Kalimantan adalah salah satu dari 5 pulau besar yang ada di Indonesia.
Kalimantan merupakan “daerah asal” suku Dayak. Di kalangan orang Dayak
sendiri satu dengan lainnya menumbuh-kembangkan kebudayaan tersendiri.
Dengan perkataan lain, kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan oleh
Dayak-Iban tidak sama persis dengan kebudayaan yang ditumbuh-kembangkan
Dayak-Punan dan seterusnya. Namun demikian, satu dengan lainnya mengenal
atau memiliki senjata khas Dayak yang disebut sebagai mandau. Dalam
kehidupan sehari-hari senjata ini tidak lepas dari pemiliknya. Artinya,
kemanapun ia pergi mandau selalu dibawanya karena mandau juga berfungsi
sebagai simbol kehormatan dan jatidiri.
Mandau adalah salah satu senjata suku Dayak yang merupakan pusaka turun
temurun dan dianggap sebagai barang keramat atau memiliki kesaiktian.
Selain itu mandau juga merupakan alat untuk memotong dan menebas
tumbuh-tumbuhan dan benda-benda lainnya, karena nyaris sebagian besar
kehidupan seharian orang Dayak berada di hutan, maka mandau selalu
berada dan diikatkan pada pinggang mereka. Suku Dayak adalah suku yang
gemar sekali berpetualang, sehingga untuk memberi kenyamanan dalam
perjalanannya seorang putra dayak akan melengkapi dirinya dengan
senjata. Salah satu senjata yang pasti dibawa dalam sebuah perantauan
adalah mandau.
Senjata Sakti Pusaka Suku Dayak ini dipercayai memiliki tingkat-tingkat
kampuhan atau kesaktian. Kesaktian Mandau ini tidak hanya diperoleh
dari proses pembuatannya yang melalui ritual-ritual tertentu, tetapi
juga diperoleh dari pengayauan (pemenggalan kepala lawan). Semakin
banyak orang yang berhasil di-kayau, mandau itu semakin sakti. Sebagian
rambut kepala yang berhasil dikayau biasanya digunakan untuk menghias
gagang mandaunya. Mereka percaya bahwa roh orang yang mati karena
dikayau akan mendiami mandau sehingga mandau tersebut menjadi sakti.
Bilah mandau terbuat dari lempengan besi yang ditempa hingga berbentuk
pipih-panjang dan berujung runcing. Salah satu sisi mata bilahnya diasah
tajam, sedangkan sisi lainnya dibiarkan sedikit tebal dan tumpul.
Beberapa jenis bahan yang dapat digunakan untuk membuat mandau, yaitu:
besi montallat, besi matikei, dan besi baja yang diambil dari per mobil,
bilah gergaji mesin, cakram kendaraan, dan lain sebagainya. Menurut
cerita masyarakat dayak, mandau yang paling baik mutunya adalah yang
dibuat dari batu gunung yang dilebur khusus sehingga besinya sangat kuat
dan tajam serta hiasannya diberi sentuhan emas, perak, atau tembaga.
Mandau jenis ini hanya dibuat oleh orang-orang tertentu.
Sedangkan Gagang atau hulu mandau terbuat dari tanduk rusa yang diukir
menyerupai kepala burung. Seluruh permukaan gagangnya diukir dengan
berbagai motif seperti: kepala naga, paruh burung, pilin, dan kait. Pada
ujung gagang ada pula yang diberi hiasan berupa bulu binatang atau
rambut manusia. Bentuk dan ukiran pada gagang mandau ini dapat
membedakan tempat asal mandau dibuat, suku, serta status sosial
pemiliknya.
Sementara Sarung mandau atau yang biasa disebut kumpang biasanya terbuat
dari lempengan kayu tipis. Bagian atas dilapisi tulang berbentuk
gelang. Bagian tengah dan bawah dililit dengan anyaman rotan sebagai
penguat apitan. Sebagai hiasan, biasanya ditempatkan bulu burung
baliang, burung tanyaku, manik-manik dan terkadang juga diselipkan
jimat. Selain itu, mandau juga dilengkapi dengan sebilah pisau kecil
bersarung kulit yang diikat menempel pada sisi sarung dan tali pinggang
dari anyaman rotan.
Jika dicermati secara seksama, di dalam pembuatan mandau, mengandung
nilai-nilai yang pada gilirannya dapat dijadikan sebagai acuan dalam
kehidupan sehari-hari bagi kehidupan masyarakat. Nilai-nilai itu antara
lain: keindahan (seni), ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Nilai
keindahan tercermin dari bentuk-bentuk mandau yang dibuat sedemikian
rupa, sehingga memancarkan keindahan. Sedangkan, nilai ketekunan,
ketelitian, dan kesabaran tercermin dari proses pembuatannya yang
memerlukan ketekunan, ketelitian, dan kesabaran. Tanpa nilai-nilai
tersebut tidak mungkin akan terwujud sebuah mandau yang indah dan sarat
makna.
Tidak banyak yang tahu tentang mandau, selain sebagai senjata
tradisional Suku Dayak di Kalimantan, Indonesia. Di dalam kehidupan
Orang Dayak, mandau bukan saja sebagai sebuah senjata dari besi semata,
namun ia diyakini memiliki aura sebagai pendamping yang disebut panekang
hambaruan (pemberi motivasi dan semangat; spirit.
Mandau merupakan senjata utama dari sekitar puluhan jenis senjata
tradisional Suku Dayak yang mematikan. Nama asli mandau dalam Bahasa
Sangen (Dayak Kuno) adalah Mandau Apang Birang Bitang Ayun Kayau yang
artinya kurang lebih secara etimologis adalah “senjata yang dipakai kaum
lelaki yang dipunyai oleh kaum kayau/para pemenggal kepala” di zaman
dulu. Sebuah mandau tidak digunakan secara sembarangan mengingat
fungsionalitasnya dalam setiap upacara adat merupakan salah satu
prasyarat. Ia tidak digunakan dalam kehidupan sehari-hari seperti alat
untuk memotong kayu, menebas semak dan lain-lain.
Sebagai gantinya, biasanya Suku Dayak mengunakan parang biasa yang
bentuknya mirip dengan mandau yang disebut Pisau Ambang. Karena
kedudukannya yang tinggi dibandingkan dengan senjata-senjata tradisional
suku Dayak lainnya, ia juga tidak dipakai untuk meneror orang, atau
mengancam orang lain. Konon, apabila sebilah mandau telah ditarik dari
kumpang/sarung-nya, ia akan menuntut darah, dan itu mutlak dipenuhi.
Dalam proses pembuatannya, mata mandau diambil dari batu besi dari
gunung yang berusia puluhan abad yang dikenal dengan sanaman mantikei.
Konon menurut cerita turun-temurun, ada dua tempat di Kalimantan Tengah
di mana besi tersebut dapat ditemukan, yang pertama di Wilayah Kecamatan
Sanaman Mantikei, Kabupaten Katingan; dan kedua, di daerah Montallat,
Kabupaten Barito Utara. Besi dari kedua tempat tersebut dikenal pula
sebagai besi yang beracun sehingga apabila melukai kulit akan berujung
kepada kematian. Melalui proses panjang, sebuah mandau ditempa dan
dilengkapi dengan gagang yang terbuat dari tanduk rusa dan diberi
ornamen bulu burung atau rambut manusia serta aneka ukiran yang
mengandung unsur pelemahan semangat atau penunduk musuh yang dalam
Bahasa Dayak Ngaju disebut parunduk.
Begitu pula pada bagian sarungnya, selain dilengkapi tali pengikat dari
anyaman rotan pilihan, biasanya diikatkan juga dengan aneka benda fetis
yang disebut penyang sangkalemo. Perlengkapan lain yang kecil namun tak
kalah penting adalah langgei kuai atau sejenis pisau kecil yang
bertangkai sepanjang kurang lebih 20—30cm mengikuti panjang mata mandau.
Langgei ini memegang fungsi sebagai senjata cadangan dalam keadaan
darurat. Ia memerankan fungsi lebih ‘akrab’, di mana secara
fungsionalitas boleh digunakan untuk keperluan yang berkaitan dengan
hal-hal biasa (bukan dalam konteks sakral). Pada masa lalu, peran sebuah
mandau menjadi sangat vital. Mandau merupakan simbol dari sebuah
kekuasaan. Kekuasaan tersebut terkait erat dengan mitologi Dayak bahwa
semakin banyak kepala musuh yang dipenggal, maka akan semakin tinggi
status sosial seseorang yang disebut sebangai mamut menteng.
Seseorang yang mamut menteng dapat secara aklamasi menjadi seorang
pemimpin. Hal ini bukan tanpa dasar mengingat kegigihannya dalam membela
komunitas sukunya agar selamat dari berbagai serangan yang memusnahkan.
Namanya juga masih zaman primitif, kegiatan hasang-maasang (saling
teror) dan kayau-mangayau (saling bunuh dengan penggal kepala) adalah
sebuah pertarungan mempertahankan entitas dan eksistensi. Kesemuanya
tidak dilakukan tanpa dasar, melainkan karena persoalan politik
kekuasaan dan pertahanan eksistensi dan jatidiri yang terancam.
Seseorang yang sudah cukup ilmu barulah turun ke kancah pertarungan ini
dan persoalannya pun bukan persoalan yang ringan, sehingga jalan damai
mungkin sudah tidak mendapat kata sepakat lagi. Ada banyak aturan dalam
hal peperangan, diantaranya tidak melibatkan anak-anak menjadi korban
begitu juga dengan para ibu. Kesemuanya dilakukan secara jantan; satu
lawan satu, atau perang terbuka secara massal.
Dalam kamus peperangan Suku Dayak kuno, tidak ditemui istilah keroyokan
atau membunuh dalam keadaan terjepit. Apabila korban sudah menyerah,
maka ia akan ditawan sebagai budak/jipen yang akan mengabdi pada pihak
yang menang selama hayatnya, kecuali ditebus atau dibeli/ditukar dengan
barang berharga berupa guci yang disebut balanga atau benda berharga
lainnya.
Berkaitan dengan fungsi utama sebagai senjata perang di masa lalu,
mandau warisan leluhur diyakini suku Dayak sebagai penjelmaan diri sang
empunya. Artinya, ia dapat menjelma secara fisik di tengah-tengah
peperangan atau sebaliknya, tidak kasat mata (nonvisual) sehingga
dikenal dengan “mandau terbang”. Ia bisa dikontrol oleh yang empunya
untuk melakukan serangan balasan, jadi hanya bersifat reaktif atas
sesuatu yang terjadi. Ia tidak bersifat aktif dan agresif.
Bagi masyarakat suku Dayak, mandau menyisakan sejuta misteri yang tak
terpecahkan hingga kini. Konon di masa lalu sebuah mandau seolah
memiliki aura, seolah sesuatu yang dapat dipelihara, disuruh atau tunduk
atas kekuasaan pemiliknya. Ia seolah dapat menjadi ‘kawan’ yang sangat
patuh dan sangat jarang mencelakai ‘tuannya’.
Hal ini mungkin secara asumtif berkait erat dengan patei-ongoh atau
kiprahnya di masa lalu, sehingga semuanya diyakini sebagai “budak yang
harus tunduk atas perintah tuannya” atau “kawan setia yang tahu membalas
budi”. Mandau juga dapat menjadi sarana pengobatan, misalnya air cucian
asahannya dapat mengobati semacam alergi gatal-gatal yang disebut
“kalalah” atau “kicas-kihal” (sejenis tulah/kutukan). Dalam konteks
kekinian, mandau telah menjadi sebuah pusaka tradisional yang cukup
langka.
Kelangkaan tersebut sangat disayangkan dikarenakan oleh ketiadaan pandai
besi yang menurunkan ilmunya kepada generasi setelahnya. Para pemilik
mandau warisan leluhur juga dianggap kian berkurang. Sebagian sudah
tidak dirawat lagi dan sebagian lain telah berpindah kepemilikannya
kepada orang asing dengan berbagai alasan. Salah satunya adalah alasan
ekonomi. Biasanya yang memiliki dan merawat benda-benda tradisional
adalah para tetua adat atau para basir berkaitan dengan kepemimpinannya
pada setiap upacara-upacara adat. Di samping itu, komponen material
sebagai bahan utamanya juga sangat sulit ditemukan.
Alhasil, kalaupun dibuat tiruan/replikanya, mandau masa kini sudah
menggunakan besi-besi (atau baja) yang kurang ampuh dan aura
kedigdayaannya pun dianggap tidak terlalu istimewa. ‘Mandau-mandau’
tersebut hampir setara dengan pisau ambang (parang laki) dan dijual
dengan bebas di toko-toko cinderamata di pinggir-pinggir jalan.
Mandau adalah alat atau senjata ciri khas penduduk asli Kalimantan.
Mandau ini dimiliki oleh suku dayak yang ada dipulau Kalimantan. Seorang
panglima dari suku dayak, memiliki mandau yang amat sakti bahkan
turun-temurun dari nenek moyang mereka. Mandau ini jika sudah lama dan
dipelihara, hendaknya harus dibersihkan. Cara membersihkan mandau ini
yang memiliki kekuatan magis atau supranatural berbeda dengan mandau
yang biasa.
Cara membersihkan mandau:
Mandau biasa.
Cara membersihkan mandau biasa ini hanya dengan menyiramkan air putih,
dan dibasuh dengan air sabun serta sabut kelapa atau penggosok lainnya,
serta bahan pencuci lainnya, misalnya rinso, backline, dan lain-lainnya.
Mandau keramat atau mandau panglima.
Cara membersihkan mandau panglima yang mempunyai kekuatan magis atau
supranatural ini, biasanya dengan menggunakan 7 macam kembang dengan
warna; merah, putih, kuning, ungu, dan pink. Setelah itu pada malam
Jum’at, sambil bakar kemenyan, sediakan limau nipis, pakaian harus rapi,
suasana hening (sepi), atau sunyi, ada mantra-mantra tersendiri,
waktunya bulan purnama tengah malam, air bersih tujuh kali (sungai),
sesuai dengan apa yang cocok pada mandau tersebut, apakah 7 kali, atau
3, atau 5 sungai. Setelah semuanya siap, maka bersihkanlah mandau
tersebut dengan hati-hati tanpa bicara sedikitpun.
Itulah beberapa cara yang dilakukan oleh masyarakat Kalimantan dalam membersihkan Pusaka mereka dan senjata khas Suku Dayak.