yaitu "keris rambut
pinutung dan kuluk kanigara" merupakan lambang kekuasan dan kekuatan
yang juga merupakan simbul kesatuan dan persatuan.
Barangsiapa yang memiliki dua pusaka tersebut, akan mampu menguasai dan
berkuasa memerintah di Pulau Jawa. Adapun yang memiliki dua pusaka
tersebut adalah Raden Sukmayana penggede Majasemi andalan Kadipaten
Carangsoka.
Kota Pati terletak di daerah Pantura (Pantai Utara) dekat dengan laut
utara pulau jawa. kota ini terdiri lebih dari 20 kecamatan, diantaranya
adalah kecamatan Gabus, Tambakromo, Winong, dan lainnya.
Kota Pati termasuk dalam eks karisidenan yang meliputi wilayah kudus,
jepara, blora. kota ini masih berada di wilayah propinsi Jawa Tengah.
kegiatan yang di lakukan masyarakat kota pati beragam, ada yang
berprofesi sebagai petani, nelayan, pns, buruh, ada juga masyarakat yang
berprofesi sebagai paranormal, bahhkan untuk profesi tersebut sudah di
akui oleh masyarakat indonesia, ataupun masyarakat dunia khususnya di
asia.
Situs-situs peninggalan masyarakat terdahulu masih menyimpan misteri
untuk dapat di ungkapkan. hal ini terjadi karena dulunya wilayah pati
merupakan daerah kerajan majapahit dan mataram.
Sejarah kota Pati
Kota Pati pada zaman dahulu merupakan sebuah kerajaan sendiri, yang pada
waktu ini menjadi daerah kekuasaan majapahit, dan kemudian di ambil
alih oleh mataram.
Di kota Pati terdapat situs-situs peninggalan zaman kerajaan, diantaranya :
Pintu Gerbang Majapahit
konon gerbang ini terjatuh ketika akan di bawa ke wilayah jawa timur
yang pada waktu itu menjadi pusat wilayah kerajaan majapahit.
Genuk Kemiri
Lokasi yang ditengarai bekas pusat pemerintahan Kadipaten Pati, sebelum
dipindahkan ke Kampung Kaborongan, Kelurahan Pati Lor hingga sekarang,
semula berupa tanah kosong yang banyak ditumbuhi pohon besar dan rumpun
bambu. Bagian depan masuk lokasi tersebut terdapat pohon beringin tua.
Punden Kemiri merupakan tempat keramat peninggalan nenek moyang.
Kemampuannya tidak hanya sebatas mampu memberi petunjuk gaib. Di lokasi
yang sama terdapat gentong kemiri berisi air. Konon air tersebut dapat
berubah-ubah menurut penglihatan masing-masing peziarah. Air tersebut
tentu saja menyimpan banyak khasiat. Kadangkala air di dalam gentong di
punden Kemiri terlihat penuh, sementara pada saat yang sama pengunjung
lainnya melihat air yang mulai menyusut.
Pemandangan yang berubah-ubah itu semakin menyakinkan para peziarah.
Ketika mereka mulai memasuki kawasan punden yang berada di Desa Kemiri,
Kecamatan Pati Kota, Kabupaten Pati ini merasakan adanya hawa mistis
yang meresap dalam sukma.“Tinggi rendahnya air itu menjelaskan takaran
rezeki seseorang,” terang juru kunci Punden Kemiri, Mbah Ahmad. Air dari
dalam gentong juga diyakini dapat menyembuhkan berbagai penyakit. Asal
usul Kabupaten Pati Keberadaan punden Kemiri sebagai tempat wingit
memang sudah lama diyakini warga.
Konon menurut cerita sejarah sebelum berdirinya kota Pati yang dipimpin
oleh Bupati Tombronegoro, pusat kekuasaan Pati masih berada di Desa
Kemiri. Pada saat itu kerajaan berbentuk perdikan masih bernama
Pesantenan dengan raja bernama Raden Kembangjoyo. Kata Pati dan
Pesantenan sendiri diambil dari nama bahan baku dawet Ki Onggo, penjual
dawet kepada Raden Kembangjoyo. Setelah peralihan kekuasaan dari
Kembangjoyo ke tangan Tombronegoro, lokasi pemerintahan dipindah dari
Desa Kemiri ke Desa Kauman dengan nama daerah menjadi Pati.
Meski telah berpindah sebagai pusat kekuasaan namun Desa Kemiri yang
juga menjadi tempat makam Eyang Kembangjoyo masih diyakini sebagai
tempat bersejarah yang menyimpan wingit.Selain makam eyang Kembangjoyo
di lokasi yang sama terdapat gentong Kemiri milik Ki Onggo yang juga
menjadi tempat menyimpan keris Rambut Pinutung dan Kuluk Kanigoro.
Menjadi tempat laku paranormal keberadaan punden Kemiri sebagai tempat
wingit memang diakui oleh kalangan paranormal/spiritualis
Kawasan itu mulai ditata dan diperindah, ketika masa Pemkab Pati dijabat
Bupati Sunardji. Selain dipasang tembok pembatas keliling, bekas
bangunan pendapa kabupaten juga dipindahkan ke lokasi tersebut, sehingga
pada setiap peringatan HUT Pati yang tiap tahun jatuh pada 7 Agustus,
pendapa
berfungsi sebagai tempat malam tirakatan.
Di belakang sisi utara pendapa terdapat cungkup mirip sebuah makam. Di
dalam bangunan itulah terdapat sebuah genuk (tempayan) yang dikenal
sebagai Genuk Kemiri yang kondisinya sudah tidak utuh lagi karena pecah.
Di lokasi genuk itu, biasanya dijadikan tempat orang untuk ngalap
berkah. Pada sisi belakang pendapa terdapat makam tua yang diyakini
warga sebagai makam sesepuh Kemiri. Sejak dipindahkan bekas bangunan
pendapa kabupaten, tempat tersebut bila malam tidak gulita karena diberi
penerangan listrik. Selain itu, Balai Desa Serirejo juga sudah
dipindahkan ke lokasi tersebut.
Pariwisata
Pariwisata di kota pati kebanyakan berupa keindahan yang di buat oleh
alam (dalam hal ini berupa goa) dan makam-makam yang di anggap keramat
oleh masyarakat sekitar. kekeramatan yang di padukan dengan unsur
keindahan terktur dapat menarik minat wisatawan dari daerah pati sendiri
atau bahkan dari luar kabupaten pati.
Obyek wisata yang sering di kunjungi oleh wisatawan ada tiga tempat,
diantaranya : Goa pancur yang berada di wilayah kecamatan Kayen, Goa
Cerawang yang berada di desa Todanan wilayah kecamatan Puncak Wangi, dan
Goa Lowo yang berada di wilayah kecamatan TambakRomo.
Dahulu Goa-goa tersebut masih rapi dan di kunjungi banyak wisatawan
sekarang jumlah wisatawan yang datang kesana hanya beberapa, dan
kebanyakan yang datang ke tempat tersebut mempunyai maksud dan tujuan
yang lain dari pada hanya menikmati pemandangan alam dan bentuk-bentuk
staklakmit saja. Goa-goa tersebut sekarang menjadi ajang untuk
mendapatkan pencerahan (masyarakat sekitar menyebutnya “wangsit”).
Tempat wisata yang sekarang masih menarik minat wisatawan yaitu di pulau
kecil di daerah kecamatan juwana, nama pulau tersebut adalah “Pulau
Seperempat”. Pulau itu dinamakan tersebut karena bentuknya yang unik
hanya berbentuk seperempat saja. Di pulau seperempat setiap tahunnya di
adakan upacara ucapan syukur kepada Yang Berkuasa atas alam, upacara itu
oleh masyarakat sekitar dinamakan “Sedekah Bumi”.
Wisata sejarah
Pati memiliki tempat wisata sejarah, yaitu:
Masjid Agung Pati, di Desa Puri
Pintu Gerbang Majapahit, di Desa Muktiharjo/Rondole
Petilasan Syech Jangkung, di Desa Jatimulyo
Wisata keluarga
Pati memiliki tempat wisata untuk keluarga, yaitu:
Juwana Water Fantasy, di DesaBumimulyo (Mujil)
Byar-Byur Water Park, di Desa Winong
Sendang Tirta Marta Sani, di DesaTamansari
Wisata religi
Pati memiliki tempat wisata ziarah, yaitu:
Makam Nyai Ageng Ngerang, di DesaTambakromo
Makam Syeh Jangkung (Saridin), DesaLandoh
Makam Mbah Tabek Merto, di DesaKajen
Makam Mbah Ahmad Mutamakkin, di Desa Kajen
Makam KH. Abdullah Salam (Mbah Dullah), di Desa Kajen
Makam KH. Sahal Mahfudh, di Desa Kajen
Makam KH. Suyuthi Abdul Qadir, di Desa Guyangan, Trangkil
Makam Mbah Ronggo Kusumo, di Desa Ngemplak Kidul, Margoyoso
Sejarah Atau Legenda Berdirinya Kabupaten Pati
Kevakuman Pemerintahan di Pulau Jawa
Menjelang akhir abad ke XIII sekitar tahun 1292 Masehi di Pulau Jawa
vakum penguasa pemerintahan yang berwibawa. Kerajaan Pajajaran mulai
runtuh, Kerajaan Singasari surut, sedang Kerajaan Majapahit belum
berdiri.
Di Pantai utara Pulau Jawa Tengah sekitar Gunung Muria bagian Timur
muncul penguasa lokal yang mengangkat dirinya sebagai adipati, wilayah
kekuasaannya disebut kadipaten.
Ada dua penguasa lokal di wilayah itu yaitu.
1. Penguasa Kadipaten Paranggaruda, Adipatinya bernama Yudhapati,
wilayah kekuasaannya meliputi sungai Juwana ke selatan, sampai
pegunungan Gamping Utara berbatasan dengan wilayah Kabupaten Grobogan.
Mempunyai putra bernama Raden Jasari.
2. Penguasa Kadipaten Carangsoka, Adipatinya bernama: Puspa Andungjaya,
wilayah kekuasaannya meliputi utara sungai Juwana sampai pantai Utara
Jawa Tengah bagian timur. Adipati Carangsoka mempunyai seorang putri
bernama Rara Rayungwulan
Kadipaten Carangsoka dan Paranggaruda Berbesanan awal sebuah tragedi
Pada suatu wilayah terdapatlah Kadipaten Paranggaruda punya hajat
mengawinkan putera satu-satunya yang bernama R. Jaseri atau lebih
terkenal dengan sebutan Menak Jasari dengan putri Adipati Carangsoko
bernama Dewi Ruyung Wulan. Menak Jasari adalah pemuda yang fisiknya
cacat, dan berwajah jelek. Hingga membuat Dewi Ruyung Wulan menolak
untuk didekatinya. Namun karena paksaan orang tua maka mau tidak mau
Dewi Ruyung Wulan harus menerima R. Jaseri sebagai suaminya.
Pesta perkawinan telah berlangsung, Dewi Ruyung Wulan yang sedang
bersedih, ia meminta pestanya harus diadakan pagelaran wayang yang
dimeriahkan wayang purwo (wayang kulit) dengan dalang Ki Soponyono yang
sangat terkenal sebagai dalang yang mampu membawakan beberapa karakter
tokoh yang ada dalam cerita Mahabarata dan Ramayana sehingga banyak
penonton yang terbius seolah cerita itu hidup.
Dalang Sapanyono kebingungan atas permintaan yang diajukan oleh Dewi
Ruyung Wulan, namun Hal ini hanyalah merupakan taktik dari Dewi untuk
mengulur-ulur pernikahan. Dan agar pernikahan ini dapat diggagalkan
sebab sebetulnya ia tidak mencintai R. Jasari calon suaminnya. Pernikhan
yang tidak dilandasi cinta akan menyakitkan dan dapat melemahkan
semangat untuk hidup berumah tangga.
Ia berpesan kepada Dalang Saponyono untuk mencari cerita pewayangan yang
mirip dengan cerita kisah sedihnya. Biar semua orang tahu rintihan hati
Dewi Ruyung Wulan.
Dalang Saponyono menjalankan tugas sebisanya. Karena merasa tertantang
untuk membawakan cerita wayang yang tidak sewajarnya, sebab lakon wayang
yang biasa dibawakan dalam acara pernikahan adalah wayang yang alur
ceritanya berakhir dengan kebahagiaan, namun kali ini dalang Sapanyono
harus membawakan wayang dengan cerita yang berakhir sedih. Hal ini pasti
mendapat protes sama penonton. Namun Bagaimanapun juga Dalang Soponyono
harus memantaskan sebab Dewi Ruyung Wulan tidak mau duduk di singgasana
pengantin kalau permintaannya tidak dituruti. Akhirnya dalang Soponyono
menuruti permintaan Dewi Ruyung Wulan, Ia ditemani oleh dua orang
adiknya yang cantik-cantik bernama Ambarsari dan Ambarwati yang
bertindak sebagai waranggano Swarawati
R. Jaseri hatinya berbunga-bunga dapat bersanding dengan Dewi Ruyung
Wulan di pelaminan. Air liur R. Jaseri selalu menentes bila melihat
kecantikannya. Tangannya mulai nakal mencolak-colek pipi Dewi Ruyung
Wulan. Sehingga membuatnya tidak nyaman. Tengah asyik-asyiknya pagelaran
berlangsung, terjadilah keributan yang ditimbulkan Dewi Rayung Wulan.
Ia lari dari pelaminan dan menjatuhkan diri di atas pangkauan Dalang
Saponyono, Dewi Ruyung Wulan telah hanyut dalam cerita Pewayangan, ia
terpesonan dan jatuh cinta kepada dalang Soponyono yang wajahnya lebih
tampan dan pandai memainkan cerita wayang daripada Raden Jaseri yang
selalu mengumbar nafsu birahinya.
“bawa aku lari kakang Soponyono, kalau tidak lebih baik aku mati saja!”
Hal ini tentu saja mengejutkan semua tamu yang hadir terutama orang tua
kedua mempelai. Ki Dalang sendiri juga terkejut dan takut, maka Ki
Dalang mengeluarkan kesaktiannya, untuk memadamkan semua lampu yang
berada di Kadipaten Carangsoko.
Keadaan yang gelap gulita itu, membuat panik yang hadir dalam perjamuan
tersebut, kesempatan ini dimanfaatkan Ki Saponyono melarikan diri
diikuti oleh kedua adiknya dan Dewi Ruyung Wulan.
Sang Adipati Carangsoko Puspo Handung Joyo sangat marah sekali. Ia
memanggil Patihnya Singopadu untuk segera mengatasi keadaan ini.
“Cepat perintahkan prajurit untuk menyalakan lampunya” para prajurit bergegas menyalakan lampunya.
Setelah lampu menyala, Raden Jaseri bergulung-gulung dilantai karena calon istrinya raib bersama Dalang Soponyono.
Adipati Paranggarudo memerintahkan patihnya Singopadu untuk segera
mepersiapkan prajurit, mengejar Dalang Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan.
Prajurit menyebar ke seluruh desa, memasuki rumah-rumah dengan tidak
sopan santun dan kasar, Rakyat Carangsoko menjadi ketakutan, mereka
berlari berhamburan menyelamatkan diri. Prajurit menggeledah semua rumah
penduduk barangkali mereka bersembunyi di dalam rumah penduduk dan
barang siapa berani melindungnya akan dihukum. Hal ini membuat Adipati
Puspo Handung Joyo kurang senang, yang dicari burunan Dalang Soponyono
bukan rumah rakyat yang dirusak. Adipati Paranggarudo tidak mau peduli,
yang penting adalah Soponyono harus ketangkap mati atau hidup. Karena
telah menghina kewibawaan Adipati Paranggarudo.
Ki Soponyono dan Dewi Ruyung Wulan yang disertai adik-adiknya berlari
terus menuju hutan, mereka berjalan mengikuti alur sungai. Ki Soponyono
juga mengadakan perlawanan kepada para pengejar walaupun sia-sia, karena
tidak seimbang jumlah pengejar dan yang dikejar. Keluar hutan masuk
hutan, Dewi Ruyung Wulan menanggalkan pakaian kebesaran, kemudian dia
menukarkan dengan baju penduduk setempat, mereka menyamar menjadi
penduduk desa, agar tidak menjadi perhatian penduduk.
Sampailah mereka di Dukuh Bantengan (Trangkil) wilayah Panewon Majasemi.
Panasnya Terik Matahari di siang hari membuat keempat orang tersebut
kehausan. Musim kemarau yang panjang membuat mata air kering sehingga
amat berharganya air. Mereka terus berjalan untuk mendapatkan seteguk
air. Mereka duduk di bawah pohon besar yang kering, setelah berlari
tanpa berhenti merupakan siksaan terlebih bagi ketiga orang putri
terutama dewi Rayungwulan yang tidak pernah bekerja berat dan berjalan
jauh. Rasa haus bagi ketiga putri tersebut sudah tak terhankan lagi,
untuk meneruskan perjalanannya sudah tidak mungkinkan lagi.
Karena hausnya mereka berlari mengejar daratan yang penuh dengan sumber
air setelah didekati ternyata hanya sebuah fatamorgana. Mereka berjalan
tertatih-tatih, sampailah mereka disebuah sawah yang sunyi tidak ada
sumurnya, dan sungai disekitarnya sudah kering karena kemarau panjang
itu. Melihat hal itu Ki Sapanyono sangat bingung hatinya karena akan
meminta air pada penduduk tidak berani, takut bertemu pengejarnya. Maka
jalan satu-satunya adalah mencuri semangka atau mentimun yang ada di
sawah tersebut.
Mereka tidak menyadari bahwa semua bergerak-geraknya diawasi dari jauh
oleh pemilik sawah yaitu adik dari Panewu Sukmoyono yang bernama Raden
Kembangjoyo. Berdasarkan laporan penduduk bahwa sawahnya sering dirusak
oleh binatang2 seperti kerbau, kancil. Namun kali ini Kembangjoyo kaget
ternyata yang selama ini yang merusak tanamannya bukan binatang tapi
manusia. Kembangjoyo memerintahkan anak buahnya untuk mengepung sawah
tersebut.
“Ternyata selama ini yang merusak tanaman-tanaman kami adalah kamu! Ya
maling! Tangkap” terjadilah perang antara Ki Soponyono dengan anak
buahnya Kembang Joyo, mereka semua dapat dilumpuhkan oleh Soponyono.
Akhirnya Kembang Joyo turun tangan mereka berdua bertarung ditengah
sawah. Dari kejauhan tiga putri itu bersembunyi menyaksikan pertarungan
tersebut, karena dianggap pasukan Paranggarudo. Namun tanpa daya Ki
Sopanyono melawan R. Kembangjoyo, karena Kembang Joyo lebih sakti dari
Ki Soponyono.
Ki Soponyono ditlikung kakinya, kemudian tangannya diikat dengan tali dadung.
“Saya mencuri karena terpaksa Ndoro”
“Yang namanya maling juga terpaksa semua”
Sejurus dengan itu keluarlah Dewi Ruyung Wulan beserta kedua adik Dalang Soponyono.
“lepaskan kakang Soponyono, yang kamu buru aku kan, aku boleh kamu bawa
asalkan Kakang Soponyono dilepaskan dahulu” Dewi Ruyung Wulan mengira
bahwa yang menangkap Dalang Soponyono adalah Pasukan Paranggarudo.
Kembang Joyo menjadi heran ternyata maling yang ditangkapnya membawa
tiga orang gadis yang cantik-cantik. Namun karena Kembang Joyo hanya
ditugaskan untuk menjaga sawah milik kakaknya, makanya ia tetap
merangket keempat orang tersebut.
Mereka berempat menjadi tawanan R. Kembang Joyo, kemudian mereka
dihadapkan kepada Penewu Sukmoyono untuk diminta penjelasannnya. Ki
Soponyono memerkenalkan satu persatu kawan-kawannya. Selanjutnya ia
menceritakan semua kejadian-kejadian yang telah dialami, mengapa mereka
sampai di dikejar-kejar pasukan Parang Garudo, mereka terpaksa mencuri
semangka dan mentimun milik Raden KembangJoyo, karena kehausan dan
lapar. Mendengar penuturan Ki Soponyono tersebut Penewu Sukmayono merasa
kasihan dan tidak sampai hati untuk menjatuhi hukuman. Penewu Sukmayono
bersedia menampung dan melindungi mereka.
“Tinggal disini semaumu, masalah Paranggarudo biar kami yang akan
menghadapinya.” Sukmoyono mempersilahkan Dalang Soponyono, dan ketiga
putri untuk beristirahat dahulu.
Sebagai rasa terima kasih yang tak terhingga atas segala kebaikan
Sukmoyono, Ki Saponyono mempersembahkan kedua adiknya kepada Sang Penewu
untuk dijadikan hambanya. Persembahan tersebut diterima dengan senang
hati. Akhirnya Ambarsari diperistri oleh Penewu sebagai selir, sedangkan
Ambarwati diberikan kepada R. kembang Joyo untuk dijadikan istrinya.
Sedangkan Dewi Ruyung Wulan akan dikembalikan kepada bapaknya Adipati
Carang Soko, Puspo Handung Joyo.
Yuyu Rumpung pembesar dari Kemaguhan yang juga merupakan anak buah
Paranggarudo tahu kalau keris Rambut Pinutung dengan Kuluk Kanigoro
adalah pusaka hebat yang dimiliki Sukmoyono. Yuyu Rumpung memerintahkan
anak buahnya. Yang bernama Sondong Majeruk untuk mengambil kedua pusaka
tersebut. Akan tetapi sebelum dapat diserahkan kepada Yuyu Rumpung sudah
dapat diketahu Sondong Makerti sehingga terjadi pertempuran, Sondong
Majeruk kelehan kehabisan tenaga hingga mau mati, keris Rambut Pinutung
yang dibawa Sondong Makerti berhasil menusuk perut Sondong Majeruk
hingga tewas. Selamatlah keris Rambut Pinutung tidak bisa dibawa oleh
Sondong Majeruk. Yuyu Rumpung murka kemudian memerintahkan segera
menyerbu Majasemi bergabung dengan Pasukan Yudhopati dengan patih
Singopati.
Sementera itu para prajurit Parang Garudo masih saja melakukan
pengejaran dan penggeledahan di rumah-rumah penduduk. Sampailah mereka
di Majasemi. Betapa marahnya Adipati Yudhopati ketika mendapat laporan
bahwa buronan Dalang Soponyono, Dewi Ruyung Wulan bersama kedua adik
Soponyono berada Di Majasemi mereka dilindungi oleh Penewu Sukmayono.
Maka terjadilah pertempuran yang sangat seru banyak korban yang
berjatuhan, juga Ki Penewu Sukmoyono gugur dalam pertempuran itu.
Mendengar Penewu Sukmayono gugur, Raden Kembangjoyo mengamuk dengan
memegang keris Rambut Pinutung dengan kuluk Kanigoro menghancurkan
Pasukan Paranggarudo. Mereka dibantu oleh pasukan Carangsoko,
pertempuran dahsyat antara Patih Singopati dengan Patih Singopadu,
memporsir energi sehingga keduanya gugur di medan laga. Pertempuran di
Majasemi berakhir dengan membawa banyak korban.
Ki Saponyono mengantarkan Dewi Ruyung Wulan bersama-sama dengan Raden
Kembangjoyo. Sebagai ucapan terima kasih, Dewi Ruyung Wulan diberikan
kepada Raden Kembang Joyo untuk dijadikan istrinya, karena Kembang Joyo
berhasil mengalahkan Yudho Pati adipati Paranggarudo kemudian ia menetap
di Carangsoko menggantikan Puspo Handung Joyo sebagai pemimpin
Kadipaten.
Ia juga diangkat menjadi Adipati setelah menggabungkan tiga kadipaten
yaitu Paranggarudo, Carangsoko dan Majasemi menjadi satu kadipaten Pati
Peleburan itu telah menciptakan kerukunan dari tiga kadipaten yang
bertikai, untuk lebih memantapkan dalam memimpin kadipaten, ia mengajak
Dalang Soponyono untuk memperluas wilayah kekuasaannya, dan mencari
lokasi yang baik sebagai pusat pemerintahan, raden Kembangjaya dan Raden
Sopanyono menuju hutan Kemiri, dan segeralah hutan tersebut dibabat
untuk Kadipaten/pusat pemerintahan.
Alas (Hutan) Kemiri dihuni oleh beberapa binatang Singa, Gajah dan
binatang buas lainnya, selain itu juga dihuni oleh kerajaan siluman,
Kembang Joyo dan Dalang Soponyono bahu membahu melawan kerajaan Siluman
tersebut. Akhirnya dengan kesaktian Kembang Joyo pemimpin Siluman
menyerah. Untuk menangkal makhluk-makluk halus Dalang Sopoyono selamatan
dengan memainkan wayang di hutan Kemiri. Sirnalah pemimpin Siluman
beserta anak buahnya lari dari hutan kemiri.
Esok harinya Kembang Joyo dan Dalang Soponyono beserta parajurit
Carangsoko melanjutkan pekerjaannya membuka Hutan Kemiri menjadi
perkampungan, ditengah mereka sedang membuka hutan datanglah seorang
laki-laki memikul gentong yang berisi air.
“Berhenti kisanak!, siapa namamu dan apa yang sedang kau pikul itu?”
“Saya Ki Sagola, yang gentong yang kupikul ini berisi Dawet, aku terbiasa berjualan lewat sini.”
“Dawet itu minuman apa?, coba saya minta dibuatkan, prajurit-prajurit saya ini juga dibuatkan!
“ Kenapa hutan ini kok ditebangi?, kasihan para binatang pada lari ke gunung?”
“Kami sedang membuka hutan ini untuk perkampungan baru, agar kelak dapat
menjadi kota raja yang makmur, gemah ripah loh jinawi, sebab derah kami
dulu sudah tidak memungkinkan kita tempati akibat perang Saudara”
Raden Kembang Joyo merasa terkesan akan minuman Dawet yang manis dan
segar, maka ia bertanya pada Ki Sagola tentang minuman yang baru
diminumnya. Ki Sagola menceritakan bahwa minuman ini terbuat dari Pati
Aren yang diberi Santan kelapa, gula aren/kelapa.
Mendengar jawaban itu Raden Kembang Joyo terispirasi, kelak kalau
pembukaan hutan ini selesai akan diberi nama Kadipaten Pati-Pesantenan.
Dalam perkembangannya Kadipaten Pati-Pesantenan menjadi makmur gemah
ripah loh jinawi dibawah kepemimpinan Kembang Joyo.
Kadipaten Pesantenan
Untuk mengatur pemerintahan yang semakin luas wilayahnya ke bagian
selatan, Adipati Raden Kembang Joyo memindahkan pusat pemerintahannya
dari Carangsoka ke Desa Kemiri dengan mengganti nama " Kadipaten
Pesantenan dengan gelar " Adipati Jayakusuma di Pesantenan.
Adipati Jayakusuma hanya mempunyai seorang putra tunggal yaitu " Raden
Tambra ". Setelah ayahnya wafat, Raden Tambra diangkat menjadi Adipati
Pesantenan, dengan gelar " Adipati Tambranegara ". Dalam menjalankan
tugas pemerintahan Adipati Tambranegara bertindak arif dan bijaksana.
Menjadi songsong agung yang sangat memperhatikan nasib rakyatnya, serta
menjadi pengayom bagi hamba sahayanya. Kehidupan rakyatnya penuh dengan
kerukunan, kedamaian, ketenangan dan kesejahteraannya semakin meningkat.
Kabupaten Pati
Untuk dapat mengembangkan pembangunan dan memajukan pemerintahan di
wilayahnya Adipati Raden Tambranegara memindahkan pusat pemerintahan
Kadipaten Pesantenan yang semula berada di desa Kemiri menuju ke arah
barat yaitu, di desa Kaborongan, dan mengganti nama Kadipaten Pesantenan
menjadi Kadipaten Pati.
Dalam prasasti Tuhannaru, yang diketemukan di desa Sidateka, wilayah
Kabupaten Majakerta yang tersimpan di musium Trowulan. Prasasti itu
terdapat pada delapan Lempengan Baja, dan bertuliskan huruf Jawa kuna.
Pada lempengan yang keempat antara lain berbunyi bahwa : ..... Raja
Majapahit, Raden Jayanegara menambah gelarnya dengan Abhiseka Wiralanda
Gopala pada tanggal 13 Desember 1323 M. Dengan patihnya yang setia dan
berani bernama Dyah Malayuda dengan gelar "Rakai", Pada saat pengumuman
itu bersamaan dengan pisuwanan agung yang dihadiri dari Kadipaten pantai
utara Jawa Tengah bagian Timur termasuk Raden Tambranegara berada di
dalamnya.
Pati Bagian dari Majapahit
Raja Jayanegara dari Majapahit mengakui wilayah kekuasaan para Adipati
itu dengan memberi status sebagai tanah predikan, dengan syarat bahwa
para Adipati itu setiap tahun harus menyerahkan Upeti berupa bunga.
Bahwa Adipati Raden Tambranegara juga hadir dalam pisuwanan agung di
Majapahit itu terdapat juga dalam Kitab Babad Pati, yang disusun oleh
K.M. Sosrosumarto dan S.Dibyasudira, diterbitkan oleh Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, 1980. Halaman 34, Pupuh
Dandanggula pada : 12 yang lengkapnya berbunyi : ..... Tan alami
pajajaran kendhih, keratonnya ing tanah Jawa angalih Majapahite, ingkang
jumeneng ratu, Brawijaya ingkang kapih kalih, ya Jaka Pekik wasta,
putra Jaka Suruh, Kyai Ageng Pathi nama, Raden Tambranegara sumewa
maring Keraton Majalengka.
Artinya Tidak lama kemudian Kerajaan Pajajaran kalah, Kerajaan Tanah
Jawa lalu pindah ke Majapahit, adapun yang menjadi rajanya adalah
Brawijaya II, yaitu Jaka Pekik namanya, putranya Jaka Suruh. Pada waktu
itu Kyai Ageng Pati, yang bernama Tambranegara menghadap ke Majalengka,
yaitu Majapahit.
Berdasarkan hal tersebut, jelaslah bahwa Raden Tambranegara Adipati Pati
turut serta hadir dalam pisowanan agung di Majapahit. Pisowanan agung
yang dihadiri oleh Raden Tambranegara ke Majapahit pada tanggal 13
Desember 1323, maka diperkirakan bahwa pindahnya Kadipaten Pesantenan
dari Desa Kemiri ke Desa Kaborongan dan menjadi Kabupaten Pati itu pada
bulan Juli dan Agustus 1323 M (Masehi). Ada tiga tanggal yang baik pada
bulan Juli dan Agustus 1323 yaitu : 3 Juli, 7 Agustus dan 14 Agustus
1323.
Hari Jadi Pati
Kemudian diadakan seminar pada tanggal 28 September 1993 di Pendopo
Kabupaten Pati yang dihadiri oleh para perwakilan lapisan masyarakat
Kabupaten Pati, para guru sejarah SMA se Kabupaten Pati, Konsultan,
Dosen Fakultas Sastra dan Sejarah UNDIP Semarang, secara musyawarah dan
sepakat memutuskan bahwa pada tanggal 7 Agustus 1323 sebagai hari
kepindahan Kadipaten Pesantenan di Desa Kemiri ke Desa Kaborongan
menjadi Kabupaten Pati.
Tanggai 7 Agustus 1323 sebagai HARI JADI KABUPATEN PATI telah ditetapkan
dalam Peraturan Daerah Kabupaten Pati Nomor : 2/1994 tanggal 31 Mei
1994, sehingga menjadi momentum Hari Jadi Kabupaten Pati dengan surya
sengkala " KRIDANE PANEMBAH GEBYARING BUMI " yang bermakna " Dengan
bekerja keras dan penuh do'a kita gali Bumi Pati untuk meningkatkan
kesejahteraan lahiriah dan batiniah ". Untuk itu maka setiap tanggal 7
Agustus 1323 yang ditetapkan dan diperingati sebagai "Hari Jadi
Kabupaten Pati"