Nama besar Merden sebagai Kota Kadipaten sekarang tinggal sejarah masa
lalu yang sudah tidak banyak diketahui oleh generasi sekarang. Semua
sudah musnah ditelan zaman. Tak sebuah pun peninggalan yang bisa
dipertahankan dari kebesaran masa lalu, semua telah hancur oleh
peperangan saudara yang tak kunjung padam, yang telah banyak membawa
korban jiwa raga, harta benda. Semua berakhir tanpa ada yang kalah dan
menang. Semua mengalami kehancuran peradaban sehingga kejayaan kejayaan
masa lalu yang terjadi di Merden hanya sepotong-sepotong melalui serita
babad yang disampaikan lewat kethoprak atau wayang golek, itupun sangat
fariatif tidak urut dan utuh penyampaiannya.
Yang memprihatinkan adalah tidak terpeliharanya peninggalan berharga
masa lalu sebagai dokumen penting sebagai data sejarah yang bisa
dipelajari. Benda pusaka kademangan, buku babad, telah hilang tidak
jelas keberadaanya. Yang masih menjadi saksi sekarang tinggal
makam-makam tua para pelaku sejarah masa lalu yang juga sudah tidak
begitu terawat.
Dari kondisi yang demikian penulis mencoba menghimpun data-data,
cerita-cerita rakyat, benda-benda pusaka dan peninggalan, petilasan dan
apa saja yang berkaitan dengan masa lalu Desa Merden. Penulis mencoba
mengumpulkan sekaligus mendokumentasikan barang tersebut untuk
melengkapi dan mendukung penulisan Babad Merden.
Harapan pemulis semua dapat tersusun menjadi sebuah buku yang lengkap
yang menyimpan peristiwa masa lalu, minimal buku tersebut mampu memberi
gambaran yang jelas dan lengkap akan sejarah kademangan Merden. Sehingga
generasi sekarang akan mudah mempelajari sejarah Merden.
Disamping itu, deengan tersusunnya buku Babad Merden orang jadi lebih
tahu dan mengerti akan eksistensi Merden sebagai desa tua bersejarah
dengan potensi Sumber Daya Alam dan Sumber Daya Manusia yang besar yang
bisa dikembangkan untuk kemajuan desa maupun Kabupaten Banjarnegara pada
umumnya.
Guna mendukung atau setidaknya memberi motivasi yang kuat terhadap upaya
untuk lebih mengoptimalkan peran masyarakat mengetahui dan memahami
akan sejarah Merden sehingga akan lahir kecintaan dan kesadaran untuk
membangun Merden ke depan yang lebih baik.
Penulisan peristiwa geger kademangan Merden yang kami rangkum dalam
judul Babad Kadipaten Merden, diupayakan untuk menyajikan urutan
kejadian atau peristiwa faktual yang saling berkait dan
berkesinambungan.
Menyadari adanya permaslahan yang dihadapi, maka dilakukan dengan
menggunakan wawancara, pengumpulan dokumen, petilasan-petilasan, cerita
rakyat (tutur tinular) dan informasi yang ada yang dapat dihimpun.
Untuk itu penulisannya di upayakan agar peristiwa atau kejadian terutama
yang menyangkut GEGER KADEMANGAN dapat disajikan dalam penulisan ini
dapat mewakili gambaran seluruh peristiwa penting yang terjadi pada
kademangan Merden sebelum dan sesudahnya.
Untuk memperkecil subyektifitas penulisan maka penulis mencari dan
memperbanyak sumber-sumber, data, informasi dan pakar, sejarah dan
budaya untuk mendukung penulisan buku ini antara lain:
1. Petilasan dan makan kuno, benda pusaka serta dokumen-dokumen tentang
babad Merden yang ada diperpustakaan Keraton Solo dan di masyarakat dll.
2. Para pakar sejarah di Banjarnegara, Purbalingga dan para pemerhati
budaya serta tokoh kesepuhan yang menguasai sejarah Merden.
3. Dengan sumber – sumber tersebut diatas setidaknya dapat memberikan dukungan terhadap penulisan Buku Babad Kadipaten Merden.
Dalam penulisan, lebih ditekankan pada pendekatan kronologis yang
menggambarkan proses trjadinya GEGER Kademangan Merden. Saat ini
sehingga metode penulisan lebih bersifat diskrptif analitis, sekalipun
ada bumbu yang berbau romantis, mistis, akan tetapi apa yang disajikan
mencakup data tentang kejadian atau peristiwa yang diperoleh dari sumber
yang patut memberikan gambaran yang obyektif tentang peristiwa yang
terjadi di Kademangan Merden.
Setelah Adipati Wirasaba VI Wargo Utomo I meninggal dunia Sultan
Hadiwijaya mengangkat Jaka Kaiman putra mantu Wargo Utomo I untuk
menjadi Adipati Wirasaba ke VII dengan gelar Wargo Utomo II.
Pada acara paseban agung Kabupaten Wirasaba Adipati Wargo Utomo II
mengumumkan kebijakannya yang sangat terpuji, yaitu membagi wilayah
kadipaten Wirasaba menjadi 4 wilayah kadipaten yang dibagikan pada
saudara-saudara iparnya, yaitu :
1. Daerah Wirasaba diserahkan kepada Ngabehi Wargi Wijaya putra No.3;
2. Daerah Merden dengan wilayah ex Kawedanan Purworejo Klampok, diserahkan pada Wiro Kusumo putra No. 2 alian Ki Gede Senon;
3. Daerah Banjar Petambakan diserahkan pada Wirayuda putra No. 4;
4. Daerah Kejawar dikuasai oleh Joko Kaiman (Wargo Utomo II). Daerah ini
merupakan cikal bakal Kabupaten Banyumas tahun 1585 dengan sebutan
Adipati Mrapat.
Putra kedua Ngabehi wirokusumo yang terkenal dengan nama Ki Gede Senon
tidak lama menetap di Merden, karena sudah merasa cocok di Senon
(Kecamatan Kemangkon Purbalingga)
MASA AWAL GEGER KADIPATEN MERDEN
RADEN SUTAWIJAYA
Dari ayah, R. Sutawijaya adalah cucu dari KRAD Cokro Wedono Bupati
Banyumas II yang menurunkan Raden Mas Cokro Atmojo dan kawin dengan RA
Bojati.
Dari Ibu R. Sutawijaya cucu Paku Buwono yang menurunkan KGPA Mangkubumi
dan menurunkan Raden Ajeng Bojati selanjutnya menurunkan Sutawijaya.
Raden Sutawijaya dapat istri anak Bupati Pasuruan yang dari kecil ikut
kakeknya Panembahan Heru Cokro di Pancamanis Nusakambangan yang termasuk
Guru Utama Raden Sutawijaya.
Setelah menikah Raden Sutawijaya diberi kekuasaan wilayah Kadipaten
Merden yang lama kosong tidak ada pemerintahan kecuali setingkat
kelurahan.
Raden Sutawijaya mulai membangun Merden dengan perencanaan yang cukup matang dari Tata Kota, ekonomi dan pemerintahan.
Dijantung Pemerintahan jalan dibuat 4 (empat) persimpangan, (Ke selatan
menuju Gombong, Ke utara menuju Banjarnegara, ke Barat menuju Banyumas,
Wirasaba, ke Timur menuju Kademangan Tampomas).
Di bidang industri Raden Sutawijaya mengundang ahli pande besi untuk
membuka usaha di Merden. Pasar pun dibangun sebagai pusat perdagangan
untuk wilayah kademangan Merden dan sekitarnya yang terkenal dengan
Pasar Setu.
Dan juga mengundang para ahli Bathik dari Banyumas yang sengaja
didatangkan oleh ayahandanya RM. Cokro Atmojo dari Banyumas, serta ahli
pembuat alat dapur yang dibuat dari tanah liat (kundi) dan kerajinan
dari bambu. Sisa-sisa kegiatan tersebut sampai sekarang masih ada.
Wilayah kademangan Merden adalah bekas kadipaten, saat itu sebelah barat
Purworejo Klampok, sebelah utara dibatasi Sungai Serayu, sebelah
selatan dibatasi Pegunungan Kendeng yang memisahkan Banjarnegara dan
Kebumen, sebelah timur sampai Gunung Tampomas.
Ditengah-tengah wilayahnya terdapat sungai Sapi yang mengalir jernih,
ikannya banyak dan sangat disukai para pejabat saat itu. Sungai Sapi
dijadikan sebagai mata pencaharian serta kegiatan MCK dll.
Sebelah selatan sungai Sapi merupakan daerah pegunungan yang banyak
menyimpan sumber daya alam antara lain : Batu Marmer, Feldspaar/Kreas
pasir putih, Asbes, Lempung (bahan campuran semen) dll.
Sebelah utara Sungai Sapi dibagian tepi merupakan tanah kering,
perumahan penduduk. Sebelah utaranya lagi sampai sungai serayu tanah
persawahan dan pertanian lainnya.
Masyarakatnya hidup damai, semangat gotong-royong dan kebersamaannya
sangat tinggi, dengan cara hidup yang sederhana, taat pada aturan
pemerintah, agama dan tradisi-tradisi lainnya.
Pada saat kademangan mengalami kemajuan dalam pembangunan, pemerintahan,
sektor ekonomi dan sosial budaya lainnya, orang-orang luar pun banyak
yang datang untuk tinggal sementara karena urusan perdagangan atau
sengaja menetap di Merden, sehingga kademangan Merden semakin hari
semakin ramai.
Ditengah-tengah ketenangan dan kedamaian suasana alam pedesaan dibawah
kepemimpinan Demang Sutawijaya tiba-tiba masyarakat dikejutkan oleh
informasi bahwa Raden Sutawijaya harus pergi meninggalkan Kademangan
Merden untuk magang patih di Keraton Surakarta. Dan sebagai penggantinya
ditunjuk Ki Ageng Suta dengan catatan perjanjian kalau Raden Sutawijaya
berhasil, kademangan diteruskan oleh Ki Ageng Suta, tapi kalau gagal
dalam magang patih tersebut maka jabatan Kademangan dipegang kembali
oleh Raden Sutawijaya.
Putra Putri Raden Sutawijaya adalah :
1. Dayun Sentradrana : di Banjar
2. Mentradana : Merden
3. Jiwa Yuda : Merden
4. Nyai Jiwa Menggala : Gumelem
5. Nyai Angga Menggala : Gumelem
6. Wira Seca : Batur
Anak yang pertama Dayun Senradrana dipondokan di Kudus anak yang ketiga
R. Jiwayuda dibawa kakeknya Panembahan Heru Cokro ke Panca Manis di
Nusakambangan untuk digembleng secara pribadi oleh sang panembahan.
Adik-adiknya yang lain menemani ibunya tetap di Merden.
Akal Bulus (Konspirasi) Ki Ageng Suto
Singkat cerita Raden Sutawijaya tidak berhasil dalam magang patih di
Keraton Surakarta, bahkan informasi kekosongan patih dalem di keraton
tidak jelas seolah-olah ada skenario besar yang disiapkan oleh Ki Ageng
Suta untuk menjebak Raden Sutawijaya agar pergi meninggalkan Kademangan
Merden, ini merupakan kudeta terselubung saat itu.
Akhirnya Raden Sutawijaya pulang dengan mengendarai Kuda Dawuk yang
gagah, kuda yang memiliki katuranggan hasil pemberian kakek gurunya
Panembahan Heru Cokro yang juga merupakan kakek dari istrinya.
Dalam perjalanan pulang dari Surakarta Raden Sutawijaya tidak langsung
ke Merden tetapi terus mengembara sebagai layaknya seorang pendekar
sambil mematangkan ilmunya yang dipelajari dari guru-gurunya yang
terkenal sakti mahamboro.
Kegagalan cita-citanya jadi pengalaman yang sangat berharga untuk
direnungkan bagi dirinya bahwa hidup ini penuh dengan tipu daya dan
selalu dalam kerugian kecuali orang-orang yang waspada dan selalu
memasrahkan kehidupannya pada sang pencipta.
Diapun terus berpikir dan banyak merenung dalam kesunyian, ia sangat
merasa bahwa ilmu yang dipelajarinya selama ini belum seberapa untuk
mencapai kesempurnaan hidup.
Maka ketika dalam perjalanan pulang disempatkannya mampir ke
pesanggrahan Eyang Krikil (anak dari Panembahan Heru Cokro), seorang
yang gemar bertapa/uzlah sehingga memiliki kepekaan batin yang luar
biasa. Dia seorang sufi yang tidak mementingkan kehidupan dunia. Melalui
Eyang Krikil Raden Sutawijaya banyak belajar hakikat kehidupan dan ilmu
Sufisme. Tapi jiwa muda dan watak pendekarnya tidak mudah membuat Raden
Sutawijaya menjadi seorang Sufi, dia menerjemahkan kehidupan ini
bagaikan ladang, siapa yang bercocok di dunia akan menuai di akherat,
baik ketemu baik dan jelek ketemu jelek.
Maka kehidupan ini harus diisi dengan usaha keras yang baik, berkorban
dan beramal semata mencari ridho Allah. Inilah Doktrin yang ditanamkan
oleh kakek gurunya yang terpatri dalam hati dan pikirannya.
Memasuki wilayah kademangan Merden Raden Sutawijaya banyak mengalami
kejadian-kejadian yang aneh dan tidak masuk akal. Mulai dari diserang
orang tak dikenal, diracun saat berhenti di warung pinggir Alas Gunung
Kemeyan sampai dengan dihadang puluhan orang bersenjatakan golok, tapi
semua bisa diatasi dengan mudah bahkan sempat ada korban dipihak musuh.
Suasana masyarakat dan keamanan juga berubah, wajah mereka terlihat
penuh dengan ketegangan yang mencekam. Penjagaan keamanan sangat
berlebihan dengan terlihat banyaknya pos penjagaan yang ada di setiap
sudut dan pintu masuk perkampungan. Setiap orang asing yang datang
selalu ada tengara berbunyi kenthong.
Sesampainya dirumah Raden Sutawijaya disambut oleh istri tercintanya,
anak, pembantu dan tangga teparo (sekeliling). Angga Menggala orang
kepercayaan Raden Sutawijaya ikut menyambut kedatangannya dengan
langsung memegang tali kuda dan diikatkan dipohon/Sawo Kecik yang ada di
depan rumahnya.
Setelah menjelang tengah malam suasana di Kademangan Merden sangat sepi,
orang-orang yang baru menengok kepulangan Raden Sutawijaya sudah
pulang, tinggal Angga Menggala seorang pemuda yang gagah yang sangat
setia mengabdi pada keluarga R. Sutawijaya selalu menjaga keamanan di
kademangan, saat itu belum tidur sedang duduk didepan pendopo
kademangan, sambil mengamat-amati Kuda Dawuk yang ditambatkan dipohon
sawo.
Ditengah kesunyian malam, Nyai Sutawijaya duduk mendekati suaminya yang
sedang duduk termenung dikursi panjang, yang dianyam dengan rotan yang
ditaruh di bale tengah rumah belakang. Diatasnya lampu kastrol yang
menyala terang tapi sejuk.
Dengan kehalusan budi dan bahasa, Nyai Sutawijaya menyampaikan hal
ikhwal yang terjadi selama suaminya pergi meninggalkan kademangan.
Dengan sangat hati-hati, istrinya juga memohon pada suaminya untuk
bersabar dan tawakal pada gusti Allah.
Setelah Raden Sutawijaya cukup istirahatnya, dengan hati – hati istri
tercintanya menyampaikan situasi dan kondisi kademangan setelah
ditinggalkanya.
Menurut informasi bahwa kepergian Raden Sutawijaya ada sebuah rekayasa
dan Ki Suta juga telah membangun kekuatan dengan mengumpulkan
jawara-jawara dan pemuda-pemuda kampung untuk dijadikan
muridnya.Padepokan dirubah persis seperti keraton. Bahkan kabar dari
mulut ke mulut Ki Suta tidak akan mengembalikan mandatnya sebagai Demang
sementara.
Mendengar kabar berita itu Darah pendekarnya pun bergelora ingin segera
bertemu dengan Ki Suta tapi buru-buru istrinya mencegah dengan
mengatakan pesan kakeknya Panembahan Heru Cokro yang juga guru utamanya
Raden Sutawijaya.
“Apa pesan kakek Panembahan?” Kata Raden Sutawijaya.
“Beliau berpesan : anaknya Dayun Setradana dan Jiwa Yuda dibawa kakek,
kang mas diminta anarimo, Kang mas supaya ingat akan pepatah Surodiro
jayadiningrat lebur deening pangastuti, Kang Mas disuruh menemui kakek
panembahan”
Kata-kata yang lembut, santun dan penuh keibuan keluar dari seorang
istri yang cantik yang sangat dicintainya serasa memadamkan api yang
membara karena tersiram air.
“Terima kasih Nimas, Nini telah mengingatkan aku dari kemarahan, Insya
Allah kakang akan berpikir positif dan mengambil hikmah dari kejadian
ini. Tapi Nimas! Sebagai jejering satria kakang akan menemui Ki Suta,
kakang akan bicara baik-baik padanya”.
Situasi yang tegang tiba-tiba jadi luluh penuh keharuan. Dengan memeluk
suami tercintanya Nyai Sutawijaya berkata lirih dengan linangan air mata
:
“Kang mas! Dalem selalu setia mendampingi kang mas, apapun situasi dan kondisinya”.
Kata-kata yang bijak terus keluar dari seorang anak Bupati dan cucu
seorang ulama yang lebih dikenal sebagai Panembahan Heru Cokro yang kini
rela hidup di desa yang jauh dari keramaian kota, hanya untuk mengikuti
suami tercintanya Raden Sutawijaya.
Mendengar tutur kata yang diucapkan istrinya dekapannya pun semakin
kencang tanpa disadari air matanya menetes mengenai punggung istrinya.
Nyai Sutawijaya melepaskan diri dari deekapan suaminya dan memandangi
wajah suaminya yang gagah perkasa. “Kang mas apa menangis? Seru
istrinya.
“Aku menangis karena sangat terharu padamu, kau begitu baik, sabar dan
setia, kakek tidak sia-sia mendidikmu sejak kecil”. Sambil didekapnya
lagi istrinya dengan penuh keharuan.
Pada hari berikutnya Raden Sutawijaya menemui Ki Suta. Pada saat itu
sedang ada paseban, banyak orang asing yang datang yang tidak dikenal
oleh Raden Sutawijaya dengan wajah-wajah seram dan tidak bersahabat.
Raden Sutawijaya masuk ke pendopo tanpa ada rasa takut sedikitpun
sekalipun dalam pikirannya terheran-heran, baru ditinggal kurang lebih
satu tahun Ki Suta mampu membangun padepokan begitu megah persis seperti
Keraton Surakarta. Kayu yang digunakan dari kayu nangka yang diambil
dari Gunung Gemulung yang terkenal sangat wingit, atapnya dari Sirap
yang jarang orang menggunakannya, lantainya dari batu alam yang diambil
dari Cikalong.
Kedatangan Raden Sutawijaya nampaknya sudah diketahui oleh padepokan
sehingga segala sesuatu sudah disiapkan dengan matang karena yang
dihadapi adalah bukan orang sembarangan, turun Bupati Banyumas dan
menantu Bupati Pasuruhan serta murid dari Panembahan Heru Cokro.
Sehingga pada saat kedatangannya dari suasana gaduh berubah menjadi
terdiam semua tak ada yang berani memandang/menatap mukanya sedikitpun
baik yang di luar maupun di dalam paseban.
Suasana menjadi tegang namun dengan gagah berani Raden Sutawijaya
menemui Ki Suta yang saat itu sedang dikelilingi oleh ratusan anak buah
dan murid-murid padepokan. Ki Suta jengkar dari tempat duduknya yang
seperti singgasana.
“Selamat Datang Raden! Kapan Raden pulang? Kok tidak mengutus abdi dalem
saja mengundang kami untuk menghadap?” kata Ki Suta penuh basa-basi.
Dan dengan salah tingkah Ki Suta mempersilahkan Raden Sutawijaya yang baru datang untuk duduk.
“Sudahlah Ki Suta aki tidak usah basa-basi dengan saya. Saya sudah tahu
apa yang terjadi saat saya pergi dan saya mengerti maksud Ki Suta selama
ini. Saya menerima dan menghormati pendapat Ki Suta karena Ki Suta
orang yang saya tuakan dan saya jadikan contoh juga panutan dalam
mengatur dan membangun kademangan, tapi kenapa Ki Suta justru
berkhianat?”
Mendengar kata-kata Raden Sutawijaya yang pedas dan keras Ki Suta pun
terperanjat! Namun belum sempat menjawabnya Raden Sutawijaya sudah
meneruskan kembali ucapannya, “ Bukankah orang-orang Ki Suta yang
menghadang dan menyerang saya di setiap perbatasan, tapi sayang mereka
bukan prajurit sejati sehingga mudah buka mulut.”
Mendengar hardikan Raden Sutawijaya yang keras seolah-olah tahu
segalanya yang terjadi, Ki Suta pun tak bisa mengelak dari kenyataan.
Dan apa yang diucapkan Raden Sutawijaya juga memang benar adanya. Nasi
sudah menjadi bubur ibarat orang menyeberang sungai sudah sampai di
tengah. Sedang Ki Suta bukanlah orang sembarangan, disamping memiliki
kesaktian yang luar biasa juga ahli strategi.
Jadi apa yang dilakukan pasti sudah melalui perhitungan yang matang.
Termasuk kemarahan Raden Sutawijaya, sampai perang melawan pihak manapun
sudah diperhitungkan.
Maka saat kemarahan Raden Sutawijaya sudah sampai puncaknya Ki Suta
beranjak dari tempat duduknya yang tidak jauh dari Raden Sutawijaya.
“Sekarang Raden maunya apa?! Setelah tahu segala yang terjadi, apa Raden
akan memimpin kembali di kademangan? Coba tanyakan kepada masyarakat
yang hadir disini dari berbagai tempat”.
Ki Suta pun menghadap pada peserta paseban yang sudah dipersiapkan “ Hai
kamu jangan diam, saya tanya kalian jawab!, apa kalian suka dan senag
bila kademangan dipegang saya?
Hadirin yang sudah dipersiapkan menjawab dengan serempak “Senaaang”
“Bagaimana kalau kademangan dipegang kembali oleh Raden Sutawijaya? Apakah kalian setuju?
Tak seorangpun berani menjawab setuju.
“Raden.. kamu dengar kan bagaimana suara rakyat? Saya akan pasrah dengan
keputusan rakyat, dan akan saya bela rakyatku dengan pecahing dada
luntahing ludiro, sedumuk bathuk senyari bumi sekalipun dada sampai
hancur darah terkucur akan kulalui”
Mendengar diplomasi yang dilakukan dan kesombongan yang diucapkan oleh
Ki Suta, Raden Sutawijaya terpancing emosinya sampai berdiri menatap
tajam Ki Suta tapi tiba-tiba teringat pesan kakak Panembahan Heru Cokro
bahwa dalam menghadapi persoalan ini harus mengalah, bersabar jangan
sampai emosional.
“O begitu ya! Ingat Ki Suta bagi saya soal kekuasaan bukan sesuatu yang
harus di minta tapi sesuatu yang harus dijaga karena ini adalah amanah
yang harus dijaga dan dilakukan sebaik-baiknya. Saya rela melepas hak
saya kalau ini memang pilihan terbaik bagi rakyatku!, tapi kalau semua
ini sebuah rekayasa yang kamu buat maka kamu adalah seorang Suta yang
hatinya ALA, dan ingat setiap keturunanmu selalu ada yang tidak waras!!!
Konon sumpah serapah Raden Sutawijaya jadi kenyataan, setelah meninggal
Ki Suta disebut Ki Sutanala dan keturunannya selalu saja ada yang gila.
Raden Sutawijaya pun pergi meninggalkan padepokan. Tak satu pun orang
yang berani berdiri apalagi menghadang menyerangnya sebagaimana konsep
yang dipersiapkan apabila Raden Sutawijaya marah-marah akan dikeroyok
rame-rame.
Bagi Ki Suta pun hanya duduk tidak berkutik sedikit pun seperti dipaku
ditempat duduknya, hanya sumpah serapah Raden Sutawijaya yang terngiang
diudara.
Setelah tersadar barulah dia tahu kalau Raden Sutawijaya sudah tidak ada
ditempat. Badannya pun jadi lemas seperti tidak berdaya apa-apa.
“Kekuatan apakah yang digunakan sampai aku tidak punya kekuatan untuk melawan?” gumamnya.
Paseban pun disuruhnya untuk dibubarkan.
KRATON KEMBAR
Setelah kejadian di paseban tersebut, Raden Sutawijaya pergi
meninggalkan Kademangan Merden untuk menghadap kakek gurunya, Panembahan
Heru Cokro dan juga sambil menengok anaknya yang ada disana yakni Dayun
Setradana dan Jiwa Yuda. Raden Sutawijaya akhirnya menetap mengabdi
sebagai prajurit dan meninggal di Lawiyan Solo.
Setelah Raden Sutawijaya meninggalkan kademangan Merden Ki Suta semakin
bebas merencanakan niat besarnya karena sudah tidak ada kendalanya.
Padepokan pun disulapnya menjadi sebuah istana kecil yang mirip dengan
keraton di Surakarta. Pendopo Agung pun dibuat dengan halaman depan yang
luas, dibelakang pendopo rumah Ki Suta. Disamping kanan kiri ada yang
digunakan untuk cantrik yang ngalap ilmu kanuragan pada Ki Suta.
Sekalipun tidak ada masjid disampingnyaakan tetapi masyarakat
menyebutnya sebagai keraton kembar. Kabar ini terdengar sampai di
Keraton, Raja pun memerintahkan telik sandi (mata-mata) untuk
menyelidiki berita yang beredar.
Diutuslah seorang prajurit wanita sebagai telik sandi yang ditugasi
untuk mempelajari situasi dan kondisi di kademangan. Prajurit ini
dikenal dengan nama Maskumambang. Sesampainya di Merden. Telik sandi ini
pun terpengarah dibuatnya setelah melihat kademangan persis seperti
keraton. Telik sandi terus mempelajari kegiatan-kegiatan yang dilakukan
di kademangan maupun diluar kademangan, dari masalah sosial,
kemasyarakatan, ekonomi, budaya dan politik semua dipelajarinya dengan
teliti.
Setelah lama menetap dan cukup mendapatkan informasi, telik sandi pun
pulang ke keraton untuk menyampaikan hasil penyelidikannya. Dan setelah
mendengar informasi dari telik sandi Raja pun marah besar dan berkenan
ingin mengecek sendiri Keraton Kembar.
Dengan diiringi prajurit dan bala bantuan secukupnya raja pun berangkat
ke Kademangan Merden lewat tepi kali Lukulo terus ke utara sampai
pegunungan Kendeng turun melewati hutan Glagah sampai di Sungai Sapi
kebarat sampai di Merden.
SIHIR KI AGENG SUTA
Kedatangan rombongan Raja sudah tercium oleh Ki Suta, maka Ki Suta menyiapkan cara dan strategi untuk menyambut rombongan Raja.
Setelah Raja sampai di Merden, raja langsung minta di antar ke Lokasi
Kademangan yang ada Keraton Kembar. Namun sesampainya di lokasi apa yang
dilihat Raja hanya sebuah gubug yang terbuat dari alang-alang yang
dijaga oleh kakek tua renta yang sedang duduk di risban yang sudah
rusaklagi kumuh.
Melihat kenyataan ini Raja pun duka dan memanggil telik sandi yang
menginformasikannya. “Hai! Kamu telah bertindak ceroboh, memalukan!
ingsun (saya) paring ukuman marang siro, siro ingsun pecat nangkene, ora
kena bali maring keraton” (saya kasih hukuman pada kamu, kamu saya
pecat dan kamu harus menetap disini dan tidak boleh pulang ke keraton).
Keputusan Raja pun diterima dengan suka duka, “ untung tidak dibunuh,
sungguh heran dan tidak masuk akal kenapa Keraton kembar bisa berubah
jadi gubug alang-alang? Hebat benar Ki Suta” gumamnya.
Raja pun pergi meninggalkan Kademangan Merden, telik sandi pun akhirnya menetap di Merden.
Telik sandi yang bernama Maskumambang dengan nama samaran Sarintem
adalah seorang wanita prajurit dengan potongan tubuh laki-laki dan
rambut pendek dengan langkah layaknya seorang pendekar trampil lincah
dan trengginas.
Setelah lama di Merden rambutnya dibiarkan tumbuh memanjang sehingga
orang baru paham kalau Maskumambang itu seorang wanita yang cukup
cantik.. Karena pengalaman dalam pergaulan ia pun cepat dikenal dan
beradaptasi dengan lingkungan. Maka banyaklah orang yang menyukai dan
ingin memperistrinya. Adapun pilihan hatinya adalah anak Lurah Karang
Plak. Singkat cerita Maskumambang dilamar oleh Lurah Karang Plak.
Setelah acara lamaran selesai Maskumambang berkenan mengirim panggang
ayam pada mertuanya. Dengan memasak sendiri Maskumambang
mempersiapkannya untuk mertua barunya.
Dengan bangga ia menyerahkan panggang ayam masakannya sendiri, dan
langsung diterima oleh mertuanya dan langsung diminta dimakan bersama.
Setelah semua siap memakan, mertuanya yang Lurah Karang Plak mengambil dulu dan langsung dimakannya.
Namun apa yang terjadi? Panggang yang dimakan mertuanya itu berdarah,
dan melihat hal tersebut mertuanya pun marah-marah dan langsung
memaki-maki pada Maskumambang, “Perempuan itu tidak hanya bisa manak dan
macak saja tapi harus bisa masak!”
Mendengar kata-kata yang keluar dari mertuanya itu Maskumambang merasa
sedih dan pedih, ia merasa disini tidak mempunyai sanak famili.
Perasaan sedih itu tak mampu dikuasainya dan ia pun pergi meninggalkan
rumah mertuanya tanpa ada yang mampu mencegah dan mengikuti langkahnya
yang cepat bagai kilat. Ia pergi tanpa meninggalkan pesan. Setelah
kepergiannya yang tidak bisa diketahui tempatnya, calon suaminya
akhirnya meninggal karena keyungyun.Kepergian Maskumambang jadi misteri.
Kadang ada orang yang melihat seperti sedang berbaring diatas batu
(Jawa = Semampir) maka dukuh tersebut terkenal dengan nama Dukuh
Semampir.
Setelah sekian tahun tidak terlihat kabar beritanya, tiba-tiba
masyarakat dikejutkan oleh suara yang keluar dari Pohon Randu Alas yang
sangat besar yang akan ditebang. Suara itu keluar dari lubang pohon
“Sing ngati-ati aku nang njero” (yang hati-hati saya ada di dalam).
Setelah kayu roboh & dibuka secara hati-hati ternyata didalam adalah
Maskumambang yang punya nama Sarintem calon menantu Lurah Karang Plak
yang pergi tak pernah diketahui tempatnya. Kondisi Ni Sarintem sudah
begitu kurus dan lemah tak berdaya.
Kemudian Ni Sarintem dibawa ke rumah penduduk, namun tak lama kemudian
dia meninggal dunia. Sebelum meninggal dia berpesan untuk dimakamkan
ditempat ia bertapa. Keanehan makamnya yang berada dipinggir sungai
adalah meskipun sungai banjir besar makamnya selalu aman dari genangan
air sekalipun sekitarnya sudah tergenang. Makam tersebut sampai sekarang
terkenal dengan nama Maskumambang
Siapakah Sutanala tidak banyak orang yang tahu secara pasti. Konon dia
seorang Nujum dari Keraton yang melarikan diri sampai di Merden dan
mengawini anak lurah Denok dari wilayah Merden. Karena kemampuannya
dalam ilmu kanuragan dan pengetahuan lainnya menjadikan dia disegani dan
ditakuti orang. Apalagi setelah mampu mengelabuhi raja Mataran sampai
tidak terjadi peperangan. Semua itu karena kemampuan strategi perang dan
olah kanuragan yang sudah matang.Semakin hari muridnya semakin banyak
yang datang untuk menimba ilmu dari Ki Suta dan tidak sedikit orang yang
datang ingin menguji kesaktiannya
ASAL NAMA KALIDEPOK
Suatu hari ada seorang yang datang dari arah Tegal yang penasaran ingin
mencoba kesaktian Ki Suta. Kedatangannya diketahui oleh Ki Ageng Suta,
maka diutuslah muridnya untuk menjemput di perbatasan. Di tepi sungai
(kali) tamu yang baru datang itu ditemuinya, ditanyakan maksud dan
tujuannya. Setelah tahu kalau kedatangannya ingin menguji kesaktian
gurunya maka ia pun ingin mengujinya sebelum ketemu gurunya.
“Hai Kisanak! Kalau kau ingin menguji guruku lawan dulu aku! Kalau kau
bisa mengalahkan aku baru kau bisa menemui guruku Ki Ageng Suta”.
Mendengar tantangan dari muridnya tamu pun melayaninya, konon baru
berjabatan tangan saja tamu tersebut sudah lemas tidak berdaya (Deprok).
Sebagai pengingat dukuh ini dinamakan Kali Depok.
WEWALER HARI JUMAT
Dihari siang bolong Ki Ageng Suta sedang duduk santai diatas risban
model Banjaran. Tiba-tiba dikejutkan oleh kedatangan muridnya yang lari
terengah-engah ketakutan. Setelah duduk agak tenang muridnya
menceritakan hal ikhwal yang dialaminya, kalau dia sedang dikejar-kejar
oleh Mbah Majir sak balanya.
Oleh Ki Suta muridnya itupun disuruh pergi bersembunyi dan Ki Ageng Suta yang akan menghadapinya.
Tak lama kemudian rombongan Mbah Majir dari lereng Gunug Igir Cempaka
lewat depan pendopo padepokan. Ki Ageng Suta menyapanya, “Ada apa kang
siang-siang begini kok rame-rame kaya mau nyerang?” kata Ki Ageng Suta
dengan santai tapi menusuk dihati.
Mbah Majir menjawab “ Tidak ada apa-apa, hanya sedang mencari buruan
yang kalau tidak salah tadi lewat sini” kata mbah Majir dengan
basa-basi.
“Ya sudah sekarang mampir istirahat dulu, nini sedang masak nasi jagung nanti lauknya cari di kali”.
Ajakan Ki Ageng Suta diterima Mbah Majir dengan begitu saja tanpa ada
yang menolak. Semua rombongan mampir di padepokan, sebagian ada yang
tiduran, ada pula yang ikut rame-rame mencari ikan di Kali Sapi.
Waktu sudah siang saatnya untuk makan tapi yang mencari ikan belum juga
pulang padahal nasi sudah masak. Ki Ageng Suta pun menyuruh para pencari
ikan untuk pulang saja dan sesampainya dirumah mereka mengatakan “ Ora
olih iwak olihe kesel thok!” (tidak dapat ikan, dapatnya cuma capek)”
Ki Ageng Suta tersenyum kecut “Oalah..Golet iwak bae ora teyeng jare?
(cari ikan saja tidak bisa?) kok mau berburu, sini kuwunya “.
Alat yang biasa buat nangkap ikan itupun diminta lalu diletakkan dibawah
risban yang didudukinya. “Tunggu sebentar yang masih lelah istirahat
dulu”.
Ki Ageng Suta belum selesai bicara Nyai Suta keluar dari dalam rumah
sambil teriak menanyakan ikan yang akan digoreng “Endi iwake selek garep
digoreng” (mana ikannya segera akan dimasak).
Ki Ageng Suta akhirnya menyuruh pengikut Mbah Majir yang duduk berdekatan untuk mengambil kuwu yang ada dibawah tempat duduknya.
Kuwu pun diangkat dan “Hah!! Ikan masih segar Ki Ageng apa ini benar
ikan?” anak buah Mbah Majir semua ingin melihat “Benar! Ikan! Ini ikan
beneran!”
Suasana pun jadi rame penuh keheranan termasuk Mbah Majir yang dari tadi
diam sambil nglinting rokok. Ki Ageng Suta berdiri untuk menenagkan
suasana.
‘Sudahlah sekarang ikan dicuci di belakang, suruh dimasak Nyai nanti kita makan bersama”.
Setelah selesai makan rombongan Mbah Majir pulang, sesampainya dirumah
Mbah Majir weling pada pada para pengikutnya “ Ingat malam jumat iki
dina kang mirangna aku kabeh! Mula welingku aja pisan-pisan gawe
rame-rame nang malaem Jumat nanging pada nggo merek maring sing gawe
urip. (Ingat malam Jumat ini hari yang membuatku malu dan juga kita
semua, maka pesanku jangan sekali-kali membuat acara rame-rame pada
malam Jumat tapi untuk mendkatkan diri pada sang pencipta)”.
Pesan Mbah Majir ini akhirnya menjadi pantangan bagi masyarakat
Kecamatan Purwanegara bagian selatan untuk tidak membuat acara pada
malam dan hari Jumat kecuali acara pengajian.
Kraton Pun Turun Tangan
Kejadian yang terjadi di Merden ternyata beritanya sampai di keraton.
Raja pun memerintahkan beberapa utusan khusus untuk menghadapkan Ki
Ageng Suta baik hidup maupun mati. Tapi utusan-utusan itu selalu gagal,
seperti R. Wahyu, Adipati Trewela Cakra Kusuma semua kalah dan tunduk
menjadi pengikutnya sampai meninggal dan dimakamkan di wilayah Merden.
Akhirnya Raja memerintahkan seorang jawara dan pimpinan padepokan dari
Tegal yang bernama Kyai Jamaludin. Dia memiliki kesaktian yang luar
biasa tidak sembarang senjata mampu menembus tubuhnya. Sekalipun mampu
menembus juga tidak mudah membunuhnya.
Konon dia punya aji Jebug Thukul sekelas Rawa Rontek atau Panca Sona.
Jamaludin orangnya gagah, tinggi besar, hidungnya mancung, kumisnya
lebat simbar dada (dadanya penuh dengan rambut), kepalanya ditutupi
sorban, konon Kyai Jamaludin merupakan turunan Arab Jawa.
Singkat cerita perang pun terjadi, mulai wilayah perbatasan, dari
peperangan ke peperangan sampai di kademangan Merden, Kyai Jamaludin
selalu unggul.
Segala perangkap dan sihir yang dipasang oleh Ki Ageng Suta bisa diatasi
oleh Jamaludin. Sehingga korban di pihak Ki Ageng Suta cukup banyak,
sampai pasukannya kocar kacir dan mayat pun bergelimpangan. Wilayah ini
sampai sekarang dinamai Dukuh Glempang, sedangkan wilayah yang digunakan
untuk Nisih (Ngungsi) sekarang dinamakan Dukuh Penisihan. Tempat yang
digunakan untuk mengumpulkan pasukan ditengah-tengah penduduk sekarang
ketelah Bala Tengah.
Siasat Licik Ki Ageng Suta
Melihat kenyataan dengan kekalahan perang dimana-mana serta kehebatan Ki
Jamaludin yang sakti mandraguna Ki Ageng Suta mengajukan gencatan
senjata dan berjanji akan membicarakan kemungkinan penyerahan dirinya
yang perlu dipersiapkan dengan baik. Mendengar penjelasan dari utusan Ki
Ageng Suta, Kyai Jamaludin pun beritikad baik menerima gencatan senjata
tersebut.
Pada saat gencatan senjata, ternyata dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh Ki
Ageng Suta untuk mengatur siasat mengalahkan Kyai Jamaludin.
Langkah pertama yang diambil Ki Ageng Suta adalah konsolidasi pasukan
yang terdiri dari para jawara dari luar kademangan, murid padepokan,
masyarakat kademangan dan sekitarnya. Langkah kedua menyebar telik sandi
untuk menyusup. Langkah ketiga mengempur dengan strategi cupit urang.
Telik sandi yang khusus mendekati dan merayu Jamaludin adalah anak
angkatnya seorang reog/tayub yang saat itu sangat terkenal karena
kecantikan dan kepandaiannya menari diatas panggung serta kekuatan
magisnya untuk menghipnotis masa penonton.
Ronggeng ini ditugasi khusus menghibur dan menggoda Jamaludin dan pasukannya karena menurut berita Jamaludin suka pada tayub.
Aksi pun dimulai dengan tanggapan keliling dari rumah ke rumah sampai ke pasukan Jamaludin mendirikan perkemahan.
Karena desakan anak buahnya Jamaludin berkenan mengundang ronggeng
tersebut untuk menghibur pasukannya. Pada saat hiburan dimulai orang pun
mulai terkesima dengan penampilan ronggeng yang cantik lincah dan
suaranya sangat merdu, minuman yang sudah di campur dengan ramu-ramuan
yang memabukan sudah dipersiapkan oleh telik sandi untuk dihidangkan
tanpa ada kendala semua bisa berjalan dengan lancar.
Makin malam makin rame makin mabuk, semua pasukan termasuk juga
Jamaludin yang sudah terkena minuman yang memabukan. Pada saat kondisi
sedang lengah karena sedang mabuk berat secara serentak pasukan Ki Ageng
Suta menyerang pasukan Jamaludin.
Semuanya habis terbantai tinggal Kyai Jamaludin yang masih bertahan
hidup sekalipun dalam kondisi mabuk dia masih mempu membunuh puluhan
pasukan musuh yang mendekat mengepung Jamaludin. Tombak, panah, pedang
segala senjata yang dibawa dihantamkan kepadnya tapi tak satu pun yang
mampu membunuhnya.
Dalam kondisi tidak sadar ia berteriak-teriak “Saya mau mati asal
bersama ronggeng”. Dengan serentak tanpa dikomando Ronggeng pun dibunuh
bersama-sama, karena begitu kalapnya ingin membunuh Jamaludin, Ronggeng
jadi sasaran kesadisan sampai mati terpotong-potong. Melihat Ronggeng
telah mati di depan mata, Jamaludin mengikhlaskan untuk mati bersama
Ronggeng tersebut dengan memberitahu pengapesannya.
Kematian ronggeng yang terpotong-potong masih membuat rebutan dalam
pemakaman. Yang akhirnya mereka mengubur potongan jasad di daerahnya
masing-masing sesuai yang didapat. Ada yang membawa tangan, kaki, perut
dan kepala, sehingga sampai sekarang kuburan ronggeng (Setana Ronggeng)
ada dimana-mana di desa-desa sekitar Merden.
Perang besarpun telah usai dengan kemenangan pada pihak Ki Ageng Suta
dengan menggunakan strategi dan siasat yang jitu. Kekuatan dan kekuasaan
Ki Ageng Suta pun semakin kokoh tak tergoyahkan sehingga sering berbuat
yang arogan.
Para pendukungnya yang merasa berjasa dan mendapat perlindungan dari Ki
Ageng Suta mereka sering menampakan kesombongan seolah-olah tidak ada
kekuatan yang akan berani mengusiknya
MASA AKHIR KEJAYAAN KI AGENG SUTA
Tapi hukum Tuhan bicara lain, bahwa kekuatan manusia ada batasnya dan sangat terbatas. Diatas langit masih ada langit.
Disaat keadilan dan kebenaran telah dicampakan kedholiman telah melanda
dimana-mana munculah seorang pemuda yang selalu tampil membela rakyat
kecil. Pemuda itu adalah Raden Jiwa Yuda anak ketiga dari Raden Suta
Wijaya yang dibawa kakeknya Panembahan Heru Cokro dari Pancamanis Daerah
Nusakambangan.
Dengan kepandaian dalam ilmu bela diri dan olah kanuragan serta
keberanian membela yang benar dan selalu berpihak pada rakyat kecil dan
yang lemah dalam waktu singkat R. Jiwa Yuda jadi sangat terkenal dan
merakyat. Keberadaanya di Kademangan Merden yang belum begitu lama sudah
sangat diperhitungkan bahkan ditakuti dan disegani oleh orang-orang Ki
Ageng Suta. Ketakutan itu bukan karena nama besar ayahnya R. Sutawijaya
tapi memang karena kelebihan yang dimilikinya. Beberapa kali orang Ki
Ageng Suta mencoba kemampuannya tapi semua bisa dikalahkan dengan mudah.
Melihat kenyataan ini Ki Ageng Suta bertindak sangat hati-hati untuk
mengambil sikap, apalagi dia semakin tua, masyarakat banyak sekali yang
berpihak kepada R. Jiwayuda yang sebenarnya memang ahli waris kademangan
Merden. Diukur dari ilmu kanuragan dan bela dirinya, Ki Ageng Suta
mengakui kehebatannya dan juga senjata yang dimilikinya yakni Pedang
Siwarak dan Tombak Sibuntal.
Melihat kemampuan dan kehebatan Raden Jiwa Yuda maka Ki Ageng Suta
mengutus orang kepercayaannya untuk menemui Raden Jiwa Yuda guna
menyampaikan bahwa Ki Ageng Suta akan segera menyerahkan kekuasaan
kademangan kepada Raden Jiwa Yuda dengan satu syarat Ki Ageng Suta dan
keluarganya tidak diganggu dan diusik dengan masalah yang sudah terjadi.
Raden Jiwa Yuda menyanggupi selama ia mau bertobat dan tidak mengulangi
perbuataan dholimnya. Ikrar pun telah disepakati bersama. Mulai saat itu
Raden Jiwa Yuda memangku jabatan Demang Merden dan tidak lama kemudian
Ki Ageng Suta meninggal dunia.
Tak lama kemudian Perang Diponegoro berkobar Raden Jiwa Yuda pergi
meninggalkan kademangan untuk memnuhi seruan jihad melawan penjajah
Belanda.
SEJARAH GEMEK (PUYUH) WATU GILIG
Gemek merupakan burung piaraan yang paling populer di tlatah Banyumas.
Hampir setiap rumah memiliki burung Gemek (puyuh) ini, karena jenis
burung yang palingmudah dipelihara dan manfaatnya cukup banyak. Kalau
yang betina bisa bertelor setiap hari dan yang jantan disamping untuk
cekekeran dengan suaranya yang nyaring seperti ayam alas, juga sering
dimanfaatkan untuk aduan. Yang paling rame orang pelihara gemek saat itu
untuk diadu, dari rakyat biasa sampai Bupati semua senang melihat atau
mengadu gemek.
Saat itu gemek yang paling terkenal dan tak terkalahkan adalah Gemek
Watu Gilig dari tlatah Kademangan Merden. Gemek Watu Gilig secara fisik
memiliki bentuk yang sempurna atau memiliki katuranggan yang sangat baik
seperti :
1. Kulitnya putih dengan ekor agak ngawet.
2. Kepalanya besar dan bulunya lebat.
3. Lehernya agak lemas dengan peregangan kerap (Kalung Tepung).
4. Cucuknya agak bujel.
5. Matanya bulat dan rata.
6. Pupunya mukang gasir (seperti kaki jangkrik hutan) dengan garis yang garing.
Ciri-ciri Gemek Watugilig yang sering keluar :
1. Ules (bentuk bulu) lurik semu klawu (blirik agak ungu) ciri seperti ini orang mengatakan Rayung.
2. Kadang keluar dengan bulu wido hijau agak ungu, orang menyebutnya Jemethi.
Sayangnya Gemek Watu Gilig tidak setiap saat keluar dan setiap orang bisa mendapatkannya.
Konon Gemek ini peliharaan R. Sutawijaya dari pemberian kakek gurunya
Panembahan Heru Cokro dari Panca manis Nusakambangan. Burung ini sengaja
dilepas bebas dialas Watu Gilig dari arah kademangan sebelah utara
kurang lebih satu kilometer.
Watu Gilig saat itu merupakan padang ilalang ditengah-tengahnya mengalir
sungai Karang Lo. Ditengah-tengah padang ilalang ada gundukan batu
hitam yang rata kurang lebih 1,5 meter. Orang menyebutnya batu
sembahyangan karena dulu di pakai R. Sutawijaya (Demang Merden) untuk
melakukan ibadah sholat terutama kalau sedang menyendiri.
Jarang ada orang yang berani ke daerah situ karena takut kesambet,
setannya galak-galak (jahat). Di batu sembahyangan ini Gemek Watu Gilig
sering terlihat bertengger di atas batu. Kehebatan Gemek Watu Gilig
sudah tidak asing lagi dan selalu menjadi incaran para penggemar burung
Gemek kabar ini pun jadi perhatian khusus Bupati Banyumas saat itu.
Sampai akhirnya mengutus orang untuk memesan Gemek Watu Gilig.
Setelah mengetahui maksud kedatangan utusan Bupati untuk memesan Gemek
Watu Gilig, Ki Demang merasa berat hati karena Gemek Watu Gilig baru
saja diberikan pada sahabatnya seorang Cina yang baru saja masuk Islam.
Keberatan hatinya pun disampaikan pada utusan Bupati tersebut. Tapi sang
duta memaksa untuk dicarikan yang lainnya saja karena kalau gagal ia
akan kena marah Bupati. Namun Ki Demang tetap tidak mau berbohong pada
siapapun apalagi pada Bupati.
Utusan Bupati pun pulang dengan tangan hampa karena tidak bisa
mendapatkan Gemek Watu Gilig. Untuk menutupi kekecewaan itu utusan
mencari gemek pada penduduk yang kebetulan beternak gemek yang terbaik.
Sesampainya di kabupaten, gemek ditaruh di kandang yang telah
dipersiapkan.
Begitu dimasukan ke kandang dan langsung berbunyi cekeker-cekeker dan
sebentar-sebentar bunyi. Bupati pun senang melihatnya karena sehat,
lincah dan jinak.
Pada bulan berikutnya pertarungan gemek dimulai di alun-alun dengan
peserta cukup banyak. Orang-orang banyak yang bertaruh kalau gemek sang
Bupati akan menang karena baru didapatkan dari Kademangan Merden.
Setelah sampai akhir ternyata gemek yang tak terkalahkan adalah milih
Babah Asan seorang Cina dari Cirebon, Bupati merasa wirang (malu) karena
gemek andalannya terkalahkan.
Babah Asan sebagai pemenang diberi kehormatan untuk mampir di kabupaten.
Sambil duduk dan ngobrol santai bupati memancing Abah Asan untuk
menceritakan soal gemek miliknya dan asal muasalnya.
Abah Asan pun cerita apa adanya. Mendengar cerita yang dibeberkan oleh
Abah Asan, Bupati marah besar dan merasa tersinggung karena sudah
dibohongi oleh Demang Merden.
Pada hari berikutnya Bupati mengadakan paseban dan mengundang Demang
Merden. Tanpa diberi kesempatan untuk menjelaskan duduk persoalannya
bupati langsung memarahinya dengan mencaci maki, Demang Merden hanya
terdiam sambil menahan emosinya.
Dan akhirnya bupati menjatuhkan hukuman dengan pemberhentian dengan
tidak hormat pada Citra Drana dari jabatan Demang Merden. Dan
pemerintahan dinyatakan demisioner.
Citra Drana pulang dengan hati yang massgul bukan karena jabatannya
diambil tapi tidak diberi kesempatan padanya untuk menjelaskan persoalan
tersebut.
Dari beberapa sumber menjelaskan kenapa bupati begitu marah terhadap Demang Merden antara lain :
Keluarga Kademangan Merden banyak yang mendukung pada pangeran-pangeran
yang melakukan perlawanan pada penjajah seperti Demang Jiwa Yuda, KH.
Musa keponakan Jiwa Yuda dll.
Sering mengkritik kebijakan Bupati yang terlalu dekat dengan Belanda.
Jadi masalah Gemek bukan persoalan pokok yang menjadikan kademangan
dibekukan tapi ada kepentingan politik dibalik persoalan Gemek.
Itulah sepenggal kisah yang pernah Terjadi di Kademangan Merden
Merden saat Ini Hanyalah Sebuah Desa di Kecamatan Purwanegara Banjarnegara.