Berbicara masalah tasawuf tentunya tidak akan terlepas dari tokoh-tokoh
tasawuf itu sendiri yang menggunakan sebagian besar dari sisa hidupnya
untuk memperoleh pengetahuan, pendekatan, kasih atau cinta Allah SWT,
namun tasawuf ibarat induk jalan yang akan memunculkan jalan-jalan yang
lebih kecil darinya sesuai dengan faham dan tokoh yang merintis jalan
tersebut faham tersebut. Jadi bagi yang ingin memilih jalan Tasawuf
sebagai Jalan pikiran sekaligus menjadi Jalan hidup bisa memilih jalan
mana yang baik menurutnya.
Mereka yang merupakan tokoh tasawuf itu mempunyai konsep pendekatan
kepada Allah yang bermacam-macam, ada yang ajarannya tentang mahabbah
(Rabiatul Adawiyah), Ma'rifah (Ghazali), dan lain-lain.
Adapun tokoh yang akan penulis kemukakan adalah dua orang tokoh sufi
fenomenal dan controversial yang memiliki corak tasawuf yang sejalan
dari segi tujuan, berupa kedekatan atau lebih khususnya penyatuan diri
manusia secara bathiniyah dengan Allah, namun memiliki konsep yang
berbeda. Abu Yazid Al-Bustami, beliau diberi gelar raja para mistikus,
karena yang terlihat darinya adalah hal-hal yang berada diluar nalar
manusia biasa.
Di dalamnya akan dibahas sejarah hidupnya serta ajarannya yang sangat
terkenal fana’ baqa dan Ittihad, serta Al-Hallaj dengan garis kehidupan
dan konsepnya yang kontroversi terhadap pandangan ulama’ dan pemimpin
waktu itu sehingga mengakhiri hidupnya di dunia, dukungan oleh banyak
pengikutnya dari berbagai kalangan, serta penjelasan tentang Hululnya.
Semoga pemaparan makalah ini akan meluruskan pandangan dan meluaskan
wawasan terhadap kehidupan dan corak pikiran tokoh Islam di bidang,
tidak dilihat dari sudut pandang yang lain.
Riwayat Hidup Abu Yazid Al-Bustami
Nama lengkapnya adalah Abu Yazid Thoifur bin ‘Isa bin Surusyan
Al-Bustami, lahir di daerah Bustam (Persia) tahun 874 - 947 M. Al
Bustami adalah nama adalah nama yang dinisbatkan kepada tempat
kelahiranya, Busthan sebuah kota kecil di Khurasan Barat, Persia atau
sebelah tenggara dari laut Kaspia. Nama kecilnya adalah Taifur. Ayahnya
Surusyan, pada mulanya seorang penganut agama Majusi kemudian masuk
Islam. Pendidikan dasar yang dialami Abu Yazid ia belajar Figih mazhab
Hanafi dengan Abu Ali al-Sindi, begitu juga ilmu tauhid dan ilmu
hakikat, begitu juga ilmu pengetahuan mengenai alam fana.
Keluarga Abu Yazid termasuk orang berada di daerahnya, tetapi ia lebih
memilih hidup sederhana, Sejak dalam kandungan ibunya, konon kabarnya
Abu Yazid telah mempunyai kelainan. Ibunya berkata bahwa ketika dalam
perutnya, Abu Yazid akan memberontak sehingga ibunya muntah kalau
menyantap makanan yang diragukan kehalalannya
Sewaktu meningkat usia remaja, Abu Yazid terkenal sebagai murid yang
pandai dan seorang anak yang patuh mengikuti perintah agama dan berbakti
kepada orang tuanya. Suatu kali gurunya menerangkan suatu ayat dari
Surat Luqman yang berbunyi, "Berterima kasihlah kepada Aku dan kepada
kedua orang tuamu". Ayat ini sangat menggetarkan hati Abu Yazid. Ia
kemudian berhenti belajar dan pulang untuk menemui ibunya. Sikapnya ini
menggambarkan bahwa ia selalu berusaha memenuhi setiap panggilan Allah
Perjalanan Abu Yazid untuk menjadi seorang sufi memakan waktu puluhan
tahun. Sebelum membuktikan dirinya sebagai seorang sufi, ia terlebih
dahulu telah menjadi seorang fakih dari mazhab Hanafi. Salah seorang
gurunya yang terkenal adalah Abu Ali As-Sindi. la mengajarkan ilmu
tauhid, ilmu hakikat, dan ilmu lainnya kepada Abu Yazid
Pengetahuan yang mendalam mengenai fikih Hanafi menjadikan ia seorang
yang kuat memegang Syari’at Islam. Hal ini dapat dipahami dari beberapa
pernyataan yang pernah dilontarkanya, ia pernah berkata ; kalau kamu
melihat seseorang telah mampu melakukan hal-hal keramat yang
besar-besar, walau ia sanggup terbang di udara, namun janganlah kamu
tertipu sebelum kamu melihat bagaimana ia mengikuti suruh dan
menghentikan larangan dan menjaga batas-batas syari’at.
Abu Yazid meninggal dunia tanpa meninggalkan karya tertulis riwayat
hidup dan pemikiranya hanya diketahui Isa B. Adam Musa b Isa dan Thufaur
b Isa dan tokoh lain yang pernah berjumpa dengan Yazid Abu Musa
Al-Dabili, Abu Ishak Al-Harawi dan lain-lain. Pengikutnya tergabung
kedalam tarekat Thaifuriyyah yang merupakan pelanjut dari ajarannya. Ia
meninggal dunia tahun 261 H/ 874 M di kota kelahiranya Bustham.
Ajaran Fana’, Baqa' dan Al-IttihadAbu Yazid
Ajaran al-fana’, al-baqa’, dan al-ittihad Abu Yazid adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan.
Dari segi bahasa, fana' berasal dari kata faniya yang berarti musnah
atau lenyap. Keadaan dari Syai’ (sesuatu) yang tidak berakhir, artinya
apabila tetapnya suatu keadaan telah berakhir, dikatakan bahwa ia telah
mencapai fana
Dalam hal ini Abu Bakar Al-Kalabadzi (w. 378 H / 988 M)
mendefinisikannya : "hilangnya semua keinginan hawa nafsu seseorang,
tidak ada pamrih dari segala kegiatan manusia, sehingga ia kehilangan
segala perasaannya dan dapat membedakan sesuatu secara sadar, dan ia
telah menghilangkan semua kepentingan ketika berbuat sesuatu”
Menurut al-Qusyairi, Fana’ yang dimaksud adalah : Fana’nya seseorang
dari dirinya dan makhluk lain, terjadi dengan hilangnya kesadaran
tentang dirinya dan tentang mahkluk lain itu. Sebenarnya dirinya tetap
ada dan demikian pula mahkluk lain ada, tetapi ia tidak sadar lagi pada
mereka dan pada dirinya
Di antara kaum sufi ada yang berpendapat bahwa manusia dapat bersatu
dengan Tuhan. Seorang sufi yang sampai pada tingkat ma’rifah akan
melihat Tuhan dengan mata sanubarinya .
Menurut al-Syathi, proses penghancuran sifat-sifat basyariah, disebut
Fana’ al-sifat dan proses penghancuran tentang irodah dirinya disebut
Fana’ al-irodah serta proses penghancuran tentang adanya wujud dirinya
dan zat yang lain disekitarnya disebut Fana’ al-nafs
Menurut Al-Thusi : Fana’ adalah berarti sirnanya pandangan seseorang terhadap tindankan-tindakannya.
Al-Fana dalam pengertian umum dapat dilihat dari penjelasan al-Junaidi, yaitu :
ذهاب قلب عن حسن المحسوسات بمشاهدة ماشاهد ثم يذهب عن ذهابه والذهاب عن
ذهاب هذا مالا نهاية له. يعنى قد غابت المحاضر وتلفت الاشياء فليس شيء يوجد
ولا يحس بشيء يفقد
Hilangnya daya kesadaran qalbudari hal-hal yang bersifat inderawi karena
adanya sesuatu yang dilihatnya. Situasi yang demikian akan beralih
karena hilangnya sesuatu yang terlihat itu dan berlangsung terus secara
slilih berganti sehingga tiada lagi yang disadaridan dirasakan oleh
indera.
Sebelum sampai kepada al-ittihadseorang sufi terlebih dahulu
menghancurkan dirinya, selama ia belum dapat menghancurkan dirinya, ia
tidak dapat bersatu dengan Tuhan. Itu se babnyaal-fana’ sebagai proses
awal lalu kemudian dilanjutkan dengan al-baqayang satu dengan yang lain
merupakan kembar yang tidak dapat dipisahkan. Yang dimaksud dengan
hancurnya jiwa suci bukan berarti hilang, tetapi kehancuran yang akan
menimbulkan kesadaran sufi terhadap dirinya. Kesadaran ini disebut
dengan al-fana ‘alan nafs wa al baqa’ billah, yaitu kesadaran tentang
diri sendiri hancur dan timbulah kesadaran diri Tuhan. Dengan terjadinya
fana otomatis baqa akan datang sendiri dalam kondisi seperti itu
ittihad pun terjadi pula. Abu Yazid membawa pengertian yang berbeda
dengan Junaid khususnya dalam masalah sakar, yaitu mabuk dalam mencintai
Tuhan.
Abu Yazid al-Bustami berpendapat bahwa manusia hakikatnya se-esensi
dengan Allah, dapat bersatu dengan-Nya apabila ia mampu melebur
eksitensi keberadaan-Nya sebagi suatu pribadi sehingga ia tidak
menyadari dirinya (fana an nafs)
Apabila seorang sufi telah sampai kepada Fana’ al-nafs yaitu tidak
disadarinya wujud jasmaniyah, maka yang tinggal adalah wujud rohaniahnya
dan ketika itu ia bersatu dengan Tuhan secara rohani
Dari berbagai uraian tersebut diketahui bahwa yang dituju dengan
Fana’dan Baqa’ adalah mencapai persatuan secara rohaniah dan bathiniah
dengan Tuhan, sehingga yang disadarinya hanya Tuhan dalam dirinya.
Dengan demikian materimanusianya tetap ada, sama sekali tidak hancur,
demikianlah juga alam sekitarnya, yang hilang atau hancur hanya
kesadaran dirinya sebagai manusia, ia tidak lagi merasakan jasad
kasarnya.
Bila seseorang telah Fana’ atau tidak sadar lagi tentang wujudnya
sendiri dan wujud lain disekitarnya pada saat itulah ia sampai kepada
Baqa’ dan berlanjut kepada Ittihad. Fana’ dan Baqa’ menurut sufi adalah
kembar dan tak terpisahkan sebagaimana ungkapan mereka:“Siapa yang
menghilangkan sifat-sifatnya, maka yang ada adalah sifat-sifat Tuhan”.
Dengan demikian bisa dikatakan pencapaian Abu Yazid ketahap fana'
dicapai setelah meninggalkan segala keinginan selain keinginan kepada
Allah SWT.
Adapun salah satu jalan untuk mencapai fana’ fillah disamping
mendalamnya cinta rindu, adalah dengan meditasi (pemusatan kesadaran)
dengan perantaraan zikir, dalam kitab hikam diterangkan:
والذكر أعظم باب أنت داخله
لله فأجعل له الأنفاس حراسا
Zikir adalah sebuah pintu yang paling besar (untuk mencapai fana’ dan
makrifah) pada Allah; maka masukilah, sertailah setiap keluar masuknya
nafas dengan zikir
Jalan menuju fana’ menurut Abu Yazid dikisahkan dalam mimpinya menatap
Tuhan. la bertanya, "Bagaimana caranya agar aku sampai pada- Mu? Tuhan
menjawab, "Tinggalkan diri (nafsu)mu dan kemarilah. "Abu Yazid sendiri
sebenarnya pernah melontarkan kata fana’ pada salah satu ucapannya:
أعرفه بى حتى فنيت ثمّ عرفته به فحيّيْتُ
Artinya:
"Aku tahu pada Tuhan melalui diriku hingga aku fana', kemudian aku tahu pada-Nya melalui diri-Nya, maka aku pun hidup”
Kehancuran (fana') dalam ucapan ini memberikan 2 bentuk pengenalan (Al-Ma'rifat) terhadap Tuhan, yaitu :
a. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Abu Yazid.
b. Pengenalan terhadap Tuhan melalui diri Tuhan.
Adapun baqa' berasal dari kata baqiya. Arti dari segi bahasa adalah
tetap. Sedangkan berdasarkan istilah tasawuf berarti mendirikan
sifat-sifat terpuji kepada Allah. Paham baqa' tidak dapat dipisahkan
dengan paham fana' karena keduanya merupakan paham yang berpasangan.
Jika seorang sufi sedang mengalami fana', ketika itu juga ia sedang
menjalani baqa'
Dengan tercapainya Fana’ danBaqa’ maka seorang sufi dianggap telah
sampai kepada tingkat ittihad atau menyatu dengan yang Maha Tunggal
(Tuhan) yang oleh Bayazid disebut “Tajrid Fana’ fi at- Tauhid” yaitu
dengan perpaduan dengan Tuhan tanpa diantarai oleh sesuatu apapun
Paham Fana’, Baqa’, dan Ittihad menurut kaum sufi sejalan dengan konsep
pertemuan dengan Allah. Fana’ dan Baqa’juga dianggap merupakan jalan
menuju pertemuan dengan Tuhan sesuai dengan firman Allah SWT yang
bunyinya
Barang siapa yang mengharapkan perjumpaan dengan Tuhannya, maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang shaleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorang pun dalam beribadat kepada-Nya” (Q.S. al-Kahfi,
18: 110)
Ittihad adalah tahapan selanjutnya yang dialami seorang sufi setelah ia
menempuhi tahapan fana dan baqa'. Disebutkan oleh Abdul Razaq Al-Katsani
:
التحاد هو شهود الوجود الحق الواحد المطلق الذى الكل به موجود بالحق فيتحد
به الكل من حيث كون كل شيء موجوداً به معدوما بنهسه، لا من حيث أنّ له
وجوداً خاصاً اتحد به فإنه محال
Artinya:
Dalam tahapan ittihad, seorang sufi bersatu dengan Tuhan, antara yang
mencintai dan yang dicintai menyatu, baik substansi maupun perbuatannya.
Dalam ittihad identitas telah hilang dan identitas menjadi satu. Sufi
yang bersangkutan, karena fananya tak mempunyai kesadaran lagidan
berbicara dengan nama Tuhan.
Usaha untuk mencapai fana’,baqa’ dan ittihad itu bagi Abu Yazid, seperti
sufi lainya, juga diawali dengan zuhud. Ia berkata ketika seseorang
bertanya kepadanya, tentang perjuangan mencapai ittihad. Ia menjawab
tiga tahun sedang umurnya pada waktu itu telah lebih dari tujuh puluh
tahun. Dengan kata lain setelah ia berumur tujuh puluh tahun ia mencapai
maqam ittihad. Ia juga berkata hari pertama aku zuhud terhadap dunia
dan segala isinya, pada hari kedua aku zuhud terhadap akhirat dan segala
yang akan terjadi disana, dan pada hari ketiga aku zuhud terhadap apa
saja selain Allah.
Seorang sufi dipandang telah mencapai station ittihad adalah ketika ia
dalam keadaan mabuk (sakr atau trance). Ucapan-ucapan seperti itu juga
diucapkan oleh Abu Yazid, antara lain ia berkata: “manusia tobat dari
dosanya, tetapi aku tidak, aku hannya mengucapkan tiada Tuhan selain
Allah"
Pengalaman kedekatan Abu Yazid dengan Tuhan hingga mencapai ittihad
disampaikannya dalam ungkapan "pada suatu ketika aku dinaikkan kehadirat
Tuhan, lalu Ia berkata: "Abu Yazid, makhluk-makhluk-Ku sangat ingin
memandangmu. Aku menjawab: "Kekasihku, aku tak ingin melihat mereka.
Tetapi jika itu kehendak-Mu, maka aku tak berdaya untuk menentang-Mu.
Hiasilah aku dengan keesaan-Mu, sehingga jika makhluk-makhluk-Mu
memandangku, mereka akan berkata: Kami telah melihat-Mu. Engkaulah itu
yang mereka lihat, dan aku tidak berada di hadapan mereka itu.
Pernyataan di atas menggambarkan bahwa Abu Yazid telah dekat dengan
Tuhan, tetapi ittihad belum ia capai, ittihad tercapai ketika ia
mengucapkan sebagai berikut:
"Tuhan berkata, Abu Yazid, mereka semua kecuali engkau adalah
makhluk-Ku. Aku pun berkata, aku adalah Engkau. Engkau adalah aku, dan
aku adalah Engkau. Konversasi ; terputus Kata menjadi satu, bahkan
semuanya menjadi satu. Tuhan berkata kepadaku, Hai engkau. Aku dengan
perantaraan-Nya menjawab, Hai aku. Ia berkata, "Engkaulah yang satu. Aku
menjawab, akulah yang satu. Ia berkata, Engkau adalah engkau. Aku
menjawab, aku adalah aku." Pernyataan di atas menunjukan bahwa Abu Yazid
mengucapkan “aku” bukan sebagai gambaran dirinya, tetapi sebagai
gambaran Tuhan. Hal ini terjadi karena Abu Yazid sedang mengalami
ittihad.
Dalam ajaran ittihad, yang dilihat hanya satu wujud meskipun sebenarnya
ada dua wujud yaitu Tuhan dan manusia. Karena yang dilihat dan yang
dirasakan hanya satu wujud maka dalam ittihad ini bisa jadi pertukaran
peranan antara manusia dengan Tuhan. Dalam suasana seperti ini mereka
merasa bersatu dengan Tuhan, suatu tingkatan di mana antara yang
mencinta dan yang dicintai telah menjadi satu, sehingga salah satu
memanggil yang lain dengan kata-kata “Hai Aku” . Dalam keadaan Fana’ si
sufi yang bersangkutan tidak mempunyai kesadaran lagi sehingga ia
berbicara atas nama Tuhan.
Louis Massignon menyatakan bahwa ungkapan yang muncul pada seorang sufi
diluar sadarnya berarti telah Fana’ dari dirinya sendiri serta kekal
dalam zat Yang Maha Benar, sehingga ia mengucap dalam kalam Yang Maha
Benar dan bukan ucapannya sendiri. Perkataan yang diucapkanya dalam
kondisi begini tidak akan terucap dalam kondisi normal, bahkan akan
ditolak oleh dirinya sendiri .
Hal ini sejalan dengan Firman Allah SWT pada surah Al-Kahfi ayat 110
Artinya: Katakanlah: Sesungguhnya aku ini manusia biasa seperti kamu,
yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah
Tuhan yang Esa". Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka
hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia
mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Ayat tersebut memberi isyarat bahwa Allah SWT telah memberi peluang
kepada manusia untuk menemuinya, bahkan karena sudah merasa terlalu
dekat dengan Tuhan al-Bustami telah merasa berittihad dengan-Nya.
Biografi Al-Hallaj
Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Al-Mughist Al-Husain ibn Mansyur ibnu
Muhammad Al- Baidhawi. Al-Hallaj di lahirkan di kota Thur yang bercorak
Arab di kawasan Baidhah, Iran tenggara, pada 244 H/ 858 M. Ia bukan
orang Arab, melainkan keturunan Persia. Kakeknya adalah seorang Majusi
dari silsilah Abi’ Ya’qub
Ketika al-Hallaj masih kanak-kanak, ayahnya, seorang penggaru kapas
(penggaru adalah seorang yang bekerja menyisir dan memisahkan kapas dari
bijinya). Bepergian bolak-balik antara Baidhah, Wasith, sebuah kota
dekat Ahwaz dan Tustar. Dipandang sebagai pusat tekstil pada masa itu,
kota-kota ini terletak di tapal batas bagian barat Iran, dekat dengan
pusat-pusat penting seperti Bagdad, Bashrah, dan Kufah.
Ia mulai belajar Al-Qur’an pada Qura’ Al Qur’an mazhab Hambali dan dan
sudah hafal pada usia dini, tahun 260 H/ 873 M, dia pindah ke Tustar dan
menjadi murid Sahl bin Abdullah al-Tusturi, seorang sufi pengembara
yang ketat dalam pengamalan tasaufnya. Dari al-Tusturi ia belajar
mengenai teori Nur Muhammad (The light of Muhammad) yang selanjutnya
sangat menentukan arah pemikiran al-Hallaj dikemudian hari. Setelah
belajar 2 tahun dengan Tusturi, dia berangkat ke Basrah lalu melanjutkan
perjalanan ke Baghdad. Di Basrah ia balajar dengan Amir Makki
(w.279/909) salah seorang murid al-Junaid, di Baghdad ia menuntut ilmu
dan berada di bawah asuhan sufi Abu Ya’kub al-Aqtha juga murid al-Junaid
dan ia kawin dengan putri gurunya Umm al-Husain.
Pada tahun 892M, Al-Hallaj memutuskan untuk menunaikan ibadah haji ke
Mekah. Kaum Muslimin diwajibkan menunaikan ibadah ini sekurang-kurangnya
sekali selama hidup (bagi mereka yang mampu). Namun ibadah haji yang
dilakukan al-Hallaj tidaklah biasa, melainkan berlangsung selama setahun
penuh, dan setiap hari dihabiskannya dengan puasa dari siang hingga
malam hari.
Tujuan al-Hallaj melakukan praktek kezuhudan keras seperti ini adalah
menyucikan hatinya menundukkannya kepada Kehendak Ilahi sedemikian rupa
agar dirinya benar-benar sepenuhnya diliputi oleh Allah. Ia pulang dari
menunaikan ibadah haji dengan membawa pikiran-pikiran baru tentang
berbagai topik seperti inspirasi Ilahi, dan ia membahas pikiran-pikiran
ini dengan para sufi lainnya.
Banyak reaksi baik positif maupun negatif yang diterima oleh Al-Hajjaj
yang kemudian memberinya keputusan untuk kembali ke Bashrah. Ketika
al-Hallaj kembali ke Bashrah, ia memulai mengajar, memberi kuliah, dan
menarik sejumlah besar murid.
Namun pikiran-pikirannya bertentangan dengan ayah mertuanya. Sehingga
hubungan merekapun memburuk, dan ayah mertuanya sama sekali tidak mau
mengakuinya. Ia pun kembali ke Tustar, bersama dengan istri dan adik
iparnya, yang masih setia kepadanya. Di Tustar ia terus mengajar dan
meraih keberhasilan gemilang. Akan tetapi, Amr al-Makki yang tidak bisa
melupakan konflik mereka, mengirimkan surat kepada orang-orang terkemuka
di Ahwaz dengan menuduh dan menjelek-jelekkan nama al-Hallaj,
situasinya makin memburuk sehingga al-Hallaj memutuskan untuk menjauhkan
diri dan tidak lagi bergaul dengan kaum sufi.
Al-Hallaj meninggalkan kehidupan sufi selama beberapa tahun, tapi tetap
terus mencari Tuhan. Pada 899M, ia berangkat mengadakan pengembaraan
apostolik pertamanya ke batasan timur laut negeri itu, kemudian menuju
selatan, dan akhirnya kembali lagi ke Ahwaz pada 902M. Dalam
perjalanannya, ia berjumpa dengan guru-guru spiritual dari berbagai
macam tradisi di antaranya, Zoroastrianisme dan Manicheanisme. Ia juga
mengenal dan akrab dengan berbagai terminologi yang mereka gunakan, yang
kemudian digunakannya dalam karya-karyanya belakangan.
Ketika ia tiba kembali di Tustar, ia mulai lagi mengajar dan memberikan
kuliah. Ia berceramah tentang berbagai rahasia alam semesta dan tentang
apa yang terbersit dalam hati jamaahnya. Akibatnya ia dijuluki Hallaj
al-Asrar, (Hallaj berarti seorang penggaru sedangkan Asrar bisa bermakna
rahasia atau kalbu) yang berarti sang penggaru segenap rahasia atau
Kalbu.
Setahun kemudian, ia menunaikan ibadah haji kedua. Kali ini ia
menunaikan ibadah haji sebagai seorang guru disertai empat ratus
pengikutnya. Sesudah melakukan perjalanan ini, ia mutuskan meninggalkan
Tustar untuk selamanya dan bermukim di Baghdad, tempat tinggal sejumlah
sufi terkenal, ia bersahabat dengan dua diantaranya mereka, Nuri dan
Syibli.
Pada 906M, ia memutuskan untuk mengemban tugas mengislamkan orang-orang
Turki dan orang-orang kafir. Ia berlayar menuju India selatan, pergi
keperbatasan utara wilayah Islam, dan kemudian kembali ke Bagdad.
Perjalanan ini berlangsung selama enam tahun dan semakin membuatnya
terkenal di setiap tempat yang dikunjunginya. Jumlah pengikutnya makin
bertambah.
Ia kembali ke Baghdad pada tahun 296 H / 909 M. Di kota ini, secara
kebetulan ia bersahabat dengan kepala rumah tangga istana, Nashr
al-Qusyairi, yang mengingatkan sistem tata usaha yang baik dan
pemerintah yang bersih. Al-Hallaj selalu mendorong sahabatnya melakukan
perbaikan dalam pemerintahan dan selalu melontarkan kritik terhadap
penyelewengan yang terjadi. Gagasan "pemerintah yang bersih" dari Nash
al-Qusyairi dan al-Hallaj ini jelas berbahaya, karena khalifah tidak
boleh dikatakan tidak memiliki kekuasaan yang nyata dan hanya merupakan
lambang saja.
Karena kekhawatiran pada kebesaran pengaruhnya, kecenderungan pada
aliran syi'ah, dan besarnya jumlah pengikutnya, penguasa di Baghdad
menangkap dan memenjarakannya pada 910 (297 H). Dengan sejumlah tuduhan
(bahwa ia berkomplot dengan kaum Qaramith, yang mengancam kekuasaan
Daulat Bani Abbas; ia dianggap bersifat ketuhanan oleh sebagian
pengikutnya yang fanatik; ia mengucapkan "ana al-haq" (akulah yang maha
benar.
Karena ucapannya, al-Hallaj dipenjara, tetapi setelah satu tahun
dipenjara dia dapat melarikan diri dengan pertolongan seorang penjaga
yang menaruh simpati kepadanya. Dari Baghdad ia melarikan diri ke Sus
dalam wilayah Ahwas. Disinilah ia bersembunyi selama empat tahun. Namun
pada tahun 301 H / 930 M ditangkap kembali dan dimasukkan lagi ke
penjara hampir sembilan tahun lamanya. Selama itu ia terjebak dalam baku
sengketa antara segenap sahabat dan musuhnya.
Serangkaian pemberontakan dan kudeta pun meletus di Baghdad. Ia dan
sahabat-sahabatnya disalahkan dan dituduh sebagai penghasut. Berbagai
peristiwa ini menimbulkan pergulatan kekuasaan yang keras di kalangan
istana khalifah. Akhirnya pada tahun 309 H / 921 M, diadakan persidangan
ulama dibawah kerajaan Bani Abbas di masa khalifah al-Muktadirbillah.
Pada tanggal 18 Zulkaidah 309 H, jatuhlah hukuman padanya. Dia dihukum
bunuh dengan mula-mula di pukul dan di cambuk dengan cemeti, lalu di
salib, sesudah itu dipotong kedua tangan dan kakinya, di penggal
lehernya dan ditinggalkan tergantung pecahan-pecahan tubuh itu di pintu
gerbang kota Baghdad, kemudian dibakar dan abunya dihanyutkan ke sungai
Dajlah
Selama di penjara, al-Hallaj banyak menulis hingga mencapai 48 buah buku.
Judul-judul kitabnya itu tampak asing dan isinya juga banyak yang aneh dan sulit dipahami. Kitab-kitab itu antara lain :
1. Kitab al-Shaihur fi Naqshid Duhur
2. Kitab al-Abad wa al-Mabud
3. Kitab Kaifa Kana wa Kaifa Yakun
4. Kitab Huwa Huwa
5. Kitab Sirru al-Alam wa al-Tauhid
6. Kitab al-Thawasin al-Azal
7. dan lain-lain.
Kitab-kitab itu hanya tinggal catatan, karena ketika hukuman
dilaksanakan, kitab-kitab itu juga ikut dimusnahkan, kecuali sebuah yang
disimpan pendukungnya yaitu Ibnu 'Atha dengan judul Al-Thawasin
al-Azal. Dari kitab-kitab ini dan sumber-sumber muridnya dapat diketahui
tentang ajaran-ajaran al-Hallaj dalam tasawuf.
Pemikiran Hulul Al Hallaj
Hulul merupakan ajaran al-Hallaj yang membedakan dari warna tasawuf
lainya, dan hulul ini pula yang telah banyak menimbulkan polemik pada
waktu itu bahkan dikalangan sufi sendiri.
Hulul secara leksikal merupakan kata benda abstrak (masdar) yang
diderivisikan dari kata (حل يحل حلا لا حلو لا) lalu di Indonesiakan
menjadi menempati, bertempat tinggal bahkan dalam bentuk plus alif-nun
(حلاة) ia dapat berarti luluh atau larut menyatu.
Doktrin al-hulul adalah salah satu tipe dari aliran tasawuf falsafi dan
merupakan perkembangan lanjut dari paham it-tihad. Konsepsi al hulul
pertama kali ditampilkan oleh Husen Ibn Mansur Al-Hallaj yang meninggal
karena dihukum mati di Bagdad pada tahun 308 H, karena paham yang
disebarkan itu dipandang sesat oleh penguasa pada masa itu.
Pengertian al-hulul secara singkat adalah Tuhan mengambil tempat dalam
tubuh manusia tertentu, yaitu manusia yang telah dapat membersihkan
dirinya dari sifat-sifat kemanusiaan melalui fana atau eksate. Sebab
menurut Al-Halaj, manusia mempunyai sifat dasar yang ganda, yaitu sifat
ketuhanan atau lahut dan sifat insani atau nasut.
Demikian juga Tuhan memiliki sifat ganda yaitu sifat-sifat Ilahiyat atau
lahut dan sifat insaniyah atau nasut. Apabila seseorang telah
menghilangkan sifat kemanusiaanya dan mengembangkan sifat-sifat
Ilahiyatnya melalui fana, Maka Tuhan akan mengambil tempat dalam dirinya
dan terjadilah kesatuan antara manusia dengan Tuhan dan inilah yang
dimaksud dengan hulul.
Mempunyai perasamaan dengan faham yang dikemukakan sebelumnya yakitu Ittihad.
Dalam terminologi Indonesia hulul dikenal sebagai : fusi penyerapan atau
penyatuan ; istilah ini digunakan dalam filsafat dengan berbagai macam
pengertian.
a. Penyatuan substansial antara jasad (tubuh) dan ruh (jiwa),
b. Penyatuan ruh dengan tuhan dalam diri manusia,
c. Inherensi suatu aksi dalam substansinya,
d. Penyatuan bentuk -bentuk (shurat) dengan materi pertama dan
e. Hubungan antara suatu benda dengan tempatnya .
Meskipun demikian terdapat perbedaan al-Hulul dengan ittihad yaitu dalam
hulul, jasad al-Hallaj tidak lebur sedangkan dalam ittihad dalam diri
al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah, dan dalam ittihad yang
dilihat hanya satu wujud dan dalam hulul ada dua wujud yang bersatu
dalam satu tubuh.
Teori lahut dan nasut ini, berangkat dari pemahamanya tentang proses
kejadian manusia. Al-Halaj berpendapat bahwa Adam sebagai manusia
pertama diciptankan Tuhan sebagai copy dari diri-Nya surah min nafsih
dengan segenap sifat dan kebesaranya, sebagaimana yang ia ungkapkan
dalam Syair nya
Maha suci dzat yang menampakan nasut-Nya,
Seiring cemerlang bersama lahut-Nya,
Demikian pula pada makhluk-Nya pun terlihat nyata,
Seperti manusia yang makan dan minum layaknya.
Menurut pemahamanya adanya perintah Allah agar Malaikat sujud kepada
Adam itu adalah karena Allah telah menjelma dalam diri Adam sehingga ia
harus disembah sebagaimana menyembah Allah. Bagaimana gambaran hulul
itu, dapat dipahami dalam ungkapan Al-Hallaj berikut ini:
Berbaur sudah sukmamu dalam rohku menjadi satu,
Bagai anggur dan air bening berpadu,
Bila engkau tersentuh terusik pula aku,
Karena ketika itu, Kau dalam segala hal adalah aku.
Aku yang kurindu, dan yang kurindu aku jua,
Kami dua jiwa padu dalam satu raga,
Bila kau lihat aku, tampak jua Dia dalam pandanganmu,
Jika kau lihat Dia, kami dalam penglihatanmu tampak nyata.
Dari ungkapan di atas terlihat bahwa wujud manusia tetap ada dan sama
sekali tidak hancur atau sirna. Dengan demikian, nampaknya paham hulul
ini bersifat figuratif, bukan riel karena berlangsung dalam kesadaran
psikis dalam kondisi fana dalam iradat Allah. Olej karena itu ucapan ana
al haq yang meluncur dari lidah Al-Hallaj bukanlah ia maksudkan sebagai
pernyataan bahwa dirinya adalah Tuhan. Sebab yang mengucapkan kalimat
itu pada hakikatnya adalah Tuhan juga tetapi melalui lidah Al-Hallaj.
Interpensi ini sesuai pula dengan pernyataan Al-Hallaj dalam syair berikut:
Aku adalah rasia yang maha benar, aku bukanlah yang maha benar, aku hanyalah yang benar, bedakanlah antara kami.
Al-Hallaj mengajarkan bahwa Tuhan memiliki sifat lahut dan nasut,
demikian juga manusia. Melalui maqamat, manusia mampu ke tingkat fana,
suatu tingkat dimana manusia telah mampu menghilangkan nasut-nya dan
meningkatkan lahut yang mengontrol dan menjadi ini kehidupan. Yang
demikian itu memungkinkan untuk hulul-nya Tuhan dalam dirinya, atau
dengan kata lain, Tuhan menitis kepada hamba yang dipilih-Nya, melalui
titik sentral manusia yaitu roh.
Adapun menurut istilah ilmu tasawuf, al-hulul berarti paham yang
mengatakan bahwa Tuhan memilih tubuh-tubuh manusia tertentu untuk
mengambil tempat di dalamnya setelah sifat-sifat kemanusiaan yang ada
dalam tubuh itu dilenyapkan.
Al-Hallaj berpendapat bahwa dalam diri manusia sebenarnya ada sifat-sifat ketuhanan. Ia mentakwilkan ayat:
وَإِذْ قُلْنَا لِلْمَلاَئِكَةِ اسْجُدُواْ لآدَمَ فَسَجَدُواْ إِلاَّ
إِبْلِيسَ أَبَى وَاسْتَكْبَرَ وَكَانَ مِنَ الْكَافِرِينَ {البقرة : ٣٤}
Artinya: Dan (ingatlah) ketika Kami berfirman kepada para malaikat:
"Sujudlah kamu kepada Adam," maka sujudlah mereka kecuali Iblis; ia
enggan dan takabur dan adalah ia termasuk golongan orang-orang yang
kafir”. (QS. Al-Baqarah : 34).
Sesuai dengan ajarannya, maka tatkala ia mengatakan "Aku adalah al-Haq"
bukanlah al-Hallaj yang mengucapkan kata-kata itu, tetapi roh Tuhan yang
mengambil dalam dirinya.
Sementara itu, hululnya Tuhan kepada manusia erat kaitannya dengan
maqamat sebagaimana telah disebutkan, terutama maqam fana. Fana bagi
al-Hallaj mengandung tiga tingkatan : tingkat memfanakan semua
kecenderungan dan keinginan jiwa; tingkat memfanakan semua fikiran
(tajrid aqli), khayalan, perasaan dan perbuatan hingga tersimpul
semata-mata hanya kepada Allah, dan tingkat menghilang semua kekuatan
pikir dan kesadaran. Dari tingkat fana dilanjutkan ke tingkat fana
al-fana, peleburan ujud jati diri manusia menjadi sadar ketuhanan
melarut dalam hulul hingga yang disadarinya hanyalah Tuhan.
Dari uraian di atas dapat kami simpulkan sebagai berikut:
1. Abu Yazid Al-Bustami adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenlkan faham fana,baqa dan ittihad.
2. Al Hallaj Perbedaan adalah tokoh sufi yang pertama kali memperkenalkan faham hulul
3. Antara al-Ittihad dengan al-Hulul
Dalam ittihad yang dilihat hanya satu wujud, diistilahkan diri
al-Bustami lebur dan yang ada hanya diri Allah sedangkan dalam hulul,
jasad al-Hallaj tidak lebur ada dua wujud yang bersatu dalam satu
tubuh.