Syekh Fadludin Jalalain
Penyebaran Islam di wilayah Malang dan sekitarnya tentu merupaan bagian
dari Islamisasi Indonesia ini. Menurut cerita yang berkembang di
masyarakat, Syekh Fadludin Jalalain atau lebih dikenal dengan Mbah
Muhammad adalah salah seorang ulama besar pada jamannya yang turut
berjasa menyebarkan dakwah Islam di Malang Raya. Namun, banyak
masyarakat Malang yang belum mengetahui apalagi mengenal sosok beliau.
Mbah Muhammad berasal dari tanah Banten yang menyebarkan agama Islam di
di daerah malang dan sekitarnya atas perintah dari kakak kandungnya
yaitu Pangeran Muhammad Thohir Tasmiddin atau Kyai Muchtar.Mbah Muhammad
memiliki garis keturunan dari raja-raja di Banten.
Satu-satunya peninggalan beliau dan saksi bisu perjuangannya adalah
makam beliau yang berada di depan mihrab Masjid Al Mukarromah, Kasin
Kota Malang.
Setiap harinya makam itu tidak pernah sepi dari kunjungan para peziarah,
baik dari Malang raya maupun luar kota Malang, apalagi jika hari Kamis
malam Jum'at para peziarah bahan harus mengantri saat akan mendekat ke
makamnya. Untuk mengenang jasa-jasa beliau, warga Kasin dan sekitarnya
rutin mengadakan haulnya setiap tahun yang biasanya dilaksanakan setiap
Minggu ke tiga bulan Robi'utsani atau bakdho mulud.
Syeikh Fadlluddin ( Mbah Muhammad Djalalain ), nama aslinya adalah
Pangeran Fadlluddin as Syeikh Muhammad Djalalain, bin Sultan Hajji Abun
Nasri Abdul Qohar Maulana Manshur Ruddin Banten, bin Sultan Agung Abul
Fatih Abul Fatah, Tirtayasa Banten, bin Sultan Abul Maa'ali Achmad
Kanari, bin Sultan Abul Mafakhir Mahmud Abdul Qodier, bin Muhammad
Asiruddin Pangeran Ratu Banten, bin Sultan Maulana Yusuf, Sultan
Hasanuddin Banten, bin Syarief Hidayatullah, Sunan Gunung Jati,
Cirebon.
Pangeran Fadlluddin atau Mbah Muhammad Djalalain adalah putra keEmpat
dari sepuluh bersaudara Sultan Hajji Abun Nasri Abdul Qohar Maulana
Manshur Ruddin Banten. Kesepuluh putra- putri beliau adalah:
1. Adipati Ishaq, Sultan Abul Fadhol,
2. Sultan Abul Machasin Zainul Abidin.
3. Pangeran Muhammad Thohir Tasmiddin atau Kyai Muchtar,
4. Pangeran Fadlluddin Samiluddin atau Syech Muhammad Djalalain,
5. Pangeran Dja'faruddin Syaifuddin,
6. Pangeran Muhammad 'Alim Syamsuddin,
7. Nyai Ratu Rochimah,
8. Nyai Chamimah,
9. Ksatrian Muhammad Sholeh dan
10.Nyai Ratu Mumby
Dari kesepuluh putra-putri beliau, dua orang memilih meneruskan
kesultanan Banten dan delapan orang memilih menjadi ulama untuk
menyebarkan agama Islam. Pada tahun 1773, kesultanan Banten dipimpin
oleh Sultan Abul Mafakhir Muhammad Aliyuddin, beliau bersama kakak dan
adik-adiknya meninggalkan Banten dan pergi ke arah Timur.
Dalam perjalanan selama 4 tahun ini, akhirnya sampai di suatu tempat
yang sampai sekarang dikenal dengan Desa Tebusaren, Kecamatan Jabon,
Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur. Ketika Mbah Muhammad Djalalain
meninggalkan Banten beliau disertai oleh ketiga putranya yaitu Haji
Arief, Tubagus Kidam dan Tubagus Djakram, serta seorang cucunya bernama
Nyai Sarinten binti Tubagus Kidam.
Pada akhir tahun 1777, Pangeran Muhammad Thohir menugaskan 3 (tiga)
orang adiknya yaitu Pangeran Djakfaruddin, Pangeran Fadlluddin ( Mbah
Muhammad Djalalain ) dan Pangeran Muhammad 'Alim untuk berdakwah
menyebarkan agama Islam dan membagi wilayah dakwahnya.
Pangeran Djakfaruddin ke daerah Timur ( Pasuruan dan sekitarnya),
Pangeran Fadlluddin / Mbah Muhammad Djalalain ke daerah Malang dan
Pangeran Muhammad 'Alim akhirnya mengikuti kakaknya ke Malang
Akhirnya pada tahun 1779 Pangeran Fadlluddin ( Mbah Muhammad Djalalain )
menetap di Kasin, Kota Malang. Salah satu diantara murid beliau ialah
Kanjeng Surgi Bupati Malang, yang dikenal sampai sekarang dengan sebutan
Ki Ageng Gribig.
Mbah Muhammad Djalalain wafat pada tahun 1821 dan dimakamkan tepat di
belakang Masjid Al-Mukarromah Kasin Malang. Wallahu'alam bishowab
Syekh Husien
Inilah kisah yang meluruskan tentang animo masyarakat akan kebenaran
silsilah keturunan Auliya/Pemuka agama dilingkungan Buju’ Batu Ampar.
Semata-mata untuk mengembalikan kesadaran kita tentang nilai kebesaran
Allah SWT. Seperti yang terdapat di Pesarean Buju’ Batu ampar ini adalah
kekasih-kekasih Allah yang telah mendapatkan karomah atas kemurahan
rahmat dan hidayah-Nya.
Kisah ini semoga menjadi teladan serta penuntun bagi kaum muslimin dan
muslimat dalam sebuah perjalanan menuju cita-cita mulia, guna menjadi
INSAN KAMIL yang memegang teguh, menjaga serta memelihara kemurnian
islam hingga hari yang dijanjikan ( kiamat ).
Wallahu a’lam Bisshawab.
Silsilah Auliya’ Batu Ampar, Madura
Sayyid Husein, berputra :
Syekh Abdul Manan / Buju’ Kosambi
Syekh Abdul Rohim / Buju’ Bire
Syekh Abdul manan / Buju’ Kosambi, berputra…
Syekh Basyaniah / Buju’Tumpeng, berputra…
Syekh Abu Syamsudin ( Su’adi ) / Buju’ Latthong, berputra 3 :
Syekh Husein, berputra : ( ket. Dibawah )
Syekh Lukman berputra : Syekh Muhammad Yasin
Syekh Syamsudin, berputra : Syekh Buddih
Syekh Husein, berputra…
Syekh Muhammad Ramly, berputra..
KH. Damanhuri, berputra/ putri 10 :
KH. Amar Fadli
KH. Mukhlis
KH. Romli
KH. Mahalli
KH. Kholil
KH. Abdul Qodir
KH.Ach. Fauzy Damanhuri
KH. Ainul Yaqin
Nyai Hasanah
Nyai Zubaidah
Sayyid Husein
Disuatu desa diwilayah Bangkalan, tersebutlah seorang pemuka agama Islam
yang bernama Sayyid Husein. Beliau mempunyai banyak pengikut karena
ketinggian ilmu Agamanya. Selain akhlaknya yang berbudi luhur, beliau
juga memilikibanyak karomah karena kedekatannya dengan sang
Kholiq.Beliau sangatdihormati pengikutnya dan semua penduduk disekitar
bangkalan.
Namun bukan berarti beliau lepas dari orang yang membencinya.Disebabkan
karena mereka iri dengan kedudukan beliau dimata masyarakat saat
itu.Hingga suatu hari ada seseorang penduduk yangiri dengki dan berniat
buruk mencelakai dan menghancurkan kedudukan Sayyid Husein.Orang itu
merekayasa cerita fitnah, bahwa Sayyid Husein bersama pengikutnya telah
merencanakan pemberontakan dan ingin menggulingkan kekuasaan raja
Madura.
Alhasil cerita fitnah ini sampai ditelinga sang Raja. Mendengar kabar
itu Raja kalang-kabut dan tanpa pikir panjang mengutus panglima perang
bersama pasukan untuk menuju kediaman Sayyid Husein.Sayyid Husein yang
saat itu sedang beristirahat langsung dikepung dan dibunuh secara kejam
oleh prajurit kerajaan.Mereka melakukan hal itu tanpa pikir panjang dan
disertai bukti yang kuat. Akhirnya Sayyid Husein yang tidak bersalah itu
wafat seketika itu juga dan konon jenazahnya dikebumikan diperkampungan
tersebut.
Selang beberapa hari dari wafatnya Sayyid Husein, Raja mendapat berita
yang mengejutkan dan sungguh mengecewakan, serta menyesali keputusannya
yang samasekali tidak didasari bukti-bukti yang kuat. Berita tadi
mengabarkan bahwa sebenarnya SayyidHusein tidak bersalah, karena
sesungguhnya beliau telah difitnah.Karena sangat menyesali perbuatannya,
Raja Bangkalan memberikan gelar kepada beliau dengan sebutan Buju’
Banyu Sangkah ( Buyut Banyu Sangkah ). Dan tempat peristirahatan beliau
terletak dikawasan Tanjung Bumi, Bangkalan.
Sayyid Husein wafat dengan meninggalkan duaorang putra. Yang pertama
bernama Abdul Manan dan yang kedua bernama Abdul Rohiim. Kedua putra
beliau ini sepakat untuk pergi menghindari keadaan dikampung tersebut.
Syekh Abdul Rohim lari menuju Desa Bire ( Kabupaten Bangkalan ), dan
menetap disana sampai akhir hayat beliau. Dan akhirnya beliau terkenal
sebagai Buju’ Bire ( Buyut Bire ). Wallahu a’lam
Syekh Abdul Manan ( Buju’ Kosambi )
Lain halnya dengan SyekhAbdul Manan. Beliau pergi mengasingkan diri dan
menjauh dari kekuasaan Raja Bangkalan. Hari demi hari dilaluinya dengan
sengsara dan penuh penderitaan. Beliau sangat terpukul sekali kehilangan
orang yang sangat dikasihinya.Hingga akhirnya beliau sampai disebuah
hutan lebat ditengah perbukitan diwilayah Batu ampar ( Kabupaten
Pamekasan ).
Dihutan inilah akhirnya beliau bertapa / bertirakat untuk mendekatkan
diri kepada Allah SWT.Dalam melaksanakan hajatnya beliau memilih tempat
dibawah Pohon Kosambi. Syahdan tapa beliau ini berlangsung selama 41
tahun. Saat memulai tapaitu beliau berumur 21 tahun. Hingga akhirnya
beliau ditemukan anak seorang penduduk desa ( Wanita ) yang sedang
mencari kayu dihutan.
Singkat cerita akhirnya Syekh abdul Manan dibawa kerumahnya. Dari
hubungan tersebut, timbullah kesepakan antara orang tua si anak tersebut
untuk menjodohkan Syekh abdulManan dengan salah seorang putrinya.
Sebagaitanda terima kasih, beliau memilih si sulung sebagai istrinya,
walaupun dalam kenyataannya sisulung menderita penyakit kulit. Anehnya
terjadi keajaiban di hari ke 41 pernikahan mereka. Saat itu juga sang
istri yang semula menderita penyakit kulit tiba-tiba sembuh seketika.
Dan bukan hanya itu kulitnya bertambah putih bersih dan cantik jelita,
sampai-sampai kecantikannya tersiar kemana-mana.
Dan konon kabarnya pula bahwa Raja Sumenep mengagumi dan tertarik akan kecantikan istri Syekh Abdul manan ini.
Dari pernikahan ini, beliau dikarunia seorang putra yang bernama Taqihul
Muqadam , setelah itu menyusul pula puta kedua yang diberi nama
Basyaniah . Setelah bertahun-tahun menjalankan tugasnya sebagai
Khalifah, akhirnya beliau wafat dengan meninggalkan duaorang putra.
Jenazahnya dimaqamkan di Batu Ampar dan terkenal dengan julukan Buju’
Kosambi. Dan putra pertama beliau juga saat wafat jenazahnya dikebumikan
didekat pusaranya. Wallahu a’lam.
Syekh Basyaniah ( Buju’ Tumpeng )
Putra kedua Syekh Abdul manan yang bernama Basyaniah inilah yang
mengikuti jejak ayahanda. Beliau senang bertapa dan cenderung menjauhkan
diri dari pergaulan dengan masyarakat. Dan beliau juga selalu menutupi
karomahnya.Ketertutupan beliau ini semata-mata bertujuan untuk menjaga
keturunannya kelak dikemudian hari agar menjadi insan kamil atau manusia
sempurna dan sholeh melebihi diri beliauserta menjadi khalifah yang
arif dimuka bumi.
Dalam menjalani hajatnyabeliau bertapa dan memilih tempat disuatu
perbukitan yang terkenal dengan nama Gunung Tompeng yakni suatu bukit
sepi dan sunyi yang penuh dengan tanda-tanda kebesaran Illahi. Bukit
tersebut terletak kurang lebih 500 m arah barat daya ( antara
Barat-Selatan ) dari Desa batu Ampar.
Saat wafatnya beliau meninggalkan seorang putra yang bernama Su’adi atau
terkenal dengan sebutan Syekh Abu Syamsudin dan mendapat julukan Buju’
Latthong. Sedang jenazah Syekh Basyaniah dikebumikan berdekatan dengan
pusara Ayahanda. Beliau akhirnya mendapatjulukan Buju’ Tumpeng .
Wallahu a’lam
Syekh Abu Syamsudin ( Buju’ Latthong )
Kisah hidup putra tunggalSyekh Basyaniah ini tidak berbeda dengan
perjalanan hidup yang pernah ditempuh oleh ayahanda dan buyutnya yakni
gemar bertapa dan selalu menyendiri bertirakat serta selalu
berpindah-pindah dalam melakukan tapanya.Misalnya salah satu tempat
pertapaanyayang ditemukan didekat kampung Aeng Nyono’ . Wilayah tempat
tersebut ada ditengah hutan yang lebat. Karena seringnya tempat tersebut
dipergunakan sebagai lokasi tirakat / bertapa, oleh penduduk setempat
dinamakan Kampung Pertapaan.
Begitu juga bukit yang ada dikampung Aeng Nyono’ yang menjadi tempat
bertapanya Syekh Syamsudin. Disana terdapat sebuah kebesaran Allah yang
diperlihatkan kepada manusia sampai sekarang. Tepat disebelah barat
tempat beliau bertapa terdapat sumber mata air yang mengalir ke atas
Bukit Pertapaan. Konon Syekh Syamsudin mencelupkan tongkatnya sampai
akhirnya mengalir ke atasbukit hingga kini. Masya Allah…sungguh
merupakan karunia yang besar dan jauh diluar akal manusia. Atas dasar
keajaiban itulah yang menjadi asal-usul nama kampung Aeng Nyono’ (
Bahasa Madura ) artinya air yang menyelinap/mengalir ke atas. Dan konon
dengan air inilah beliau berwudhu dan bersuci.
Asal usul sebutan Buju’ Latthong
Keramat itu muncul karena disebabkan keluarnya sinar dari dada beliau.
Apabila sinar itu dilihat oleh orang yang berdosa dan belum bertaubat,
maka orang tersebut akan pingsan atau tewas.
Kisah lain menceritakan karena seorang yang berjuluk Buju’ Sarabe yang
bertabiat buruk berniat menghabisi beliau. Banyak penduduk desa yang
dibunuhnya. Tetapi ketika akan menghabisi Syekh Syamsudin, ketika Buju’
Sarabe dan anak buahnya mencabut senjata, mendadak senjata itu lenyap
dan tinggal warangkannya.Setelah mengaku kalah dan memohon agar
senjatanya dikembalikan, Syekh Syamsudin menunjukkan letak senjata
tersebut yang berada dalam Latthong ( Bahasa madura yang berarti kotoran
sapi ).
Sebab itulah karena khawatir tentang hal itu, maka beliau menutupi
dadanya dengan cara mengoleskan Latthong disekitar dada beliau. Banyak
sekali kisah kekeramatan beliau. Setelah cukup menjalani darma baktinya
sebagai Khalifah, akhirnya beliau wafat dengan meninggalkan tiga orang
putra. Dan dikebumikan diBatu ampar, madura. Wallahu a’lam
Syekh Husein
Sepeerti halnya pendahulunya, syekh Husein inipun senang menjalani laku
tirakat. Selain itu beliau ini terkenal akan kecerdasanpikirannya.
Beliau hapal Kitab Ihya Ulumuddin Imam Ghozaly. Bahkan hapalannya
sedemikian akurat sampai titik dan baris dikitab itu beliau
mengetahuinya. Masa bertapa Syekh Husein ini tidaklah selama
pendahulunya. Disebabkan perobahan zaman, maka tempat tinggal dan daerah
sekitar telah menjadi ramai oleh pendatang.
Beliau banyak bergaul danmenjadi pemuka masyarakat dan tokoh agama yang
disegani. Danbeliau adalah keturunan terakhir dari Sayyid Husein yang
mempunyai kegemaran bertapa dan menjalankan laku tirakat.Keturunan
sesudahnya cenderung untuk merantau dan mencari guru untuk menuntut
ilmu. Wallahu a’lam
Syekh Muhammad Ramly
Putera tunggal Syekh Husein ini sejak kecil senang sekali menuntut ilmu.
Hingga menjelang dewasannya beliau pergi menuntut ilmu dan menuju
Kabupaten bangkalan. Disana beliau berguru dan menuntut ilmu kepada
seorang Waliyullah yang bernama Syaikhona Kholil, Bangkalan. Setelah
cukupmenimba ilmu dengan sang Waliyullah, beliau menuju ke Saudi Arabia.
Dan menetap disana selama 10 tahun.
Setelah cukup 10 tahun, akhirnya beliau kembali dan menetap ditanah
asal, batu ampar. Beliau menjadi panutan masyarakat dalam kehidupan
beragama. Setelah berkeluarga, beliau dikaruniai seorang putra yang
diberi nama Damanhuri . Sayang sekali kehidupan beliau sangat singkat.
Saat puteranya masih membutuhkan kaih sayangnya, beliau akhirnya wafat
dan dimaqamkan dipesarean Batu ampar. Wallahu a’lam
Syekh Damanhuri
Semasa hidupnya Syekh Damanhuri tidak banyak mendapatkan belaian kasih
sayang dari Ayahandanya. Hingga akhirnya beliau di asuh sendiri oleh
sang kakek ( Syekh Husein ).Beliau mendapatkan bimbingan dan tuntunan
beragama secara langsung dari Syekh Husein. Akhirnya setelah cukup umur,
beliau pergi menuntut ilmu ditempat Ayahandanya dahulu belajar. Yaitu
ditempat Syaikhona Kholil, Bangkalan.
Singkat cerita setelah cukup menimba ilmu di pesantren Syaikhona Kholil,
beliau akhirnya kembali ke kampung halaman.Seperti halnya para
pendahulu, beliaupunmenjadi Tokoh masyarakat di batu Ampar. Syekh
Damanhuri mempunyai 2 orang istri. Dari istri pertamanya dikaruniai 2
orang anak ( KH.Umar Fadli dan Nyai Hasanah ) dan bersama istri yang
kedua dikaruniai 8 orang putra/putri ( KH.Romli, KH.Mahalli,
KH.Ach.Fauzy, KH.Mukhlis, Nyai Zubaidah, KH.Kholil, KH. Abdul Qodir dan
KH.’Ainul Yaqin )
Dan diantara putranya yang masih ada itulah, yang menjadi generasi
penerusnya. Sebagai panutan dan pembimbing serta kholifah dimuka bumi
ini demi terpeliharanya kesucian dan kemurnian Islam untuk masa yang
kita tidak ketahui batasnya.
Demikianlah sekilas kisah Para Buju’ Batu Ampar. Semoga kisah ini
bermanfaat bagi pembaca dan pewaris Ilmu-ilmu Raje. Jadikanlah beliau
diatas sebagai teladan dan hikmah. Wallahu a’lam
Wassalamu’alaikum, wr.wb. Jazakumullah bi ahsanal jaza.
Syekh Gentaru, Kabupaten Tuban
Makam Syekh Gentaru berada di Dusun Kedungsari, Desa Tuwiri Wetan,
Kecamatan Merakurak, Tuban.Menurut cerita yang ada di masyarakat,Syekh
Rifa’i adalah ulama kondang di jaman Islam mulai masuk ke tanah Jawa
yang dibawa para wali. Nama SyekhRifa’i sendiri memang tak setenar
nama-nama para wali yang banyak tersebar di Tuban. Seperti Sunan Bonang,
Maulana Ibrahim Asmoroqondi, Sunan Kalijaga, Sunan Bejagung maupun
Sunan Geseng.
Akan tetapi keberadaan syiar Islam yang dilakukannya telah diketahui
warga.Bahkan, Syekh ini pula dalam syiarnya acap memasuki daerah yang
dikenal sebagai kawasan merah.Kawasan yang dihuni para gembong rampok
dan begal.Karena ilmu kanuragan yang dimilikinya pula, Syekh ini dikenal
sebagai tokoh penakluk. Apalagi konon, Syekh Rifa’i memiliki ilmu Rawa
Rontek, yang bisa hidup kembali setelah jasadnya menyentuh tanah.
Bahkan jika kepala dipenggal akan menyatu kembali jika tak dimakamkan secara terpisah.
Syeh Rifa’iselalu berpindah-pindah tempat semasa hidupnya. Setelah
pengikutnya banyak dan mulai tersebar, Syekh kelahiran jazirah Arab ini
akhirnya memutuskan uzlah (laku menyendiri) di Goa Yung Yang. Meski
telah bertahun-tahun berkontemplasi dengan Sang Khaliq di dalam goa,
namun ajaran dan syiarnya diteruskan para pengikutnya.
Alkisah, kala itu Tuban dipimpin Bupati Wilwatikta. Bupati yang juga
orangtua Raden Said, termasuk penguasa yang gigih mempertahankan
kekuasaannya.Tokoh ini pula yang dikenal se- bagai bupati yang
tegas.Kompleks Goa Srunggo memang acap didatangi Bupati Wilwatikta,
selepas berburu hewan buas di hutan jati wilayah setempat. Tak jarang
pula ia mengajak istrinya dalam perburuan tersebut. Namun, sang istri
selalu mendirikan kemah menunggu suami berburu di sekitar Goa Srunggo.
Apalagi Srunggo merupakan goa yang mengeluarkan air bersih yang mengalir
kesana kemari.Rindangnya pepohonan menjadikan lokasi ini pilihan
penguasa Kabupaten Tuban untuk berwisata.
Di samping Goa Srunggo terdapat goa lain. Yakni Goa Yung Yang.Tempat
Syekh Rifa’i bersemedi.Ia berniat mengakhiri hidupnya di goa tersebut
sambil melakukan kontemplasi dengan Sang Khaliq. Karena kelebihan yang
dimilikinya ia mampu bertahan hingga bertahun-tahun di dalam goa. Hanya
sesekali ia ke luar untuk menemui para pengikutnya. Menurut keterangan
warga setempat, dinding Goa Yung Yang dulu selalu muncul penampakan
Syekh Rifa’i. Warga meyakini itu terjadi karena karomah dan kesaktian
sang Syekh.
Istri Wilwatikta sempat menengok dalam goa Yung Yang. Hingga mengetahui
di dinding ada penampakan pria ganteng yang santun tersebut.Bahkan,
perempuan nomor satu di jajaran Kabupaten Tuban itu meminta suaminya
agar sering berburu. Dengan cara itu ia bisa sering bertemu dengan Syekh
Rifa’i, sekalipun sekadar melihat wajahnya di dinding goa. Wilwatikta
pun akhirnya mencium keanehan dari permaisurinya. Ia pun memerintahkan
aparatnyauntuk menelisik dan menyusuri lorong Goa Yung Yang.Disitulah
ditemukan Syekh Rifa’i yang masih terlihat sebagai lelaki muda dan
gagah.Sosok yang sering hadir dalam mimpi dan igauan istrinya.
Syekh Rifa’i pun akhirnya diseret ke luar goa.Ia diadili oleh Wilwatikta
dengan tudingan telah membuat istrinya terpikat. Di tengah amuk api
cemburu, Wilwatikta pun menjatuhkan hukuman pancung pada Syekh Rifa’i.
Sekalipun Sang Syekh tetap ngotot tidak pernah sengaja menggoda istri
penguasa Bumi Ranggalawe tersebut.
Akhirnya Syekh Rifa’i mengajukan syarat untuk membuktikan tidaksalahnya.
Jika setelah dipancung darah yang ke luar dari tubuhnya berwarna merah,
berarti dia memang bersalah.Akan tetapi jika yang ke luar darah putih
berarti dirinya tidak bersalah. Syarat itu disetujui oleh
Wilwatikta.Hukuman pancung pun dilakukan.Setelah kepalanya terpenggal
yang keluar adalah darah putih.Cairan darah putih tersebut juga
memunculkan aroma harum bunga. Selain itu setelah raganya menyentuh
tanah, kepalanya kembali menyatu dengan badan, sang jasad pun kembali
hidup. Beberapa kali hal itu terjadi, hingga akhirnya setelah kepalanya
terpisah dimakamkan berjauhan, meski masih dalam kompleks sumber air Goa
Srunggo.
Wilwatikta menyesali keputusannya.Dalam rasa sesal mendalam, penguasa
Tuban itu meminta jasad Syekh Rifa’i dimakamkan secara baik.Bukan
sebagai pesakitan yang telah melakukan tindak pidana. Sesuai pesan yang
disampaikan para pengikutnya, badan Syekh Rifa’i pun akhirnya dimakamkan
di wilayah Sidomukti, kini masuk wilayah Kecamatan Kota, Tuban.
Sedangkan kepalanya dimakamkan di kompleks Goa Srunggo.Pusara kepala itu
yang hingga kini masih banyak didatangi peziarah.Usai pemakaman
Wilwatikta mengajak para prajuritnya kembali ke Pendapa Kabupaten Tuban
yang berada di Desa Prunggahan Wetan, Kecamatan Semanding, Tuban.
Namun sebelum beranjak terdengar suara tanpa rupa. Yang menyebut,
“Siapapun pejabat di Tuban akan lengser jika menginjakkan kakinya di Goa
Srunggo.” Sejak saat itu, namaSyekh Rifa’i telah tiada, oleh
pengikutnya namanya diganti Syekh Gentaru, yang diambil dari darah putih
dari badan beliau yang berbau harum.