Purwokerto adalah ibukota kabupaten Banyumas, Jawa Tengah yang terletak
di selatan Gunung Slamet, salah satu gunung berapi yang masih aktif di
pulau Jawa. Purwokerto merupakan salah satu pusat perdagangan dan
pendidikan di kawasan selatan Jawa Tengah.
Sementara kabupaten Banyumas sendiri merupakan sebuah kawasan kebudayaan
yang memiliki ciri khas tertentu di antara keanekaragaman budaya Jawa
yang disebut sebagai budaya Banyumasan. Ciri khas ini ditandai dengan
kekhasan dialek bahasa, citra seni dan tipologi masyarakatnya.
Bentang alam wilayah banyumasan berupa dataran tinggi dan pegunungan
serta lembah-lembah dengan bentangan sungai-sungai yang menjamin
kelangsungan pertanian dengan irigasi tradisional. kondisi yang demikian
membenarkan kenyataan kesuburan wilayah ini (gemah ripah loh jinawi).
Dulunya, kawasan ini adalah tempat penyingkiran para pengikut Pangeran
Diponegoro setelah perlawanan mereka dipatahkan oleh Kompeni Belanda.
Maka tidak aneh, bila hingga masa kini masih terdapat banyak sekali
keluarga-keluarga yang memiliki silsilah hingga Pangeran Diponegoro dan
para tokoh pengikutnya.
Keluarga-keluarga keturunan Pangeran Diponegoro dan tokoh-tokohnya yang
telah menyingkir dari pusat kerajaan Matararam waktu itu, kemudian
menurunkan para pemimpin bangsa dan tokoh-tokoh ulama hingga saat ini.
Salah satu dari sekian banyak tokoh ulama keturunan Pangeran Diponegoro
di kawasan Banyumas ini adalah Syekh Abdul Malik bin Muhammad Ilyas,
Mursyid Thariqoh Naqsyabandiyah Kholidiyah dan Thariqoh Syadzaliyah di
Jawa Tengah.
Silsilah dan Pendidikan Syaikh Abdul Malik
Sudah menjadi tradisi di kawasan Banyumasan kala itu, apabila ada
seorang ibu hendak melahirkan, maka dihamparkanlah tikar di atas lantai
sebagai tempat bersalin. Suatu saat ada seorang ibu yang telah
mempersiapkan persalinannya sesuai tradisi tersebut, namun rupanya sang
bayi tidak juga kunjung terlahir.
Melihat hal ini, maka sang suami segera memerintahkan istrinya untuk
pindah ke tempat tidur dan menjalani persalinan di atas ranjang saja.
Tak berapa lama terlahirlah seorang bayi mungil yang kemudian dinamakan
Muhammad Ash'ad, artinya Muhammad yang naik (dari tikar ke tempat
tidur). Peristiwa ini terjadi di Kedung Paruk Purwokerto, pada hari
Jum'at, tanggal 3 Rajab tahun 1294 H. (1881 M.) Nama lengkapnya adalah
Muhammad Ash'ad bin Muhammad Ilyas. Kelak bayi mungil ini lebih dikenal
sebagai Syeikh Muhammad Abdul Malik Kedung Paruk Purwokerto.
Beliau merupakan keturunan Pangeran Diponegoro berdasarkan "Surat
Kekancingan" (semacam surat pernyataan kelahiran) dari pustaka Kraton
Yogyakarta dengan rincian Muhammad Ash'ad, Abdul Malik bin Muhammad
Ilyas bin Raden Mas Haji Ali Dipowongso bin HPA. Diponegoro II bin HPA.
Diponegoro I (Abdul Hamid) bin Kanjeng Sultan Hamengku Buwono III
Yogyakarta yang sampai atas pada Kyai Ageng Pemanahan. Nama Abdul Malik
diperoleh dari sang ayah ketika mengajaknya menunaikan ibadah haji
bersama.
Sejak kecil, Abdul Malik memperoleh pengasuhan dan pendidikan secara
langsung dari kedua orang tuanya. Setelah belajar al-Qur'an kepada
ayahnya, Abdul Malik diperintahkan untuk melanjutkan pendidikannya
kepada Kyai Abu bakar bin Haji Yahya Ngasinan, Kebasen, Banyumas.
Selain itu, ia juga memperoleh pendidikan dan pengasuhan dari
saudara-saudaranya yang berada di Sokaraja,sebuah kecamatan di sebelah
timur Purwokerto. Di Sokaraja ini terdapat saudara Abdul Malik yang
bernama Kyai Muhammad Affandi, seorang ulama sekaligus saudagar kaya
raya. Memiliki beberapa kapal haji yang dipergunakan untuk perjalanan
menuju Tanah Suci.
Ketika menginjak usia 18 tahun, Abdul Malik dikirim ke Tanah Suci untuk
menimba ilmu agama. Di sana ia mempelajari berbagai didiplin ilmu agama,
seperti Tafsir, Ulumul Qur'an, Hadits, Fiqih, Tasawuf dan lain-lain.
Pada tahun 1327 H. Abdul Malik pulang ke kampung halaman setelah kurang
lebih 15 tahun belajar di Tanah Haram. Selanjutnya ia berkhidmat kepada
kedua orang tuanya yang sudah sepuh (lanjut usia). Lima tahun kemudian
(1333 H.) ayahandanya (Muhammad Ilyas) meninggal dalam usia 170 tahun
dan dimakamkan di Sokaraja.
Sepeninggal ayahnya, Abdul Malik muda berkeinginan melakukan perjalanan
ke daerah-daerah sekitar Banyumas, seperti Semarang, Pekalongan,
Yogyakarta dengan berjalan kaki. Perjalanan ini diakhiri tepat pada
seratus hari wafatnya sang ayah. Abdul Malik kemudian tinggal dan
menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab. Sejak saat ini,
ia kemudian lebih dikenal sebagai Syeikh Abdul Malik Kedung Paruk.
Dalam hidupnya, Syaikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan
sangat besar, yaitu membaca al-Qur’an dan Shalawat. Beliau tak kurang
membaca shalawat sebanyak 16.000 kali dalam setiap harinya dan sekali
menghatamkan al-Qur’an.
Adapun shalawat yang diamalkan adalah shalawat Nabi Khidir As atau lebih
sering disebut shalawat rahmat, yakni “Shallallah ‘ala Muhammad.” Dan
itu adalah shalawat yang sering beliau ijazahkan kepada para tamu dan
murid beliau. Adapun shalawat-shalawat yang lain, seperti shalawat
al-Fatih, al-Anwar dan lain-lain. Beliau juga dikenal sebagai ulama yang
mempunyai kepribadian yang sabar, zuhud, tawadhu dan sifat-sifat
kemuliaan yang menunjukan ketinggian dari akhlaq yang melekat pada diri
beliau.
Sehingga amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat
mencintai dan menghormatinya.Beliau disamping dikenal memiliki hubungan
yang baik dengan para ulama besar umumnya, Syaikh Abdul Malik mempunyai
hubungan yang sangat erat dengan ulama dan habaib yang dianggap oleh
banyak orang telah mencapai derajat waliyullah, seperti Habib Sholeh bin
Muhsin al-Hamid (Tanggul, Jember), Habib Ahmad Bilfaqih (Yogyakarta),
Habib Husein bin Hadi al-Hamid (Brani, Probolinggo), KH Hasan Mangli
(Magelang), Habib Hamid bin Yahya (Sokaraja, Banyumas) dan lain-lain.
Diceritakan, saat Habib Soleh Tanggul pergi ke Pekalongan untuk
menghadiri sebuah haul. Selesai acara haul, Habib Sholeh berkata kepada
para jamaah,”Apakah kalian tahu, siapakah gerangan orang yang akan
datang kemari? Dia adalah salah seorang pembesar kaum ‘arifin di tanah
Jawa.”
Tidak lama kemudian datanglah Syaikh Abdul Malik dan jamaah pun terkejut
melihatnya. Hal yang sama juga dikatakan oleh Habib Husein bin Hadi
al-Hamid (Brani, Kraksaan, Probolinggo) bahwa ketika Syaikh Abdul Malik
berkunjung ke rumahnya bersama rombongan, Habib Husein berkata,”Aku
harus di pintu karena aku mau menyambut salah satu pembesar Wali Allah.”
Pengembaraan Mempelajari ilmu Agama dan Guru-Guru
Setelah belajar al-Qur’an dengan ayahnya, asy-Syaikh kemudian mendalami
kembali al-Qur’an kepada KH Abu Bakar bin H Yahya Ngasinan (Kebasen,
Banyumas). Pada tahun 1312 H, ketika Syaikh Abdul Malik sudah menginjak
usia dewasa, oleh sang ayah, ia dikirim ke Mekkah untuk menimba ilmu
agama.
Syeikh Abdul Malik mempunyai banyak guru, baik selama belajar di Tanah
Air maupun di Tanah Suci. Diantara guru-gurunya adalah Syekh Muhammad
Mahfudz bin Abdullah at-Tirmisi al-Jawi, Sayyid Umar as-Syatha' dan
Sayyid Muhammad Syatha', keduanya merupakan ulama besar Makkah dan Imam
Masjidil Haram dan Sayyid Alwi Syihab bin Shalih bin Aqil bin Yahya.
Sebelum berangkat ke tanah Suci, Syeikh Abdul Malik sempat berguru
kepada Kyai Muhammad Sholeh bin Umar Darat Semarang, Sayyid Habib Ahmad
Fad'aq (seorang ulama besar yang berusia cukup panjang, wafat dalam usia
141 tahun), Habib 'Aththas Abu Bakar al-Atthas; Habib Muhammad bin
Idrus al-Habsyi, Surabaya; Sayyid Habib Abdullah bin Muhsin al-Atthas
Bogor.
Sanad Thoriqah Naqsabandiyah Kholidiyah diperolehnya secara langsung
dari sang ayah, Syaikh Muhammad Ilyas; sedangkan sanad Thoriqah
Sadzaliyah didapatkannya dari Sayyid Ahmad Nahrawi al-Makki (Mekkah).
Selama bermukim di Makkah, Syeikh Abdul Malik diangkat oleh pemerintah
Arab Saudi sebagai Wakil Mufti Madzhab Syafi'i, diberi kesempatan untuk
mengajar berbagai ilmu agama termasuk, tafsir dan qira'ah sab'ah. Sempat
menerima kehormatan berupa rumah tinggal yang terletak di sekitar
Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes.
Menurut beberapa santrinya, Syekh Abdul Malik sebenarnya tinggal di
Makkah selama kurang lebih 35 tahun, tetapi tidak dalam satu waktu.
Disamping belajar di tanah Suci selama 15 tahun, ia juga seringkali
membimbing jamaah haji Indonesia asal Banyumas, bekerjasama dengan
Syeikh Mathar Makkah. Aktivitas ini dilakukan dalam waktu yang relatif
lama, jadi sebenarnya, masa 35 tahun itu tidaklah mutlak.
Dalam ilmu al-Qur’an, khususnya ilmu Tafsir dan Ulumul Qur’an, ia
berguru kepada Sayid Umar Syatha’ dan Sayid Muhammad Syatha’ (putra
penulis kitab I’anatuth Thalibin hasyiyah Fathul Mu’in).
Dalam ilmu hadits, ia berguru Sayid Thoha bin Yahya al-Magribi (ulama
Hadhramaut yang tinggal di Mekkah), Sayid Alwi bin Shalih bin Aqil bin
Yahya, Sayid Muhsin al-Musawwa, asy-Syaikh Muhammad Mahfudz bin Abdullah
at-Tirmisi.
Dalam bidang ilmu syariah dan thariqah alawiyah ia berguru pada Habib
Ahmad Fad’aq, Habib Aththas Abu Bakar al-Attas, Habib Muhammad bin Idrus
al-Habsyi (Surabaya), Habib Abdullah bin Muhsin al-Attas (Bogor), Kyai
Soleh Darat (Semarang).
Sementara itu, guru-gurunya di Madinah adalah Sayid Ahmad bin Muhammad
Amin Ridhwan, Sayid Abbas bin Muhammad Amin Raidwan, Sayid Abbas
al-Maliki al-Hasani (kakek Sayid Muhammad bin Alwi al-Maliki al-Hasani),
Sayid Ahmadan-Nahrawi al-Makki, Sayid Ali Ridha. Setelah sekian tahun
menimba ilmu di Tanah Suci, sekitar tahun 1327 H, asy-Syaikh Abdul Malik
pulang ke kampung halaman untuk berkhidmat kepada keduaorang tuanya
yang saat itu sudah sepuh (berusia lanjut).
Kemudian pada tahun 1333 H, sang ayah, asy-Syaikh Muhammad Ilyas berpulang ke Rahmatullah.
Sesudah sang ayah wafat, asy-Syaikh Abdul Malik kemudian mengembara ke
berbagai daerah di Pulau Jawa guna menambah wawasan dan pengetahuan
dengan berjalan kaki. Ia pulang ke rumah tepat pada hari ke-100 dari
hari wafat sang ayah, dan saat itu umur asy-Syaikh berusia tiga puluh
tahun.
Sepulang dari Pengembaraan Mempelajari ilmu Agama
Sepulang dari pengembaraan, asy-Syaikh tidak tinggal lagi di Sokaraja,
tetapi menetap di Kedung Paruk bersama ibundanya, Nyai Zainab.
Perlu diketahui, asy-Syaikh Abdul Malik sering sekali membawa jemaah
haji Indonesia asal Banyumas dengan menjadi pembimbing dan syaikh.
Mereka bekerjasama dengan asy-Syaikh Mathar Mekkah, dan aktivitas itu
dilakukan dalam rentang waktu yang cukup lama. Sehingga wajarlah kalau
selama menetap di Mekkah, ia memperdalam lagi ilmu-ilmu agama dengan
para ulama dan syaikh yang ada di sana.
Berkat keluasan dan kedalaman ilmunya, Syaikh Abdul Malik pernah
memperoleh dua anugrah yakni pernah diangkat menjadi Wakil Mufti Madzab
Syafi’i di Mekkah dan juga diberi kesempatan untuk mengajar. Pemerintah
Saudi sendiri sempat memberikan hadiah berupa sebuah rumah tinggal yang
terletak di sekitar Masjidil Haram atau tepatnya di dekat Jabal Qubes.
Anugrah yang sangat agung ini diberikan oleh Pemerintah Saudi hanya
kepada para ulama yang telah memperoleh gelaral-‘Allamah.
Syaikh Ma’shum (Lasem, Rembang) setiap berkunjung ke Purwokerto,
seringkali menyempatkan diri singgah di rumah asy-Syaikh Abdul Malik dan
mengaji kitab Ibnu Aqil Syarah Alfiyah Ibnu Malik secara tabarrukan
(meminta barakah) kepada asy-Syaikh Abdul Malik.
Demikian pula dengan Mbah Dimyathi (Comal, Pemalang), KH Khalil
(Sirampog, Brebes), KH Anshori (Linggapura, Brebes), KH Nuh (Pageraji,
Banyumas) yang merupakan kiai-kiai yang hafal al-Qur’an, mereka kerap
sekali belajar ilmu al-Qur’an kepada Syaikh Abdul Malik.
Perjuangan Fisik
Adalah tidak benar, jika para ulama ahli tasawuf disebut sebagai para
pemalas, bodoh, kumal dan mengabaikan urusan-urusan duniawi. Meski tidak
berpakaian Necis, namun mereka senantiasa tanggap terhadap berbagai
kejadian yang ada di sekitarnya. Ketika zaman bergolak dalam revolusi
fisik untuk melepaskan diri dari belenggu penjajahan bangsa asing, para
ulama ahli Thoriqoh senyatanya juga turut berjuang dalam satu tarikan
nafas demi memerdekakan bangsanya.
Pada masa-masa sulit zaman penjajahan Belanda dan Jepang, Syeikh Abdul
Malik senantiasa gigih berdakwah. Karena aktivitasnya ini, maka ia pun
menjadi salah satu target penangkapan tentara-tentara kolonial. Mereka
sangat khawatir pada pengaruh dakwahnya yang mempengaruhi rakyat
Indonesia untuk memberontak terhadap penjajah. Menghadapi situasi
seperti ini, ia justru meleburkan diri dalam laskar-laskar rakyat.
Sebagaimana Pangeran Diponegoro, leluhurnya yang berbaur bersama rakyat
untuk menentang penjajahan Belanda, maka ia pun senantiasa menyuntikkan
semangat perjuangan terhadap para gerilyawan di perbukitan Gunung
Slamet.
Pada masa Gestapu, Syeikh Abdul Malik juga sempat ditahan oleh PKI.
Bersamanya, ditangkap pula Habib Hasyim al-Quthban Yogyakarta, ketika
sedang bepergian menuju daerah Bumiayu Brebes untuk memberikan ilmu
kekebalan atau kesaktian kepada para laskar pemuda Islam. Dalam tahanan
ini, Habib Hasyim al-Quthban mengalami shock dan akhirnya meninggal,
sedangkan Syekh Abdul Malik masih hidup dan akhirnya dibebaskan.
Kepribadian Syaikh Abdul Malik
Dalam hidupnya, Syeikh Abdul Malik memiliki dua amalan wirid utama dan
sangat besar, yaitu membaca al-Qur'an dan Shalawat. Dikenal sebagai
ulama yang mempunyai berkepribadian sabar, zuhud, tawadhu dan
sifat-sifat kemuliaan yang menunjukan ketinggian akhlakul karimah. Maka
amat wajarlah bila masyarakat Banyumas dan sekitarnya sangat mencintai
dan menghormatinya.
Syeikh Abdul Malik adalah pribadi yang sangat sederhana, santun dan
ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali melakukan silaturrahim
kepada murid-muridnya, terutama kepada mereka yang miskin atau sedang
mengalami kesulitan hidup. Santri-santri yang biasa dikunjunginya ini,
selain mereka yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa
sekitarnya seperti Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuh waluh, Bojong, juga
sanri-santri lain yang tinggal di tempat jauh.
Kehidupan Syaikh Abdul Malik sangat sederhana, disamping itu ia juga
sangat santun dan ramah kepada siapa saja. Beliau juga gemar sekali
melakukan silaturrahim kepada murid-muridnya yang miskin. Baik mereka
yang tinggal di Kedung Paruk maupun di desa-desa sekitarnya seperti
Ledug, Pliken, Sokaraja, dukuhwaluh, Bojong dan lain-lain.
Hampir setiap hari Selasa pagi, dengan kendaraan sepeda, naik becak atau
dokar, Syaikh Abdul Malik mengunjungi murid-muridnya untuk
membagi-bagikan beras, uang dan terkadang pakaian sambil mengingatkan
kepada mereka untuk datang pada acara pengajian Selasanan (Forum
silaturrahimpara pengikut Thariqah an-Naqsyabandiyahal-Khalidiyah Kedung
paruk yang diadakan setiap hari Selasa dan diisi dengan pengajian dan
tawajjuhan).
Keluarga Syaikh Abdul Malik
Syeikh Muhammad Abdul Malik bin Muhammad Ilyas menikahi tiga orang
istri, dua di antaranya dikaruniai keturunan. Istri pertamanya adalah
Nyai Hajjah Warsiti binti Abu Bakar yang lebih dikenal dengan nama Mbah
Johar. Seorang wanita terpandang, puteri gurunya, K Abu Bakar bin H
Yahya Kelewedi Ngasinan, Kebasen. Istri pertama ini kemudian dicerai
setelah dikaruniai seorang anak lelaki bernama Ahmad Busyairi (wafat
tahun 1953, pada usia sekitar 30 tahun).
Ada sebuah cerita unik tentang putera pertamanya ini. Ahmad Busyairi
adalah seorang pemuda yang meninggal dunia sebelum sempat menikah. Suatu
hari Syeikh Abdul Malik berkata padanya, "Nak, besok kamu menikah di
surga saja ya?"
Mendengar ayahnya bertutur demikian, muka Busyairi terlihat ceria dan
hatinya merasa sangat gembira. Beberapa waktu kemudian, ia meninggal
sebelum berkesempatan menikah.
Istri kedua Syeikh Abdul Malik adalah Mbah Mrenek, seorang janda kaya
raya dari desa Mrenek, Maos Cilacap. Pernikahan ini tidak dikaruniai
anak. Istimewanya, suatu hari Syeikh Abdul Malik hendak menceraikannya,
namun Mbah Mrenek berkata, "Pak Kyai, meskipun Panjenengan (Anda) tidak
lagi menyukai saya, tapi tolong jangan ceraikan saya. Yang penting saya
diakui menjadi istri Anda, dunia dan akhirat."
Mendengar permintaan ini, Syeikh Abdul Malik pun tidak jadi menceraikannya.
Sedangkan istri ketiganya adalah Nyai Hj. Siti Khasanah, seorang wanita
cantik dan shalihah, tetangganya sendiri. Pernikahan ini, dikaruniai
seorang anak perempuan bernama Hj. Siti Khairiyyah yang wafat empat
tahun sepeninggal Syekh Abdul Malik. Dari puterinya inilah nasab Syeikh
Abdul Malik diteruskan.
Murid-murid Syaikh Abdul Malik
Murid-murid dari Syaikh Abdul Malik diantaranya KH Abdul Qadir, Kiai
Sa’id, KH Muhammad Ilyas Noor (mursyid Thariqahan-Naqsabandiyah
al-Khalidiyah), KH Sahlan (Pekalongan), Drs Ali Abu Bakar Bashalah
(Yogyakarta), KH Hisyam Zaini (Jakarta), Habib Muhammad Luthfi bin Ali
bin Yahya (Pekalongan), KH Ma’shum (Purwokerto) dan lain-lain.
Sebagaimana diungkapkan oleh murid beliau, yakni Habib Luthfi bin Yahya,
Syaikh Abdul Malik tidak pernah menulis satu karya pun. “Karya-karya
al-Alamah Syaikh Abdul Malik adalah karya-karya yang dapat berjalan,
yakni murid-murid beliau, baik dari kalangan kyai, ulama maupun
shalihin.Diantara warisan beliau yang sampai sekarang masih menjadi
amalan yang dibaca bagi para pengikut thariqah adalah buku kumpulan
shalawat yang beliau himpun sendiri, yaitu al-Miftah al-Maqashid li-ahli
at-Tauhid fi ash-Shalah ‘ala babillah al-Hamid al-majid Sayyidina
Muhammad al-Fatih li-jami’i asy-Syada’id.”
Shalawat ini diperolehnya di Madinah dari Sayyid Ahmad bin Muhammad
Ridhwanial-Madani. Konon, shalawat ini memiliki manfaat yang sangat
banyak, diantaranya bila dibaca, maka pahalanya sama seperti membaca
kitab Dala’ilu al-Khairat sebanyak seratus sepuluh kali, dapat digunakan
untuk menolak bencana dan dijauhkan dari siksa neraka.
Selain, menularkan ilmunya kepada santri-santi yang kemudian menjadi
ulama dan pemimpin umat, Syeikh Abdul Malik juga memiliki santri-santri
dari berbagai kalangan, seperti Haji Hambali Kudus, seorang pedagang
yang dermawan dan tidak pernah rugi dalam aktivitas dagangnya dan Kyai
Abdul Hadi Klaten, seorang penjudi yang kemudian bertaubat dan menjadi
hamba Allah yang shaleh dan gemar beribadah.
Pesan Syaikh Abdul Malik
Salah seorang cucu Syeikh Abdul Malik mengatakan, ada tiga pesan dan wasiat yang disampaikan Beliau kepada cucu-cucunya.
Pertama, jangan meninggalkan shalat. Tegakkan shalat sebagaimana telah
dicontohkan Rasululah Saw. Lakukan shalat fardhu pada waktunya secara
berjama'ah. Perbanyak shalat sunnah serta ajarkan kepada para generasi
penerus sedini mungkin.
Kedua, jangan tinggalkan membaca al-Qur'an. Baca dan pelajari setiap
hari serta ajarkan sendiri sedini mungkin kepada anak-anak. Sebarkan
al-Qur'an di manapun berada. Jadikan sebagai pedoman hidup dan lantunkan
dengan suara merdu. Hormati orang-orang yang hafal al-Qur'an dan
qari'-qari'ah serta muliakan tempat-tempat pelestariannya.
Ketiga, jangan tinggalkan membaca shalawat, baca dan amalkan setiap
hari. Contoh dan teladani kehidupan Rasulullah Saw serta tegakkanlah
sunnah-sunnahnya. Sebarkan bacaan shalawat Rasulullah, selamatkan dan
sebarluaskan ajarannya.
Syaikh Abdul Malik wafat
Pada hari Kamis, 21 Jumadil Akhir 1400 H. yang bertepatan dengan 17 April 1980 M. sekitar pukul 18.30 WIB (malam
Jum'at), Syekh Abdul Malik meminta izin kepada istrinya untuk melakukan
shalat Isya' dan masuk ke dalam kamar khalwatnya. Tiga puluh menit
kemudian, salah seorang cucunya mengetuk kamar tersebut, namun tidak ada
jawaban. Setelah pintu dibuka, rupanya sang mursyid telah berbaring
dengan posisi kepala di utara dan kaki di selatan, tanpa sehela nafas
pun berhembus. Syeikh Abdul Malik kemudian dimakamkan pada hari Jum'at,
selepas shalat Ashar di belakang Masjid Bahaul Haq wa Dhiyauddin Kedung
Paruk, Purwokerto.