Peran sebuah wilayah pemerintahan tak akan lepas dari pusat kendali
pemerintahan tersebut. Pada era kerajaan dahulu pusat pemerintahan ini
sering disebut dengan Istana,
Kedhaton yang ditempati oleh Raja dan keluarganya, sedangkan Kadipaten,
Katemenggungan merupakan pusat pemerintahan di bawah kekuasaan para
raja. Kawasan pusat pemerintahan dimasa silam sering dianggap sebagai
pusat kosmos kekuasaan yang sakral dan penuh dengan perlambang.
Sebagai kawasan yang sakral dan sensitive di masa silam kawasan ini menjadi daerah terlarang;forbidden city.
Kabupaten Wonosobo yang terletak di tengah Pulau Jawa ,pada tahun 1830
terjadi boyong kori pusat pemerintahan dari Plobangan Selomerto menuju
Kota Wonosobo yang diperintahkan oleh Bupati I Wonosobo versi Leiden
Belanda yaitu Tumenggung Setjonegoro. Sebagai pusat kosmos kekuasaan di
Wonosobo, aturan peninggalan Kerajaan Mataram masih diberlakukan
sehingga kawasan ini menjadi kawasan steril, hanya yang mempunyai ijin
dan kewenangan yang boleh memasuki kawasan Pendopo Kabupaten.
Lingkungan pendopo dan sekitarnya diatur dan di tata oleh para pendiri
Wonosobo yaitu Kyai Walik, Kyai Karim, dan Kyai Kolodete. Kyai walik
dianggap paling dominan dalam menata tata kota dan pemerintahan. Menurut
versi lain sebenarnya kawasan Alun-alun sekarang pada abad 18 masih
berupa tanah pertanian yang hanya terdapat bangunan pemerintahan kecil.
Kyai Kolodente menurut versi ini berjasa besar mengalirkan aliran air
Sungai Serayu memasuki Kota Wonosobo guna mengairi sawah pertanian di
sekitarnya.
Pusat pemerintahan Wonosobo sendiri mempunyai beberapa titik tempat
antara lain Alun-alun dengan Ringin Kurungnya ,Paseban Barat dan Paseban
Timur, Pendopo, Pringgitan, dan Dalem Katemenggungan (sekarang Rumah
Dinas Bupati). Masing-masing memiliki fungsi dan perlambang
sendiri-sendiri.
Di era sebelum kemerdekaan, rakyat yang akan sowan kepada Bupati
Wonosobo harus menunggu di Paseban sampai memperoleh ijin menghadap.
Jika sudah mendapatkan ijin baru boleh diperkenankan masuk konon dengan
‘mlaku ndodok” atau jalan dengan jongkok sampai ke Pendopo Kabupaten.
Jarak antara Paseban ke Pendopo sekitar 100 Meter.
Posisi titik tempat yang ada di sekitar Pusat Kekuasaan Kabupaten
Wonosobo dapat dikatakan berbentuk trisula yaitu tiga mata trisula
dilambangkan dengan Paseban Timur, Ringin Kurung dan Paseban Barat.
Kemudian muara trisula dilambangkan dengan Pendopo Kabupaten, sedangkan
“bonggol” atau pegangan trisula dilambangkan dengan Pringgitan, Dalem
Katemenggungan, Pendopo Belakang (sekarang), dan gerbang belakang dimana
semua tempat itu mempunyai pintu yang sejajar lurus sejak mula Pintu
masuk Pendopo, pintu keluar pendopo menuju Pringgitan, Pintu masuk
Pringgitan, Pintu masuk Dalem Katemenggungan, Pendopo Belakang, sampai
dengan pintu gerbang belakang.
Dimasa silam posisi Alun-alun menjadi sangat strategis dan merupakan
salah satu tolok ukur keberlangsungan suatu wilayah pemerintahan.
Apabila Alun-alun sudah dimasuki musuh maka Dalem Katemenggungan akan
segera berkemas untuk meloloskan diri karena dalam beberapa saat wilayah
ini akan jatuh ketangan musuh. Oleh karena itu dibanyak kalangan
terutama yang masih teguh melaksanakan hukum dan budaya Jawa, Alun-alun
masih menjadi lambang kewibawaan sebuahpemerintahan sampai era modern
sekarang ini.
Sekitar Tahun 1860-an Pendopo Kabupaten Wonosobo pernah rusak parah
karena terkena gempa bumi dan di era perang kemerdekaan pernah pula
hancur karena di bom oleh Pesawat Udara Bala Tentara Jepang. Pada Tahun
70-an Presiden Republik Indonesia waktu itu Soeharto mangadakan
pertemuan denganPerdana Meneteri Australia Welheim di Rumah Dinas Bupati
Wonosobo. Ruang pertemuan ini kemudian disebut dengan Ruang Welheim
yang saat ini menjadi tempat untuk menemui tamu-tamu penting.
Disebelah Ruang Welheim terdapat beberapa kamar yang dimana salah
satunya dulu disebut Kamar Kepresidenan dimana Presiden Republik
Indonesia era 70-an Soeharto pernah menginap di kamar tersebut. Kamar
Kepresidenan ini saat ini disebut Kamar VIP 1 dimana Mantan Presiden
Repiblik IndonesiaAbdulrahman Wahid sering singgah dan menginap di kamar
itu. Di ruang ini sebenarnya terdapar lorong bawah tanah yang tembus ke
luar lingkungan pendopo dengan tujuan untuk jalan melarikan diri jika
terjadi bahaya. Saat ini lorong tersebut ditutup oleh pasir di bawah
lantai di ruang Welheim. Yang terlihat tinggal lubang udara di dekat
pintu masuk pringgitan.
Menurut cerita di jaman Perang Kemerdekaan , di Rumah Dinas Bupati
dibangun shelter atau lubang perlindungan (bunker) untuk berlindung dari
serangan udara, namun bekasnya saat ini sudah tidak terlihat lagi.
Setelah reformasi. Wilayah Pendopo Kabupaten menjadi lebih terbuka untuk
masyarakat. Sekarang ini menjadi Kantor dan Rumah Dinas Bupati
Wonosobo. Walaupun sudah memasuki era modern Pendopo Kabupaten Wonosobo
sebagaimana situs sejarah lain mempunyai banyak legenda maupun mitos.
Banyak kalangan yang menganggap wilayah ini masih wingit sehingga tidak
boleh sembarangan jika berada di lingkungan ini. Konon para Bupati
Wonosobo yang tinggal disana harus mempunyai visi yang benar dan lurus
sehingga mampu memerintah dengan baik serta kuat.
Pilar-pilar yang ada di Pringgitan berdiameter kurang lebih 1 meter yang
dalamnya berisi pasir. Beberapa mitos yang menarik adalah adanya ”soko”
pilar-pilar di Pringgitan yang sedemikian besar konon didalamnya
terdapat mayat manusia. Mitos ini diceritakan oleh orang-orang yang
telah lama berdinas di Pendopo Kabupaten. Berpuluh tahun yang lalu
ketika diadakan pemugaran dua pilar di depan pringgitan diketemukan sisa
jasad manusia di kedua pilar dengan baju pakaian Jawa yang masih
lumayan utuh. Kemudian jazad itu dimakamkan disekitar Pendopo Kabupaten.
Keberadaan jazad tentunya sulit dibuktikan karena harus membongkar
pilar yang lain untuk membuktikan, namun inilah mitos yang menjadi bumbu
rasa sebuah peninggalan bersejarah.
Perlu adanya usaha dari pihak-pihak yang berkopenten untuk mengumpulkan
data sejarah dan data pendukung lainnya yang lebih valid sehingga
peninggalan bersejarah ini tetap langgeng dan mempunyai nilai historis
kebangsaan yang bisa dikenang dan dibanggakan.
Songsong Agung dan replika Tombak Kolowelang pusaka Kabupaten Wonosobo.
Dalam setiap memperingati Hari Jadi Kabupaten Wonosobo yang ditasbihkan
pada tiap Tanggal 24 Juli, kedua benda ini dijamas dan menjadi bagian
dari acara prosesi hari jadi Kabupaten Wonosobo. Tombak Kolowelang
sendiri tinggal replika sedangkan yang asli konon dipercaya telak moksa
dan tidak mau dipegang oleh manusia lagi.
Malam hari sebelum esok Songsong Agung dan replika Tombak Kolowelang di
kirab ke Alun-alun , diadakan acara ritual khusus dengan tujuan antara
lain membersihkan dan melihat kondisi keduanya sebelum dikirab. Prosesi
ini biasanya dilakukan setelah prosesi ritual di Alun-alun selesai
dilakukan. Keesokan harinya kedua benda pusaka ini dikirab dalam
rangkaian hari jadi di Alun-alun (Birat Sengkolo)
Songsong Agung ini apabila diterjemahkan dalam Bahasa Indonesia ialah
Payung Kebesaran. Payung ini melambangkan kekuasaan para Penguasa di
jaman dulu. Apabila jika ada serangan musuh hingga Payung Kebesaran
dapat direbut musuh maka pertanda kekuasaan Penguasa tersebut akan
tumbang.
Secara makna sebenarnya Songsong Agung merupakan simbol dari harapan dan
doa. Fungsi sebuah payung adalah mengayomi sehingga diharapkan penguasa
wilayah tersebut mampu mengayomi seluruh rakyat yang berada di bawah
pemerintahannya. Menjadi perlambang doa yaitu agar rakyat dan wilayah
tersebut selalu terlindungi dan terayomi sehingga aman,
makmur,sejahtera.
Beberapa kalangan tertentu mempercayai mitos bahwa Songsong Agung
mempunyai ”power” yang tidak dapat dianggap remeh karena sesuai fungsi
pemaknaannya adalah melindungi ”nagari”. Jika dalam penyimpanannya tidak
benar atau sembarangan maka ”power” nya akan meredup sehingga penguasa
yang sedang bertahta saat itu juga akan kehilangan wibawa dan dijauhi
rakyat hingga akhirnya lengser keprabon.