Ada pepatah yang menyatakan : "Penghargaan pada seseorang tergantung
karena busananya." Mungkin pepatah itu lahir dari pandangan psikolog
yang mendasarkan pada kerapian, kebersihan busana yang dipakai seseorang
itu menunjukkan watak atau karakter yang ada dalam diri orang itu.
Di kalangan masyarakat Jawa Tengah pada umumnya untuk suatu perhelatan
tertentu, misalnya pada upacara perkawinan, para kaum prianya harus
mengenakan busana Jawi jangkep (busana Jawa lengkap).
Dan kewajiban itu harus ditaati terutama oleh mempelai pria, yaitu harus
menggunakan/memakai busana pengantin gaya Jawa yaitu berkain batik,
baju pengantin, tutup kepala (kuluk) dan juga sebilah keris diselipkan
di pinggang. Mengapa harus keris? Karena keris itu oleh kalangan
masyarakat di Jawa dilambangkan sebagai simbol "kejantanan." Dan
terkadang apabila karena suatu sebab pengantin prianya berhalangan hadir
dalam upacara temu pengantin, maka ia diwakili sebilah keris. Keris
merupakan lambang pusaka.
Pandangan ini sebenarnya berawal dari kepercayaan masyarakat Jawa dulu,
bahwa awal mula eksistensi mahkluk di bumi atau di dunia bersumber dari
filsafat agraris, yaitu dari menyatunya unsur lelaki dengan unsur
perempuan. Di dunia ini Allah Swt, menciptakan makhluk dalam dua jenis
seks yaitu lelaki dan perempuan, baik manusia, hewan, maupun
tumbuh-tumbuhan.
Kepercayaan pada filsafat agraris ini sangat mendasar di lingkungan
keluarga besar Karaton di Jawa, seperti Karaton Kasunanan Surakarta,
Kasultanan Yogyakarta, dan lain-lain. Kepercayaan itu mulanya dari
Hinduisme yang pernah dianut oleh masyarakat di Jawa. Lalu muncul pula
kepercayaan tentang bapa angkasa dan ibu bumi/pertiwi.
Yang juga dekat dengan kepercayaan filsafat agraris di masyarakat Jawa
terwujud dalam bentuk upacara kirab pusaka pada menjelang satu Sura
dalam kalender Jawa dengan mengkirabkan pusaka unggulan Karaton yang
terdiri dari senjata tajam: tombak pusaka, pisau besar (bendho).
Arak-arakan pengirab senjata pusaka unggulan Karaton berjalan
mengelilingi komplek Karaton sambil memusatkan pikiran, perasaan, memuji
dan memohon kepada Sang Maha Pencipta alam semesta, untuk beroleh
perlindungan, kebahagiaan, kesejahteraan lahir dan batin.
Fungsi utama dari senjata tajam pusaka dulu adalah alat untuk membela
diri dari serangan musuh, dan binatang atau untuk membunuh musuh. Namun
kemudian fungsi dari senjata tajam seperti keris pusaka atau tombak
pusaka itu berubah. Di masa damai, kadang orang menggunakan keris hanya
sebagai kelengkapan busana upacara kebesaran saat temu pengantin.
Maka keris pun dihias dengan intan atau berlian pada pangkal hulu keris.
Bahkan sarungnya yang terbuat dari logam diukir sedemikian indah,
berlapis emas berkilauan sebagai kebanggaan pemakainya. Lalu, tak urung
keris itu menjadi komoditi bisnis yang tinggi nilainya.
Tosan Aji atau senjata pusaka itu bukan hanya keris dan tombak khas Jawa
saja, melainkan hampir seluruh daerah di Indonesia memiliki senjata
tajam pusaka andalan, seperti rencong di Aceh, badik di Makasar, pedang,
tombak berujung tiga (trisula), keris bali, dan lain-lain.
Ketika Sultan Agung menyerang Kadipaten Pati dengan gelar perang Garudha
Nglayang, Supit Urang, Wukir Jaladri, atau gelar Dirada Meta, prajurit
yang mendampingi menggunakan senjata tombak yang wajahnya diukir gambar
kalacakra.
Keris pusaka atau tombak pusaka yang merupakan pusaka unggulan itu
keampuhannya bukan saja karena dibuat dari unsur besi baja, besi, nikel,
bahkan dicampur dengan unsur batu meteorid yang jatuh dari angkasa
sehingga kokoh kuat, tetapi cara pembuatannya disertai dengan iringan
doa kepada Sang Maha Pencipta Alam (Allah SWT) dengan suatu upaya
spiritual oleh Sang Empu.
Sehingga kekuatan spiritual Sang Maha Pencipta Alam itu pun dipercayai
orang sebagai kekuatan magis atau mengandung tuah sehingga dapat
mempengaruhi pihak lawan menjadi ketakutan kepada pemakai senjata pusaka
itu.
Pernah ada suatu pendapat yang berdasarkan pada tes ilmiah terhadap
keris pusaka dan dinyatakan bahwa keris pusaka itu mengeluarkan
energi/kekuatan yang tidak kasat mata (tak tampak dengan mata biasa).
Yang menarik hati adalah keris yang dipakai untuk kelengkapan busana
pengantin pria khas Jawa. Keris itu dihiasi dengan untaian bunga mawar
melati yang dikalungkan pada hulu batang keris. Ternyata itu bukan hanya
sekedar hiasan, melainkan mengandung makna untuk mengingatkan orang
agar jangan memiliki watak beringas, emosional, pemarah,
adigang-adigung-adiguna, sewenang-wenang dan mau menangnya sendiri
seperti watak Harya Penangsang.
Kaitannya dengan Harya Penangsang ialah saat Harya Penangsang berperang
melawan Sutawijaya, karena Penangsang pemarah, emosional, tidak bisa
menahan diri, perutnya tertusuk tombak Kyai Plered yang dihujamkan oleh
Sutawijaya. Usus keluar dari perutnya yang robek. Dalam keadaan ingin
balas dendam dengan penuh kemarahan Penangsang yang sudah kesakitan itu
mengalungkan ususnya ke hulu keris di pinggangnya. Ia terus menyerang
musuhnya.
Pada suatu saat Penangsang akan menusuk lawannya dengan keris Kyai Setan
Kober di bagian pinggang, begitu keris dihunus, ususnya terputus oleh
mata keris pusakanya. Penangsang mati dalam perang dahsyat yang menelan
banyak korban. Dari peristiwa itulah muncul ide keris pengantin dengan
hiasan untaian bunga mawar dan melati.
Tosan aji atau senjata pusaka seperti tombak, keris dan lain-lain itu
bisa menimbulkan rasa keberanian yang luar biasa kepada pemilik atau
pembawanya. Orang menyebut itu sebagai piyandel, penambah kepercayaan
diri, bahkan keris pusaka atau tombak pusaka yang diberikan oleh Sang
Raja terhadap bangsawan Karaton itu mengandung kepercayaan Sang Raja
terhadap bangsawan unggulan itu. Namun manakala kepercayaan sang raja
itu dirusak oleh perilaku buruk sang adipati yang diberi keris tersebut,
maka keris pusaka pemberian itu akan ditarik/diminta kembali oleh sang
raja.
Hubungan keris dengan sarungnya secara khusus oleh masyarakat Jawa
diartikan secara ilosoi sebagai hubungan akrab, menyatu untuk mencapai
keharmonisan hidup di dunia. Maka lahirlah filosofi "manunggaling kawula
– Gusti", bersatunya abdi dengan rajanya, bersatunya insan kamil dengan
Penciptanya, bersatunya rakyat dengan pemimpinnya, sehingga kehidupan
selalu aman damai, tentram, bahagia, sehat sejahtera.
Selain saling menghormati satu dengan yang lain masing-masing juga harus
tahu diri untuk berkarya sesuai dengan porsi dan fungsinya
masing-masing secara benar. Namun demikian, makna yang dalam dari tosan
aji sebagai karya seni budaya nasional yang mengandung berbagai aspek
dalam kehidupan masyarakat Jawa pada umumnya,kini terancam
perkembangannya karena aspek teknologi sebagai sahabat budayanya kurang
diminati ketimbang aspek legenda magisnya.
Makna keris Jalak Sangu Tumpeng
Dalam pakem perkerisan, sangat banyak dapur jalak yang kita kenal,
antara lain : Jalak, Jalak Ngore, Jalak Dinding, Jalak Sinom, dan Jalak
Sangu Tumpeng. Dapur Jalak hampir semuanya merupakan dapur yang populer.
Bahkan kerap ditemui dapur Jalak Sangu Tumpeng disimpan sebagai pusaka
keluarga. Keris dapur ini kadang diberikan orang tua kepada anaknya
ketika hendak pergi merantau mencari nafkah (bekerja).
Dapur Keris Jalak merupakan dapur keris yang telah ada sejak jaman kuno.
Bagi sebagian penggemar keris, dapur Jalak Sangu Tumpeng dipercaya
sebagai pusaka yang mempunyai tuah ke-rejeki-an atau memudahkan mencari
nafkah. Bagi sebagian orang hal semacam ini dianggap kepercayaan yang
mistik dan sirik.
Meski dalam kenyataannya, nuansa cultural leluhur (khususnya orang jawa)
akan sulit ditinggalkan sampai kapan pun dalam memandang suatu pusaka.
Karena itu tuduhan syirik jelas ditolak mentah-mentah, sebab budaya
leluhur mengajarkan demikian dan sama sekali tidak memper-tuhan-kan
sebilah keris. Meski demikian benturan anatar budaya dan agama masih
saja sering terjadi.
Tidak ada salahnya jika kita sedikit memperluas cakrawala pemikiran.
Kita mencoba untuk mencari, mempelajari dan memahami segala sesuatu
dibalik nilai-nilai budaya, bukan sebaliknya justru meninggalkan dan
membuang suatu karya budaya karena takut dituduh syirik atau dianggap
kuno ketinggalan jaman.
Minimnya budaya baca-tulis bangsa ini di jaman dahulu menyebabkan banyak
pengajaran hidup dilakukan secara lisan (tutur). Dan agar lebih mudah
mengingatnya, banyak hal “dicatat” dalam bentuk simbol-simbol dari suatu
produk budaya, misalkan dalam bentuk tarian, gambar, ukiran, cerita,
upacara-upacara tradisi, dan tak terkecuali keris.
Tidak ada ukuran / standar bagaimana suatu dapur atau pamor keris harus
diinterpretasikan maknanya. Makna yang direfleksikan pada sebuah dapur
keris akan sangat tergantung pada keleluasaan cakrawala masing-masing
individu. Ajaran filsafat jawa yang dibungkus dalam suatu karya seni
keris, tentunya mempunyai suatu perlambang tentang ajaran mengenai hidup
dan kehidupan. Dalam hal ini budaya jawa membuka lebar-lebar setiap
interpretasi, dengan tetap berpijak pula kepada ajaran budi luhur para
leluhur.
Penamaan dapur keris tidak lepas dari maksud dan tujuan yang hendak
disampaikan dalam dapur keris itu sendiri. Hal ini tidak lepas dari
makna setiap ricikan yang ada dalam sebilah keris.
Mungkin dengan latar belakang demikianlah, seorang empu menciptakan
dapur dan memberinya nama. Empu, dalam memberi nama dapur keris tidaklah
sembarangan. Sebuah nama dapat merupakan doa, harapan, simbol dari
suatu ajaran atau pun pandangan hidup.
Para empu pinilih tersebut tidak hanya ahli dalam hal teknis olah tempa
dan laras(“ilmu”), namun juga memiliki keleluasaan pengetahuan olah
batin (“ngelmu”) yang dimanifestasikan dalam karyanya, baik secara
estetika teknis fisik maupun aspek spiritual. Sehingga, dalam
perkembangannya keris bukan hanya sebagai senjata, namun juga sebagai
karya seni tempa logam yang memuat nilai-nilai budaya luhur.
Seseorang yang memberikan keris kepada orang lain atau keturunananya,
seolah memberikan pesan dan harapan, agar penerima dapat menjalankan
nilai-nilai yang terkandung di dalam dapur keris tersebut. Sedangkan
empu keris seolah memberikan dorongan moril dan doa agar siapa pun yang
menyimpan hasil karyanya, diberikan petunjuk oleh Tuhan, sesuai dengan
nilai-nilai simbolik dalam keris karyanya tersebut.
Nama Jalak Sangu Tumpeng dapat diartikan Burung Jalak Berbekal Tumpeng.
Tumpeng adalah nasi (dibentuk seperti gunung) dengan segala lauk pauknya
dalam sebuah nampan. Hal tersebut nampaknya aneh dan tak masuk akal.
Bagaimana burung jalak yang kecil dapat membawa bekal tumpeng yang
sedemikian besar dan berat? Supaya tidak kekurangan makan? Padahal
burung jalak tidak doyan nasi tumpeng. Jika keliru menafsirkan, bisa
jadi Jalak Sangu Tumpeng diartikan sebagai symbol keserakahan dan orang
yang memaksakan diri.
Philosofi dalam Burung Jalak dan Nasi Tumpeng
Jalak merupakan species burung yang di jawa terdapat beberapa jenis,
anatar lain: Jalak Kebo (hitam), Jalak Pita (putih), dan alak Suren
(hitam putih). Dari beberapa jenis ini, yang paling menarik tingkah
lakunya adalah jalak suren (Sturnus Contra Jalla).
Di Jawa, sejak dahulu burung ini dikenal sebagai burung peliharaan yang
bisa membantu pemiliknya menjaga rumah. Burung tersebut mempunyai naluri
yang peka (waspada) terhadap kedatangan tamu asing baik siang maupun
malam. Dia akan berbunyi keras dan serak (bukan berkicau) jika ada orang
datang dan belum dikenal seolah mengingatkan (ng-eling-ake) pemilik
rumah.
Selain itu, Jalak merupakan burung yang dalam mencari makan tidak
merugikan orang lain. Sampai di sekitar tahun 70-an masih sering kita
lihat burung ini di atas punggung kerbau di sawah. Relasi simbiosis
mutualisme dengan kerbau. Jalak memperoleh makanan dan kerbau jadi
sehat. Di sisi lain, jalak juga dikenal sebagai burung yang setia kepada
pasangannya.
Kukila tumraping tiyang jawi, mujudaken simbul panglipur, saget andayani
renaming penggalih, satemah saget ngicalaken raos bebeg, sengkeling
penggalih. Candra pasemonanipun: pindha keblaking swiwi kukila, ingkang
tansah ngawe-ngawe ngupaya boga, kinarya anyekapi ing bab kabetahanipun.
Dene kukila ingkang sampun pikanthuk ing bab kabetahanipun, kukila kala
wau lajeng wangsul dhumateng tuk sumberipun, asalusulipun, inggih
punika wangsul dhateng susuhipun, ambekta kabetahaning gesangipun.
(terjemahan bebas: bagi orang Jawa, burung merupakan symbol pelipur
duka, memberikan rasa senang di hati,menghilangkan rasa dongkol
kejengkelan di hati. Sedangkan gambaran sosoknya, dimana kepakan
sayapnya melambai-lambai merupakan usaha dalam mencari pangan (nafkah),
untuk memenuhi kebutuhan. Urung yang telah mendapatkan pangan, kemudian
pulang kembali ke sarangnya (rumah dan keluarganya).
Tumpeng merupakan sajian nasi kerucut dengan aneka lauk pauk yang
ditempatkan dalam tampah (nampan besar, bulat, dari anyaman bambu).
Tumpeng merupakan tradisi sajian yang digunakan dalam upacara, baik yang
sifatnya kesedihan maupun gembira.
Tumpeng dalam ritual Jawa jenisnya ada bermacam-macam, antara lain :
tumpeng sangga langit, Arga Dumilah, Tumpeng Megono dan Tumpeng Robyong.
Tumpeng sarat dengan symbol mengenai ajaran makna hidup. Tumpeng
robyong disering dipakai sebagai sarana upacara Slametan (Tasyakuran).
Tumpeng Robyong merupakan symbol keselamatan, kesuburan dan
kesejahteraan. Tumpeng yang menyerupai Gunung menggambarkan kemakmuran
sejati. Air yang mengalir dari gunung akan menghidupitumbuh-tumbuhan.
Tumbuhan yang dibentuk ribyong disebut semi atau semen, yang berarti
hidup dan tumbuh berkembang. Pada jaman dahulu, tumpeng selalu disajikan
dari nasi putih. Nasi putih dan lauk-pauk dalam tumpeng juga mempunyai
arti simbolik, yaitu:
Nasi putih: berbentuk gunungan atau kerucut yang melambangkan tangan
merapatmenyembah kepada Tuhan. Juga, nasi putih melambangkan segala
sesuatu yang kita makan, menjadi darah dan daging haruslah dipilih dari
sumber yang bersih atau halal. Bentuk gunungan ini juga bisa diartikan
sebagai harapan agar kesejahteraan hidup kita pun semakin “naik” dan
“tinggi”.
Ayam: ayam jago (jantan) yang dimasak utuh ingkung dengan bumbu
kuning/kunir dan diberi areh (kaldu santan yang kental), merupakan
symbol menyembah Tuhan dengan khusuk (manekung) dengan hati yang tenang
(wening). Ketenangan hati dicapai dengan mengendalikan diri dan sabar
(nge”reh” rasa).
Menyembelih ayam jago juga mempunyai makna menghindari sifat-sifat buruk
(yang dilambangkan oleh, red) ayam jago, antara lain: sombong, congkak,
kalau berbicara selalu menyela dan merasa tahu/menang/benar sendiri
(berkokok), tidak setia dan tidak perhatian kepada anak istri.
Ikan Lele: dahulu lauk ikan yang digunakan adalah ikan lele bukan
banding atau gurami atau lainnya. Ikan lele tahan hidup di air yang
tidak mengalir dan di dasar sungai. Hal tersebut merupakan symbol
ketabahan, keuletan dalam hidup dan sanggup hidup dalam situasi ekonomi
yang paling bawah sekalipun.
Ikan Teri / Gereh Pethek: Ikan teri/gereh pethek dapat digoreng dengan
tepung atau tanpa tepung. Ikan Teri dan Ikan Pethek hidup di laut dan
selalu bergerombol yang menyimbolkan kebersamaan dan kerukunan.
Telur: telur direbus pindang, bukan didadar atau mata sapi, dan
disajikan utuh dengan kulitnya, jadi tidak dipotong – sehingga untuk
memakannya harus dikupas terlebih dahulu. Hal tersebut melambangkan
bahwa semua tindakan kita harus direncanakan (dikupas), dikerjakan
sesuai rencana dan dievaluasi hasilnya demi kesempurnaan.
Piwulang jawa mengajarkan “Tata, Titi, Titis dan Tatas”, yang berarti
etos kerja yang baik adalah kerja yang terencana, teliti, tepat
perhitungan,dan diselesaikan dengan tuntas. Telur juga melambangkan
manusia diciptakan Tuhan dengan derajat (fitrah) yang sama, yang
membedakan hanyalah ketakwaan dan tingkah lakunya.
Sayuran dan urab-uraban: Sayuran yang digunakan antara lain kangkung,
bayam, kacang panjang, taoge, kluwih dengan bumbu sambal parutan kelapa
atau urap. Sayuran-sayuran tersebut juga mengandung symbol-simbol antara
lain: kangkung berarti jinangkung yang berarti melindung, tercapai.
Bayam (bayem) berarti ayem tentrem,taoge/cambah yang berarti tumbuh,
kacang panjang berarti pemikiran yang jauh ke depan/innovative,
brambang(bawang merah) yang melambangkan mempertimbangkan segala sesuatu
dengan matang baik buruknya, cabe merah diujung tumpeng merupakan
symbol dilah/api yang meberikan penerangan/tauladan yang bermanfaat bagi
orang lain. Kluwih berarti linuwih atau mempunyai kelebihan dibanding
lainnya. Bumbu urap berarti urip/hidup atau mampu menghidupi (menafkahi)
keluarga.
Pada jaman dahulu, sesepuh yang memimpin doa selamatan biasanya akan
menguraikan terlebih dahulu makna yang terkandung dalam sajian tumpeng.
Dengan demikian para hadirin yang datang tahu akan makna tumpeng dan
memperoleh wedaran yang berupa ajaran hidup serta nasehat.
Dalam selamatan, nasi tumpeng kemudian dipotong dan diserahkan untuk
orang tua atau yang “dituakan” sebagai penghormatan. Setelah itu, nasi
tumpeng disantap bersama-sama. Upacara potong tumpeng ini melambangkan
rasa syukur kepada Tuhan dan sekaligus ungkapan atau ajaran hidup
mengenai kebersamaan dan kerukunan.
Ada sesanti jawi yang tidak asing bagi kita yaitu: mangan ora mangan
waton kumpul (makan tidak makan yang penting kumpul). Hal ini tidak
berarti meski serba kekuarang yang penting tetap berkumpul dengan sanak
saudara.
Pengertian sesanti tersebut yang seharusnya adalah mengutamakan semangat
kebersamaan dalam rumah tangga, perlindungan orang tua terhadap
anak-anaknya, dan kecintaan kepada keluarga. Di mana pun orang barada,
meski harus merantau, harus lah tetap mengingat kepada keluarganya dan
menjaga tali silaturahmi dengan sanak saudaranya.
Ricikan pada Keris Dapur Jalak Sangu Tumpeng
Jalak Sangu Tumpeng adalah keris lurus yang mempunyai makna selalu
menempuh “jalan lurus” menuju keutamaan hidup. Jalan lurus yang ditempuh
yaitu dengan menjalani perbuatan yang baik (Dadya laku utama), yang
antara lain: tidak sombong, dan tidak mencela orang lain serta
introspeksi terhadap diri sendiri.
Apalagi orang yang dianggap cerdik pandai atau berkeuasa, perlu
dihindari menjadi Prawata Bramantara yaitu orang yang tutur katanya
membuat gusar oang lain atau membuat suasana menjadi semakin keruh.
Kata-katanya tidak menentramkan, ibarat gunung yang tampaknya indah
namun menghasilkan hawa panas yang berbahaya. Lebih dari itu, “laku
utama” juga meliputi tindakan selalu menjaga ketakwaan kepada Tuhandan
hubungan kepada keluarga, masyarakat dan lingkungannya (eling lan
waspada).
Gandik Polos, merupakan symbol kekuatan, ketabahan hati, ketekunan dan
rajin bekerja. Dalam budaya Jawa ada sesanti yang mengatakan : sapa sing
temen bakal tinemu, sapa sing tatag lan teteg bakal tutug (siapa yang
tekun akan menemukan jalan, siapa yang ulet dan tabah akan tercapai
cita-citanya)
Tikel Alis, merupakan symbol baik-buruk dalam diri manusia, yang
keduanya harus selalu dikendalikan. Pengendalian dua sifat tersebut akan
terpancar pada watak seseorang.
Sogokan angkap (dua) dan Ada-ada, merupakan symbol dorongan/motivasi
untuk selalu mempunyai ide/gagasan/inovasi kreatif untuk maju. Motivasi
yang murni harus mulai dari niat lahir dan batin.
Tingil merupakan symbol bekal pengetahuan dan ketrampilan yang pinunjul.
Dalam berkarya tentunya seseorang harus berbekal pengetahuan dan
ketrampilan yang memadai.
Sraweyan merupakan symbol keluwesan. Dalam lehidupan hendaknya menjaga
keselarasan terhadap sesame, masyarakat dan lingkungan, dan dapat
beradaptasi dengan kebiasaan setempat dan menghargai pendapat serta
sikap orang lain.
Pijetan/blumbangan, merupakan symbol keikhlasan hati dan kesabaran.
Hidup dan bekerja harus dilandasi dengan hati yang senang, mencintai
akan pekerjaannta dan ikhtiar serta tawakal. Tidak ada yang disebut
takdir sebelum diawali dengan ikhtiar.
Jalak Sangu Tumpeng Merupakan Ajaran Hidup Dalam Mencari Nafkah
Dapur Jalak Sangu Tumpeng secara keseluruhan sebagaimana ditunjukan
dalam simbolisasi Jalak, Tumpeng, bentuk keris lurus dan ricikan bilah
merupakan ajaran hidup dalam mencari nafkah. Jalak merupakan symbol atau
gambaran seseorang yang berkewajiban mencari nafkah – dan tentunya
untuk keperluan tersebut dia perlu mempersiapkan diri baik mental maupun
spiritual.
Sesorang dalam mencari nafkah dan menjalani hidup diharapkan lebih
mengutamakan perbuatan yang baik (dadya laku utama) selalu menjaga
ketakwaan kepada Tuhan dan hubungan dengan keluarga, masyarakat serta
lingungannya (eling lan waspada).
Dalam mencari nafkah hendaknya berlaku jujur dan tidak merugikan orang
lain, Mencari nafkah memang tidak mudah, namun jika diberi kemudahan
hendaknya selalu juga waspada. Sebab uang sebanyak apapun jika tidak
halal sumbernya jangan diambil. Lebih baik uang sedikit namun halal dan
sah. Sebagaimana diajarkan dalam tembang dandanggula serat sana sunu
(Yasadipura II):
“..yang suksma, angupaya sandang pangan teka gampil, yen gampang den
waspada. Sangkaning arta yen tanprayogi, haywa arsa sanajan akathah, yen
during sah hywa pinet, sathitik yen panuju, den pakolih amburu kasil,
liring pakolih ingkang, sah tentrem ing kukum….”
Hal-hal yang tersirat dalam dapur Jalak Sangu Tumpeng merupakan
pandangan dan pegangan hidup untuk mencapai sukses dalam bekerja dan
berusaha. Sehingga, nilai-nilai yang terkandung dalam dapur ini,
menjadikannya sebagai symbol pusaka dalam mencari nafkah. Sesorang yang
menyimpan keris dapur ini, seolah menyimpan nilai-nilai ajaran yang
dapat digunakan sebagai pandangan hidup.
Makna keris dengan dapur sempaner
Dapur Sempaner (Sempanan Bener) merupakan nama salah satu dapur keris
lurus yang sering kita jumpai mulai dari tangguh sepuh seperti
Pajajaran, Majapahit, sampai tangguh Nom-noman. Sempaner berasal dari
kata Sempana / Sumpena Bener yang secara harafiah berarti Mimpi yang
benar. Ricikan dapur ini : Kembang kacang, tikel alis, Ri Pandan – ada
pula yang menyebutkan mempunyai greneng, jalen, lambe gajah. Sempana
bener dalam arti lebih dalam merupakan suatu pesan, angan-angan,
harapan, cita-cita, keinginan apabila dilandasi suatu pemahaman yang
benar menjadi suatu kenyataan. Pemahaman yang benar itulah yang akan
mewujudkan suatu tercapainya harapan atau cita-cita.
Dalam hal ini, suatu pesan bahwa manusia dalam menggapai suatu keinginan
hendaknya diselaraskan dengan kemampuan atau potensi yang dimiliki,
sebagaimana dalam ujar-ujar jawa disebutkan “Bisa rumangsa – aja
rumangsa bisa”.
Macam-macam MimpiMimpi atau sumpena merupakan suatu penggembaraan bawah
sadar manusia selama tidur ke tempat antah berantah atau berinteraksi
dengan lingkungan, baik yang sudah dikenal maupun belum. Mimpi tertentu
dipercaya sebagai perlambang akan terjadinya “sesuatu” dimasa yang akan
datang atau sering disebut “sasmita”. Namun tidak semua mimpi merupakan
perlambang. Dalam budaya jawa, orang bermimpi dibedakan dalam tiga macam
:
- Titiyoni
- Gondoyoni
- Puspa Tajem
Tiyoni, merupakan mimpi yang biasanya terjadi antara jam 19.00-22.00.
Mimpi pada saat ini biasanya merupakan gambaran dari pikiran yang tidak
mampu ditinggalkan oleh seseorang pada saat menjelang tidur, seperti
rasa gelisah, stress, kalut, cemas, dan lelah akibat aktivitas
seharian.
Mimpi ini penggambaran kejadiannya berubah-ubah, kadang terjadi secara
tiba-tiba dan tidak runtut. Pada saat terbangun, biasanya kita lupa
mengenai hal-hal yang terjadi dalam mimpi tersebut. Mimpi pada saat
tiyoni tidak mempunyai makna.
Gondoyoni, merupakan mimpi yang biasanya terjadi antara jam 22.00-01.00
pagi. Mimpi pada saat Gondoyoni juga tidak mempunyai makna. Biasanya
muncul dari bayangan, pemikiran atau angan-anagan saat terjaga atau
sebelum tidur. Mimpi demikian disebut juga “impen-impenen” atau
“kembange wong turu” atau “bunga tidur”.Biasanya mimpi pada saat itu
tidak runtut berurutan dan mudah terlupakan saat bangun.
Puspa Tajem merupakan mimpi yang biasanya terjadi antara jam 01-04.00
pagi atau menjelang subuh. Waktu tersebut memasuki dua per tiga malam
merupakan waktu yang utama. Mimpi pada saat ini umumnya mempunyai makna
atau kemungkinan merupakan perlambang/firasat mengenai suatu kejadian
(sasmita) yang akan menjadi kenyataan.
Apabila perlambang dalam mimpi ini kemudian benar-benar terjadi dimasa
yang akan datang, maka disebut mimpi yang Daradasih. Kejadian dalam
mimpi tersebut seolah-olah terjadi sungguhan dan kejadiannya runtut
berurutan. Bahkan, kadang membuat kita terbangun jika terkejut. Kejadian
dalam mimpi ini masih melekat dalam ingatan pada saat terbangun dan
selalu diingat dalam waktu yang lama.
Bagaimana mimpi yang mempunyai makna ini akan terwujud, kapan dan
bagaimana, tentunya masih menjadi misteri. Kadang kita baru menyadari
arti mimpi tersebut setelah terjadi suatu peristiwa di kemudian hari.
Bagi orang yang mampu mengartikan mimpi tersebut dan benar-benar terjadi
di waktu yang akan datang maka disebut “orang yang waskita”.
Simbolisasi Ricikan Dapur Sempaner : Sekar Kacang, Tikel Alis, Jalen, Lambe Gajah dan Greneng
Kembang Kacang, jaman dahulu kembang kacang sebagai ricikan keris
disebut juga tlale (belalai) Gajah. Hal tersebut teringat dengan
mitologi Ganesha, sebagai dewa lambang ilmu pengetahuan yang digambarkan
selalu menghirup ilmu pengetahuan yang tiada habisnya dengan
belalainya. Sekar kacang juga menyimbolkan adanya aktifitas tumbuh dan
berkembang dan berbuah.
Jalen merupakan simbol jalannya nafas yang terus menerus dan lambe gajah merupakan simbol masuknya energi. Motivasi dan niat.
Tikel Alis, mempunyai arti ua alis (bulu mata) menunjukkan kedua mata.
Tikel alis merupakan simbol sifat manusia ada sisi baik dan buruk,
keduanya harus dapat dikendalikan. Dalam menggapai harapan hendaknya
dipertimbangkan pada sisi baik buruknya.
Greneng berbentuk Ron Dha (Huruf jawa : Dha) atau kadang hanya berbentuk
sederhana yang disebut Ri Pandan menyimbolkan suasana hati atau
perasaan. Dari semua organ tubuh manusia yang menentukan tingkat derajat
manusia yaitu dada (dha-dha).
Dalam rongga dada itulah terletak hati, bathin, atau “perasaan” atau
disebut “rasa”. Kalau “rasa” seseorang baik maka baiklah semua anggota
tubuhnya, sebaliknya kalau “rasa” menjadi sakit maka “sakit”lah semua
anggota tubuhnya. Rasa berarti merasakan sesuatu itu dalam segala
dimensi.
Rasa merupakan suatu keadaan yang hendak dicapai dalam diri seseorang
terhadap sesuatu. Setiap orang memiliki rasa rasa dengan eksistensi yang
berbeda-beda, tergantung pada wawasan, pengetahuan, moral dan
sebagainya. Siapa yang mencapai rasa yang lebih mendalam dengan
sendirinya hidupnya akan berubah (sikap pola pikir, perilaku). Ia akan
memiliki sikap-sikap lain, yang lebih benar, serta yang lebih cocok
dengan realitas sebenarnya.
Secara umum semuanya itu adalah melambangkan suatu pencarian dan
mengembangkan pengetahuan, wawasan dan ketrampilan secara terus-menerus
sampai tingkat tertentu. Hal tersebut merupakan syarat tercapainya
cita-cita dan harapan. Mencari pengetahuan harus dilandasi dengan niat,
motivasi yang kuat dan keberanian.
Harapan dan cita-cita harus dipertimbangan dari sisi baik dan buruknya.
Namun demikian orang harus menerima segala keterbatasannya. Orang perlu
bersikap rela menerima keadaan apa adanya (Nrimo ing pandum). Nrima juga
berarti iklas, menerima segala konsekuensi dan persoalan apa yang
mendatangi kita tanpa keluh kesah.
Hal ini bukan berarti apatis, nrima dalam arti seseorangwalaupun dalam
keadaan kecewa, kesulitan dan kegagalan, tetap harus beraksi secara
rasional, tidak ambruk dan tidak menentang secara percuma. Nrima
menuntut untuk menerima apa adanya, tapi tidak hancur karenanya. Sikap
nrima memberikan daya tahan untuk menanggung keadaan nasib” yang buruk.
Bagi orang yang memiliki sikap itu maka “malapetaka akan kehilangan
sengsaranya”.
Dapur Lurus : Bener-Lurus
Dalam berdoa kita selalu memohon untuk diberikan “Jalan yang Lurus”
(sirotol mustaqin) kepada Tuhan. Lurus berarti tidak menyimpang dari
jalur yang ditetapkan. Lurus juga berarti tidak berlebihan juga tidak
kekurangan, berada di tengah-tengah. Seseorang yang jika di dalam
hidupnya mengusahakan selalu berada di jalur lurus berarti akan
bertindak jujur dan luhur budinya.
Berlaku jujur, bener lan pener akan menuju batin manusia yang selaras
dengan realitas yang sebenarnya, dan oleh karena itu dengan sendirinya
(Otomatis-konsekuen) memenuhi kewajiban, tugas dan peranan dan jabatan
yang dituntut dari padanya. Mengembangkan diri pribadi, pengetahuan
sesuai dengan bakat dan kemampuan (empan papan) dan tidak memaksakan
kehendak / mengendalikan hawa nafsu.
Selain itu, pengembangan pribadi dengan pengekangan hawa nafsu adalah
salah satu cara. Karena nafsu akan memperlemah manusia. Mengendalikan
hawa nafsu berarti mengembangkan budi pekerti. Untuk pencapaian budi
pekerti (etika) yang baik umumnya dihalangi dua hal yaitu hawa nafsu dan
pamrih.
Nafsu yang terkait dengan pamrih (egoisme) antara lain :
- Nafsu selalu ingin menonjol (nepsu menange dhewe)- Menganggap diri
selalu betul (nepsu benere dhewe)- Memperhatikan diri sendiri (nepsu
butuhe dhewe)
Sikap dasar yang luhur adalah kebebasan tanpa pamrih. Ujar-ujar jawa
mengajarkan “sepi ing pamrih, rame ing gawe”. Sepi ing pamrih berarti
melepaskan diri diri dari kepentingan pribadi dan mengutamakan
kepentingan masyarakat demi keselarasan kehidupan. Manusia mencapai
“sepi ing pamrih” apabila ia semakin tidak lagi perlu gelisah dan
prihatin terhadap diri sendiri, semakin bebas dari nafsu ingin memiliki
serta mempunyai hati yang tenang.
Rame ing gawe berarti melakukan apa yang dituntut oleh jabatandan
kedudukan kita dalam masyarakat atau pun pekerjaan. Masing-masing
menjalankan sesuai dengan tugas dan kewajiban yang diemban. Setiap orang
harus menyadari keterbatasannya, sehingga tumbuh kerelaan untuk
membatasi diri pada peran yang telah ditentukan di dunia.
Dalam hidup ini hendaknya dipahami benar ajaran Catur Merti – bersatunya pikiran, perasaan, perkataan dan perbuatan :
- Pikiran yang benar
- Perasaan yang benar
- Perkataan yang benar
- Perbuatan yang benar
Harapan yang Menjadi Kenyataan – Sumpena yang Daradasih – Sumpena Bener – Sempaner
Mimpi yang benar adalah hanya mimpi yang menjadi kenyataan (puspatajem
daradasih). Harapan dan cita-cita yang baik yaitu harapan yang dapat
diwujudkan sebagai kenyataan. Hal tersebut tentunya suatu harapan yang
luhur (bener).
Sempana Bener (sempaner) memaparkan ajaran bagaimana seseorang dapat
menggapai harapannya secara benar. Dalam menggapai harapan hendaknya
dilandasi dengan laku yang lurus dan benar, khususnya dalam hal etika
sehingga akan tumbuh budi luhurnya.
Budi luhur dicapai dengan sikap sederhana (prasaja), bersedia untuk
menganggap dirinya lebih rendah dibanding orang lain (andhap asor),
selalu sadar akan batas-batas dalam situasi dan lingkungan (tepa
selira). Sebaliknya menghindarkan diri dari sikap yang jauh dari sifat
budi luhur, yaitu : mencampuri urusan orang lain (dahwen/open),
iri-dengki (srei), suka main intrik (jail), dan bersikap kasar
(methakil).
Dari kedalaman rasa, pengetahuan, kemampuan seperti diuraikan di atas
semua tercakup, maka tergantung apakah manusia sanggup untuk menempatkan
diri dalam kosmosnya, serta dapat menemukan tempatnya yang cocok dan
selaras.
Menurut Aristoteles, manusia hanya dapat menemukan kebahagiaan apabila
ia dapat mengaktualkan bakat-bakatnya. Untuk mewujudkan suatu harapan
harus disertai dengan usaha dan kemampuan yang sesuai. Harapan tidak
akan menjadi kenyataan jika tanpa disertai dengan usaha dan memampuan
yang menyertainya. Keinginan harus disesuaikan dengan kapasitas pribadi,
bakat, pengetahuan, menepati janji, jujur dan melakukan sesuai
kewajiban. Sepi ing pamrih rame ing gawe.