Di Jawa Tengah abad VIII – X, ada kerajaan besar, bernama Medang yang
terletak di Poh pitu. Kerajaan ini luas, dikenal subur dan makmur. Pusat
kekuasaan dibagi menjadi dua; Pertama, negara yang bersifat
internasional dengan beragama Budha, diperintah oleh Dinasti Syailendra.
Kedua, negara yang diperintah oleh sepupunya yang beragama Syiwa. Kedua
kerajaan ini berada dalam satu istana, dan disebut Kerajaan Medang i
Bhumi Mataram.
Berdasarkan prasasti berbahasa Melayu Kuno (Desa Sojomerto, Batang)
memperkuat pendapat sejarawan Purbacaraka, bahwa hanya ada satu dinasti
saja di Jawa Tengah, yakni Syailendra. Raja Sanjaya yang menganut Syiwa
di kemudian hari menganjurkan putranya, Rakai Panangkaran untuk memeluk
Budha. Menurut catatan Boechori, epigraf dan arkeolog, Syailendra
merupakan penduduk asli Indonesia. Hal ini juga diperkuat oleh prasasti
Wanua Tengah III (Temanggung) yang memuat silsilah raja-raja Mataram
lengkap dengan tahunnya.
ASAL-MULA RAJA SANJAYA DAN TANAH BAGELEN
Berdasarkan prasasti Canggal (Sleman) menjelaskan: -ada sebuah pulau
bernama Yawadwipa -negeri yang kaya raya akan padi, jewawut, dan tambang
emas. -raja pertamanya : Raja Sanna. -setelah dia mangkat, diganti oleh
ponakannya: Raja Sri Sanjaya Menurut catatan seorang sejarawan, Raja
Sanjaya mendirikan kerajaan di Bagelen, satu abad kemudian dipindah ke
Wonosobo. Sanjaya adalah keturunan raka-raka yang bergelar Syailendra,
yang bermakna “Raja Gunung“, “Tuan yang Datang dari Gunung“. Atau, “Tuan
yang Datang dari Kahyangan“, karena gunung menurut kepercayaan
merupakan tempatnya para dewata.
Raja Sanjaya dikenal sebagai ahli kitab-kitab suci dan keprajuritan.
Armada darat dan lautnya sangat kuat dan besar, sehingga dihormati oleh
India, Irian, Tiongkok, hingga Afrika. Dia berhasil menaklukkan Jawa
Barat, Jawa Timur, Bali, Kerajaan Melayu, Kemis (Kamboja), Keling,
Barus, dan Sriwijaya, dan Tiongkok pun diperanginya (from “Cerita
Parahiyangan“).
Area Kerajaan Mataram Kuno (Bagelen) berbentuk segitiga. Ledok di bagian
utara, dikelilingi Pegunungan Menoreh di sisi Barat dan Pegunungan
Kendeng di utara dan basisnya di pantai selatan dengan puncaknya Gunung
Perahu (Dieng), di lembah Sungai Bagawanta (Sungai Watukura, kitab
sejarah Dinasti Tang Kuno 618-906). Catatan dinasti Tiongkok tersebut
diperkuat juga oleh Van der Meulen yang menggunakan kitab “Cerita
Parahiyangan” dan “Babad Tanah Jawi“.
Bagelen merupakan hasil proses nama yang final. Bermula Galuh/Galih,
menjadi Pegaluhan/Pegalihan, menjadi Medanggele, Pagelen, lalu jadilah
Bagelen. Dalam prasasti Tuk Mas (Desa Dakawu, Grabag-Magelang) yang
menyebut adanya sungai yang seperti sungai Gangga, maka Medang i bhumi
Mataram bermakna “Medang yang terletak di suatu negeri yang menyerupai
Ibu”(lembah Sungai Gangga). Dieng diasumsikan sebagai Himalaya,
Perpaduan Sungai Elo dan Progo disamakan sebagai Sungai Gangga, dan
pegunungan Menoreh disamakan sebagai Pegunungan Widiya.
SILSILAH RAJA-RAJA MATARAM KUNO
Pada jaman Mataram Hiindhu, tersebutlah seorang raja yang bijaksana yang
bernama Prabu Sowelocolo. Ia memiliki enam orang putra, masing-masing
bernama Sri Moho Punggung, Sendang Garbo, Sarungkolo, Tunggul Ametung,
Sri Getayu, dan Sri Panuhun.
Sri Panuhun memiliki seorang cucu, anak dari Joko Panuhun atau Joko
Pramono yang bernama Roro Dilah atau Roro Wetan yang kemudian dikenal
dengan sebutan Nyai Bagelen. Roro Dilah juga dapat disebut dengan Roro
Wetan karena kedudukannya di daerah timur. Sri Getayu memiliki cucu dari
putra Kayu Mutu bernama Awu-Awu Langit. Ia berkedudukan di Awu-Awu
(Ngombol).
Setelah dewasa, Roro Dilah menikah dengan Raden Awu-Awu Langit dan menetap di Hargopuro atau Hargorojo.
Dari pernikahan tersebut, Roro Dilah atau Roro Wetan dan Pangeran
Awu-Awu Langit dianugrahi tiga orang putra, Bagus Gentha, Roro Pitrang
dan Roro Taker.
Kesibukan Roro Wetan dan Awu-Awu Langit adalah bertani padi, ketan, dan
kedelai, beternak sapi, ayam dan juga menenun. Konon karena tanahnya
cocok untuk ditanami kedelai dan hasilnya melimpah maka wilayah tersebut
dikenal dengan nama Medang Gelih atau Padelen dan sekarang disebut
dengan Bagelen.
Roro Wetan atau Nyai Ageng Bagelen sosoknya tinggi besar dengan rambut
terurai dan senang memakai kemben lurik. Beliau memiliki keistimewaan
berupa kemampuan spiritualnya dan juga payudaranya yang sangat panjang
sehingga ketika putra-putrinya ingin ngempeng, ia tinggal menyampirkan
ke belakang.
Pada suatu ketika, Nyai Ageng Bagelen sedang asik menenun. Sebagaimana
biasanya, ia menyampirkan payudaranya ke belakang supaya tidak
mengganggu. Tidak disangka-sangka datang anak sapi menghampirinya, Nyai
Ageng Bagelen mengira itu salah satu putra-putrinya yang ingin
ngempeng. Tanpa menghiraukan kedatangan anak sapi tersebut ia terus
asik menenun. Terkejutlah ia ketika menoleh, ternyata yang menyusu
bukanlah anaknya tetapi anak sapi.
Kejadian tersebut membuat Nyai Ageng Bagelen merasa malu dan marah,
sehingga menyebabkan pertengkaran dengan Raden Awu-Awu Langit. Dan
akhirnya ia menyampaikan pesan untuk semua anak cucu beserta
keturunannya, agar atau jangan tidak memelihara sapi.
Peristiwa yang memilukan atau menyedihkan juga terjadi kembali pada hari
Selasa Wage. Pada waktu itu masih musim panen kedelai dan padi ketan
hitam. Kedua putrinya Roro Pitrang dan Roro Taker masih senang
bermain-main. Namun tidak sebagaimana biasanya, hingga sore hari kedua
putri itu tidak kunjung pulang.
Selesai menenun Nyai Ageng Bagelen berusaha mencari. Karena tidak
menemukannya, ia menanyakan kepada suaminya. Namun jawaban Raden Awu-Awu
Langit sepertinya kurang mengenakan.
Dengan perasaan marah dan jengkel dibongkar padi ketan hitam dan
kedelai di dalam lumbung sehingga isinya berhamburan terlempar jauh
hingga jatuh di desa Katesan dan Wingko Tinumpuk.
Betapa terkejutnya Nyai Ageng Bagelen ketika melihat kedua putri
kesayangannya terbaring lemas pada lumbung padi tersebut. Setelah
didekati ternyata mereka telah meninggal.
Semenjak peristiwa tersebut kehidupan Nyai Ageng Bagelen dengan Raden
Awu-Awu Langit selalu diwarnai dengan pertengkaran. Akibatnya Raden
Awu-Awu Langit memutuskan untuk pulang ke daerahnya, Awu-Awu, sedangkan
Nyai Ageng Bagelen tetap tinggal di Bagelen untuk memerintah negeri.
Suatu ketika terdengar kabar bahwa Raden Awu-Awu Langit meninggal di
desa Awu-Awu. Mendengar berita tersebut Nyai Ageng Bagelen merasa sedih
dan berpesan kepada Raden Bagus Gentha bahwa anak cucu keturunannya
dilarang atau berpantangan untuk bepergian atau jual beli, mengadakan
hajad pada hari pasaran Wage, karena pada hari itu saat jatuhnya bencana
dan merupakan hari yang naas. Selain itu orang-orang asli Bagelen juga
berpantangan untuk menanam kedelai, memelihara lembu, memakai pakaian
kain lurik, kebaya gadung melati dan kemben bagau tulis.
Setelah Nyai Ageng Bagelen menyampaikan pesan tersebut kepada Raden
Bagus Gentha putranya, ia kemudian masuk ke kamarnya dan lemudian
menghilang tanpa meninggalkan bekas atau moksa.
Selain itu Nyai Ageng Bagelen juga mengajarkan kepada anak cucu
keturunannya agar melakukan tiga hal, yaitu: bersikap jujur,
berpenampilan sederhana dan lebih baik memberi dari pada meminta.
Sepeninggalan Nyai Ageng Bagelen, kedudukan dan pemerintahan Bagelen digantikan oleh Raden Bagus Gentha.
Cerita tentang Nyai Ageng Bagelen
Cerita Legenda tentang Nyai Ageng Bagelen adalah cikal bakal orang-orang
/ masyarakat Bagelen yang terletak di kabupaten Purworejo Jawa Tengah,
Nyai Ageng Bagelen mempunyai nama asli Rara Wetan, dia adalah putri yang
cantik jelita, pintar di bidan kerajinan tenun, suka bertani, dan suka
bersemedi atau tapa brata, dia merupakan putri dari salah satu toko yang
sangat terkenal di kukuban Bagelen yaitu Jaka Panuntun.
Diceritakan Jaka Panuntun adalah Putra dari Raden Panularan salah satu
jagal dan ahli deres / mengambil sari dari buah nira, Raden Panularan
putra Prabu Kandhidawa dari Negara Karipan, sedang Prabu Kandhidawa
adalah Putra Prabu Daniswara dari Negara Medhangkamulan, jadi Rara Wetan
adalah memang masih keturunan dari trah Kerajaan yang dihormati.
Banyak para pemuda yang kasmaran kepada kecantikan Nyai Ageng Bagelen
atau Rara Wetan, dan ingin mempersuntingya, Tumenggung Wingko adalah
salah satu penguasa di daerah Wingko juga tertarik untuk
mempersuntingnya, maka beliau mengutus utusan untuk melamarnya, akan
tetapi lamaran Tumenggun Wingko ditolak oleh Ayahnya Rara Wetan yaitu
Jaka Panuntun dengan alasan Rara wetan belum siap untuk berumah tangga,
Tumenggung Wingko tidak terima dengan penolakan tersebut, sehingga
dengan diam-diam menculik Rara Wetan untuk dibawa ke Wingko.
Begitu tau Rara Wetan diculik, Jaka Panuntun lalu menuduh Tumenggung
Wingko sehingga terjadi peprangan, dalam perang tanding Jaka Panuntun
melawan Tumenggung Wingko, Jaka Panuntun mengalami kekalahan, tubuhnya
terlempar dan tak sadarkan diri, dikira Jaka Panuntun sudah tewas, lalu
dibuang ke sungai yang dahulu menuju ke sebuah telaga, tubuh Jaka
Panuntun terbawa arus sungai ikut aliran air.
Jaka Awu-awu Langit dan Adipat Kayumunthu saat itu dengan menggunakan
sampan dari arah selatan, melihat ada sesosok tubuh hanyut lalu dengan
segera memberikan pertolongan, dan selanjutnya tubuh Jaka Panuntun di
angkat ke sampan dan di beri pengobatan sehingga bisa tertolong.
Jaka Panuntun lalu menceritakan semua kejadian tersebut kepada Jaka
Awu-awu Langit dan Adipati Kayumunthu, mendengar cerita dari Jaka
Panuntun, Jaka Awu-awu Langit lalu mempunyai sebuah siasat untuk
membunuh Tumenggung Wingko yang sudah menerjang aturan, diceritakan
Tumenggung Wingko memang sakti mandraguna, sehingga Jaka Awu-awu Langit
perlu siasat untuk menghabisinya yaitu dengan berpura-pura mengajak
sabung ayam.
Di babak pertama belum terlihat siapa yang menang dan siapa yang kalah,
ayam Jaka Awu-awu Langit mempunyai jalu yang cukup tajam, diceritakan
tajamnya jalu ayam Jaka Awu -awu Langit mampu membelah batu yang di
hantamnya, batu tersebut sekarang tersimpan di dalam masjid di Desa
Awu-awu, sesudah istirahat pertama selesai, sabung ayam kembali di
lanjutkan, di babak kedua suasana sabung ayam tersebut bertambah ramai
oleh sorak sorai para warga dan punggawa yang memenuhi arena sabung ayam
tersebut, dan saat – saat puncak keramaian tersebut, Jaka Awu-awu
Langit menyerang Tumenggung Wingko dengan tiba-tiba, sehingga tanpa
perlawanan yang berarti tumenggung Wingko tewas di arena sabung ayam
tersebut, dan punggawa yang lain begitu melihat Tumenggung wingko tewas
meraka tidak mampu untuk memberikan perlawanan karena memang tiada
persiapan.
Rara Wetan lalu dikembalikan ke Bagelen ke pangkuan Jaka Panuntun, Jaka
Panuntun merasa berhutang budi kepada Jaka Awu-awu Langit, lalu Rara
Wetan di nikahkan dengan Jaka Awu-aw Langit, keduanya hidup berdampingan
dalam kebahagiaan rumah tangga, dan diberikan tiga orang putra, yang
pertama putra di beri nama Bagus Gentho, yang kedua putri di beri nama
Rara Pitrah, dan yang terakhir juga putri di beri nama Rara Taker.
Dalam ceritanya Nyai Ageng Bagelen mempunyai payudara panjang, waktu
Nyai Ageng sedang bekerja ( menenun ) payudaranya di hisap oleh anak
sapi ( pedhet ) piaraan Bagus Gentho dari belakang, perasaan Nyai Ageng
yang menghisap adalah salah satu dari puteranya maka dibiarkan saja,
akan tetapi lama kelamaan di rasa oleh Nyai Ageng tidak seperti
biasanya, maka Nyai Ageng menoleh kebelakang, dan terkejut bukan
kepalang Nyai Ageng ternyata yang menete ternyata adalah pedhet ( anak
sapi ), akhirnya karena saking marahnya, pedhet tersebut di pukulinya
sampai mati.