SALAH satu kosa kata yang cukup populer di kalangan masyarakat Indonesia
adalah kyaiatau kiai. Biasanya, sebutan kyai dilekatkan kepada sosok
yang dianggap paham ilmu agama (ulama), dan diharapkan bisa menjadi
tokoh panutan. Bagi masyarakat Jawa, sebutan kyai selain dilekatkan
kepada tokoh ulama, juga untuk dilekatkan pada benda pusaka, hewan yang
dianggap keramat, makhluk halus, dan sebagainya.
Berbeda dengan masyarakat Jawa, bagi masyarakat Banjar (Kalimantan
Selatan), sebutan kyai sama sekali tak ada hubungannya dengan ulama,
tetapi merupakan gelar bagi kepala distrik (jabatan setingkat wedana di
Jawa). Sedangkan di Sumatera Barat, sebutan kyai dilekatkan kepada sosok
etnis cina yang sudah tua (cino tuo), sama sekali tidak ada hubunganya
dengan ulama dan sebagainya.
Saat ini, sebutan kyai yang banyak dijumpai adalah Kyai Maja, Kyai
Langgeng, Kyai Kanjeng, Kyai Slamet, Kyai Sengkelat, Kyai Semar, Kyai
Sapu Jagad, Kyai Petruk, Kyai Sadrach, dan sebagainya. Bahkan ada juga
sebutan Kyai Cabul, Kyai Pajero, dan Kyai Liberal yang berkonotasi
olok-olok terhadap sosok manusia penjual agama.
Kyai Maja
Mungkin bagi sebagian anak muda masa kini, nama Kyai Maja (Kyai Mojo)
hanya dikenal sebagai nama jalan di kawasan tertentu. Nama asli Kyai
Maja adalah Muslim Mochammad Khalifah. Karena keaktifannya mengelola
pesantren di kawasan Maja (Mojo), meneruskan kiprah ayahnya, maka ia
lebih dikenal dengan panggilan Kyai Maja.
Kyai Maja lahir tahun 1782 dan wafat pada tanggal 20 Desember 1849 dalam
usia 57 tahun. Ayahnya bernama Iman Abdul Arif, seorang ulama terkenal
pada masa itu di dusun Baderan dan Modjo, juga memiliki alur keturunan
dari kerajaan Pajang. Sedangkan ibunya bernama R. A. Mursilah, adik
perempuan HB III dan masih bersaudara sepupu dengan Pangeran Diponegoro.
Pangeran Diponegoro mengangkat Kyai Maja sebagai penasehat agama
sekaligus Panglima Perang. Ketika berlangsung Perang Diponegoro
(1825-1830), Kyai Maja ikut andil melawan Belanda. Sampai akhirnya pada
tanggal 17 Nopember 1828 Kyai Maja ditangkap di dusun Kembang Arum, Jawa
Tengah. Setelah dibawa ke Batavia, Kyai Maja dibuang ke Tondano,
Minahasa, Sulawesi Utara.
Kehadiran Kyai Maja dan pengikutnya di Tondano mendorong terbentuknya
Kampung Jawa, dan melahirkan entitas Jaton (Jawa Tondano), karena hampir
seluruh pengikut Kyai Maja yang dibuang ke Tondano menikah dengan
wanita setempat. Keberadaan mereka bisa dilihat dari nama keluarga (fam)
yang disandang di belakang nama diri, seperti Pulukadang, Modjo,
Baderan, Zess, Kyai Demak, Suratinoyo, Nurhamidin, Djoyosuroto,
Sutaruno, Kyai Marjo, dan lain-lain.
Kyai Petruk
Selain Kyai Sapu Jagad, masih ada delapan sosok lain yang dipercaya
sebagai penunggu Merapi. Salah satunya, Kyai Petruk. Sebagian masyarakat
Jawa percaya, Kyai Sapu Jagad adalah penunggu kawah Merapi yang menjadi
penentu meledak-tidaknya gunung tersebut. Sedangkan Kyai Petruk
mengemban tugas sebagai pemberi wangsit mengenai saat meletusnya Merapi,
termasuk memberi kiat-kiat tertentu kepada penduduk agar terhindar dari
ancaman bahaya lahar panas Merapi.
Konon, Kyai Petruk merupakan anak dari seorang petinggi di Kecamatan
Cepogo (Boyolali, Jawa Tengah), dengan nama asli Handoko Kusumo. Karena
postur Handoko mirip tokoh pewayangan Petruk, maka ia dipanggil dengan
sebutan Kyai Petruk.
Sejak kecil, Handoko dikenal sebagai sosok yang gemar menolong. Handoko
juga dipercaya punya kesaktian, berkat ketekunannya bertapa. Dengan
kesaktiannya itu, masyarakat sekitar Merapi percaya bahwa Kyai Petruk
dapat memberikan perlindungan kepada masyarakat di sekitar Merapi dari
bahaya erupsi.
Masyarakat sekitar Merapi juga percaya bahwa Kyai Petruk meninggal
melalui prosesmukswo atau moksa (hilang tanpa meninggalkan raga) di
gunung Merapi saat serius bertapa. Untuk mengenang Kyai Petruk,
masyarakat sekitar Merapi setiap malam 1 Suro mengadakan acara Sedekah
Gunung yang salah satu rangkaian acaranya adalah larung sesaji, berupa
tumpeng sesaji, nasi gunung yang dibuat dari jagung, dan sebagainya,
termasuk dupa kemenyan, dan tak lupa kepala kerbau.
Itu semua adalah upacara sesajen atau sesaji alias penyembahan kepada selain Allah Ta’ala. Itulah kemusyrikan nyata
Kyai Slamet
Bagi yang belum paham, sebutan Kyai Slamet boleh jadi akan membangkitkan
imajinasi tentang sesosok manusia yang berilmu (agama) tinggi, arif,
sepuh dan bergiat di pondok pesantren. Sayangnya, imajinasi itu salah
kaprah. Karena, Kyai Slamet yang dimaksud di sini adalah salah satu
benda pusaka Keraton Kasunanan Surakarta berupa hewan kerbau dengan
sebutan Kyai Slamet.
Pada umumnya, kerbau atau kebo berwarna hitam legam. Namun kerbau yang
satu ini berwarna agak putih kemerahan seperti kulit orang bule,
sehingga disebut Kebo Bule. Bersama sejumlah pusaka keraton lainnya,
Kyai Slamet biasanya diarak berkeliling (kirab) dalam rangka menyambut
datangnya Tahun Baru Jawa 1 Suro (1 Muharram). Tradisi ini, sudah ada
sejak masa pemerintahan Pakubuwono (PB) IX, sebagai salah satu upaya
raja untuk melegitimasi kekuasaannya.
Karena Kyai Slamet merupakan pusaka Keraton Kasunanan Surakarta, maka ia
mendapatkan hak istimewa dari warga Surakarta (Solo). Misalnya, tidak
ada yang berani mengusir Kyai Slamet saat ia memakan tanaman padi milik
petani atau sayuran milik pedagang. Bahkan ada sebagian dari mereka yang
justru merasa senang ketika tanaman atau dagangannya dimakan Kyai
Slamet. Juga, bila Kyai Slamet buang kotoran, misalnya saat kirab
berlangsung, maka kotorannya menjadi rebutan warga.
Tradisi kirab benda pusaka keraton ini, termasuk Kyai Slamet, menelan
biaya tidak sedikit. Pada tahun 2010 lalu, biaya kirab Kyai Slamet dan
pusaka keraton lainnya mencapai Rp 200 juta. Sebesar Rp 40 juta
diantaranya, diperoleh dari sumbangan Pemerintah Provinsi (Pemprov).
Uang sebanyak itu, digunakan untuk membawa kerbau jalan-jalan?
Ternyata mereka kalah pinter dibanding Gayus Tambunan. Dengan uang
ratusan juta, gayus bisa menyogok sipir penjara untuk mendapatkan
kebebasan ilegal. Atau, membawa anak-istrinya jalan-jalan ke Bali dan ke
luar negeri dengan identitas palsu.
Sama-sama pelanggarannya, namun manusia di Indonesia berbeda dalam
menyikapinya. Bukan lantaran mau membela Gayus, tetapi kenapa Gayus yang
menyogok sipir penjara dipersoalkan secara nasional, dan semua orang
tahu bahwa itu adalah pelanggaran; sementara itu ketika uang untuk
kemubadziran bahkan upacara yang rawan kemusyrikan seperti melepas
kerbau bule (Kyai Slamet) untuk jalan-jalan di malam 1 Suro (Muahhram)
dengan dibiayai ratusan juta rupiah itu tidak dipersoalkan dan tidak
disalahkan? Juga aneka upacara kemusyrikan yang dibiayai Pemerintah
Daerah di mana-mana, padahal itu jelas-jelas merusak keimanan Ummat
Islam, masih pula menguras duit (dari Ummat Islam pula), tetapi tidak
dipersoalkan? Padahal secara perhitungan bahaya dan dosa, sama sekali
jauh lebih berbahaya dan berdosa yang upacara-upacara kemusyrikan di
mana-mana itu. Sekali lagi ini sama sekali bukan mendukung Gayus, tetapi
ayo sama sama disalahkan. Gayus dan lain-lain yang melanggar ya mesti
dihukum, sedang penyelewengan (istilahnya penggunaan) dana untuk
upacara-upacara kemusyrikan entah itu larung laut, sedekah bumi, labuh
sesaji ke Gunung Merapi dan sebagainya yang pada hakekatnya merusak
keyakinan Ummat Islam itu wajib pula dihukum dan dihentikan. Karena itu
lebih dari sekadar penyelewengan tetapi bahkan penyelewengan sekaligus
penyesatan dan penghancuran keimanan.
Kyai Sadrach
Bagi sebagian masyarakat yang terlanjur mempersepsikan sebutan kyai
dengan ulama agama Islam, boleh jadi akan kecele. Sebab, kyai yang satu
ini adalah murtadin (orang murtad, keluar dari Islam) yang aktif
menyebarkan agama Kristen sembari membiarkan tradisi Jawa larut dalam
ajaran Kristen. Diperkirakan, ia lahir di Jepara pada tahun 1835, dan
meninggal dunia pada 14 November 1924 dalam usia 89 tahun.
Anak petani miskin yang pernah menjadi pengemis ini, bernama asli Radin.
Ketika ia belajar di salah satu pesantren di Jombang (Jawa Timur),
namanya menjadi Radin Abas. Dari Jombang, Radin Abas berkelana ke
Semarang. Di sinilah awal kekristenan Radin Abas bermula. Ada dua versi
mengenai hal ini.
Versi pertama, di Semarang Radin bertemu dengan seorang penginjil
bernama Hoezoo, kemudian Radin Abas pun ikut kelas Katekisasi yang
diajar oleh Hoezoo. Di tempat inilah Radin berkenalan dengan Kyai
Ibrahim Tunggul Wulung yang sudah sepuh, dan sudah lebih dulu murtad.
Kebetulan, ia berasal dari daerah yang sama dengan Radin, yaitu daerah
Bondo Karesidenan Jepara. Semenjak perkenalan tersebut, Radin menjadi
murid Tunggul Wulung.
Versi kedua, di Semarang Radin bertemu dengan Kurmen alias Sis Kanoman,
bekas gurunya. Ternyata, saat itu Kurmen sudah masuk Kristen melalui
Kyai Ibrahim Tunggul Wulung. Radin Abas pun diperkenalkan Kurmen kepada
Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dan Radin berguru kepadanya. Akhirnya,
Radin dibawa ke Batavia oleh Kyai Ibrahim Tunggul Wulung, dibaptis
dengan nama Sadrach pada tanggal 14 April 1867, ketika usianya menginjak
angka 32 tahun. Sejak saat itu, Radin alias Sadrach menjadi anggota
gereja Zion Batavia yang beraliran Hervormd. Tugas pertamanya,
menyebarkan brosur dan buku-buku tentang agama Kristen dari rumah ke
rumah di seputar Batavia.
Sadrach yang pernah belajar di pesantren, meski sudah murtad tetap
menempelkan atribut kyai di depan namanya, tentu bukan tanpa maksud. Dua
tahun kemudian (1869) Sadrach diangkat anak oleh Pendeta
Stevens-Philips yang saat itu berdomisili di Purworejo. Setahun di
Purworejo, Sadrach kemudian pindah ke Karangjasa yang berjarak sekitar
25 kilometer dari Purworejo. Di Karangjasa, Sadrach semakin giat
menyebarkan agama Kristen. Antara lain ia berhasil mengkristenkan Kyai
Ibrahim yang tinggal di Sruwoh, tak jauh dari Karangjasa, dan Kyai
Kasanmetaram.
Geliat Sadrach mengkristenkan kaum pribumi, memberi hasil yang jauh
lebih banyak dibanding misionaris Belanda. Bahkan di Purworejo, jumlah
orang Kristen Jawa pernah melampaui jumlah orang Kristen Belanda, berkat
keuletan Sadrach. Keberhasilan Sadrach terutama karena ia menerapkan
strategi yang jitu. Yaitu, hanya melakukan kristenisasi di
wilayah-wilayah yang kadar keislamannya masih relatif rendah, yang masih
bercampur dengan budaya animisme dan Hindu. Juga, ia menggabungkan
ajaran Kristen dengan budaya Jawa seperti Yesus Kristus yang
diasosiasikan dengan Ratu Adil. Yang lebih menarik, Sadrach tetap
mempertahankan tradisi kejawen dalam masyarakat dengan memasukkan
berbagai doa Kristen ke dalamnya.
Meski dinilai berprestasi mengkristenkan kaum pribumi, namun Sadrach
tetap saja orang Jawa yang mendapat perlakuan diskriminatif dari kaum
kristen Belanda. Bagi sebagian kristen Jawa, sosok Sadrach tidak saja
diposisikan sebagai guru, bahkan ada yang menganggapnya Ratu Adil di
tanah Jawa. Sementara itu, bagi para misionaris (kristen Belanda),
Sadrach hanyalah kyai Jawa yang ambisius dan gila hormat. Selain itu,
Sadrach dituduh sebagai sumber sinkretisme antara nilai Kristen dan
kejawen.
Kalangan kristen Belanda memandang Sadrach hanya sebagai asisten Pendeta
Stevens-Philips. Sehingga, seluruh keberhasilan Sadrach mengkristenkan
kaum pribumi dianggap sebagai kerja keras Pendeta Stevens-Philips dan
keluarganya. Oleh karena itu mereka menganggap jemaat-jemaat Sadrach
berada di bawah hegemoni Pendeta Stevens-Philips. Puncaknya, pada tahun
1891 dikeluarkan pernyataan bersama para misionaris (kristen Belanda)
untuk memisahkan diri dari jemaat Sadrach. Bahkan, Sadrach sempat
ditangkap dan dipenjara oleh Pemerintah Belanda. Alasannya, Sadrach
dianggap sebagai ancaman yang potensial melakukan perlawanan terhadap
pemerintahan Belanda, karena memiliki pengaruh kuat di kalangan pribumi.
Beberapa bulan kemudian Sadrach dibebaskan.
Begitulah nasib sang Kyai murtad yang kemudian bernama lengkap Radin
Abas Sadrach Supranata. Meski sudah murtad dan aktif mengkristenkan
kalangan pribumi, ia tetap dipandang sebagai orang Jawa yang
kedudukannya lebih rendah dari orang Belanda. Ibarat kata pepatah,
sepandai-pandai tupai melompat, tetap saja tak bisa jadi atlit. Apalagi
ikut Olimpiade.
Di dunia nasibnya celaka, dan di akherat karena murtadnya dari Islam itu
maka kekal di neraka. Itu sudah tegas dinyatakan Allah Ta’ala:
وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ
فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآَخِرَةِ
وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ [البقرة/217]
Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati
dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan
di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di
dalamnya.(QS. Al-Baqarah [2] : 217).
Nasib celaka di dunia dan akherat walau julukannya masih tetap kyai itu
hendaknya menjadi pelajaran yang sangat berharga bagi setiap Muslim.
Lebih-lebih orang-orang yang mengaku Muslim namun liberal (walau Kyai),
hendaknya becermin pada bencana hidup yang dialami Kyai Sadrach yang
sudah mengorbankan agamanya (Islam) namun tetap di dunia saja tidak
diakui oleh Belanda “jasa-jasanya”, sedang adzab Allah di akherat kelak
telah jelas akan menimpanya selama-lamanya, kekal di dalam neraka.
Na’udzubillahi min dzalik, kami berlindung kepada Allah dari hal yang
demikian.
Dari bahan bacaan maupun kenyataan di masyarakat, sebutan kyai terbukti
belum tentu sebagai julukan untuk orang yang alim agama dan akhlaqnya
bagus. Bahkan ada yang berupa binatang atau benda. Sedang muatannya pun
bermacam-macam. Ada yang baik, ada yang buruk, ada yang menuntun manusia
kepada keimanan yang benar, ada yang menyebarkan kemaksiatan tapi
seolah agamis, ada yang menyesatkan, dan bahkan ada yang murtad.
Sehingga tidak mengherankan bila kelak di akherat isi neraka itu di
antaranya adalah Kyai-kyai, bahkan ada yang kekal di neraka karena telah
murtad dari Islam. Sedang julukan kyai-nya walaupun masih melekat namun
sama sekali tidak ada nilainya apa-apa. Kecuali bagi kyai yang memang
benar-benar beriman dan beramal shalih, maka tentu saja Allah tidak akan
menyia-nyiakan kebaikannya yang dilandasi iman. Dan itu tercakup dalam
ayat:
إِنَّ الَّذِينَ آَمَنُوا وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ كَانَتْ لَهُمْ
جَنَّاتُ الْفِرْدَوْسِ نُزُلًا (107) خَالِدِينَ فِيهَا لَا يَبْغُونَ
عَنْهَا حِوَلًا [الكهف/107، 108]
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, bagi mereka
adalah surga Firdaus menjadi tempat tinggal, mereka kekal di dalamnya,
mereka tidak ingin berpindah dari padanya. (QS. Al-Kahfi [18]: 107-108)
Beriman di situ disyaratkan dengan tidak bercampur dengan kemusyrikan.
Dalam pembahasan ini di antara kemusyrikan itu adalah menyembah kuburan
dengan kedok ziarah ke kubur-kubur wali dan orang shaleh, dengan cara
meminta kepada isi kubur sebagaimana difatwakan kemusyrikannya dalam
fatwa di atas. Syarat iman tidak bercampur dengan kemusyrikan itu
ditegaskan dalam Al-Qur’an:
الَّذِينَ آَمَنُوا وَلَمْ يَلْبِسُوا إِيمَانَهُمْ بِظُلْمٍ أُولَئِكَ لَهُمُ الْأَمْنُ وَهُمْ مُهْتَدُونَ [الأنعام/82]
Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan
kezaliman (syirik), mereka itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu
adalah orang-orang yang mendapat petunjuk. (QS. Al-An’am [6] : 82).
Berwasilah itu diperbolehkan... akan tetapi tauhid dan keimanan harus
tetep dijaga dan di pertahankan... dan jgn asal ikut2an tanpa mengetahui
dasar2 ajaran nya.
Maka dari itu penulis sendiri tidak mau disebut dengan kata Kyai... karena Kyai belum tentu simbol iman dan keimanan.