Raden Adipati Singaperbangsa, dikenal pula dengan sebutan Panembahan
Singaperbangsa, Dalem Kalidaon atau Eyang Manggung, adalah bupati
Karawang pertama dan berjabat dari tahun 1633 sampai 1677 dengan gelar
Adipati Kertabumi IV.
Menurut sejarah resmi Kabupaten Karawang, Singaperbangsa adalah putera Wiraperbangsa dari Kerajaan Galuh.
Panembahan Singaperbangsa mempunyai garis keturunan dari Prabu Geusan
Ulun, penguasa kerajaan Sumedang Larang. Beliau adalah putera dari
Adipati Kertabumi III yang telah berhasil mengusir Pangeran Nagaragan
dari Banten. Nagaragan sebelumnya berusaha menguasai daerah Karawang.
Keberhasilan Adipati Kertabumi III ini membuatnya dianugerahi keris yang
diberi nama “Karosinjang” dan perintah untuk tetap memegang kekuasaan
di Karawang sebagai wakil dari Sultan Agung dari Mataram. Namun tugas
itu tidak dapat ditunaikan karena Adipati Kertabumi III meninggal dunia
pada saat berada di Galuh. Selanjutnya, melalui Piagam Pelat Kuningan
Kandang Sapi Gede, Sultan Agung mengangkat Singaperbangsa sebagai
penguasa di Karawang dengan gelar Adipati Kertabumi IV.
Pengangkatan Singaperbangsa ini dipandang sebagai titik awal lahirnya
Kabupaten Karawang, dengan Singaperbangsa sebagai bupati pertama. Dalam
melaksanakan tugasnya, Singaperbangsa didampingi oleh Aria Wirasaba,
yang pada waktu itu oleh VOC disebut Tweede regent (“bupati kedua”),
sedangkan Singaperbangsa sendiri disebut Hoofd regent (“bupati utama”).
Pada masa pemerintahan Singaperbangsa, pusat pemerintahan Karawang
berada di Bunut Kertayasa (sekarang termasuk wilayah kelurahan Karawang
Kulon, kecamatan Karawang Barat, Karawang).
Singaperbangsa wafat pada tahun 1677.
Makam Bupati Karawang
Mungkin diantara pembaca sudah pernah mendengar nama daerah yang bernama
kampung Cigobang, desa Manggung Jaya, di Kecamatan Cilamaya Kabupaten
Karawang. Bagi orang yang tahu daerah tersebut pasti sudah tidak asing
lagi dan secara tidak langsung sebagian dari mereka akan tertuju kesuatu
tempat yaitu makam Bupati pertama Karawang Dalem Adipati Singaperbangsa
dan makam para bupati penerusnya yang pernah memerintah Kabupaten
Karawang. Dan bagi orang yang tidak tahu, mungkin akan bertanya-tanya
tentang apa yang menariknya tempat tersebut, sehingga orang lain banyak
mengenalnya, tidak hanya orang Karawang, masyarakat diluar Karawang pun
sudah mengenal bahkan tidak sedikit dari mereka yang pernah berkunjung.
Makam tersebut terletak disebelah barat laut kecamatan Cilamaya, dan
dibagian utara kabupaten karawang. Disekeliling tempat tersebut,
terdapat sawah-sawah yang terbentang luas dengan disertai kebun-kebun,
dan disana juga terdapat tambak-tambak ikan yang dikelola oleh penduduk
sekitar. Dibagian utara dari makam tersebut terdapat pesisir pantai dan
muara yang bernama Muara Ciparage, yang sebelumnya terbentang sungai
besar yang melintasi daerah Tempuran dan sekitarnya. Sungai besar
tersebut berasal dari aliran-aliran sungai dibagian utara Jawa Barat.
Sungai tersebut dapat mengairi pesawahan dan tambak Ikan milik penduduk
sekitarnya.
Antara kota Karawang dan desa Manggung Jaya ± berjarak 40 km. Tempat
yang sering dijadikan sarana bagi orang yang berjiarah tersebut,
dihubungkan oleh empat arah, diantaranya arah dari Barat adalah dari
Turi dan menuju kecamatan Telagasari lalu mengarah ke kota Karawang. Ke
timur adalah arah dari Cilamaya, kearah utara adalah muara Ciparage dan
pesisir pantai, sedangkan dari arah selatan menuju ke kecamatan Lemah
Abang Wadas dan Cikampek.
Disekitar daerah pemakaman banyak tumbuh pohon kelapa, karena berdekatan
dengan pesisir pantai dan laut, rasa air disana pun terasa asin. Dan
hal itu dimanfaatkan penduduk untuk memelihara ikan yang ditempatkan di
tambak-tambak yang tidak jauh dari rumah mereka.
Pengelolaan dan Pelestarian Makam Singaperbangsa
Mengingat tempat tersebut adalah makam dari bupati Karawang, jadi sistem
kepengurusan dan pengelolaannya, dipimpin langsung oleh bupati Karawang
yang sekarang memerintah dan dibawah pengawasan Pemda Kabupaten
Karawang.Bahkan sejak dari pendiriannya sampai sekarang pengelolaan dan
pelestarian makam keramat tersebut sudah dimasukan dalam anggaran dari
Pemda Karawang.
Para pegawai maupun Bupati Karawang sering berkunjung ke tempat tersebut
bahkan tidak jauh dari pemakaman sudah didirikan rumah persingggahan
untuk Bupati dan rombongannya. Terutama pada tanggal 10 Mulud
(Penanggalan tahun hijriah/Islam), bersamaan dengan peringatan Maulid
Nabi Muhammad Saw, dipastikan para pejabat tinggi pemerintah Karawang
tersebut hadir disana, untuk melakukan jiarah.
Khusus pada saat hari ulang tahun Kabupaten Karawang selain
berkunjungnya Bupati dan rombongan, juga sering dilakukan penulisan
ulang buku sejarah kabupaten Karawang dan makam Singaperbangsa termasuk
didalamnya. Menurut keterangan penjaga makam/kuncen, bahwa perenovasian
makam agung tersebut, dengan membangun benteng disekitarnya.
Bentuk dari makam yang hanya dikhususkan bagi para bupati tersebut,
terdiri dari sebuah bangunan yang cukup besar, yang bentuknya menyerupai
Keraton yang didalamnya terdapat tujuh buah makam yang satu sama lain
terpisah dalam masing-masing ruangan. Dibelakangnya terdapat sebuah
mushola dan sebuah bangunan tempat peristirahatan yang disekelilingnya
ditumbuhi pohon-pohon besar dan rindang yang diperkirakan sudah berumur
puluhan tahun. Bangunan-bangunan tersebut dibangun diatas lahan seluas 2
hektar, dan sudah menjadi lahan milik pemerintah Karawang.
Didalam bangunan pemakaman terdapat 7 buah makam, yang diantaranya 5
makam almarhum Bupati, 1 makam sesepuh daerah tersebut, dan 1 makam lagi
belum diisi. Menurut informasi, makam kosong tadinya diperuntukan bagi
Bupati Ke-6, tetapi karena tidak diperbolehkan oleh keluarga yang
bersangkutan, proses pemindahannya tidak berlangsung.
Adapun nama Makam Bupati dan sesepu tersebut, adalah sebagai berikut :
Dalem Adipati Singaperbangsa, dengan gelar Adipati Kertabumi IV, yaitu Bupati Ke- 1, periode 1633-1677
R. Anom Wirasuta, dengan gelar R.A. Patatayuda I, yaitu Bupati ke-2, periode 1677-1721
R. Jayanegara, dengan gelar R.A Panatayuda II, yaitu Bupati Ke-3, periode 1721-1731
R. Martanegara / R. Singanagara, dengan gelar R. A Panatayuda III, yaitu Bupati Ke-4, periode 1731-1752
R. Mohamad Soleh, dengan gelar R. A Panatayuda IV, yaitu Bupati Ke-5, periode 1752-1786
Ibu Siti Ansiah (Keramat Manggung), Kampung Kali Daon Cigobang, Desa Ciparage
Sebelumnya di Manggung Jaya hanya terdapat makam panembahan
Singaperbangsa. Yang menurut cerita ditemukan menurut pemberitahuan dari
seorang Guru Besar Agama Islam di Purwakarta yang menyatakan kepada
muridnya yang tinggal di Manggung, bahwa di daerah tersebut terdapat
makam seorang Wali Allah yang hapal Al-Quran dan merupakan seorang
pemimpin.
Setelah berdiri, baru apada sekitar tahun 1993 diadakan penyatuan
jenazah para almarhum Bupati setelah pemerintahan Adipati Singaperbangsa
untuk dimakamkan, satu pemakaman yaitu di Manggung Jaya akan tetapi
yang berhasil hanya empat Bupati, untuk yang lainnya dipertahankan oleh
pihak keluarganya.
Keadaannya Sekarang
Sejarah ternyata hanyalah sebuah tumpukan cerita, terkadang menumpuk
begitu saja sampai tidak terurus dan tercancam musnah, sampai selesainya
tulisan ini, penulis masih prihatin terutama mengenai kelestarian situs
sejarah dipemakaman bupati ini, tahun demi tahun semakin sepi, hanya
orang-orang tertentulah yang berkunjung, dan yang lebih memperihatinkan,
bangunan tampak sudah tidak terurus dan terlantar. Secara objek memang
situs ini kalah jauh dibandingkan objek pantai disekitarnya yang dari
waktu ke waktu semakin ramai dikunjungi wisatawan baik dari Karawang
maupun dari luar, tapi secara nilai historis, budaya ataupun keilmuan,
situs ini seharusnya bisa dikembangkan lagi menjadi objek yang lebih
menarik. Jangan sampai punah termakan jaman, dan dilupakan terutama oleh
generasi mendatang.
Legenda Kobak Sumur
Pantangan warga Desa Ciranggon agar tidak memelihara atau menyembelih
kambing memang dibenarkan oleh para sesepuh Karawang. Pantangan tersebut
tidak lepas dari keberadaan telaga atau sendang yang berbentuk sumur di
desa tersebut, yang oleh warga seputar disebut sebagai Kobak Sumur.
Konon menurut cerita warga setempat, sumur tua inilah yang menjadi
sumber dari segala ihwal cerita yang berkaitan dengan pantangan warga
memelihara dan menyembelih kambing.
Larangan memelihara atau menyembelih kambing itu sejatinya juga
berpangkal dari satu peristiwa berdarah yang berlangsung di bumi
Karawang di masa silam.
“Kejadian itu ada kaitannya dengan cerita berdirinya Karawang ratusan
tahun silam, ” ujar pria berkacamata yang kerap mementaskan wayang Golek
dengan cerita Babad Tanah Karawang itu ketika ditemui Misteri di
kediamannya.
Peristiwa yang dimaksud dalang kondang ini yakni kisah “terpenggalnya”
kepala Singa Perbangsa, Bupati Karawang di masa silam. Dalam sejarah
disebutkan bahwa pemberontakan Trunajaya berpengaruh besar bagi
Karawang. Hal itu dijadikan kesempatan oleh orang-orang Makasar yang
membantu pemberontakan Trunajaya untuk melakukan aksi kriminal seperti
merampok, merampas harta benda dan bahkan pembunuhan warga yang tidak
berdosa. Aksi ini pada akhirnya menimbulkan kesengsaraan rakyat Karawang
yang hidup di sekitar Pantai Utara Jawa.
Di saat yang sama, penduduk Karawang yang tinggal di sepanjang sungai
Citarum, juga tak luput dari gangguan orang-orang Banten yang dendam
karena pangeran Puger Agung dipenggal kepalanya oleh Adipati Kertabumi
IV, atau Singa Perbangsa III, Bupati Karawang pada masa itu.
Sebagaimana yang ditetapkan dalam pelat berupa kuningan yang disebut
sebagai Kandang Sapi Gede, yang merupakan bukti surat pengangkatan
wadana (bupati) Karawang, bahwa antara Singa Perbangsa dan Aria Wirasaba
adalah setingkat tetapi dalam pelaksanaan roda pemerintahan, Aria
Wirasaba dianggap bawahan Adipati Kertabumi IV alias Singa Perbangsa
III, sebagai Bupati Karawang. Sementara Aria Wirasaba hanya
mempertahankan dan memerintah Waringin Pitu, Parakan Sapi dan Adiarsa.
Kekurang kompakan mereka sebagai tampuk pimpinan dimanfaatkan oleh 2
orang pimpinan pasukan tentara Trunajaya yaitu Nata Manggala dan
Wangsananga yang diberi tugas memblokir jalan menuju ke Batavia untuk
menghalangi Amangkurat meminta bantuan kompeni Belanda. Kekusutan
hubungan dua tokoh ini juga dijadikan kesempatan untuk menyerang
kediaman Singa Perbangsa, yang memang dianggap membantu terjadinya
perundingan di Jepara antara Mataram dan Kompeni, hingga mengakibatkan
Trunajaya di hukum mati.
Maka pendopo Karawang diserang oleh Nata Manggala dan Wangsanga bersama
pasukannya. Singa Perbangsa terdesak dan lari ke arah utara. Akan
tetapi di daerah Tunggak Jati Tengah, Singa Perbangsa berhasil ditangkap
dan dipenggal kepalanya. Sedangkan dalem istri dan keluarga serta
Raden Anom Wirasuta, Putra Singa Perbangsa, menyelamatkan diri dengan
menyebrangi sungai Citarum. Rombongan eksodus ini dipimpin oleh Dalem
Singa Derpa Kerta Kumambang. Rombongan ini terus melarikan diri menuju
ke selataan.
Hampir bersamaan dengan peristiwa pralayanya Singa Perbangsa ini, R.
Suriadipati Putra Rangga Gede dari Sumedanglarang, diangkat menjadi
Rangga di Kelapa Dua. Sementara Indra Manggala Putra Dalem Jaya
Manggala dari Sukakerta, Tasikmalaya, juga mendengar Karwang diserang
pemberontak. Dia dan pasukannya segera melarikan kudanya menuju
Karawang. Sampai di suatu tempat Indra Manggala bertemu dengan
rombongan keluarga bupati Karawang yang dipimpin Singa Derpa Kerta
Kumambang. Kedua belah pihak kemudian melakukan perjanjian damai. Tempat
atau bekas perundingan damai ini kini disebut Kampung Badami
(berdamai?), yang kini termasuk wilayah Wadas, Teluk Jambe.
Setelah pejanjian damai disepakati, Suriadipati dan Indra Manggala
segera berupaya menyelamatkan bupati Singa Perbangsa dengan cara
menyusup ke wilayah kotaraja.
Meski akhirnya mereka tahu kalau Singa Perbangsa telah gugur, namun
Suriadipati dan Indra Manggala telah sepakat bahwa apapun yang terjadi,
kepala bupati Karawang yang terpisah dari badannya itu harus bisa
diselamatkan.
Dikisahkan, selang beberapa waktu kemudian, keduanya dapat memasuki
kotaraja Karawang. Bahkan, mereka dapat menyusup ke areal pendopo
Karawang yang telah diduduki kaum pemberontak. Ketika itulah mereka
melihat potongan kapala Singa Perbangsa dipertontonkan dengan cara
ditancapkan dekat pendopo. Maksudnya tak lain agar rakyat Karawang
menyerah dan tunduk kepada para pemberontak.
Dengan taktik dan strategi yang jitu, Suriadipati dan Indra Manggala
dengan cepat menyelamatkan kepala bupati Karawang tersebut. Mereka
kemudian membawanya untuk dipersatukan kembali dengan tubuhnya yang
telah dibawa terlebih dahulu oleh para abdi dalem dan rakyat Karawang
yang telah mengungsi. Maksudnya tak lain untuk dimakamkan secara layak.
Menurut tutur, daerah yang dilalui para abdi dalem dan rakyat Karawang
dalam pelariannya disebut Klari. Konon, setelah pemakaman selesai para
abdi dalem kembali menemui Singaderpa Kerta Kumambang di Citaman.
Menurut riwayat yang disebarkan secara getok tular (dari mulut ke
mulut), sebelum keduanya tiba di daerah Manggung Jaya, lokasi yang
direncanakan untuk memakamakan Singa Perbangsa, Rangga Suriadipati dan
Indra Manggala beristirahat di daerah Ciranggon, tepatnya di kawasan
irigasi, dekat sebuah sendang,. Nah, sendang inilah yang sekarang
disebut Kobak Sumur oleh masyarakat setempat.
Disebutkan, karena merasa prihatin melihat potongan kepala Singa
Perbangsa yang kotor,. meski masih dihantui kejaran pasukan Trunajaya,
namun keduanya menyempatkan diri untuk membersihkan potongan kepala
Singa Perbangsa yang berlumur darah kering itu. Tempat mencucinya d
Kobak Sumur tersebut.
Konon, akibat perbuatan mereka yang sembrono ini, air sendang yang
tadinya jernih, seketika memerah dan berbau anyir. Apa yang terjadi
kemudian? Akhirnya, secara tiba-tiba Rangga Suriadipati dan Indra
Manggala merasakan suasana di sekitarnya jadi hening laksana di kuburan.
Seiring dengan itu, indera keenam mereka juga menangkap adanya sesosok
makhluk halus beraura jahat yang hadir di tempat itu. Dengan kesaktian
yang mereka miliki, lantas keduanya melakukan kontak gaib dengan
makhluk tak diundang tersebut.
Hasilnya? Mereka bisa ketahui jika makhluk halus tersebut adalah siluman
penunggu kawasan tersebut. Dari hasil dialog gaib bisa disimpulkan
bahwa siluman tersebut sangat tertarik dengan kepala dan bau anyir
potongan kepala Singa Perbangsa.
Dengan rasa tanggung jawab besar, mereka akhirnya coba mengusir makluh
gaiob tersebut. Akan tetapi siluman itu ternyata memiliki kesaktian
tinggi, sehingga tak mudah menaklukkannya. Bahkan, sang siluman terus
mengganggu pekerjaan Rangga Suriadipati dan Indra Manggala yang akan
membawa potongan kepala Sing Perbangsa dan menyatukan dengan tubuhnya.
Ketika mereka terdesak dan hampir hilang akal, maka ketika itulah mereka
melihat beberapa orang sedang menggiring kambing. Rangga Suriadipati
segera tanggap. Dipanggilnya para penggiring kambing itu. Dia pun
menceritakan kesulitan yang tengah dihadapannya, dan meminta agar para
penggiring kambing itu sudi menyerahkan salah seekor kambingnya untuk
dijadikan tumbal pengganti potongan kepala Singa Perbangsa.
Terdorong oleh kecintaan mereka, dan demi menyelamatkan potongan kepala
Singa Perbangsa, salah seorang penggiring kambing itu segera menyerahkan
seekor kambing jantan miliknya. Kambing inilah yang kemudian disembelih
dan kepalanya dipisah dari badannya. Kepala kambing ini kemudian
menjadi pengganti potongan kepala Singa Perbangsa. Potongan kepala
kambing itu lantas ditancapkan di sekitar sendang Kobak Sumur,
menggunakan batang bambu kuning, dengan maksud untuk mengelabui si
makhluk halus yang menginginkan potongan kepala Singa Perbangsa.
Dengan melakukan ritual sederhana ini akhirnya mereka terlepas dari
gangguan siluman. Dengan mata kepala sendiri, mereka menyaksikan wujud
sosok siluman itu pergi membawa bangkai kambing tanpa kepala tersebut,
sementara kepalanya ditinggalkan menancap dilokasi sendang.
Menurut peneropongan batin keduanya siluman itu tertarik dengan kepala
kambing yang masih basah dengan darah. Dan mereka yakin siluman itu
akan kembali mengambilnya.
Disamping untuk mengelabui siluman, penancapan kepala kambing itu
dimaksudkan juga sebagai tanda isyarat bagi pengikut Dalem Singa
Perbangsa III, bahwa kepala junjungannya telah berhasil diselamatkan.
Urusan dengan siluman penunggu sendang telah selesai. Karena itulah
Rangga Suriadipati dan Indra Manggala kemudian segera meneruskan
perjalanannya ke manggung. “Konon dari peristiwa itulah, tercipta
kenapa di daerah Ciranggon orang tabu untuk memelihara apalagi
menyembelih kambing, termasuk untuk berkurban. Bahkan, bagi para pelaku
spiritual, apa yang disebut Kobak Sumur itu sampai detik ini masih
diziarahi,”
“Rata-rata yang datang ke Sumur Kobak dengan maksud memperoleh berkah
kebaikan, entah dari segi perdagangan maupun pertanian.”.Namun
diingatkan, kepercayaan ini hendaknya disikapi dengan bijak. “Jangan
sampai menyesatkan, apalagi berakibat syirik!”